SINTESA UNSURUNSUR SPIRITUALITAS, BUDAYA, DAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI DALAM MATERI KULIAH AKUNTANSI SOSIAL DAN LINGKUNGAN Putu Sukma Kurniawan Jurusan Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha putusukma1989@gmail.com Abstrak
Pendidikan dan pengajaran akuntansi bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang nantinya akan bekerja pada profesi akuntansi. Diharapkan nantinya lulusan yang dihasilkan tidak hanya memiliki kemampuan teknis dan profesional yang baik, tetapi juga memiliki kepribadian dan karakter yang baik. Kualitas pendidikan dan pengajaran akuntansi akan menentukan kualitas lulusan yang dihasilkan. Memasukkan unsurunsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal seperti konsep tri hita karana, catur purusa artha, manyama braya, paras paros, dan sagilig sagulug salunglung sabyantaka dalam pendidikan dan pengajaran akuntansi khususnya dalam mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan diharapkan dapat membantu untuk menghasilkan lulusan akuntansi yang memiliki kepribadian dan karakter yang baik.
Kata kunci: spiritualitas, budaya, kearifan lokal, akuntansi sosial dan lingkungan
Abstract
Accounting education aims to produce graduates who will be working on the accounting profession. Expected later graduates produced not only have the technical ability and a good professional, but also have a good personality and good character. The quality of accounting education will determine the quality of graduates produced. Incorporating elements of spirituality, culture and local wisdom likes tri hita karana, catur purusa artha, manyama braya, paras paros, and sagilig sagulug salunglung sabyantaka concepts in accounting education especially in social and environmental accounting can help to produce accounting graduates who have good personality and good character.
Keywords: spirituality, culture, local wisdom, social and environmental accounting
1. PENDAHULUAN Akuntansi saat ini telah memasuki dimensi internasional. Internasionalisasi dalam akuntansi terjadi karena dunia bisnis dan ekonomi yang semakin global. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika semua dimensi dunia bisnis dan ekonomi mengglobal, akuntansi pun ikut masuk dalam dimensi internasional. Hal ini dikarenakan akuntansi adalah bagian dari dunia bisnis dan ekonomi. Choi dan Meek (2010) berpendapat bahwa globalisasi perdagangan, internasionalisasi pasar modal, dan berkembangnya perusahaan multinasional (multinational company) merupakan beberapa faktor yang menyebabkan dimensi akuntansi bersifat internasional. Munculnya konsep standar akuntansi yang bersifat internasional semakin menegaskan bahwa telah terjadi globalisasi akuntansi. Adanya globalisasi akuntansi menyebabkan perkembangan ilmu akuntansi semakin cepat. Perkembangan ini dapat dilihat dengan munculnya konsep konsep baru dalam ilmu akuntansi. Konsep mengenai pelaporan dan standar akuntansi internasional juga turut berkembang. Konsep baru dalam ilmu akuntansi yang muncul akibat globalisasi dan perkembangan dunia bisnis yang semakin cepat adalah munculnya konsep akuntansi sosial dan lingkungan (social and environmental accounting). Konsep akuntansi sosial dan lingkungan muncul akibat isuisu mengenai kerusakan dalam bidang sosial dan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas bisnis perusahaan. Konsep akuntansi sosial dan lingkungan memiliki misi untuk memasukkan unsurunsur sosial dan lingkungan (informasi non keuangan) ke dalam pelaporan aktivitas perusahaan. Akuntansi sosial dan lingkungan muncul karena adanya perhatian yang luas dari masyarakat terhadap bidang sosial dan lingkungan, khususnya dalam menilai kinerja sosial dan kinerja lingkungan perusahaan (Qureshi et al., 2012). Akuntansi sosial dan lingkungan merupakan perubahan paradigma dari akuntansi konvensional. Akuntansi konvensional hanya berpusat pada indikatorindikator ekonomi yang dicapai perusahaan. Akuntansi sosial dan lingkungan memasukkan dimensi sosial dan lingkungan ke dalam pencatatan akuntansi. Hasil akhirnya adalah akuntansi sosial dan lingkungan berpusat tidak hanya pada indikator ekonomi yang dicapai perusahaan, tetapi juga memikirkan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan perusahaan. Adanya globalisasi dalam akuntansi tidak hanya menyebabkan perkembangan yang baru dalam konsepkonsep ilmu akuntansi tetapi juga menimbulkan perubahan dalam dimensi pendidikan dan pengajaran akuntansi, khususnya di tingkat perguruan tinggi.
Konsep pendidikan dan pengajaran akuntansi saat ini telah berkembang dengan cepat. Dimensi akuntansi yang saat ini telah berkembang secara global turut mempengaruhi konsepkonsep dalam pendidikan dan pengajaran akuntansi. Materi pendidikan dan pengajaran akuntansi saat ini merujuk pada materi pendidikan akuntansi pada universitasuniversitas ternama di luar negeri, khususnya dari Amerika Serikat. Akibatnya akuntansi Amerikalah yang berkembang sampai munculnya ide penyeragaman praktek akuntansi internasional (Sylvia, 2014). Materi perkuliahan, rujukan referensi, dan tata cara perkuliahan lebih menjadi bersifat internasional. Dampak dari adanya hal ini adalah pendidikan dan pengajaran akuntansi akan disampaikan dengan cara yang tidak sesuai dengan kondisi mahasiswa. Artinya ketika materi perkuliahan, rujukan referensi, dan tata cara perkuliahan disampaikan dengan praktek atau cara yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan mahasiswa,
maka materi perkuliahan akan sulit diterima oleh mahasiswa. Terlebih lagi istilahistilah dalam akuntansi kini lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris dalam buku teks asli sehingga mahasiswa cukup sulit memahami hal tersebut. Sylvia (2014) dalam tulisannya secara khusus menyampaikan bahwa penggunaan istilah Bahasa Inggris dalam akuntansi dapat menimbulkan perbedaan penafsiran antara akademisi dengan praktisi. Hal ini sejalan dengan pendapat Mulawarman (2008) yang berpendapat bahwa sistem pendidikan akuntansi yang saat ini berkembang di Indonesia telah lepas dari realitas masyarakat Indonesia karena sistem pendidikan akuntansi yang sekarang diadopsi langsung dari luar negeri tanpa disesuaikan dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Nilainilai yang melekat pada sistem pendidikan akuntansi sekarang adalah sekularisme (paham yang membuat akuntansi terlepas dari nilai spiritualitas) dan paham liberal barat (Mulawarman, 2008). Sylvia (2014) menyatakan bahwa nilainilai pada era modernitas, seperti kapitalisme, materialisme, individualisme, dan sekularisme terbawa juga ke dalam akuntansi. Mulawarman (2012) berpendapat bahwa pendidikan akuntansi yang diajarkan dalam sistem pendidikan di Indonesia seharusnya sesuai dengan nilainilai dan jati diri bangsa, yaitu Pancasila.
Salah satu tujuan lain dari pendidikan dan pengajaran akuntansi adalah menciptakan lulusan yang nantinya akan bekerja pada beragam profesi akuntansi. Pendidikan dan pengajaran akuntansi yang dilakukan bertujuan untuk menyiapkan mahasiswa agar memiliki kemampuan dan kompetensi yang baik dalam bidang akuntansi. Diharapkan nantinya lulusan yang dihasilkan tidak hanya memiliki kemampuan teknis dan profesional yang baik, tetapi juga memiliki kepribadian dan karakter yang baik. Kepribadian dan karakter yang baik, misalnya bersikap profesional, jujur dalam melaksanakan tugas, cermat, dan memiliki rasa welas asih. Efferin (2015) berpendapat bahwa saat ini belum banyak kurikulum pendidikan tinggi akuntansi yang mencoba untuk memasukkan unsur spiritual dan kearifan lokal dalam setiap mata kuliah akuntansi. Dampaknya adalah praktek akuntansi hanya dipandang sebagai keterampilan teknis semata dan tidak memerlukan unsurunsur nurani dalam pelaksanaan praktek akuntansi tersebut (Efferin, 2015). Molisa (2011) berpendapat bahwa penelitian mengenai pendidikan akuntansi dianggap kurang mendidik sehingga mengakibatkan banyak profesi akuntansi tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan bisnis yang terus berkembang. Boyce (2008) menjelaskan bahwa pemahaman akuntansi tidak cukup hanya dengan memasukkan nilainilai etis saja tetap juga harus dimasukkan dimensidimensi sosial, politik, etis dan lingkungan di mana isuisu akuntansi itu berkembang. Jika pendidikan akuntansi hanya mengutamakan rasionalitas belaka tanpa mengandung unsurunsur spiritual, maka lulusan akuntansi nantinya akan bercirikan rasionalitas, egois, apatis, tidak peka pada lingkungan sekitar, dan miskin nilai spiritualitas (Kamayanti, 2012). Proses belajar mengajar di jurusan akuntansi harus mengubah mahasiswa menjadi lulusan yang utuh sebagai manusia. Artinya lulusan akuntansi diharapkan memiliki sisisisi humaniora ketika nanti berprofesi dalam profesi akuntansi. Berdasarkan pada pemahaman ini maka hendaknya pendidikan dan pengajaran akuntansi tidak hanya berfokus kepada kecerdasan pikiran dalam memahami akuntansi, tetapi juga berfokus pada bagaimana agar pendidikan dan pengajaran akuntansi mampu mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan hati peserta didik.
Diperlukan teknik atau cara baru agar mahasiswa bisa lebih mudah memahami materi akuntansi yang telah bersifat internasional. Salah satu cara yang dapat dipergunakan adalah memberikan materi pendidikan dan pengajaran akuntansi dengan disertai unsurunsur spiritual, unsurunsur
budaya, dan kearifan lokal (local wisdom) yang telah dipahami oleh mahasiswa. Saat ini belum banyak kurikulum pendidikan tinggi khususnya akuntansi yang secara khusus berusaha untuk memasukkan materimateri mengenai kearifan lokal dalam mata kuliah akuntansi (Efferin, 2015). Mata kuliah akuntansi masih berdiri sendiri tanpa disertai dengan materimateri mengenai spiritualitas maupun budi pekerti. Materi mengenai spiritualitas dan budi pekerti dianggap sebagai bagian yang tidak integral dalam materi akuntansi. Efferin (2015) berpendapat bahwa perlu adanya usaha untuk mendekatkan kearifan lokal (local wisdom) dengan akuntansi sehingga praktekpraktek akuntansi dapat berkembang dan memiliki manfaat untuk kesejahteraan sosial jangka panjang. Kearifan lokal mengandung nilainilai sosial dan budaya yang tidak hanya dapat meningkatkan kecerdasan peserta didik tetapi juga dapat meningkatkan nilai moralitas dan etika peserta didik. Akuntansi pada dasarnya membawa nilai nilai etika, moral, spiritualitas namun nilainilai ini sering diabaikan karena kita terlalu mendewakan rasionalitas dan intelektualitas (Sylvia, 2014). Nilainilai karakter dan sosial harus dimasukkan ke dalam pendidikan agar peserta didik dapat menghayati dan memahami nilainilai moral kemanusiaan (Aufin, 2014).
Tulisan ini mencoba untuk memasukkan atau mensintesakan unsurunsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal, khususnya yang dimiliki oleh masyarakat Bali dalam materi kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan dipilih untuk disintesakan dengan unsurunsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal dengan beberapa pertimbangan, yaitu (1) konsep akuntansi sosial dan lingkungan muncul sebagai jawaban atas tuntutan adanya kerusakan sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas bisnis perusahaan, (2) konsep akuntansi sosial dan lingkungan muncul sebagai jawaban atau “perlawanan” atas akuntansi konvensional yang tidak memasukkan nilainilai sosial dan lingkungan dalam ukuranukuran akuntansi, dan (3) materimateri dalam mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan dapat dimasukkan unsurunsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali yang memang sebagian besar mengandung nilainilai sosial kemasyarakatan dan lingkungan, (4) konsep turunan dari akuntansi sosial dan lingkungan adalah konsep green accounting, konsep bisnis berkelanjutan, dan konsep corporate social responsibility yang dapat menunjukkan kepada mahasiswa bahwa ekonomi dan bisnis harus juga memperhatikan sisi sosial dan lingkungan. Diharapkan dengan lebih banyak memasukkan unsurunsur spiritual, budaya, dan kearifan lokal akan membantu menghasilkan lulusan akuntansi yang tidak hanya memiliki keterampilan teknis yang baik, tetapi juga memiliki karakter dan kepribadian yang baik.
2. PEMBAHASAN
Penelitian ini terkait dengan proses pembelajaran dalam akuntansi khususnya dalam mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Penelitian ini merupakan penelitian konseptual yang bertujuan untuk mensintesakan unsur unsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal dalam materi kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Pengumpulan data dalam penelitian ini selain ditentukan berdasarkan informasi pribadi yang dimiliki oleh penulis juga ditentukan berdasarkan dokumendokumen yang berisi mengenai materi pembelajaran mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan (silabus dan satuan acara perkuliahan) dan dosen yang mengampu mata kuliah tersebut.
Untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan, maka dilakukan melalui observasi terhadap proses pembelajaran yang ada. Observasi dilakukan untuk melihat bagaimana para
pengajar menyampaikan materi kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Observasi juga dilakukan untuk melihat teknik atau cara pengajar menyampaikan materi kuliah akuntansi sosial dan lingkungan dan materi materi apa saja yang diajarkan dalam mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan tersebut. Proses wawancara dilakukan juga untuk mengetahui apakah para pengajar sudah memasukkan materi unsurunsur spiritual, budaya, dan kearifan lokal dalam materi mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Wawancara juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana respon pengajar mengenai proses pembelajaran akuntansi sosial dan lingkungan yang disertai dengan memasukkan unsurunsur spiritual, budaya, dan kearifan lokal.
Penelitian konseptual ini dilakukan di jurusan akuntansi program S1 Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Penelitian konseptual ini dilakukan di jurusan akuntansi program S1 Universitas Pendidikan Ganesha untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran akuntansi sosial dan lingkungan yang memasukkan unsurunsur spiritual, budaya, dan kearifan lokal khas daerah Bali.
Unsur Spiritualitas, Budaya, dan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Akuntansi
Kata spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang memiliki pengertian menghidupkan makhluk. Unsurunsur spiritual dalam diri manusia akan membentuk sebuah kecerdasan spiritual (Zohar dan Marshall, 2001). Zohar dan Marshall (2001) berpendapat bahwa unsurunsur spiritualitas dalam diri manusia tidaklah harus selalu dikaitkan dengan keyakinan agama yang dimilikinya karena setiap manusia memiliki unsurunsur spiritualitas. Field (2007) dalam Efferin (2015) menyatakan bahwa unsur spiritualitas dalam bisnis sangat terkait dengan usahausaha untuk mengurangi keserakahan, menunjukkan welas asih pada sesama, dan berkontribusi pada kelestarian lingkungan. Sukarsa (2010) berpendapat bahwa konsep ekonomi selama ini hanya memasukkan manusia sebagai homo economicus yang menyatakan bahwa manusia harus menerapkan prinsip ekonomi dengan cara meminimalkan sumber daya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Akibat sifat ini maka akan muncul keserakahan dalam bisnis. Pelaku bisnis tidak hanya berpatokan pada laba yang akan didapat tetapi juga harus memikirkan dampak sosial dan dampak lingkungan dari kegiatan bisnis yang mereka lakukan. Memasukkan dimensi spiritualitas dalam bisnis bertujuan agar bisnis semakin bermanfaat bagi peradaban. Bisnis tidak hanya menguntungkan bagi sebagian kelompok tetapi dapat memberikan manfaat yang lebih kepada masyarakat luas. Sukarsa (2010) mengedapankan istilah homospiritual bagi manusia dalam menjalankan bisnis yang mengedepankan nilainilai etika dalam berbisnis. Bisnis seringkali dijalankan dengan menghalalkan segala cara agar laba yang didapatkan perusahaan semakin besar (Ghani, 2006). Harus disadari bahwa pelaku dalam bisnis adalah manusia itu sendiri sehingga seringkali bisnis tersebut dijalankan dengan cara yang tidak baik (persaingan yang tidak sehat, ketidakjujuran, dan kecurangan). Dengan konsep ini maka tidak heran muncul konsep etika bisnis agar bisnis tersebut dijalankan dengan nilainilai etika dan moralitas.
Mulawarman dan Ludigdo (2010) berpendapat bahwa perilaku etis yang dimiliki oleh mahasiswa tidak cukup untuk mengantarkan mahasiswa menjadi akuntan yang profesional tetapi akuntansi harus dipahami sebagai ilmu dan nilai. Nilai inilah yang nanti akan menjadi dasar bagi akuntan agar memiliki etika dalam menjalankan profesinya. Etika yang tinggi dalam menjalankan
profesi akan membuat setiap orang yang terlibat dalam profesi akuntansi menjadi disegani. Secara tidak langsung hal ini akan membawa profesi akuntansi ke tingkat yang lebih terhormat. Sulistiyo (2012) berpendapat bahwa banyaknya skandal akuntansi dan manipulasi laporan keuangan serta rendahnya kepedulian perusahaan terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan dari sisi pelaku akuntansi. Dari pendapat Sulistiyo (2012) kita dapat menyimpulkan bahwa kecurangankecurangan yang terjadi dalam akuntansi lebih banyak disebabkan oleh pelaku akuntansi tersebut. Akuntansi sudah diciptakan sedemikian baiknya tetapi ketika yang menggunakan akuntansi tersebut hanya berdasar kepentingannya semata, maka akuntansi pun akan dipergunakan untuk kepentingan satu kelompok saja. Caloncalon pelaku akuntansi (mahasiswa) harus menyadari hal ini dan sudah seharusnya pendidikan akuntansi memberikan pemahaman bahwa etika dan moralitas sangat diperlukan dalam profesi akuntansi.
Mulawarman (2008) berpendapat bahwa tujuan dari pendidikan akuntansi adalah memberikan nilai “cinta yang melampaui” pada mahasiswa dalam bentuk keseimbangan antara akuntabilitas dan moralitas. Pada titik ini maka diharapkan lulusan akuntansi nantinya memiliki pertanggungjawaban moral tidak hanya kepada pemilik perusahaan atau investor saja, tetapi juga kepada masyarakat sosial dan lingkungan. Pada akhirnya orangorang yang berkecimpung dalam profesi akuntansi tidak hanya bertanggung jawab secara hubungan bisnis kepada pihak tertentu, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat dan lingkungan. Moralitas yang disertai dengan integrasi nilainilai spiritual akan dapat mencerahkan mahasiswa menuju cinta Allah (Mahabbatullah) (Mulawarman dan Ludigdo, 2010). Spiritualitas tidak hanya tentang agama tapi juga tentang kemanusiaan dan spiritualitas melampaui batasbatas keagamaan serta dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan hidup (Efferin, 2015). Nilainilai spiritualitas dimiliki oleh setiap manusia dan dapat dijadikan pijakan dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab dalam hidup. Nilainilai spiritualitas akan membimbing manusia untuk menjauh dari kesengsaraan duniawi. Setiap manusia memiliki kecerdasan spiritual sejak lahir dan mempergunakan kecerdasan tersebut untuk menjalani hidup. Manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi akan mampu memberikan sisi positif dalam hidupnya sehingga manusia akan selalu melakukan perbuatan dan tindakan yang baik (Zohar dan Marshall, 2001). Filsafat Vedanta yang dikemukakan oleh Saraswati (1994) menyatakan bahwa manusia harus mampu mengoptimalkan fungsi pikiran (manah) yang mendapatkan pencerahan dari perilaku (buddhi) dan kesadaran jiwa (atman) agar dapat mengendalikan tubuh, pikiran, dan panca indra. Pencerahan dari perilaku dan kesadaran jiwa akan dapat dicapai jika manusia memiliki tingkat spiritualitas dan moralitas yang baik.
Para lulusan akuntansi yang nantinya bekerja di profesi akuntan harus menyadari bahwa mereka nantinya akan menjadi suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Dalam masyarakat tersebut juga memiliki nilainilai kebudayaan yang dipegang teguh oleh unsurunsur dalam masyarakat tersebut. Hal inilah yang mengharuskan lulusan akuntansi dalam sikap dan perbuatannya harus mengandung nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Pendidikan tinggi akuntansi harus bertanggung jawab untuk menghasilkan lulusan yang memahami nilai dan norma sosial. Aufin (2014) berpendapat bahwa merupakan kewajiban pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter dan berwawasan multikultural. Proses pendidikan merupakan proses yang holistik dimana para peserta didik dapat belajar untuk menemukan jati
dirinya. Jati diri yang harus terbentuk dalam diri peserta didik adalah nilainilai kebenaran dan moralitas yang baik. Triyuwono (2007) berpendapat bahwa proses pendidikan yang terlalu banyak mengandalkan kecerdasan intelektual telah menindas sistem pendidikan dan jati diri peserta didik. Padahal pada dasarnya terdapat banyak kecerdasan yang harus dimiliki oleh peserta didik (kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial). Proses pendidikan tinggi harus dapat membentuk semua kecerdasan tersebut tanpa mementingkan satu kecerdasan saja. Jika ini semua tercapai maka diharapkan dapat menghasilkan lulusan dengan jati diri yang utuh. Aufin (2014) menyatakan bahwa pendidikan karakter menempatkan peserta didik sebagai pelaku utama dalam hal pengembangan karakter. Peserta didik diharapkan dapat mengembangkan karakternya dengan baik sehingga ia dapat menghayati tugas dan kewajibannya dalam komunitas sosial.
Unsur Spiritualitas Masyarakat Bali
Kehidupan seharihari masyarakat Bali tidak dapat dipisahkan dari kegiatan spiritual. Kegiatan spiritual dapat dikatakan sebagai sebuah jiwa bagi masyarakat Bali. Unsurunsur spiritual yang berkembang di Bali tidak dapat dipungkiri berasal dari ajaran agama Hindu. Terdapat banyak konsep spiritual dalam agama Hindu. Konsep tat twam asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku) yang mengandung pengertian bahwa setiap manusia adalah sama, konsep rwa bhinneda (kebaikan selalu berdampingan dengan keburukan) yang berarti bahwa dalam hidup ini akan selalu ada kebaikan dan keburukan (harus ikhlas menerima kondisi baik dan buruk), konsep karma phala (semua perbuatan ada hasilnya/hasil dari perbuatan), konsep tri kaya parisudha (terdiri dari kayika, wacika, manacika yang berarti berkata, berpikir, dan berbuat yang baik), dan konsep catur purusa artha (terdiri dari dharma, artha, kama, dan moksa yang berarti empat tujuan hidup sebagai manusia atau bahwa dalam hidup semua keinginan harus dilandasi kebaikan agar tercapai pembebasan duniawi) yang merupakan konsepkonsep spiritualitas yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali. Konsepkonsep inilah yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat Bali. Setiap tindakan dan perbuatan masyarakat Bali selalu didasarkan pada konsepkonsep spiritualitas yang sudah ada. Masyarakat Bali berpendapat bahwa unsurunsur spiritualitas merupakan unsurunsur yang terdapat dalam diri setiap manusia.
Unsurunsur spiritualitas masyarakat Bali sangat terasa sangat adanya rahinan (hari raya) Hindu atau odalan (persembahyangan) di pura. Rahinan dan odalan merupakan harihari besar keagamaan dimana pada hari tersebut masyarakat Bali melakukan persembahyangan di rumah maupun di pura. Setiap rahinan memiliki makna spiritualitas tersendiri, misalnya rahinan galungan yang memiliki kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan) dan rahinan nyepi yang bermakna perenungan diri untuk menyambut tahun baru caka. Unsur spiritualitas masyarakat Bali dapat pula dilihat pada tata cara persembahyangan. Sehabis melakukan persembahyangan, umat Hindu akan menerima tirta (air suci) dan bija (beras). Tirta tersebut diminum dan bija akan ditempelkan di kening. Makna tirta dan bija merupakan berkah yang diterima sehabis melakukan persembahyangan. Air dan beras dilambangkan sebagai simbol berkah dan anugerah. Tanpa adanya air dan beras maka kehidupan tidak akan berjalan dengan baik. Ini bermakna ucapan terimakasih terhadap alam semesta atas berkah yang telah dilimpahkan. Sebuah bentuk simbol dengan makna yang sangat dalam. Unsur spiritual masyarakat Bali mengenal pula konsep yadnya yang berarti
persembahan yang tulus atau korban suci yang tulus ikhlas. Masyarakat Bali memaknai yadnya sebagai simbol bahwa dalam melakukan sesuatu harus dengan hati yang tulus tanpa mengharapkan imbalan dari perbuatan yang kita lakukan. Masyarakat Bali meyakini bahwa pelaksanaan yadnya dalam kehidupan seharihari bertujuan untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mokshartam jagadhita (kebaikan dunia dan akhirat).
Konsepkonsep spiritualitas lainnya juga dipraktekkan dalam kehidupan seharihari masyarakat Bali. Contoh dari kegiatan spiritualitas yang dilakukan oleh masyarakat Bali, yaitu sehabis memasak dan menanak nasi, masyarakat Bali membuat sebuah sesajen (banten) yang disebut sebagai mebanten saiban. Kegiatan mebanten saiban ini dilakukan dengan menghaturkan nasi yang telah dimasak di sekitar pekarangan rumah. Konsep mebanten saiban ini merupakan konsep penghormatan masyarakat Bali kepada alam sekitar. Mengandung pengertian ucapan terimakasih atas segala berkah yang dilimpahkan oleh alam. Konsep spiritualitas masyarakat Bali lainnya, yaitu tumpek uye dan tumpek kandang. Tumpek uye dan tumpek kandang merupakan bentuk penghormatan masyarakat Bali terhadap alam khususnya terhadap tanaman dan hewan. Pada saat tumpek uye dan tumpek kandang, masyarakat Bali melakukan upacara keagaamaan kepada tanaman dan hewan dengan harapan tanaman dan hewan tersebut akan memberikan berkah yang lebih banyak lagi. Unsurunsur spiritualitas dalam masyarakat Bali sangat memperhatikan atau memfokuskan pada keadaan alam. Ini sangat sesuai dengan filosofi ketimuran yang mengagungkan alam karena telah memberikan berkah kepada manusia. Penghormatanpenghormatan kepada bagian alam sangat ditekankan pada nilainilai spiritual masyarakat Bali. Ini adalah bentuk sederhana dari unsur spiritualitas yang terdapat dalam masyarakat Bali. Sebuah bentuk penghormatan sederhana dengan makna yang sangat dalam kepada alam semesta.
Unsur Budaya dan Kearifan Lokal Masyarakat Bali
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam kebudayaan. Kebudayaan memiliki pengertian yang sangat luas mencakup seluruh cipta, karsa, dan karya manusia. Budaya dalam wujudnya dapat dikategorikan menjadi pola pikir, nilainilai sosial, dan benda (Koentjaraningrat, 1993). Kebudayaan tersebut dapat berupa nilainilai sosial yang berkembang di masyarakat, lagu, tarian, cerita, dan kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan nilainilai yang dipegang teguh oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kearifan lokal suatu daerah akan mempengaruhi cara pandang kelompak masyarakat tersebut terhadap kehidupan. Kebudayaan akan mempengaruhi norma dan nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat. Kebudayaan juga akan mempengaruhi bagaimana interaksi masyarakat di dalam komunitasnya. Bali termasuk salah satu daerah di Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan. Kebudayaan tersebut berupa tarian Bali, ceritacerita lokal khas Bali, lagulagu khas Bali, dan kearifan lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali. Beberapa kebudayaan tersebut sudah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu dan tetap terpelihara hingga kini. Contoh kebudayaan yang berkembang di masyakat Bali, yaitu tarian dan lagu. Kearifan lokal muncul sebagai hasil dari proses dialektikal antara manusia dengan lingkungan dan komunitas sosialnya. Kearifan lokal merupakan nilainilai yang dianut oleh sebuah komunitas adat. Kearifan lokal suatu daerah dapat berasal dari pengetahuan lokal (local knowledgement) yang dimiliki oleh masyarakat tersebut atau tradisi yang sudah berjalan lama di daerah tersebut. Karakteristik dari
kearifan lokal adalah bahwa kearifan lokal tersebut harus mengajarkan mengenai nilainilai etika dan moral dan ajaranajaran kearifan lokal harus dapat mengajarkan untuk mencintai alam dan lingkungan. Masyarakat Bali juga memiliki beberapa konsep kearifan lokal yang sudah dianut selama ratusan tahun. Salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bali, yaitu konsep tri hita karana, konsep manyama braya, konsep paras paros, dan konsep sagilig sagulug salunglung sabyantaka. Sebagian besar nilainilai dalam konsep kearifan lokal masyarakat Bali adalah nilainilai etika, sosial, dan kepedulian terhadap alam dan lingkungan.
Konsep tri hita karana merupakan sebuah konsep spiritual dan konsep kearifan lokal masyarakat Bali yang bertujuan untuk membentuk keselasaran hidup manusia. Kata tri hita karana berasal dari bahasa sanskerta yang terdiri dari tiga kata, yaitu “tri” yang berarti tiga, “hita” yang berarti kebaikan atau kemuliaan, dan “karana” yang berarti penyebab sehingga secara umum pengertian dari tri hita karana adalah tiga hal atau tiga penyebab yang mengakibatkan kehidupan manusia menjadi baik atau bahagia. Oka (2004) berpendapat bahwa konsep tri hita karana mengandung pengertian “tiga penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan”. Konsep tri hita karana terdiri dari konsep parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan (kata hyang berarti suci)), konsep pawongan (hubungan manusia dengan manusia (kata wong berarti manusia)), dan konsep palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan atau alam). Ajaran utama dari konsep tri hita karana adalah bagaimana agar manusia mencapai keseimbangan dan keselarasan hidup. Menurut konsep tri hita karana, keseimbangan dan keselarasan hidup akan tercapai jika manusia menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan, menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, dan menjalin hubungan baik dengan lingkungan atau alam. Parma (2010) menjelaskan bahwa konsep tri hita karana menjelaskan mengenai posisi manusia dalam alam semesta dan hubungan manusia dengan unsurunsur lain dalam alam semesta tersebut. Konsep tri hita karana memandang bahwa terdapat dua dunia (bhuana), yaitu dunia jasmani manusia dan lingkungan sekitarnya (bhuana alit) atau mikrokosmos dan dunia alam semesta (bhuana agung) atau makrokosmos. Ajaran Agama Hindu menjelaskan bahwa manusia harus menjaga keharmonisan kedua dunia tersebut agar tercipta kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Secara umum konsep dalam tri hita karana merupakan nilainilai yang bersifat universal. Konsep tri hita karana adalah bersifat universal yang memiliki pengertian bahwa konsep ini dapat diterapkan oleh semua umat manusia yang menginginkan keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan. Penerapan pelaksanaan konsep tri hita karana dikhususkan pada aspek spiritual, sosial kultural, dan teritorial untuk mencapai keselarasan hidup. Tujuan dari pelaksanaan konsep tri hita karana dalam kehidupan masyarakat Bali adalah untuk mencapai mokshartam jagadhita yang berarti kebahagiaan yang sejati.
Konsep parahyangan menjelaskan mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini merupakan bentuk hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Bentuk pelaksanaan konsep parahyangan ini adalah melaksanakan ajaranajaran agama, melaksanakan kegiatan upacara keagamaan, dan membangun tempat sembahyang. Konsep pawongan menjelaskan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain. Manusia diharuskan membentuk hubungan yang selaras dengan manusia lainnya. Hubungan yang selaras tersebut dapat diwujudkan dalam hubungan dalam keluarga, hubungan dalam persahabatan, dan hubungan dalam pekerjaan. Konsep pawongan ini memiliki konsep turunan, yaitu konsep manyama braya.
Konsep manyama braya memiliki pengertian kekerabatan atau kekeluargaan. Konsep palemahan menjelaskan hubungan antara manusia dengan lingkungan atau alam. Manusia diharuskan menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Konsep palemahan mengajarkan bahwa kehidupan manusia merupakan bagian dari alam sehingga jika alam rusak maka kehidupan manusia juga akan terganggu. Konsep parahyangan, pawongan, dan palemahan menuntut manusia untuk menjaga hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan sehingga dapat terwujud keseimbangan dan keselarasan hidup.
Konsep budaya dan kearifan lokal lain yang dimiliki oleh masyarakat Bali adalah konsep manyama braya, konsep paras paros, dan konsep sagilig sagulug salunglung sabyantaka. Konsep manyama braya, konsep paras paros, dan konsep sagilig sagulug salunglung sabyantaka merupakan konsep dalam hubungan sosial dalam masyarakat Bali. Konsep manyama braya (kata nyama berarti keluarga; manyama berarti memiliki hubungan keluarga) memiliki arti kekeluargaan atau kebersamaan dalam sebuah komunitas adat. Konsep manyama braya dapat pula diartikan sebagai tindakan saling tolong menolong dalam agar tercapai keharmonisan hubungan sosial. Konsep paras paros memiliki pengertian yang mendalam mengenai adanya dinamika dalam keragaman. Masyarakat Bali yang memahami mengenai makna paras paros akan mengerti bahwa dalam kehidupan seharihari akan selalu ada perbedaan pendapat, perbedaan persepsi, dan perbedaan pemahaman akan suatu hal. Konsep paras paros mengajarkan masyarakat Bali bahwa keragaman itu akan selalu ada dan harmoni akan tercipta melalui adanya keragaman (unity in diversity). Konsep sagilig sagulug salunglung sabyantaka mengandung pengertian apapun yang terjadi baik dalam keadaan baik atau buruk, hubungan sosial dan kekerabatan harus tetap terjaga. Secara umum konsep paras paros dan konsep sagilig sagulug salunglung sabyantaka dapat diartikan bersatu dalam suka dan duka dan apapun dinamika yang terjadi hendaknya diselesaikan dengan caracara yang damai. Hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat Bali dapat bertahan ratusan tahun akibat adanya konsepkonsep ini. Masyarakat Bali mengenai istilah saling asah, asih, asuh (saling mendukung, saling menyayangi, dan saling membina) yang turut pula untuk mendukung tatanan sosial di Bali. Konsep hubungan sosial kemasyarakatan ini akan semakin meningkat ketika terjadi upacaraupacara keagaamaan. Semua masyarakat akan saling tolongmenolong agar upacaraupacara keagamaan tersebut dapat berjalan dengan lancar.
Gambaran Umum Materi Kuliah Akuntansi Sosial dan Lingkungan pada Jurusan Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha
Mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan pada jurusan akuntansi program S1 Universitas Pendidikan Ganesha memiliki bobot 3 sks. Selama satu semester mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan memiliki tatap muka sebanyak 16 kali. Standar kompetensi dari mata kuliah ini adalah diharapkan mahasiswa memahami dan mampu mengaplikasikan konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan, konsep dasar corporate social responsibility dan dapat menjelaskan serta membuat komponen laporan keberlanjutan perusahaan dalam bentuk laporan keberlanjutan perusahaan. Sebaran materi yang disampaikan berikut ini merupakan materi yang terdapat dalam silabus mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Berikut adalah sebaran materi yang diajarkan pada setiap pertemuan:
Pertemuan
Ke Materi Pokok
1 Konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan dan sejarah munculnya akuntansi sosial dan lingkungan
2 Konsep dasar, ruang lingkup, dan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan/ corporate social responsibility (CSR)
3 Konteks keberlanjutan dalam bisnis, green business, green economy, dan green accounting
4 Rerangka pelaporan Global Reporting Initiative (GRI), prinsip prinsip pelaporan, dan standar pengungkapan 5 Indikator kinerja ekonomi perusahaan 6 Indikator kinerja sosial perusahaan 7 Indikator kinerja lingkungan perusahaan 8 Ujian tengah semester 9 Konsep laporan berkelanjutan (sustainability report) 10 Unsurunsur laporan berkelanjutan pada industri manufaktur 11 Unsurunsur laporan berkelanjutan pada industri pertambangan 12 Unsurunsur laporan berkelanjutan pada industri perbankan 13 Diskusi laporan berkelanjutan perusahaan pada industri
manufaktur
14 Diskusi laporan berkelanjutan perusahaan pada industri pertambangan
15 Diskusi laporan berkelanjutan perusahaan pada industri perbankan
16 Ujian akhir semester
Berdasarkan sebaran mata kuliah ini, kita dapat melihat bahwa secara garis besar materi mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu pemahaman konsep dan aplikasi dari konsep. Pemahaman konsep ditekankan pada pertemuan 1 sampai 7 dan pertemuan 9 sampai 12. Aplikasi dari konsep ditekankan pada pertemuan 13 sampai 15. Pertemuan 1 dan 2 membahas mengenai konsepkonsep dasar yang dipakai dalam akuntansi sosial dan lingkungan dan alasan mengapa muncul istilah tanggung jawab sosial perusahaan. Materi ini bertujuan agar mahasiswa bisa memahami bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam bisnis dimana unsur sosial dan lingkungan mulai diperhatikan oleh perusahaan. Pertemuan 3 membahas mengenai konsepkonsep turunan dalam konsep akuntansi sosial dan lingkungan dan mahasiswa harus memahami hubungan antara tanggung jawab sosial perusahaan dalam konteks bisnis yang berkelanjutan. Pertemuan 4 membahas mengenai bagaimana cara perusahaan untuk melaporkan kegiatan sosial dan lingkungannya dan standar pengungkapan yang dapat dipergunakan. Pertemuan 5 sampai 7 membahas mengenai indikatorindikator apa saja yang diungkapkan dalam pelaporan kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Pertemuan 9 membahas mengenai laporan berkelanjutan perusahaan. Pada pertemuan ini juga dikenalkan adanya laporan yang harus dibuat oleh perusahaan dalam lingkup sosial dan lingkungan. Mahasiswa diharapkan dapat memahami bahwa laporanlaporan yang dibuat oleh perusahaan bukan hanya laporan keuangan (financial statements) dan laporan tahunan (annual report) saja. Pertemuan 10 sampai 12 membahas mengenai unsurunsur yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan berkelanjutannya. Dalam materi ini tiga industri dipilih, yaitu industri
manufaktur, pertambangan, dan perbankan. Manufaktur dan pertambangan dipilih karena aktivitas industri ini dapat mengakibatkan kerusakan sosial dan lingkungan. Sedangkan perbankan dipilih sebagai perbandingan industri yang tidak mengakibatkan adanya kerusakan sosial dan lingkungan. Materi ini membahas mengenai perbandingan laporan berkelanjutan antara industri yang dapat mengakibatkan kerusakan sosial dan lingkungan dengan industri yang tidak dapat mengakibatkan adanya kerusakan sosial dan lingkungan. Hal ini dilakukan karena pada kenyataannya industri perbankan turut pula untuk mengeluarkan laporan berkelanjutan. Dalam pertemuan ini juga dibahas dasar peraturan bagi perusahaan untuk mengungkapkan kegiatan sosial dan lingkungannya, misalnya UU No. 40 tahun 2007. Pertemuan 13 sampai 15 merupakan pertemuan untuk mendiskusikan laporan keberlanjutan yang dibuat oleh kelompok mahasiswa. Sebelumnya mahasiswa diberikan tugas untuk menyusun dan kemudian menyajikan laporan berkelanjutan yang sudah dibuat. Setiap kelompok menyampaikan saran dan pendapat terkait laporan berkelanjutan yang sudah dibuat oleh kelompok yang lain.
Metode pembelajaran yang dilakukan di kelas adalah metode presentasi dan diskusi. Setiap mahasiswa akan membentuk kelompok dan menyajikan materi yang didapat kelompok tersebut di depan kelas. Metode presentasi dilakukan saat membahas materimateri kuliah yang berkaitan dengan konsep konsep akuntansi sosial dan lingkungan. Metode diskusi dilakukan saat membahas materimateri aplikasi konsep, khususnya pada saat mahasiswa diminta untuk membuat laporan berkelanjutan perusahaan. Sebaran materi ini akan dicoba untuk disintesakan dengan unsurunsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bali.
Sintesa UnsurUnsur Spiritualitas, Budaya, dan Kearifan Lokal dalam Konsep Dasar Mata Kuliah Akuntansi Sosial dan Lingkungan
Sintesa unsurunsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal dapat diaplikasikan dalam mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan. Silabus pada mata kuliah akuntansi sosial dan lingkungan membahas mengenai sejarah munculnya akuntansi sosial dan lingkungan, standar GRI (global reporting initiative), konsep triple bottom lines, dan kinerja keuangan, kinerja sosial, dan kinerja lingkungan perusahaan. Secara umum silabus pada materi kuliah akuntansi sosial dan lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu materi konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan dan materi standar pelaporan kegiatan sosial dan lingkungan perusahaan. Maka sintesa unsurunsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal akan disertakan pada kedua materi tersebut. Jika materi konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan dikaitkan dengan unsurunsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal maka akan sesuai dengan konsep kearifan lokal tri hita karana. Konsep kearifan lokal tri hita karana mengajarkan bahwa manusia harus mencapai keseimbangan secara spiritual (parahyangan), keseimbangan secara sosial (pawongan), dan keseimbangan dengan alam (palemahan). Konsep triple bottom lines juga secara tegas memberikan pemahaman bahwa perusahaan dalam menjalankan usahanya tidak hanya harus terfokus pada keuntungan semata (profit), tetapi juga harus memikirkan dampak dari usaha perusahaan pada lingkungan sosial (people) dan lingkungan alam di sekitar perusahaan (planet). Nuryaman (2013) berpendapat bahwa konsep people dalam kegiatan sosial perusahaan berarti bahwa entitas bisnis harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan sosial (social welfare) stakeholders perusahaan, konsep profit diartikan bahwa perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan perusahaan semata tapi juga
harus memberikan kemajuan kepada semua stakeholders perusahaan, dan konsep planet yang diartikan bahwa perusahaan harus bijak dalam mengelola sumber daya alam. Berdasarkan pemahaman ini maka sintesa konsep tri hita karana pada konsep akuntansi sosial dan lingkungan adalah unsur dalam triple bottom lines yang menyatakan bahwa perusahaan harus memikirkan juga lingkungan sosial (people) dan lingkungan alam (planet) dalam aktivitas perusahaan adalah sama dengan konsep bahwa manusia harus mencapai keseimbangan sosial (pawongan) dan keseimbangan dengan alam (palemahan) dalam konsep tri hita karana. Dengan sintesa konsep ini maka pemberian materi konsep akuntansi sosial dan lingkungan di kelas dapat ditekankan bahwa konsep triple bottom lines secara garis besar sama dengan konsep tri hita karana.
Unsur spiritual dari masyarakat Bali mengenal konsep catur purusa artha yang terdiri dari 4 bagian, yaitu dharma (kebaikan), artha (harta), kama (keinginan), dan moksha (kebebasan dari duniawi). Kata catur purusa artha berasal dari bahasa sanskerta yang memiliki arti, yaitu catur berarti empat, purusa berarti hidup, dan artha berarti tujuan. Secara keseluruhan catur purusa artha berarti empat tujuan hidup sebagai manusia. Tujuan hidup manusia sebagaimana dinyatakan dalam sebuah sloka “dharma, artha, kama, moksana sarira sadhanam” yang berarti bahwa badan yang disebut sarira hanya boleh dipergunakan sebagai alat untuk mencapai kebaikan, harta, keinginan, dan pembebasan duniawi. Dari konsep catur purusa artha ini kita dapat melihat bahwa Agama Hindu mengajarkan bahwa manusia dalam hidupnya harus memiliki tujuan sebagai manusia. Manusia harus bisa menggunakan kama (keinginan) untuk mendapatkan artha (tujuan hidup yang dalam konteks ini diartikan sebagai harta) dengan berlandaskan dharma (kebaikan) agar mendapatkan moksha (pembebasan dari kehidupan duniawi). Jika dilihat secara sepintas maka orang awam mungkin akan mengartikan bahwa tujuan hidup manusia sesuai ajaran Agama Hindu adalah mencari artha (harta). Konsep inti dari catur purusa artha mengajarkan bahwa manusia harus mencari artha bukan sebagai tujuan utama tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang sebenarnya. Tujuan yang sebenarnya dalam Agama Hindu adalah untuk mencapai moksha (jiwa manusia menyatu dengan jiwa Brahman (Tuhan)) dalam hal ini bahwa manusia sudah mencapai pembebasan yang sejati. Harta hanya sebagai sarana untuk menjalani hidup dan harta dapat pula dipergunakan untuk membantu orang lain. Jadi dalam pengertian yang sebenarnya tujuan hidup manusia bukanlah untuk mencari harta. Konsep inti berikutnya dari catur purusa artha adalah bahwa dalam mencari artha (harta) manusia harus berlandaskan dengan dharma (kebaikan). Manusia tidak diperbolehkan untuk menggunakan caracara yang tidak baik dalam mencari harta. Kebaikan harus menjadi dasar dalam segala perbuatan manusia dalam hidupnya. Jika kita sintesakan konsep catur purusa artha ini ke dalam konsep akuntansi sosial dan lingkungan maka dapat diartikan bahwa perusahaan dalam mencapai laba (profit atau artha) harus dilandasi dengan caracara yang baik (dharma). Perusahaan harus menyadari bahwa yang diuntungkan dari kegiatan perusahaan bukanlah hanya manajemen dan pemegang saham saja, tetapi semua stakeholder baik di internal maupun eksternal perusahaan juga harus dapat menikmati keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan. Ini dapat diartikan bahwa tujuan perusahaan tidak hanya untuk menguntungkan manajemen dan pemegang saham tetapi unsur sosial dan lingkungan di sekitar perusahaan juga harus mendapatkan keuntungan. Perusahaan akan memberikan manfaat yang lebih luas kepada semua unsur baik yang ada di
dalam maupun di luar perusahaan (moksha). Manajemen perusahaan tidak boleh menggunakan egonya (kama) hanya untuk kepentingan manajemen dan pemegang saham saja. Manajemen perusahaan harus menyadari bahwa banyak unsur sosial dan lingkungan yang telah membantu aktivitas perusahaan. Berdasarkan teori enterprise maka pada dasarnya income atau keberhasilan lain yang diperoleh perusahaan bukan hanya usaha dari manajemen perusahaan saja tetapi terdapat juga dukungan dari lingkungan sosial yang ada di luar perusahaan, misalnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat (konsumen). Berdasarkan pemahaman ini maka dalam teori enterprise, lingkungan sosial lebih berkuasa dan lebih kuat dibandingkan dengan pemegang saham perusahaan (Soetedjo, 2009). Soetedjo (2009) dalam bukunya memberikan contoh perbandingan antara laporan laba rugi konvensional (tidak memasukkan nilai tambah kepada lingkungan sosial) dengan laporan laba rugi yang memasukkan faktor nilai tambah kepada lingkungan sosial dan lingkungan alam. Pada dasarnya konsep inipun sama dengan arti dari konsep triple bottom lines dimana perusahaan harus memikirkan faktor sosial dan lingkungan. Jika kita melihat pembahasan sintesa ini sebenarnya merupakan bukti bahwa nilai atau konsep dari akuntansi sosial dan lingkungan mengandung nilainilai universal yang dianut juga oleh ajaran agama dan berlaku dalam kehidupan manusia.
Konsep corporate social responsibility merupakan salah satu konsep dalam akuntansi sosial dan lingkungan yang saat ini pengembangan konsepnya semakin ditingkatkan. Salah satu pengembangan dalam konsep corporate social responsibility adalah keinginan untuk dimasukkannya unsur spiritualitas atau religiusitas. Unsur spiritualitas atau religiusitas akan membuat corporate social responsibility yang dilakukan oleh perusahaan tidak akan memiliki motif apapun dan pelaksanaannya akan dilakukan berdasarkan keikhlasan. Ghani (2006) berpendapat bahwa tanggung jawab sosial perusahaan harus dilaksanakan sebagai perwujudan visi dan misi perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya adalah sebuah kebutuhan bagi perusahaan untuk dapat berinteraksi dengan komunitas lokal atau masyarakat secara keseluruhan (Rudito dan Famiola, 2013). Konsep tanggung jawab sosial seperti ini diperlukan oleh manajemen perusahaan untuk mendapatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat agar perusahaan dapat terus menjalankan aktivitas bisnisnya. Perusahaan yang melaksanakan tanggung jawab sosial berharap dapat mencegah konflik sosial dengan masyarakat yang berada di sekitar lingkungan perusahaan. Jika dilihat secara umum, maka konsep tanggung jawab sosial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sama dengan konsep pawongan dalam konsep tri hita karana dan konsep manyama braya. Konsep pawongan dalam tri hita karana menjelaskan bahwa setiap individu manusia harus menjalin hubungan yang harmonis dengan individu manusia lainnya agar tercipa keselarasan dan keharmonisan dalam hidup. Dalam konteks ini maka perusahaan dapat diibaratkan sebagai sebuah individu yang diharuskan menjalin hubungan dengan komunitas sosial disekitarnya. Ini menjadi masuk akal karena pada dasarnya perusahaan adalah individu yang penuh dengan kontrak (nexus of the contract). Kontrakkontrak ini dapat berlaku bagi stakeholder internal maupun stakeholder eksternal perusahaan. Stakeholder merupakan pihakpihak yang dapat mempengaruhi keputusan dari aktivitas bisnis perusahaan. Jika dikaitkan dengan konsep sosial manyama braya maka konsep tanggung jawab sosial perusahaan mengandung pesan bahwa perusahaan harus membangun nuansa kekeluargaan dengan komunitas sosial di sekitar perusahaan. Hubungan antara perusahaan dengan stakeholder pada
prinsipnya dapat menjadi sebuah modal sosial (social capital) bagi perusahaan jika hubungan tersebut dilandasi pada prinsip saling ketergantungan. Sawarjuwono (2012) berpendapat bahwa manajemen perusahaan harus memiliki paradigma baru dalam mengelola perusahaan sehingga tanggung jawab sosial perusahaan menjadi bagian dari budaya perusahaan (corporate culture). Paradigma yang baru ini menjelaskan bahwa entitas bisnis dalam menjalankan kegiatan bisnisnya harus memperlakukan lingkungan sosialnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan bisnis tersebut. Hal ini akan menyadarkan perusahaan bahwa tanggung jawab sosial harus dilakukan dengan ikhlas tanpa adanya motif apapun. Rusdianto (2013) berpendapat bahwa manajemen perusahaan tidak boleh hanya mengejar keuntungan semata tetapi juga harus menyadari bahwa ada dampak atau konsekuensi sosial dan lingkungan akibat aktivitas bisnis yang dilakukan oleh perusahaan. Konsep inilah yang menyebabkan adanya tuntutan moral bagi manajemen perusahaan untuk memperhatikan kepentingan sosial dan lingkungan. Konsep tanggung jawab sosial yang dilakukan dengan ikhlas tanpa adanya motif apapun akan sesuai dengan konsep manyama braya. Dalam konsep manyama braya nilai yang dipegang teguh adalah nilai gotong royong dan saling membantu. Prinsip dalam manyama braya adalah harus menolong tanpa pamrih karena suatu saat juga kita akan meminta pertolongan kepada orang lain. Nilainilai ini akan menguatkan prinsip bahwa manusia adalah makhluk sosial dan harus bergantung kepada komunitas sosialnya. Jika konsep ini dibawa ke dalam sudut pandang perusahaan, maka manajemen perusahaan harus menyadari bahwa perusahaan tidak dapat berdiri sendiri dan sangat tergantung kepada komunitas yang terdapat di sekitar perusahaan. Konsumen, distributor, pemerintah, organisasi sosial, organisasi lingkungan, serikat pekerja, dan masyarakat yang tingggal di sekitar perusahaan merupakan komunitas sosial yang hubungannnya harus dijaga dengan baik oleh perusahaan. Konsep ini sesuai dengan pendapat Almilia et al. (2011) yang menyatakan bahwa keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability) akan terjamin apabila manajemen perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup yang berada di luar perusahaan. Achda (2006) berpendapat bahwa tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh manajemen perusahaan mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki komitmen untuk memikirkan dampak operasional perusahaan terhadap komunitas sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berada di luar perusahaan.
Sintesa UnsurUnsur Spiritualitas, Budaya, dan Kearifan Lokal dalam Materi Standar Pelaporan Kegiatan Sosial dan Lingkungan Perusahaan Standar internasional mengenai penyusunan laporan sosial dan lingkungan perusahaan, yaitu standar GRI (global reporting initiative) membagi beberapa item pengungkapan yang harus dilakukan oleh perusahaan. Itemitem pengungkapan tersebut harus mengungkapkan mengenai kinerja keuangan, kinerja sosial, dan kinerja lingkungan perusahaan. Kinerja keuangan mencakup datadata posisi keuangan dari perusahaan, kinerja sosial mencakup kegiatan kegiatan yang telah dilakukan perusahaan pada bidang sosial, dan kinerja lingkungan mencakup kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sekitar. Dalam halaman pengantar dari Pedoman Pelaporan Keberlanjutan GRI G4 (PrinsipPrinsip Pelaporan dan Pengungkapan Standar) dinyatakan bahwa sebuah laporan keberlanjutan perusahaan menyampaikan pengungkapan mengenai dampak aktivitas bisnis perusahaan terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Pengungkapan tersebut harus mencakup kategori
ekonomi, sosial dan lingkungan. Aspek ekonomi mencakup kinerja ekonomi dan keberadaan pasar, aspek sosial mencakup praktek ketenagakerjaan dan tanggung jawab atas produk, dan aspek lingkungan mencakup penggunaan air dan pengolahan limbah akibat aktivitas perusahaan.
Dalam itemitem kinerja sosial yang terdapat dalam standar GRI terdapat poin yang menyatakan bahwa perusahaan harus mengakui adanya organisasi karyawan dalam internal perusahaan dan penghormatan terhadap hakhak karyawan. Pengakuan adanya organisasi karyawan ini merupakan bentuk penghormatan perusahaan kepada karyawan. Perusahaan tidak boleh menganggap karyawan sebagai pekerja yang hanya menguntungkan perusahaan saja tetapi harus memberikan kesempatan kepada karyawan agar memiliki kesejahteraan hidup yang lebih baik. Adanya organisasi karyawan dalam internal perusahaan muncul karena adanya persamaan hak dan kewajiban. Berkumpulnya individuindividu dalam sebuah organisasi didasarkan pada adanya kesamaan kepentingan dan kewajiban (Rudito dan Famiola, 2013). Jika dihubungkan dengan unsurunsur budaya masyarakat Bali maka konsep ini akan sama dengan nilainilai yang terdapat pada konsep manyama braya. Konsep manyama braya mengandung pengertian bahwa terdapat nilainilai kekeluargaan dan kebersamaan dalam sebuah komunitas adat. Konteks kekeluargaan dan kebersamaan ini diturunkan menjadi nilainilai gotong royong dan musyawarah. Jika nilai konsep ini dibawa ke perusahaan maka sejatinya karyawan memiliki peran yang jauh lebih besar daripada hanya bekerja untuk kepentingan perusahaan. Karyawan merupakan stakeholder internal perusahaan yang pada dasarnya memiliki hak untuk menentukan masa depan perusahaan. Karyawan dalam suatu perusahaan bisa terlibat penuh dalam pengambilan keputusan perusahaan (Rudito dan Famiola, 2013). Jika nilainilai manyama braya ini diaplikasikan pada perusahaan maka model hubungan antara karyawan dengan perusahaan adalah model hubungan yang saling menghargai dan satu pihak tidak akan mendominasi pihak yang lainnya. Poinpoin pada item kinerja lingkungan yang terdapat dalam standar GRI lebih menekankan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Terdapat poin poin yang manyatakan apakah perusahaan mengontrol limbah dari aktivitas perusahaan, bagaimana penggunaan air pada perusahaan, dan apakah perusahaan sudah melakukan tanggung jawab lingkungannya. Jika itemitem kinerja lingkungan ini dikaitkan dengan kearifan lokal masyarakat Bali maka akan sesuai dengan konsep palemahan yang merupakan bagian dari konsep tri hita karana. Konsep palemahan mengandung pengertian bahwa masyarakat Bali sangat menghargai alam dan lingkungan. Manajemen perusahaan harus berprinsip bahwa alam dan lingkungan sekitar perusahaan merupakan salah satu faktor yang turut pula mendukung eksistensi perusahaan. Sumber bahan baku perusahaan dihasilkan oleh alam dan jika alam dirusak karena limbah perusahaan maka alam tidak dapat menghasilkan bahan baku untuk perusahaan. Dengan kata lain maka aktivitas bisnis perusahaan merupakan bagian dari siklus alam. Jika siklus alam dirusak oleh aktivitas perusahaan, maka alam tidak akan memberikan berkahnya kepada perusahaan. Konsep sebab akibat ini dalam unsur spiritualitas masyarakat Bali dikenal dengan konsep karma phala (karma berarti perbuatan; phala berarti buah) yang diartikan sebagai hasil dari perbuatan. Konsep ini mengajarkan bahwa apapun perbuatan kita (baik atau buruk), semuanya akan menghasilkan sesuatu. Jika konteks ini dibawa ke ranah perusahaan, maka pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan akan memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan. Belum lagi jika perusahaan dengan lengkap melaporkan informasi kinerja lingkungan ke stakeholder eksternal perusahaan. Pihakpihak di luar
perusahaan akan melihat manajemen perusahaan memiliki komitmen yang baik untuk penyampaian kinerja lingkungan. Komitmen manajemen perusahaan terhadap kinerja lingkungan perusahaan dapat diwujudkan dalam berbagai cara, misalnya dalam tata kelola perusahaan dibentuk unit yang khusus menangani masalah lingkungan akibat aktivitas bisnis perusahaan, audit lingkungan dalam periode tertentu, dan manajemen perusahaan harus berupaya untuk mendapatkan ISO 14001 (sistem manajemen lingkungan) agar manajemen perusahaan mengetahui sejauh mana efektivitas kegiatan pengelolaan lingkungan dalam lingkup perusahaan.
Terkait dengan konsep kinerja lingkungan perusahaan, khususnya terhadap item pelaporan mengenai penggunaan air pada perusahaan, penelitian Chalmers et al. (2012) menyatakan sebuah konsep yang dinamakan general purpose water accounting yang kita kenal dengan akuntansi air. Akuntansi air dibuat untuk melaporkan informasi mengenai penggunaan air oleh perusahaan dan informasi mengenai hakhak atas air kepada pihak eksternal perusahaan. Akuntansi air adalah “suatu proses untuk mengidentifikasi, mengakui, mengkuantifikasi, dan melaporkan informasi mengenai air” (Sylvia, 2014). Dengan munculnya konsep akuntansi air ini maka akan muncul pula laporan laporan akuntansi yang memberikan informasi mengenai air. Akan muncul pula metodemetode akuntansi untuk mencatat dan melaporkan informasi air yang termasuk dalam informasi non keuangan. Sylvia (2014) menyatakan terdapat beberapa laporan yang terkait dengan akuntansi air, misalnya laporan arus fisik air, laporan aset air dan kewajiban air, dan laporan perubahan dalam aset air dan kewajiban air. Jika kita telaah lebih jauh, konsep akuntansi air ini secara tidak langsung merupakan sebuah konsep penghormatan terhadap air. Penghormatan terhadap air sudah dilakukan oleh masyarakat Bali sejak ratusan tahun yang lalu. Metode pengairan sawah dengan sistem subak merupakan salah satu bentuk penghormatan masyarakat Bali terhadap air. Sistem subak dibentuk sedemikian rupa dengan maksud agar penggunaan air dapat dipergunakan oleh semua petani yang tergabung dalam organisasi subak tersebut. Filosofi dari sistem subak adalah bahwa air harus dapat dipergunakan secara bijak sehingga air dapat bermanfaat untuk semua. Windia (2015) menyatakan bahwa nilainilai yang diutamakan dalam sistem subak adalah nilainilai kebenaran, keadilan, dan kebersamaan. Pengaturan dan pembagian air dalam sistem irigasi subak dilakukan dengan sistem yang adil dan proporsional. Pembagian air yang adil dan proporsional dalam sistem subak ini menunjukkan bahwa subak sangat menjunjung nilainilai keadilan (Windia, 2015). Sistem subak merupakan perwujudan dari nilainilai tri hita karana utamanya konsep palemahan. Dengan mengusung konsep palemahan, maka segala aktivitas masyarakat Bali menjunjung tinggi kelestarian alam dan lingkungan.
Gambaran Umum Materi Kuliah Akuntansi Sosial dan Lingkungan dengan Sintesa UnsurUnsur Spiritualitas, Budaya, dan Kearifan Lokal Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menemukan komposisi materi kuliah akuntansi sosial dan lingkungan yang disertai dengan sintesa unsurunsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali. Sintesa dilakukan dengan menggabungkan konsep akuntansi sosial dan lingkungan dengan konsep spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali yang sesuai dengan konsep akuntansi sosial dan lingkungan tersebut. Komposisi tersebut akan dibentuk dalam materi perkuliahan setiap pertemuan.
Pertemuan
Ke Materi Pokok
1 Sejarah dan konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan dan hubungannya dengan konsep spiritualitas catur purusa artha dan tri hita karana
2 Konsep, prinsip, dan ruang lingkup corporate social responsibility sebagai perwujudan konsep tri hita karana dan manyama braya dalam bisnis
3 Konteks keberlanjutan dalam bisnis, green business, green economy, dan green accounting : perwujudan konsep palemahan sebagai bagian dari konsep tri hita karana
4 Rerangka pelaporan Global Reporting Initiative (GRI), prinsip prinsip pelaporan, dan standar pengungkapan
5 Indikator kinerja ekonomi perusahaan : tinjauan dari konsep spiritual catur purusa artha
6 Indikator kinerja sosial perusahaan dan hubungannya dengan konsep kearifan lokal manyama braya, paras paros, dan sagilig sagulug salunglung sabyantaka
7 Indikator kinerja lingkungan, akuntansi air, konsep palemahan, dan filosofi subak
8 Ujian tengah semester
9 Konsep laporan berkelanjutan (sustainability report) sebagai bentuk akuntabilitas informasi sosial dan lingkungan perusahaan
10 Unsurunsur laporan berkelanjutan pada industri manufaktur dan hubungannya dengan konsep spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali
11 Unsurunsur laporan berkelanjutan pada industri pertambangan dan hubungannya dengan konsep spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali
12 Unsurunsur laporan berkelanjutan pada industri perbankan dan hubungannya dengan konsep spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali
13 Diskusi laporan berkelanjutan perusahaan pada industri manufaktur
14 Diskusi laporan berkelanjutan perusahaan pada industri pertambangan
15 Diskusi laporan berkelanjutan perusahaan pada industri perbankan
16 Ujian akhir semester
Gambaran umum materi kuliah akuntansi sosial dan lingkungan dengan sintesa unsur spiritualitas, budaya, dan kearifan lokal dibagi menjadi dua materi utama, yaitu materi pemahaman konsep dan materi aplikasi dari konsep. Materi pemahaman konsep membahas mengenai konsep dasar dalam akuntansi sosial dan lingkungan dan materi aplikasi konsep membahas mengenai proses pembuatan laporan berkelanjutan. Pertemuan 1 membahas mengenai sejarah dan konsep dasar akuntansi sosial dan lingkungan. Materi dalam pertemuan ini disajikan dengan konsep diskusi dimana pengajar memberikan materi konsep akuntansi sosial dan lingkungan dan hubungannya dengan konsep tri hita karana dan catur purusa artha. Pertemuan 2 membahas mengenai konsep