• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFORMASI PENDIDIKAN ISLAM PADA AWAL ABAD KE-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFORMASI PENDIDIKAN ISLAM PADA AWAL ABAD KE-"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

53

Oleh: Ali Sodikin

Abstrak : Pendidikan merupakan salah satu wilayah (area of cincern) gerakan

pembaruan Islam yang berlangsung di seluruh dunia Islam. Tokoh-tokoh gerakan pembaruan Islam seperti Muhamad Abduh di Mesir, Sayyid Akhmad Khan di anak benua India menjadikan pendidikan sebagai agenda utama gerakan pembaruan Islam yang mereka canangkan. Sejak awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20 hampir di seluruh dunia Islam berdiri lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak modern. Di anak benua India, Sayyid Akhmad Khan mendirikan Universitas Alighar yang sepenuhnya mengadaptasi sistem pendidikan Universitas Oxford di Inggris. Di Mesir, Muhamad Abduh berusaha mentransformasikan Universitas al-Azhar dengan memasukkan ilmu-ilmu modern.

Pendahuluan

Di seluruh Dunia Islam –termasuk Indonesia– pembaruan Pendidikan Islam itu terwujud dalam dua langkah utama. Pertama, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan baru dengan menerapkan sistem pendidikan modern. Kedua, mentransformasikan lembaga-lembaga pendidikan tradisional menjadi lembaga pendidikan modern. Dua cara tersebut dilakukan dengan cara mengadopsi sistem pendidikan Barat -untuk kasus Indonesia mengadopsi sistem pendidikan modern itu diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Gagasan program modernisme pendidikan Islam mempunyai akar-akarnya dalam gagasan tentang modernisme pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, modernisme pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program modernisme Islam. Kerangka dasar yang berada di balik modernisme Islam secara keseluruhan adalah bahwa modernisme pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum Muslim di masa modern. Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam – termasuk pendidikan– haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbaharui sesuai dengan kerangka modernitas; mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam tradisional hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum Muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.

Tetapi bagaimanakah sebenarnya hubungan antara modernisme dan pendidikan, lebih khusus lagi dengan pendidikan Islam di Indonesia? Modernisme –yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah 'pembangunan' (development)– adalah proses multi-dimensional yang kompleks. Pada satu segi pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi. Dalam konteks ini pendidikan dianggap merupakan prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan

(2)

54

program dan mencapai tujuan-tujuan modernisasi atau pembangunan. Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat manapun untuk mencapai kemajuan.1

Terobosan Barat dan Munculnya Ide Pembaharuan

Kesadaran akan perlunya diadakan pembaruan timbul pertama kali di kerajaan Turki Utsmani dan di Mesir. Kerajaan 'Utsmani mempunyai daerah kekuasaan di Eropa Timur yang meluas sampai ke pintu gerbang kota Wina. Maka orang-orang Turki 'Utsmani sejak awal telah mempunyai kontak langsung dengan Eropa. Sampai abad ketujuh belas Masehi, kerajaan 'Utsmani senantiasa mengalami kemenangan dalam peperangan melawan raja-raja Eropa. Tetapi mulai dari abad kedelapan belas Masehi keadaan itu berbalik. Raja-raja Eropalah yang menang dan kerajaan 'Utsmani mulai mengalami kekalahan.

Sultan-sultan kerajaan 'Utsmani pun mengirim duta-duta ke Eropa untuk mengetahui rahasia kekuatan raja-raja di Eropa yang pada abad-abad sebelumnya masih berada dalam keadaan yang amat mundur. Atas dasar laporan-laporan dari para duta itu, mulailah diadakan pembaruan di kerajaan 'Utsmani, terutama mulai dari permulaan abad kesembilan belas, tetapi pada mulanya bukan dalam bidang pemikiran, melainkan dalam pranata sosial, terutama kemiliteran dan pemerintahan. Para ulama sendiri tidak turut dalam usaha-usaha pembaruan ini, bahkan mengambil sikap menentang. Maka pembaruan di kerajaan 'Utsmani dipelopori dan dijalankan oleh kaum terpelajar Barat Turki, Ibrahim Mutafarriq (1670-1754 M). Seorang bekas tawanan dari Hongaria, pengarang buku-buku ilmu pengetahuan seperti ilmu alam, ilmu politik, ilmu bumi, dan ilmu militer.2

Pada masa Tanzimat (1839-1865) timbul pemimpin-pemimpin yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Mereka berkenalan dengan pemikiran rasional, konsep hukum alam dan kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Pemikiran tradisional mereka lenyap. Demikian juga paham fatalisme yang amat berpengaruh dalam masyarakat Turki ketika itu. Zia Gokalp (1875-1924) memisahkan antara ibadah dan muamalah. Ibadah adalah ulama, sedangkan muamalah urusan negara. Seterusnya ia berpendapat bahwa hukum yang terdapat dalam muamalah berasal dari adat yang masuk ke dalam al-Qur'an. Karena perubahan zaman, masyarakat yang memakai adat itu pun tak berlaku lagi. Ahmad Razi (1859-1930) bahkan membawa paham positivisme Aguste comte.3

Demikianlah ide-ide yang berkembang di Turki, dan tidak mengherankan kalau pembaruan di sana pada akhirnya membawa pada berdirinya Republik Turki yang sekuler.

1 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Logos , 1999), 31. 2 Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan, 1996), 147.

(3)

55

Sedangkan kontak Mesir dengan Eropa bermula dengan datangnya ekspedisi Napoleon Bonaparte yang mendarat di Aleksandria pada 1798 M. Dalam masa tiga minggu, kaum mamalik yang berkuasa di mesir dikalahkan pasukan Perancis, dan seluruh Mesir jatuh ke tanagan Napoleon Bonaparte.

Bersama Napoleon turut datang ke Mesir ilmu pengetahuan dan kebudayaan Barat. Di Kairo ia dirikan lembaga ilmiah Institut d'Egypte yang mempunyai empat bagian ilmu: ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi-politik, dan sastra seni. Perpustakaan dari lembaga ini melakukan penelitian ilmiah di Mesir dan hasilnya diterbitkan majalah La Decade Egyptienne, Napoleon juga membawa percetakan, di samping berhuruf latin, juga berhuruf arab. Ia juga membawa ahli-ahli ketimuran yang mahir berbahasa Arab.

Napoleon mempunyai hubungan yang baik dengan ulama al-Azhar dan lembaganya itu banyak dikunjungi oleh kaum terpelajar Mesir. Di sinilah bertemu ulama Islam abad kesembilan belas dengan ilmuwan-ilmuwan Barat modern. Di sinilah ulama Islam mulai sadar bahwa dalam bidang pemikiran dan bidang ilmiah ulama Islam sudah jauh ketinggalan. Tetapi hanya sedikit dari ulama al-Azhar yang berpendapat bahwa pemikiran dan ilmu yang berkembang di Barat itu perlu dipelajari dan diambil alih.

Setelah ekspedisi Napoleon berakhir di Mesir, Muhammad 'Ali (1805-1845M), seorang perwira Turki, mengambil alih kekuasaan. Ia ingin menjadi sultan yang berpengaruh di Dunia Islam dan untuk itu ia berpendapat, Mesir harus dijadikan negara yang maju. Rahasia kekuatan dunia Barat melalui ekspedisi Napoleon telah dapat ditangkap di Mesir. Dasarnya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi ini didirikanlah sekolah-sekolah: sekolah militer (1815), sekolah Teknik (1816), sekolah Kedokteran (1827), sekolah Apoteker (1829), sekolah Pertambangan (1834), dan sekolah Penerjemahan (1836). Para pengajarnya ia datangkan dari Eropa, dan ceramah-ceramah mereka diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab agar dapat ditangkap pelajar-pelajar yang banyak berasal dari al-Azhar.

Selain mendirikan sekolah-sekolah, ia mengirim pula pelajar-pelajar ke Eropa, terutama Paris. Jumlahnya lebih dari tiga ratus. Setelah kembali ke Mesir mereka ditugaskan menerjemahkan buku-buku Eropa ke dalam Bahasa Arab, disamping mengajar di sekolah-sekolah yang ia dirikan.4

Di India, pemikiran dan gerakan pembaruan rasional terlambat setengah abad dari Turki dan Mesir. Kontak umat Islam India denagn kebudayaan barat melaui inggris terutama terjadi pada pertengahan kedua abad kesembilan belas. Pemberontakan 1857 terhadap Inggris pecah. Sebagai akibatnya kerajaan Mughal dihancurkan dan Delhi jatuh ke tangan Inggris.

4 Ibid, 148-149.

(4)

56

Pemimpin yang muncul untuk membela umat Islam dari permusuhan Inggris adalah Sayyid Ahmad Khan (1817-1897). Ia seorang ulama yang sudah mengenal pemikiran dan ilmu pengetahuan Barat. Ia berpendapat, kemunduran dan kelemahan umat Islam India bisa diatasi hanya dengan mengambil alih metode berpikir ilmu-ilmu pengetahuan Barat. Untuk keperluan itu pada 1878 ia mendirikan Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang pada 1920 menjadi Universitas Islam Aligarh. Kurikulum yang dipakai MAOC mencakup ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan Barat yang diberikan dalam Bahasa Inggris. Lembaga inilah yang menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan Aligrah yang meneruskan ide-ide pembaruan yang dicetuskan Sayyid Ahmad Khan.

Sementara itu pemikiran pembaruan di Indonesia muncul terlambat lima puluh tahun dari India dan seratus tahun dari Mesir dan Turki. Dalam pada itu latar belakang ide pembaruan di Indonesia jauh berbeda dengan latar belakang yang ada di Mesir, Turki, dan India.

Mesir yang mempunyai Kairo sebagai ibukota dengan Universitas al-Azhar yang didirikan pada abad kesepuluh, merupakan pusat peradaban Islam dan kekuatan politik yang besar pengaruhnya di Dunia Islam pada masa lampau. Sultan-sultan mesir turut berperang dalam mengalahkan kaum salib dan dapat mematahkan kekuatan Hulagu di 'Ain Jalut sehingga Mesir, Afrika Utara, dan Spanyol Islam selamat dari kehancuran sebagaimana dialami dunia Islam bagian timur. Di samping itu, mulai dari abad keenam belas Mesir merupakan bagian dari kerajaan Turki Utsmani dan mengikuti dari dekat kemajuan-kemajuan yang dicapai kerajaan ini di Eropa. Mesir sadar akan kelemahan Dunia Barat dibandingkan dengan supremasi dunia Islam zaman itu.

Turki sendiri merupakan salah satu dari tiga negara besar di Dunia Islam abad-abad keenam belas sampai abad kedelapan belas, ketika d Eropa, Inggris dan Prancis belum muncul sebagai negara yang berpengaruh dalam politik internasional. Bahkan kerajaan 'Utsmani menguasai daratan Eropa dari Istambul sampai ke pintu gerbang kota Wina.

Adapun India, dengan berdirinya di sana kerajaan Mughal, merupakan negara kedua dari tiga negara besar tersebut di atas. Delhi merupakan pusat kekuasaan dan kebudayaan Islam di Dunia Islam bagian timur.5

Keadaan di Indonesia berbeda sekali dengan keadaan di tiga negara tersebut. Indonesia tak pernah menjadi negara Islam besar dan tak pernah pula menjadi pusat kebudayaan Islam. Islam berkembang di Indonesia mulai abad ketiga belas. Maka Islam yang datang dan berkembang di Indonesia bukanlah Islam Zaman keemasan dengan pemikiran rasional dan kebudayaannya yang tinggi, melainkan Islam yang telah mengalami kemunduran dengan

5 Ibid, 151.

(5)

57

pemikiran tradisional dan corak tarekat dan fiqihnya. Dalam pada itu penetrasi Barat ke Indonesia lebih awal dari Timur Tengah, yaitu pada abad keenam belas.

Oleh sebab itu, faktor yang mendorong pembaruan di Indonesia bukanlah kesadaran akan kejayaan dan kebesaran Islam masa lampau, sebagaimana di Mesir, Turki, dan India. Tetapi faktornya antara lain adalah pengalaman dan pengetahuan orang-orang Indonesia yang belajar di Makkah dan Kairo di mana pembaruan tumbuh dan berkembang; sistem pendidikan agama ke dalam kurikulumnya; usaha-usaha misi kristen yang bekembang di berbagai daerah di Indonesia; dan pengaruh tarekat dalam masyarakat Islam di Indonesia.6

Dengan demikian, kemunculan modernisasi pendidikan di Indonesia, berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisme Islam di kawasan ini. Gagasan modernisme Islam yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20, pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang diadopsi dari sistem pendidikan kolonial Belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi-organisasi modernisme Islam seperti Jami'at, al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain.

Pada awal perkembangan adopsi gagasan modernisasi pendidikan Islam ini setidak-tidaknya terdapat dua kecenderungan pokok dalam eksperimentasi organisasi-organisasi Islam di atas. Pertama adalah adopsi sistem dan lembaga pendidikan modern secara hampir menyeluruh. Titik tolak modernisme pendidikan Islam di sini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern (Belanda), bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional.7

Pola-Pola Pembaharuan Pendidikan Islam

Dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan dengan memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami oleh bangsa-bangsa Eropa, maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut adalah: (1) Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pendidikan modern di Eropa, (2) yang berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian kembali ajaran Islam, dan (3) yang berorientasi pada kekayaan sumber budaya bangsa masing-masing dan yang bersifat nasionalisme.

a. Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat.

pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang, tidak lain adalah merupakan pengembangan

6 Ibid, 152.

(6)

58

dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian, maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.

Penguasaan tersebut, harus dicapai melalui proses pendidikan untuk itu harus meniru pola pendidikan yang dikembangkan oleh dunia Barat. Sebagaimana dulu dunia Barat pernah meniru dan mengembangkan sistem pendidikan dunia Islam. Dalam hal ini, usaha pembaharuan pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat. Baik sistem maupun isi pendidikannya. Di samping itu, pengiriman pelajar-pelajar ke dunia Barat terutama ke Perancis untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern tersebut banyak dilakukan oleh penguasa-penguasa di berbagai negeri Islam.

Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat ini, mulanya timbul di Turkin Usmani pada akhir abad ke 11 H/17 M setelah mengalami kalah perang dengan berbagai negara Eropa Timur pada masa itu, yang merupakan benih bagi timbulnya usaha sekularisasi Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki modern. Sultan Mahmud II (yang memerintah Turki Utsmani 1807-1839 M), adalah pelopor pembaharuan pendidikan di Turki.8

Pola pembaharuan pendidikan yang berorientasi ke Barat ini, juga nampak dalam usaha Muhammad Ali Pasya di Mesir, yang berkuasa tahun 1805-1848. Resminya ia menjadi Pasya sebagai wakil resmi dari Sultan Turki di Mesir, tetapi ternyata ia manyatakan dirinya sebagai penguasa yang otonom, lepas dari kekuasaan sultan Turki. Muhammad Ali banyak berperan dalam mengusir tentara Perancis dari Mesir. Ia sendiri sebetulnya buta huruf, tetapi ia mengetahui betapa pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan dan kekuatan suatu negara. Dalam hal ini ia terpengaruh oleh cerita-cerita para pembesar yang berada di sekitarnya mengenai unsur-unsur dan hal-hal baru yang di bawa oleh ekspedisi Napoleon.

Muhammad Ali Pasya, dalam rangka memperkuat kedudukannya dan sekaligus melaksanakan pembaharuan pendidikan di Mesir, mengadakan pembaharuan dengan jalan mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran Barat. Di sekolah-sekolah tersebut, diajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan sebagaimana yang ada di Barat. Bahkan untuk memenuhi tenaga guru ia mendatangkan guru-guru dari Barat (terutama dari Perancis). Di samping itu Muhammad Ali

(7)

59

mengirimkan sejumlah pelajar ke Barat, dengan tujuan agar mereka menguasai ilmu pengetahuan Barat, untuk selanjutnya nanti mampu mengembangkannya di Mesir.9

b. Gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni.

Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan pengembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya, pada masa-masa kejayaan.

Pola pembaharuan ini telah dirintis oleh Muhammad bin Abd al-Wahab. Kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh (akhir abad ke-19 M). Menurut Jamaluddin Al-Afghani, pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Hadith dalam artinya yang sebenarnya tidaklah mungkin. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai dengan untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan.

Kalau kelihatan ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang di bawa perubahan zaman dan perubahan kondisi. Penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam, seperti yang tercantum dalam al-Qur'an dan Hadith. Untuk interpretasi itu diperlukan ijtihad, dan karenanya pintu ijtihad harus dibuka.10

Keharusan pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid selanjutnya memerlukan kekuatan akal. Di sini diperlukan pendidikan intelektual. Menurut Muhammad Abduh, al-Qur'an bukan semata berbicara pada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam menurutnya, adalah agama rasional, dan dalam Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Kepercayaan kepada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa, dan akallah yang menimbulkan kemajuan dan ilmu pengetahuan. Menurut Muhammad Abduh pula, bahwa ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai, karena dasar ilmu pengetahuan modern adalah Sunnatullah, sedangkan dasar Islam adalah wahyu Allah. Kedua-duanya berasal dari Allah. Oleh karena itu umat Islam harus menguasai keduanya. Umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan modern disamping ilmu pengetahuan kegamaan. Sekolah-sekolah modern harus dibuka, di mana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping pengetahuan agama.11

9 Ibid, 120-121.

10 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1982), 64. 11 Ibid, 65.

(8)

60

c. Usaha pembaharuan pendidikan berorientasi pada nasionalisme.

Rasa nasionalisme timbul bersama dengan berkembangnya pola kehidupan modern, dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing.

Umat Islam mendapati kenyataan bahwa mereka terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda latar belakang dan sejarah perkembangan kebudayaan. Merekapun hidup bersama dengan orang-orang yang beragama lain tapi sebangsa. Inilah yang juga mendorong perkembangannya rasa nasionalisme di dunia Islam.

Di samping itu, adanya keyakinan di kalangan pemikir-pemikir pembaharuan di kalangan umat Islam, bahwa pada hakikatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat. Oleh karena itu, ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme inipun bersesuaian dengan ajaran Islam.

Golongan nasionalisme ini, berusaha untuk memperbaiki kehidupan umat Islam dengan memperhatikan situasi dan kondisi obyektif umat Islam yang bersangkutan. Dalam usaha tersebut bukan semata-mata mengambil unsur-unsur budaya Barat yang sudah maju, tetapi juga mengambil unsur-unsur yang berasal dari budaya warisan bangsa yang bersangkutan.

Ide kebangsaan atau nasionalisme inilah yang pada tahap perkembangan berikutnya mendorong timbulnya usaha-usaha merebut kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri di kalangan bangsa-bangsa pemeluk Islam. Dalam bidang pendidikan, umat Islam yang telah membentuk pemerintahan nasional tersebut, mengembangkan sistem dan pola pendidikan nasionalnya sendiri-sendiri.12

Penutup

Sebagai akibat dari usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam rangka untuk mengejar kekurangan dan ketinggalan dari dunia Barat dalam segala aspek kehidupan, maka terdapat kecenderungan adanya dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam. Usaha pendidikan modern yang sebagaimana telah diuraikan yang berorientasi pada tiga pola pemikiran (Islam murni, Barat dan Nasionalisme), membentuk suatu sistem atau pola modern, yang mengambil pola sistem pendidikan Barat dengan penyesuaian-penyesuaian dengan Islam dan

12 Ibid, 65-66.

(9)

61

kepentingan nasional. Di lain pihak sistem pendidikan tradisional yang telah ada di kalangan umat Islam tetap dipertahankan.

Sistem pendidikan modern, pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintah, yang pada mulanya adalah dalam rangka memenuhi tenaga-tenaga ahli untuk kepentingan pemerintah, dengan menggunakan kurikulum dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Sedangkan sistem pendidikan tradisional yang merupakan sisa-sisa dan pengembangan sistem zawiyah, ribat atau pondok pesantren dan madrasah yang telah ada di kalangan masyarakat, pada umumnya tetap mempertahankan kurikulum tradisional yang hanya memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Dualisme sistem dan pola pendidikan inilah yang selanjutnya mewarnai pendidikan Islam di semua negara dan masyarakat Islam, di zaman modern. Dualisme ini pula yang merupakan problem pokok yang dihadapi oleh usaha pembaharuan pendidikan Islam.

Pada umumnya usaha pendidikan untuk memadukan antara kedua sistem tersebut telah diadakan, dengan jalan memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-sekolah modern. Dengan demikian diharapkan sistem pendidikan tradisional akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern. Dan inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh para pemikir pembaharuan pendidikan Islam, yang beroreintasi pada ajaran islam yang murni, sebagaimana dipelopori oleh Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Sampai sekarang proses pemaduan antara kedua sistem dan pola pendidikan Islam ini, tampak masih berlangsung di seluruh negara dan masyarakat Islam.

(10)

62

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos, 1999.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.

_____________ , Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1996. _____________ , Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1982.

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi logam Fe, Mn, Cu dan Zn pada tanah sawah di Kabupaten Wonosobo berada pada batas normal, dan akumulasi logam pada jaringan akar yang paling

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik ( logistic regression ), yaitu dengan melihat pengaruh reputasi auditor, pergantian manajemen,

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa praktek jual beli yang berlaku di objek wisata pantai Lhoknga masih jauh dari nilai-nilai etika

1 Penyediaan Jasa Kantor Penyediaan jasa surat menyurat, jasa kebersihan kantor, alat tulis kantor, barang cetakan dan penggandaan, komponen instalasi listrik,

PEKERJA BUKAN PENERIMA UPAH DAN BUKAN PEKERJA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN. Nomor Registrasi Online

Asia merupakan wilayah yang memiliki banyak wilayah gurun yaitu Gurun Arab dan Gurun Sianai di Asia Barat, Gurun Thar di perbatasan Asia Barat dan Asia Selatan, Gurun Karakum di

Starindo Jaya Packaging Pati perusahaan perlu melakukan evaluasi yang baik terhadap kinerja karyawan sehingga ketidakjelasan dalam penilaian status karyawan dalam

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Gaya kepemimpinan transformasional ketua yayasan pondok pesantren terhadap kinerja guru madrasah tsanawiyah dilihat dari nilai