• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Spesies Trips (Thysanoptera) pada Tanaman Paprika (Capsicum annuum var. grossum) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Identifikasi Spesies Trips (Thysanoptera) pada Tanaman Paprika (Capsicum annuum var. grossum) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Identifikasi Spesies Trips (Thysanoptera) pada Tanaman

Paprika (Capsicum annuum var. grossum)

di Kabupaten Bandung, Jawa Barat

Prabaningrum, L.1) dan Y.R. Suhardjono2)

1) Balai Penelitian Tanaman Sayuran Jl. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang, Bandung 40391 2) Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor

Naskah diterima tanggal 15 Juni 2006 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 31 Januari 2007 ABSTRAK. Pada tanaman cabai dan paprika ditemukan beberapa spesies trips. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi untuk menetapkan spesies yang dominan. Penelitian untuk mengidentifikasi spesies trips pada tanaman paprika (Capsicum annuum var. grossum) ini telah dilaksanakan dari bulan Februari sampai Juli 2003 di Laboratorium Entomologi Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor dan di Laboratorium Hama, Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. Spesimen trips diambil dari pertanaman paprika di 6 desa di 3 kecamatan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dari hasil pengamatan terhadap sifat morfologi imago trips dengan cara memeriksa preparat awetannya, disimpulkan bahwa spesies trips yang menyerang tanaman paprika tersebut adalah Thrips parvispinus Karny. Hasil ini merupakan langkah awal untuk mengetahui bioekologinya.

Katakunci: Capsicum annuum; Identifikasi; Trips.

ABSTRACT. Prabaningrum, L. and Y.R. Suhardjono. 2007. Species Identification of Thrips (Thysanoptera) on Sweet Pepper (Capsicum annuum var. grossum) in Bandung District, West Java Province. There are several species of thrips on hot pepper and sweet pepper. Therefore it is important to identify these species to determine the predominant one. A study to identify thrips species on sweet pepper was carried out from February to July 2003 at Entomology Laboratory of the Research Center of Biology at Cibinong, Bogor and at Entomology Laboratory of the Indonesian Vegetable Research Institute at Lembang, West Java. Thrips specimens were taken from sweet pepper field at 6 villages in 3 subdistricts of Bandung District, West Java. Based on the morphological characters of imago, thrips species on sweet pepper was Thrips parvispinus Karny. This information was useful to determine its bioecology. Keywords: Capsicum annuum; Identification; Thrips.

Menurut hasil survei Prabaningrum et al. (2002) Kabupaten Bandung merupakan sentra produksi paprika di Jawa Barat. Hama utama tanaman paprika di daerah tersebut adalah trips. Sampai saat ini, titik berat pengendalian yang dilakukan oleh petani terhadap hama tersebut adalah menggunakan insektisida. Meskipun demikian, ternyata sebagian besar petani menyatakan bahwa hasil penyemprotan tidak memuaskan, karena kehilangan hasil masih tinggi, yaitu mencapai 46%. Sebagai tindak lanjutnya, mereka mengganti jenis pestisida dan meningkatkan konsentrasinya bahkan juga melakukan pencampuran insektisida.

Menurut Raros (1980), nama suatu serangga adalah salah satu kunci untuk membuka tabir informasi berbagai hal mengenai biologi serangga tersebut, seperti bagaimana dan di mana hidup, makanan, inang, musuh alami, distribusi, dan sebagainya. Berdasarkan informasi tersebut akan

dapat dirancang metode pengendalian yang tepat. Selanjutnya dinyatakan bahwa menurut para ahli entomologi, identifikasi yang tepat dari suatu jenis hama diperlukan agar rekomendasi pengendalian hama tersebut dapat ditentukan secara tepat, terutama jika hendak melakukan pengendalian dengan musuh alami.

Menurut Sastrosiswojo (1991), dalam pustaka Indonesia lama disebutkan bahwa trips yang menyerang tanaman cabai adalah Thrips tabaci, tetapi berdasarkan hasil identifikasi di Netherland nomenklatur tersebut diperbarui menjadi Thrips

parvispinus Karny. Vos et al. (1991) menyatakan

bahwa dari hasil survei Vierbergen tentang hama-hama tanaman cabai di Jawa pada tahun 1988 ditemukan 2 spesies trips yaitu T. parvispinus dan Haplothrips gowdeyi Franklin. Spesies T.

parvispinus adalah yang ditemukan paling dominan.

Trips lain yang ditemukan menyerang cabai adalah

(2)

ketiganya sulit dibedakan dari T. parvispinus. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa di Taiwan ada 11 spesies trips yang menyerang tanaman cabai (Talekar 1991). Bansinddhi dan Poonchaisri (1995) juga telah melaporkan bahwa tanaman cabai dan paprika di Thailand diserang oleh Scirtothrips

dorsalis Hood. dan T. parvispinus. Selain itu, Wang

(1989) melaporkan bahwa di Taiwan ditemukan T.

palmi yang menyerang tanaman paprika. Di Filipina,

Palacio (dalam Bernardo 1991) menemukan T.

palmi (sebelumnya pernah diidentifikasi sebagai T. tabaci) menyerang paprika.

Dari beberapa pustaka tersebut dapat diketa-hui bahwa ada beberapa spesies trips yang meru-pakan hama pada tanaman paprika. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi spesies trips yang menyerang tanaman paprika di Indonesia, sebagai langkah awal mengetahui bioekologinya.

BAHAN DAN METODE

Tempat pengambilan contoh spesimen trips untuk identifikasi spesies tersebar di 6 desa (Jambudipa, Pasirlangu, Cihanjuang, Cigugur Girang, Kayuambon, dan Langensari), di 3 kecamatan (Cisarua, Parongpong, dan Lembang), di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dengan ketinggian tempat sekitar 1.100 m dpl, suhu harian rerata berkisar antara 19-24oC. Serangga trips diambil dari rumah kasa pada bulan Januari 2003. Kegiatan identifikasi dilaksanakan dari bulan Februari sampai Juli 2003, di Laboratorium Entomologi Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong, Kabupaten Bogor dan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. Bahan-bahan yang digunakan adalah serangga trips, larutan AGA, larutan Berlese, asam laktat, dan lilin. Alat-alat yang diperlukan adalah gelas preparat, gelas arloji, gelas penutup, jarum serangga, kuas halus, aspirator, oven, mikroskop binokuler, dan kamera.

Dari tiap lokasi dikumpulkan imago trips dari 100 tanaman menggunakan aspirator dan kuas halus, kemudian diawetkan dalam larutan AGA (10 bagian volume alkohol 60% : 1 bagian volume gliserin:1 bagian volume asam asetat).

Semua spesimen trips yang diperoleh dari tiap lokasi diamati di bawah mikroskop binokuler untuk menetapkan komposisinya berdasarkan ukuran tubuh dan warnanya.

Cara pembuatan preparat awetan yang dilakukan merupakan modifikasi pembuatan preparat awetan untuk Collembola (Suhardjono 1992) dengan tahapan sebagai berikut.

1. Imago trips hasil koleksi direndam dalam larutan asam laktat 60% selama 24 jam untuk menghilangkan pigmen dan isi tubuhnya agar spesimen jadi jernih.

2. Imago trips dan larutan asam laktat dipindahkan ke dalam gelas arloji, kemudian dipanaskan di atas api lilin selama lebih kurang 1 menit untuk mempercepat proses penjernihan.

3. Di tengah-tengah gelas preparat diteteskan larutan Berlese, kemudian seekor spesimen trips diletakkan di atasnya. Komposisi larutan Berlese disajikan pada Tabel 1.

4. Sayap, tungkai, dan antena trips diatur letaknya menggunakan jarum serangga. 5. Gelas penutup diletakkan dengan hati-hati di

atas spesimen.

6. Untuk mengeringkan larutan Berlese, preparat awetan tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60°C selama 1 minggu.

Identifikasi dilakukan dengan memeriksa pre-parat awetan imago untuk melihat sifat morfolo-ginya. Kunci identifikasi yang digunakan adalah

thrips ID, Pest Thrips of the World, An Introduc-tion to the IdentificaIntroduc-tion and ClassificaIntroduc-tion of Pest Thrips of the World (Moritz et al. 2001).

Tabel 1. Komposisi larutan Berlese (Composition

of Berlese solution)

Sumber: Suhardjono (1992)

Nama bahan

(Components) (Amount)Jumlah

Air distilasi (Distilled water) 20 m

Lem arab (Gum Arabic) 15 g

Kloralhidrat (Chloralhydrate) 50 g

Gliserin (Glyserine) 5 ml

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Individu trips yang dikumpulkan dari 3 kecamatan di Kabupaten Bandung bervariasi baik ukuran maupun warna tubuhnya. Spesimen tersebut dapat dipisahkan menjadi 4 kelompok, yaitu panjang coklat, panjang coklat tua, medium coklat tua, pendek coklat tua, dengan komposisi seperti yang tertera dalam Tabel 2. Diketahui bahwa kelompok individu trips yang berukuran panjang dan berwarna coklat tua adalah yang lebih dominan.

Hasil identifikasi terhadap spesimen trips menunjukkan bahwa keempat kelompok terse-but di atas memiliki karakter morfologi sebagai berikut.

1. Warna tubuh coklat sampai coklat tua; 2. Bentuk kepala tidak memanjang pada bagian

depan mata majemuk;

3. Antena terdiri atas 7 ruas, ruas II dan III antena hampir simetri, organ sensori pada ruas II dan III antena berbentuk garpu; 4. Tidak memiliki seta oseli I, seta oseli II lebih

pendek dibandingkan dengan seta oseli III, seta oseli III muncul pada pinggir bagian depan segitiga oseli;

5. Pada pronotum terdapat 2 pasang seta pos-teroangular yang panjang dan 3 pasang seta posteromarjinal;

6. Pada metanotum tidak terdapat sensila kampaniform, mesofurka dengan spinula;

7. Pada tergit VIII tidak terdapat comb (sisir mikrotrikhia);

8. Memiliki sayap, panjangnya lebih dari setengah panjang abdomen;

9. Warna sayap gelap atau berbayang, tetapi pangkalnya pucat;

10. Pada vena pertama dan kedua sayap depan terdapat sederet seta yang lengkap;

11. Pada bagian pinggir tergit V sampai VIII terdapat ctenidia dan pada tergit VIII ctenidia terletak di belakang spirakulum.

Berdasarkan karakter-karakter morfologi tersebut di atas dan berdasarkan pencocokan dengan karakter yang tertulis dalam kunci determinasi diperoleh kesimpulan bahwa keempat kelompok trips tersebut adalah T. parvispinus Karny. Dengan demikian hanya diperoleh 1 spesies trips. Moritz et al. (2001) menyatakan bahwa nama asli T. parvispinus adalah Isoneurothrips jenseni Karny 1925, dengan sinonimnya Isoneurothrips

pallipes Moulton 1928 dan Isoneurothrips taiwanus Takahashi 1936. Thrips parvispinus

dilaporkan berperan sebagai hama beberapa tanaman di negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Daerah sebarannya sangat luas mulai dari Thailand, Malaysia sampai ke Papua Nugini dan Australia bagian Utara, serta mulai ditemukan pula di Yunani. Selanjutnya dilaporkan pula oleh Mound dan Collins (2000) bahwa T. parvispinus adalah spesies yang sama dengan T. taiwanus, dan posisinya belum lama ini dibingungkan oleh Tabel 2. Komposisi spesimen trips di Provinsi Jawa Barat (Composition of thrips specimens in West Java

Province)

Asal spesimen

(Origin of specimen) Jumlah dan persentase imago T. parvispinus berdasarkan ukuran dan warna (Number and percentage of T. parvispinus based on size and color ...) Kecamatan

(Subdistrict) (Village)Desa

Panjang, coklat (Long, brown) Panjang, coklat tua (Long, dark brown) Medium, coklat tua (Medium, dark brown) Pendek, coklat tua (Short, dark brown) Cisarua Jambudipa 10 (9,52%) 80 (76,19%) 11 (10,48%) 4 (3,81%) Pasirlangu 0 (0,00%) 58 (82,86%) 2 (2,85%) 10 (14,29%) Parongpong Cihanjuang 19 (8,37%) 196 (86,35%) 12 (5,29%) 0 (0,00%) Cigugur Girang 11 (13,41%) 68 (82,93%) 3 (3,66%) 0 (0,00%) Lembang Kayuambon 11 (7,64%) 111 (77,08%) 15 (10,42%) 7 (4,86%) Langensari 21 (32,81%) 27 (42,19%) 7 (10,94%) 9 (14,06%)

(4)

spesies Pasific T. compessicornis Sakimura. Spesies yang hubungannya paling mendekati

T. parvispinus adalah T. orientalis, tetapi spesies

yang terakhir ini sayap depannya berbayang secara merata, tidak pucat pada pangkalnya.

Semua spesimen yang diidentifikasi memiliki ovipositor. Hal ini menunjukkan bahwa trips yang didapatkan adalah trips betina saja. Dalam Lewis (1973) dinyatakan bahwa ada beberapa pendapat mengenai nisbah kelamin trips dalam suatu populasi. Morison (1957 dalam Lewis 1973) menyatakan bahwa nisbah kelamin trips bergantung pada suhu lingkungan. Populasi trips jantan akan sulit ditemukan pada daerah bersuhu

lebih tinggi dibandingkan dengan di lapangan. O’Neill (1960 dalam Lewis 1973) mengatakan bahwa dengan tipe perkembangbiakan secara partenogenesis, keturunan yang berkelamin jantan jarang dihasilkan. Lewis (1961 dalam Lewis 1973) menyatakan bahwa umur trips jantan lebih pendek daripada umur trips betina sehingga trips jantan jarang ditemukan dalam suatu populasi. Nisbah kelamin juga dipengaruhi oleh garis lintang. Di Skotlandia (57o LU), trips jantan dan betina Taeniothrips vulgatissimus memiliki nisbah yang seimbang, tetapi di Inggris bagian Utara trips jantan semakin jarang. Bahkan di Inggris bagian Selatan (52o LU) tidak ditemukan trips jantan. Biasanya, Aptinothrips rufus jantan Gambar 1. Ciri-ciri morfologi T. parvispinus (Morphological characteristics of T. parvispinus)

Antena (Antenna)

7 ruas (segments)

• Organ sensori pada ruas III dan IV berbentuk garpu (Sensory organs on 3rd and 4th segments

of fork shape)

Kepala (Head)

• Pasangan seta oseli III kecil, muncul dari pinggir bagian depan segitiga oseli (Ocel-lar setae III are short, hatch from the front edge of ocellar triangle)

Pronotum

• Terdapat 2 pasang seta postero-angular yang panjang dan 3 pasang seta posteromarjinal (3 pairs of posteroangular setae and 3 pairs of posteromarginal setae)

Metanotum

• Tidak ada sensila kampani-form (Sensila campanikampani-form is absence)

Tergit (Tergite) VIII

Sisir tidak ada (Comb is ab-sence)

Sayap depan (Fore wing)

• Vena pertama dan vena kedua dengan sederet seta yang leng-kap (Complete setae at first and second vena)

0,1 mm 0,01 mm

Seta oseli III (Occellar setae III)

Seta posteroangular (Posteroangular setae) Seta posteromarjinal (Posteromarjinal setae) Spinakulum Ctenidia

Vena pertama (First vena)

(5)

(45o LU), 1 ekor jantan berbanding dengan 3.000 ekor betina.

Variasi ukuran (morfometrik) dan warna tubuh sering terjadi pada serangga dari Ordo Thysanop-tera sehingga perlu selalu dievaluasi kembali pada kurun waktu tertentu. Pada penelitian ini, ukuran tubuh imago betina T. parvispinus disajikan dalam Tabel 3. Terlihat bahwa selisih panjang rentang sayap, panjang antena, lebar kepala, lebar proto-raks, lebar metatoproto-raks, dan lebar abdomen antara imago yang berukuran panjang dengan yang pendek tidak lebih dari 0,09 mm. Selisih panjang tubuh imago yang berukuran panjang dengan yang berukuran pendek mencapai 0,36 mm. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan ukuran ang-gota tubuh yang nyata hanya panjang tubuh, atau tepatnya panjang abdomen. Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran tubuh adalah keturunan, kualitas dan kuantitas makanan, serta suhu ling-kungan. Terry (1995) melaporkan bahwa T. tabaci yang berkembang di musim panas pada umumnya ukuran tubuhnya lebih kecil dan warnanya pucat dibandingkan dengan individu yang berkembang

di musim dingin yang bersuhu rendah. Bryan dan Smith (1956) dan Kirk (1984) melaporkan adanya beberapa variasi warna tubuh pada F. occidentalis di California dan T. imaginis di Australia, yaitu dari warna pucat sampai gelap.

Menurut Murai dan Toda (2002), gejala ter-jadinya variasi ukuran dan warna tubuh T. tabaci juga dijumpai di Jepang akibat pengaruh suhu lingkungan. Suhu yang terjadi pada saat proses perkembangan stadium nimfa akan mempenga-ruhi ukuran tubuh imago. Suhu rendah (15oC) menghasilkan imago yang tubuhnya berukuran lebih panjang, sebaliknya jika suhu tinggi (25oC) akan menyebabkan imago berukuran pendek. Suhu pada perkembangan pupa mempengaruhi warna tubuh imago. Suhu rendah (15oC) meng-hasilkan imago yang berwarna gelap, sebaliknya suhu tinggi (25oC) menghasilkan imago berwarna lebih terang atau pucat. Fenomena tersebut di atas dapat digunakan untuk menerangkan ter-jadinya variasi parameter seperti yang tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Ukuran tubuh imago T. parvispinus (Body size of imago of T. parvispinus)

Rerata dari hasil pengukuran 10 ekor imago (Average from measurement of 10 adults)

Ukuran tubuh

(Body size) Peubah yang diukur (Parameters) Ukuran (Size) mm Panjang (Long) Panjang tubuh (Length of body) 1,35 ± 0,01

coklat tua (Dark brown) Panjang rentang sayap (Span of wings) 1,64 ± 0,05

Panjang antenna (Length of antenna) 0,27 ± 0,02

Lebar kepala (Width of head) 0,14 ± 0,01

Lebar protoraks (Width of prothorax) 0,19 ± 0,02

Lebar metatoraks (Width of metathorax) 0,27 ± 0,02

Lebar abdomen (Width of abdomen) 0,31 ± 0,01

Sedang (Medium), Panjang tubuh (Length of body) 1,23 ± 0,03

coklat tua (Dark brown) Panjang rentang sayap (Span of wings) 1,56 ± 0,06

Panjang antenna (Length of antenna) 0,27 ± 0,04

Lebar kepala (Width of head) 0,14 ± 0,01

Lebar protoraks (Width of prothorax) 0,20 ± 0,01

Lebar metatoraks (Width of metathorax) 0,28 ± 0,02

Lebar abdomen (Width of abdomen) 0,32 ± 0,03

Pendek (Short), Panjang tubuh (Length of body) 0,99 ± 0,05

coklat tua (Dark brown) Panjang rentang sayap (Span of wings) 1,55 ± 0,06

Panjang antenna (Length of antenna) 0,27 ± 0,02

Lebar kepala (Width of head) 0,13 ± 0,01

Lebar protoraks (Width of prothorax) 0,19 ± 0,01

Lebar metatoraks (Width of metathorax) 0,27 ± 0,01

(6)

Diketahui bahwa kelompok individu T.

par-vispinus yang dominan adalah berukuran tubuh

lebih panjang dan berwarna coklat tua. Berarti pada perkembangan nimfa dan pupa, suhu ling-kungan di sekitarnya cenderung rendah. Hal ini dapat dipahami karena lokasi pertanaman paprika di Kabupaten Bandung terletak di dataran tinggi (>1200 m dpl), yang bersuhu harian berkisar an-tara 11,4 - 26oC, dengan rerata sekitar 20oC (data dihimpun dari Stasiun Klimatologi di Lembang sepanjang tahun 2003).

Para ahli taksonomi serangga menyadari bahwa proses terjadinya fenomena variasi ukuran dan warna tubuh trips sampai saat ini belum terungkap. Mereka mulai mengembangkan teknik yang lebih canggih dan akurat, yaitu secara biokimia dan genetika (Gillings et al. 1996).

KESIMPULAN

1. Thrips yang ditemukan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada bulan Januari 2003 hanyasatu spesies, Thrips parvispinus Karny.

2. Berdasarkan ukuran tubuhnya, T.

parvispi-nus dapat dipisahkan menjadi 3 kelompok,

yaitu yang berukuran panjang, sedang, dan pendek.

4. Individu T. parvispinus yang eksistensinya paling dominan adalah yang berukuran pan-jang dan berwarna coklat tua.

PUSTAKA

1. Bansiddhi, K. and S. Poonchaisri. 1995. Thrips of Vegetables in Thailand. In B.L. Parker, M. Skinner and T. Lewis (ed.). Thrips Biology and Management: Pro-ceeding of a NATO Advance Research Workshop: The 1993 International Conference Thysanoptera : Towards Understanding Thrips Management. Burlinton, Vermont. Sep. 28-30, 1993, NATO ASI Series. Vol. 276. Plenum Press, New York and London. p. 109.

2. Bernardo, E.N. 1991. Thrips on Vegetables Crops in the Philippines. In N.S. Talekar (Ed.). Thrips In Southeast Asia. Proceeding Regional Consultation Workshop, Bangkok, Thailand, 13 March 1991. AVRDC, Taiwan, ROC. p.5-11.

3. Bryan, D.E. and R.F. Smith. 1956. The Frankliniella occidentalis (Pergande) Complex in California (Thy-sanoptera : Thripidae). Univ. of California Publications in Entomology 10:359-410.

4. Gillings, M.R., D. Rae, G.A. Herron, and G.A.C. Beattie. 1996. Tracking Thrips Populations Using DNA-based Methods. p. 97-103. In (Eds.) Proceeding the 1995 Australia and New Zealand Thrips Workshop. NSW Agriculture, Gosford.

5. Kirk, W.D.J. 1984. Ecological studies on Thrips imaginis Bagnal (Thysanoptera) in flowers of Echium plantag-ineum L. in Australia. Australia. J. Ecol. 9:9-18. 6. Lewis, T. 1973. Thrips. Their Biology, Ecology, and

Economic Importance. Academic Press, London and New York. 349 pp.

(7)

8. Mound, L. A. and D.W. Collins. 2000. A South East Asian Pest Spesies Newly Recorded from Europe : Thrips par-vispinus (Thysanoptera : Thripidae), Its Confused Identity and Potential Quarantine Significance. Eur. J. Entomol. 97:197-200.

9. Murai, T. and S. Toda. 2002. Variation of Thrips tabaci in Colour and Size. In R. Marullo and L. Mound (ed.) Thrips and Tospovirus. Proceeding 7th Int. Symposium

on Thysanoptera. Australia National Insect Collection. Canberra, ACT. p. 377-378.

10. Prabaningrum, L., T.K. Moekasan, dan S. Sastrosiswojo. 2002. Studi Pendasaran Usahatani Paprika di Jawa Barat Sebagai Suatu Landasan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu. Laporan Hasil Penelitian Balitsa Tahun 2002. 11 hlm.

11. Raros, L.C. 1980. Seeking Identification Service and the Preparation, Preservation and Storage of Insect Specimens. Departement of Entomology University of the Philippines, Los Banos. 22 pp.

12. Sastrosiswojo, S. 1991. Thrips on Vegetables in Indonesia. In N.S. Talekar (Ed.) Thrips in Southeast Asia. Proceeding Regional Consultation Workshop. Bangkok, Thailand, 13 March 1991. AVRDC, Taiwan, ROC. p.12-17.

13. Suhardjono, Y.R. 1992. Fauna Collembola Tanah di Pu-lau Bali dan PuPu-lau Lombok. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. 372 hlm.

14. Talekar, N.S. 1991. Thrips on pepper : AVRDC’S research strategy. In N.S. Talekar (ed.). Thrips in South-east Asia. Proceeding Regional Consultation Workshop. Bangkok, Thailand, 13 March 1991. AVRDC, Taiwan, ROC. p. 61 - 67.

15. Terry, L.I. 1995. Competition in Western Flower Thrips Males : Effect of Density on Behaviour. In B.L. Parker, M. Skinner and T. Lewis (ed.). Thrips Bio-logy and Management. Proceeding of a NATO Advance Researh Workshop : The 1993 International Conference Thy-sanoptera: Towards Understanding Thrips Management. Burlinton, Vermont. Sep. 28-30, 1993, NATO ASI Series. Vol. 276. Plenum Press, New York and London. p. 433-438

16. Vos, J.G.M., S. Sastrosiswojo, T.S. Uhan, dan W. Se-tiawati. 1991. Thrips on Hot Pepper in Java, Indonesia. In N.S. Talekar (Ed.). Thrips in Southeast Asia. Proceeding Regional Consultation Workshop. Bangkok, Thailand, 13 March 1991. AVRDC, Taiwan, ROC. p. 18-28. 17. Wang, C.L. 1989. Thrips on Vegetable Crops. Chinese J.

Entomol. Special Publ. http://www.entsoc.org.tw/english/ specialpub/4/8.html. Accessed : 26 March 2003.

Gambar

Tabel 3.    Ukuran tubuh imago T. parvispinus (Body size of imago of T. parvispinus)
Gambar  2.  Variasi ukuran tubuh imago T. parvispinus (Body size variation of imago of T

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan teknologi terutama pada bidang teknologi informasi pada zaman ini telah berubah sangat cepat dimana komputer pada beberapa tahun yang lalu hanya digunakan sebagai

12 Untuk menjaga tidak terjadi penghakiman oleh media massa, dulu dalam Pasal 3 ayat (7) kode etik jurnalistik PWI menyebutkan: Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan literature atau acuan bagi peneliti selanjutnya serta memberikan pandangan dan gambaran mengenai pengembangan

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan status gizi balita sebelum dan sesudah dilakukan program makanan tambahan dan ada perbedaan yang signifikan pola

Hasil penelitian menunjukkan (a) pemotongan jaringan terinfeksi merangsang pembentukan konidiofor, sporulasi, dan produksi konidia, (b) peningkatan luas permukaan jaringan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini diantaranya penelitian oleh 1) Utami (2019) dengan hasil penelitian tindak tutur repersentatif pada tajuk