• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR REDAKSI. Salam Redaksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGANTAR REDAKSI. Salam Redaksi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PENGANTAR REDAKSI

Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat-Nya segala yang kita lakukan dengan kerja keras dapat terlaksana dengan baik. Jurnal Etnoreflika Volume 2 Nomor 2 bulan Juni tahun 2013 telah terbit dengan menyajikan 9 (sembilan) tulisan. Ke sembilan tulisan tersebut merupakan hasil penelitian dari sejumlah dosen dengan berbagai disiplin ilmu, yakni sosial dan budaya yang berasal dari jurusan yang berbeda-beda. Jurnal Etnoreflika Volume 2 Nomor 2, Juni 2013, memuat tulisan sebagai berikut:

 Kajian Ritual Melaut dan Perubahannya pada Orang Bajo di Desa Tanjung Pinang Kecamatan Kusambi Kabupaten Muna.

 Fenomena Eksploitasi Agraris oleh Kaum Kapital Domestik (Sebuah Studi Kasus di Wilayah Perkebunan Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara.

 Konstruksi Budaya Suku Toraja “Rambu Solo” di Tengah Masyarakat Suku Tolaki Mekongga di Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka.

 Bagi Hasil Tanah Pertanian yang Dibebani Hak Gadai dalam Budaya Pertanian Masyarakat.

 Eksistensi Passompe’ di Daerah Perantauan (Studi tentang Misi Budaya Perantau Etnik Bugis di Kota Kendari).

 Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kota Kendari.

 Dinamika Mepeduluhi Masyarakat Wawonii di Desa Langara Iwawo Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawe.

 Pekerja Seks Komersial (Studi tentang Hubungan Germo dan PSK di Pagar Seng, Lorong Alam Jaya, Jalan R. Soeprapto Mandonga Kendari)

 Implementasi Kebijakan dan Tingkat Keberhasilan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) di Kelurahan Bende Kota Kendari.

Semoga sajian dalam jurnal ini, dapat memberikan kontribusi, informasi maupun wawasan baru dalam bidang sosial dan budaya khususnya di daerah Sulawesi Tenggara.

(4)

Volume 2, Nomor 2, Juni 2013

DAFTAR ISI

Hj. Wakuasa La Ode Aris Peribadi

Marsia Sumule Genggong Hj. Erni Qomariah Heryanti Hj. Suharty Roslan Jabalnur Syamsumarlin L.M. Kamaluddin Aksyah Hasniah Muhammad Yusuf 192-202 203-211 212-222 223-230 231-239 240-245 246-257 258-272 273-284

Kajian Ritual Melaut dan

Perubahannya pada Orang Bajo di Desa Tanjung Pinang Kecamatan Kusambi Kabupaten Muna

Fenomena Eksploitasi Agraris oleh Kaum Kapital Domestik (Sebuah Studi Kasus di Wilayah Perkebunan Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara

Konstruksi Budaya Suku Toraja “Rambu Solo” di Tengah Masyarakat Suku Tolaki Mekongga di Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka

Bagi Hasil Tanah Pertanian yang Dibebani Hak Gadai dalam Budaya Pertanian Masyarakat

Eksistensi Passompe’ di Daerah Perantauan (Studi tentang Misi Budaya Perantau Etnik Bugis di Kota Kendari)

Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kota Kendari

Dinamika Mepeduluhi Masyarakat Wawonii di Desa Langara Iwawo Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawe

Pekerja Seks Komersial (Studi tentang Hubungan Germo dan PSK di Pagar Seng, Lorong Alam Jaya, Jalan R. Soeprapto Mandonga Kendari) Implementasi Kebijakan dan Tingkat Keberhasilan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) di Kelurahan Bende Kota Kendari

(5)

ETNOREFLIKA

VOLUME. 2 No. 2. Juni 2013. Halaman 203-211

203

FENOMENA EKSPLOITASI AGRARIS OLEH KAUM KAPITAL DOMESTIK (Sebuah Studi Kasus di Wilayah Perkebunan Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara)1

Peribadi2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menjajaki lebih jauh, serta membuktikan fenomena keberadaan pelaku kapital domestik yang secara langsung dan tidak langsung, cenderung menggunakan pendekatan kapitalisme, dan atau imperialisme agraris terhadap kehidupan sosial ekonomi komunitas tani di pedesaan. Penelitian ini menggunakan metode field research dengan memfokuskan pada pendekatan pembangunan partisipatif (participatory development approach). Pengumpulan data dilakukan melalui penjajagan kondisi pedesaan partisipatif atau Participatory

Rural Appraisal (PRA), diskusi kelompok terfokus atau Focus Groups Discussion (FGD), serta

wawancara mendalam (indepth interview). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses eksploitasi hutan belantara pegunungan tersebut telah menjelma menjadi beberapa perkampungan dan bahkan telah terbentuk menjadi beberapa wilayah desa-desa pegunungan, sehingga berakibat fatal bagi warga pedesaan yang terletak di daerah rendahan. Ikhwal ini kian mencemaskan warga masyarakat sekitarnya, karena proses eksploitasi tersebut bukan hanya dilakukan oleh rakyat kebanyakan yang kategori lapar tanah. Akan tetapi, selain disemarakkan oleh petani pemilik yang terus menambah areal perkebunannya, juga mulai dilakoni oleh oknum elite lokal yang telah kenyang di meja birokrasi pemerintahan eksekutif dan legislatif.

Kata kunci : eksploitasi, pelaku kapital dan perkebunan

ABSTRACT

[

The objectives of this research are to identify and to prove the phenomena of domestic

capital that directly or not apply capitalism approach, or agrarian imperialism toward social economic life of farmer community in the village. This research applies field research method by focusing to participatory development approach. The data were collected by applying participatory rural appraisal (PRA), focus groups discussion, FGD), and in depth interview. The results showed that the process of exploitation of the wilderness mountain has been transformed into several villages and even into some areas have formed mountain villages, so fatal to rural residents located in the lower area. This subject increasingly worried about the surrounding communities, because the exploitation was not only done by the people who categorize as greedy of land. Not only the farmer who continually adding plantation areas, but also unscrupulous local elite who play role in government bureaucracy.

Key words: exploitation, capital actors and estates

1 Hasil Penelitian

2

(6)

Etnoreflika, Vol. 2, No. 2, Juni 2013: 203-211

204 A. PENDAHULUAN

Pemilik tanah disebut sebagai orang “kenyang tanah” (Majid dan Pe-ribadi: 2005) merupakan kaum kapital dom-estik yang berasal dari kalangan elite tra-disional dan elite modern yang berhasil memanfaatkan areal perkebunan di se-panjang wilayah pegunungan Kabupaten Kolaka Utara.

Pada awalnya, masyarakat setempat hanya berupaya memanfaatkan tanah yang dilambangkan sebagai “surga firdaus” yang memercik ke bumi untuk memenuhi kebu-tuhan sehari-hari. Namun ketika masyarakat mulai mengenal tanaman kakao dengan har-ga yang menggiurkan, masyarakat dari ber-bagai lapisan sosial terutama pemilik modal dan aparat pemerintah, mulai dan terus me-manfaatkan serta mengeksploitasi tanah dan hutan belantara pegunungan secara besar-besaran.

Kini, fenomena eksploitasi kapi-talisme agraris tersebut diduga semakin mendapat peluang dalam bentuk yang lebih populer dan strategis karena nilai tanah semakin berkembang sejak pemekaran wil-ayah Kabupaten Kolaka Utara pada tahun 2004 lalu. Eksplorasi tambang secara besar-besaran menjadi hal yang tidak dapat dihin-dari, sementara petani kakao telah melintasi dan membuka lahan perkebunan hampir di seluruh wilayah pegunungan Kolaka Utara hingga akhirnya hampir bertemu dengan petani kakao dari bagian Timur Kecamatan Asera Kabupaten Konawe dan petani Ka-kao dari bagian selatan Kecamatan Malili Provinsi Sulawesi Selatan.

Tampaknya, eksistensi pelaku kapi-tal domestik dengan berbagai implikasi sosial ekonomi dan sosial ekologis kelak dapat menimbulkan konflik sosial akibat protes dan perlawanan kaum petani yang selama ini merebak di mana-mana (Pelzer: 1990, Ishak: 1996, Scott: 2000) serta ben-cana lingkungan berupa kekeringan sungai dan banjir yang kini sudah terjadi setiap

hujan turun di hampir semua wilayah pegu-nungan kakao Kabupaten Kolaka Utara. Pa-da bulan Februari Pa-dan Maret tahun 2006 la-lu terjadi peristiwa “anak tzunami” yang menenggelamkan rumah penduduk di sepa-njang pesisir pantai, serta longsor kaki gu-nung yang mengorbankan 3 tiga petani di Kecamatan Rante Angin.

Peristiwa longsor yang paling parah adalah tertimbunnya kebun Kakao di salah satu desa di Kecamatan Batuputi akibat dari lumpur yang dialirkan sungai besar yang membentang di sepanjang utara Kabupaten Kolaka Utara. Menurut informasi masyara-kat setempat, longsor terjadi selain akibat dari eksploitasi pegunungan secara besar-besaran yang disinyalir sebagian besar dila-kukan oleh pelaku kapital domestik yang berasal dari kalangan oknum tertentu yang bertugas di Kabupaten Kolaka Utara, juga disebabkan oleh keberadaan PT. Gemini yang melibas kayu agatis di hutan belantara pegunungan.

Penelitian ini bertujuan untuk meng-identifikasi dan menjajaki lebih jauh seka-ligus membuktikan fenomena keberadaan pelaku kapital domestik yang secara lang-sung dan tidak langlang-sung, cenderung meng-gunakan pendekatan kapitalisme, dan/atau imperialisme agraris terhadap kehidupan sosial ekonomi komunitas tani di pedesaan. B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat eksploratif dalam rangka mencari semua hal yang ber-afinitas dengan keberadaan mereka yang kategori pelaku kapital domestik dalam konteks pemilikan tanah, hubungan kerja antara pemilik tanah dengan para pekerja dengan berbagai dampak sosial ekonomi dan sosial ekologis.

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Batu Putih Kabupaten Kolaka Utara. Selain wilayah ini telah berlangsung eksploitasi hutan belantara secara besar-besaran, juga berbatasan langsung dengan petani kakao di wilayah pegunungan

(7)

Kabu-Peribadi –Fenomena Eksploitasi Agraris oleh Kaum Kapital Domestik: Sebuah Studi Kasus di Wilayah Perkebunan Kab. Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

205 paten Konawe Utara, wilayah pegunungan Sulawesi Utara, dan wilayah pegunungan Sulawesi Selatan yang ke empatnya sudah hampir bertemu di tengah perjalanan. De-ngan demikian, berarti keempat wilayah pe-gunungan telah mengalami penggundulan hutan belantara secara besar-besaran dan kelak pasti membahayakan.

Semua pihak yang dinilai layak memberikan informasi dapat dijadikan se-bagai sumber data. Namun dalam proses pencarian data pada sumber informasi tersebut digunakan teknik bola salju (snawballing), yang dalam jumlah tipe idealnya ditentukan atau dikondisikan den-gan situasi di lapanden-gan. Informan kuncinya adalah Kepala Daerah Kabupaten Kolaka Utara, Kepala wilayah Kecamatan Batu Putih, dan kepala-kepala desa, serta mantan-mantan kepala pemerintahan di wilayah tersebut. Demikian pula diharapkan dapat memperoleh informasi dari semua petani pemilik tanah yang memiliki se-jumlah petani pekerja.

Dalam rangka mengumpulkan data guna memperoleh hasil yang diinginkan, maka digunakan metode “field research” dengan memfokuskan pada pendekatan pembangunan partisipatif (participatory development approach). Pengumpulan data dilakukan melalui penjajagan kondisi pedesaan partisipatif atau Participatory Rural Appraisal (PRA), diskusi kelompok terfokus atau Focus Groups Discussion, (FGD), serta wawancara mendalam (in-depth interview). Karena itu, dalam konteks PRA masyarakat lokal (indigenous people), tokoh-tokoh masyarakat, dan peneliti secara bersama melakukan identifikasi dan inven-tarisasi berbagai permasalahan pemilikan tanah dalam hubungannya dengan masalah hukum, ekonomi dan politik yang diduga terjadi sejak kurun waktu Orde Baru. Adapun proses pengumpulan data melalui FGD adalah dilakukan dengan para stake-holders pada tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa dengan melibatkan anggota

legis-latif, Bapeda, Dinas Kehutanan, Pertanian, dan Perkebunan serta istansi lain yang ter-kait.

Analisis data dilakukan sesuai deng-an pendekatdeng-an ydeng-ang digunakdeng-an, yakni deng- ana-lisis “deskriptif interpretative” yang di-dukung dengan analisis “deskriptif-eks-planatif” atas beberapa gejala dan fakta sosial sehubungan dengan kondisi sosial ekonomi petani yang terjadi, sebagai akibat dari pengaruh eksploitasi kapitalisme agra-ris melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atas makna-makna yang diuji ketepatannya dan kecocokkannya (Milles dan Huberman, 1992).

C. FENOMENA EKSPLOITASI

AG-RARIS OLEH KAUM KAPITAL DOMESTIK

Dalam perspektif sosiologis, proses pemecahan masalah pemilikan tanah harus dimulai dengan menganalisa hubungan antara kelompok sosial pemodal yang menguasai tanah dengan kelompok sosial pekerja yang hanya memiliki tanah pada batas konsumsi anggota rumah tangga sehari-hari atau tidak memiliki tanah sama sekali, sehingga hanya berstatus sebagai buruh-buruh tani. Dalam konteks ini, menurut Tjondronegoro (1999) harus dipa-hami adanya lapisan yang penguasaannya kuat dan lemah, sehingga tercipta rasa ketergantungan bagi suatu kelompok sosial tertentu kepada pemilik tanah yang luas tersebut.

Proses pemanfaatan areal perkebu-nan yang secara khusus berlangsung di wilayah pegunungan Kecamatan Batu Putih dimulai pada tahun 2000-an hingga saat ini berlangsung secara intensif membuahkan sebuah kecamatan yang disebut Kecamatan Pegunungan sebagai pemekaran dari Kec-amatan Batu Putih. Akan tetapi, secara periodik proses pemanfaatan dan kepe-milikan tanah juga berlangsung sesuai kondisi objektif yang terjadi di Kecamatan

(8)

Etnoreflika, Vol. 2, No. 2, Juni 2013: 203-211

206 Batu Putih. Dalam hal ini, sistem pemilikan secara natural yakni sekedar memenuhi kebutuhan anggota rumah tangga berubah menjadi bentuk komersialisasi dengan meli-batkan semua unsur masyarakat tani, termasuk mereka yang tergolong ”petani berdasi” dari kalangan pejabat eksekutif dan legislatif Kabupaten Kolaka Utara.

Namun demikian, proses eksploitasi areal pegunungan dan pemanfaatan berbeda dengan proses pemanfaatan di tahun 1970-an d1970-an tahun 1980-1970-an. Karena proses kepemilikan di wilayah Kecamatan Batu Putih dan Kecamatan Pegunungan, selain berlangsung secara alamiah antara petani pemilik yang bertanah luas dengan petani pekerja yang bertanah sempit, juga mulai berlangsung sebagaimana digambarkan oleh (Soetrisno:1995) bahwa kalau pada dua puluh tahun lampau masalah tanah merupakan permasalahan lokal desa di-tinjau dari siapa yang terlibat. Namun pada saat ini, nampaknya masalah tanah telah berubah sifatnya, karena yang terlibat dalam persoalan tanah bukan lagi semata-mata antara pemilik tanah melawan buruh tani atau petani pekerja, tetapi berlangsung antara pemilik modal besar dari luar melawan pemilik tanah setempat, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa.

Hasil penelitian menunjukkan bah-wa kenyataan yang terjadi di wilayah Kec-amatan Batu Putih dan KecKec-amatan Pegu-nungan, proses pemanfaatan tanah tidak lagi berlangsung dalam bentuk alamiah yang bersifat integral antara petani pemilik dan petani pekerja sebagaimana lazimnya. Akan tetapi, berlangsung ”persaingan terselubung” antara petani pemilik yang bermodal besar dengan petani berdasi dari kalangan elite lokal selaku pejabat eksekutif dan legislatif yang mulai tergiur dengan nilai tanah yang meningkat sehubungan dengan penetapan wilayah Kolaka Utara sebagai kabupaten defenitif.

D. POLARISASI KEHIDUPAN SOSI-AL EKONOMI

Nampaknya, fenomena eksploitasi hutan belantara tidak hanya bermasalah dalam konteks kerawanan ekosistem. Akan tetapi, juga berdampak negatif dalam konteks polarisasi kehidupan sosial eko-nomi, baik secara internal antara petani pekerja dengan petani pemilik maupun secara eksternal antarpetani dengan petani berdasi. Meskipun gambarannya adalah sama dengan kesimpulan penelitian (Tri-jono: 1994) bahwa terjadinya polarisasi di pedesaan Jawa adalah bukan polarisasi yang ditentukan oleh konsentrasi pemilikan tanah sebagaimana sering dikemukakan oleh penganut ekonomi politik radikal. Tetapi lebih merupakan polarisasi yang terjadi sebagai kensekuensi semakin ter-gantungnya ekonomi desa kepada ekonomi luar desa atau perekonomian nasional.

Pada dasarnya, yang terjadi di wilayah Kabupaten Kolaka Utara adalah bukan berarti tidak ada lapangan usaha yang bisa dikembangkan sebagai mata pencaharian alternatif untuk melang-sungkan kehidupan sosial ekonominya. Se-bagaimana diketahui bahwa wilayah Kabu-paten Kolaka Utara juga merupakan wila-yah pesisir pantai. Karena itu, pihak pe-merintah dapat memikirkan program alte-rnatif dalam bentuk budidaya perikanan di sepanjang pesisir pantai yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal.

Dengan demikian, gerbang usaha lain dapat dibuka dan dijadikan sebagai katub penyelamat dan warga masyarakat tidak hanya berpikiran bahwa membuka lahan-lahan perkebunan merupakan satu-satunya jalan pintas menuju gerbang kesuksesan. Dalam konteks inilah, pem-erintah harus berupaya mengalihkan per-hatian warga masyarakat dari konsentrasi perkebunan kakao kepada program pen-gembangan kelautan dan lain sebagainya.

(9)

Peribadi –Fenomena Eksploitasi Agraris oleh Kaum Kapital Domestik: Sebuah Studi Kasus di Wilayah Perkebunan Kab. Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

207 Fenomena polarisasi kehidupan so-sial ekonomi yang tampak terjadi pada petani kakao di wilayah Kecamatan Batu Putih dapat disebut dalam bentuk ”po-larisasi ganda” yang terjadi sebagai akibat dari konsentrasi pemilikan tanah oleh petani pemilik perkebunan yang luas dengan kaum elite lokal yang pernah atau sedang menjadi pejabat di Kabupaten Kolaka Utara. Dalam artian, petani yang pada awalnya mengolah lahan perkebunan secara bertahap hingga kemudian berkembang menjadi orang kaya, sehingga mereka terus menambah dan memperluas areal perkebunannnya. Pada gilirannya, mereka menjelmah menjadi se-orang punggawa yang mempekerjakan para petani yang datang dari berbagai daerah se-hingga terjadilah kompetisi di antara kedua pemilik modal di tengah kehidupan para petani pekerja yang cenderung mem-perhambakan diri kepada kedua kelompok sosial yang dapat disebut sebagai pelaku kapital domestik.

Salah contoh kasus, H. Jemmu seorang petani kakao yang memiliki areal perkebunan yang luasnya hampir tidak bisa dihitung lagi. Menurut Nirwan sebagai menantunya bahwa milik perkebunan ceng-keh dan coklat mertuaku saat ini tidak mampu kami hitung lagi, dan bahkan hampir saja kami tidak mampu men-jangkaunya, sehingga kami sangat kesulitan untuk mengontrolnya. Maka terpaksa kami hanya mempercayakan kepada para petani pekerja yang dapat dipercaya untuk pergi memetik dan menyetor atau melaporkan hasilnya. Semuanya tinggal kami menerima hasil petikan yang telah dikerjakan oleh para petani pekerja tersebut (Wawancara, 19 Agustus 2007).

Dengan demikian, di balik realitas sosial ekonomi menjadi jelas bahwa tingkat deforestasi hutan belantara pegunungan, kelak mengancam nyawa penghuni wilayah Kolaka Utara dan sekitarnya. Cepat atau lambat, jika tidak diantisipasi sedini mung-kin oleh seluruh komponen masyarakat

setempat, maka akan menjadi resiko tersen-diri bagi mereka yang berdomisili dan ber-aktivitas sehari-hari di wilayah ini.

E. KECEMASAN HIDUP WARGA MASYARAKAT

Pada dasarnya, semua warga mas-yarakat Kabupaten Kolaka Utara mulai dihantui rasa kecemasan dan kekhawatiran atas kemungkinan terjadinya bencana alam dalam bentuk longsor dan banjir yang kelak melanda wilayahnya. Hal ini wajar-wajar saja, karena selain dipertontonkan dengan bencana alam yang mulai terjadi di sekitar wilayah tetangganya seperti banjir yang pernah terjadi di Asera pada tahun 2006 lalu dan bencana longsor secara besar-besaran yang pada tahun 2007 terjadi di Kabupaten Marowali Provinsi Sulawesi Tengah. Juga di sepanjang pesisir pantai Kolaka Utara seperti yang pernah terjadi di Kecamatan Rante Angin dan sekitarnya telah berulang kali dilanda bencana banjir, meskipun belum sebesar sebagaimana yang baru saja terjadi di Kabupaten Marowali yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kolaka Utara.

Bahkan sebelum itu, Desa Batu Putih pernah dilanda banjir secara besar-besaran berupa lumpur pasir yang menen-ggelamkan seluruh areal pertanian kakao masyarakat setempat. Hal ini terjadi, karena Desa Batu Putih sebagai wilayah yang ber-batasan langsung dengan wilayah Ke-camatan Pakue dan KeKe-camatan Lapai meru-pakan wilayah hutan belantara pegunungan yang telah tereksploitasi secara besar-besar dalam waktu yang relatif cukup panjang.

Atas dasar itulah, maka ada sege-lintir warga masyarakat yang pada dasarnya tidak setuju dengan rencana pemekaran wilayah Kolaka bagian utara untuk dijadi-kan sebagai kabupaten yang mandiri dan defenitif ketika itu. Misalnya Andi Umar Pangerang sebagai salah seorang putra kelahiran Kecamatan Batu Putih dan man-tan pejabat kehuman-tanan menandaskan bahwa

(10)

Etnoreflika, Vol. 2, No. 2, Juni 2013: 203-211

208 dari aspek kerentanan ekosistem, maka Kolaka Utara tidak boleh dimekarkan karena pada saat ini saja mulai terlihat sangat jelas tanda-tanda alam di darat, di sungai dan di laut yang kelak mengancam kehidupan masyarakat setempat. Bagai-mana, jika seandainya sudah menjadi wilayah kabupaten yang berdiri sendiri dengan program pembangunan yang harus dilaksanakan ke depan. Maka tidak bisa dibayangkan, hutan belantara pegunungan yang merupakan ”pasak penyanggah” akan semakin lemah fungsinya, sehingga ben-cana alam dalam bentuk longsor dan banjir tidak bisa terhindarkan. Namun semoga hal itu tidak terjadi (Wawancara, 7 Oktober 2007).

Dalam konteks ini, selain karena faktor pemanfaatan lahan secara kon-vensional yang bersifat integral dari petani tradisional itu sendiri di masing-masing wilayah tetangga, juga di sekitar wilayah ini terutama di Desa Pakue dan di Desa Pundoho pernah beroperasi sebuah per-usahan pengolahan kayu damar (agatis) yang bernama PT. Gemini. Oleh karena menyimpang dari aturan yang ada dan telah berdampak negatif pada lingkungan sosial dan ekologis sekitarnya, sehingga dicabut dan dihentikan izin operasionalnya.

Semua informan yang diwawancarai mengakui sejujurnya dan diamini oleh sebagian besar warga masyarakat setempat yang berhasil ditemui di jalan bahwa pen-yebab awal kehancuran hutan belantara di sekitar wilayah Kecamatan Batu Putih adalah disebabkan oleh keberadaan PT. Gemini yang melibas habis kayu agatis di seluruh hutan belantara wilayah tersebut. Namun kian mencemaskan lagi, karena menurut masyarakat setempat bahwa saat ini sudah datang peralatan-peralatan dari dua perusahan kayu dari Jawa yang akan beroperasi lagi di wilayah tersebut. Jika demikian, proses deforestasi dengan ber-bagai dampaknya kian mencemaskan.

F. URGENSI KEPEDULIAN KAUM ELITE LOKAL

Mungkin tidak ada alasan yang lebih tepat lagi untuk dijadikan dalil sebagai kompensasi politik dan lain se-bagainya atas mencuatnya fenomena de-forestasi hutan belantara pegunungan yang sewaktu-waktu terjadi dan tentu saja men-gancam nyawa masyarakat di wilayah Kolaka Utara dan sekitarnya. Cepat atau lambat, jika tidak diantisipasi sedini mung-kin oleh seluruh komponen masyarakat setempat, maka akan menjadi resiko tersen-diri bagi mereka yang berdomisili dan beraktivitas sehari-hari di wilayah ini.

Dalam konteks inilah, ketika hasil penelitian kami terdahulu selesai dikaji dan dilaporkan, maka disusun sebuah artikel dalam bentuk interupsi yang berjudul: ”Siapa yang Bakal Jadi Penyelamat di Kolut? yang diterbitkan oleh Kendari Ekspres 7 September 2005, sebagai berikut:

Refleksi pemikiran ini, terlintas di balik penelitian kami yang menyoal proses pemanfaatan tanah dan problematikanya di sekitar wilayah perkebunan cengkeh-coklat Kabupaten Kolaka Utara. Tak terduga dan seolah mimpi di siang bolong, dengan dana penelitian yang alakadarnya, berhasil me-rengsek ke dalam wilayah pegunungan yang menjulang tinggi. Selama setengah hari berjalan kaki melintasi lembah, men-yeberangi sungai, memanjat tebing dan mendaki gunung, hingga terkapar sejenak di puncak pegunungan itu.

Memang sungguh amat melelahkan. Namun kepuasan pun tergapai, ketika sukses gemilang menyaksikan langsung proses deforestasi hutan belantara pe-gunungan yang telah menjelma menjadi perkebunan kakao. Sejauh mata meman-dang, nampak tidak ada lagi pegunungan yang tidak tersentuh oleh tangan-tangan ter-ampil kaum tani. Kecuali mungkin, gunung bebatuan yang tidak sempat terintip oleh sang petani yang terkesan “kelaparan

(11)

ta-Peribadi –Fenomena Eksploitasi Agraris oleh Kaum Kapital Domestik: Sebuah Studi Kasus di Wilayah Perkebunan Kab. Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

209 nah” itu. Namun mencengangkan, karena ternyata gunung bebatuan pun tertancap batang kakao di sekeliling dan di sekitar-nya. Benar-benar spektakuler, karena etos kerja yang pilih tanding seiring dengan tangan terampil, menghunjam ke bumi nan subur. Tak ubahnya seorang gadis cantik yang tengah diperebutkan kawula muda untuk menuangkan benihnya.

Perambahan hutan belantara di lem-bah dan di puncak pegunungan yang me-lintas dari belahan bumi bagian selatan hingga membentang ke ujung utara, seolah takkan pernah berhenti dan mungkin tidak mampu dihentikan oleh siapa pun juga. Tak pelak lagi, kalau calon bupati Kolut yang bakal sukses terpilih dalam Pilkada ke depan, adalah potret seorang pejabat yang kurang peka dan tidak peduli serta mungkin tidak ingin dipusingkan dengan deforestasi dan degradasi lingkungan pegunungan dengan dampaknya yang bakal mengancam kehidupan generasi mereka sendiri.

Pada satu sisi, memang di balik kemampuan petani cengkeh-coklat yang nampak sukses gemilang mengubah peman-dangan hutan belantara menjadi pegunu-ngan kakao yang demikian mencepegunu-ngang- mencengang-kan, terkandung etos kerja yang pilih tanding dan mungkin tak kalah tanding, sekalipun dengan bangsa Jepang dan China yang terkenal dengan etos Shinto dan Khonfuncunya. Apalagi dengan etika Cal-vinis yang disinyalir menjadi spirit bang-kitnya kapitalisme di Eropa dan Amerika.

Namun pada sisi lain, sesungguhnya eksploitasi hutan belantara pegunungan merupakan bom waktu yang cukup mis-terius, cepat atau lambat, bakal mem-borbardemen penghuni bumi Kolaka Utara dan sekitarnya. Betapa tidak, gunung dan pegunungan yang di dalam Alqur’an di-sebut sebagai “pasak” yang menjadi perekat zamrut katulistiwa, sehingga bumi menjadi kuat dan tidak terguncangkan. Kini, semuanya tampak terbabat habis dan digantikan dengan tanaman kakao.

Bakal-kah terpilih bupati Kolut yang kelak men-jadi pembunuh rakyatnya sendiri, karena tidak pusing dengan dampak dari fenomena deforestasi dimaksud, atau sebaliknya? Ha-nya Tuhan Yang Maha Tahu.

G. PENUTUP

Ada beberapa hal yang dapat ditarik menjadi simpulan sehubungan dengan hasil analisis penelitian, sebagai berikut:

1. Proses pemanfaatan lahan pegunungan untuk areal perkebunan kakao berlang-sung secara besar-besaran sejak awal tahun 2000-an. Hal ini dilakukan oleh para petani, baik oleh mereka yang telah memiliki lahan perkebunan di sekitarnya untuk menambah areal pengolahannya, maupun para imigran yang datang dari berbagai daerah yang merasa sangat ter-tarik dengan tingkat kesuburan tanah perkebunan wilayah Kabupaten Kolaka Utara.

2. Kini, proses eksploitasi hutan belantara pegunungan tersebut telah menjelma menjadi beberapa perkampungan dan bahkan telah terbentuk menjadi beberapa wilayah desa-desa pegunungan, sehingga berakibat fatal bagi warga pedesaan yang terletak di daerah rendahan. Ikhwal ini kian mencemaskan warga masyarakat sekitarnya, karena proses eksploitasi tersebut bukan hanya dilakukan oleh rakyat kebanyakan yang kategori lapar tanah. Akan tetapi, juga disemarakkan oleh petani pemilik yang terus men-ambah areal perkebunannya, serta oleh oknum elite lokal yang telah kenyang di meja birokrasi pemerintahan eksekutif dan legislatif.

3. Semua warga masyarakat mengakui sejujurnya atas keberadaan pelaku kapital domestik dari kalangan pejabat dan mantan pejabat yang melakukan pro-gram pengkaplingan tanah secara ter-selubung di wilayah hutan belantara pe-gunungan dan sekitarnya. Hanya saja, para informan yang berhasil ditemui kurang berani menyebutkan identitas

(12)

pe-Etnoreflika, Vol. 2, No. 2, Juni 2013: 203-211

210 laku kapital domestik yang ber-sangkutan. Namun mereka sangat men-yayangkan perilaku tersebut, karena menurut masyarakat bahwa seharus-nyalah mereka yang terlebih dahulu harus menunjukkan tingkat kepedulian dan partsisipasinya atas kerawanan eko-sistem dan dampak ekologis yang mulai dirasakan akibatnya sehubungan dengan proses penggundulan hutan belantara pe-gunungan.

4. Diakui bahwa keterlibatan kaum elite lokal dalam proses pemanfaatan lahan perkebunan di wilayah Kabupaten Kolaka Utara, belum dapat dipastikan berlangsung dalam bentuk proses “eksploitasi kapitalisme agraris” seba-gaimana yang telah berlangsung di pe-desaan Jawa selama kurun waktu Orde Baru. Namun besar dugaan bahwa cepat atau lambat maka eksistensi pelaku kapital domestik dengan berbagai im-plikasi sosial ekonomi dan sosial eko-logis, kelak dapat menimbulkan konflik sosial akibat dari protes dan perlawanan kaum tani yang selama ini merebak di mana-mana. Tak pelak lagi, peristiwa bencana alam tampak tidak bisa ter-hindarkan, jika tidak sedini mungkin segera dilakukan dan direalisasikan pro-gram antisipatif dalam bentuk Gerhan misalnya.

5. Warga masyarakat Kabupaten Kolaka Utara mulai merasa cemas, khawatir dan was-was atas kemungkinan-kemungki-nan bencana dan malapetaka yang bakal terjadi sehubungan dengan proses defo-restasi hutan belantara pegunungan karena pembukaan lahan perkebunan kakao yang terus merengsek masuk ke seluruh wilayah pegunungan tersebut. Hal ini mulai dirasakan sehubungan den-gan bencana banjir dan longsor yang ter-jadi di sekitar wilayah tetanggannya seperti di Kecamatan Asera Kabupaten Konawe Utara dan wilayah Kabupaten Morowali yang menelan banyak korban. Demikian pula yang pernah terjadi di

sekitar wilayah Kabupaten Kolaka Utara pada bulan Pebruari dan Maret tahun 2006 lalu, yakni peristiwa yang disebut “anak tzunami” yang menenggelamkan rumah penduduk di sepanjang pesisir pantai, serta longsor kaki pegunungan yang mengorbankan 3 (tiga) jiwa petani di Kecamatan Rante Angin. Bahkan sebelumnya, sudah pernah terjadi per-istiwa banjir lumpur yang mengalir deras dan berhasil menenggelamkan kebun Kakao para petani yang berdomisili di sepanjang sungai besar bagian utara Kabupaten Kolaka Utara.

DAFTAR PUSTAKA

Ishak, Syamsuddin Otto. 1996. Gerakan Protes Petani, Sebuah Sketsa Teo-ritis Struktural Scottian dan Kultu-ralis Weberian, dalam Prisma, No.7, 1996. Jakarta: LP3ES

Majid, Ruslan dan Peribadi. 2005. Feno-mena Kenyang dan Lapar Tanah, Studi Sosiologi Pedesaan dan Sosio-logi Agraria di Kecamatan Lasusua, BBI, Tahun Anggaran 2004/2005. Milles, B. Matthew dan Huberman,

Michael. 1988. Analisis Data Kuali-tatif, Buku Sumber Tentang Me-tode-Metode Baru, Terjemahan. Ja-karta: UI-Press.

Pelzer, J. Karl. 1990. Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Sinar Harapan. Peribadi. 2005. Sikap Moral dan Tindakan

Rasional Petani, Sebuah Perdebatan Konseptual Antara Scott dan Pop-kins. Makalah diskusi Publik ten-tang Sengketa Tanah, Kerjasama BEM-Unhalu dan Kanwil BPN Sultra, 7 Januari 2005

PKSPL–IPB. 2005. Pelibatan Masyarakat Menanggulangi Kerusakan

(13)

Lingku-Peribadi –Fenomena Eksploitasi Agraris oleh Kaum Kapital Domestik: Sebuah Studi Kasus di Wilayah Perkebunan Kab. Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

211 ngan Pesisir dan Laut, Warta Pesisir dan Lautan, No. 2/Tahun 2005. Rajagukguk, Herman. 1995. Hukum

Agra-ria, Pola Penguasaan Tanah dan Ke-butuhan Hidup. Jakarta: Chandra Pratama.

Salman, Darmawan. 1996. Gerakan Protes Petani dan Integrasi Pedesaan, Pris-ma, Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial, No 7 – 1996. Jakarta: LP3-ES.

Scott James. 1984. Moral Eknomi Petani. Jakarta. LP3ES.

Soetrisno, Loekman. 1995. Menuju Masya-rakat Partisipatif. Yokyakarta: Kani-sius.

Tjondronegoro, M.P. Sediono. 1999. Sosio-logi Agraria, Kumpulan Tulisan Terpilih, Penyunting: Sitorus, Felix dan Wiradi Gunawan. Bogor: Yaya-san Akatiga, IPB.

Trijono, Lambang. 1994. Pasca Revolusi Hijauh di Pedesaan Jawa Timur, Prisma 3 Maret 1994, Jakarta. Wahono, Prancis. 1994. Dinamika Ekonomi

Sosial Desa Sesudah 25 Tahun Re-volusi Hijauh, Prisma 3 Maret 1994.

(14)
(15)

Referensi

Dokumen terkait

Pada tikus yang diberi obat pencahar parafin cair, efek kerjanya terlihat setelah 6 jam pasca pemberian obat dimana terjadi perubahan konsistensi feses tikus

Tingkat awareness petugas terkait dengan Tuberkulosis sudah tinggi yaitu 86,5 % memiliki health awareness tinggi.Tingkat stigma petugas 65,4% masih memiliki

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau

Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk tidak hanya dilakukan untuk pihak internal saja tetapi juga dilaksanakan untuk pihak eksternal dengan adanya Program BRIncubator

Listeria monocytogenes yang diinokulasikan sebesar 3 log CFU/g tidak dapat tumbuh selama fermentasi pada tempe normal maupun tempe dengan penambahan Lactobacillus

TRIE RETNO SOENDARIATI SMP NEGERI 46 SURABAYA D. 186 MISBAKHUN SMP NEGERI 7

Pertanahan Kabupaten Kebumen 12 tanah yang dikuasai oleh TNI AD seluas sekitar 250 hektar merupakan tanah negara (belum didaftar) terletak di Pesisir Selatan (Urut Sewu) sepanjang

Anak-anak yang saya cintai dan saya banggakan,kita ketahui bersama bahwa negara kita Indonesia tercinta wilayahnya membentang dari Kota Sabang sampai dengan