• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN LITERATUR PENGEMBANGAN WILAYAH DAN INFRASTRUKTUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN LITERATUR PENGEMBANGAN WILAYAH DAN INFRASTRUKTUR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN LITERATUR PENGEMBANGAN WILAYAH DAN INFRASTRUKTUR

2.1 Pengembangan Wilayah dan Ketimpangan

Pembangunan wilayah didefinisikan sebagai perubahan dari produktivitas wilayah yang diukur dari nilai tambah kependudukan, ketenagakerjaan, pendapatan, dan manufaktur. (Nelson, 2001). Jika pengertian pengembangan wilayah tersebut dipakai untuk mengamati pertumbuhan di Jawa Barat, dikaitkan dengan Jakarta sebagai pusat pertumbuhan, diperkirakan akan terlihat suatu pola tertentu, yang menarik untuk dikaji. Pola itu antara lain tingginya laju pertumbuhan penduduk, output perekonomian seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), atau nilai investasi yang cenderung semakin kecil jika “jaraknya” dengan Jakarta semakin besar. “Jarak” dengan Jakarta yang dimaksud disini tidak harus jarak geografis, tetapi bisa juga “jarak” yang merupakan gabungan dari beberapa variabel.

Jarak dipahami sebagai salah satu faktor penentu dalam perekonomian karena jarak dari pusat pertumbuhan ekonomi seringkali dikaitkan dengan akses pasar yang terbatas. Masuknya barang dan teknologi menjadi lebih mahal, serta berkurangnya keuntungan pada tahap penjualan produk, karena beban bertambahnya biaya transport sejalan dengan bertambahnya jarak (Venables & Limao, 1999). Daya tarik geografis suatu wilayah, diukur dari akses pasar, yang diukur dengan kekuatan akses pasarnya, dalam hal ini ditentukan oleh jangkauan relatifnya ke pusat pertumbuhan ekonomi.

Model gravitasi yang dikembangkan Bergstrand (1985), Deardorff (1995), dan Guillaumont, Brun dan De Melo (1998), menjelaskan bahwa semakin besar massa ekonomi 2 wilayah, dan semakin dekat jaraknya, akan semakin besar juga volume perdagangannya. Seringkali PDRB dipakai sebagai ukuran massa ekonomi , dan berperan sebagai faktor penarik dalam model gravitasi. Sementara itu, faktor impedansi diperankan oleh jarak, meski tidak harus jarak geografis, karena jarak geografis bukanlah satu-satunya. Luo (2001) menunjukkan bahwa jarak yang dikaitkan dengan tingkat pembangunan infrastruktur bisa menjadi alat pendekatan (proxy) yang lebih baik bagi faktor impedansi dalam model gravity.

Fenomena ketimpangan wilayah setidaknya juga dapat dijelaskan oleh teori cumulative causation-nya Myrdal (1957), yang menyodorkan pendekatan leading-lagging untuk

(2)

menjelaskannya. Inti dari pendekatan ini bahwa wilayah yang leading memiliki keunggulan komparatif (lokasi, infrastruktur, atau faktor lainnya) dibanding wilayah lainnya. Investasi ke arah wilayah lagging relatif kecil, sementara pada saat yang sama terjadi arus tenaga kerja terlatih dari wilayah lagging ke wilayah leading. Selain itu juga terjadi arus tabungan dari wilayah lagging ke wilayah leading untuk keperluan konsumsi. Arus balik sumberdaya dari wilayah lagging ke wilayah leading disebut sebagai back-wash. Apabila secara netto backwash lebih besar dari spread, maka ketimpangan wilayah akan semakin bertambah.

Sementara Peroux (1955) dan Hirschman (1958) mengembangkan konsep growth pole atau kutub pertumbuhan, di mana pengembangan wilayah penopang (hinterland) digeser oleh pusat metropolitan yang berkembang / meluas.

Richardson (1985) menggabungkan cumulative causation dengan growth pole menjadi model autonomous growth center (AGC). Salah satu keterbatasan teori growth-pole adalah teori ini biasanya diterapkan untuk menjelaskan pola pengembangan wilayah tunggal, umumnya sub-state. Richardson memperbaikinya dengan memperkenalkan sistem nasional untuk AGC, yang berbeda laju pertumbuhan diantara AGC-nya. Richardson juga mengemukakan bahwa dalam pengembangan suatu wilayah, kegiatan penanaman modal atau investasi sangat dibutuhkan (Richardson, 1979).

Literatur-literatur pengembangan wilayah membedakan antara core (centers) dengan periphery, growth center (atau pole) dengan hinterland, serta wilayah “maju” (leading) dan “tertinggal” (lagging). Ada 2 aliran pemikiran (school of taught) dalam teori pengembangan wilayah : pengembangan dari atas (development from above), dan pengembangan dari bawah (development from below). Pengembangan dari atas memandang pengembangan wilayah seolah-olah memancar (spread) dari core atau growth center dan menetes (trickle down) ke wilayah periphery dan hinterland.

Sementara pengembangan dari bawah (development from below) bukan berarti mempertentangkan “jalurnya” dari pengembangan dari atas, tetapi menekankan agar wilayah mengendalikan lembaga-lembaganya untuk mengciptakan gaya hidup yang diinginkan. (Nelson, 2001).

Tiga jenis hubungan eksternal yang kritis dalam pengembangan wilayah adalah : (i) perdagangan, yang ditentukan oleh impor dan ekspor barang/jasa, (ii) migrasi penduduk, baik dalam kapasitas konsumen maupun pekerja, dan (iii) migrasi faktor produksi lain, terutama modal (untuk investasi).

(3)

Kemampuan suatu wilayah untuk menjaga pengembangan ekonomi jangka panjangnya tergantung pada kemampuannya melanjutkan ekspor barang dan jasa, dan hal ini membutuhkan kapital dan tenaga kerja terlatih yang memadai. (North, 1956)

Pengembangan dari atas mengasumsikan bahwa pengembangan wilayah terjadi jika dirangsang oleh kekuatan eksogen, seperti pasar ekspor, investasi dari luar daerah, dan migrasi. Pengembangan wilayah dipandang sebagai hasil dari keseimbangan dan ketakseimbangan harga. Heckscher (1919), Ohlin (1933), dan Balassa (1961) mengembangkan model penyamaan harga (price equalization) dimana faktor-faktor produksi yang mobile akan mencari lokasi yang menghasilkan pengembalian tertinggi (highest return).

Di Indonesia, pertumbuhan investasi domestik mempunyai keterkaitan dengan GDP (Sinha, 1996). Sementara itu, beberapa studi tentang investasi, menunjukkan bahwa investasi asing per kapita mempunyai korelasi positif dengan GNP per kapita. .

Akan tetapi ketimpangan yang disebabkannya tidak selalu harus semakin lebar antara dua wilayah. Menurut sekolah pemikiran (school of taught) pengembangan dari atas, dikenal adanya dynamic disequilibrium atau ketidakseimbangan dinamis.

Lokasi usaha adalah kompromi dari ketegangan antara perbedaan-perbedaan karakteristik tempat (places), skala ekonomi unit usaha, dan biaya perpindahan dari tempat tertentu ke lokasi-lokasi tersebut. Ada trade-off dasar antara friksi jarak dengan skala ekonomi (Rostolaulajainen, Stafford, 1995).

2.2 Pengembangan Wilayah dan Ketersediaan Infrastruktur

Pembangunan infrastruktur terbukti sebagai faktor dominan dalam strategi menarik arus investasi asing (FDI), khususnya untuk jenis penanaman modal yang berorientasi ekspor (Kumar, 2001).

Salah satu penjelasan peranan investasi infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi diberikan oleh General Regional Model (Fox,1990), yang melihat hubungan antara output (Q) sebagai fungsi tenaga kerja (L), Private Capital (P) dan Public Capital (G). Hubungan tersebut bisa dipresentasikan dalam 3 persamaan berikut :

1) Q = f(L,P,G)

2) Demand = C + I + Ig + X 3) G = Gn-1 + Ig

(4)

Dengan demikian ada beberapa cara infrastruktur mempengaruhi output regional, yaitu melalui produksi agregat, dan mempengaruhi demand melalui Public Capital Stock (G) dan Investasi Tahunan (Ig).

Yang pertama, infrastruktur bisa menjadi input langsung kedalam fungsi produksi perusahaan. Contoh untuk ini adalah layanan infrastruktur-tersedia seperti listrik dan air bersih. Dalam banyak hal, infrastruktur bersifat tidak-berbayar dalam produksi seperti layanan infrastruktur jalan raya.

Berikutnya, sebagai input langsung infrastruktur bisa juga membuat faktor produksi lain seperti tenaga kerja, serta modal swasta lebih produktif.

Yang ketiga, infrastruktur bisa berpengaruh terhadap output dengan cara menarik input dari wilayah lain dan memperbesar fungsi produksi. Dalam hal ini infrastruktur mempengaruhi output melalui peningkatan tenaga kerja dan investasi swasta (Gillen, 1996).

Penjelasan pentingnya infrastruktur, khususnya transportasi (jalan raya) diberikan oleh Xubei Luo (2004). Dengan memakai indikator derajat-kepinggiran peripheral degree (daya tarik geografis sebagai fungsi jarak dan ketersediaan infrastruktur). Mengkaji propinsi-propinsi di bagian barat China, Luo menyimpulkan ada kaitan antara kemakmuran masyarakat di propinsi tersebut dengan peripheral degree-nya. Usulan yang dikemukakannya untuk merangsang pertumbuhan ekonomi propinsi bagian barat tersebut adalah dengan membangun infrastruktur, khususnya prasarana dan sarana transportasi dengan tujuan menekan biaya transportasi. Pembangunan infrastruktur ini akan memperpendek jarak, sehingga peranan posisi geografis menjadi semakin kecil dalam menarik investasi.

Perlu digarisbawahi, bahwa yang digunakan adalah peripheral degree, dan bukannya jarak geografis. Hal ini pernah dijelaskan dengan konteks faktor resistansi dalam model gravity pada sistem transportasi. Dalam hal itu, bahwa bukan jarak per se yang berpengaruh kuat pada perdagangan bilateral, melainkan biaya transportasi. Seperti dikembangkan Limao dan Venables (2000) biaya transport ditentukan tidak hanya jarak geografis absolut antara dua pihak yang berdagang, tetapi juga tingkat pembangunan infrastruktur dan hal-hal terkait, termasuk wilayah transit. Dengan demikian tingkat pembangunan infrastruktur transportasi sangat penting bagi pembangunan wilayah (Luo, 2004).

(5)

Lebih jauh lagi, disimpulkan bahwa biaya transportasi yang tinggi bisa menghancurkan kinerja ekspor suatu wilayah dan pertumbuhan ekonominya. (Redding, Venables, 2000).

2.3 Indikator Aksesibilitas Wilayah

Di antara alternatif-alternatif ukuran spasial empiris yang ada untuk menunjukkan kelebihan lokasional, maka ukuran Aksesibilitas (accessibility) wilayah adalah jenis indikator spasial yang cukup banyak digunakan dalam analisis spasial, karena relatif sederhana dan mudah dimengerti/ digunakan. (Schumann-Talaat, 2000). Aksesibilitas wilayah menunjukkan kelebihan lokasional (locational advantage) suatu wilayah relatif terhadap seluruh wilayah studi (termasuk wilayah itu sendiri). Pendekatan dengan ukuran aksesibilitas ini antara lain digunakan dalam studi-studi Biehl (1986, 1991), Lutter et.al. (1993), Bokemann (1982), dan Schumann-Talaat (1997, 2000).

Secara umum, aksesibilitas digambarkan tersusun atas dua fungsi. Fungsi pertama mewakili aktivitas atau kesempatan yang hendak dijangkau, dan fungsi kedua mewakili usaha, waktu, atau biaya yang diperlukan untuk menjangkaunya.

Jika dinyatakan dalam notasi fungsi, maka dapat dituliskan :

Ai =

g(Wj) f(cij) ...……….. (2-1)

Dimana Ai adalah aksesibilitas wilayah i, Wj adaalh aktivitas W yang akan dijangkau di wilayah j, dan cij adalah biaya yang digeneralisasi untuk menjangkau wilayah j dari wilayah i. Fungsi g(Wj) adalah fungsi aktivitas, dan f(cij) disebut fungsi impedansi.

Keterkaitan keduanya bersifat multiplikatif, dalam hal ini saling memberi bobot.

Salah satu studi, yang dilakukan Schumann dan Talaat (2000) memilih type aksesibilitas potensial dari 3 model yang mungkin dari (i) type travel cost, (ii) type aksesibilitas harian, dan (iii) type potensial.

Aksesibilitas type potensial tersebut oleh Schumann dan Talaat dirumuskan seperti berikut :

Ai =

g(Wj) f(cij) =

Wj α

exp( –β cij ) ……….. (2-2)

Sebagai fungsi aktivitas, bisa digunakan besaran GDP, tenaga kerja (employment), penduduk (population). Disebutkan bahwa pembobotan dengan GDP (=PDRB) sesuai

(6)

untuk mengaitkan aksesibilitas pada kinerja ekonomi produktif seperti investasi, perencanaan produksi, dll. Sedangkan pembobotan dengan kependudukan sesuai untuk dikaitkan dengan kinerja ekonomi konsumsi seperti perencanaan pasar/pemasaran.

Pemilihan nilai parameter β (sensitivitas impedansi spasial), dan α (parameter untuk mewakili efek aglomerasi) bersifat khas untuk setiap wilayah. Dengan data-data GDP, penduduk, dan jarak geografis untuk menentukan biaya perjalanan (travel cost), Schumann-Talaat menghitung Indeks Periperalitas (yang diturunkan dari Aksesibilitas) di Uni Eropa, dan menghasilkan peta indeks periperalitas. Informasi tersebut dipakai untuk menentukan kebijakan perekonomian Uni Eropa dikaitkan dengan keberadaan dan pengembangan infrastruktur transportasi.

2.4 Model Produksi Cobb-Douglas

Beberapa penelitian lain yang mengaitkan pengaruh infrastruktur publik –termasuk jalan raya– terhadap ekonomi, menggunakan fungsi produksi Cobb Douglass untuk estimasinya. Untuk menyebut beberapa diantaranya adalah Munell (1990), Ratner (1983), Aschauer (1989), Garcia Mila, McGuire, 1992), dan Pinnoi (1992).

Alicia H. Munnell dalam New England Economic Review (January/February 1990), menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas untuk meneliti dampak infrastruktur publik pada pertumbuhan produktivitas di 48 negara bagian USA selama tahun 1970-1986. Kesimpulannya mendukung dampak kuat dan signifikan infrastruktur publik terhadap pertumbuhan. Variabel yang digunakan meliputi jalan, sekolah, rumah sakit, fasilitas air minum, gas, listrik dan infrastruktur non militer lainnya serta mesin-mesin. Kesimpulannya modal publik mempunyai dampak positif pada produktivitas output dengan elastisitas sebesar 0,15 sedangkan modal swasta 0,31 atau elastisitas modal publik setengah dari modal swasta (Munnell, 1990).

Sebelumnya, David Aschauer (1989) meneliti dampak investasi publik terhadap produktivitas sektor swasta. Hasilnya menunjukkan modal publik adalah produktif dan harus ditingkatkan untuk mendorong perekonomian. Disimpulkannya bahwa selama periode 1949-1985, peningkatan 1 % dari stok modal publik di USA dapat meningkatkan output sebesar 0,4 %.

Sementara McGuire menunjukkan bahwa modal publik mempunyai dampak positif dan signifikan terhadap produk bruto negara-negara bagian di Amerika Serikat. Variabel jalan

(7)

memberikan pengaruh yang paling besar sedangkan air dan saluran pembuangan memberikan dampak yang kecil sementara modal publik lainnya tidak signifikan secara statistik.

Fungsi produksi Cobb-Douglass adalah fungsi produksi standard yang menggambarkan hubungan antara Output (Q) dengan input tenaga kerja/labour(L), modal/capital (K).

Untuk modal K, labor input L, dan konstanta a, b, dan c, fungsi produksi Cobb-Douglass digambarkan sbb :

Q = f(L,K) = bLaKc

……….. (2-3) Jika a+c=1 maka fungsi produksi ini memiliki constant return to scale (atau homogen secara liner – dalam bahasa matematika). Bentuk standar yang sering dipakai dalam penulisan adalah (1-a) untuk menggantikan c.

Pada beberapa penelitian, variabel K diuraikan lagi menjadi modal publik (public capital = P) dan modal swasta (private capital = K). Bahkan dalam beberapa penelitian (Holtz-Eakin, 1994 ; Holtz-Eakin & Schwartz, 1995 ; Boarnet, 1996) modal publik Jalan Raya sebagai variabel (H adalah capital stock jalan raya dalam wilayah, serta H0 adalah capital stock jalan raya wilayah tetangga). Dengan demikian, fungsi dasar tersebut diatas diperluas menjadi :

Q = f(L,K, H) = bLaKc1H c2H0 c3

……….. (2-4) Model Log-linear akan membantu menyederhanakan fungsi tersebut, dengan cara menerapkan fungsi log di kedua sisi persamaan Cobb-Douglass tersebut.

Log(Q) = a log(L) + c1 log(K) + c2 log(H) + c3 log(H0) + konstanta + ε ..(2-5)

Selanjutnya dengan memasukkan data time-series yang ada dan bantuan statistic tools, dengan pendekatan regresi linier diperoleh nilai-nilai konstanta, koefisien-koefisien, dan elastisitas masing-masing variabel.

2.5 Kegiatan Investasi

Salah satu pengertian kegiatan investasi atau penanaman modal dalam ilmu ekonomi adalah kegiatan produktif dalam suatu masyarkat untuk menghasilkan barang-barang modal (Keyness, 1970). Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pembelian (dan

(8)

berarti juga produksi) dari kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Contoh termasuk membangun rel kereta api, atau suatu pabrik, pembukaan lahan, atau seseorang sekolah di universitas. Untuk lebih jelasnya, investasi juga adalah suatu komponen dari PDB dengan rumus PDB = C + I + G + (X-M). Fungsi investasi pada aspek tersebut dibagi pada investasi non-residential (seperti pabrik, mesin, dll) dan investasi residential (rumah baru). Investasi adalah suatu fungsi pendapatan dan tingkat bunga, dilihat dengan kaitannya I= (Y,i). Suatu pertambahan pada pendapatan akan mendorong investasi yang lebih besar, di mana tingkat bunga yang lebih tinggi akan menurunkan minat untuk investasi sebagaimana hal tersebut akan lebih mahal dibandingkan dengan meminjam uang. Walaupun jika suatu perusahaan memilih untuk menggunakan dananya sendiri untuk investasi, tingkat bunga menunjukkan suatu biaya kesempatan dari investasi dana tersebut daripada meminjamkan untuk mendapatkan bunga.

Investasi (I) bisa dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta. Investasi oleh pemerintah biasanya dilakukan untuk infrastruktur publik seperti jalan, telekomunikasi dan energi (pada tahap awal dan daerah terpencil). Investasi oleh pemerintah ini tidak secara langsung digunakan untuk memproduksi barang dan jasa dalam masyarakat, tetapi untuk mendukung agar barang modal dapat langsung beroperasi secara baik (Mountjoy, 1983). Dequin (1978) dalam studinya yang dilakukan di Indonesia menyimpulkan bahwa lokasi investasi pemerintah yang besar di wilayah tertentu merupakan daya tarik bagi tumbuhnya investasi swasta, khususnya yang berasal dari masyarakat / rumah tangga. Ilmu ekonomi klasik menempatkan modal sebagai salah satu faktor produksi selain tenaga kerja dan sumberdaya alam. Modal dipahami sebagai semua bentuk kekayaan yang dapat digunakan, langsung ataupun tidak langsung dalam produksi untuk menambah output. Dalam jangka panjang modal berfungsi menaikkan produktivitas (Irawan & Suparmoko, 1998:93). Hampir semua ahli menekankan arti penting pembentukann modal sebagai penentu utama pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 1990). Jumlah stok modal dan perkembangannya dari tahun ke tahun merupakan salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan wilayah.

Menurut teori pertumbuhan wilayah neoklasik, yang antara lain dikembangkan oleh Richardson, pertumbuhan ekonomi wilayah sangat berhubungan dengan tiga faktor penting yaitu ketersediaan modal, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Tingkat dan pertumbuhan faktor-faktor tersebut akan menentukan tingkat pendapatan dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Teori ini mengasumsikan adanya fleksibilitas faktor

(9)

harga yang sempurna sehingga perpindahan tenaga kerja dan modal antar wilayah secara otomatis akan menghilangkan perbedaan-perbedaan faktor harga di antara wilayah-wilayah. Namun teori ini tidak memberikan penekanan yang cukup terhadap pentingnya faktor permintaan. Suatu wilayah dengan pertumbuhan permintaan yang tinggi terhadap barang-barang produksinya akan menjadi lokasi yang baik untuk investasi dan akan menarik lebih banyak modal dan tenagakerja dari wilayah lainnya (Tumenggung, 1997). Ada keterkaitan yang erat antara investasi yang dilakukan oleh swasta dengan investasi oleh pemerintah. Richarson (1979) menyatakan bahwa skala dan distribusi spasial dari modal publik mempunyai dampak nyata terhadap keputusan mengenai investasi swasta selanjutnya, terutama dalam penentuan lokasi oleh perusahaan dan rumahtangga. Hilhorst (1990) mengungkapkan data yang mendukung studi yang dilakukan Dequin seperti dijelaskan terdahulu.

2.6 Analisa Regresi Linier Sederhana

Analisis regresi linear adalah suatu meode analisis statistik yang menggunakan model matematika tertentu yang terdiri atas beberapa buah asumsi. Secara teori, jelas bahwa hasil analisis regresi linear akan mempunyai nilai (valid) hanya jika seluruh asumsi yang digunakan dapat diterima. Oleh karena itu seluruh asumsi yang digunakan harus diuji (atau dites) keabsahannya untuk menguji validitas model. Untuk itulah digunakan pola kerja dalam analisis regresi linear sebagai berikut.

Bagan 2.1 Pola Kerja dalam Analisis Regresi Linier Sederhana

Pola ini dibaca searah jarum jam, dimulai dari kotak di sebelah kiri, dalam bentuk spiral. Jika hasil diagnosa di kotak bawah memperlihatkan bahwa model yang digunakan telah

(10)

cukup baik, maka proses pemodelan dihentikan. Lanjutkanlah dengan analisisnya. Jika modelnya belum cukup baik, buatlah terapi untuk memodifikasi model. Jadi, model di kotak kiri diperbaiki. Selanjutnya, ikuti lagi pola di atas. Pada bab ini akan dibahas tentang:

Misalkan nilai suatu variabel X diduga mempengaruhi nilai variabel lain Y, dan kemudian perubahan nilai X digunakan menduga perubahan nilai Y. Dalam hal ini X dinamakan prediktor dan Y disebut respons. Terkadang, untuk mudahnya, orang menyebut X dan Y berturut-turut dengan variabel bebas dan variabel tak bebas. Apabila benar X mempengaruhi Y, maka sangat wajar sekali bila kita bertanya: “Bagaimanakah hubungan antara X dan Y ?”. Secara teori, hubungan antara X dan Y tidak akan pernah dapat kita ketahui secara eksak. Jadi, hubungan itu hanya dapat dituliskan sebagai

Y = f( x ) ...……….. (2-6)

dengan fungsi f tidak diketahui bentuknya

Berdasarkan data, kita ingin mempelajari bentuk fungsi f walaupun hanya berupa pendekatannya saja. Misalkan X dan Y diamati n kali. Hasil pengamatannya dapat disajikan dalam bentuk tabel seperti berikut.

Observasi 1 2 3 . . . n X X1 X2 X3 . . . Xn

Y Y1 Y2 Y3 . . . Yn

Karena antara X dan Y terdapat hubungan Y = f(X), sedangkan pengukuran X dan Y pasti memiliki kesalahan, maka hubungan antara Xi dan Yi adalah

i i

Y = f ( x )+

i

untuk setiap i = 1, 2, . . . , n. Di sini ∆i adalah galat yang disebabkan karena: 1. Ketidakmampuan mengukur dengan tepat kedua variabel Yi dan Xi

2. Ketidakmampuan melibatkan variabel-variabel lain sebagai prediktor untuk Y.

Bentuk fungsi f tidak diketahui. Dalam regresi linear sederhana, bentuk fungsi f didekati oleh persamaan garis lurus (jika setelah dianalis ternyata pendekatan ini kurang cocok,

(11)

maka perlu dilakukan modifikasi atau digunakan pendekatan oleh bentuk persamaan yang lain). Jadi,

0 1 i f ( x )=

β

+

β

X +

δ

i

dengan i menyatakan galat pada observasi ke-i, yang disebabkan karena kekurangcocok- kan (lack of fit) penggunaan model bentuk hubungan

0 1 i f ( x )=

β

+

β

X sebagai pendekatan bagi.

Y = f( x)

Dari uraian di atas, maka dalam regresi linear sederhana bentuk hubungan antara X dan Y dirumuskan oleh

0 1 i f ( x )=

β

+

β

X +

ε

Dengan demikian, setiap observasi Xi dan Yi tunduk kepada hubungan

0 1 i f ( x )=

β

+

β

X +

ε

i

untuk setiap i = 1, 2, . . . , n. Di sini i , yang merupakan galat pada obervasi ke-i hasil penggabungan ke dua galat δi dan εi , dan disebut galat acak (random error). Agar supaya regresi linear sederhana memiliki nilai penggunaan, haruslah δi sangat kecil relatif terhadap εi sehingga dapat diabaikan. Jadi jika tidak terbukti ada kekurangcocokkan, maka δi = εi akan bersifat acak.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan adanya tiga sumber terjadinya galat, yakni : 1. Galat ketidakcocokkan model.

2. Galat pengukuran.

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20ll tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2otl Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Hasil analisis menunjukkan pengaruh positif dari variabel kepemimpinan etis terhadap komitmen organisasional, ditemukan pengaruh yang positif antara variabel

Terdapat hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar(waham), gangguan

Brosur merupakan alat pengenalan kepada calon nasabah, akan tetapi brosur bukan menjadi alat yang paling unggul untuk merekrut nasabah karena di BMT Fajar Mulia

Veithzal Rivai dkk, Islamic Transaction Law in business, drs.Abdul kadir M.H.Hukum Bisnis Syariah dalam al-Qur’an.Yusuf Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, MUI,

Hasil keragaan aktivitas fagositik (PA) dan indeks fagositik (lP) dari benih ikan kerapu lumpur dengan perlakuan imunostimulan bakterin, terlihat bahwa besamya nilai

Lwl : : Panjang Panjang garis garis air air (Length (Length of of water water line) line) Adalah jarak mendatar antara ujung garis muat ( Adalah jarak mendatar

Sistem pendukung keputusan dengan menggunakan metode Simple Additive Weighting (SAW) diharapkan dapat membantu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menentukan