• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang di Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada bulan Januari 2011-April 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang di Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada bulan Januari 2011-April 2015"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Ginjal Kronik (GGK) 2.1.1. Definisi

Menurut Campbell, 2012 penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif yang terjadi selama kurang lebih 3 bulan yang berhubungan

dengan GFR <60 ml/menit/1,73 m2.

Gagal ginjal kronik adalah suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik (Suwitra, 2014).

Kriteria gagal ginjal kronik :

 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa

kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

- Kelainan patologis

- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)  Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria gagal ginjal kronik. (Suwitra, 2014).

2.1.2. Etiologi

(2)

bertanggung jawab. Bila didapati cedera pada ginjal, hiperfiltrasi sampai kerusakan unit-unit nefron akan memproduksi stres yang berkelanjutan dan cedera pada jaringan remnant ginjal. Pasien akan menunjukkan perkembangan dari satu tahap keparahan gagal ginjal kronis ke tahap yang berikutnya. Alterasi fisiologik sekunder ke tahap dehidrasi, infeksi, uropati obstruktif, atau hipertensi kemungkinan dapat menyebabkan suatu batas terhadap pasien untuk menjadi uremia kronis yang tidak terkompensasi ( Tanagho dan McAninch, 2008).

Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi

(20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008 dalam Siregar, 2012). 1) Glomerulonefritis

Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma (Sukandar, 2013).

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri

sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2014).

(3)

darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2013).

2) Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Purnamasari (2014) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diabates melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk.

Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes melitus. Glomerulosklerosis adaah lesi yang paling khas dan dapat terjadi secara defus atau nodular glomerulosklerosis diabetik difus merupakan isi yang sering terjadi, terdiri atas penebalan difus matrix mesangial dengan bahan eosinofilik disetai penebalan membran basalis kapiler. Glomerulosklerosis diabetik nodular ( juga dikenal sebagai lesi Kimmeisteil-Wilson) lebih jarang terjadi namun sangat spesifik untuk penyakit ini terdiri dari bahan eosinofilik nodular yang menumpuk pada dasarnya dan biasanya teletak dalam perifer glomerulus didalam inti lobus kapiler. Kelainan non glomerulus dalam nefropati diabetik adalah nefritis tubulointertitial kronik, nekrosis papilaris, hialinosis arteri eferen dan aferen, serta iskemia. Glomerulosklerosis diabetik hampir selalu didahului oleh retinopati diabetik, yang ditandai dengan mikroaneurisma di sekitar makula (Price & Wilson, 2003)

3) Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg secara kronis. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder

(4)

Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2013).

4) Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai

keadaan atau penyakit. Ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa, oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun (Sukandar, 2013).

Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20% (Sukandar, 2013).

Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis (Suwitra, 2014).

Pada orang dewasa penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat (Sukandar, 2013).

2.1.3. Klasifikasi

Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

(5)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG(ml/mn/1.73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90 2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 2.2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit autoimun, Infeksi sistemik, obat, neoplasia)

Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit tubulointerstitial (pyelonefritis

kronik, batu, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik ( ginjal polikistik) Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik

Keracunan obat(siklosporin/takorolimus) Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

(Suwitra,2014)

2.1.4. Epidemiologi

(6)

(PENEFRI) melaporkan sebanyak 12,5% populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal (Tanto dan Hustrin, 2014).

Menurut United States Renal Data System (USRDS), prevalensi gagal ginjal kronik meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi pada usia 65-74 tahun adalah 7,2% dan pada usia lebih dari 85 tahun adalah 17%. Prevalensi gagal ginjal kronik pada kulit hitam (15%) adalah 50% lebih tinggi dari orang kulit putih atau ras lainnya (10%). Prevalensi pada orang Asia adalah 11%. Prevalensi gagal ginjal kronik yang disertai dengan diabetes mellitus adalah 20,5%,

hipertensi adalah 15,7%, dan penyakit jantung adalah 18,4% (USRDS, 2014).

2.1.5. Faktor Resiko

Gagal ginjal kronik merupakan multihit process disease. Sekali mengalami gangguan fungsi ginjal, banyak faktor yang memperberat perjalanan penyakit. Faktor tersebut dikenal sebagai faktor progresivitas gagal ginjal kronik.

Tabel 2.3. Faktor yang berperan dalam Progresivitas Gagal Ginjal Kronik Tidak dapat dimodifikasi Dapat dimodifikasi

Usia (usia tua) Hipertensi

Jenis kelamin (laki-laki lebih cepat) Proteinuria Ras(ras Afrika-Amerika lebih

cepat)

Albuminuria

Genetik Glikemia

Hilangnya massa ginjal Obesitas Dislipidemia Merokok

Kadar asam urat

(Tanto dan Hustrini, 2014)

2.1.6. Gejala Klinis

(7)

hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan neuropsikiatri (Sukandar, 2013).

1) Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer (MCHC 32-36%) dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit (Sukandar, 2013).

2) Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika (Sukandar, 2013).

3) Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tertier (Sukandar, 2013).

4) Kelainan kulit

(8)

bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Sukandar, 2013).

5) Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis (Sukandar, 2013).

6) Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya. Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian terjun menjadi koma (Sukandar, 2013).

7) Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran klasifikasi mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung (Sukandar, 2013).

8) Hipertensi

Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut memegang peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem reninangiotensin-aldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan

hipokalsemia (Sukandar, 2013).

(9)

tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih dipertahankan (Sukandar, 2013).

Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga yang mengatur tekanan darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu dipertahankan normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada pasien azotemia, mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak berfungsi lagi untuk mengatur

tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan tonus pembuluh darah arteriol (Sukandar, 2013).

2.1.7. Patofisiologi

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2014) patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2014).

(10)

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada

LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikataan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitra,2014).

2.1.8. Diagnosa

Menurut (Suwitra, 2014) penegakan diagnosa untuk gagal ginjal kronik yaitu:

2.1.8.1. Gambaran Klinis:

1) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes mellitus. infeksi traktus urinarius, hipertensi hiperurikemi, lupus eritomatosus sistemik ( LES ) dan lain sebagainya.

(11)

3) Gejala komplikasinya. hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (shodium, kalium, khlorida)

2.1.8.2. Gambaran laboratoris :

1) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penrunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan

fungsi ginjal.

3) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan darah hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hiperkolemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic.

4) Kelainan urinalisis meliputi: proteuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.

2.1.8.3. Gambaran radiologis :

1) Foto polos abdomen bias tampak batu radio-opak.

2) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksis oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

3) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.

4) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ginjal yang mengecil koreteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.

5) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.1.8.4. Biopsi dan Pemeriksaan Histapatologi Ginjal :

Biopsi dan pemeriksaan histapatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan

(12)

terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.

2.1.9. Komplikasi

Gagal ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi:

Tabel 2.4. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik

(13)

2.1.10.Penatalaksanaan 1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2013).

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada

ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, bopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat (Suwitra, 2014)

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra,2014)

(14)

Tabel 2.5. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya

Derajatnya LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana

1 ≥90 Terapi penyakit dasar,

kondisi komorbid, evaluasi pemburukan

fungsi ginjal,

memperkecil resiko kardiovaskular.

2 60-89 Menghambat

pemburukan fungsi ginjal.

3 30-59 Evaluasi dan terapi

komplikasi

4 15-29 Persiapan untuk terapi

pengganti ginjal.

5 <15 Terapi pengganti ginjal.

(Suwitra, 2014)

a) Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama

gangguan keseimbangan negatif nitrogen (Sukandar, 2013).

Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt,

(15)

yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal (Suwitra, 2014).

Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik (Suwitra, 2014).

Masalah penting lain adalah asupann protein berlebihan (protein Overload)

akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hyperfosfatemia (Suwitra, 2014).

b) Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori untuk gagal ginjal kronik harus adekuat dengan tujuan utama untuk mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi, dan memelihara anthomometri (skinfold thickness) (Sukandar, 2013).

c) Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Dengan tujuan untuk mencegah dehidrasi osmotik yang akan memperburuk faal ginjal (LFG) terutama pada kelompok pasien gagal ginjal kronik dengan kecenderungan natriuresis misalnya penyakit ginjal polikistik, scarring pyelonephritis, dan nefropati urat kronik, memelihara status hidrasi optimal, dan mengeleminasi toksin azotemia (Sukandar, 2013).

(16)

2. Terapi simtomatik a) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L (Sukandar, 2013).

b) Anemia

Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi

terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g% atau hematokrit ≤ 30g%,

meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron Binding Capacity), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis (Suwitra, 2014).

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan perburukan fungsi ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl (Suwitra, 2006). Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan

efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak (Sukandar, 2014).

c) Keluhan gastrointestinal

(17)

PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik (Sukandar, 2013).

d) Kelainan Kulit

 Puritis ( uremic ithching)

Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus gagal ginjal kronik, insiden meningkat pasien dengan terapi HD reguler. Keluhan gatal-gatal ada dua yaitu bersifat subjektif dan objektif. Beberapa pilihan terapi yaitu mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme, terapi lokal : topikal emolloien (triple lanolin), phototerapy dengan sinar UV-B 2 × perminggu selama 2-6 minggu (kalau perlu terapi sinar dapat diulang), pemberian medikamentosa (Diphydramine 25-50 mg P.O (bid), Hydroxyzine 10 mg P.O (bid)) (Sukandar, 2013).

Easy Brushing

Kecenderungn perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan

dengan retensi toksin Guadinosuccinic acid (GSA) dan gangguan faal trombosit. Pilihan tindakan dengan dialisis (Sukandar, 2013).

 Edema

Edema pada gagal ginjal kronik terutama dengan underlying renal disease. Glomerulopati primer dan sekunder selalu disertai dengan retensi Na+ dan air. Terapi pilihan dengan diuretika dan ultrafiltrasi (Sukandar, 2013). e) Kelainan neuromuskuler

Keluhan-keluhan yang berhubungan dengan kelainan neuromuskuler adalah restless, parestesia, neuropati perifer, kram otot, insomnia, konvulsi. Beberapa

terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa (diazepam, sedatif) atau operasi subtotal paratiroidektomi (Sukandar, 2013).

f) Hipertensi

Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko

(18)

Beberapa studi membuktikann bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, yang merupakan faktor risiko terjadinya perburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2014)

g) Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh

penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2014).

3. Transplantasi ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).

a) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak

responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,

(19)

b) Dialisis peritoneal (DP)

Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien GGA ( Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit ( Roesli et al, 2014)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGTA (gagal ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2013).

c) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk pasien gagal ginjal stadium akhir (Price & Wilson, 2012). Manfaat transplantasi sudah jelas terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dlam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik dan paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien diabetes mellitus. Transplantasi ginjal dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal dan terapi pengganti ginjal (Susalit, 2014).

Menurut (Sukandar, 2013) pertimbangan program transplantasi ginjal dan persiapan transplantasi ginjal, yaitu:

(20)

2) Kualitas hidup normal kembali 3) Masa hidup (survival rate) lebih lama

4) Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.

5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi. Persiapan program transplantasi ginjal : - Pemeriksaan imunologi

1) Golongan darah ABO

2) Tipe jaringan HLA (Human Leucocyte Antigen) 3) Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

2.2. Hemodialisis (HD) 2.2.1. Definisi

Hemodialisis adalah suatu proses pengubahan komposisi solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui membran semiperiabel (membran dialisis). Pada prinsip hemodialisis adalah suatu proses pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran yang semipermiabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut (Suhardjono, 2014).

Menurut Sukandar, 2013 hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan untuk eliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan diasillat melalui selaput membran semipermeabel yang berperan sebagai ginjal buatan.

2.2.2. Prosedur Hemodialisis

(21)

semipermeabel (yang dapat menembus bahan-bahan sisa tapi tidak dapat ditembus oleh darah dan plasma). Membran yang semipermeabel ini memisahkan dua kompartemen dialisat yakni cairan yang menghisap hasil metabolisme (ureum). Oleh karena proses ini adalah merupakan proses difusi maka selain dari pada hasil metabolik dapat pula diatasi hiperkalemi asal saja cairan dialisatnya bebas kalium atau mengandung kalium yang rendah. Pemindahan metabolik maupun cairan atas dasar perbedaan konsentrasi antara plasma dan dialisat dengan cara filtrasi. Maka lamanya hemodialisa dapat pula diprediksi dari tekanan yang diberikan oleh

mesin dialisa disamping jumlah darah yang melalui membran dialisa dalam waktu 1 menit.

Dengan demikian hemodialisa dapat dibagi menjadi dua cara yaitu konvensional hemodialisa dan difisiensi tinggi. Pada cara konvensional hemodialisa dimana darah dan dialisa berdasarkan arus yang berlawanan dengan kecepatan 300-500 cc/menit. Cairan dialisa hanya sekali melalui membran dialisa dan dibuang sesudah sekali pakai. Efisiensi dari hemodialisis dapat diperbesar dengan membran yang lebih porus terhadap air dan cairan. Dan cara difisiensi tinggi atau serta aliran tinggi. Konfisiensi ultrafiltrasi dapat dinaikkan menjadi lebih 10 kali dan kurang dari 20 cc/mm/Hg/jam. Pada high flux hemodialisa maka membrana dialisat lebih porus dan koefisiensi ultrafiltrasi dapat dinaikkan sampai 20 cc/mm/Hg/jam (Levey et al, 2010).

2.2.3. Komplikasi Hemodialisis

Beberapa komplikasi klinik selama prosedur hemodialisis tidak jarang ditemukan dan sangat mengganggu kenyamanan pasien. Beberapa komplikasi yang sering dialami pasien hemodialisis seperti: hipotensi (20-30%), kram otot (5-20%), mual-muntah (5-15%), sakit kepala (5%), febris sampai menggigil (<1%)

(Sukandar, 2013).

(22)

dari hemoperfusi. Komplikasi yang berasal dari selang yang dimasukkan ke pembuluh darah untuk tindakan hemodialisa beragam seperti kemampuan mengalirkan darah yang cukup berkurang, pneumotoraks, perdarahan, terbentuknya hematoma, robeknya arteri, hemotorak, embolisme, hemomediastinum, kelumpuhan saraf laring, trombosis, infeksi dan stenosis vena sentral, pseudoneurisma, iskhemia, dan sebagainya.

Komplikasi terkait dengan air dan cairan yang diberikan terdiri atas adanya bakteri dan pirogen dalam air yang diberikan yang dapat memicu

timbulnya infeksi, hipotensi, kram otot, hemolisis (bila komposisi elektrolit yang diberikan rendah sodium), haus dan sindrom kehilangan keseimbangan (bila sodium tinggi), aritmia (rendah dan tinggi potassium), hipotensi ringan, hiperparatiroidisme, petekie (rendah kalsium dan magnesium), osteomalais, nausea, pandangan kabur, kelemahan otot, dan ataksia (tinggi magnesium) (Yeun and Depner, 2000).

2.2.4. Indikasi dan kontraindikasi hemodialisis 2.2.4.1. Indikasi hemodialisis

Menurut panduan dari Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) tahun 2006 dalam Suhardjono, 2014 merekomendasikan untuk mempertimbangkan maanfaat dan resiko memulai terapi pengganti ginjal (TPG) pada pasien dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus (eLFG) kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2 (PGK tahap 5). Akan tetapi kemudian terdapat bukti-bukti penelitian baru bahwa tidak terdapat perbedaan hasil antara yang memulai dialisis dini dengan yang memulai dialisis (early versus late dialysis). Oleh karena itu pada PGK tahap 5, inisiasi (saat memulai) HD dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut:

1) Kelebihan cairan ekstraselular yang sulit dikendalikan dan / atau hipertensi.

(23)

3) Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat.

4) Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi pengikat fosfat.

5) Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi. 6) Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa

penyebab yang jelas.

7) Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai

gejala mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis. 8) Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisis adalah

adanya gangguan neurologis (seperti: neuropati, enselopati, gangguan psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan.

2.2.4.2. Kontraindikasi hemodialisis

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Tabel 2.3. Faktor yang berperan dalam Progresivitas Gagal Ginjal Kronik
Tabel 2.4. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik
Tabel 2.5. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan

Referensi

Dokumen terkait

Populasi penelitian adalah seluruh orang tua yang mempunyai anak yang berusia 6 bulan dibawah 1 tahun yang diberikan ASI Ekslusif yang tinggal dengan mertua dan

Hubungan persepsi perawat tentang manfaat discharge planning dengan pelaksanaan discharge planning di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, 9 orang

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan

Referring to research conducted by Abor, researchers want to conduct research with the object of mining industry companies listed in Indonesia Stock Exchange during the period

Jumlah kelompok tani yang menjalankan usaha agribisnis dengan efektif sebanyak 10 kelompok Sekolah Lapang. Pengembangan Usaha Agribisnis (SL

satisfaction of retailers and, on the contrary, poor quality service will cause dissatisfaction; second, service quality has positive influence on trust, which means that good or

Statistical tests on 25 variables predicted showed that they have effect to product quality, but coefficient correlation reduced them becoming six variables..

Permohonan memakai gereja untuk sakramen/sakramentali (misalnya: misa peringatan arwah, misa HUT perkawinan) akan diizinkan asal tidak bertabrakan dengan acara paroki yang