• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menelusuri Realitas dalam Media: Bahasa untuk Merefleksikan dan Mendistorsikan Realitas. Budi Hermawan *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menelusuri Realitas dalam Media: Bahasa untuk Merefleksikan dan Mendistorsikan Realitas. Budi Hermawan *)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Menelusuri ‘Realitas’ dalam Media:

Bahasa untuk Merefleksikan

dan Mendistorsikan ‘Realitas’

Budi Hermawan

*)

*) Penulis adalah Master of Arts, Dosen di Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Pendidikan terakhirnya adalah S2 Professional Communication dari The University of Sydney Australia.

Abstract: Media and society have close relation and influence each other in the ways that often hard to explain. Therefore, we will aware that language have important role to shape our understanding about ‘reality’. This article discusses important area that analyse complex relation between media and society. This article explain how language are used to reflect and distort reality in media by consider and defy several theory. There’s also explanation about how media can form its audience’s perspective. Keywords: reality, opinion leaders, hypothesis Whorf, the magic bullet theory.

Pendahuluan

Media dan masyarakat memiliki hubungan yang menarik untuk dibahas karena erat dan kompleksnya hubungan antara keduanya. Dalam menjelaskan hubungan timbal- balik dan kompleks antara media massa dengan masyarakat ini akan menyangkut tiga area yang telah dianggap sebagai fokus utama banyak penelitian yang menghasilkan beragam teori tentang media. Tiga area itu adalah pertama, berkenaan dengan jawaban untuk berbagai pertanyaan mengenai apakah media menawarkan pandangan-pandangan alternatif ataukah hanya menjadi corong penguasa. Di sini media memperkuat cara pandang para penguasa terhadap ‘realitas’. Kedua, membahas hubungan antara teknologi dan kompetisi media dengan rutinitas yang telah

menginstitusi masyarakat. Ketiga, pengaruh media dalam membentuk cara pandang dan

pengalaman audiens.1

Untuk meyakini bahwa media sekadar merefleksikan apa yang ada dalam masyarakat dan tidak mendorong beragam perubahan sosial ini akan merendahkan kekuataan yang dimiliki media. Sebaliknya, untuk berpikir bahwa media adalah satu-satunya pihak yang berkuasa dan bertanggung jawab atas terjadinya beragam perubahan sosial berarti kita menafikan beragam faktor lain yang sama pentingnya. Pertanyaan yang seharusnya direnungkan dalam kaitan ini

adalah sejauh mana media merefleksikan atau bahkan mis-reflect—mencerminkan dengan tidak

tepat dan disengaja—masyarakat kaitannya dengan berbagai perubahan sosial; apa yang didorong media untuk terjadinya perubahan sosial; serta bagaimana media melakukannya?

Tulisan ini akan membandingkan dan mempertentangkan beberapa pendapat dan teori yang menjelaskan hubungan antara media dan masyarakat, serta akan mengajukan pandangan yang berkeyakinan bahwa media hingga batas tertentu mencerminkan masyarakat. Sampai pada tingkat

(2)

utama dalam masyarakat. Oleh karena itu, pada tahap tertentu media berkontribusi pada berbagai perubahan yang dipilih oleh masyarakat.

Bagaimana Realitas ‘Dibekukan’ Media

Media tidak pasti merefleksikan masyarakat, namun sebenarnya mendistorsikan berbagai

aspek utama dalam mayarakat. Baron,2 misalnya, percaya bahwa sesungguhnya media

menggenggam sebuah cermin bagi masyarakat dan mendistorsikan apa yang mereka refleksikan. Untuk melihat hal ini harus dianalisis satu konstituen penting dari berbagai teks media: bahasa. Untuk mendiskusikan hubungan antara bahasa dan masyarakat tidak ada cara yang lebih baik selain bersandar pada teori-teori sosiolinguistik. Menurut Berger, bersandar pada hipotesis Whorf,3

bahasa yang kita gunakan mempengaruhi pesan yang kita sampaikan. Diksi dan susunan sintaksis kalimat yang dipilih untuk melaporkan berita mempengaruhi bagaimana pesan tersebut dipahami oleh para pembacanya. Mesthrie melaporkan berbagai kritikan yang menyerang ide bahwa bahasa merefleksikan masyarakat. Mereka berargumen bahwa masyarakat dan bahasa begitu erat berkaitan hingga seringkali tidak jelas mana yang berada di luar yang lainnya jika kita benar-benar mencoba memisahkan keduanya. Hal ini pada gilirannya, menjadikan sangat sulit bagi kita untuk meyakini mana yang terefleksikan.4

Bahasa yang menjadi kendaraan untuk melaporkan berita dalam media, seperti koran,

misalnya, diwarnai dengan pekat oleh beragam keputusan para penulisnya: wartawan. Para

wartawan ini secara harfiah menulis berita yang dimuat dalam koran. Sementara itu, menulis adalah selalu pengambilan keputusan. Para wartawan ini memilih kata-kata tertentu dan disengaja menyisihkan kata-kata lainnya pada saat mereka ‘membekukan’ berbagai kejadian ke dalam bahasa tertulis sebagai usaha mereka dalam menangkap beragam kejadian. Keputusan yang diambil para penulis berita hampir selalu dipekati keyakinan, bias, dan asumsi personal mengenai cara pandang yang lebih disukai dan dianggap tepat untuk melihat beragam kejadian. Hal ini terutama terlihat pada saat terjadinya pertentangan kepentingan antara negara dan audiens media, misalnya dalam situasi perang. Dalam situasi ini para wartawan seringkali dibuat berkompromi antara penyajian mereka akan ‘realitas’ dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Negara yang bersangkutan berkepentingan untuk memenangkan perang dan tidak hendak menciptakan kepanikan dalam negeri. Sebagai contoh aktual adalah yang dialami Amerika. Dalam hubungannya dengan berbagai konflik yang mereka ciptakan di banyak negara (Irak, Afghanistan, dan di negara lainnya) sangat mungkin para wartawannya dibuat kompromi untuk misalnya memilih menulis berita seperti berikut ini.

“Beberapa prajurit Amerika terluka dan hanya beberapa di antaranya yang tewas dalam serangan yang dilakukan pada persembunyian para teroris, ketika helikopter Black Hawk yang mereka tumpangi terjatuh diterjang angin gurun yang bertiup kencang...”

Dengan jelas tidak disebutkan jumlah tentara yang tewas dan terluka, serta penyebab ‘sebenarnya’ yang mengakibatkan terjatuhnya Black Hawk, yang sangat mungkin dalam ‘kenyataannya’ adalah Stinger milik para ‘teroris’ itu.

(3)

Berikut ini adalah ilustrasi lainnya di mana kita bisa melihat bahwa bahasa yang digunakan dalam pelaporan berita dapat dipandang mendistorsikan beberapa aspek tertentu dalam ma-syarakat.5

“…It is the strategic center of the country, and the failure to secure it could thwart the Bush administration’s hope of helping (my italic) to create a functioning Iraqi government…”

“… itu adalah pusat strategis negara dan kegagalan untuk mengamankannya dapat menghancurkan harapan pemerintah Bush dalam membantu (garis miring-BH) untuk menciptakan pemerintah demokratis Irak yang berjalan dengan baik…”

Bagian berita ini dapat dianggap mendistorsikan ‘kenyataan sebenarnya’ dari apa yang terjadi di Irak karena ada banyak yang dapat mengajukan argumen kuat mengatakan bahwa pemerintah Amerika tidak membantu, seperti diklaim Amerika penciptaan demokrasi di Irak. Sebaliknya, yang terjadi adalah pemerintah Amerika memaksakan pada rakyat Irak, jenis demokrasi yang diinginkan Amerika untuk terjadi di sana. Demokrasi di Irak yang mengijinkan Amerika agar dapat memiliki kontrol kuat atas hidup rakyat Irak. Cara ‘menerjemahkan’ berita seperti ini dapat dipandang subjektif, tetapi interpretasi kita pada dunia dalam banyak hal adalah persoalan personal.

Menurut Berger6 media juga dikritik mendistorsikan ‘realitas’ karena fokus media atas

serangkaian tema dan topik yang sempit dan pemilihan yang dilakukan pada tema hanya dipilih yang paling menarik bagi audiens. Hal ini dikarenakan beragam rintangan yang dihadapi media, misalnya teknologi, sumber daya manusia, dan ruang yang tersedia dalam koran. Akan tetapi, ini akan berujung pada penyajian ‘realitas’ yang bias. Sekali lagi, selain angle yang diambil para wartawan, fenomena ini dapat diungkap melalui penggunaan bahasa yang digunakan untuk menarasikan cerita dari tema dan topik yang tersisihkan itu. Critical Discourse Analysis yang seringkali dirujukkan salah satunya, Norman Fairclough, seorang ahli analisis wacana dari Inggris. Model ini merupakan alat yang tepat untuk mengungkap fenomena ini.

Beberapa argumen yang dinyatakan di atas tetap tidak membatalkan keyakinan bahwa media merefleksikan apa yang ada dalam masyarakat. McQuail7 misalnya, membahas bahwa media

mere-fleksikan masyarakat dalam cara yang beragam. Hal ini menyiratkan bahwa setiap anggota masyarakat berbeda dalam mendapatkan perhatian. Fakta yang mendasar adalah masyarakat atau bagian-bagiannya dilaporkan dan direfleksikan dalam media melalui kendaraan yang sama yang digunakan untuk mendistorsikannya lewat bahasa.

Menurunkan berita tentang masyarakat pada dasarnya adalah menceritakan ‘kenyataan sosial’. ‘Kenyataan sosial’ menurut McQuail terbentuk oleh banyak aspek, misalnya yang disinggung olehnya situasi politis seperti voting prefence. Hal ini menyebabkan kecenderungan audiens untuk memberikan suara mereka pada pihak tertentu. McQuail selanjutnya menyatakan bahwa ‘kenyataan sosial’ ini seringkali dilaporkan dalam editorial dan isi media. Media melaporkan ‘kenyataan sosial’ ini, sampai tahap tertentu, kemudian akan dipandang sebagai fakta bahwa media merefleksikan masyarakat.

Perefleksian masyarakat oleh media seringkali terikat konteks dan dalam banyak hal interpretasi para praktisi media atas situasi yang sedang terjadi. Misalnya, koran-koran di

(4)

Indonesia selama masa pendudukan Belanda diwarnai interpretasi kaum nasionalis atas berbagai situasi perlawanan yang semakin tumbuh terhadap pemerintah pendudukan Belanda dirasakan sangat kuat. Contoh lainnya adalah apa yang dilaporkan berbagai koran di Australia tentang Muslim dan Islam, beberapa saat setelah peristiwa London Blast pada 7 Juli 2005. Sementara itu, sebagian besar berita menyajikan interpretasi yang kurang positif dari kejadian itu, dan sikap kurang bersahabat terhadap muslim dan agama mereka. Hal ini menunjukkan benar adanya berita-berita ini merefleksikan kekhawatiran banyak orang Australia atas isu tersebut. Kekhawatiran ini mungkin bukan kekhawatiran seluruh Australia. Media, pada sisi ini, dapatlah dipandang turut memperkuat ketakutan yang dirasakan masayarakat.

Individu-individu ini pada satu titik mampu mendorong berbagai aksi sosial. Hal ini terutama terjadi ketika para individu bersangkutan memiliki akses pada/atau memiliki kekuasaan, baik itu politik, ekonomi, atau pun yang ‘lebih halus’ tetapi seringkali berpengaruh sangat kuat, intelektual.

Williams8 berdasarkan penelitian yang dilakukan Lazarsfeld (1984) menyatakan bahwa para

individu ini, dikenal dengan nama ‘opinion leaders’, mentrasmisikan apa yang mereka pelajari dari media pada orang lain yang dapat mereka pengaruhi melalui kontak personal. Cara bagaimana media mempengaruhi audiensnya dapat diyakini sebagai alasan untuk berpindah dari teori pengaruh media yang terkenal The Magic Bullet Theory, yang menurut DeFleur dan Ball-Rokeach9

harus, meskipun dengan rasa enggan, ditinggalkan karena berbagai asumsi yang menjadi dasar pembangun teori ini dipandang tidak lagi mampu mempertahankan dirinya dari serangan banyak kritik.

Peranan

Opinion Leaders

dalam Pemahaman Audiens akan

‘Realitas’

Para individu ini tidak saja mentransmisikan apa yang mereka pelajari dari media, namun juga mendorong pandangan mereka melalui media. Hal ini terutama dimungkinkan oleh kekuasaan yang mereka miliki dan akses yang dapat memberikan mereka kesempatan untuk bekerja dengan media yang menyebarkan cara pandang dunia mereka serta perspektif mereka pada ‘realitas’. Para individu ini, karena mereka adalah ‘opinion leaders’, biasanya memiliki pengikut dan seringkali merupakan anggota mayoritas sebuah masyarakat. Mengadopsi teori Spiral Silence yang diajukan Elizabeth Noelle-Neumann10 bahwa pandangan mereka dapat direngkuh, kemudian

oleh tidak saja mereka yang dari awal mendukung ‘opinion leaders’, tetapi juga mereka yang pada awalnya berseberangan pendapat. Mereka yang bergabung kemudian melakukannya karena alasan ketakutan diisolasi. Dalam cara ini media tidak saja merefleksikan berbagai pendapat, tetapi juga menciptakan pendapat.11 Dalam koran penciptaan pendapat tidak saja dicapai melalui penarasian

berita, tetapi juga melalui kombinasi teks verbal dan gambar. Dalam banyak hal, cara pandang dunia ‘opinion leaders’ ini mampu menjadi sumber bagi pengetahuan dan pengalaman audiensnya.

McQuail12 bersandar pada teori yang dikembangkan DeFleur (1970) menyimpulkan bahwa

(5)

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, teori “pengaruh langsung media”, The Magic Bullet

Theory dapat dianggap telah tersimpan dalam keranjang sampah. Tulisan ini tidak mengajukan

pandangan bahwa pendapat para ‘opinion leaders’ ini dengan mudah dan langsung direngkuh

audiensnya. Audiens kemudian, di bawah pengaruh cara pandang ini, selanjutnya segera melakukan satu tindakan. Media mempengaruhi cara kita memandang dunia melalui pen-sosialisasian.13 Media juga menyemaikan pengaruhnya atas audiens mereka dengan menentukan

berbagai agenda yang membimbing audiens dalam mengambil keputusan, politis dan/atau sosial mereka.14 Meskipun DeFleur dan Ball-Rokeach menyatakan bahwa sosialization, pensosialisasian

adalah konsep yang sulit untuk didefinisikan, di sini pensosialisasian dapat mengambil bentuk sederhana: cara pandang dan berbagai pendapat yang dimuat dan dirayakan media. Hal ini dilakukan dalam cara yang berulang-ulang dan disajikan dalam cara berbeda. Koran, saluran TV,

radio yang melakukan talk show, buletin, untuk menyebut contoh, dapat dimanipulasi untuk

membawa, memuat, merayakan, dan memperkuat interpretasi audiens akan ‘realitas’ sehingga menyediakan bagi mereka agenda yang digunakan sebagai dasar pemilihan mereka pada yang

membentuk kebenaran (truth) dan apa yang dianggap ‘benar’. Dengan cara ini persetujuan

(consent) audiens dapat diamankan. Segera setelah persetujuan (consent) audiens didapatkan,

audiens dapat diarahkan untuk mendorong perubahan sosial yang ‘diinginkan’ atau mendukung perubahan budaya agar terjadi. Mengadopsi pandangan ini tidak mudah untuk mengatakan bahwa media tidak berkontribusi bagi perubahan sosial dan sangat mungkin perubahan budaya.

Dalam kenyataannya, hal ini terjadi tidak semulus dan semudah sebagaimana diajukan oleh pendapat di atas. Masyarakat adalah entitas kompleks yang terbentuk atas banyak elemen yang berpartisipasi yang tidak saja bekerja sama, tetapi juga saling bersaing satu sama lain. Selain itu, seperti diungkapkan perubahan budaya dan sosial terjadi sangat lamban dan seringkali sulit dilacak awalnya.15 Media hanyalah satu bagian ‘kecil’ dari sebuah mesin raksasa yang rumit bernama

masyarakat. Berbagai penjelasan di atas mengenai hubungan masyarakat dan media serta bagaimana realitas dapat dilacak dalam media dapatlah diperdebatkan dan dikritisi. Akan tetapi, sebagai sebuah pendirian yang dapat diadopsi, pendapat di atas memiliki dasar yang sangat kuat.

Kesimpulan

Media dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat serta saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dalam cara-cara yang seringkali sulit untuk diuraikan. Di sini kita kemudian semakin menyadari betapa bahasa memiliki peranan penting dalam menyumbangkan pemahaman kita akan ‘realitas’. Hal itu karena bahasa membentuk dan mewakili ‘realitas’ sebagaimana ia terpahami oleh kita. Benar kiranya bila tidak ada ‘realitas’ di luar bahasa. Dari sini pula kita bisa meyakini bahwa bahasa yang digunakan dalam media tidak pernah netral. Bahasa dalam media merupakan perwujudan pemahanan penggunanya apa yang terjadi di sekelilingnya. Bagaimana ‘realitas’ ingin dipahami oleh audiens seringkali merupakan keputusan yang diambil para pembuat berita ketika mereka memilih menggunakan bahasa—kata-kata tertentu—dalam ‘menangkap’ dan kemudian membekukan beragam kejadian yang selanjutnya dimaknai sebagai sebuah ‘realitas’.

(6)

Beragamnya teori yang mendukung dan menyerang penjelasan hubungan yang rumit antara media dan masyarakat telah diajukan banyak ahli komunikasi massa dalam upaya memahami isu yang menjadi topik artikel ini. Lebih banyaknya penelitian dan kajian dapat memungkinkan kita untuk memiliki pemahaman lebih baik tentang bagaimana media bekerja dan berinteraksi dengan masyarakat. Berbekal pemahaman ini kita sebagai pembaca bisa menjadi semakin kritis dan terberdayakan ketika kita ‘menemukan’ ‘realitas’ dalam berbagai media massa dengan tidak segera mengadopsinya tanpa melihat lebih jauh ideologi—dalam konteks ini bermakna kepentingan— pendorong terciptanya ‘realitas’.

Endnote

1 DenMcQuail, Mass Communication Theory, 5th ed. (London: SAGE, 2005). 2 Handbook from Jane Shaw lecture. Wednesday, 31 August 2005.

3 Arthur Asa Berger, Essentials of Mass Communication Theory (California: SAGE Publications, 1995),

hal. 17.

4 Rajend Mesthrie, Introducing Sociolinguistics (Edinburgh University Press: Edinburgh Mesthrie, 2000),

hal. 316-317.

5 http://www.realcitites.com/mld/krwashington

6 Arthur Asa Berger, Essentials of Mass Communication Theory (California: SAGE Publications,

1995),hal. 129.

7 Dennis McQuail, Media Performance: Mass Communication and The Public Interest (London: SAGE

Publications, 1992), hal. 161-168.

8 Kevin William, Understanding Media Theory (New York: Arnold Williams, 2003), hal. 174-175. 9 Melvin L. DeFleur and Sandra Ball-Rokeacha, Theories of Mass Communication, 5th ed. N.Y: Longman,

1989), hal. 166.

10 Lihat Arthur Asa Berger, Essentials of Mass Communication Theory (California: SAGE Publications,

1995).

11 Ibid.

12 Dennis McQuail, Media Performance: Mass Communication and The Public Interest (London: SAGE

Publications, 1992), hal. 76.

13 Ibid.

14 Arthur Asa Berger, Essentials of Mass Communication Theory (California: SAGE Publications, 1995),

hal 64.

15 Dennis McQuail, Media Performance: Mass Communication and The Public Interest (London: SAGE

Publications, 1992), hal. 71.

Daftar Pustaka

Berger, Arthur Asa. 1995. Essentials of Mass Communication Theory. California: SAGE Publications. DeFleur, Melvin L. and Sandra Ball-Rokeacha. 1989. Theories of Mass Communication, 5th ed. N.Y:

(7)

Handbook from Jane Shaw lecture. Wednesday, 31 August 2005.

Hill, David T. 1994. he Press in New Order Indonesia. Asia Paper 4. University of Western Australia Press and Asia Research Centre on Social, Political and Economic Change, Murdoch University, Western Australia.

Lasseter, Tom. 2005, August 31. U.S., Insurgents Locked in Stalemate. Knight Rider, Washington Bureau. Retrieved August 31, 2005, from http://www.realcitites.com/mld/krwashington.

McQuail, Dennis. 1977. The Influence and Effects of Mass Media. In Currant, James., Gurevitch, Michael and Woollacott, Janet (Eds.). Mass Communication and Society. London: Edward Arnold. ___________. 1992. Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London: SAGE

Publications.

___________. 2005. Mass Communication Theory, 5th ed. London: SAGE.

Mesthrie, Rajend., et al. 2000. Introducing Sociolinguistics. Edinburgh University Press: Edinburgh. The Sydney Morning Herald. Thursday, August 18, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, ulama Nusantara zaman berzaman tidak melihat masalah kepada majlis tahlil yang mana masyarakat berkumpul, berzikir dan memberi makan. Semua perkara

Proses belajar mengajar di sekolah dan praktik kerja industri (prakerin) yang merupakan bagian dari PSG harus dilaksanakan secara seimbang agar tujuan pendidikan kejuruan tersebut

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan matriks untuk imobilisasi LCTT adalah proses pembuatan yang mudah, praktis, kandungan limbah ( waste loading ) yang ekonomis,

Në frymën e mendimeve filozofike ndër shekuj lidhur me shpjegimet e shkencës dhe duke i sintetizuar ato, (neo)pozitivistët synuan të gjenin parimin bazë të shkencës sipas të

Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk

LDR pada Bank Umum Swasta Nasional Devisa lebih kecil daripada Bank Asing, seharusnya NIM Bank Umum Swasta Nasional Devisa lebih kecil daripada Bank Asing, faktanya NIM

Apabila dalam buku besar terdapat rekening-rekening yang berpengaruh terhadap pembelian, seperti Biaya Angkut Pembelian, Retur dan Potongan Pembelian, dan Potongan

Dari hasil analisis menggunakan one way ANOVA tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara derajat merokok dengan WHR.Namun berdasarkan penelitian Canoy et