• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Kekuasaan antara Negara Dan Modal dalam Politik Agraria di Masa Reformasi ( ) Studi Kasus: Kabupaten Cilacap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Relasi Kekuasaan antara Negara Dan Modal dalam Politik Agraria di Masa Reformasi ( ) Studi Kasus: Kabupaten Cilacap"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Relasi Kekuasaan antara Negara Dan Modal dalam Politik

Agraria di Masa Reformasi (1999-2013)

Studi Kasus: Kabupaten Cilacap

Arriza Rachmanto dan Samuel Gultom

Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang relasi kekuasaan yang terbentuk antara Negara dan Modal dalam Politik Agraria di Masa Reformasi. Lebih khusus, penelitian ini menjelaskan bentuk relasi kekuasaan antara Negara dan Modal dengan melihat pada dua indikator yaitu pada Kebijakan dan Konflik Agraria. Untuk membahasnya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan instrumen observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen untuk pengumpulan data. Temuan dari penelitian ini adalah relasi kekuasaan Negara dan Modal dalam politik agraria di Indonesia di masa reformasi masih kuat walaupun melalui strategi yang seolah-olah berpihak pada rakyat, seperti kebijakan redistribusi lahan di Kecamatan Cipari. Bentuk relasi kekuasaan yang terjadi adalah

accumulation by dispossession (akumulasi dengan cara perampasan), bahwa

kebijakan redistribusi lahan di Kecamatan Cipari merupakan salah satu bentuk perampasan dengan strategi baru yaitu melakukan legalisasi aset.

Kata Kunci: Reforma Agraria, Relasi Kekuasaan, Politik Agraria, Konflik Agraria

ABSTRACT

This undergraduate thesis describes about power relation which built between State and Capital in Agrarian Politics in the Reformation Era. More specifically, this research describes the type of power relation between State and Capital with focus in two indicator that is the policy and agrarian conflict. The method used in this research is qualitative with observation, in-depth interview and document study as instruments to collect the data. This research found that power relation between State and Capital in Agrarian Politics in the Reformation Era is still strong although through the strategi as if it stands for the peasant, like the policy of land redistribution in the Subdistrict of Cipari. The type of the power relation is

accumulation by dispossession, which means that the policy of land redistribution

in the Subdistrict of Cipari is one of the dispossession with the new strategi that is the legalization of asset.

(2)

Latar Belakang

Persekongkolan antara Negara dan Modal memberikan pengaruh besar dalam pembangunan di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Richard Robison yang menekankan perkembangan Negara tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kapitalisme Indonesia, dan sebuah kelas kapitalis domestik dan modal-milik-negara merupakan faktor-faktor yang sangat penting dalam membentuk sejarah Indonesia kontemporer.1 Relasi Negara dan Modal ini juga terjadi dalam politik agraria di Indonesia. Jika kita melihat secara lebih mendalam, di dalam politik agraria terdapat relasi kekuasaan yang melibatkan Negara dan Modal. Hal tersebut dapat dilihat jika kita melihat lebih jauh sejarah perpolitikan agraria di Indonesia.

Pada kenyataannya sampai saat ini, kebijakan-kebijakan tentang agraria masih cenderung berat sebelah. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya konflik atau sengketa lahan masih terjadi bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, ketimpangan penguasaan lahan juga menjadi masalah, banyak petani yang tidak memiliki tanah sendiri untuk kebutuhan mereka disisi lain muncul para tuan tanah yang menguasai sebagian besar lahan. Menurut Badan Pertanahan Nasional, saat ini masih ada sekitar 56 persen aset nasional yang dikuasai oleh dua persen saja penduduk Indonesia dan sebanyak 87 persen dari 56 persen aset nasional itu berupa tanah.2 Hal tersebut merupakan sebuah ironi, dimana di negeri agraris yang sebagian besar penduduknya adalah petani, justru hanya sebagian kecil dari petani mempunyai lahan sendiri.

Kabupaten Cilacap merupakan salah satu daerah dengan pusat industri yang cukup banyak di Jawa, misalnya seperti Pertamina, Holcim, Perhutani, PTPN, dsb. Banyaknya investasi yang masuk tentu akan mempengaruhi berbagai kebijakan di dalam daerah tersebut, khususnya dalam kebijakan yang menyangkut agraria. Banyaknya industri yang berkembang pada kenyataannya tidak mengubah struktur sosial di masyarakat. Hal ini terlihat dari masih banyaknya masyarakat di

                                                                                                                         

1 Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen and Unwin, 1986) hlm. x 2

http://nasional.kompas.com/read/2012/04/26/0630461/Dua.Percent.Penduduk.Indonesia.Kuasai.56 .Percent.Aset.Nasional diakses pada 15 Desember 2013 pukul 20.16

(3)

Kabupaten Cilacap yang bermata pencaharian sebagai petani. Data BPS Kabupaten Cilacap menunjukkan di tahun 2011 misalnya, penduduk yang bekerja sebagai petani berjumlah 33%. Artinya sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama bagi sebagian masyarakat di Cilacap untuk mencari nafkah dan memenuhi kehidupan sehari-hari.

Ada beberapa hal yang menarik yang penulis temukan di Kabupaten Cilacap terkait dengan kebijakan agraria. Salah satunya dengan adanya pelaksanaan redistribusi lahan di Kecamatan Cipari pada tahun 2010. Dikatakan bahwa redistribusi lahan di Kecamatan Cipari merupakan salah satu landreform terbesar dalam era reformasi.3 Total lahan yang dibagikan seluas 291 Ha kepada 5.141 KK di lima desa yaitu Desa Karangreja, Sidasari, Mekarsari, Caruy, dan Kutasari. Redistribusi lahan di masa pemerintahan SBY telah dilakukan di dua Kabupaten yaitu di Kabupaten Batang dan Cilacap, dengan Cipari adalah salah satu objek dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Pada kenyataannya dalam pelaksanaan redistribusi lahan tidak serta merta menyelesaikan masalah agraria di Kabupaten Cilacap, justru adanya kebijakan tersebut malah membuat masalah baru. Oleh karena itu, penulis kemudian merumuskan pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu Bagaimana relasi kekuasaan yang

terbentuk antara Negara dengan Modal dalam politik agraria di Kabupaten Cilacap di masa Reformasi?

Kerangka Konseptual

a. Teori Keberpihakan Negara

Ralph Miliband, dalam bukunya The State in Capitalist Society beranggapan bahwa Negara memiliki kemandiriannya sendiri. Para pejabat Negara tidak menjadi sebuah alat dari kelas yang dominan. Mereka mempunyai pertimbangan sendiri dalam merumuskan suatu kebijakan publik, tidak hanya dijadikan boneka oleh kepentingan kaum kapitalis.4 Selanjutnya, tidak menutup kemungkinan bahwa kaum borjuis tidak bisa berhubungan dengan Negara. Ia

                                                                                                                         

3   http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/11/01/128723/Kasus-Cilacap-Landreform-Terbesar-Era diakses pada 7 Januari 2014 pukul 11.41  

(4)

berpendapat bahwa dalam sebuah negara kapitalis, kaum borjuis mempunyai hubungan yang dekat dengan para pejabat. Maka sudah sewajarnya jika kebijakan yang dikeluarkan Negara sedikit banyak terpengaruh oleh kepentingan kaum borjuis karena ada kedekatan pribadi dengan pejabat publik. Dan kebijakan yang diambil oleh pejabat publik tentunya akan menguntungkan kepentingan kaum kapitalis. Teori Miliband ini kemudian dikritik oleh teori struktural Negara dari Nicos Poulantzas.5 Menurut Poulantzas, Negara berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial-politik yang ada di dalam masyarakat. Padahal, stabilitas politik dalam masyarakat kapitalis akan selalu menguntungkan kaum borjuis karena untuk dapat menciptakan stabilitas, negara harus membela kaum borjuis untuk mengembangkan dirinya. Hal tersebut disebabkan karena negara akan mendapatkan pendapatan dari modal yang dikelola oleh kaum borjuis melalui sistem pajak. Bila kaum borjuis mengalami hambatan dalam mengembagkan usahanya, maka pendapatan yang diterima oleh pemerintah juga akan terhambat.6

b. Relasi Kekuasaan Negara dan Modal di Indonesia

Pada kasus Indonesia sendiri, telah banyak ilmuwan yang meneliti hubungan antara Negara dan Modal dalam masa Orde Baru maupun di masa Reformasi. Richard Robison merupakan salah satu ilmuwan politik yang meneliti relasi kuasa antara Negara dan Modal di Indonesia pada masa Orde Baru. Menurut Richard Robison, kebijakan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru dibentuk oleh empat paradigma besar yang saling bertanding satu sama lain yaitu Nasionalisme, Populisme, Birokratisme Predatoris, dan Liberalisasi.7 Beberapa ilmuwan melihat bahwa pada dasarnya warisan-warisan Orde Baru masih tetap tumbuh walaupun Indonesia telah memasuki masa transisi dari otoritarian menjadi Demokrasi. Menurut Vedi Hadiz, beberapa hal yang penting dalam warisan tersebut adalah

                                                                                                                         

5 Nicos Poulantzas, The Capitalist State: A Reply to Miliband and Laclau (New Left Review 95,

1976) hlm. 63

6 Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi (Jakarta: Gramedia Pustaka,

1996) hlm. 68

7 Richard Robison, Politics and Market in Indonesia’s: Post-oil Era dalam G. Rodan, K. Hewison

dan R. Robison, (eds) The Political Economy of Southeast Asia: An Introduction (Melbourne: Oxford University Press, 1997) hlm. 29-30

(5)

penghancuran gerakan sosial politik kelas bawah serta pemeliharaan sebuah sistem oligarkis yang melindungi para elite dari tekanan kelas bawah.8

c. Pendekatan Relasional Strategis Negara

Bob Jessop dalam bukunya yang berjudul State Theory: Putting the

Capitalist State ini its Place, menjelaskan tentang peran Negara secara terus

menerus menekankan pada sebuah kontradiksi alamiah dari tugas-tugasnya dan juga tindakan Negara hampir memungkinkan untuk mengganggu kegiatan akumulasi modal. Argumen Jessop secara keras menolak gagasan “otonomi relatif negara” atau “determinisme ekonomi sebagai tujuan akhir” sebagai pokok-pokok penjelasan. Jessop justru menekankan pada tingginya kemungkinan adanya relasi yang terjalin antara Negara dan Masyarakat dalam masyarakat kapitalis.9

Menurut Jessop, kunci untuk memahami perubahan tersebut adalah pada “proyek hagemonik” yang dapat mengorganisasi tekanan dari kelas-kelas yang relevan dalam hal politis, intelektual, dan kepemimpinan moral dari kelas-kelas tertentu. Lebih jauh, keberhasilan proyek hegemoni tidak memerlukan keterlibatan implementasi keberhasilan strategi akumulasi. Kemungkinan berfokus pada tujuan non-ekonomi seperti kesuksesan militer atau regenerasi moral. Jessop lebih jauh menekankan pada otonomi dalam ruang politik untuk menantang klaim bahwa hanya ada satu jalan memuaskan kepentingan umum dari modal dalam kondisi apapun. Ia berpendapat bahwa selalu ada banyak kemungkinan strategi dalam akumulasi.

d. Politik Agraria

Prof. Iman Soetiknjo memandang politik agraria sebagai hubungan manusia dengan tanah, beserta segala persoalan dan lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya, yang bersifat politis, ekonomis, sosial, dan budaya.10 Sedangkan menurut Gunawan Wirardi, berdasarkan strateginya, politik agraria

                                                                                                                         

8 Vedi Hadiz, Op. Cit. hlm. 202

9 Fred Block, review of Bob Jessop, State Theory: Putting the Capitalist State in its Place,

(Contemporary Sociology, Vol. 20, No. 6, Nov. 1991) hlm. 871

10 Iman Soetiknjo, Politik Agraria dan Pembangunan Negara, Pidato Pengukuhan Guru Besar

(6)

dapat dibedakan menjadi tiga ciri ideal. Ciri tersebut antara lain, (a) Penguasaan Tanah, (b) Tenaga Kerja, dan (c) Tanggung jawab atau pengambilan keputusan mengenai produksi, akumulasi dan investasi.11

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pedekatan kualitatif, alasan penulis memilih pendekatan tersebut untuk penelitian ini didasarkan pada enam asumsi dalam penelitian kualitatif.12 Pertama, peneliti kualitatif lebih fokus terhadap proses dibandingkan dengan hasil maupun produk yang dihasilkan. Proses ini dilihat pada bagaimana relasi kekuasaan yang terbentuk antara negara dan modal dalam politik agraria di Cilacap. Kedua, peneliti kualitatif lebih tertarik pada arti, yaitu bagaimana mempertimbangkan kehidupan dan pengalaman manusia sebagai objek penelitian. Ketiga, instrumen penting dalam penelitian yaitu peneliti itu sendiri dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Data didapat melalui instrumen manusia dibandingkan dengan kuesioner. Keempat, penelitian kualitatif memerlukan fieldwork (wilayah penelitian), dimana peneliti langsung turun ke lokasi, berinteraksi dengan masyarakat atau institusi lokal, dan melakukan observasi terhadap kegiatan yang ada di lapangan. Kelima, penelitian kualitatif bersifat deskriptif dimana peneliti lebih menekankan pada proses, arti, dan pemahaman yang didapat melalui kata-kata maupun gambar. Dan keenam, penelitian kualitatif bersifat induktif.

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka, pengamatan langsung (observasi), dan wawancara mendalam dengan berbagai stakeholder yang terkait dengan tema yang penulis ambil. Informan yang penulis wawancara antara lain: 1) Bapak Widodo (Kepala Dinas Agraria Kabupaten Cilacap), 2) Bapak Setyo (Petugas BPN Kab. Cilacap), 3) Budiman Sudjatmiko (Anggota DPR Dapil Cilacap), 4) Bayu M (Petugas PTPN IX Kawung), 5) Bapak Sugeng (Ketua SETAM), 6) Bapak Suratman (Ketua Perhimpunan Kepala Desa), 7) Jarot C. Setyoko (Ketua Rumah Aspirasi Budiman).

                                                                                                                         

11 Ibid, hlm.10

12 John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, (London: Sage

(7)

Politik Agraria Nasional

Berbicara mengenai Politik Agraria Nasional, tentu tidak bisa terlepas dari Undang-undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960. UUPA bagi kalangan pegiat agraria merupakan Undang-undang utama yang menjadi landasan hukum dari politik agraria Nasional. Kata “Pokok” dalam UUPA memperlihatkan bahwa UU tersebut bukanlah UU yang biasa-biasa saja, Undang-undang Pokok merupakan UU yang harus menjadi acuan pada Undang-undang lainnya. Dalam hierarki perundang-undangan agraria, UUPA berada dibawah UUD 1945 dan diatas UU yang mengatur mengenai agraria.

. Terdapat lima jenis program di dalam UUPA untuk merombak struktur agraria warisan jaman kolonial. Program-program itu antara lain:

1. Pembaruan hukum agraria

2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah 3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur

4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hukum yang bersangkutan mengenai penguasaan tanah.

5. Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan kekayaan alam secara berencana.

Pada UUPA 1960 terdapat beberapa prinsip yang terkandung didalamnya. Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi dasar-dasar utama yang dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUPA. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: Prinsip Nasionalitas, Prinsip Hak Menguasai Negara, Prinsip Tanah mengandung Fungsi Sosial, Prinsip Land Reform, dan Prinsip Perencanaan Agraria.13

Akan tetapi, program-program land reform sesuai dengan amanat UUPA 1960, yang sebelumnya dilaksanakan di masa demokrasi terpimpin ketika masa Orde Baru seolah-olah seperti “dimasukkan ke dalam lemari es”. Program-program tersebut tidak pernah dilanjutkan kembali justru di masa orde baru para

                                                                                                                         

13 Noer Fauzi Rachman, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia,

(8)

pemilik modal dan tuan tanah semakin diuntungkan. Dengan sistem ekonomi yang cenderung kapitalistik ini masyarakat petani semakin lemah khususnya dalam masalah agraria. Masalah agraria menjadi isu yang dikesampingkan karena cenderung mengarah pada pemikiran yang bersifat sosialisme. Di masa Orde Baru paham-paham dan gerakan yang mengarah pada hal yang berbau sosialisme dibungkam, khususnya pada masalah land reform. Termasuk menggunakan cara-cara yang bersifat represif dalam menangani masalah tersebut.

Angin perubahan untuk mencapai reformasi kebijakan agraria dirintis di tahun 2001, yaitu di masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri. Banyak para aktivis agraria seperti misalnya KPA (Konsorsium Pembangunan Agraria) mendesak agar kebijakan agraria merujuk kembali pada UUPA 1960. KPA memandang UU tersebut sebagai sebuah hukum Nasional yang mengusung prinsip “fungsi sosial atas tanah” untuk mewujudkan keadilan dalam hal kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah.14 KPA menyadari bahwa selama ini penguasaan lahan rakyat dikalahkan oleh kepentingan Nasional di masa rezim Pemerintahan Orde Baru.

Pada November 2001, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Ketetapan No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP MPR No. IX tahun 2001 mendefinisikan pembaruan agraria sebagai suatu proses berkesinambungan yang berkaitan dengan penataan kembali penguasaan, penggunaan, kepemilikan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang dilaksanakan untuk mencapai kepastian hukum dan perlindungan serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.15 Artinya tujuan dari adanya peraturan tersebut untuk merevisi kembali kebijakan-kebijakan agraria yang adil bagi seluruh rakyat.

Diawal masa Pemerintahan SBY, ia justru mengeluarkan kebijakan yang mengagetkan para kalangan akademisi dan pegiat agraria. Kebijakan tersebut adalah Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk

                                                                                                                         

14 Konsorsium Pembaruan Agraria, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria: Menuju

Penegakkan Hak-Hak Rakyat atas Sumber-Sumber Agraria, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Agraria dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998) hlm. 2

(9)

Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Hal tersebut justru menimbulkan protes dari berbagai kalangan. Kepala BPN saat itu, Joyo Winoto yang menjadi sasaran tekanan protes tersebut. Pada akhirnya Joyo Winoto dapat membuat Presiden merevisi Perpres tersebut dengan Perpres No. 65 tahun 2005. Selain itu, Joyo Winoto juga mendorong agenda reformasi agraria yang diutarakan dalam pidato Presiden tanggal 31 Januari 2007.

Peran BPN selama diketuai oleh Joyo Winoto melakukan berbagai kebijakan menyangkut reformasi agraria. Misalnya seperti pengadaan tanah-tanah Negara untuk redistribusi lahan. Tanah-tanah tersebut termasuk tanah Negara (1,1 juta hektar), tanah Hutan Konversi (8,15 juta hektar), dan tanah-tanah terlantar (7 juta hektar).16 Kebijakan tersebut tidak hanya ditentukan oleh peran BPN saja, namun juga terkait dengan pihak lainnya seperti Menteri Kehutanan, Departemen Pertanian, dan Pemerintahan Daerah. Kebijakan lain yang dilakukan BPN adalah melakukan legalisasi aset tanah yang telah dikuasai, dipergunakan dan dimanfaatkan rakyat, namun status hukum tanah tersebut adalah “Tanah Negara”. Legalisasi aset dilakukan melalui beberapa program seperti redistribusi lahan, PRONA (Proyek Nasional Agraria), dan P4T (Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah. Program-program tersebut pada kenyataannya menimbulkan peningkatan yang signifikan dalam program legalisasi aset.

Sekilas tentang Kabupaten Cilacap

Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah, dengan batas wilayah sebelah selatan Samudra Indonesia, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar Propinsi Jawa Barat. Cilacap mempunyai luas wilayah 225.360,840 Ha, yang terbagi menjadi 24 Kecamatan 269 desa dan 15 Kelurahan.

                                                                                                                         

16 Joyo Winoto, Tanah untuk Rakyat: Risalah Reforma Agraria sebagai Agenda Bangsa,

(10)

Cilacap merupakan salah satu daerah sentra industri terbesar di Jawa Tengah. Potensi pengembangan modal merupakan salah satu bentuk pembangunan daerah Kabupaten Cilacap. Setidaknya ada beberapa sektor ekonomi yang menjadi potensi penggerak perekonomian Kabupaten Cilacap, antara lain bidang Perdagangan, Perikanan, Kehutanan dan Perkebunan, serta bidang Energi dan Sumber daya Mineral. Sektor perdagangan Cilacap memberikan peluang investasi bagi masyarakat untuk membuka pusat pertokoan, supermarket, pasar swalayan, pasar pelelangan ikan, dll. Selain itu dengan didukung adanya industri dan perusahaan besar maka akan terbuka kesempatan berinvestasi demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Mata Pencaharian penduduk Kabupaten Cilacap sebagian besar bekerja pada sektor Pertanian. Data BPS Cilacap menunjukkan bahwa sebanyak 33% dari penduduk diatas 10 tahun yang bekerja berasal dari sektor pertanian. Kemudian dari sektor perdagangan sebesar 23%, jasa 16%, industri 12%, transportasi dan komunikasi 3%, keuangan 1%, pertambangan 1%, dan Listrik, air dan gas sebesar 0%.17

Relasi Kekuasaan Negara dan Modal dalam Kebijakan Agraria di Kabupaten Cilacap

Secara historis, lahan yang dimiliki oleh masyarakat petani di Cilacap kebanyakan merupakan tanah trukah.18 Masyarakat mengakui bahwa tanah tersebut merupakan tanah warisan nenek moyang mereka. Di masa Orde Lama tanah-tanah tersebut kemudian diberikan sertifikat tanah yang saat itu disebut sebagai Letter C sebagai bukti atas kepemilikan tanah tersebut. Masalah tanah

trukah ini banyak terdapat di wilayah-wilayah perkebunan baik perkebunan

swasta meupun Negara. Perkebunan-perkebunan ini memang menggunakan banyak tanah warga sekitar untuk kepentingan usaha. Sehingga disekeliling lahan perkebunan tersebut, bibit-bibit konflik mulai muncul, khususnya setelah masa Orde Baru tumbang.

                                                                                                                         

17  Website  resmi  BPS  Kabupaten  Cilacap  

18 Tanah trukah merupakan tanah yang dulunya merupakan hutan lebat, lalu dibuka oleh

masyarakat. Tanah tersebut dilegalkan dengan surat kekancing yang merupakan surat izin masyarakat untuk membuka hutan. Surat ini diberikan oleh residen di masa pemerintahan kolonial.

(11)

Salah satu hal yang menarik dalam politik agraria di Cilacap adalah diselenggarakannya program redistribusi lahan di tahun 2010. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk reformasi agraria pertama pasca Orde Baru yang terjadi di Indonesia. Redistribusi lahan tidak hanya terjadi di Cilacap, tapi juga dilaksanakan di Kabupaten Batang. Lokasi redistribusi lahan berada di Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap. Lima desa yang mendapatkan lahan redistribusi adalah Desa Mekarsari, Desa Sidasari, Desa Kutasari, Desa Caruy, dan Desa Karangreja. Kelima desa tersebut terletak di bagian utara Kecamatan Cipari. Letak desa tersebut diapit oleh dua perusahaan perkebunan yaitu PT Rumpun Sari Antan (RSA) dan PT JA Watie. Lahan tersebut sejatinya merupakan lahan eks-HGU PT RSA yang kemudian diperebutkan oleh warga dengan pihak perkebunan PT RSA.

Luas lahan yang diredistribusi seluas 284,122 Ha dengan rincian, Blok A 87,331 Ha, Blok B 143,256 Ha, dan Blok C 37,360 Ha, dengan jumlah penerima sebanyak 5.141 KK. Jadi masing masing-masing penerima rata-rata mendapatkan lahan seluas 500 m2. Kesepakatan tersebut pada akhirnya dilaksanakan pada

tanggal 14 Januari 2008 antara pihak PT RSA dengan Paguyuban lima Kepala Desa. Adapun butir-butir kesepakatan itu antara lain:

1. Bpk. Oetomo selaku Direktur PT Rumpun bersedia melepas dan menyerahkan hak atas tanah eks-HGU PT RSA.

2. Lima Kepala Desa (atas nama warga masyarakat) bersedia memberi kompensasi sebesar Rp. 1.500,00 per m2 atau senilai 4,2 Milyar dalam waktu 6 bulan.

3. Surat Pelepasan akan diberikan bersamaan dengan pelunasan kompensasi.19

Pemberian sertifikat dilakukan secara simbolis oleh Presiden SBY di Istana Bogor pada 21 Oktober 2010. Media massa memberitakan secara besar-besaran peristiwa tersebut dengan menyebutnya sebagai keberhasilan Pemerintah dalam penyelenggaraan reformasi agraria. Pertanyaan selanjutnya apakah redistribusi lahan yang dilakukan oleh Negara telah benar-benar sesuai dengan reformasi agraria sesuai dengan amanat UUPA 1960?

                                                                                                                         

(12)

Dalam pelaksanaannya penulis melihat ada ketidakberesan yang terjadi. Jika dikaitkan dengan pertanyaan penelitian dari skripsi ini yaitu Bagaimana pola relasi kekuasaan yang terbentuk antara negara dan modal, penulis berkesimpulan bahwa bentuk relasi kekuasaan antara negara dan modal dalam kebijakan agraria di masa reformasi masih terjadi, namun tidak se-vulgar saat masa orde baru. Asumsi tersebut penulis lihat dari beberapa masalah yang terjadi pada pelaksanaan redistribusi lahan. Permasalahan tersebut antara lain:

Pertama, dalam pelaksanaan redistribusi lahan, Pemerintah hanya melakukan secara prosedural. Artinya, redistribusi lahan hanya dianggap sebagai sebuah cara untuk melegalkan tanah dengan melakukan sertifikasi lahan pada lahan eks-HGU perkebunan. Redistribusi lahan tidak diikuti dengan adanya

access reform dimana hal tersebut seharusnya menjadi syarat adanya reformasi

agraria. Sehingga tidak mengubah struktur masyarakat yang ada, petani miskin tetap banyak sementara para tuan tanah yang memiliki uang justru semakin berkuasa.

Kedua, Pelepasan lahan eks-HGU PT RSA kepada 5.141 warga di lima desa dengan uang kompensasi sebesar Rp. 1.500,00 per-m2 pada kenyataannya memberatkan petani-petani kecil yang tidak memiliki modal. Untuk mendapatkan lahan tersebut petani setidaknya harus mengeluarkan uang sejumlah Rp. 750.000,00 dan biaya administrasi sebesar Rp. 100.000,00 untuk mengganti kompensasi kepada pihak perkebunan. Tentunya bagi petani-petani kecil yang tidak memiliki modal, mereka harus berhutang dahulu atau menjual lahan tersebut kepada orang lain yang memiliki uang. Pada kenyataannya yang terjadi adalah banyak petani menjual lahan yang ia dapatkan kepada orang lain yang memiliki modal/uang. Selain itu, banyak penerima lahan yang menjual lahan dikarenakan lokasinya yang jauh dengan tempat tinggalnya.

Ketiga, redistibusi lahan pada kenyataannya membuat terjadinya “pasar tanah” yang menguntungkan para pemiliki modal, khususnya para tuan tanah. Hal yang terjadi di Cipari misalnya, sertifikat-sertifikat lahan yang diterima banyak yang dijual-belikan kepada para pemilik modal. Sehingga menurut Setam, penguasaan dan kepemilikan lahan banyak yang terkonsentrasi pada pemilik

(13)

modal yang berasal dari luar Cipari.20 Keempat, adanya kepentingan pribadi dari birokrasi dalam masalah redistribusi lahan. Birokrasi desa dalam hal ini berperan sebagai panitia pendataan dan pendistribusian lahan. Faktanya, dalam pelaksanaan redistribusi lahan, pendataan serta pendistribusian banyak mengalami masalah.

Kelima, kepentingan politik pencitraan bagi pemerintah khususnya pemerintahan Presiden SBY. Redistribusi lahan merupakan salah satu janji politik kampanye pemerintahan Presiden SBY, khususnya pada tahun 2007 yang dalam pidatonya pemerintah akan meredistribusi 9,25 juta hektar lahan untuk petani miskin. Pada 21 Oktober 2010, diadakan simbolisasi penyerahan sertfikat kepada perwakilan lima desa objek redistribusi lahan di Cipari bertempat di Istana Bogor. Penyerahan ini diliput oleh banyak media Nasional, sehingga mencitrakan bahwa reformasi agraria telah dilaksanakan oleh pemerintah. Ironisnya, reforma agraria tidak terjadi di daerah lainnya.

Keenam, redistribusi lahan hanya dilaksanakan pada Perkebunan swasta, sementara sengketa agraria lainnya di perkebunan Negara belum dapat dilakukan redistribusi. Dalam kasus PTPN IX Kawung dengan warga Desa Bantar, Cilacap misalnya. Permohonan warga agar dilakukan redistribusi lahan belum mendapatkan hasil apapun, dikarenakan dalam perkebunan Negara pelepasan aset Negara khususnya lahan perkebunan harus melalui ijin dari Menteri BUMN. Keenam masalah tersebut setidaknya telah memperkuat argumen penulis bahwa walaupun reforma agraria ala pemerintah telah dilaksanakan, kenyataannya tidak merubah pola relasi kekuasaan yang terjadi antara Negara dan Modal.

Untuk menjelaskan bentuk relasi kekuasaan yang terbentuk antara Negara dan Modal di dalam kebijakan agraria di Cilacap, penulis meminjam istilah dari David Harvey yang mengemukakan istilah accumulation by

dispossession (akumulasi dengan cara perampasan).21 Harvey menampilkan beragam contoh kontemporer dari apa yang disebutnya sebagai ‘The cutting edge of accumulation by dispossession’: Aset-aset yang dipegang oleh negara atau dikelola secara bersama oleh penduduk dilepaskan

                                                                                                                         

20 Wawancara dengan Sugeng, Ketua Setam

(14)

melalui pelepasan hak secara paksa atau sukarela ke pasar, ketika modal-modal yang berlebihan itu sanggup berinvestasi, memperbaharui dan berspekulasi dengan menggunakan aset-aset tersebut. Menurutnya, melalui accumulation by

disposession sesungguhnya adalah melepaskan serangkaian aset (termasuk tenaga

kerja) dengan biaya yang sangat rendah (dan dalam banyak hal sungguh tanpa biaya). Modal yang telah terakumulasi secara berlebihan dapat dipakai untuk merampas rangkaian aset tersebut dan segera memasukkannya ke dalam suatu usaha baru pelipatgandaan keuntungan. Jika dikaitkan dengan kebijakan redistribusi lahan di Cilacap, maka tesis Harvey mengenai akumulasi perampasan dapat dimasukkan dalam bentuk relasi kekuasaan Negara dan Modal dengan cara perampasan.

Perampasan tidak dilakukan secara represif, namun dilakukan melalui bentuk mekanisme pasar. Pelepasan aset dengan cara melakukan legalisasi lahan merupakan salah satu cara untuk merampas tanah-tanah milik rakyat. Dikeluarkannya sertifikat lahan kemudian mempermudah kalangan modal untuk menguasai lahan tersebut. Hal tersebut ditunjukkan dengan terjadinya “pasar tanah” pasca dilakukannya redistribusi lahan di Kecamatan Cipari. Adanya sertifikat tersebut penguasaan lahan akan lebih mudah dengan menggunakan kekuatan modal. Apalagi dalam reforma agraria ala Pemerintah, tidak dilakukan

access reform sebagai kelanjutan dari asset reform dalam melakukan reforma

agraria. Jika hal ini dilakukan secara terus menerus, bukan tidak mungkin para pemilik modal dapat secara legal menguasai lahan-lahan dari petani.

Penulis tidak selamanya pesimistis akan terjadinya relasi kekuasaan yang kuat antara Negara dan Modal dalam politik agraria. Adanya kekuatan lain yang mempengaruhi relasi tersebut mulai muncul secara massif. Kelompok tani lokal dan juga Organisasi tani Seperti SETAM (Serikat Tani Merdeka) misalnya, mulai menguat semenjak runtuhnya Orde Baru hingga saat ini. Adanya organisasi yang menghimpun suara tani diharapkan dapat memberikan tekanan kepada Pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang pro kepada petani. Selain itu peran elit politik lokal yang masuk ke dalam lembaga legislatif juga sangat berperan besar. Seperti Budiman Sudjatmiko misalnya, yang berangkat sebagai anggota DPR RI dari

(15)

Dapil Kabupaten Banyumas dan Cilacap kemudian memperjuangkan hak-hak petani di tingkat Nasional. Perjuangan tersebut memberikan beberapa kemajuan seperti mulai dibahasnya RUU Pertanahan, Panja Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan, dan RUU Desa. Namun selama tidak adanya political will Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan, maka kebijakan-kebijakan tersebut sulit untuk dijalankan.

Relasi Kekuasaan antara Negara dan Modal dalam Konflik Agraria di Cilacap

Di Cilacap sendiri, konflik agraria umumnya terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Menurut Sugeng, Ketua Dewan Pembina Serikat Tani Merdeka (SETAM) Cilacap, terdapat setidaknya 15 titik konflik yang saat ini sedang terjadi di Cilacap. Konflik ini telah terjadi sejak tahun 2000an, SETAM sendiri dibentuk di tahun 2000 dengan tujuan untuk mengorganisir gerakan petani dalam menghadapi konflik sekaligus memberikan advokasi bagi korban yang terlibat konflik.

Dalam konflik agraria di Cilacap, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik adalah masyarakat petani dengan PTPN IX (PT Perkebunan Nusantara), PERHUTANI, dan Perusahaan swasta (PT. Dja Wati dan PT RSA). Konflik-konflik tersebut tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap. Dari temuan-temuan yang penulis dapatkan di lapangan, pola konflik yang ada relatif sama. Petani menuntut lahan garapan yang selama ini menjadi mata pencaharian mereka untuk dikembalikan secara penuh kepada petani. Selama ini para petani hanya menggarap lahan yang dimiliki oleh perkebunan maupun PERHUTANI, dan juga mereka membayar sewa atas lahan tersebut. Petani mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan tanah nenek moyang mereka yang secara turun temurun diwarisi oleh generasi mereka sebelum perkebunan masuk.

Untuk melihat relasi kekuasaan antara Negara dan modal dalam konflik agraria, penulis akan memetakan siapa saja pihak yang dimaksudkan dalam term Negara. Pertama, yaitu Badan Pertanahan Negara sebagai pemegang kuasa atas pendaftaran dan pemberian sertifikat tanah. Kewenangan BPN sangat besar

(16)

khususnya dalam pemberian keabsahan tanah pada salah satu pihak dengan memberikan sertifikat tanah dan Hak Guna Usaha bagi perusahaan. Dalam era reformasi ini kedudukan BPN sebagai satu-satunya lembaga negara yang diberikan wewenang untuk mengatur pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia. Kedua, yaitu Pemerintah Daerah khususnya Pemda Kabupaten Cilacap. Peran Pemda sendiri dalam penyelesaian konflik agraria adalah sebagai pihak ketiga yang lebih bersifat sebagai mediator. Untuk mengurus Persoalan agraria di Cilacap, Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap membentuk Dinas Keagrariaan (Bagian Pertanahan) pada tahun 2004. Pembentukan Dinas Agraria dalam Pemerintah Kabupaten Cilacap merupakan bentuk dari semakin maraknya konflik agraria yang terjadi di berbagai tempat.

Ketiga, Lembaga perwakilan rakyat DPR RI dan DPRD Kabupaten Cilacap. Sebagai wakil rakyat, tentunya anggota DPRD maupun DPR RI menghimpun aspirasi rakyat untuk kemudian disampaikan melalui sebuah kebijakan. Terkait masalah konflik agraria di Cilacap, anggota DPR maupun DPRD juga turut banyak terlibat dalam kasus tersebut, khususnya dalam upaya penyelesaian sengketa. Bentuk keterlibatan DPRD adalah melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah konflik, seperti yang pernah dilakukan oleh Komisi A (Pemerintahan dan Hukum) DPRD Kabupaten Cilacap di Kecamatan Wanareja. Peran DPRD dalam hal tersebut hanya sebatas sebagai fasilitator antara pihak-pihak yang bersengketa, sama halnya seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap.

Lain halnya seperti yang dilakukan oleh salah satu Anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yaitu Budiman Sudjatmiko, Ia sangat concern pada masalah agraria khususnya di Dapil Budiman sendiri yaitu Jateng VIII yang meliputi Banyumas dan Cilacap. Budiman sangat pro-aktif terhadap permasalahan agraria, hal tersebut ditunjukkan dengan dibentuknya Rumah Aspirasi Budiman (RAB). RAB dibentuk bertujuan untuk mengadvokasi petani-petani yang terlibat dalam konflik agraria. Selain itu, RAB juga mengorganisir gerakan-gerakan petani seperti misalnya Setam (Serikat Tani Merdeka), OTL (Organisasi Tani Lokal), dll.

(17)

Dari informasi yang penulis dapatkan, untuk melihat bagaimana peran Negara dalam konflik agraria di Cilacap di masa Reformasi, penulis membagi hal tersebut ke dalam tiga periode:

1. Periode Pertama, tahun 1998-2003. 2. Periode Kedua, tahun 2004-2009 3. Periode Ketiga, tahun 2010-sekarang

Periode pertama adalah fase dimana Negara belum terkonsolidasi dengan baik, karena perubahan struktur pemerintahan dari Otoritarian menuju Demokrasi. Periode ini juga memperlihatkan bagaimana mulai munculnya konflik-konflik agraria dengan ekskalasi konflik yang semakin besar. Sementara Negara belum mampu untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pihak-pihak yang berkonflik. Pada periode Kedua, Negara telah mulai terkonsolidasi dengan baik. Fase ini ditandai dengan menguatnya peran Negara yang dominan khususnya dalam permasalahan sengketa agraria. Negara yang seharusnya menjadi penengah dalam konflik, seakan-akan tidak berpihak kepada Petani justru melakukan tindakan-tindakan yang represif kepada Petani. Pada Periode Ketiga, kontrol Negara atas konflik agraria mulai mengendur. Momentum ini dimulai pada Tanggal 15 Oktober 2010 dimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan program strategis pertanahan yang digagas oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Berikat Nusantara, Cilincing, Jakarta Utara. Di hadapan ribuan peserta yang hadir, SBY menyampaikan beberapa poin penting diantaranya adalah untuk segera menyelesaikan konflik-konflik agaria, memanfaatkan tanah-tanah terlantar dan melaksanakan Reforma Agaria.

Tiga periode tersebut menunjukkan terjadinya perubahan dinamika konflik di Cilacap. Kriminalisasi yang dilakukan pihak perkebunan dan tindakan represif dari aparat keamanan memang jauh berkurang dibandingkan dengan di masa Orde Baru dan masa awal reformasi. Menurut Jarot Setyoko, saat ini aparat Negara tidak berani untuk mengkriminalisasi petani karena mereka menyadari bahwa lahan tersebut merupakan lahan sengketa. Mereka takut untuk mencampuri urusan sengketa agraria yang terjadi antara Petani dengan Perkebunan. Selain itu, tindakan aparat yang cenderung tidak mencampuri urusan tersebut juga bertujuan untuk menghindari gejolak sosial yang ada di masyarakat.

(18)

Dalam mengatasi konflik agraria pemerintah daerah Kabupaten Cilacap membuat departemen khusus penyelesaian sengketa agraria. Departemen ini bertugas khusus menjadi mediator konflik antara petani dengan perusahaan dengan tujuan agar konflik tersebut terselesaikan. Perlu dikritisi keefektifan departemen tersebut dalam penyelesaian sengketa agraria. Sejak dibentuknya departemen tersebut di tahun 2004, hanya satu dari 15 titik konflik yang terselesaikan yaitu di daerah Cipari dengan dilakukannya redistribusi lahan. Penulis juga melihat departemen ini tidak signifikan dalam penyelesaian sengketa agraria karena hanya sebagai penengah bukan pemegang keputusan. Sementara BPN juga memiliki deputi khusus penyelesaian sengketa agraria, sehingga menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antara Pemda dengan BPN. Kesimpulan

Melihat hasil penelitian ini, penulis sekali lagi menganggap bahwa relasi kekuasaan Negara dan Modal dalam politik agraria di Indonesia di masa reformasi masih kuat walaupun melalui strategi yang seolah-olah berpihak pada rakyat. Seperti kebijakan redistribusi lahan yang dianggap sebagai kebijakan yang berpihak pada petani, justru membuat semakin maraknya “pasar tanah” yang menguntungkan para pemilik modal untuk menguasai tanah. Bentuk relasi kekuasaan yang terjadi adalah accumulation by dispossession (akumulasi dengan cara perampasan), bahwa kebijakan redistribusi lahan di Kecamatan Cipari merupakan salah satu bentuk perampasan dengan strategi baru yaitu melakukan legalisasi aset. Hal inilah yang kemudian memudahkan untuk terciptanya “pasar tanah” yang kemudian menguntungkan pemilik modal.

Selain itu, peran dari aktor yang terlibat dalam politik agaria seperti BPN, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, Anggota DPR, Pengusaha, masyarakat Petani, dan LSM memiliki pengaruh penting dalam kaitannya dengan dinamika hubungan Negara dan Modal. Pemerintah dalam hal ini BPN sebagai aktor yang mempunyai wewenang dalam pelaksanaan kebijakan masih cenderung tebang pilih dalam melaksanakan kebijakan reformasi agraria. Terbukti banyaknya penyimpangan yang terjadi saat pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Pemerintah Daerah berperan hanya

(19)

sebatas menjadi penengah konflik dan perantara atau fasilitator antara pihak yang berkonflik yaitu Petani dan Modal, terbukti dengan terbentuknya Dinas Agraria di Kabupaten Cilacap. Sementara lembaga legislatif baik DPRD maupun DPR-RI sebagai penyalur aspirasi masyarakat petani yang selama ini terdiskriminasi.

Peneliti pesimis melihat kenyataan bahwa relasi kekuasaan antara negara dan modal akan berubah menjadi Negara yang berpihak kepada petani. Namun, peneliti melihat harapan itu tetap ada selama masih adanya tekanan dari masyarakat petani yang kuat dan peran elit politik lokal yang ada di dalam ranah legislatif. Kondisi inilah yang akan membuat perjuangan agraria tidak serta merta hanya dilakukan pada level bawah (grassroot) saja, tapi juga dalam ranah legislatif Nasional yang menjadi pembuat kebijakan. Perjuangan dalam ranah kebijakan inilah yang diharapkan dapat mengubah politik agraria di Indonesia menjadi lebih adil dan mensejahterakan petani lewat kebijakan-kebijakan yang pro kepada petani. Selain itu diperlukan juga political will dari pemerintah pusat maupun daerah sebagai pelaksana kebijakan, karena jika tidak ada komitmen yang kuat maka kebijakan tersebut akan sia-sia belaka.

(20)

Daftar Pustaka

Block, Fred. Review of Bob Jessop, State Theory: Putting the Capitalist State in

its Place. Contemporary Sociology, Vol. 20, No. 6. Nov. 1991.

Budiman, Arief. Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka. 1996.

Creswell, John W. Reseach Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: SAGE Publications. 1994.

Harvey, David. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press. 2003. Konsorsium Pembaruan Agraria, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria:

Menuju Penegakkan Hak-Hak Rakyat atas Sumber-Sumber Agraria. Jakarta:

Konsorsium Reformasi Hukum Agraria dan Konsorsium Pembaruan Agraria. 1998.

Miliband, Ralph. The State in Capitalist Society. New York: Basic Books Inc. 1969.

Poulantzas, Nicos. The Capitalist State: A Reply to Miliband and Laclau. New Left Review 95. 1976.

Rachman, Noer Fauzi. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik

Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.

Robison, Richard. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen and Unwin. 1986.

_______, Richard. Politics and Market in Indonesia’s: Post-oil Era dalam G. Rodan, K. Hewison dan R. Robison, (eds) The Political Economy of

Southeast Asia: An Introduction. Melbourne: Oxford University Press.

1997.

Soetiknjo, Iman. Politik Agraria dan Pembangunan Negara. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Politik Agraria pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Yogyakarta, 19 Juni 1974

Winoto, Joyo. Tanah untuk Rakyat: Risalah Reforma Agraria sebagai Agenda

Bangsa. Unpublished Manuscript. 2008.

(21)

http://nasional.kompas.com/read/2012/04/26/0630461/Dua.Percent.Penduduk.Ind onesia.Kuasai.56.Percent.Aset.Nasional diakses pada 15 Desember 2013 pukul 20.16

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/11/01/128723/Kasus-Cilacap-Landreform-Terbesar-Era diakses pada 7 Januari 2014 pukul 11.41 Website resmi BPS Kabupaten Cilacap

Sumber Laporan:

Rangkuman Kronologis Permasalahan Lahan eks-HGU PT RSA. Sumber Wawancara:

(22)

Referensi

Dokumen terkait

kumpulan fungsi dengan kumpulan fungsi yang lain, juga dengan aktiviti, sub-aktiviti dan transaksi dalam organisasi..  Susunan mengikut hirarki tertentu

Mandat didalam Pasal 43 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa negara-negara pantai yang memiliki kedaulatan dan hak berdaulat memiliki tanggung jawab utama dalam

Perilaku Wanita Usia Subur dalam Pencegahan Kanker Serviks di Desa Ngunut Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan.. Oleh :

18/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Pdg, Nomor 20/Pid.Sus-TPK/2014/PN.Pdg, Nomor 5/Pid.Sus/2014/PN.Pdg, ditemukan aturan tentang uang pengganti yaitu berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf

Pada Areal rencana rehabilitasi memiliki lokasi yang dekat dengan pantai Pangandaran, sehingga banyak jenis mangrove minor, dan mangrove asosiasi yang dapat

Penulis mengasumsikan bahwa zona dengan vegetasi mangrove berumur satu tahun memiliki nilai kepadatan Uca yang tergolong tinggi dan daerah replantasi mangrove

Doktrin atau prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati – hati dalam meproduksi dan menyalurkan produk, baik barang dan/atau jasa.

… gambaran dan uraian situasi bentuk; bagaimana cara memakainya; kapan dan dalam kesempatan apa alat tersebut dimainkan; siapa saja yang boleh memainkannya;