• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN Pajak Daerah dan Reformasi Pajak Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN Pajak Daerah dan Reformasi Pajak Daerah"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

II. TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN

2.1 Telaah Pustaka

2.1.1 Pajak Daerah dan Reformasi Pajak Daerah

Menurut Darwin (2010), dalam bukunya “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” menyatakan bahwa pengertian pajak secara umum yaitu merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada pemerintah tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjuk, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dia juga menyatakan bahwa pajak daerah secara umum adalah pajak yang dipungut oleh daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik.

Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: “Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib pajak kepada daerah yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatakan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimaksudkan bahwa pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan              

(2)

kepada masyarakat dengan diikuti pemberian kewenangan yang besar dalam pengaturan kewenangan perpajakan dapat mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya batasan bagi daerah dalam penetapan tarif pajak sehingga daerah dapat mengatur pendapatan dari sektor pajak untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya.

Tujuan dari perubahan ini dapat dilihat dari konsideran yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah yaitu:

1. Bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif;

2. Bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah;

3. Bahwa Undang-Undang 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya juga harus mempertimbangkan ketetapan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.

             

(3)

Untuk itu Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: fungsi budgeter dan fungsi regulator.

1. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara

yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan

pembangunan.

2. Fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat untuk mengatur dalam mencapai tujuan yang diharapkan pemerintah, misalnya: Pajak rokok dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi barang tersebut, Pajak kendaraan bermotor dengan perlakuan perhitungan pajak progresif dimaksudkan untuk membatasi jumlah kepemilikan kendaraan bermotor lebih dari satu dari subjek pajak yang sama dan untuk dapat tertib administrasi dalam kepemilikan kendaraan bermotor dengan membayar bea balik nama apabila kendaraan tersebut telah berubah status kepemilikannya.

2.1.1.1 Jenis-Jenis Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Sementara itu, Pemerintah Provinsi diberi kewenangan untuk memungut 5 (lima) jenis pajak, yaitu:

a. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)              

(4)

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

d. Pajak Air Permukaan, dan e. Pajak Rokok.

Pajak Kendaraan Bermotor

Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air. Hal yang dikecualikan dari pengertian kendaraan bermotor adalah sebagai berikut:

a. Kereta api;

b. Kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;

c. Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan

d. Objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.              

(5)

Pajak Kendaraan bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor sehingga secara otomatis yang menjadi objek dari Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Adapun yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor tersebut, sedangkan wajib pajaknya adalahorang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor. Dalam hal wajib pajak badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan tersebut.

Dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor dihitung sebagai perkalian dari dua unsur pokok yaitu nilai jual kendaraan bermotor dan bobot. Unsur nilai jual kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor. Harga pasaran umum adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data seperti Agen Tunggal Pemegang Merek, asosiasi penjual kendaraan bermotor. Dalam hal harga pasaran umum tidak diketahui harganya maka Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan faktor-faktor:

a. Harga kendaraan bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang saam.

b. Penggunaan kendaraan bermotor untuk umum atau pribadi.

c. Harga kendaraan bermotor dengan merek kendaraan bermotor yang sama. d. Harga kendaraan bermotor dengan tahun pembuatan kendaraan bermotor

yang sama.

e. Harga kendaraan bermotor dengan pembuat kendaraan bermotor yang sama.              

(6)

f. Harga kendaraan bermotor dengan kendaraan bermotor sejenis.

g. Harga kendaraan bermotor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Impor Barang.

Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya. Khusus untuk kendaraan bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan pajaknya adalah nilai jual kendaraan bermotor.

Unsur bobot adalah suatu unsur yang mencerminkan secara realtif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Bobot dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu). Koefisien bobot sama dengan 1, artinya kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih besar dari 1, berarti penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.

Bobot dihitung berdasarkan faktor-faktor:

a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas jumlah sumbu/as, roda, dan berat kendaraan bermotor.

b. Jenis bahan bakar kendaraan bermotor, yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya.

c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder.              

(7)

Sesuai Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang “Pajak Daerah” dinyatakan dalam pasal 6 bahwa:

- Ayat 1 menyatakan bahwa Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok yaitu:

a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB); dan

b. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan Bermotor.

- Ayat 4 menyatakan bahwa Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisisen yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Koefisiean sama dengan 1 (satu), berarti kerusakan jalan dan atau pencemaran lingkungan sebagai akibat penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan

b. Koefisien lebih besar dari 1 (satu), berarti penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati abtas toleransi.

- Ayat 5 menyatakan bahwa Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (4) dihitung berdasarkan faktor-faktor:

a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;

b. Jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya; dan

c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesi8n Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder.

Untuk memudahkan perhitungan, dasar pengenaan Pajak kendaraan Bermotor dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan Permendagri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan dan ditinjau kembali setiap tahun.

Besarnya tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut:

a. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2 % (dua persen).

b. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

             

(8)

Adapun tarif PKB yang berlaku di Jawa Barat sesuai Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2011 sesuai pasal 7 ditetapkan sebagai berikut:

a. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama sebesar 1,75% (satu koma tujuh lima persen).

b. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor roda 4(empat) kedua dan seterusnya didasarkan atas nama dan almat yang sama sesuai tanda pengenal diri, ditetapkan secara progresif sebagai berikut:

1. PKB kepemilikan kedua, sebesar 2,25%

2. PKB kepemilikan ketiga, sebesar 2,75%

3. PKB kepemilikan keempat, sebesar 3,25%

4. PKB kepemilikan kelima dan seterusnya, sebesar 3,75%

c. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) atau roda (tiga) kedua dan seterusnya, didasarkan atas nama dan alamat yang sama sesuai tanda pengenal diri, ditetapkan secara progresif sebagai berikut:

1. PKB kepemilikan kedua, sebesar 2,25%

2. PKB kepemilikan ketiga, sebesar 2,75%

3. PKB kepemilikan keempat, sebesar 3,25%

4. PKB kepemilikan kelima dan seterusnya, sebesar 3,75%

Tarif pajak kendaraan bermotor angkutan umum ditetapkan sebesar 1 % (satu persen) sedangkan ambulans, pemadam kebakaran, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah dan kendaraan lain yang ditetapkan 0,5% (nol koma lima persen). Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,2% (nol koma dua persen).

             

(9)

Berdasarkan unsur-unsur tersebut diatas maka besarnya pajak kendaraan bermotor dapat dihitung dengan formula:

PKB = Tarif x Dasar Pengenaan

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tenatng Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dimaksud Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukkan ke dalam badan usaha.

Objek pajak dari pajak ini adalah penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor dan penguasaan kendaraan bermotor melebihi 12 (dua belas) bulan dapat dianggap sebagai penyerahan. Sedangkan penguasaan kendaraan bermotor karena perjanjian sewa beli tidak termasuk penguasaan kendaraan bermotor. Termasuk juga sebagai penyerahan kendaraan bermotor adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:

a. Untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan. b. Untuk diperdagangkan.

c. Untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia, kecuali selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak dikeluarkan kembali dari wialyah pabean Indonesia.

d. Digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.              

(10)

Subjek Pajak dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi/badan yang dapat menerima penyerahan kendaraan bermotor tersebut sedangkan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau abdan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.

Dasar pengenaan dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) yang diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor. Harga pasaran umum adalah rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data seperti Agen Tunggal Pemegang Merek dan asosiasi penjual kendaraan bermotor.

Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya. Untuk memudahkan perhitungan, dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dinyatakan dalam suatu tabel yang sama dengan Pajak Kendaraan Bermotor dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan serta ditinjau kembali setiap tahun.

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor di Provinsi Jawa Barat ditetapkan dengan Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2011 sesuai pasal 24 sebagai berikut:

(1) Tarif BBNKB atas penyerahan pertama ditetapkan sebesar :

a. 10% (sepuluh persen) untuk Kendaraan Bermotor orang pribadi, Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan POLRI;

b. 10% (sepuluh persen) untuk Kendaraan Bermotor angkutan umum; dan

c. 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.

             

(11)

(2) Tarif BBNKB atas penyerahan kedua dan selanjutnya ditetapkan sebesar : a. 1% (satu persen) untuk Kendaraan Bermotor orang pribadi atau

Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri;

b. 1% (satu persen) untuk Kendaraan Bermotor angkutan umum; dan c. 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen) untuk Kendaraan

Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.

(3) Tarif BBNKB atas penyerahan karena warisan ditetapkan sebesar:

a. 0,1% (nol koma satu persen) untuk Kendaraan Bermotor orang pribadi;

b. 0,1% (nol koma satu persen) untuk Kendaraan Bermotor angkutan umum; dan

c. 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen) untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.

(4) Tarif BBNKB Ex Dump Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri ditetapkan sebagai berikut:

a. Umur kendaraan 1 sampai dengan 5 tahun, sebesar 10 % (sepuluh persen) dari NJKB;

b. Umur kendaraan diatas 5 tahun sampai dengan 10 tahun, sebesar 10% (sepuluh persen) dari hasil perkalian 40% (empat puluh persen) dari NJKB; dan

c. Umur kendaraan di atas 10 tahun, sebesar 10% dari hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dari NJKB.

(5) Tarif BBNKB hibah ditetapkan sebagai berikut:

a. Kendaraan yang belum dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari NJKB;

b. Kendaraan yang telah dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari NJKB;

c. Hibah kepada yayasan yang semata-mata bergerak di bidang sosial dan keagamaan yang belum dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari hasil perkalian 10% dari NJKB; dan

d. Hibah kepada yayasan yang semata-mata bergerak di bidang sosial dan keagamaan yang sudah dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari hasil perkalian 1% dari NJKB.

Besarnya Bea Balik Nama suatu kendaraan bermotor dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

BBN Kendaraan Bermotor = Tarif x Dasar Pengenaan              

(12)

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Pajak bahan Bakar Kednaraan Bermotor adalah pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air.

Objek dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air yaitu: bensin, solar, dan gas.

Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor. Sedangkan Wajib Pajak dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi/badan yang menggunakan bahan bakar kendaraan bermotor, baik bahan bakar itu digunakan untuk kendaraan bermotor maupun digunakan utnuk kepentingan lainnya.

Dasar Pengenaan dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sedangkan tarifnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling tinggi sebesar 10%.

Untuk menghitung besarnya pajak bahan bakar kendaraan bermotor dapat dihitunh sebagai berikut:

Pajak Bahan Bakar KB = Tarif x Dasar Pengenaan              

(13)

Pajak Air Permukaan

Pajak Air Permukaan merupakan pajak yang objek pajaknya adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Dikecualikan dari pengenaan pajak ini adalah penagmbilan dan/atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian, dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan. Selain itu juga pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan, sedangkan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.

Dasar Pengenaan dariJenis pajak ini adalah Nilai Perolehan Air Permukaan yang dinyatakan dalam rupiah dan dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:

a. Jenis dan Lokasi sumber air

b. Tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air c. Volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan d. Kualitas air

e. Luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air

f. Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.

             

(14)

Besarnya nilai perolehan air permukaan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan ketentuan paling tinggi sebesar 10%. Adapun Paja teruntang dapat dihitung dengan formula :

Pajak = Tarif x Dasar Pengenaan

Pajak Rokok

Pajak rokok adalah pajak yang baru dalam pajak daerah provinsi. Karena pajak ini belum pernah ada di dalam undang-undang sebelumnya. Objek dari pajak rokok adalah konsumsi rokok yang meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun. Dikecualikan dari Pajak Rokok adalah jenis rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok, sedangkan wajib pajaknya adalah pengusaha rokok/produsen dan importer rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. Pajak ini dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai yaitu Direktorat Bea dan Cukai, bersamaan dengan pemungutan cukai rokok dan hasil pungutan disetorkan ke rekening kas umum daerah propinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

Dasar pengenaan dari Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok dan tarif pajaknya sebesar 10% dari cukai rokok. Pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai pajak rokok yang mulai diberlakukan pada tahun 2014, pengenaan pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok diperhitungkan dalam penerapan cukai nasional. Hal tersebut dimaksudkan agar terdapat              

(15)

keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan daerah.

Adapun ilustrasinya seperti yang dicontohkan dalam penjelasan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 adalah sebagai berikut: misalkan pada tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan diproyeksikan meningkat 10% setiap tahunnya sesuai dengan peta jalur industri rokok nasional. Tanpa adanya pengenaan Pajak Rokok oleh Daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012 menjadi 110, kemudian meningkat menjadi 121 di tahun 2013. Pada tahun 2014, saat mulai diberlakukannya Pajak Rokok, penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari 121 sebagai penerimaan cukai Pemerintah dan 12 sebagai Pajak Rokok untuk Daerah. Pola ini berlanjut untuk tahun 2015 dan seterusnya.

Ilustarsi dalam tabel dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tahun 2011 2012 2013 2014 2015

Cukai (Pusat) 100 110 121 121 133

Pajak rokok - - - 12 13

Total Cukai (Pusat & Daerah) 100 110 121 133 140

Δ% 0 10% 10% 10% 10%

Rp. 10 11 12 13

Besar pajak terutang dapat dilihat dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak.

Pajak Rokok = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak              

(16)

Penerimaan dari pajak rokok ini akan dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakkan hukum oleh aparat yang berwenang. Pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok. Penegakkan hukum sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, antara lain, pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakkan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.1.2 Retribusi Daerah

Salah satu sumber penerimaan Negara adalah retribusi. Berbeda dengan pajak, retribusi pada umumnya berhubungan dengan kontra prestasi langsung, dalam arti bahwa pembayar retribusi akan menerima imbalan secara langsung dari retribusi yang dibayarnya (Brotodihardjo, 1993:7).

Menurut Darwin (2010), dalam bukunya “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” menyatakan bahwa pengertian retribusi adalah pungutan sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

             

(17)

Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: “Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.

Dari pengertian di atas maka dapat diuraikan bahwa retribusi pada umumnya berhubungan dengan prestasi kembaliannya secara langsung. Pembayaran yang dilakukan oleh Wajiib Retribusi bertujuan untuk mendapatkan imbalan dari pemerintah, seperti pembayaran uang sekolah/kuliah, pembayaran abonemen air minum, pembayaran listrik, pembayaran gas, rumah sakit dan sebagainya.

Objek Retribusi daerah adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Adapun jasa tertentu tersebut dikelompokkan ke dalam 3 objek retribusi yaitu Jasa Umum, Jasa Usaha dan Perizinan Tertentu.

2.1.2.1 Retribusi Jasa Umum

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 109 berbunyi: “Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.”

Jenis retribusi jasa umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara Cuma-Cuma. Berikut ini yang termasuk dalam jenis retribusi jasa umum              

(18)

adalah:

1. Retribusi Pelayanan Kesehatan

2. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan;

3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP Retribusi Penggantian Biaya Cetak Akta Catatan Sipil;

4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; 5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;

6. Retribusi Pelayanan Pasar;

7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;

8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; 9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;

10. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; 11. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;

12. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

Adapun kreterianya penggolongan retribusi jasa umum sebagai berikut: a) Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa

Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu;

b) Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;              

(19)

c) Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum;

d) Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi;

e) Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraanya;

f) Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial.

g) Pungutan Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/ atau kualitas pelayanan yang lebih baik.

2.1.2.2 Retribusi Jasa Usaha

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 126 berbunyi:

“Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:

a. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau.”

b. Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.”

             

(20)

Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah sebagai berikut: 1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; 2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; 3. Retribusi tempat Pelelangan;

4. Retribusi Terminal;

5. Retribusi Tempat Khusus Parkir;

6. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan /Villa; 7. Retribusi Rumah Potong Hewan;

8. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal; 9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga; 10. Retribusi Penyebrangan di Atas Air;

11. Retribusi Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. Adapun kreterianya sebagai berikut:

a) Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu;

b) Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta harta yang dimiliki/dikuasai Derah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah

             

(21)

2.1.2.3 Retribusi Perizinan Tertentu

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 140 berbunyi: “Objek Retribusi Perizinan tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan, maka pada dasarnya pemberian izin oleh Pemerintah Daerah tidak harus dipungut retribusi. Akan tetapi untuk melaksanakan fungsi tersebut Pemerintah Daerah mungkin masih mengalami kekurangan biaya yang tidak selalu dapat dicukupi dari sumber-sumber penerimaan daerah, sehingga terhadap perizinan tertentu masih perlu dipungut retribusi.

2.1.3 Pendapatan Asli Daerah

Menurut Abdul Halim (2002), dalam bukunya yang berjudul “Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Daerah” menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.

Menurut Undang-Undang No. 33 tahun 2004, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah: “Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,              

(22)

dan lain-lain PAD yang sah, bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi”.

Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang dapat digali dari potensi daerah dan digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan di daerahnya. Dalam hubungannya dengan pembiayaan pemerintah di daerah, perlu diketahui sumber pendapatannya yang pasti agar terdapat kepastian mengenai pelaksanaan dan kelangsungan kegiatan pemerintahan di daerah. Secara umum sumber-sumber pendapatan daerah (Davey, 1988:25) dapat dibagi atas:

- Alokasi dari pemerintah Pusat yang tediri dari: anggaran pusat (votes), bantuan pusat (grants), bagi hasil pajak, pinjaman, dan penyertaan modal.

- Perpajakan - Retribusi

- Perusahaan (Badan Usaha)

Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pasal 6, “Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari: 1) Pajak Daerah, 2) Retribusi Daerah, 3). Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4). Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah”.              

(23)

2.2 Perumusan Model Penelitian 2.2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Mohd.Rangga Diza (2009) melakukan penelitian untuk menguji kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Propinsi Sumatera Utara. Penelitian menggunakan metode penelitian asosiatif mengenai hubungan sebab akibat (kausal) antara variable independen dengan variable dependen untuk melihat berapa besar kontribusi yang diberikan pajak dan retribusi daerah sebagai variable independen terhadap pendapatan asli daerah sebagai variable dependen serta mengukur besarnya pengaruh retribusi dan pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah sampel 17 kabupaten/kota. Hasil analisis menunjukkan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah memiliki kontribusi signifikan positif terhadap PAD.

2.2.2 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, tinjauan teoritis dan tinjauan penelitian terdahulu, maka peneliti membuat kerangka konseptual penelitian sebagai berikut:

Gambar 2.1

Kerangka Konseptual Penelitian Analisis Komparatif Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebelum dan Sesudah berlakunya

UU No.28 Tahun 2009 Retribusi Daerah Sebelum (X2) Retribusi Daerah Sesudah (X2) Pajak Daerah Sebelum (X1) Pajak Daerah Sesudah (X1)              

(24)

Gambar 2.2

Kerangka Konseptual Penelitian Analisis Assosiatif Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebelum dan Sesudah berlakunya

UU No. 28 Tahun 2009

2.2.3 Hipotesis Penelitian

Menurut Sugiyono (2012:93), Penelitian yang merumuskan hipotesis adalah penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Pada Penelitian Kualitatif tidak merumuskan hipotesis tetapi justru menemukan hipotesis. Selanjutnya hipotesis tersebut akan diuji oleh peneliti dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Penulis dalam melakukan penelitian yang berjudul Analisis Komparasi Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebelum dan Sesudah Berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 serta Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Asli Daerah menggunakan 2 (dua) metode hipotesis penelitian yaitu Hipotesis Komparatif dan Hipotesis Asosiatif.

Hipotesis komparatif pada penelitian ini adalah: Hipotesa komparatif I

Ho : Tidak terdapat perbedaan perolehan Pajak Daerah antara sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009.

Pajak Daerah Sebelum (X1) Retribusi Daerah Sebelum (X2) Pajak Daerah Sesudah (X1) Retribusi Daerah Sesudah (X2) Pendapatan Asli Daerah Sebelum (Y) Pendapatan Asli Daerah Sesudah (Y)              

(25)

Ha : Terdapat perbedaan perolehan Pajak Daerah antara sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009.

Hipotesa Komparatif II

Ho : Tidak terdapat perbedaan perolehan Retribusi Daerah antara sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009.

Ha : Terdapat perbedaan perolehan Retribusi Daerah antara sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009.

Sedangkan Hipotesis Asosiatif dalam penelitian ini adalah:

H1 : Penerimaan Pajak Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

H2 : Penerimaan Retribusi Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

H3 : Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelum berlakunya

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 secara simultan berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

H4 : Penerimaan Pajak Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

H5 : Penerimaan Retribusi Daerah sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28

Tahun 2009 berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

H6 : Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesudah berlakunya

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 secara simultan berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

             

Referensi

Dokumen terkait

Besarnya yield dan kualitas asap cair dipengaruhi oleh suhu dan waktu pirolsis, sehingga pada penelitian ini dilakukan variasi suhu dan waktu pirolisis serta ukuran tempurung

Likuiditas dengan nilai minimum sebesar 0.16 yang diperoleh dari PT. ATPK Resources Tbk pada tahun 2014. Nilai maksimum sebesar 851.65 yang diperoleh dari PT. Perdana

Berdasarkan hasil pengujian terhadap variabel Return On Asset (ROA), Current Ratio (CR), Debt Equity Ratio (DER), Dividend payout Ratio (DPR) dan Firm Value (FV)

Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengelompokkan siswa dengan tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang berefektifitas

19 NINIK HARI MUJIATI. Wajak Dinas Pendidikan 22 Pebruari 2016 Drs. Wajak Dinas Pendidikan 22 Pebruari 2016.. Wajak Dinas Pendidikan 22 Pebruari 2016.. 26 RINTA DINI LESTARI.

Alasan peneliti memilih komunitas Naked Wolves Indonesia Chapter Bandung karena Komunitas NWI Chapter Bandung tersebut merupakan cikal bakal lahirnya Komunitas NWI

Faktor yang menyebabkan perubahan indeks kerapatan adalah adanya aktivitas manusia seperti penebangan pohon yang semakin sering dilakukan, konversi hutan primer dan sekunder

Hasil uji Wilcoxon Signed Rank Test pada kelompok kontrol menunjukkan tidak ada pengaruh kepada yang tidak menggunakan seduh teh bangun-bangun terhadap produksi