• Tidak ada hasil yang ditemukan

manajemen pemerintahan ipem4431

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "manajemen pemerintahan ipem4431"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Manajemen Kinerja

Kinerja (performance) menjadi isu dunia saat ini, terutama di negara-negara berkembang. Hal tersebut terjadi antara lain sebagai konsekuensi tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan akan pelayanan prima atau pelayanan yang bermutu tinggi. Mutu yang tinggi dalam pelayanan tidak terpisahkan dari standar, karena kinerja diukur berdasarkan standar. Melalui manajemen kinerja, diharapkan dapat menunjukkan kontribusi profesionalnya seorang pegawai secara nyata dalam meningkatkan mutu pelayanan, yang berdampak terhadap pelayanan prima pada organisasi tempatnya bekerja, dan dampak akhir bermuara pada kesehatan organisasi dan kesejahteraan masyarakat.

Kata kinerja (performance) dalam konteks tugas, sama dengan prestasi kerja. Kinerja menekankan pada apa yang dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan atau apa yang keluar (out-come). Bila disimak lebih lanjut dari apa yang terjadi dalam sebuah pekerjaan atau jabatan adalah suatu proses yang mengolah input menjadi output (hasil kerja). Penggunaan indikator kunci untuk mengukur hasil kinerja individu, bersumber dari fungsi-fungsi yang diterjemahkan dalam kegiatan/tindakan dengan landasan standar yang jelas dan tertulis. Mengingat kinerja mengandung komponen kompetensi dan produktifitas hasil, maka hasil kinerja sangat tergantung pada tingkat kemampuan individu dalam pencapaiannya. Hasil kinerja seseorang/organisasi akan mencerminkan prestasi kerja dari seseorang atau organisasi tersebut.

Manajemen kinerja merupakan suatu proses dalam manajemen sumber daya manusia. Implikasi dari kata manajemen berarti proses aktivitasnya diawali dengan penetapan tujuan dan berakhir dengan evaluasi. Pada penetapan tujuan, aktivitasnya diarahkan untuk meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu maupun dalam

(2)

kelompok semaksimal mungkin dengan bekal kompetensi yang dimilikinya. Peningkatan prestasi kerja perorangan pada gilirannya akan mendorong kinerja staf, yang kemudian akan merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan cara meningkatkan hasil kerja melalui prestasi pribadi dalam suatu organisasi. Proses penetapan tujuan membuka peluang kepada pegawai untuk sharing, yaitu memberikan kesempatan kepada pegawai untuk menyampaikan perasaannya tentang pekerjaan, sehingga terbuka jalur komunikasi dua arah antara pimpinan dan pegawai.

Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh Riri Satria (http://ririsatria.wordpress.com/2006/08/13/prinsip-dasar-manajemen-kinerja/) terhadap sejumlah buku, artikel, makalah, dan sumber-sumber literatur lainnya, manajemen kinerja yang baik untuk menuju organisasi berkinerja tinggi, harus mengikuti kaidah-kaidah berikut ini.

1. Terdapat suatu indikator kinerja (key performance indicator) yang terukur secara kuantitatif, serta jelas batas waktu untuk mencapainya. Tentu saja ukuran ini harus menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Jika pada organisasi bisnis atau komersial, maka indikator kinerjanya adalah berbagai aspek finansial seperti laba, pertumbuhan penjualan, lalu indikator pemasaran seperti jumlah pelanggan, dan sebagainya. Sedangkan pada organisasi pemerintahan seperti Pemerintahan Daerah, POLRI, Desa maupun Kelurahan, maka ukuran kinerjanya adalah berbagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Semuanya harus terukur secara kuantitatif dan dimengerti oleh berbagai pihak yang terkait, sehingga nanti pada saat evaluasi kita bisa mengetahui, apakah kinerja sudah mencapai target atau belum. Michael Porter (1990), seorang profesor dari Harvard Business School mengungkapkan bahwa kita tidak bisa memanajemeni sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Jadi, ukuran kuantitatif itu penting. Organisasi yang tidak memiliki indikator kinerja, biasanya tidak bisa diharapkan mampu mencapai kinerja yang memuaskan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).

2. Semua ukuran kinerja tersebut biasanya dituangkan ke dalam suatu bentuk kesepakatan antara atasan dan bawahan yang sering disebut sebagai kontrak

(3)

kinerja (performance contract). Dengan adanya kontrak kinerja, maka atasan bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai kinerja yang diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan antara atasan dan bawahan mengenai indikator kinerja yang ingin dicapai, baik sasaran pancapaiannya maupun jangka waktu pencapaiannya. Ada 2 (dua) hal yang perlu dicantumkan dalam kontrak kinerja, yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag) serta program kerja untuk mencapainya (lead). Mengapa keduanya dicantumkan? Supaya pada saat evaluasi dilakukan, berbagai pihak bisa bersikap fair, tidak melihat hasil akhir semata, melainkan juga proses kerjanya. Adakalanya seorang bawahan belum mencapai semua hasil akhir yang ditargetkan, tetapi dia sudah melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu saja atasan tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun sasaran akhir belum tercapai. Ini juga bisa menjadi basis untuk perbaikan di masa yang akan datang (continuous improvements).

3. Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja yang baku dan dipatuhi untuk dikerjakan bersama, yaitu (1) perencanaan kinerja berupa penetapan indikator kinerja, lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan, lalu (2) pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru, maka lakukanlah perubahan tersebut, dan terakhir (3) evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan dulu? Semuanya harus serba kuantitatif.

4. Adanya suatu sistem reward dan punishment yang bersifat konstruktif dan konsisten dijalankan. Konsep reward ini tidak melulu bersifat finansial, melainkan juga dalam bentuk lain, seperti promosi, kesempatan pendidikan, dan sebagainya. Reward dan punishment diberikan setelah melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang telah direncanakan atau belum. Tentu saja ada suatu performance appraisal atau penilaian kinerja terlebih dahulu sebelum reward dan punishment diberikan. Hati-hati dengan pemberian punishment, karena dalam banyak hal, pembinaan jauh lebih bermanfaat.

(4)

5. Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau penilaian kinerja yang relatif obyektif, yaitu dengan melibatkan berbagai pihak. Konsep yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, rekan sekerja, pengguna jasa, serta bawahan. Pada prinsipnya manusia itu berpikir secara subyektif, tetapi berpikir bersama mampu mengubah sikap subyektif itu menjadi sangat mendekati obyektif. Dengan demikian, ternyata berpikir bersama jauh lebih obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat yang ingin dibawa oleh konsep penilaian 360 derajat. Walaupun banyak kritik yang diberikan terhadap konsep ini, tetapi cukup banyak yang menggunakannya di berbagai organisasi.

6. Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style) yang mengarah kepada pembentukan organisasi berkinerja tinggi. Inti dari kepemimpinan seperti ini adalah adanya suatu proses coaching, counseling, dan empowerment kepada para bawahan atau sumber daya manusia di dalam organisasi. Satu aspek lain yang sangat penting dalam gaya kepemimpinan adalah sikap followership, atau menjadi pengikut. Bayangkan jika semua orang menjadi komandan di dalam organisasi, lantas siapakah yang menjadi pelaksana? Bukannya kinerja tinggi yang muncul, melainkan kekacauan di dalam organisasi (chaos). Sejatinya, pada kondisi tertentu seseorang harus memiliki jiwa kepemimpinan, tetapi pada situasi yang lain, dia juga harus memahami bahwa dia juga merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi yang lebih besar, yang harus dia ikuti.

7. Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi. Umumnya organisasi berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan menerapkan kompetensi tersebut kepada hal-hal penting, seperti manajemen kinerja, rekrutmen dan seleksi, pendidikan dan pengembangan, dan promosi. Seperti yang diuraikan pada awal makalah ini, kompetensi tersebut setidaknya mencakup 3 (tiga) hal, yaitu kompetensi inti organisasi, kompetensi perilaku, serta kompetensi teknikal yang spesifik terhadap pekerjaan. Jika kompetensi ini sudah dibakukan di dalam organisasi, maka kegiatan manajemen SDM akan menjadi lebih transparan, dan pimpinan organisasi juga dengan mudah mengetahui kompetensi apa saja yang perlu diperbaiki untuk membawa organisasi menjadi berkinerja tinggi.

(5)

Pelayanan Publik

Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD1945) mengamanatkan kepada negara agar memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya demi kesejahteraannya, sehingga efektivitas suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya

penyelenggaraan pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik di Indonesia adalah semua organ negara seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota). Dalam hal ini, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan publik dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya

manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, seperti : prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu penyelesaian, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, sikap petugas yang kurang responsif dan lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap citra pemerintah. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik secara berkesinambungan demi

mewujudkan pelayanan publik yang prima.

Untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik, beberapa Pemerintah Daerah telah melakukan inovasi yang dikenal dengan best practices. Kriteria Best Practices menurut United Nations (dalam Komarudin, 2007) adalah:

Dampak (impact), yaitu dampak positif, dapat dilihat (tangible) dalam meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat.

(6)

Keberlanjutan (sustainability), yaitu membawa perubahan (institusi, legislasi, sosial, ekonomi;. efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas).

 Kepemimpinan (leadership) dan pemberdayaan masyarakat (community empowerment), yaitu transfer (transferability) dan replikasi, tepat bagi kebutuhan lokal.

Kesetaraan gender dan pengecualian sosial (gender equality and social inclusion), yaitu kesetaraan dan keadilan gender.

Inovasi (innovation), innovation within local context and transferability, yaitu bagaimana pihak lain memperoleh manfaat dan inisiatif, alih pengetahuan dan keahlian.

Selanjutnya dijelaskannya, yang menjadi parameter dari Best Practices pemerintah daerah adalah:

1. Situasi sebelum program/inisiatif dimulai.

2. Apa motivasi dibalik pelaksanaan program tersebut. 3. Apa yang dianggap inovasi dari program tersebut.

4. Bagaimana pengukuran hasil-hasil yang telah dicapai (dampak). 5. Keberlanjutan (sustainability)

6. Pengalaman yang perlu dipelajari (lesson-learned) dan action plan, dan

7. Potensi pengembangan atau penerapan program untuk daerah lain (transferability).

Dalam uraian berikut dikemukakan contoh best practices dari beberapa pemerintah kabupaten/kota yang menyangkut cara menarik investasi dan pelayanan prima kepada masyarakat. Contoh best practices dalam menarik investasi untuk level kabupaten/kota adalah yang diperlihatkan Kabupaten Sidoarjo, Kota Tarakan dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Sidoarjo tampak berbeda dengan kota-kota lain di Jawa Timur karena terobosan yang dibuat Bupati yang mengedepankan pelayanan di bidang perizinan. Kota Tarakan relatif berhasil dalam menarik investasi. Inisiatif Walikota Tarakan dalam memajukan daerahnya memegang peran penting. Kota ini memiliki PLN sendiri yang menjamin ketersediaan listrik bagi masyarakatnya. Sedangkan Kabupaten Gianyar relatif berhasil dalam memberikan kemudahan pada dunia usaha. Sebagai daerah yang

(7)

memiliki keindahan alam dan pusat kerajinan, Pemerintah Daerah Gianyar berkepentingan untuk memberikan fasilitas dan kemudahan berusaha untuk memajukan perekonomian daerahnya.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, Kantor MENPAN telah membuat acuan asas-asas umum kepemerintahan yang baik, meliputi:

1. kepastian hukum; 2. transparan;

3. daya tanggap; 4. berkeadilan

5. efektif dan efisien; 6. tanggung jawab; 7. akuntabilitas;

8. tidak menyalahgunakan kewenangan.

Tata Laksana Pelayanan Publik

Kantor MENPAN telah membuat pedoman tentang sendi-sendi tata laksana

pelayanan publik, yang pada hakikatnya merupakan penerapan prinsip-prinsip pokok sebagai dasar yang menjadi pedoman dalam perumusan tata laksana dan penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Sendi-sendi atau prinsip-prinsip pelayanan dapat dipahami dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Kesederhanaan

Sendi atau prinsip kesederhanaan mengandung makna bahwa prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah dan dilaksanakan oleh

masyarakat yang meminta pelayanan publik. Prinsip kesederhanaan pada hakikatnya lebih menekankan pada aspek prosedur kerja penyelenggaraan pelayanan, termasuk persyaratan maupun pelaksanaan teknis operasional. Prosedur kerja pelayanan publik adalah tata urutan pelaksanaan kerja atau tindakan yang dilewati dan atau

(8)

Dalam menyusun kebijakan atau pengaturan mengenai prosedur pelaksanaan pelayanan publik, hendaknya dirumuskan atau disusun dalam tata urutan atau mekanisme arus kerja yang sederhana, artinya tidak banyak melibatkan atau melewati meja atau pejabat yang tidak terdapat kaitan dengan fungsi utama dalam proses pelayanan. Kesederhanaan prosedur ini didesain untuk tidak mengurangi atau mengabaikan unsur legalitas atau keabsahan dari hasil pelaksanaan pelayanan publik itu sendiri. Prinsip kesederhanaan ditujukan untuk :

1) Mengurangi jumlah meja dan atau petugas dalam prosedur birokrasi pelaksanaan pelayanan publik.

2) Penyusunan Laporan Akhir Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.

3) Memudahkan masyarakat dalam mengurus, mendapatkan pelayanan, antara lain dengan cara mengurangi kesempatan terjadinya kontak langsung antara petugas dan masyarakat, antara lain dengan melakukan pelayanan melalui internet.

4) Memperkecil terjadinya pelayanan yang birokratis dan prosedur panjang atau-pun berbelit-belit, sehingga dengan cara yang didesain secara sederhana akan memperlancar dalam proses serta menciptakan tata laksana pelayanan publik yang baik.

Hal yang perlu mendapat perhatian dan relevan dalam mendukung ciri dan prinsip kesederhanaan pelayanan publik adalah :

1) Mekanisme kerja atau tata urutan pelayanan, artinya jumlah meja yang dilewati dalam proses prosedur pelayanan harus sederhana. Disusun dalam rangkaian prosedur yang hanya mengkaitkan atau melewati simpul, meja pejabat dan atau petugas yang mempunyai ikatan fungsi dalam proses

pelayanannya. Apabila harus melibatkan banyak meja atau pejabat dalam proses pelayanan publik, perlu dipertimbangkan hanya yang benar-benar

mempunyai kepentingan yang relevan dengan persyaratan legalitas suatu pelaksanaan pelayanan publik, sehingga bukan semata-mata dikaitkan untuk kepentingan unit dan atau satuan kerja yang bersangkutan. Jadi jelas, pelayanan publik bukan semata-mata dikaitkan untuk kepentingan unit dan satuan kerja yang bersangkutan.

(9)

2) Spesifikasi persyaratan pelayanan, artinya dalam menyusun prosedur pelayanan perlu memperhatikan bagaimana kerumitan mengurus persyaratan yang

diperlukan. Dalam mengurus persyaratan tidak terlalu banyak melibatkan instansi atau unit kerja lain, yang berakibat menambah mata rantai birokrasi. 3) Tertib dalam sistem penataan dan penyimpanan dokumen/arsip, antara lain dalam

penyelenggaraan pelayanan perlu didukung dengan pengelolaan dokumen/arsip yang berkaitan dengan kegiatan pemberian Laporan Akhir Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Pelayanan yang tertata secara sistematis, rapi, tertib, dan aman. Dengan sistem penyimpanan dokumen/arsip secara tertib akan dapat

memudahkan dan mempercepat dalam penemuan kembali berkas, sehingga menunjang kecepatan dan kelancaran proses penyelenggaraan pelayanan. 4) Kapasitas loket dan petugas pelayanan yang cukup, artinya dalam

penyelenggaraan pelayanan perlu memperhatikan apakah jumlah loket telah memadai dengan beban/volume permintaan pelayanan. Dalam pelaksanaan teknis operasional pelayanan agar diusahakan pengaturannya untuk tidak terjadi antrean yang berjubel, atau bertumpuknya berkas permohonan pada satu meja /petugas/ pejabat. Dalam hal terjadi beban kerja tinggi dan

penumpukan antrean kerja, maka dapat dilakukan langkah-langkah, antara lain: a. Menambah sarana loket dan petugasnya, mendahulukan tindakan pelaksanaan

pelayanan sesuai nomor urutnya, atau mengelompokkan pelayanan menurut domisili atau wilayah kerja, dan disiapkan sesuai dengan volume/beban

pelayanan yang ada.

b. Dapat dilakukan desentralisasi pelaksanaan pelayanan, artinya melimpahkan kewenangan untuk melakukan pelayanan kepada unit kerja/pejabat

setingkat di bawah kewenangan kerjanya atau memecah/membagi beban tugas dalam kelompok-kelompok tugas/kerja.

Koordinasi antara unit kerja yang terkait dengan pelayanan publik. Artinya dalam penyelenggaraan pelayanan perlu memperhatikan sejauhmana dilakukan koordinasi dan kerja sama dengan unit kerja lain yang terkait, maupun koordinasi antara komponen kerja di dalam kantor yang bersangkutan,

(10)

sehingga menunjang kelancaran mengurus persyaratan maupun proses penyelesaian pelayanan.

2. Kejelasan dan kepastian

Sendi atau prinsip mi mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai:

1) Prosedur tatacara pelayanan.

2) Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif.

3) Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan.

4) Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayaran. 5) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

Prinsip kejelasan dan kepastian dalam ketatalaksanaan pelayanan publik, lebih menekankan pada aspek-aspek:

1. Proses arus kerja dalam prosedur tatacara penyelenggaraan pelayanan, artinya perlu diperhatikan apakah sudah digambarkan secara jelas dan pasti dalam bentuk bagan alir, serta informasi mengenai sarana penunjangnya (seperti nama

loket/meja/petugas) harus dibuat pula secara lengkap dan jelas sesuai fungsinya. 2. Tata urutan atau bagan alir penanganan pelayanan, serta nama-nama loket dan

petugas masing-masing urusan perlu divisualisasikan, dipasang secara terbuka dan jelas.

Untuk mendukung prinsip kejelasan dan kepastian dalam prosedur tatakerja, maka dalam proses pelaksanaan pelayanan perlu dilakukan:

1. Pencatatan secara rapi dan tertib setiap langkah, tahapan kegiatan pelayanan. 2. Harus didukung dengan kelengkapan perangkat administrasi/pencatatan yang

sesuai kebutuhan untuk pelaksanaan pelayanan perangkat administrasi, ialah meliputi segenap peralatan, sarana tata usaha yang digunakan mendukung kegiatan pencatatan penyelesaian administrasi. Misalnya : Formulir pemohonan,

(11)

tanda bukti penerimaan berkas, buku agenda penerimaan berkas permohonan, Medical Record pada Rumah Sakit, Faktur/kuitansi tanda bukti penerimaan pembayaran, kartu kendali atau Buku Monitoring Pelaksanaan Pekerjaan dan lainnya.

3. Tata cara pengolahan biaya, antara lain menekankan bahwa dalam

penyelenggaraan pelayanan perlu dilakukan pengelolaan dana/biaya yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan secara tertib, jelas dan Lengkap dengan tanda bukti maupun rincian biaya. Pengelolaan biaya pelayanan perlu dibukukan secara rapi, dan tertib.

4. Demikian pula biaya yang menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat, hendaknya harus dinyatakan dan dicatat secara jelas, rinci dan pasti jumlahnya.

5. Konsistensi pelaksanaan dan jadwal penyelesaian; dalam arti bahwa proses pelaksanaan pemberian pelayanan harus memberikan ketegasan dan kepastian sesuai prosedur dan jadwal pelaksanaan pelayanan secara jelas dan dapat dilaksanakan secara konsisten. Termasuk informasi yang berkaitan

mengenai kegiatan pelayanan yang diberikan harus konsisten, sesuai dengan fakta dalam kenyataan.

3. Keamanan

Sendi atau prinsip ini mengandung arti proses serta hasil pelayanan dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Dalam prinsip ini, memberikan petunjuk bahwa dalam proses pelaksanaan pemberian pelayanan agar diciptakan kondisi dan mutu dengan memperhatikan faktor-faktor:

1) Keamanan, dalam arti proses pelaksanaan pelayanan maupun mutu produk pelayanan publik dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat. Mutu produk pelaksanaan pelayanan publik dapat meliputi:

 Produk Pelayanan Administrasi (dokumen, surat, kartu, gambar, tiket),

(12)

tanpa kesalahan cetak serta tidak menimbulkan keraguan ataupun kekhawatiran bagi masyarakat.

 Produk Pelayanan Barang (air bersih, tegangan listrik, tindakan

perawatan/pengobatan Rumah Sakit, dan sebagainya), perlu diperhatikan standar mutu yang layak.

 Produk Pelayanan Jasa (perhubungan darat, laut dan udara), perlu memperhatikan standar mutu keamanan dan keselamatan

2) Nyaman, dalam arti bahwa dan kondisi dan mutu dalam proses pelaksanaan pelayanan hendaknya diciptakan:

 Kondisi tempat/ruang pelayanan yang dapat memberikan rasa nyaman;  Terpenuhi secara lancar bagi kepentingan urusan pelayanan, serta;  Mutu produk pelayanan yang diberikan pada masyarakat memenuhi ukuran

standar, sehingga dapat memenuhi rasa nyaman bagi masyarakat. Kondisi demikian dapat diupayakan dengan misalnya, penyediaan tempat pelayanan yang didukung dengan sarana ruang tunggu/tamu atau serta ditunjang fasilitas-fasilitas yang dapat menciptakan keadaan yang tertib, nyaman, bersih dan aman bagi para pemohon pelayanan. Ruang tunggu yang sesuai dengan volume kedatangan tamu, dilengkapi tempat duduk dan meja/tempat untuk menulis tamu, kamar kecil/toilet, tempat sampah dan lainnya. Demikian pula menyangkut mutu produk pelayanan, seperti air bersih PAM, Arus setrum listrik PLN, mutunya sesuai dengan ukuran mutu yang standar.

 Tertib, dalam arti proses penyelenggaraan pelayanan publik pelaksanaannya berjalan rapi, berjalan sesuai prosedur, urutan pemberian pelayanannya rutin, tidak semrawut sesuai alur tahapan penyelesaian pekerjaan.

Pemberian pelayanan dilakukan secara konsisten sesuai dengan antrean dan menurut tatakerja yang berlaku.

4. Keterbukaan

Prinsip keterbukaan mengandung arti bahwa prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh

(13)

masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. Prinsip keterbukaan pelayanan memberikan petunjuk untuk menginformasikan secara terbuka segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu yang perlu diupayakan dalam prinsip ini, ialah:

1) Penginformasian instrumen pelayanan secara terbuka (seperti:bagan alir mekanisme pelayanan, daftar persyaratan, daftar tarif, jadwal waktu, nama loket/petugas/meja kerja). Langkah ini dapat dilakukan dengan mempersiapkan membuat:

 Bagan alir prosedur/tatacara dan persyaratan, untuk dipasang/ditempel di tempat ruang pelayanan, sekaligus dilengkapi dengan keterangan jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

 Setiap satuan kerja/loket pelayanan dan nama pejabat/petugas penanggungjawabnya perlu dibuat, dicantumkan nama secara jelas dan terbuka.

 Tarif dan rincian biaya/tarif yang harus dibayar oleh pemohon pelayanan, diinformasikan secara terbuka.

2) Menyediakan fasilitas media informasi, (seperti: papan informasi/pengumuman, loket informasi/information desk, kotak saran, media cetak/brosur, monitor TV, yang berfungsi memberikan informasi menyangkut kegiatan pelayanan.

3) Mengadakan program penyuluhan kepada masyarakat, untuk membantu penyebaran dan pemahaman informasi kepada masyarakat, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan.

5. Efisien

Sendi atau prinsip efisien ini mengandung arti:

1) Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan

keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan publik yang diberikan. 2) Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan

masyarakat yang bersangkutan memasyarakatkan adanya kelengkapan persyaratan dan satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

(14)

Prinsip ini menekankan bahwa dalam merumuskan kebijakan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik, perlu memperhatikan hal-hal yang tidak berakibat memberatkan masyarakat, maupun tidak berdampak pemborosan, antara lain:

 Beban akibat pengurusan persyaratan pelayanan yang harus dipenuhi masyarakat, hendaknya tidak berakibat pengeluaran biaya yang berlebihan.  Dalam merumuskan mekanisme kerja mengenal pengurusan prasyarat ataupun

pelaksanaan pelayanan, hendaknya tidak berakibat terjadinya pengurusan yang berulang-ulang (mondar-mandir), sehingga waktu dan tenaga yang besar, serta berdampak biaya besar.

6. Ekonomis

Sendi atau prinsip ini mengandung arti pengenaan biaya dalam penyelenggaraan pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan:

 Nilai barang dan atau dan jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar kewajaran.

 Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar.  Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam prinsip ini menekankan bahwa dalam merumuskan kebijakan.

mengenai penyelenggaraan pelayanan publik, hendaknya perlu memperhatikan hal-hal yang berakibat pada biaya ekonomi tinggi yang memberatkan masyarakat antara lain:

 Dalam penetapan tarif yang berkaitan dengan pelayanan, perlu

diperhitungkan besarnya secara layak dan terjangkau oleh kemampuan ekonomi masyarakat setempat.

 Mekanisme pelayanan agar dijaga tidak memberikan peluang terjadinya pungutan liar, sehingga tidak berdampak pada ekonomi biaya tinggi bagi masyarakat.

 Dalam penetapan tarif pelayanan, agar tetap konsisten dan ada pada peraturan perundangan yang melandasinya.

(15)

Prinsip ini mengandung arti cakupan/jangkauan pelayanan harus

diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam prinsip ini menekankan bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik hendaknya perlu memperhatikan hal-hal:

1) Cakupan golongan masyarakat yang menerima pelayanan, hendaknya meliputi semua kelas sosial yang merata.

2) Tidak membeda-bedakan perlakuan pemberian pelayanan, misalnya menyangkut:

 Biaya/tarif atau persyaratan yang dikenakan pada masyarakat.  Urutan tindakan pemberian pelayanan harus sesuai dengan nomor urut

pendaftaran.

 Kecepatan kelancaran waktu pelaksanaan pelayanan bagi golongan masyarakat tertentu.

8. Ketepatan Waktu

Ketepatan waktu mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Dalam penerapan prinsip ketepatan waktu ini hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:

1) Dalam penyelenggaraan pelayanan perlu menjaga konsistensi

pelaksanaan jadwal waktu pemberian pelayanan. Untuk itu dalam menyusun jadwal waktu pelaksanaan pelayanan publik, hendaknya benar-benar diperhitungkan beban kerjanya secara realistis. Dihitung beban atau volume kerja rata-rata dan masing-masing meja/petugas, dan perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pelayanan, kemudian disesuaikan tata urutan kerjanya, sehingga dapat diperkirakan jumlah keseluruhan jam/hari kerja yang diperlukan untuk memproses/menangani pelayanan tersebut. Sehingga dapat disusun perkiraan jadwal keseluruhan rangkaian kerja penyelesaian

pelaksanaan pelayanan publik. Agar dalam pelaksanaannya tidak meleset dari jadwal yang ditetapkan, maka dalam perkiraan waktu/jadwal dapat dibuat

perkiraan waktunya sedikit mundur, sehingga jadwal kerja harus dapat dilaksanakan secara konsisten.

(16)

2) Mengefektifkan pelaksanaan pengawasan dan pengendalian oleh pimpinan/atasan Langsung. Untuk mendukung fungsi pengawasan ini dapat dioptimalkan

penggunaan sarana pengawasan fungsional, misalnya penerapan sistem monitoring terhadap kegiatan/pekerjaan, melalui:

 Pencatatan atas setiap kegiatan yang dilakukan bawahan pada buku monitoring, blangko, formulir, kuitansi, bukti penerimaan/setoran.

 Forum pertemuan, rapat sebagai sarana untuk menyusun perencanaan, memberikan informasi perkembangan kegiatan, laporan/evaluasi pelaksanaan pekerjaan.

Latihan Materi 1:

1. Jelaskan bahwa manajemen kinerja merupakan suatu proses dalam manajemen! 2. Jelaskan indikasi yang memperlihatkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik

buruk!

3. Jelaskan pelayanan publik berdasarkan sendi keadilan yang merata!

{ kunci jawaban latihan } PETUNJUK JAWABAN LATIHAN TOPIK 1:

1. Dikatakan sebagai proses terlihat dari cara kerjanya atau cara mengelolanya. Implikasi dari kata manajemen berarti proses aktivitasnya diawali dengan penetapan tujuan dan berakhir dengan evaluasi. Jadi manajemen kinerja mencerminkan proses. Pada penetapan tujuan, aktivitasnya diarahkan untuk meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu maupun dalam kelompok semaksimal mungkin dengan bekal kompetensi yang dimilikinya. Pada tahap evaluasi dilakukan untuk

(17)

memperbaiki kinerja individu dan organisasi maupun manajemen dalam kurun waktu ke depan.

2. Indikasi penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk akan terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, seperti : prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu penyelesaian, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, sikap petugas yang kurang responsif dan lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap citra pemberi pelayanan. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik secara berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima.

3. Pelayanan publik harus didasarkan pada pelayanan publik atas dasar sendi keadilan yang merata. Prinsip ini mengandung arti cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam prinsip mi menekankan bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik hendaknya perlu memperhatikan hal-hal:

 Cakupan golongan masyarakat yang menerima pelayanan, hendaknya meliputi semua kelas sosial yang merata.

 Tidak membeda-bedakan perlakuan pemberian pelayanan, misalnya menyangkut:

a. Biaya/tarif atau persyaratan yang dikenakan pada masyarakat

b. Urutan tindakan pemberian pelayanan harus sesuai dengan nomor urut pendaftaran

c. Kecepatan kelancaran waktu pelaksanaan pelayanan bagi golongan masyarakat tertentu.

(18)

Konsep Etika Pelayanan Publik

Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu di antaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu

pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Dengan memperhatikan beberapa sumber di atas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistem nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acap kali disebut “filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis dalam The Encyclopedia of

Philosophy yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral code atau rules of conduct; dan (3) penelitian tentang unsur pertama dan kedua di atas (lihat Denhardt, 1988: 28).

Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang milik orang tanpa izin tidak pernah diperbolehkan. Sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku

(19)

dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung berlaku universal dan menggambarkan

sungguh-sungguh sikap batin.

Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dsb. Tujuan pelayanan publik adalah

menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.

Dalam arti yang luas, konsep pelayanan publik (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (lihat J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih di titik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, di mana

pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab. Denhardt yang berjudul The Ethics of Public Service (1988) merupakan contoh dari pandangan ini, di mana pelayanan publik benar-benar identik dengan administrasi publik.

(20)

Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan profesional standar (kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik (lihat Denhardt, 1988). Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik di atas maka yang dimaksudkan dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi publik dan atau pemberian

pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku (rules of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan.

Pentingnya Etika dalam Pelayanan Publik

Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari politik (dikotomi) menunjukkan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (lihat Henry, 1995: 400).

Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, di mana, kapan, dan sebagainya. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah

(21)

pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.

Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literatur tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.

Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, di mana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju. Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya, dan sebagainya, untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice –as – fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat ini.

(22)

Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketiakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.

Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil. Dan tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan perundang-undangan kita, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali, sistem pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pembenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.

Pergeseran Paradigma Etika Pelayanan Publik

(23)

Sejarah etika dalam pelayanan publik dapat ditelusuri dalam tulisan Denhardt yang berjudul The Ethics of Public Service (1988). Penulis ini menggambarkan sejarah etika pelayanan publik mulai dari karya Wayne A.R.Leys tahun 1944, yang oleh penulis disebut sebagai Model I – The 1940’s. Leys memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan suatu good public policy decisions. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya meninggalkan kebiasaan atau tradisi (custom) yang selama ini selalu menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan keputusan karena pemerintah terus berhadapan dengan berbagai masalah baru. Katanya, kebiasaan dan tradisi tersebut harus “digoyang” dengan standar etika yang ada di mana etika, katanya, harus dilihat sebagai source of doubt. Pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu keputusan sudah dianggap baik atau tidak. Singkatnya, dalam model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, diperlukan seorang administrator senantiasa menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan dari pada hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan

dan tradisi yang ada (Denhardt, 1988: 6)

Hurst A. Anderson di tahun 1953 mengungkapkan dalam suatu pidatonya dengan judul Ethical Values in Administration (nilai-nilai etika dalam administrasi). Katanya, masalah etika sangat penting dalam setiap keputusan administratif, tidak hanya bagi mereka yang memformulasikan kebijakan publik, dan etika itu sendiri harus dipandang sebagai asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua. Dengan kata lain, kita harus memiliki apa yang disebut philosophy of personal and social living. Oleh Denhardt (1988) pendapat ini diklasifikasikan sebagai Model II – The 1950’s, yang berintikan bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator hendaknya menguji dan mempertanyakan standar atau asumsi-asumsi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan. Standar-standar tersebut harus merefleksi-kan nilai-nilai dasar masyarakat,

dan tidak sekedar bergantung semata pada kebiasaan dan tradisi (hal 8). Perlu

diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan nilai-nilai dasar (core values) masyarakat meliputi antara lain kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan dan keindahan.

(24)

Tahun 1960an memunculkan suatu nuansa baru dalam etika pelayanan publik. Robert T. Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudulkan Men, Management, dan Morality tahun 1965, bahwa praktek-praktek organisasi yang telah berlangsung sekian lama yang didasarkan pada teori-teori organisasi tradisional telah membawa dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam organisasi itu sendiri. Dengan kata lain, para individu tersebut merasa tertekan dan frustrasi dan karena itu sisi etika dari praktek tersebut perlu mendapatkan perhatian. Standar-standar yang telah ditetapkan dalam organisasi jaman dulu belum tentu cocok sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas dipertahankan atau tidak. Di sini Golembiewski melihat etika sebagai contemporary standards of right conduct yang harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Karena itu, Denhardt (1988) melihat pendapat ini sebagai Model III – 1960’s, yang pada dasarnya agar menjadi etis seorang administrator sebaiknya menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan suatu keputusan. Standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan tidak semata bergantung pada kebiasaan dan tradisi. Standard etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu pemahaman yang lebih baik terhadap standar-standar

moral yang absolut (hal. 9-10).

Para ahli administrasi publik yang tergolong dalam masyarakat New Public Administration yang muncul di tahun 1970an, memberikan nuansa baru yaitu meminta agar administrator memperhatikan administrative responsibility. David K.Hart, salah seorang intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat impartial dan sudah waktunya merubah paradigma lama untuk memperbaiki kepercayaan publik yang waktu itu sudah pudar. Ia menyarankan agar social equity atau keadilan sosial harus menjadi pegangan pokok administrasi publik, sebagaimana disarankan oleh John Rawls dalam Teori Keadilan, yang dinilai benar-benar menggambarkan paradigma keadilan. Nilai keadilan yang disarankan di sini sebenarnya hanyalah merupakan sebagian dari core values yang telah disebutkan di atas, sehingga pengalaman di tahun 1970-an tersebut lebih menggambarkan penyempurnaan content atau isi dari etika itu sendiri, sebagai

(25)

pelengkap dari tinjauan tentang process dan context yang telah diungkapkan dalam model-model sebelumnya.

Dengan demikian, model ini disebut sebagai Model IV – the 1970’s, yang merupakan akumulasi penyempurnaan dari model-model sebelumnya di mana dikatakan bahwa agar menjadi etis seorang administrator harus benar-benar memberi perhatian pada proses menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan keputusan administratif. Standar-standar ini mungkin berubah dari waktu ke waktu dan administrator harus mampu merespons tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan baru dengan memperbaharui standar-standar tersebut. Isi dari standar-standar tersebut harus merefleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, dan administrator harus tahu bahwa ialah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap standar-standar yang digunakan dan terhadap keputusan-keputusan itu

sendiri (Denhardt, 1988:16)

Setelah model keempat di atas, muncul beberapa pendapat yang secara signifikan memberikan kontribusi bagi penyempurnaan paradigma etika pelayanan publik. Dua tokoh penting yang memberi kontribusi tersebut adalah John Rohr dalam karyanya Ethics for Bureaucrats (1978) dan Terry L. Cooper dalam The Responsible Administrator (1986). John Rohr dalam tulisannya memberikan sumbangan yang sangat berati yaitu bahwa dalam proses pengujian dan mempertanyakan standar dan asumsi yang digunakan dalam pengambilan keputusan diperlukan “independensi”, dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar seperti Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri, dsb. Karena itu, Denhardt (1988) menyebutnya sebagai Model V – After Rohr, di mana dikatakan

bahwa untuk dapat disebut etis maka seorang administrator harus secara independen masuk dalam proses menguji dan mempertanya-kan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Isi dari standar-standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu ketika nilai-nilai sosial dipahami secara lebih baik atau ketika masalah-masalah sosial baru diungkapkan. Administrator harus memahami bahwa ia akan bertanggung jawab baik secara perorangan maupun kelompok terhadap

(26)

keputusan-keputusan yang dibuat dan terhadap standar etika yang dijadikan dasar

keputusan-keputusan tersebut (Denhardt, 1988: 23).

Setelah Model V yang didasarkan pada pendapat John Rohr, Denhardt (1988: 26) menggambarkan suatu model akhir yang disebut Model VI – After Cooper. Model ini menggambarkan pemikiran Cooper bahwa antara administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting di mana etika para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi di mana ia bekerja. Jadi lingkungan organisasi menjadi sangat menentukan, bahkan begitu menentukan sehingga sering kali para administrator hanya memiliki sedikit “otonomi beretika”. Dengan kata lain,

agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator mampu mengatur secara independen proses menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, paling tidak keputusan yang secara sah dibuat pada tingkatan organisasi itu. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu bila nilai-nilai sosial dipahami secara lebih baik dan masalah-masalah sosial baru mulai terungkap. Administrator dalam hal ini harus siap

menyesuaikan standar-standar tersebut dengan perubahan-perubahan

tersebut, senantiasa merefleksikan komitmennya pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan organisasinya. Administrator akan bertanggung jawab secara perorangan dan profesional, dan bertanggung jawab dalam organisasi terhadap keputusan yang dibuat dan terhadap standar etika yang digunakan

dalam keputusan itu (Denhardt, 1988.26).

Dari gambaran singkat tentang pergeseran paradigma etika pelayanan publik di atas dapat disimpulkan bahwa selama ini etika dan moralitas sudah mendapatkan perhatian yang serius dalam dunia pelayanan publik atau administrasi publik. Tiga hal pokok yang menarik perhatian dalam paradigma ini yaitu (1) proses menguji dan mempertanyakan standar etika dan asumsi, secara independen; (2) isi standar etika yang seharusnya merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan perubahan standar tersebut baik sebagai akibat dari penyempurnaan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah baru dari waktu ke waktu; dan (3) konteks organisasi di mana para administrator bekerja berdasarkan tujuan organisasi dan

(27)

peranan yang dimainkan mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika.

Dilema dalam Beretika

Meskipun telah digambarkan bahwa dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran paradigma etika pelayanan publik, namun itu tidak berarti bahwa paradigma yang terakhir mudah diimplementasikan. Mengapa? Karena di dalam praktek kehidupan sehari-hari masih terdapat dilema atau konflik paradigmatis yang cenderung mendatangkan diskusi panjang. Dilema ini menyangkut pandangan absolutis versus relativis dan adanya hierarki etika.

Absolutis vs Relativis. Dalam sistem administrasi publik atau pelayanan publik telah dikenal norma-norma yang bersifat absolut dan relatif diterima orang. Norma-norma yang bersifat absolut cenderung diterima di mana-mana atau dapat dianggap sebagai universal rules. Norma-norma ini ada dan terpelihara sampai saat ini di semua atau hampir di semua masyarakat di dunia, yang berfungsi sebagai penuntun perilaku dan standar pembuatan keputusan. Kaum deontologis (salah satu pendekatan dalam etika) menilai bahwa norma-norma ini memang ada hanya saja manusia belum sepenuhnya memahami, atau masih dalam proses pemahaman. Norma-norma ini biasanya bersumber dari ajaran agama dan filsafat hidup, dan perlu dipertahankan karena memiliki pertimbangan atau alasan logis untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan. Misalnya dalam pelayanan publik diperlukan norma tentang kebenaran (bukan kebohongan), pemenuhan janji kepada publik, menjalankan berbagai kewajiban, keadilan, dsb., merupakan justifikasi moral yang semakin didukung masyarakat di mana-mana. Melalui proses konsensus tertentu, norma-norma tersebut biasanya dimuat dalam konstitusi kenegaraan yang daya berlakunya relatif lama. Mereka yang yakin dengan kenyataan ini dapat digolongkan sebagai kaum absolutis.

Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan norma-norma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum Relativis. Kaum teleologist (salah satu aliran /pendekatan dalam etika relativis) mengemukakan bahwa tidak ada “universal moral”. Suatu norma dapat dikatakan baik kalau memiliki konsekuensi atau

(28)

outcome yang baik, yang berarti bahwa harus didasarkan pada kenyataan. Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa nilai-nilai yang bersifat universal itu baru dapat diterima sebagai sesuatu yang etis bila diuji dengan kondisi atau situasi tertentu. Misalnya, berbohong adalah norma universal yang dinilai tidak baik. Tetapi bila berbohong ternyata membawa hasil yang baik, maka berbohong itu sendiri tidak dapat dinilai sebagai melanggar norma etika. Sebaliknya menceriterakan kebenaran itu baik. Akan tetapi bila menceriterakan kebenaran akan membawa konsekuensi yang jelek, maka menceriterakan kebenaran itu sendiri tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang etis. Karena itu, kaum teleologi ini berpendapat bahwa tidak ada suatu prinsip moralitas yang bisa dianggap universal, kalau belum diuji atau dikaitkan dengan konsekuensinya.

Implikasi dari adanya dilema di atas maka sulit memberi penilaian apakah aktor-aktor pelayanan publik telah melanggar nilai moral yang ada atau tidak, tergantung kepada keyakinannya apakah tergolong absolutis atau relativis. Hal yang demikian barangkali telah menumbuhkan suasana KKN di negeri kita. Persoalan moral atau etika akhirnya tergantung kepada persoalan “interpretasi” semata.

Hierarki Etika. Di dalam pelayanan publik terdapat empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika organisasi yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Dan keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara (Shafritz & Russell, 1997: 607-608).

Adanya hierarki etika ini cenderung membingungkan keputusan para aktor pelayanan publik karena semua nilai etika dari keempat tingkatan ini saling bersaing. Misalnya, menempatkan orang dalam posisi atau jabatan tertentu sangat tergantung kepada etika yang dianut pejabat yang berkuasa. Bila ia sangat dipengaruhi oleh etika sosial, ia akan mendahului orang yang berasal dari

(29)

daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya KKN. Bila ia didominasi oleh etika organisasi, ia barangkali akan melihat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam organisasi seperti menggunakan sistem “senioritas” yang mengutamakan mereka yang paling senior terlebih dahulu, atau mungkin didominasi oleh sistem merit yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling berprestasi.

Dengan demikian, persoalan moral atau etika di dalam konteks ini akhirnya tergantung kepada tingkatan etika yang paling mendominasi keputusan seorang aktor kunci pelayanan publik. Konflik antara nilai-nilai dari tingkatan etika yang berbeda ini sering membingungkan para pembuat keputusan sehingga kadang-kadang mereka menyerahkan keputusan akhirnya kepada pihak lain yang mereka percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh-tokoh karismatik, “orang pintar”, dan sebagainya.

Implikasi bagi Etika Pelayanan Publik di Indonesia

Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengesampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.

Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan

(30)

publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.

Kedewasaan dan Otonomi Beretika. Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema di atas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukkan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut.

Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan sering kali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika.

Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau di mana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus

(31)

ada kedewasaan untuk melihat di mana kita berada dan tingkatan hierarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.

Perlindungan dan Insentif Bagi Pengadu. Di antara kita semua ada pihak yang sangat peduli dengan nilai-nilai etika atau moral, melakukan pengaduan tentang pelanggaran moral. Mereka adalah pihak yang berani membongkar rahasia dan menguji tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Namun upaya untuk melakukan hal ini kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak terpuji, bahkan sering dikutuk perbuatannya, dan nasibnya bisa menjadi terancam. Pengalaman ini cenderung membuat mereka takut dan timbul kebiasaan untuk tidak mau “repot” atau tidak mau “berurusan” dengan hukum atau pengadilan, yang insentifnya tidak jelas. Akibatnya, peluang dari pihak-pihak yang berpengaruh dalam

pelayanan publik terus terbuka untuk melakukan tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Karena itu, dalam rangka meningkatkan moralitas dalam pelayanan publik, diperlukan perlindungan terhadap para pengadu, kalau perlu insentif khusus.

Latihan Materi 2:

1. Jelaskan pembedaan konsep etika dari konsep etiket!

2. Jelaskan alasan yang paling mendasar perlunya pelayanan publik!

3. Jelaskan bahwa dalam membuat suatu keputusan dalam hubungannya dengan layanan publik semestinya didasarkan pada philosophy of personal and social living!

{ kunci jawaban latihan } Petunjuk Jawaban Latihan Materi 2:

(32)

1. Konsep etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan seseorang, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh suatu sikap bathin.

2. Alasan paling mendasar pelayanan publik harus diberikan adalah didasarkan atas adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan, pemerintah melaksanakannya secara profesional, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dan lainnya yang menjadi kepentingan stakeholders. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki independensi dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada otonomi dalam beretika.

3. Dalam membuat suatu keputusan terkait dengan layanan publik semestinya didasarkan pada philosophy of personal and social living dalam arti bahwa seorang administrator agar dianggap etis maka hendaknya menguji dan

Referensi

Dokumen terkait