• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINTESA UNSUR UNSUR SPIRITUALITAS, BUDAYA, DAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI DALAM MATERI KULIAH AKUNTANSI SOSIAL DAN LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SINTESA UNSUR UNSUR SPIRITUALITAS, BUDAYA, DAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI DALAM MATERI KULIAH AKUNTANSI SOSIAL DAN LINGKUNGAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESA UNSUR­UNSUR SPIRITUALITAS, BUDAYA, DAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI DALAM MATERI KULIAH AKUNTANSI SOSIAL DAN LINGKUNGAN Putu Sukma Kurniawan Jurusan Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha putusukma1989@gmail.com  Abstrak

Pendidikan   dan   pengajaran   akuntansi   bertujuan   untuk menghasilkan   lulusan   yang   nantinya   akan   bekerja   pada   profesi akuntansi.   Diharapkan   nantinya   lulusan   yang   dihasilkan   tidak hanya memiliki kemampuan teknis dan profesional yang baik, tetapi juga   memiliki   kepribadian   dan   karakter   yang   baik.   Kualitas pendidikan dan pengajaran akuntansi akan menentukan kualitas lulusan   yang   dihasilkan.   Memasukkan   unsur­unsur   spiritualitas, budaya,   dan   kearifan   lokal   seperti   konsep   tri   hita   karana,   catur purusa artha, manyama braya, paras paros, dan sagilig sagulug salunglung   sabyantaka   dalam   pendidikan   dan   pengajaran akuntansi   khususnya   dalam   mata   kuliah   akuntansi   sosial   dan lingkungan   diharapkan   dapat   membantu   untuk   menghasilkan lulusan   akuntansi   yang   memiliki   kepribadian   dan   karakter   yang baik.

Kata kunci: spiritualitas, budaya, kearifan lokal, akuntansi sosial dan lingkungan

Abstract

Accounting   education   aims   to   produce   graduates   who   will   be working   on   the   accounting   profession.   Expected   later   graduates produced not only have the technical ability and a good professional, but also have a good personality and good character. The quality of accounting   education   will   determine   the   quality   of   graduates produced.   Incorporating   elements   of   spirituality,   culture   and   local wisdom likes tri hita karana, catur purusa artha, manyama braya, paras paros, and sagilig sagulug salunglung sabyantaka concepts in accounting   education   especially   in   social   and   environmental accounting can help to produce accounting graduates who have good personality and good character.

Keywords:   spirituality,   culture,   local   wisdom,   social   and environmental accounting

(2)

1. PENDAHULUAN Akuntansi saat ini telah memasuki dimensi internasional. Internasionalisasi dalam akuntansi terjadi karena dunia bisnis dan ekonomi yang semakin global. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika semua dimensi dunia bisnis dan ekonomi mengglobal, akuntansi pun ikut masuk dalam dimensi internasional. Hal ini dikarenakan akuntansi adalah bagian dari dunia bisnis dan ekonomi. Choi dan Meek   (2010)   berpendapat   bahwa   globalisasi   perdagangan,   internasionalisasi pasar   modal,   dan   berkembangnya   perusahaan   multinasional   (multinational company)  merupakan  beberapa  faktor  yang  menyebabkan  dimensi  akuntansi bersifat   internasional.   Munculnya   konsep   standar   akuntansi   yang   bersifat internasional semakin menegaskan bahwa telah terjadi globalisasi akuntansi. Adanya   globalisasi   akuntansi   menyebabkan   perkembangan   ilmu   akuntansi semakin   cepat.   Perkembangan   ini   dapat   dilihat   dengan   munculnya   konsep­ konsep baru dalam ilmu akuntansi. Konsep mengenai pelaporan dan standar akuntansi   internasional   juga   turut   berkembang.   Konsep   baru   dalam   ilmu akuntansi yang muncul akibat globalisasi dan perkembangan dunia bisnis yang semakin   cepat   adalah   munculnya   konsep   akuntansi   sosial   dan   lingkungan (social and environmental accounting). Konsep akuntansi sosial dan lingkungan muncul akibat isu­isu mengenai kerusakan dalam bidang sosial dan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas bisnis perusahaan. Konsep akuntansi sosial dan lingkungan   memiliki   misi   untuk   memasukkan   unsur­unsur   sosial   dan lingkungan (informasi non keuangan) ke dalam pelaporan aktivitas perusahaan. Akuntansi sosial dan lingkungan muncul karena adanya perhatian yang luas dari   masyarakat   terhadap   bidang   sosial   dan   lingkungan,   khususnya   dalam menilai kinerja sosial dan kinerja lingkungan perusahaan (Qureshi et al., 2012). Akuntansi   sosial   dan   lingkungan   merupakan   perubahan   paradigma   dari akuntansi   konvensional.   Akuntansi   konvensional   hanya   berpusat   pada indikator­indikator   ekonomi   yang   dicapai   perusahaan.   Akuntansi   sosial   dan lingkungan memasukkan dimensi sosial dan lingkungan ke dalam pencatatan akuntansi.   Hasil   akhirnya   adalah   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   berpusat tidak   hanya   pada   indikator   ekonomi   yang   dicapai   perusahaan,   tetapi   juga memikirkan   dampak   sosial   dan   lingkungan   yang   ditimbulkan   dari   kegiatan perusahaan.   Adanya   globalisasi   dalam   akuntansi   tidak   hanya   menyebabkan perkembangan   yang   baru   dalam   konsep­konsep   ilmu   akuntansi   tetapi   juga menimbulkan perubahan dalam dimensi pendidikan dan pengajaran akuntansi, khususnya di tingkat perguruan tinggi.

Konsep   pendidikan   dan   pengajaran   akuntansi   saat   ini   telah   berkembang dengan cepat. Dimensi akuntansi yang saat ini telah berkembang secara global turut   mempengaruhi   konsep­konsep   dalam   pendidikan   dan   pengajaran akuntansi. Materi pendidikan dan pengajaran akuntansi saat ini merujuk pada materi   pendidikan   akuntansi   pada   universitas­universitas   ternama   di   luar negeri, khususnya dari Amerika Serikat. Akibatnya akuntansi Amerikalah yang berkembang   sampai   munculnya   ide   penyeragaman   praktek   akuntansi internasional   (Sylvia,   2014).   Materi   perkuliahan,   rujukan   referensi,   dan   tata cara perkuliahan lebih menjadi bersifat internasional. Dampak dari adanya hal ini   adalah   pendidikan   dan   pengajaran   akuntansi   akan   disampaikan   dengan cara   yang   tidak   sesuai   dengan   kondisi   mahasiswa.   Artinya   ketika   materi perkuliahan, rujukan referensi, dan tata cara perkuliahan disampaikan dengan praktek  atau  cara  yang  tidak  sesuai  dengan  kondisi  lingkungan  mahasiswa,

(3)

maka   materi   perkuliahan   akan   sulit   diterima   oleh   mahasiswa.   Terlebih   lagi istilah­istilah dalam akuntansi kini lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris dalam buku teks asli sehingga mahasiswa cukup sulit memahami hal tersebut. Sylvia   (2014)   dalam   tulisannya   secara   khusus   menyampaikan   bahwa penggunaan   istilah   Bahasa   Inggris   dalam   akuntansi   dapat   menimbulkan perbedaan penafsiran antara akademisi dengan praktisi. Hal ini sejalan dengan pendapat   Mulawarman   (2008)   yang   berpendapat   bahwa   sistem   pendidikan akuntansi   yang   saat   ini   berkembang   di   Indonesia   telah   lepas   dari   realitas masyarakat   Indonesia   karena   sistem   pendidikan   akuntansi   yang   sekarang diadopsi   langsung   dari   luar   negeri   tanpa   disesuaikan   dengan   kondisi pendidikan   di   Indonesia.   Nilai­nilai   yang   melekat   pada   sistem   pendidikan akuntansi   sekarang   adalah   sekularisme   (paham   yang   membuat   akuntansi terlepas dari nilai spiritualitas) dan paham liberal barat (Mulawarman, 2008). Sylvia   (2014)   menyatakan   bahwa   nilai­nilai   pada   era   modernitas,   seperti kapitalisme,   materialisme,   individualisme,   dan   sekularisme   terbawa   juga   ke dalam   akuntansi.   Mulawarman   (2012)   berpendapat   bahwa   pendidikan akuntansi   yang  diajarkan   dalam  sistem   pendidikan  di   Indonesia  seharusnya sesuai dengan nilai­nilai dan jati diri bangsa, yaitu Pancasila. 

Salah satu tujuan lain dari pendidikan dan pengajaran akuntansi adalah menciptakan   lulusan   yang   nantinya   akan   bekerja   pada   beragam   profesi akuntansi.   Pendidikan   dan   pengajaran   akuntansi   yang   dilakukan   bertujuan untuk menyiapkan mahasiswa agar memiliki kemampuan dan kompetensi yang baik  dalam bidang  akuntansi. Diharapkan  nantinya lulusan  yang dihasilkan tidak hanya memiliki kemampuan teknis dan profesional yang baik, tetapi juga memiliki kepribadian dan karakter yang baik. Kepribadian dan karakter yang baik, misalnya bersikap profesional, jujur dalam melaksanakan tugas, cermat, dan memiliki rasa welas asih. Efferin (2015) berpendapat bahwa saat ini belum banyak   kurikulum   pendidikan   tinggi   akuntansi   yang   mencoba   untuk memasukkan   unsur   spiritual   dan   kearifan   lokal   dalam   setiap   mata   kuliah akuntansi.   Dampaknya   adalah   praktek   akuntansi   hanya   dipandang   sebagai keterampilan teknis semata dan tidak memerlukan unsur­unsur nurani dalam pelaksanaan   praktek   akuntansi   tersebut   (Efferin,   2015).   Molisa   (2011) berpendapat bahwa penelitian mengenai pendidikan akuntansi dianggap kurang mendidik   sehingga   mengakibatkan   banyak   profesi   akuntansi   tidak   mampu menyesuaikan   diri   dengan   lingkungan   bisnis   yang   terus   berkembang.   Boyce (2008) menjelaskan bahwa pemahaman akuntansi tidak cukup hanya dengan memasukkan nilai­nilai etis saja tetap juga harus dimasukkan dimensi­dimensi sosial, politik, etis dan lingkungan di mana isu­isu akuntansi itu berkembang. Jika   pendidikan   akuntansi   hanya   mengutamakan   rasionalitas   belaka   tanpa mengandung   unsur­unsur   spiritual,   maka   lulusan   akuntansi   nantinya   akan bercirikan rasionalitas, egois, apatis, tidak peka pada lingkungan sekitar, dan miskin nilai spiritualitas (Kamayanti, 2012). Proses belajar mengajar di jurusan akuntansi   harus   mengubah   mahasiswa   menjadi   lulusan   yang   utuh   sebagai manusia. Artinya lulusan akuntansi diharapkan memiliki sisi­sisi humaniora ketika nanti berprofesi dalam profesi akuntansi. Berdasarkan pada pemahaman ini   maka   hendaknya   pendidikan   dan   pengajaran   akuntansi   tidak   hanya berfokus kepada kecerdasan pikiran dalam memahami akuntansi, tetapi juga berfokus pada bagaimana agar pendidikan dan pengajaran akuntansi mampu mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan hati peserta didik.

Diperlukan   teknik   atau   cara   baru   agar   mahasiswa   bisa   lebih   mudah memahami materi akuntansi yang telah bersifat internasional. Salah satu cara yang   dapat   dipergunakan   adalah   memberikan   materi   pendidikan   dan pengajaran   akuntansi   dengan   disertai   unsur­unsur   spiritual,   unsur­unsur

(4)

budaya, dan kearifan lokal (local wisdom) yang telah dipahami oleh mahasiswa. Saat ini belum banyak kurikulum pendidikan tinggi khususnya akuntansi yang secara khusus berusaha untuk memasukkan materi­materi mengenai kearifan lokal   dalam   mata   kuliah   akuntansi   (Efferin,   2015).   Mata   kuliah   akuntansi masih berdiri sendiri tanpa disertai dengan materi­materi mengenai spiritualitas maupun budi pekerti. Materi mengenai spiritualitas dan budi pekerti dianggap sebagai   bagian   yang   tidak   integral   dalam   materi   akuntansi.   Efferin   (2015) berpendapat   bahwa   perlu   adanya   usaha   untuk   mendekatkan   kearifan   lokal (local   wisdom)   dengan   akuntansi   sehingga   praktek­praktek   akuntansi   dapat berkembang dan memiliki manfaat untuk kesejahteraan sosial jangka panjang. Kearifan lokal mengandung nilai­nilai sosial dan budaya yang tidak hanya dapat meningkatkan kecerdasan peserta didik tetapi juga dapat meningkatkan nilai moralitas dan etika peserta didik. Akuntansi pada dasarnya membawa nilai­ nilai etika, moral, spiritualitas namun nilai­nilai ini sering diabaikan karena kita terlalu   mendewakan  rasionalitas   dan  intelektualitas   (Sylvia,  2014).   Nilai­nilai karakter dan sosial harus dimasukkan ke dalam pendidikan agar peserta didik dapat menghayati dan memahami nilai­nilai moral kemanusiaan (Aufin, 2014).

Tulisan ini mencoba untuk memasukkan atau mensintesakan unsur­unsur spiritualitas,   budaya,   dan   kearifan   lokal,   khususnya   yang   dimiliki   oleh masyarakat Bali dalam materi kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Mata kuliah   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   dipilih   untuk   disintesakan   dengan unsur­unsur   spiritualitas,   budaya,   dan   kearifan   lokal   dengan   beberapa pertimbangan,   yaitu   (1)   konsep   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   muncul sebagai jawaban atas tuntutan adanya kerusakan sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas bisnis perusahaan, (2) konsep akuntansi sosial dan lingkungan   muncul   sebagai   jawaban   atau   “perlawanan”   atas   akuntansi konvensional yang tidak memasukkan nilai­nilai sosial dan lingkungan dalam ukuran­ukuran akuntansi, dan (3) materi­materi dalam mata kuliah akuntansi sosial   dan   lingkungan   dapat   dimasukkan   unsur­unsur   spiritualitas,   budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali yang memang sebagian besar mengandung nilai­nilai   sosial   kemasyarakatan   dan   lingkungan,   (4)   konsep   turunan   dari akuntansi sosial dan lingkungan adalah konsep green accounting, konsep bisnis berkelanjutan,   dan   konsep  corporate   social   responsibility  yang   dapat menunjukkan   kepada   mahasiswa   bahwa   ekonomi   dan   bisnis   harus   juga memperhatikan sisi sosial dan lingkungan. Diharapkan dengan lebih banyak memasukkan   unsur­unsur   spiritual,   budaya,   dan   kearifan   lokal   akan membantu   menghasilkan   lulusan   akuntansi   yang   tidak   hanya   memiliki keterampilan teknis yang baik, tetapi juga memiliki karakter dan kepribadian yang baik.

2. PEMBAHASAN

Penelitian   ini   terkait   dengan   proses   pembelajaran   dalam   akuntansi khususnya dalam mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Penelitian ini merupakan penelitian konseptual yang bertujuan untuk mensintesakan unsur­ unsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal dalam materi kuliah akuntansi sosial   dan   lingkungan.   Pengumpulan   data   dalam   penelitian   ini   selain ditentukan   berdasarkan   informasi   pribadi   yang   dimiliki   oleh   penulis   juga ditentukan   berdasarkan   dokumen­dokumen   yang   berisi   mengenai   materi pembelajaran mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan (silabus dan satuan acara perkuliahan) dan dosen yang mengampu mata kuliah tersebut. 

Untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran mata kuliah akuntansi sosial   dan   lingkungan,   maka   dilakukan   melalui   observasi   terhadap   proses pembelajaran  yang ada.  Observasi dilakukan  untuk melihat  bagaimana para

(5)

pengajar   menyampaikan   materi   kuliah   akuntansi   sosial   dan   lingkungan. Observasi   juga   dilakukan   untuk   melihat   teknik   atau   cara   pengajar menyampaikan   materi   kuliah   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   dan   materi­ materi   apa   saja   yang   diajarkan   dalam   mata   kuliah   akuntansi   sosial   dan lingkungan   tersebut.   Proses   wawancara   dilakukan   juga   untuk   mengetahui apakah   para   pengajar   sudah   memasukkan   materi   unsur­unsur   spiritual, budaya,   dan   kearifan   lokal   dalam   materi   mata   kuliah   akuntansi   sosial   dan lingkungan. Wawancara juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana respon pengajar mengenai proses pembelajaran akuntansi sosial dan lingkungan yang disertai   dengan   memasukkan   unsur­unsur   spiritual,   budaya,   dan   kearifan lokal. 

Penelitian   konseptual   ini   dilakukan   di   jurusan   akuntansi   program   S1 Universitas   Pendidikan   Ganesha,   Singaraja,   Bali.   Penelitian   konseptual   ini dilakukan di jurusan akuntansi program S1 Universitas Pendidikan Ganesha untuk   mengetahui   bagaimana   proses   pembelajaran   akuntansi   sosial   dan lingkungan   yang   memasukkan   unsur­unsur   spiritual,   budaya,   dan   kearifan lokal khas daerah Bali. 

Unsur   Spiritualitas,   Budaya,   dan   Kearifan   Lokal   dalam   Pendidikan Akuntansi

Kata spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang memiliki pengertian menghidupkan   makhluk.   Unsur­unsur   spiritual   dalam   diri   manusia   akan membentuk sebuah kecerdasan spiritual (Zohar dan Marshall, 2001). Zohar dan Marshall   (2001)   berpendapat   bahwa   unsur­unsur   spiritualitas   dalam   diri manusia   tidaklah   harus   selalu   dikaitkan   dengan   keyakinan   agama   yang dimilikinya   karena   setiap   manusia   memiliki   unsur­unsur   spiritualitas.   Field (2007) dalam Efferin (2015) menyatakan bahwa unsur spiritualitas dalam bisnis sangat   terkait   dengan   usaha­usaha   untuk   mengurangi   keserakahan, menunjukkan   welas   asih   pada   sesama,   dan   berkontribusi   pada   kelestarian lingkungan.   Sukarsa   (2010)   berpendapat   bahwa   konsep   ekonomi   selama   ini hanya   memasukkan   manusia   sebagai  homo   economicus  yang   menyatakan bahwa   manusia   harus   menerapkan   prinsip   ekonomi   dengan   cara meminimalkan sumber daya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Akibat sifat   ini   maka   akan   muncul   keserakahan   dalam   bisnis.   Pelaku   bisnis   tidak hanya berpatokan pada laba yang akan didapat tetapi juga harus memikirkan dampak   sosial   dan   dampak   lingkungan   dari   kegiatan   bisnis   yang   mereka lakukan. Memasukkan dimensi spiritualitas dalam bisnis bertujuan agar bisnis semakin bermanfaat bagi peradaban. Bisnis tidak hanya menguntungkan bagi sebagian   kelompok   tetapi   dapat   memberikan   manfaat   yang   lebih   kepada masyarakat   luas.   Sukarsa   (2010)   mengedapankan   istilah  homospiritual  bagi manusia dalam menjalankan bisnis yang mengedepankan nilai­nilai etika dalam berbisnis. Bisnis seringkali dijalankan dengan menghalalkan segala cara agar laba yang didapatkan perusahaan semakin besar (Ghani, 2006). Harus disadari bahwa   pelaku   dalam   bisnis   adalah   manusia   itu   sendiri   sehingga   seringkali bisnis tersebut dijalankan dengan cara yang tidak baik (persaingan yang tidak sehat, ketidakjujuran, dan kecurangan). Dengan konsep ini maka tidak heran muncul konsep etika bisnis agar bisnis tersebut dijalankan dengan nilai­nilai etika dan moralitas.

Mulawarman   dan   Ludigdo   (2010)   berpendapat   bahwa   perilaku   etis   yang dimiliki oleh mahasiswa tidak cukup untuk mengantarkan mahasiswa menjadi akuntan yang profesional tetapi akuntansi harus dipahami sebagai ilmu dan nilai. Nilai inilah yang nanti akan menjadi dasar bagi akuntan agar memiliki etika   dalam   menjalankan   profesinya.   Etika   yang   tinggi   dalam   menjalankan

(6)

profesi   akan   membuat   setiap   orang   yang   terlibat   dalam   profesi   akuntansi menjadi   disegani.   Secara   tidak   langsung   hal   ini   akan   membawa   profesi akuntansi ke tingkat yang lebih terhormat. Sulistiyo (2012) berpendapat bahwa banyaknya   skandal   akuntansi   dan   manipulasi   laporan   keuangan   serta rendahnya   kepedulian   perusahaan   terhadap   tanggung   jawab   sosial   dan lingkungan   menunjukkan   bahwa   telah   terjadi   perubahan   dari   sisi   pelaku akuntansi.   Dari   pendapat   Sulistiyo   (2012)   kita   dapat   menyimpulkan   bahwa kecurangan­kecurangan yang terjadi dalam akuntansi lebih banyak disebabkan oleh   pelaku   akuntansi   tersebut.   Akuntansi   sudah   diciptakan   sedemikian baiknya tetapi ketika yang menggunakan akuntansi tersebut hanya berdasar kepentingannya   semata,   maka   akuntansi   pun   akan   dipergunakan   untuk kepentingan   satu   kelompok   saja.   Calon­calon   pelaku   akuntansi   (mahasiswa) harus   menyadari   hal   ini   dan   sudah   seharusnya   pendidikan   akuntansi memberikan pemahaman bahwa etika dan moralitas sangat diperlukan dalam profesi akuntansi.

Mulawarman (2008) berpendapat bahwa tujuan dari pendidikan akuntansi adalah   memberikan   nilai   “cinta   yang   melampaui”   pada   mahasiswa   dalam bentuk keseimbangan antara akuntabilitas dan moralitas. Pada titik ini maka diharapkan   lulusan   akuntansi   nantinya   memiliki   pertanggungjawaban   moral tidak hanya kepada pemilik perusahaan atau investor saja, tetapi juga kepada masyarakat   sosial   dan   lingkungan.   Pada   akhirnya   orang­orang   yang berkecimpung dalam profesi akuntansi tidak hanya bertanggung jawab secara hubungan bisnis kepada pihak tertentu, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral   kepada   masyarakat   dan   lingkungan.   Moralitas   yang   disertai   dengan integrasi nilai­nilai spiritual akan dapat mencerahkan mahasiswa menuju cinta Allah   (Mahabbatullah)   (Mulawarman   dan   Ludigdo,   2010).   Spiritualitas   tidak hanya   tentang   agama   tapi   juga   tentang   kemanusiaan   dan   spiritualitas melampaui batas­batas keagamaan serta dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan hidup (Efferin, 2015). Nilai­nilai spiritualitas dimiliki oleh setiap manusia   dan   dapat   dijadikan   pijakan   dalam   melaksanakan   kewajiban   dan tanggung   jawab   dalam   hidup.   Nilai­nilai   spiritualitas   akan   membimbing manusia untuk menjauh dari kesengsaraan duniawi. Setiap manusia memiliki kecerdasan   spiritual   sejak   lahir   dan   mempergunakan   kecerdasan   tersebut untuk menjalani hidup. Manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi akan mampu memberikan sisi positif dalam hidupnya sehingga manusia akan selalu   melakukan   perbuatan   dan   tindakan   yang   baik   (Zohar   dan   Marshall, 2001). Filsafat Vedanta yang dikemukakan oleh Saraswati (1994) menyatakan bahwa  manusia harus  mampu mengoptimalkan  fungsi pikiran  (manah)  yang mendapatkan  pencerahan dari  perilaku (buddhi) dan  kesadaran jiwa  (atman) agar dapat mengendalikan tubuh, pikiran, dan panca indra. Pencerahan dari perilaku dan kesadaran jiwa akan dapat dicapai jika manusia memiliki tingkat spiritualitas dan moralitas yang baik. 

Para   lulusan   akuntansi   yang   nantinya   bekerja   di   profesi   akuntan   harus menyadari bahwa mereka nantinya akan menjadi suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Dalam masyarakat tersebut juga memiliki nilai­nilai kebudayaan yang dipegang teguh oleh unsur­unsur dalam masyarakat tersebut. Hal inilah yang mengharuskan lulusan akuntansi dalam sikap dan perbuatannya harus mengandung nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Pendidikan tinggi akuntansi harus bertanggung jawab untuk menghasilkan lulusan yang memahami nilai dan norma sosial. Aufin (2014) berpendapat bahwa merupakan kewajiban   pendidikan   tinggi   untuk   menghasilkan   lulusan   yang   memiliki karakter dan berwawasan multikultural. Proses pendidikan merupakan proses yang holistik dimana para peserta didik dapat belajar untuk menemukan jati

(7)

dirinya. Jati diri yang harus terbentuk dalam diri peserta didik adalah nilai­nilai kebenaran   dan   moralitas   yang   baik.   Triyuwono   (2007)   berpendapat   bahwa proses pendidikan yang terlalu banyak mengandalkan kecerdasan intelektual telah   menindas   sistem   pendidikan   dan   jati   diri   peserta   didik.   Padahal   pada dasarnya terdapat banyak kecerdasan yang harus dimiliki oleh peserta didik (kecerdasan   spiritual,   kecerdasan   emosional,   dan   kecerdasan   sosial).   Proses pendidikan tinggi harus dapat membentuk semua kecerdasan tersebut tanpa mementingkan satu kecerdasan saja. Jika ini semua tercapai maka diharapkan dapat   menghasilkan   lulusan   dengan   jati   diri   yang   utuh.   Aufin   (2014) menyatakan  bahwa  pendidikan  karakter  menempatkan  peserta  didik  sebagai pelaku   utama   dalam   hal   pengembangan   karakter.   Peserta   didik   diharapkan dapat mengembangkan karakternya dengan baik sehingga ia dapat menghayati tugas dan kewajibannya dalam komunitas sosial.

Unsur Spiritualitas Masyarakat Bali

Kehidupan sehari­hari masyarakat Bali tidak dapat dipisahkan dari kegiatan spiritual.   Kegiatan   spiritual   dapat   dikatakan   sebagai   sebuah   jiwa   bagi masyarakat Bali. Unsur­unsur spiritual yang berkembang di Bali tidak dapat dipungkiri berasal dari ajaran agama Hindu. Terdapat banyak konsep spiritual dalam agama Hindu. Konsep tat twam asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku) yang mengandung pengertian bahwa setiap manusia adalah sama, konsep rwa bhinneda  (kebaikan   selalu   berdampingan   dengan   keburukan)   yang   berarti bahwa dalam hidup ini akan selalu ada kebaikan dan keburukan (harus ikhlas menerima kondisi baik dan buruk), konsep karma phala (semua perbuatan ada hasilnya/hasil dari perbuatan), konsep  tri kaya parisudha  (terdiri dari  kayika, wacika,  manacika  yang berarti berkata, berpikir, dan berbuat yang baik), dan konsep  catur purusa artha  (terdiri dari  dharma,  artha,  kama, dan  moksa  yang berarti empat tujuan hidup sebagai manusia atau bahwa dalam hidup semua keinginan harus dilandasi kebaikan agar tercapai pembebasan duniawi) yang merupakan konsep­konsep spiritualitas yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali.   Konsep­konsep   inilah   yang   dijadikan   pedoman   hidup   oleh   masyarakat Bali. Setiap tindakan dan perbuatan masyarakat Bali selalu didasarkan pada konsep­konsep   spiritualitas   yang   sudah   ada.   Masyarakat   Bali   berpendapat bahwa unsur­unsur spiritualitas merupakan unsur­unsur yang terdapat dalam diri setiap manusia.

Unsur­unsur   spiritualitas   masyarakat   Bali   sangat   terasa   sangat   adanya rahinan (hari raya) Hindu atau odalan (persembahyangan) di pura. Rahinan dan odalan  merupakan   hari­hari   besar   keagamaan   dimana   pada   hari   tersebut masyarakat   Bali   melakukan   persembahyangan   di   rumah   maupun   di   pura. Setiap  rahinan  memiliki   makna   spiritualitas   tersendiri,   misalnya  rahinan galungan  yang   memiliki   kemenangan  dharma  (kebaikan)   melawan  adharma (keburukan)   dan  rahinan   nyepi  yang   bermakna   perenungan   diri   untuk menyambut tahun baru  caka. Unsur spiritualitas masyarakat Bali dapat pula dilihat   pada   tata   cara   persembahyangan.   Sehabis   melakukan persembahyangan, umat Hindu akan menerima tirta (air suci) dan bija (beras). Tirta  tersebut diminum dan  bija  akan ditempelkan di kening. Makna  tirta  dan bija  merupakan berkah yang diterima sehabis melakukan persembahyangan. Air   dan   beras   dilambangkan   sebagai   simbol   berkah   dan   anugerah.   Tanpa adanya air dan beras maka kehidupan tidak akan berjalan dengan baik. Ini bermakna ucapan terimakasih terhadap alam semesta atas berkah yang telah dilimpahkan. Sebuah bentuk simbol dengan makna yang sangat dalam. Unsur spiritual   masyarakat   Bali   mengenal   pula   konsep  yadnya  yang   berarti

(8)

persembahan yang tulus atau korban suci yang tulus ikhlas. Masyarakat Bali memaknai  yadnya  sebagai   simbol   bahwa   dalam   melakukan   sesuatu   harus dengan hati yang tulus tanpa mengharapkan imbalan dari perbuatan yang kita lakukan.   Masyarakat   Bali   meyakini   bahwa   pelaksanaan  yadnya  dalam kehidupan   sehari­hari   bertujuan   untuk   mencapai   tujuan   hidup   yang sebenarnya, yaitu mokshartam jagadhita (kebaikan dunia dan akhirat).

Konsep­konsep   spiritualitas   lainnya   juga   dipraktekkan   dalam   kehidupan sehari­hari masyarakat Bali. Contoh dari kegiatan spiritualitas yang dilakukan oleh masyarakat Bali, yaitu sehabis memasak dan menanak nasi, masyarakat Bali membuat sebuah sesajen (banten) yang disebut sebagai mebanten saiban. Kegiatan mebanten saiban ini dilakukan dengan menghaturkan nasi yang telah dimasak di sekitar pekarangan rumah. Konsep mebanten saiban ini merupakan konsep   penghormatan   masyarakat   Bali   kepada   alam   sekitar.   Mengandung pengertian ucapan terimakasih atas segala berkah yang dilimpahkan oleh alam. Konsep   spiritualitas   masyarakat   Bali   lainnya,   yaitu  tumpek   uye  dan  tumpek kandang. Tumpek uye dan tumpek kandang merupakan bentuk penghormatan masyarakat Bali terhadap alam khususnya terhadap tanaman dan hewan. Pada saat  tumpek uye  dan  tumpek kandang,  masyarakat Bali  melakukan upacara keagaamaan kepada tanaman dan hewan dengan harapan tanaman dan hewan tersebut   akan   memberikan   berkah   yang   lebih   banyak   lagi.   Unsur­unsur spiritualitas dalam masyarakat Bali sangat memperhatikan atau memfokuskan pada   keadaan   alam.   Ini   sangat   sesuai   dengan   filosofi   ketimuran   yang mengagungkan   alam   karena   telah   memberikan   berkah   kepada   manusia. Penghormatan­penghormatan   kepada   bagian   alam   sangat   ditekankan   pada nilai­nilai spiritual masyarakat Bali. Ini adalah bentuk sederhana dari unsur spiritualitas   yang   terdapat   dalam   masyarakat   Bali.   Sebuah   bentuk penghormatan   sederhana   dengan   makna   yang   sangat   dalam   kepada   alam semesta.

Unsur Budaya dan Kearifan Lokal Masyarakat Bali

Indonesia   merupakan   negara   yang   memiliki   beragam   kebudayaan. Kebudayaan   memiliki   pengertian   yang   sangat   luas   mencakup   seluruh   cipta, karsa,   dan   karya   manusia.   Budaya   dalam   wujudnya   dapat   dikategorikan menjadi   pola   pikir,   nilai­nilai   sosial,   dan   benda   (Koentjaraningrat,   1993). Kebudayaan   tersebut   dapat   berupa   nilai­nilai   sosial   yang   berkembang   di masyarakat, lagu, tarian, cerita, dan kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan nilai­nilai   yang   dipegang   teguh   oleh   suatu   kelompok   masyarakat   tertentu. Kearifan   lokal   suatu   daerah   akan   mempengaruhi   cara   pandang   kelompak masyarakat   tersebut   terhadap   kehidupan.   Kebudayaan   akan   mempengaruhi norma dan nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat. Kebudayaan juga akan mempengaruhi bagaimana interaksi masyarakat di dalam komunitasnya. Bali   termasuk   salah   satu   daerah   di   Indonesia   yang   memiliki   beragam kebudayaan. Kebudayaan tersebut berupa tarian Bali, cerita­cerita lokal khas Bali,   lagu­lagu   khas   Bali,   dan   kearifan   lokal   yang   dipegang   teguh   oleh masyarakat   Bali.   Beberapa   kebudayaan   tersebut   sudah   berkembang   sejak ratusan tahun yang lalu dan tetap terpelihara hingga kini. Contoh kebudayaan yang   berkembang   di   masyakat   Bali,   yaitu   tarian   dan   lagu.   Kearifan   lokal muncul sebagai hasil dari proses dialektikal antara manusia dengan lingkungan dan komunitas sosialnya. Kearifan lokal merupakan nilai­nilai yang dianut oleh sebuah   komunitas   adat.   Kearifan   lokal   suatu   daerah   dapat   berasal   dari pengetahuan lokal (local knowledgement) yang dimiliki oleh masyarakat tersebut atau tradisi yang sudah berjalan lama di daerah tersebut. Karakteristik dari

(9)

kearifan   lokal   adalah   bahwa   kearifan   lokal   tersebut   harus   mengajarkan mengenai   nilai­nilai   etika   dan   moral   dan   ajaran­ajaran   kearifan   lokal   harus dapat   mengajarkan   untuk   mencintai   alam   dan   lingkungan.   Masyarakat   Bali juga   memiliki   beberapa   konsep   kearifan   lokal   yang   sudah   dianut   selama ratusan tahun. Salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bali, yaitu konsep tri hita karana, konsep manyama braya, konsep paras paros, dan konsep sagilig sagulug salunglung sabyantaka. Sebagian besar nilai­nilai dalam konsep   kearifan   lokal   masyarakat   Bali   adalah   nilai­nilai   etika,   sosial,   dan kepedulian terhadap alam dan lingkungan.

Konsep  tri   hita   karana  merupakan   sebuah   konsep   spiritual   dan   konsep kearifan lokal masyarakat Bali yang bertujuan untuk membentuk keselasaran hidup manusia. Kata tri hita karana berasal dari bahasa sanskerta yang terdiri dari tiga kata, yaitu “tri” yang berarti tiga, “hita” yang berarti kebaikan atau kemuliaan,   dan   “karana”   yang   berarti   penyebab   sehingga   secara   umum pengertian   dari  tri   hita   karana  adalah   tiga   hal   atau   tiga   penyebab   yang mengakibatkan   kehidupan   manusia   menjadi   baik   atau   bahagia.   Oka   (2004) berpendapat   bahwa   konsep  tri   hita   karana  mengandung   pengertian   “tiga penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan”. Konsep  tri hita karana  terdiri dari konsep  parahyangan  (hubungan manusia dengan Tuhan (kata  hyang  berarti suci)),   konsep  pawongan  (hubungan   manusia   dengan   manusia   (kata  wong berarti   manusia)),   dan   konsep  palemahan  (hubungan   manusia   dengan lingkungan   atau   alam).   Ajaran   utama   dari   konsep  tri   hita   karana  adalah bagaimana   agar   manusia   mencapai   keseimbangan   dan   keselarasan   hidup. Menurut   konsep  tri   hita  karana,   keseimbangan  dan   keselarasan  hidup   akan tercapai jika manusia menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan, menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, dan menjalin hubungan baik dengan lingkungan atau alam. Parma (2010) menjelaskan bahwa konsep tri hita karana menjelaskan   mengenai   posisi   manusia   dalam   alam   semesta   dan   hubungan manusia dengan unsur­unsur lain dalam alam semesta tersebut. Konsep tri hita karana  memandang bahwa terdapat dua dunia (bhuana), yaitu dunia jasmani manusia dan lingkungan sekitarnya (bhuana alit) atau mikrokosmos dan dunia alam   semesta   (bhuana   agung)   atau   makrokosmos.   Ajaran   Agama   Hindu menjelaskan   bahwa   manusia   harus   menjaga   keharmonisan   kedua   dunia tersebut agar tercipta kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Secara umum   konsep   dalam  tri   hita   karana  merupakan   nilai­nilai   yang   bersifat universal.   Konsep  tri   hita   karana  adalah   bersifat   universal   yang   memiliki pengertian bahwa konsep ini dapat diterapkan oleh semua umat manusia yang menginginkan   keseimbangan   dan   keselarasan   dalam   kehidupan.   Penerapan pelaksanaan konsep  tri hita karana  dikhususkan pada aspek spiritual, sosial kultural,   dan   teritorial   untuk   mencapai   keselarasan   hidup.   Tujuan   dari pelaksanaan konsep  tri hita karana  dalam kehidupan masyarakat Bali adalah untuk mencapai mokshartam jagadhita yang berarti kebahagiaan yang sejati.

Konsep  parahyangan  menjelaskan   mengenai   hubungan   antara   manusia dengan   Tuhan.   Ini   merupakan   bentuk   hubungan   vertikal   antara   manusia dengan   Tuhan.   Bentuk   pelaksanaan   konsep  parahyangan  ini   adalah melaksanakan   ajaran­ajaran   agama,   melaksanakan   kegiatan   upacara keagamaan,   dan   membangun   tempat   sembahyang.   Konsep  pawongan menjelaskan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain. Manusia diharuskan   membentuk   hubungan   yang   selaras   dengan   manusia   lainnya. Hubungan   yang   selaras   tersebut   dapat   diwujudkan   dalam   hubungan   dalam keluarga,   hubungan   dalam   persahabatan,   dan   hubungan   dalam   pekerjaan. Konsep pawongan ini memiliki konsep turunan, yaitu konsep manyama braya.

(10)

Konsep  manyama braya  memiliki pengertian kekerabatan atau kekeluargaan. Konsep palemahan menjelaskan hubungan antara manusia dengan lingkungan atau alam. Manusia diharuskan menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Konsep palemahan mengajarkan bahwa kehidupan manusia merupakan bagian dari   alam   sehingga   jika   alam   rusak   maka   kehidupan   manusia   juga   akan terganggu. Konsep parahyangan, pawongan, dan palemahan menuntut manusia untuk   menjaga   hubungan   dengan   Tuhan,   sesama   manusia,   dan   lingkungan sehingga dapat terwujud keseimbangan dan keselarasan hidup.

Konsep budaya dan kearifan lokal lain yang dimiliki oleh masyarakat Bali adalah konsep manyama braya, konsep paras paros, dan konsep sagilig sagulug salunglung   sabyantaka.   Konsep  manyama   braya,   konsep  paras   paros,   dan konsep  sagilig   sagulug  salunglung   sabyantaka  merupakan   konsep   dalam hubungan sosial dalam masyarakat Bali. Konsep manyama braya (kata nyama berarti keluarga;  manyama  berarti memiliki hubungan keluarga) memiliki arti kekeluargaan   atau   kebersamaan   dalam   sebuah   komunitas   adat.   Konsep manyama braya dapat pula diartikan sebagai tindakan saling tolong menolong dalam   agar   tercapai   keharmonisan   hubungan   sosial.   Konsep  paras   paros memiliki   pengertian   yang   mendalam   mengenai   adanya   dinamika   dalam keragaman.   Masyarakat   Bali   yang   memahami   mengenai   makna  paras   paros akan mengerti bahwa dalam kehidupan sehari­hari akan selalu ada perbedaan pendapat,   perbedaan   persepsi,   dan   perbedaan   pemahaman   akan   suatu   hal. Konsep  paras paros  mengajarkan masyarakat Bali bahwa keragaman itu akan selalu   ada   dan   harmoni   akan   tercipta   melalui   adanya   keragaman   (unity   in diversity).   Konsep  sagilig   sagulug   salunglung   sabyantaka  mengandung pengertian   apapun   yang   terjadi   baik   dalam   keadaan   baik   atau   buruk, hubungan sosial dan kekerabatan harus tetap terjaga. Secara umum konsep paras paros dan konsep sagilig sagulug salunglung sabyantaka dapat diartikan bersatu dalam suka dan duka dan apapun dinamika yang terjadi hendaknya diselesaikan dengan cara­cara yang damai. Hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat Bali dapat bertahan ratusan tahun akibat adanya konsep­konsep ini.   Masyarakat   Bali   mengenai   istilah  saling   asah,  asih,  asuh  (saling mendukung, saling menyayangi, dan saling membina) yang turut pula untuk mendukung tatanan sosial di Bali. Konsep hubungan sosial kemasyarakatan ini akan semakin meningkat ketika terjadi upacara­upacara keagaamaan. Semua masyarakat   akan   saling   tolong­menolong   agar   upacara­upacara   keagamaan tersebut dapat berjalan dengan lancar.

Gambaran Umum Materi Kuliah Akuntansi Sosial dan Lingkungan pada Jurusan Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha

Mata   kuliah   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   pada   jurusan   akuntansi program S1 Universitas Pendidikan Ganesha memiliki bobot 3 sks. Selama satu semester mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan memiliki tatap muka sebanyak 16 kali. Standar kompetensi dari mata kuliah ini adalah diharapkan mahasiswa memahami dan mampu mengaplikasikan konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan, konsep dasar  corporate social responsibility  dan dapat menjelaskan   serta   membuat   komponen   laporan   keberlanjutan   perusahaan dalam   bentuk   laporan   keberlanjutan   perusahaan.   Sebaran   materi   yang disampaikan berikut ini merupakan materi yang terdapat dalam silabus mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Berikut adalah sebaran materi yang diajarkan pada setiap pertemuan:

(11)

Pertemuan

Ke­ Materi Pokok

1 Konsep   dasar   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   dan   sejarah munculnya akuntansi sosial dan lingkungan

2 Konsep dasar, ruang lingkup, dan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan/ corporate social responsibility (CSR)

3 Konteks   keberlanjutan   dalam   bisnis,  green   business,   green economy, dan green accounting

4 Rerangka   pelaporan  Global   Reporting   Initiative  (GRI),   prinsip­ prinsip pelaporan, dan standar pengungkapan 5 Indikator kinerja ekonomi perusahaan 6 Indikator kinerja sosial perusahaan 7 Indikator kinerja lingkungan perusahaan 8 Ujian tengah semester 9 Konsep laporan berkelanjutan (sustainability report) 10 Unsur­unsur laporan berkelanjutan pada industri manufaktur 11 Unsur­unsur laporan berkelanjutan pada industri pertambangan 12 Unsur­unsur laporan berkelanjutan pada industri perbankan 13 Diskusi   laporan   berkelanjutan   perusahaan   pada   industri

manufaktur

14 Diskusi   laporan   berkelanjutan   perusahaan   pada   industri pertambangan

15 Diskusi   laporan   berkelanjutan   perusahaan   pada   industri perbankan

16 Ujian akhir semester

Berdasarkan   sebaran   mata   kuliah   ini,   kita   dapat   melihat   bahwa   secara garis besar materi mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu pemahaman konsep dan aplikasi dari konsep. Pemahaman konsep ditekankan pada pertemuan 1 sampai 7 dan pertemuan 9 sampai 12. Aplikasi dari konsep ditekankan pada pertemuan 13 sampai 15. Pertemuan 1 dan 2 membahas mengenai konsep­konsep dasar yang dipakai dalam akuntansi sosial dan   lingkungan   dan   alasan   mengapa   muncul   istilah   tanggung   jawab   sosial perusahaan. Materi ini bertujuan agar mahasiswa bisa memahami bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam bisnis dimana unsur sosial dan lingkungan mulai   diperhatikan   oleh   perusahaan.   Pertemuan   3   membahas   mengenai konsep­konsep   turunan   dalam   konsep   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   dan mahasiswa   harus   memahami   hubungan   antara   tanggung   jawab   sosial perusahaan dalam konteks bisnis yang berkelanjutan. Pertemuan 4 membahas mengenai bagaimana cara perusahaan untuk melaporkan kegiatan sosial dan lingkungannya   dan   standar   pengungkapan   yang   dapat   dipergunakan. Pertemuan 5 sampai 7 membahas mengenai indikator­indikator apa saja yang diungkapkan dalam pelaporan kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh   manajemen   perusahaan.   Pertemuan   9   membahas   mengenai   laporan berkelanjutan perusahaan. Pada pertemuan ini juga dikenalkan adanya laporan yang   harus   dibuat   oleh   perusahaan   dalam   lingkup   sosial   dan   lingkungan. Mahasiswa diharapkan dapat memahami bahwa laporan­laporan yang dibuat oleh   perusahaan   bukan   hanya   laporan   keuangan   (financial   statements)   dan laporan   tahunan   (annual   report)   saja.   Pertemuan   10   sampai   12   membahas mengenai   unsur­unsur   yang   diungkapkan   oleh   perusahaan   dalam   laporan berkelanjutannya.   Dalam   materi   ini   tiga   industri   dipilih,   yaitu   industri

(12)

manufaktur,   pertambangan,   dan   perbankan.   Manufaktur   dan   pertambangan dipilih karena aktivitas industri ini dapat mengakibatkan kerusakan sosial dan lingkungan. Sedangkan perbankan dipilih sebagai perbandingan industri yang tidak   mengakibatkan   adanya   kerusakan   sosial   dan   lingkungan.   Materi   ini membahas mengenai perbandingan laporan berkelanjutan antara industri yang dapat mengakibatkan kerusakan sosial dan lingkungan dengan industri yang tidak dapat mengakibatkan adanya kerusakan sosial dan lingkungan. Hal ini dilakukan   karena   pada   kenyataannya   industri   perbankan   turut   pula   untuk mengeluarkan laporan berkelanjutan. Dalam pertemuan ini juga dibahas dasar peraturan   bagi   perusahaan   untuk   mengungkapkan   kegiatan   sosial   dan lingkungannya,   misalnya   UU   No.   40   tahun   2007.   Pertemuan   13   sampai   15 merupakan   pertemuan   untuk   mendiskusikan   laporan   keberlanjutan   yang dibuat   oleh   kelompok   mahasiswa.   Sebelumnya   mahasiswa   diberikan   tugas untuk menyusun dan kemudian menyajikan laporan berkelanjutan yang sudah dibuat.   Setiap   kelompok   menyampaikan   saran   dan   pendapat   terkait   laporan berkelanjutan yang sudah dibuat oleh kelompok yang lain.

Metode   pembelajaran   yang   dilakukan   di   kelas   adalah   metode   presentasi dan   diskusi.   Setiap   mahasiswa   akan   membentuk   kelompok   dan   menyajikan materi   yang   didapat   kelompok   tersebut   di   depan   kelas.   Metode   presentasi dilakukan saat membahas materi­materi kuliah yang berkaitan dengan konsep­ konsep   akuntansi   sosial   dan   lingkungan.   Metode   diskusi   dilakukan   saat membahas   materi­materi   aplikasi   konsep,   khususnya   pada   saat   mahasiswa diminta untuk membuat laporan berkelanjutan perusahaan. Sebaran materi ini akan dicoba untuk disintesakan dengan unsur­unsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bali. 

Sintesa   Unsur­Unsur   Spiritualitas,   Budaya,   dan   Kearifan   Lokal   dalam Konsep Dasar Mata Kuliah Akuntansi Sosial dan Lingkungan

Sintesa   unsur­unsur   spiritualitas,   budaya,   dan   kearifan   lokal   dapat diaplikasikan dalam mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Silabus pada mata   kuliah   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   membahas   mengenai   sejarah munculnya   akuntansi   sosial   dan   lingkungan,   standar   GRI   (global   reporting initiative), konsep triple bottom lines, dan kinerja keuangan, kinerja sosial, dan kinerja   lingkungan   perusahaan.   Secara   umum   silabus   pada   materi   kuliah akuntansi sosial dan lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu materi konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan dan materi standar pelaporan kegiatan sosial dan lingkungan perusahaan. Maka sintesa unsur­unsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal akan disertakan pada kedua materi tersebut. Jika materi konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan dikaitkan dengan unsur­unsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal maka akan sesuai dengan konsep   kearifan   lokal  tri   hita   karana.   Konsep   kearifan   lokal  tri   hita   karana mengajarkan bahwa manusia harus mencapai keseimbangan secara spiritual (parahyangan),   keseimbangan   secara   sosial   (pawongan),   dan   keseimbangan dengan   alam   (palemahan).   Konsep  triple   bottom   lines  juga   secara   tegas memberikan   pemahaman   bahwa   perusahaan   dalam   menjalankan   usahanya tidak hanya harus terfokus pada keuntungan semata (profit), tetapi juga harus memikirkan  dampak  dari  usaha  perusahaan  pada  lingkungan  sosial  (people) dan   lingkungan   alam   di   sekitar   perusahaan   (planet).   Nuryaman   (2013) berpendapat   bahwa  konsep  people  dalam   kegiatan  sosial   perusahaan  berarti bahwa entitas bisnis harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan sosial (social   welfare)  stakeholders  perusahaan,   konsep  profit  diartikan   bahwa perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan perusahaan semata tapi juga

(13)

harus   memberikan   kemajuan   kepada   semua  stakeholders  perusahaan,   dan konsep  planet  yang diartikan bahwa perusahaan harus bijak dalam mengelola sumber daya alam. Berdasarkan pemahaman ini maka sintesa konsep  tri hita karana pada konsep akuntansi sosial dan lingkungan adalah unsur dalam triple bottom   lines  yang   menyatakan   bahwa   perusahaan   harus   memikirkan   juga lingkungan   sosial   (people)   dan   lingkungan   alam   (planet)   dalam   aktivitas perusahaan   adalah   sama   dengan   konsep   bahwa   manusia   harus   mencapai keseimbangan sosial (pawongan) dan keseimbangan dengan alam (palemahan) dalam   konsep  tri   hita   karana.   Dengan   sintesa   konsep   ini   maka   pemberian materi   konsep   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   di   kelas   dapat   ditekankan bahwa konsep triple bottom lines secara garis besar sama dengan konsep tri hita karana. 

Unsur spiritual dari masyarakat Bali mengenal konsep  catur purusa artha yang   terdiri   dari   4   bagian,   yaitu  dharma  (kebaikan),  artha  (harta),  kama (keinginan),   dan  moksha  (kebebasan   dari   duniawi).   Kata  catur   purusa   artha berasal  dari bahasa  sanskerta yang  memiliki arti,  yaitu  catur  berarti empat, purusa  berarti   hidup,   dan  artha  berarti   tujuan.   Secara   keseluruhan  catur purusa   artha   berarti  empat   tujuan   hidup   sebagai   manusia.   Tujuan   hidup manusia sebagaimana dinyatakan dalam sebuah  sloka  “dharma, artha, kama, moksana   sarira   sadhanam”   yang   berarti   bahwa   badan   yang   disebut  sarira hanya   boleh   dipergunakan   sebagai   alat   untuk   mencapai   kebaikan,   harta, keinginan, dan pembebasan duniawi. Dari konsep  catur purusa artha  ini kita dapat   melihat   bahwa   Agama   Hindu   mengajarkan   bahwa   manusia   dalam hidupnya   harus   memiliki   tujuan   sebagai   manusia.   Manusia   harus   bisa menggunakan kama (keinginan) untuk mendapatkan artha (tujuan hidup yang dalam   konteks   ini   diartikan   sebagai   harta)   dengan   berlandaskan  dharma (kebaikan) agar mendapatkan  moksha  (pembebasan dari kehidupan duniawi). Jika   dilihat   secara   sepintas   maka   orang   awam   mungkin   akan   mengartikan bahwa tujuan hidup manusia sesuai ajaran Agama Hindu adalah mencari artha (harta). Konsep inti dari catur purusa artha mengajarkan bahwa manusia harus mencari artha bukan sebagai tujuan utama tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai   tujuan   yang   sebenarnya.   Tujuan   yang   sebenarnya   dalam   Agama Hindu   adalah   untuk   mencapai  moksha  (jiwa   manusia   menyatu   dengan   jiwa Brahman (Tuhan)) dalam hal ini bahwa manusia sudah mencapai pembebasan yang sejati. Harta hanya sebagai sarana untuk menjalani hidup dan harta dapat pula dipergunakan untuk membantu orang lain. Jadi dalam pengertian yang sebenarnya tujuan hidup manusia bukanlah untuk mencari harta. Konsep inti berikutnya dari  catur purusa artha  adalah bahwa dalam mencari  artha  (harta) manusia   harus   berlandaskan   dengan  dharma  (kebaikan).   Manusia   tidak diperbolehkan untuk menggunakan cara­cara yang tidak baik dalam mencari harta. Kebaikan harus menjadi dasar dalam segala perbuatan manusia dalam hidupnya. Jika kita sintesakan konsep catur purusa artha ini ke dalam konsep akuntansi   sosial   dan   lingkungan   maka   dapat   diartikan   bahwa   perusahaan dalam mencapai laba (profit atau artha) harus dilandasi dengan cara­cara yang baik   (dharma).   Perusahaan   harus   menyadari   bahwa   yang   diuntungkan   dari kegiatan perusahaan bukanlah hanya manajemen dan pemegang saham saja, tetapi semua  stakeholder  baik di internal maupun eksternal perusahaan juga harus   dapat   menikmati   keuntungan   yang   didapatkan   oleh   perusahaan.   Ini dapat diartikan bahwa tujuan perusahaan tidak hanya untuk menguntungkan manajemen dan pemegang saham tetapi unsur sosial dan lingkungan di sekitar perusahaan   juga   harus   mendapatkan   keuntungan.   Perusahaan   akan memberikan manfaat yang lebih luas kepada semua unsur baik yang ada di

(14)

dalam   maupun   di   luar   perusahaan   (moksha).   Manajemen   perusahaan   tidak boleh menggunakan egonya (kama) hanya untuk kepentingan manajemen dan pemegang saham saja. Manajemen perusahaan harus menyadari bahwa banyak unsur   sosial   dan   lingkungan   yang   telah   membantu   aktivitas   perusahaan. Berdasarkan teori enterprise maka pada dasarnya income atau keberhasilan lain yang diperoleh perusahaan bukan hanya usaha dari manajemen perusahaan saja   tetapi   terdapat   juga   dukungan   dari   lingkungan   sosial   yang   ada   di   luar perusahaan, misalnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat (konsumen). Berdasarkan   pemahaman   ini   maka   dalam   teori  enterprise,   lingkungan   sosial lebih   berkuasa   dan   lebih   kuat   dibandingkan   dengan   pemegang   saham perusahaan   (Soetedjo,   2009).   Soetedjo   (2009)   dalam   bukunya   memberikan contoh perbandingan antara laporan laba rugi konvensional (tidak memasukkan nilai   tambah   kepada   lingkungan   sosial)   dengan   laporan   laba   rugi   yang memasukkan   faktor   nilai   tambah   kepada   lingkungan   sosial   dan   lingkungan alam. Pada dasarnya konsep inipun sama dengan arti dari konsep triple bottom lines dimana perusahaan harus memikirkan faktor sosial dan lingkungan. Jika kita melihat pembahasan sintesa ini sebenarnya merupakan bukti bahwa nilai atau   konsep   dari   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   mengandung   nilai­nilai universal yang dianut juga oleh ajaran agama dan berlaku dalam kehidupan manusia.

Konsep  corporate social responsibility  merupakan salah satu konsep dalam akuntansi   sosial   dan   lingkungan   yang   saat   ini   pengembangan   konsepnya semakin ditingkatkan. Salah satu pengembangan dalam konsep corporate social responsibility adalah keinginan untuk dimasukkannya unsur spiritualitas atau religiusitas. Unsur spiritualitas atau religiusitas akan membuat corporate social responsibility  yang   dilakukan   oleh   perusahaan   tidak   akan   memiliki   motif apapun dan pelaksanaannya akan dilakukan berdasarkan keikhlasan. Ghani (2006)   berpendapat   bahwa   tanggung   jawab   sosial   perusahaan   harus dilaksanakan sebagai perwujudan visi dan misi perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya adalah sebuah kebutuhan bagi perusahaan untuk   dapat   berinteraksi   dengan   komunitas   lokal   atau   masyarakat   secara keseluruhan (Rudito dan Famiola, 2013). Konsep tanggung jawab sosial seperti ini diperlukan oleh manajemen perusahaan untuk mendapatkan kepercayaan (trust)   dari   masyarakat   agar   perusahaan   dapat   terus   menjalankan   aktivitas bisnisnya.   Perusahaan   yang   melaksanakan   tanggung   jawab   sosial   berharap dapat   mencegah   konflik   sosial   dengan   masyarakat   yang   berada   di   sekitar lingkungan   perusahaan.   Jika   dilihat   secara   umum,   maka   konsep   tanggung jawab   sosial   seperti   yang   telah   dijelaskan   sebelumnya   sama   dengan   konsep pawongan  dalam konsep  tri hita karana  dan konsep  manyama braya. Konsep pawongan  dalam  tri hita karana  menjelaskan bahwa setiap individu manusia harus menjalin hubungan yang harmonis dengan individu manusia lainnya agar tercipa keselarasan dan keharmonisan dalam hidup. Dalam konteks ini maka perusahaan   dapat   diibaratkan   sebagai   sebuah   individu   yang   diharuskan menjalin hubungan dengan komunitas sosial disekitarnya. Ini menjadi masuk akal  karena pada  dasarnya perusahaan  adalah individu  yang penuh  dengan kontrak   (nexus   of   the   contract).   Kontrak­kontrak   ini   dapat   berlaku   bagi stakeholder  internal   maupun  stakeholder  eksternal   perusahaan.  Stakeholder merupakan   pihak­pihak   yang   dapat   mempengaruhi   keputusan   dari   aktivitas bisnis perusahaan. Jika dikaitkan dengan konsep sosial manyama braya maka konsep   tanggung   jawab   sosial   perusahaan   mengandung   pesan   bahwa perusahaan harus membangun nuansa kekeluargaan dengan komunitas sosial di sekitar perusahaan. Hubungan antara perusahaan dengan stakeholder pada

(15)

prinsipnya dapat menjadi sebuah modal sosial (social capital) bagi perusahaan jika   hubungan   tersebut   dilandasi   pada   prinsip   saling   ketergantungan. Sawarjuwono   (2012)   berpendapat   bahwa   manajemen   perusahaan   harus memiliki   paradigma   baru   dalam   mengelola   perusahaan   sehingga   tanggung jawab   sosial   perusahaan   menjadi   bagian   dari   budaya   perusahaan   (corporate culture).   Paradigma   yang   baru   ini   menjelaskan   bahwa   entitas   bisnis   dalam menjalankan  kegiatan bisnisnya  harus memperlakukan  lingkungan sosialnya sebagai  bagian yang  tidak terpisahkan  dari kegiatan  bisnis tersebut.  Hal ini akan menyadarkan perusahaan bahwa tanggung jawab sosial harus dilakukan dengan   ikhlas   tanpa   adanya   motif   apapun.   Rusdianto   (2013)   berpendapat bahwa manajemen perusahaan tidak boleh hanya mengejar keuntungan semata tetapi juga harus menyadari bahwa ada dampak atau konsekuensi sosial dan lingkungan   akibat   aktivitas   bisnis   yang   dilakukan   oleh   perusahaan.   Konsep inilah yang menyebabkan adanya tuntutan moral bagi manajemen perusahaan untuk   memperhatikan   kepentingan   sosial   dan   lingkungan.   Konsep   tanggung jawab sosial yang dilakukan dengan ikhlas tanpa adanya motif apapun akan sesuai dengan konsep  manyama braya. Dalam konsep  manyama braya  nilai yang dipegang teguh adalah nilai gotong royong dan saling membantu. Prinsip dalam manyama braya adalah harus menolong tanpa pamrih karena suatu saat juga   kita   akan   meminta   pertolongan   kepada   orang   lain.   Nilai­nilai   ini   akan menguatkan   prinsip   bahwa   manusia   adalah   makhluk   sosial   dan   harus bergantung   kepada   komunitas   sosialnya.   Jika   konsep   ini   dibawa   ke   dalam sudut   pandang   perusahaan,   maka   manajemen   perusahaan   harus   menyadari bahwa perusahaan tidak dapat berdiri sendiri dan sangat tergantung kepada komunitas   yang   terdapat   di   sekitar   perusahaan.   Konsumen,   distributor, pemerintah,   organisasi   sosial,   organisasi   lingkungan,   serikat   pekerja,   dan masyarakat yang tingggal di sekitar perusahaan merupakan komunitas sosial yang   hubungannnya   harus   dijaga   dengan   baik   oleh   perusahaan.   Konsep   ini sesuai   dengan   pendapat   Almilia  et   al.   (2011)   yang   menyatakan   bahwa keberlanjutan   perusahaan   (corporate   sustainability)   akan   terjamin   apabila manajemen perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup yang berada di luar perusahaan. Achda (2006) berpendapat bahwa tanggung jawab   sosial   yang   dilakukan   oleh   manajemen   perusahaan   mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki komitmen untuk memikirkan dampak operasional perusahaan terhadap komunitas sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berada di luar perusahaan.

Sintesa   Unsur­Unsur   Spiritualitas,   Budaya,   dan   Kearifan   Lokal   dalam Materi Standar Pelaporan Kegiatan Sosial dan Lingkungan Perusahaan Standar internasional mengenai penyusunan laporan sosial dan lingkungan perusahaan,   yaitu  standar   GRI  (global  reporting   initiative)   membagi  beberapa item   pengungkapan   yang   harus   dilakukan   oleh   perusahaan.   Item­item pengungkapan   tersebut   harus   mengungkapkan   mengenai   kinerja   keuangan, kinerja sosial, dan kinerja lingkungan perusahaan. Kinerja keuangan mencakup data­data posisi keuangan dari perusahaan, kinerja sosial mencakup kegiatan­ kegiatan   yang   telah   dilakukan   perusahaan   pada   bidang   sosial,   dan   kinerja lingkungan   mencakup   kepedulian   perusahaan   terhadap   lingkungan   sekitar. Dalam   halaman   pengantar   dari   Pedoman   Pelaporan   Keberlanjutan   GRI   G4 (Prinsip­Prinsip   Pelaporan   dan   Pengungkapan   Standar)   dinyatakan   bahwa sebuah   laporan   keberlanjutan   perusahaan   menyampaikan   pengungkapan mengenai   dampak   aktivitas   bisnis   perusahaan   terhadap   lingkungan, masyarakat,  dan ekonomi.  Pengungkapan tersebut  harus mencakup  kategori

(16)

ekonomi, sosial dan lingkungan. Aspek ekonomi mencakup kinerja ekonomi dan keberadaan   pasar,   aspek   sosial   mencakup   praktek   ketenagakerjaan   dan tanggung jawab atas produk, dan aspek lingkungan mencakup penggunaan air dan pengolahan limbah akibat aktivitas perusahaan.

Dalam item­item kinerja sosial yang terdapat dalam standar GRI terdapat poin yang menyatakan bahwa perusahaan harus mengakui adanya organisasi karyawan   dalam   internal   perusahaan   dan   penghormatan   terhadap   hak­hak karyawan.   Pengakuan   adanya   organisasi   karyawan   ini   merupakan   bentuk penghormatan   perusahaan   kepada   karyawan.   Perusahaan   tidak   boleh menganggap   karyawan   sebagai   pekerja   yang   hanya   menguntungkan perusahaan saja tetapi harus memberikan kesempatan kepada karyawan agar memiliki   kesejahteraan   hidup   yang   lebih   baik.   Adanya   organisasi   karyawan dalam   internal   perusahaan   muncul   karena   adanya   persamaan   hak   dan kewajiban.   Berkumpulnya   individu­individu   dalam   sebuah   organisasi didasarkan   pada   adanya   kesamaan   kepentingan   dan   kewajiban   (Rudito   dan Famiola,   2013).   Jika   dihubungkan   dengan   unsur­unsur   budaya   masyarakat Bali maka konsep ini akan sama dengan nilai­nilai yang terdapat pada konsep manyama   braya.   Konsep  manyama   braya  mengandung   pengertian   bahwa terdapat  nilai­nilai kekeluargaan  dan kebersamaan  dalam sebuah  komunitas adat. Konteks kekeluargaan dan kebersamaan ini diturunkan menjadi nilai­nilai gotong royong dan musyawarah. Jika nilai konsep ini dibawa ke perusahaan maka sejatinya karyawan memiliki peran yang jauh lebih besar daripada hanya bekerja   untuk   kepentingan   perusahaan.   Karyawan   merupakan  stakeholder internal   perusahaan   yang   pada   dasarnya   memiliki   hak   untuk   menentukan masa   depan   perusahaan.   Karyawan   dalam   suatu   perusahaan   bisa   terlibat penuh dalam pengambilan keputusan perusahaan (Rudito dan Famiola, 2013). Jika nilai­nilai manyama braya ini diaplikasikan pada perusahaan maka model hubungan antara karyawan dengan perusahaan adalah model hubungan yang saling menghargai dan satu pihak tidak akan mendominasi pihak yang lainnya. Poin­poin pada item kinerja lingkungan yang terdapat dalam standar GRI lebih menekankan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Terdapat poin­ poin  yang manyatakan  apakah perusahaan  mengontrol limbah  dari aktivitas perusahaan,   bagaimana   penggunaan   air   pada   perusahaan,   dan   apakah perusahaan sudah melakukan tanggung jawab lingkungannya. Jika item­item kinerja lingkungan ini dikaitkan dengan kearifan lokal masyarakat Bali maka akan sesuai dengan konsep palemahan yang merupakan bagian dari konsep tri hita   karana.   Konsep  palemahan  mengandung   pengertian   bahwa   masyarakat Bali sangat menghargai alam dan lingkungan. Manajemen perusahaan harus berprinsip bahwa alam dan lingkungan sekitar perusahaan merupakan salah satu faktor yang turut pula mendukung eksistensi perusahaan. Sumber bahan baku perusahaan dihasilkan oleh alam dan jika alam dirusak karena limbah perusahaan   maka   alam   tidak   dapat   menghasilkan   bahan   baku   untuk perusahaan. Dengan kata lain maka aktivitas bisnis perusahaan merupakan bagian dari siklus alam. Jika siklus alam dirusak oleh aktivitas perusahaan, maka   alam   tidak   akan   memberikan   berkahnya   kepada   perusahaan.   Konsep sebab   akibat   ini   dalam   unsur   spiritualitas   masyarakat   Bali   dikenal   dengan konsep  karma   phala  (karma  berarti   perbuatan;  phala  berarti   buah)   yang diartikan sebagai hasil dari perbuatan. Konsep ini mengajarkan bahwa apapun perbuatan kita (baik atau buruk), semuanya akan menghasilkan sesuatu. Jika konteks ini dibawa ke ranah perusahaan, maka pelestarian lingkungan yang dilakukan   oleh   perusahaan   akan   memberikan   manfaat   yang   besar   bagi perusahaan. Belum lagi jika perusahaan dengan lengkap melaporkan informasi kinerja lingkungan ke  stakeholder  eksternal perusahaan. Pihak­pihak di luar

(17)

perusahaan akan melihat manajemen perusahaan memiliki komitmen yang baik untuk   penyampaian   kinerja   lingkungan.   Komitmen   manajemen   perusahaan terhadap   kinerja   lingkungan   perusahaan   dapat   diwujudkan   dalam   berbagai cara,   misalnya   dalam   tata   kelola   perusahaan   dibentuk   unit   yang   khusus menangani   masalah   lingkungan   akibat   aktivitas   bisnis   perusahaan,   audit lingkungan   dalam   periode   tertentu,   dan   manajemen   perusahaan   harus berupaya untuk mendapatkan ISO 14001 (sistem manajemen lingkungan) agar manajemen   perusahaan   mengetahui   sejauh   mana   efektivitas   kegiatan pengelolaan lingkungan dalam lingkup perusahaan.

Terkait dengan konsep kinerja lingkungan perusahaan, khususnya terhadap item   pelaporan   mengenai   penggunaan   air   pada   perusahaan,   penelitian Chalmers  et al. (2012) menyatakan sebuah konsep yang dinamakan  general­ purpose water accounting  yang kita kenal dengan akuntansi air. Akuntansi air dibuat untuk melaporkan informasi mengenai penggunaan air oleh perusahaan dan informasi mengenai hak­hak atas air kepada pihak eksternal perusahaan. Akuntansi   air   adalah   “suatu   proses   untuk   mengidentifikasi,   mengakui, mengkuantifikasi,   dan   melaporkan   informasi   mengenai   air”   (Sylvia,   2014). Dengan munculnya konsep akuntansi air ini maka akan muncul pula laporan­ laporan akuntansi yang memberikan informasi mengenai air. Akan muncul pula metode­metode akuntansi untuk mencatat dan melaporkan informasi air yang termasuk dalam informasi non keuangan. Sylvia (2014) menyatakan terdapat beberapa laporan yang terkait dengan akuntansi air, misalnya laporan arus fisik air, laporan aset air dan kewajiban air, dan laporan perubahan dalam aset air dan kewajiban air. Jika kita telaah lebih jauh, konsep akuntansi air ini secara tidak   langsung   merupakan   sebuah   konsep   penghormatan   terhadap   air. Penghormatan   terhadap   air   sudah   dilakukan   oleh   masyarakat   Bali   sejak ratusan   tahun   yang   lalu.   Metode   pengairan   sawah   dengan   sistem  subak merupakan   salah   satu   bentuk   penghormatan   masyarakat   Bali   terhadap   air. Sistem  subak  dibentuk sedemikian rupa dengan maksud agar penggunaan air dapat dipergunakan oleh semua petani yang tergabung dalam organisasi subak tersebut. Filosofi dari sistem subak adalah bahwa air harus dapat dipergunakan secara   bijak   sehingga   air   dapat   bermanfaat   untuk   semua.   Windia   (2015) menyatakan   bahwa   nilai­nilai   yang   diutamakan   dalam   sistem  subak  adalah nilai­nilai kebenaran, keadilan, dan kebersamaan. Pengaturan dan pembagian air   dalam   sistem   irigasi  subak  dilakukan   dengan   sistem   yang   adil   dan proporsional. Pembagian air yang adil dan proporsional dalam sistem subak ini menunjukkan   bahwa  subak  sangat   menjunjung   nilai­nilai   keadilan   (Windia, 2015).   Sistem  subak  merupakan   perwujudan   dari   nilai­nilai  tri   hita   karana utamanya   konsep  palemahan.   Dengan   mengusung   konsep  palemahan,   maka segala   aktivitas   masyarakat   Bali   menjunjung   tinggi   kelestarian   alam   dan lingkungan. 

Gambaran   Umum   Materi   Kuliah   Akuntansi   Sosial   dan   Lingkungan dengan Sintesa Unsur­Unsur Spiritualitas, Budaya, dan Kearifan Lokal Tujuan   dari   penulisan   artikel   ini   adalah   untuk   menemukan   komposisi materi   kuliah  akuntansi   sosial  dan   lingkungan  yang   disertai  dengan   sintesa unsur­unsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali. Sintesa dilakukan   dengan   menggabungkan   konsep   akuntansi   sosial   dan   lingkungan dengan konsep spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali yang sesuai   dengan   konsep   akuntansi   sosial   dan   lingkungan   tersebut.   Komposisi tersebut akan dibentuk dalam materi perkuliahan setiap pertemuan. 

(18)

Pertemuan

Ke­ Materi Pokok

1 Sejarah dan konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan dan hubungannya   dengan   konsep   spiritualitas  catur   purusa   artha dan tri hita karana

2 Konsep, prinsip, dan ruang lingkup corporate social responsibility sebagai perwujudan konsep tri hita karana dan manyama braya dalam bisnis

3 Konteks   keberlanjutan   dalam   bisnis,  green   business,  green economy, dan green accounting : perwujudan konsep palemahan sebagai bagian dari konsep tri hita karana

4 Rerangka   pelaporan  Global   Reporting   Initiative  (GRI),   prinsip­ prinsip pelaporan, dan standar pengungkapan

5 Indikator   kinerja   ekonomi   perusahaan   :   tinjauan   dari   konsep spiritual catur purusa artha

6 Indikator  kinerja  sosial  perusahaan  dan  hubungannya  dengan konsep kearifan lokal  manyama braya,  paras paros,  dan  sagilig sagulug salunglung sabyantaka

7 Indikator kinerja lingkungan, akuntansi air, konsep palemahan, dan filosofi subak

8 Ujian tengah semester

9 Konsep   laporan   berkelanjutan   (sustainability   report)   sebagai bentuk   akuntabilitas   informasi   sosial   dan   lingkungan perusahaan

10 Unsur­unsur   laporan   berkelanjutan   pada   industri   manufaktur dan   hubungannya   dengan   konsep   spiritualitas,   budaya,   dan kearifan lokal masyarakat Bali

11 Unsur­unsur laporan berkelanjutan pada industri pertambangan dan   hubungannya   dengan   konsep   spiritualitas,   budaya,   dan kearifan lokal masyarakat Bali

12 Unsur­unsur   laporan   berkelanjutan   pada   industri   perbankan dan   hubungannya   dengan   konsep   spiritualitas,   budaya,   dan kearifan lokal masyarakat Bali

13 Diskusi   laporan   berkelanjutan   perusahaan   pada   industri manufaktur

14 Diskusi   laporan   berkelanjutan   perusahaan   pada   industri pertambangan

15 Diskusi   laporan   berkelanjutan   perusahaan   pada   industri perbankan

16 Ujian akhir semester

Gambaran umum materi kuliah akuntansi sosial dan lingkungan dengan sintesa   unsur   spiritualitas,   budaya,   dan   kearifan   lokal   dibagi   menjadi   dua materi utama, yaitu materi pemahaman konsep dan materi aplikasi dari konsep. Materi pemahaman konsep membahas mengenai konsep dasar dalam akuntansi sosial dan lingkungan dan materi aplikasi konsep membahas mengenai proses pembuatan laporan berkelanjutan. Pertemuan 1 membahas mengenai sejarah dan konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan. Materi dalam pertemuan ini disajikan dengan konsep diskusi dimana pengajar memberikan materi konsep akuntansi   sosial   dan   lingkungan   dan   hubungannya   dengan   konsep  tri   hita karana  dan  catur   purusa   artha.   Pertemuan   2   membahas   mengenai   konsep

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya kurangnya motivasi siswa dalam mengerjakan tugas sekolah menggunakan teknologi yang ada dan Kurangnya peran guru ataupun orang tua dalam mengkontrol

Alokasi pemberian dana bantuan penyelenggaraan kegiatan pendidikan karakter melalui satuan pendidikan nonformal tahun 2013 ini tersedia di Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat

Bagi Penyedia Jasa atau Pemilik Kapal yang sedang menjalani pemeriksaan oleh instansi yang terkait, antara lain pihak kepolisian, TNI, Bea Cukai, Perpajakan, atas dugaan

Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara kepada subjek penelitian anatara lain kepala sekolah, guru BK dan beberapa orang siswa di SMP IT- BUNAYYA

Mata Pelajaran Nilai Rata-rata Rapor1. Nilai

Rasa terima kasih dan hormat penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis yang telah banyak berkorban dan memberikan didikan serta do’a untuk penulis, kedua

Halaman ini adalah referensi untuk memastikan bahwa semua elemen diposisikan secara akurat, dan hendaknya tidak digunakan untuk keperluan produksi, harap gunakan final

Aspek sosial terkait dengan pengaruh pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya kepada masyarakat pada taraf perencanaan, pembangunan, maupun