• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU USAHATA (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU USAHATA (2)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

ICASERD WORKING PAPER No. 31

PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU

USAHATANI PADI SAWAH DI JAWA :

KECENDERUNGAN DAN KONSEKUENSINYA

TERHADAP UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADI

Bambang I raw an

Februari 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(2)

ICASERD WORKING PAPER No. 31

PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU

USAHATANI PADI SAWAH DI JAWA :

KECENDERUNGAN DAN KONSEKUENSINYA

TERHADAP UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADI

Bambang I raw an

Maret 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id

No. Dok.042.31.02..04

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

(3)

PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU USAHATANI PADI SAWAH DI JAWA : KECENDERUNGAN DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADI

Bambang Irawan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Because of it’s high contribution on national rice production, wetland rice production in Java island should be augmented to increase national food security. Due to limited wetland area available in Java result from high population pressure and agriculture land conversion, production increase of wetland rice in the region should be carried out through yield increase rather than area increase. Rice yield increase can be conducted through two activities : (1) introduction of superior varieties of rice to increase potential yield available to be exploited by farmers, and (2) improvement of cultural practices such as fertilizing method, planting method, pest control etc. so that yield potency of varieties cultivated can be maximally exploited. For efficiency of program of rice yield increase, this study reveals that introduction of superior varieties of rice should be implemented in wet season while improvement of cultural practices implemented in dry season. In accordance with problems faced by farmers, improvement of cultural practices should be supported with a technical guidance of balanced fertilizing and improvement of irrigation network. Besides, the movement of rice production area from Java island to other island in the long term should be considered.

Key words : wetland rice, superior variety, potential yield, quality of cultural practices.

PENDAHULUAN

Secara nasional sekitar 55 persen konsumsi kalori dan 45 persen konsumsi

protein di tingkat rumah tangga berasal dari konsumsi beras. Hal tersebut menunjukkan

bahwa peningkatan produksi beras memiliki peranan penting dalam rangka

meningkatkan kecukupan konsumsi gizi rumah tangga dan ketahanan pangan nasional.

Sementara itu sekitar 90 persen produksi beras nasional dihasilkan dari usahatani padi

sawah yang dilakukan oleh sebagian besar petani terutama di Jawa. Akibat lahan yang

lebih subur, jaringan irigasi yang lebih tersedia dan teknologi usahatani yang lebih maju

maka pulau Jawa memiliki peranan penting dalam produksi padi secara nasional.

Selama 30 tahun terakhir pulau Jawa rata-rata menyumbang 59,8 persen produksi padi

(4)

Pengalaman mengungkapkan bahwa sebagian besar peningkatan produksi padi

disebabkan oleh peningkatan produktivitas usahatani yang dirangsang oleh pelaksanaan

berbagai program intensifikasi padi. Karena sebagian besar petani mengusahakan

tanaman padi maka pelaksanaan program intensifikasi tersebut tidak hanya berguna

untuk meningkatkan produksi padi tetapi bermanfaat pula untuk meningkatkan

pendapatan sebagian besar petani. Akan tetapi pada akhir-akhir ini seringkali

diungkapkan bahwa laju peningkatan produktivitas padi semakin lambat sehingga

pertumbuhan produksi padi juga semakin lambat. Kondisi demikian tidak menguntungkan

bagi ketahanan pangan nasional karena hal itu dapat berdampak pada kekurangan beras

dimasa yang akan datang mengingat kebutuhan beras nasional terus meningkat sejalan

dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya konsumsi beras per kapita.

Secara agronomis peningkatan produktivitas padi dapat terjadi akibat dua faktor

yaitu : (1) meningkatnya penggunaan varietas padi yang berdaya produksi lebih tinggi,

dan (2) meningkatnya mutu usahatani yang dilakukan petani seperti cara pengolahan

tanah, cara penanaman, cara pemupukan dan sebagainya. Penggunaan varietas padi

berdaya produksi tinggi sangat menentukan produktivitas potensial atau potensi

produktivitas yang dapat dieksploitasi petani menjadi produktivitas aktual. Sedangkan

mutu usahatani yang dilakukan petani akan menentukan sejauh mana petani mampu

mengeksploitasi seluruh potensi produktivitas yang melekat pada varietas padi yang

digunakan. Berdasarkan hal tersebut maka introduksi varietas unggul yang berdampak

pada peningkatan produktivitas potensial belum tentu secara langsung meningkatkan

produktivitas yang dicapai petani jika tidak diikuti dengan perbaikan mutu usahatani.

Tulisan ini mengungkapkan dinamika jangka panjang produktivitas potensial dan

mutu usahatani padi sawah di Jawa. Kajian tersebut dilakukan secara agregat pulau

Jawa dan menurut provinsi di Jawa. Disamping itu diungkapkan pula variasi produktivitas

dan mutu usahatani menurut musim tanam dalam rangka lebih memahami permasalahan

spesifik yang dihadapi petani untuk meningkatkan produktivitas padi sawah pada setiap

musim tanam.

METODOLOGI

Konsep Pengukuran Produktivitas Potensial dan Mutu Usahatani

Secara agronomis produktivitas usahatani padi yang dihasilkan petani merupakan

(5)

(1) Faktor lingkungan fisik di lokasi kegiatan produksi seperti kesuburan tanah,

temperatur, kelembaban, curah hujan dst, (2) Daya produksi varietas padi yang

digunakan, dan (3) Mutu usahatani atau kualitas cara bercocok tanam seperti cara

pengolahan tanah, cara penanaman, cara pemupukan, cara pengendalian hama dan

seterusnya. Dalam batas tertentu faktor lingkungan fisik dapat dikatakan tetap karena

faktor tersebut sulit dimanipulasi. Sedangkan daya produksi varietas padi yang

digunakan petani dapat meningkat akibat rekayasa genetik yang dikembangkan. Begitu

pula mutu usahatani yang dilakukan petani dapat semakin baik atau semakin mendekati

kebutuhan fisiologis tanaman sejalan dengan meningkatnya kemampuan teknis dan

kemampuan finansial petani.

Pada kondisi faktor lingkungan fisik tertentu produktivitas usahatani padi

ditentukan oleh : (1) jenis varietas yang digunakan dan (2) kualitas cara bercocok tanam

atau mutu usahatani. Jenis varietas yang digunakan sangat menentukan produktivitas

maksimal yang dapat dicapai, sesuai dengan daya produksi varietas yang bersangkutan.

Produktivitas maksimal tersebut pada dasarnya merupakan potensi produktivtas yang

dapat digali untuk diwujudkan menjadi produktivitas aktual yang dicapai petani. Dalam

hal ini mutu usahatani yang diterapkan akan sangat mempengaruhi tingkat pencapaian

potensi produkivitas yang tersedia. Jika cara bercocok tanam atau mutu usahatani yang

dilakukan sudah sesuai dengan kebutuhan fisiologis varietas yang ditanam maka

produktivitas yang dicapai akan sama besarnya dengan produktivitas maksimal yang

dapat dicapai, dengan kata lain sesuai dengan daya produksi varietas yang ditanam.

Pada tingkat penelitian laboratorium potensi produktivitas yang terdapat pada

setiap jenis varietas umumnya dapat dieksploitasi secara maksimal karena seluruh faktor

penentu produktivitas (faktor lingkungan fisik dan cara bercocok tanam) dapat dikontrol

sesuai dengan kebutuhan fisiologis tanaman. Namun pada tingkat lapangan faktor

penentu produktivitas tersebut tidak selalu dapat dikendalikan dan disesuaikan dengan

kebutuhan tanaman, sehingga produktivitas yang dicapai pada tingkat lapangan akan

lebih rendah dibanding produktivitas yang dihasilkan dari penelitian laboratorium. Dengan

kata lain, untuk setiap jenis varietas padi yang dipergunakan akan selalu terjadi senjang

produktivitas antara produktivitas hasil penelitian laboratorium dengan produktivitas di

(6)

Produktivitas

Gambar 1 mengilustrasikan konsep senjang produktivitas antara produktivitas di

tingkat penelitian laboratorium (P1) dengan produktivitas di tingkat lapangan (P2 dan P3).

Produktivitas di tingkat lapangan dibedakan atas produktivitas hasil penelitian lapangan

(P2) dan produktivitas yang dicapai petani (P3). Ketiga nilai produktivitas tersebut dapat

berbeda akibat perbedaan jenis varietas yang digunakan. Namun pada penggunaan jenis

varietas yang sama tetap akan terjadi perbedaan produktivitas atau senjang produktivitas

(S1 dan S2) yang disebabkan oleh faktor yang berlainan (De Datta et al., 1987). Senjang

produktivitas S1 atau (P1-P2) dapat disebabkan oleh tidak terkontrolnya seluruh faktor

lingkungan fisik (temperatur, kelembaban, nutrisi tanah, dst) pada penelitian lapangan,

walaupun cara bercocok tanam pada penelitian lapangan dapat disamakan dengan yang

dilakukan pada penelitian laboratorium, yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan

tanaman. Sedangkan senjang produktivitas S2 atau (P2-P3) dapat terjadi karena petani

tidak mampu melakukan cara bercocok tanam seperti yang dilakukan pada penelitian

lapangan akibat berbagai kendala teknis, ekonomi dan sosial walaupun faktor lingkungan

fisik yang dihadapi petani dan peneliti lapangan relatif sama.

Pada penggunaan jenis varietas yang sama antara petani dan penelitian

lapangan, produktivitas P2 merupakan produktivitas maksimal yang dapat dicapai petani.

P1

P2

P3

Senjang 1 (S1)

Senjang 2 (S2)

Perbedaan faktor lingkungan fisik media produksi : temperatur, kelembaban, nutrisi tanah dst.

Perbedaan cara bercocok tanam (pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama penyakit dst) akibat kendala teknis, ekonomi dan sosial.

Produktivitas hasil penelitian laboratorium

Produktivitas hasil percoba-an lappercoba-angpercoba-an

Produktivitas aktual di tingkat petani

Gambar 1. Konsep Senjang Produktivitas Tanaman Padi Antara

(7)

Dengan kata lain, produktivitas P2 merupakan produktivitas potensial atau merupakan

potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi petani. Untuk dapat mengeksploitasi

potensi produktivitas yang tersedia secara maksimal, atau mencapai tingkat produktivitas

P2, maka petani harus mampu melakukan cara bercocok tanam yang relatif sama

dengan yang dilakukan oleh peneliti lapangan. Namun akibat berbagai kendala yang

dihadapi petani maka cara bercocok tanam atau mutu usahatani yang dilakukan petani

biasanya lebih rendah dibandingkan dengan yang dilakukan pada penelitian lapangan.

Besarnya perbedaan mutu usahatani tersebut secara tidak langsung ditunjukkan oleh

besarnya senjang produktivitas S2. Jika mutu usahatani yang dilakukan petani relatif

sama dengan yang dilakukan peneliti lapangan maka produktivitas P1 akan sama

dengan P2 atau S2 = 0.

Uraian diatas menjelaskan bahwa pada pengunaan jenis varietas tertentu,

tingkatan mutu usahatani yang dilakukan petani pada dasarnya dapat diukur dari

besarnya senjang produktivitas S2. Nilai S2 yang sangat besar mencerminkan mutu

usahatani yang diterapkan petani sangat rendah, dengan kata lain, cara bercocok tanam

yang dilakukan petani sangat jauh dengan kebutuhan fisiologis tanaman yang

diusahakan. Sebaliknya, nilai S2 yang sangat kecil menunjukkan bahwa mutu usahatani

yang dilakukan petani relatif tinggi sehingga produktivitas yang dicapai petani (P1) relatif

sama dengan produktivitas yang diperoleh pada penelitian lapangan (P2). Pada kondisi

demikian peluang untuk meningkatkan produktivitas petani melalui peningkatan mutu

usahatani dapat dikatakan sangat terbatas karena cara bercocok tanam yang dilakukan

petani dapat dikatakan sudah sesuai dengan kebutuhan fisiologis tanaman.

Pada tingkat lapangan dengan kondisi agroklimat yang sama, besarnya

produktivitas P2 akan bervariasi menurut daya produksi varietas yang digunakan.

Semakin tinggi daya produksi varietas yang digunakan maka nilai P2 akan semakin tinggi

pula, artinya, produktivitas potensial atau potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi

oleh petani akan semakin besar. Oleh karena itulah kegiatan introduksi varietas unggul

yang berdaya produksi lebih tinggi diperlukan untuk meningkatkan produktivitas petani.

Namun, penggunaan varietas unggul tersebut belum tentu secara langsung akan

meningkatkan produktivitas yang dicapai petani jika mutu usahatani yang diterapkan

petani relatif rendah, dengan kata lain, belum sesuai dengan kebutuhan fisiologis

(8)

Pengukuran Empirik

Produktivitas potensial padi sawah di setiap wilayah pembangunan (kabupaten,

provinsi) pada dasarnya ditentukan oleh kondisi biofisik lahan seperti tingkat kesuburan

lahan, dan daya produksi varietas padi yang digunakan petani. Kondisi biofisik lahan di

setiap wilayah dapat dikatakan relatif tetap sedangkan daya produksi varietas padi yang

digunakan petani dapat mengalami perubahan. Oleh karena itu variasi produktivitas

potensial padi sawah antarwilayah pembangunan secara umum sangat ditentukan oleh

daya produksi varietas yang digunakan. Begitu pula produktivitas potensial dalam jangka

panjang dapat bersifat dinamis akibat perubahan pengguna jenis-jenis varietas yang

digunakan petani.

Jenis varietas padi yang digunakan petani di setiap wilayah pembangunan

umumnya sangat beragam. Komposisi luas tanam padi menurut jenis varietas juga dapat

berbeda menurut musim tanam dan menurut tahun, tergantung pada ketersediaan benih

varietas yang diinginkan dan preferensi petani dalam memilih varietas padi. Karena

setiap varietas padi sawah memiliki daya produksi yang berbeda maka produktivitas

potensial padi sawah menurut wilayah, musim dan tahun dapat bervariasi tergantung

pada komposisi luas tanaman padi menurut varietas. Jika sebagian besar varietas padi

yang digunakan petani di wilayah tertentu memiliki daya produksi relatif tinggi maka

produktivitas potensial di wilayah yang bersangkutan relatif tinggi pula, dan sebaliknya.

Uraian diatas menjelaskan bahwa produkivitas potensial padi sawah menurut

wilayah, musim tanam dan tahun pengamatan dalam jangka panjang sangat ditentukan

oleh komposisi luas tanam padi menurut jenis varietas dan daya produksi setiap varietas

padi yang digunakan petani. Sedangkan mutu usahatani pada dasarnya merupakan

selisih antara produktivitas potensial dan produktivitas aktual atau produktivitas yang

dicapai petani. Berdasarkan hal tersebut maka secara empirik pengukuran produktivitas

potensial dan mutu usahatani padi sawah secara agregat wilayah dapat dilakukan

dengan menggunakan persamaan (1) dan persamaan (2) sebagai berikut.

Produktivitas potensial n

Ypk = Yi ………(1)

i=1 dimana:

Ypk = Produktivitas potensial padi sawah di wilayah k (ton/ha)

Li ….n = Pangsa luas tanam padi sawah varietas i

(9)

Indeks mutu usahatani

MUk = Yak / Ypk . 100 ..……… (2)

dimana:

MUk = Indeks mutu usahatani padi sawah di wilayah k (%)

Yak = Produktivitas aktual padi sawah yang dihasilkan petani di wilayah k (ton/ha)

Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi

pemerintah dan publikasi yang relevan. Data luas tanam padi sawah menurut jenis

varietas dan menurut musim tanam per provinsi dan per kabupaten di Jawa diperoleh

dari Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa

Timur. Data karakteristik genetik varietas padi diperoleh dari publikasi Pusat Penelitian

dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sedangkan data produktivitas padi sawah per

kabupaten di Jawa menurut musim tanam diperoleh dari Badan Pusat Statistik di setiap

provinsi yang dikaji.

DINAMIKA PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DI JAWA DAN PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL PADI

Laju Pertumbuhan, Variabilitas dan Variasi Produktivitas Padi Sawah Antar Kabupaten di Jawa

Dengan rata-rata penguasaan lahan yang sempit peningkatan produktivitas

usahatani merupakan upaya penting dalam rangka meningkatkan pendapatan petani

padi di Jawa. Peningkatan produktivitas tersebut dapat ditempuh melalui : (1) introduksi

varietas unggul dan atau (2) perbaikan mutu kegiatan usahatani seperti penggunaan

pupuk berimbang, penggunaan insektisida dan pestisida secara memadai, perbaikan

cara pengolahan tanah, perbaikan metode tanam dan seterusnya. Pengalaman

menunjukkan bahwa kedua upaya peningkatan produktivitas tersebut selama ini sangat

terkait dengan pelaksanaan berbagai program intensifikasi padi yang telah dilakukan

sejak tahun 1970 seperti program BIMAS, INSUS, SUPRA INSUS, IP Padi-300 dan

seterusnya. Di samping itu pemerintah juga mengendalikan harga padi dan harga faktor

produksi untuk menjamin keuntungan petani manakala mereka menerapkan paket

(10)

Gambar 2. Dinamika Produktivitas, Variabilitas dan Koefisien Variasi Produktivitas

Padi Sawah di Jawa, 1972-2000.

Gambar 2 memperlihatkan dinamika produktivitas usahatani padi sawah di Jawa

selama 1972-2000 yang diukur dalam tiga indikator yaitu : tingkat produktivitas,

variabilitas produktivitas dan variasi produktivitas antar kabupaten di Jawa. Tampak

bahwa secara umum terdapat tiga kecenderungan yaitu :

1. Tingkat produktivitas mengalami kenaikan dari rata-rata 3,0 ton gabah per hektar

pada tahun 1972-1975 menjadi sekitar 5,2 ton gabah per hektar pada tahun

1996-2000 (Tabel 1). Sudaryanto et al., (1992) berpendapat bahwa secara teknis

peningkatan produktivitas tersebut disebabkan oleh penerapan panca usahatani

padi yang meliputi: (1) penggunaan benih varietas unggul yang berdaya produksi

tinggi, (2) penggunaan pupuk anorganik, (3) penggunaan obat-obatan secara

memadai, (4) pengaturan pengairan sesuai dengan kebutuhan tanaman, dan (5)

perbaikan cara bercocok tanam seperti pengolahan tanah sempurna.

2. Keragaman produktivitas antar kabupaten mengalami penurunan, hal ini

(11)

sebesar 17,4 persen pada tahun 1972-1975 menjadi 6,8 persen pada tahun

1996-2000. Karena sebagian besar pendapatan petani di Jawa berasal dari

usahatani padi sawah kecenderungan tersebut menunjukkan pula bahwa

pelaksanaan program intensifikasi padi yang dilakukan selama ini cenderung

mengurangi ketimpangan pendapatan petani antar kabupaten.

3. Variabilitas produktivitas padi sawah cenderung turun dari 8,71 persen pada

tahun 1972-1975 menjadi 4,45 persen pada tahun 1996-2000. Hal ini

mengungkapkan bahwa ketidakpastian produktivitas padi sawah yang

disebabkan oleh faktor non teknis-agronomis (seperti harga input, harga output,

iklim) semakin kecil. Kondisi demikian dapat terjadi akibat pengendalian

harga-harga yang dilakukan pemerintah dan akibat meningkatnya kemampuan adaptasi

petani terhadap kondisi agroklimat setempat (Anderson and Hazell, 1994).

Jika dikaji menurut periode, laju peningkatan produktivitas yang relatif tinggi

terutama terjadi pada periode 1976-1980 dan periode 1981-1985, masing-masing

sebesar 5,59 persen dan 3,53 persen per tahun (Tabel 1). Dibarengi dengan peningkatan

luas panen padi sawah akibat pencetakan sawah baru, pembangunan jaringan irigasi

dan penggunaan varietas padi yang berumur semakin pendek peningkatan produktivitas

yang tinggi tersebut menyebabkan Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun

1984/85. Namun setelah itu laju peningkatan produktivitas padi sawah terus mengalami

penurunan hingga mencapai 0,26 persen per tahun pada periode 1991-1995, bahkan,

pada periode 1996-2000 produktivitas padi sawah di Jawa cenderung turun sebesar–

0,20 persen per tahun. Menurut Pingali et al., (1997) penurunan laju pertumbuhan

produktivitas padi tersebut terjadi di sebagian besar kawasan Asia, terutama di

daerah-daerah yang secara historis merupakan sentra produksi padi. Gejala demikian pada

dasarnya terjadi akibat penggunaan bahan kimia yang intensif dalam jangka waktu lama

sehingga berdampak pada kelelahan lahan, yang diantaranya dicirikan oleh respon

pemupukan yang semakin tidak signifikan dan tanah yang semakin keras (Pingali et al.,

(12)

Tabel 1. Rata-rata Produktivitas Padi Sawah, Laju Pertumbuhan Produktivitas, Variabilitas dan Koefisien Variasi Produktivitas Antar Kabupaten di Jawa, 1972-2000

Begitu pula ketidakpastian produktivitas yang dicapai petani akibat faktor non

teknis agronomis cenderung meningkat akhir-akhir ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh

variabilitas produktivitas padi sawah yang kembali meningkat menjadi 4,45 persen pada

1996-2000, padahal pada dua periode lima tahunan sebelumnya variabilitas produktivitas

tersebut hanya sekitar 1 persen. Naiknya variabilitas tersebut tidak menguntungkan

karena ketidakpastian pendapatan petani padi akan semakin besar disamping semakin

mempersulit perencanaan produksi secara regional dan nasional. Akan tetapi koefisien

variasi produktivitas antar kabupaten pada periode 1996-2000 secara rata-rata masih

lebih rendah dibandingkan dengan situasi pada periode lima tahunan sebelumnya,

walaupun pada tahun 1998 dan 1999 terjadi peningkatan yang cukup besar. Hal ini

menunjukkan bahwa ketimpangan produktivitas padi sawah antar kabupaten di Jawa

tetap memperlihatkan kecenderungan yang semakin kecil, dengan kata lain, proses

pemerataan pendapatan petani antar kabupaten masih tetap berlangsung.

Uraian diatas menyimpulkan bahwa keragaan produktivitas padi sawah di Jawa

akhir-akhir ini atau pada periode 1996-2000 tidak begitu baik, khususnya jika dilihat dari Provinsi 1972-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-2000

Produktivitas (kg/ha)

Jawa Barat 2886 3297 4249 4791 5186 5008

Jawa Tengah 2989 3401 4568 4992 5266 5189

Jawa Timur 3086 3672 4793 5051 5297 5292

Jawa 2998 3475 4570 4963 5257 5180

Pertumbuhan produktivitas (%/thn)

Jawa Barat 1,60 4,41 4,09 2,66 0,62 -0,34

Jawa Tengah 1,30 5,84 3,90 1,67 0,43 -0,48

Jawa Timur 1,91 6,19 2,85 1,48 0,14 -0,06

Jawa 1,58 5,59 3,53 1,84 0,26 -0,20

Variabilitas produktvitas (%)

Jawa Barat 8,41 6,78 3,37 1,70 0,46 6,27

Jawa Tengah 7,20 10,41 2,91 1,75 0,81 3,72

Jawa Timur 10,48 10,18 3,00 1,74 1,92 3,90

Jawa 8,71 9,40 3,06 1,73 1,13 4,45

Koefisien variasi (%)

Jawa Barat 12,4 9,9 9,5 7,4 5,5 6,1

Jawa Tengah 14,2 12,8 9,2 7,7 8,0 6,0

Jawa Timur 21,9 14,7 11,7 9,8 7,6 6,9

Jawa 17,4 13,9 11,4 8,7 7,3 6,8

(13)

laju pertumbuhan produktivitas dan variabilitas produktivitas. Penurunan produktivitas

pada periode tersebut khususnya terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah

sebesar –0,34 persen dan –0,48 persen per tahun sedangkan di Jawa Timur

produktivitas padi sawah selama periode tersebut relatif konstan. Sementara,

peningkatan variabilitas produktivitas padi sawah terjadi di ketiga provinsi tetapi paling

tinggi di Jawa Barat yaitu dari 0,46 persen pada 1991-1995 menjadi 6,27 persen pada

1996-2000. Hal ini mengungkapkan bahwa keragaan produktivitas padi sawah di Provinsi

Jawa Barat pada akhir-akhir ini relatif buruk dibandingkan Jawa Timur dan Jawa

Tengah. Kesimpulan yang sama juga diperoleh jika dilihat dari tingkat produktivitas yang

dicapai petani. Pada 1996-2000 rata-rata produktivitas padi sawah di Jawa Barat hanya

sebesar 5008 kg/ha sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing sebesar

5189 kg/ha dan 5292 kg/ha.

Pada periode 1996-2000 penurunan produktivitas padi sawah dan peningkatan

variabilitas produktivitas terutama terjadi pada tahun 1998 dan 1999 (lihat Gambar 2).

Penurunan produktivitas pada tahun 1998 pada dasarnya disebabkan oleh anomali iklim

El Nino yang berlangsung selama 14 bulan antara Maret 1997 hingga April 1998, dengan

kata lain, meliputi musim tanam MK 1997 dan MH 1997/1998. Penyimpangan iklim

tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah (Gomez, 1998) dan menyebabkan

penurunan curah hujan di Jawa sekitar 40 hingga 52 persen dibawah curah hujan

normal menurut provinsi (Irawan, 2002). Konsekuensinya adalah pada tahun 1998

sebanyak 58 kabupaten di Jawa atau sekitar 74 persen dari total kabupaten di Jawa

mengalami penurunan produktivitas padi sawah dengan laju penurunan sekitar 2 persen

hingga 14 persen menurut kabupaten.

Sedangkan penurunan produktivitas pada tahun 1999 dapat terjadi akibat krisis

ekonomi yang berlangsung sejak Agustus 1997. Akibat krisis tersebut subsidi harga

pupuk urea telah dicabut pada bulan Desember 1998 sehingga harga urea pada bulan

selanjutnya naik sekitar 64 persen. Begitu pula harga insektisida, pestisida dan faktor

produksi lain yang menggunakan bahan baku impor relatif tinggi mengalami peningkatan

tajam akibat naiknya harga dolar. Sementara itu harga gabah di tingkat petani justru

mengalami penurunan akibat mengalirnya impor beras dan semakin lemahnya

pengendalian harga dasar gabah sehingga harga gabah yang diterima petani pada tahun

(14)

faktor produksi komersial seperti pupuk dan obat-obatan menjadi semakin lemah. Hal

tersebut ditunjukkan oleh turunnya rasio harga gabah terhadap harga faktor produksi,

misalnya, rasio harga gabah terhadap harga pupuk urea dan harga pupuk TSP turun dari

1,57 dan 1,16 pada tahun 1998 menjadi 1,12 dan 0,91 pada tahun 1999 (Irawan, 2002).

Pengembangan Varietas Unggul Padi

Varietas unggul padi yang berdaya produksi tinggi dapat dikatakan sebagai hasil

rekayasa teknologi di bidang pertanian yang paling penting dalam meningkatkan

produktivitas usahatani padi (Herdt and Capule, 1983; Byerlee, 1993). Hal ini dapat

disimak dari pengalaman selama revolusi hijau dimana produktivitas usahatani padi

meningkat signifikan setelah dilakukan introduksi berbagai varietas unggul yang

dikembangkan oleh IRRI yang daya produksinya lebih tinggi daripada varietas lokal. Di

bidang perbenihan tersebut secara garis besar terdapat dua aspek yang saling terkait

yaitu : (1) aspek pengembangan varietas unggul yang dilakukan melalui rekayasa

genetik, dan (2) aspek produksi, distribusi, dan adopsi benih varietas unggul yang

dikembangkan. Pengembangan berbagai jenis varietas unggul belum tentu

meningkatkan produktivitas yang dihasilkan petani jika varietas unggul tersebut tidak

diadopsi oleh petani atau proses adopsinya berjalan lambat. Sebaliknya, walaupun

proses adopsi varietas unggul dapat berlangsung secara cepat, produktivitas di tingkat

petani belum tentu meningkat jika daya produksi varietas yang dikembangkan tidak lebih

tinggi dibanding daya produksi varietas yang telah digunakan petani.

Dalam pengembangan varietas unggul padi pemerintah memiliki peranan penting

karena sektor swasta sejauh ini kurang tertarik kecuali untuk komoditas sayuran. Selama

ini pemerintah telah melepas 124 varietas padi sawah dengan daya produksi, umur

tanaman, ketahanan terhadap hama/penyakit dan rasa nasi yang berbeda untuk 3 tipe

sawah yaitu sawah dataran rendah, sawah dataran tinggi dan sawah rawa/pasang surut.

Sebagian besar varietas yang dilepas (100 varietas) merupakan varietas padi sawah

dataran rendah (di bawah ketinggian 500 m dpl) karena sawah dataran rendah

merupakan bagian terbesar dari total sawah yang diusahakan petani. Varietas padi

sawah tersebut dapat berasal dari varietas yang dikembangkan oleh IRRI atau varietas

lokal yang telah mengalami pemuliaan yang biasanya disebut sebagai varietas unggul

(15)

Pengembangan varietas padi melalui kegiatan pemuliaan umumnya ditujukan

untuk menghasilkan varietas dengan 4 sifat yaitu: (1) berdaya produksi tinggi, (2)

berumur pendek, (3) tahan terhadap organisme pengganggu tanaman dan (4) memiliki

rasa nasi yang enak. Namun keempat sifat tersebut tidak mudah dicapai secara serentak

sehingga strategi pengembangan varietas benih padi cenderung dilakukan secara

bertahap dan disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi.

Pada tahun 70-an pengembangan varietas padi sawah dataran rendah lebih

difokuskan untuk memperoleh varietas berumur pendek dalam rangka memanfaatkan

jaringan irigasi yang telah dibangun dengan sasaran akhir meningkatkan intensitas

tanam per tahun. Pada periode ini rata-rata umur varietas yang dilepas lebih rendah

sekitar 12 persen atau 17 hari dibanding varietas yang dilepas sebelum tahun 1970

namun rata-rata daya produksinya mengalami penurunan dari 4,92 ton/ha menjadi 4,36

ton/ha (Tabel 2). Rasa nasi yang dihasilkan cenderung dikorbankan karena varietas padi

yang dilepas pada tahun 1970-an hanya 29 persen saja yang memiliki rasa nasi yang

enak, lebih rendah dibanding situasi sebelum 1970 yang mencapai 42 persen. Kebijakan

ini pada dasarnya ditempuh karena varietas dengan rasa nasi yang enak biasanya

berumur lebih panjang sehingga dianggap kurang sesuai untuk meningkatkan produksi

padi melalui peningkatan intensitas tanam.

Tabel 2. Deskripsi Varietas Padi Sawah Dataran Rendah yang Dilepas Hingga Tahun 2001

Rasa nasi

enak Umur tanaman (hari) Daya produksi (Ton/ha) Periode

Sebelum 1970 12 5 42 145 142 149 4.92 4.50 5.33

1970-79 17 5 29 128 124 133 4.36 4.00 4.71

1980-89 42 17 40 121 117 126 4.80 4.32 5.28

1990-99 17 9 53 118 115 122 5.86 4.92 6.80

2000-01 12 12 100 116 111 120 6.51 5.26 7.77

Sumber : Diolah dari Djunainah, 1993; Sunihardi, 1999; Sunihardi dan Hermanto. 2000

Selama periode 1980-1989 jumlah varietas yang dilepas mencapai 42 varietas

atau hampir separuh dari total varietas yang dilepas selama 30 tahun terakhir. Pada

periode ini pengembangan varietas lebih ditujukan untuk menghasilkan varietas padi

yang tahan terhadap hama/penyakit biotipe atau strain baru terutama wereng coklat

(16)

pada dasawarsa sebelumnya, sedangkan umur tanaman menjadi semakin pendek

sekitar 7 hari atau 5 persen lebih pendek dibanding varietas yang dilepas pada

dasawarsa sebelumnya. Sementara varietas dengan rasa nasi yang enak semakin

banyak dihasilkan yaitu sekitar 40 persen total variatas yang dikembangkan, dalam

rangka mengantisipasi perubahan selera pasar yang didorong oleh peningkatan

pendapatan penduduk.

Sejalan dengan dinamika pasar pengembangan varietas padi sejak tahun 1990

lebih difokuskan untuk menghasilkan varietas dengan rasa nasi yang enak dan memiliki

daya produksi lebih tinggi. Rata-rata daya produksi varietas yang dikembangkan sejak

tahun 1990 meningkat signifikan, sekitar 1,06 ton/ha atau 22 persen, tetapi penurunan

umur tanaman tidak signifikan, sekitar 2 hari atau 2 persen. Hal ini mengungkapkan

bahwa upaya menghasilkan varietas padi berumur lebih pendek semakin sulit

diwujudkan. Konsekuensinya adalah, dimasa yang akan datang upaya meningkatkan

produksi padi per satuan lahan melalui pengembangan varietas unggul padi hanya

mungkin dilakukan melalui peningkatan daya produksi per hektar.

PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU USAHATANI PADI SAWAH

Penggunaan Varietas Padi Sawah di Jawa

Diluar varietas lokal dan galur lainnya sekitar 75 hingga 83 varietas padi sawah

telah digunakan oleh petani di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur selama

1977-2000. Dari seluruh varietas tersebut terdapat 8 varietas utama yang memiliki rata-rata

pangsa luas tanam lebih dari 2 persen selama 1977-2000 pada agegat Jawa (Tabel 3).

Setiap varietas tersebut umumnya memiliki karakteristik yang berbeda dalam daya

produksi, umur tanaman, daya tahan terhadap hama/penyakit dan rasa nasi yang

dihasilkan. Selama 1977 hingga 2000 varietas padi yang digunakan petani umumnya

mengalami pergeseran, sesuai dengan preferensi petani dalam memilih varietas padi

dan ketersediaan varietas yang dilepas.

Secara umum arah pergeseran varietas yang terjadi adalah meningkatnya

penggunaan varietas unggul padi terutama varietas PB-36, Cisadane dan IR-64 yang

menggantikan penggunaan varietas lokal (Tabel 3). Namun diantara varietas unggul

(17)

pola pergeseran varietas padi sawah yang terjadi di Jawa selama 1977-2000 dapat

diuraikan sebagai berikut :

 1977-1980 : Pada periode ini penggunaan varietas PB-30, PB-36 dan PB-38

semakin luas dan menggeser varietas lokal. Pergeseran ini terutama terjadi

karena varietas lokal umumnya tidak tahan hama wereng coklat dan berumur

lebih panjang walaupun memiliki rasa nasi yang enak.

 1981-1983 : Penggunaan varietas Cisadane dan PB-36 semakin luas

menggantikan varietas lokal, PB-30 dan PB-38. Penggunaan varietas PB-30 dan

PB-38 semakin sedikit karena kurang tahan terhadap wereng coklat biotype 1 dan

2 sedangkan penggunaan varietas Cisadane mengalami peningkatan karena

berdaya produksi lebih tinggi, tahan terhadap hama wereng, dan memiliki rasa

nasi yang enak.

 1984-1987 : Penggunaan varietas Cisadane dan Krueng Aceh semakin

menggeser varietas PB-36 yang memiliki daya produksi lebih rendah dan memiliki

rasa nasi kurang enak. Sejak periode ini prefensi petani terhadap varietas padi

semakin didominasi oleh pertimbangan rasa nasi akibat terjadinya perubahan

selera pasar yang dirangsang oleh peningkatan pendapatan konsumen.

 1988-1999 : Penggunaan varietas IR-64 muncul secara dominan dan menggeser

varietas Cisadane dan PB-36 karena varietas IR-64 berdaya produksi lebih tinggi,

umur lebih pendek dan memiliki rasa nasi yang enak. Pada tahun 1999

penggunaan varietas padi di Jawa sepenuhnya didominasi oleh varietas IR-64

dan Cisadane yang secara total memiliki pangsa luas tanam sebesar 81,1

persen. Namun pada tahun 2000 varietas Membramo dan Way Apoboru yang

dilepas pada tahun 1995 dan 1998 mulai menggeser varietas Cisadane dan IR-64

karena memiliki rasa nasi yang enak dan memiliki daya produksi lebih tinggi, yaitu

sebesar 7,3 ton gabah/ha dan 8,0 ton gabah/ha.

Jika dikaji secara keseluruhan proses adopsi varietas berdaya produksi lebih

tinggi umumnya berlangsung cukup lambat. Misalnya, pada tahun 1999 penggunaan

varietas padi masih didominasi oleh varietas Cisadane dan IR-64 yang dilepas pada

tahun 1980 dan 1986. Padahal, seperti diungkapkan dalam Tabel 2, sejak tahun 1990

telah dilepas banyak varietas padi yang berdaya produksi lebih tinggi dari varietas

(18)

Tabel 3. Pangsa Luas Tanam Padi Sawah Menurut Jenis Varietas yang Utama di Jawa, Tahun 1977-2000 (%)

Varietas PB 30 PB 36 PB 38 Semeru Cisa dane

Krueng

Aceh IR 64 Lokal Tahun pelepasan 1975 1978 1978 1980 1980 1981 1986 -Daya produksi rata-rata

(t/ha) 5,06 4,50 4,50 5,50 5,50 5,50 5,63

-Umur tanaman (hari) 108 110 115 122 135 125 111

-Rasa nasi kurang kurang kurang kurang enak enak enak -Ketahanan hama

penyakit WC WC-12 WC-1 WC-1 WC-13 WC-123 WC-12

-Total

Huruf tebal = tiga varietas utama pada tahun pengamatan. WC-123 = tahan terhadap wereng coklat biotype 1, 2 dan 3

menyebabkan lambatnya proses adopsi varietas padi yang lebih unggul adalah (Irawan

dan Hendiarto, 2002; Adnyana et al., 1997): (1) varietas padi unggul yang dilepas tidak

selalu dapat memenuhi selera pasar atau konsumen meskipun memiliki daya produksi

lebih tinggi dibanding varietas padi yang digunakan petani. Hal ini dapat disimak dari

kasus varietas Cisadane dan IR-64 dimana walaupun pada tahun 90-an banyak

dihasilkan varietas padi dengan daya produksi lebih tinggi tetapi kedua varietas tersebut

masih sangat dominan penggunaannya oleh petani karena memiliki rasa nasi yang enak

(19)

memasarkan varietas padi yang lebih unggul. Selama ini perluasan pasar benih varietas

unggul oleh produsen benih sangat tergantung kepada pelaksanaan berbagai program

intensifikasi yang dilakukan pemerintah. Dengan kata lain, jika tidak ada program

intensifikasi yang komponen paket teknologinya meliputi pula penyediaan benih varietas

tertentu maka adopsi varietas tersebut oleh petani akan sulit berkembang. (3) sektor

swasta umumnya kurang tertarik kepada kegiatan produksi dan distribusi benih padi

karena dianggap kurang menguntungkan, kecuali untuk komoditas bernilai tinggi seperti

komoditas sayuran. (4) ketiga faktor sebelumnya menyebabkan akses petani ke varietas

unggul yang telah dilepas cukup terbatas. Pada komoditas sayuran yang bernilai tinggi

aksesibilitas petani tersebut seringkali dibantu oleh para pedagang sayuran tetapi pada

komoditas padi dukungan pedagang tersebut dapat dikatakan hampir tidak pernah

terjadi.

Seperti diperlihatkan dalam Tabel 4 penggunaan varietas padi yang dilepas pada

tahun 1990-an umumnya mengalami peningkatan dan menggantikan varietas yang

dilepas pada tahun 1980-an seperti varietas Cisadane dan IR-64. Penggunaan varietas

yang dilepas pada tahun 1990-an tersebut umumnya lebih tinggi pada musim kemarau

(MK) daripada musim hujan (MH), artinya, adopsi varietas unggul oleh petani cenderung

lebih cepat pada musim tanam MK daripada MH. Jika dikaji menurut provinsi, pangsa

luas tanam varietas tahun 1990-an lebih tinggi di Jawa Barat untuk musim tanam MH

maupun MK (12,5 % dan 14,9 %) dibanding Jawa Tengah (5,3 % dan 10,7 %) dan Jawa

Timur (8,3% dan 12,7 %). Hal tersebut mengungkapkan bahwa proses adopsi varietas

padi yang lebih unggul berlangsung lebih cepat di Provinsi Jawa Barat daripada di kedua

provinsi lainnya.

Lonjakan penggunaan varietas tahun 1990 an terutama terjadi pada dua periode

yaitu : (1) pada tahun 1997 akibat introduksi varietas Membramo yang dilepas pada

tahun 1995, dan (2) pada tahun 2000 akibat introduksi varietas Way Apo Boru yang

dilepas pada tahun 1998. Meluasnya penggunaan kedua varietas tersebut umumnya

akibat pelaksanaan berbagai program peningkatan produksi padi seperti program IP

Padi-300, program PKP dan program PMI. Hal tersebut membuktikan bahwa

penyebarluasan penggunaan varietas yang lebih unggul sangat tergantung kepada

pelaksanaan program-program pemerintah. Hasil kajian Irawan et al., (2002)

mengungkapkan bahwa kedua varietas Membramo dan Way Apo Boru tersebut cukup

(20)

ton/ha) dibanding daya produksi varietas Cisadane dan IR-64 (5,50 ton/ha dan 5,63

ton/ha).

Tabel 4. Pangsa Luas Tanam Varietas Padi Sawah di Jawa Menurut Tahun Pelepasan Varietas, Provinsi dan Musim Tanam, 1996-2000 (%)

Tahun Provinsi / Musim

Tanam 1996 1997 1998 1999 2000 Rata-rata

JAWA BARAT

Musim Hujan (MH)

Tahun 90 an 1,7 13,0 6,7 11,6 29,3 12,5

Tahun 80 an 98,3 87,0 93,3 88,4 70,7 87,5

Tahun 70 an - - -

-Musim Kemarau (MK)

Tahun 90 an 7,7 12,9 2,1 15,6 36,5 14,9

Tahun 80 an 92,3 87,1 97,9 84,4 63,5 85,1

Tahun 70 an - - -

-JAWA TENGAH

Musim Hujan (MH)

Tahun 90 an 0,7 1,1 5,0 4,3 15,4 5,3

Tahun 80 an 96,9 97,4 93,9 94,8 84,3 93,5

Tahun 70 an 2,4 1,5 1,1 0,9 0,3 1,2

Musim Kemarau (MK)

Tahun 90 an 2,4 6,9 7,6 14,7 22,0 10,7

Tahun 80 an 96,3 92,5 92,0 83,0 77,7 88,3

Tahun 70 an 1,3 0,6 0,3 2,3 0,2 0,9

JAWA TIMUR

Musim Hujan (MH)

Tahun 90 an 4,8 8,4 6,6 7,7 14,1 8,3

Tahun 80 an 84,5 82,2 84,6 83,5 72,4 81,5

Tahun 70 an 10,7 9,4 8,8 8,7 13,4 10,2

Musim Kemarau (MK)

Tahun 90 an 5,8 10,1 4,3 10,8 32,5 12,7

Tahun 80 an 84,7 80,6 85,6 89,0 62,8 80,6

Tahun 70 an 9,5 9,4 6,7 0,0 4,8 6,1

Sumber : Daerah Istimewa Yogyakarta

Dinamika Produktivitas Potensial dan Mutu Usahatani Padi Sawah

Peningkatan produktivitas merupakan salah satu upaya yang ditempuh

pemerintah untuk meningkatkan produksi padi sawah. Secara teknis upaya tersebut

dilakukan dengan memperluas penggunaan varietas padi berdaya produksi lebih tinggi

dan meningkatkan mutu usahatani padi seperti cara pengolahan tanah, cara pemupukan,

cara penanaman dan sebagainya. Pada pelaksanaannya upaya tersebut dikemas dalam

berbagai program intensifikasi padi yang telah dilakukan sejak tahun 1970-an. Untuk

(21)

pendukung yang berupa penyaluran kredit bersubsidi, pengendalian harga gabah, dan

pengendalian harga sarana produksi terutama harga pupuk. Dengan kebijakan ini

diharapkan petani termotivasi untuk menerapkan paket teknologi yang diperkenalkan

melalui program intensifikasi karena keterbatasan modal petani telah diatasi dengan

pemberian kredit bersubsidi, sedangkan keuntungan usahatani tetap terjamin akibat

kebijakan pengendalian harga.

Produktivitas potensial Produktivitas aktual Indeks Mutu usahatani

Gambar 3. Perkembangan Produktivitas Potensial, Produktivitas Aktual dan Indeks Mutu Usahatani Padi Sawah di Jawa, 1977-2000

Sejalan dengan meningkatnya penggunaan varietas unggul padi yang dirangsang

oleh berbagai program intensifikasi maka produktivitas potensial padi sawah di Jawa

mengalami peningkatan (Gambar 3). Pada tahun 1977 produktivitas potensial padi

sawah masih sekitar 4,5 ton gabah/ha, kemudian naik menjadi sekitar 5,0 ton gabah/ha

pada tahun 1984 dan mencapai sekitar 6,0 ton gabah/ha pada tahun 2000. Secara

rata-rata produktivitas potensial di Jawa tersebut naik sebesar 2,08 persen per tahun selama

1977-2000 (Tabel 5). Laju pertumbuhan produktivitas potensial tersebut paling tinggi

(22)

tahun), karena adopsi varietas padi yang berdaya produksi tinggi berlangsung relatif

lambat di Jawa Timur.

Bersamaan dengan naiknya produktivitas potensial , indeks mutu usahatani padi

sawah di Jawa juga mengalami peningkatan dengan laju lebih tinggi, rata-rata sebesar

5,20 persen per tahun pada periode yang sama (Tabel 5). Pada tingkat provinsi laju

peningkatan indeks mutu usahatani juga lebih tinggi daripada laju peningkatan

produktivitas potensial. Hal tersebut mengungkapkan bahwa peningkatan produktivitas

padi sawah yang dicapai petani (produktivitas aktual) selama ini sebenarnya lebih

disebabkan oleh peningkatan mutu usahatani daripada peningkatan penggunaan

varietas unggul padi. Pada agregat Jawa sekitar 71 persen kenaikan produktivitas padi

sawah yang dicapai petani bersumber dari peningkatan mutu usahatani sedangkan

kontribusi penggunaan varietas unggul padi hanya sebesar 29 persen.

Tabel 5. Parameter Pertumbuhan Produktivitas dan Mutu Usahatani Padi Sawah Menurut Provinsi di Jawa, 1977-2000

Jawa 0,0208 (28,6) -0,0003 (12,5) 7,14 -2,11 96,0

Jabar 0,0320 (41,5) -0,0008 (32,0) 9,54 -5,28 95,1

Jateng 0,0220 (27,8) -0,0003 (11,5) 5,29 -1,49 93,2

Jatim 0,0164 (26,0) -0,0002 (9,5) 3,06 2,20 96,2

Mutu usahatani

Jawa 0,0520 (71,4) -0,0021 (87,5) 9,50 -8,30 84,5

Jabar 0,0451 (58,5) -0,0017 (68,0) 7,51 -5,98 81,7

Jateng 0,0570 (72,2) -0,0023 (88,5) 9,83 -8,61 85,3

Jatim 0,0480 (74,0) -0,0019 (90,5) 8,17 -7,70 77,6

Produktivitas aktual

Jawa 0,0729 (100) -0,0024 (100) 14,51 -10,27 96,1

Jabar 0,0769 (100) -0,0025 (100) 14,67 -10,2 96,4

Jateng 0,0790 (100) -0,0026 (100) 13,16 -9,35 95,2

Jatim 0,0630 (100) -0,0021 (100) 10,71 -7,76 92,6

Keterangan :

(1) Parameter t dan t2 diestimasi dengan menggunakan persamaan logaritma : Log(Yt ßt + µ t2 dimana Y = produktivitas atau indeks mutu usahatani,

ß,µ = parameter regresi.

(2) Angka dalam kurung menunjukkan sumbangan peningkatan produktivitas potensial dan peningkatan mutu usahatani terhadap peningkatan produktivitas aktual

Seperti diungkapkan dalam Tabel 1, sejak tahun 1981 laju peningkatan

produktivitas padi sawah yang dicapai petani di Jawa semakin kecil, dengan kata lain,

(23)

perlambatan laju pertumbuhan produktivitas tersebut dapat bersumber dari dua

fenomena yaitu : (1) melambatnya laju peningkatan mutu usahatani, dan/atau (2)

melambatnya laju peningkatan produktivitas potensial akibat melambatnya proses adopsi

varietas berdaya produksi lebih tinggi. Dalam Tabel 5 dapat disimak bahwa parameter

perlambatan laju peningkatan mutu usahatani (t2) secara umum lebih besar dibanding

parameter perlambatan produktivitas potensial, baik untuk agregat Jawa maupun

menurut provinsi. Pada agregat Jawa perlambatan laju peningkatan mutu usahatani

rata-rata sebesar 0,21 persen per tahun sedangkan perlambatan laju peningkatan

produktivitas potensial sebesar 0,03 persen per tahun. Dengan kata lain sekitar 87,5

persen perlambatan produktivitas padi sawah di Jawa disebabkan oleh laju peningkatan

mutu usahatani yang semakin lambat sedangkan 12,5 persen sisanya disebabkan oleh

penggunaan varietas unggul padi yang semakin lambat.

Fakta diatas mengungkapkan bahwa masalah mutu usahatani memiliki peranan

lebih besar terhadap perlambatan laju pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa,

dibanding masalah penggunaan varietas padi berdaya produksi lebih tinggi. Terdapat

tiga faktor yang dapat menjadi penyebab perlambatan laju peningkatan mutu usahatani

yaitu : Pertama, mutu usahatani yang dilakukan petani sudah sangat tinggi sehingga

sulit ditingkatkan lebih jauh. Fenomena ini dapat dilihat dari nilai indeks mutu usahatani di

Jawa yang sudah mencapai sekitar 90 persen sejak tahun 1981 dan relatif tetap hingga

tahun 2000 (Gambar 3). Kedua, kendala yang dihadapi petani untuk meningkatkan mutu

usahatani padi sawah semakin tinggi. Misalnya, akhir-akhir ini petani semakin sulit

mendapatkan pasokan air irigasi secara memadai akibat persaingan pemanfaatan air

dengan kebutuhan diluar pertanian dan akibat tidak terpeliharanya jaringan irigasi.

Ketiga, adanya gejala kelelahan lahan sawah akibat penanaman padi yang dilakukan

secara intensif, 2 hingga 3 kali per tahun, dan berlangsung dalam jangka waktu yang

lama.

Pingali and Rosegrant (1994) menjelaskan bahwa terdapat 4 mekanisme yang

menimbulkan kelelahan lahan pada lahan sawah akibat usahatani padi yang intensif,

yaitu: (1) meningkatnya salinitas tanah, (2) terbentuknya tanah keras dan padat, (3)

meningkatnya toksisitas tanah, dan (4) punahnya mikro-organisme pembentuk unsur N

sehingga kemampuan tanah menyediakan unsur tersebut semakin berkurang. Secara

agronomis keempat kondisi tersebut menyebabkan respon tanaman padi sawah

(24)

tanah dan gangguan hama yang meningkat karena tidak terjadi lagi pemutusan siklus

hama secara alami (Flin and De Datta, 1984).

Kajian yang dilakukan oleh IRRI dengan menggunakan data hasil percobaan

lapangan selama 1966-1990 di Philipina, India, Thailand dan Bangladesh

mengungkapkan adanya gejala kelelahan lahan tersebut pada usahatani padi sawah

(Pingali and Rosegrant, 1994). Meskipun penggunaan input ditingkatkan dan teknik

bercocok tanam atau mutu usahatani telah disempurnakan tetapi produktivitas padi

sawah per hektar tetap mengalami penurunan dalam jangka panjang. Hal tersebut

mengungkapkan bahwa produktivitas parsial input usahatani akan semakin kecil jika

telah terjadi kelelahan lahan, dengan kata lain, respon produktivitas usahatani terhadap

penggunaan masukan usahatani semakin tidak signifikan. Hasil kajian Irawan et al.,

(2003) di tiga provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan

mengungkapkan adanya gejala tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh respon produktivitas

padi sawah terhadap masukan usahatani yang jauh lebih rendah pada persil lahan

sawah yang telah ditanami padi secara intensif 2-3 kali per tahun dan dalam jangka

waktu yang lebih lama.

Produktivitas Potensial dan Mutu Usahatani Padi Sawah Menurut Musim Tanam

Tabel 6 memperlihatkan bahwa produktivitas potensial padi sawah di Jawa pada

tahun 1996-2000 rata-rata sekitar 5,67- 5,91 ton gabah per hektar menurut provinsi dan

musim tanam. Produktivitas potensial tersebut paling tinggi di provinsi Jawa Barat dan

secara umum lebih tinggi pada musim tanam MK (5,74-5,91 ton gabah per hektar)

daripada musim tanam MH (5,67-5,84 ton gabah per hektar). Kondisi demikian pada

dasarnya terjadi karena penggunaan varietas yang dilepas pada tahun 1990 an seperti

varietas Membramo dan Way Apo Boru yang memiliki daya produksi relatif tinggi, lebih

banyak digunakan petani pada musim tanam MK daripada MH. Dua faktor yang menjadi

penyebabnya yaitu : (1) kedua varietas tersebut bersifat resisten terhadap situasi

kekeringan atau suplai air yang terbatas, dan (2) kedua varietas relatif mudah rebah

karena daya pertumbuhan vegetatifnya relatif tinggi. Pada musim tanam MH

pertumbuhan vegetatif padi biasanya lebih tinggi daripada musim tanam MK, oleh karena

itu untuk menghindari rebahnya tanaman maka petani cenderung menanam varietas

Membramo dan Way Apo Boru pada musim tanam MK.

Sejalan dengan semakin luasnya penggunaan varietas Membramo dan Way

(25)

persen per tahun pada musim tanam MK dan 1,08–2,48 persen per tahun pada musim

tanam MH. Akan tetapi peningkatan produktivitas potensial tersebut tidak diikuti dengan

peningkatan produktivitas di tingkat petani pada laju peningkatan yang sama. Bahkan,

produktivitas yang diperoleh petani pada musim tanam MH maupun MK cenderung turun

di ketiga provinsi yang dikaji. Hal tersebut mengungkapkan bahwa introduksi varietas

berdaya produksi tinggi tidak selalu langsung berdampak pada peningkatan produktivitas

di tingkat petani walaupun produktivitas potensial akan meningkat. Untuk dapat

meningkatkan produktivitas petani maka introduksi varietas unggul perlu didukung

dengan peningkatan mutu usahatani agar seluruh potensi produktivitas yang terdapat

pada varietas yang ditanam dapat dieksploitasi secara maksimal.

Tabel 6. Produktivitas Potensial dan Indeks Mutu Usahatani Padi Sawah Menurut Musim Tanam dan Provinsi di Jawa, 1996-2000

menghadapi kendala yang lebih besar untuk melakukan kegiatan budidaya yang sesuai

(26)

antara 1,45 persen hingga 3,35 persen per tahun menurut provinsi dan musim tanam,

dengan kata lain, kendala petani untuk melakukan kegiatan usahatani yang sesuai

dengan kebutuhan tanaman pada akhir-akhir ini cenderung semakin besar.

Tabel 7. Frekuensi Kabupaten Menurut Tingkat Produktivitas Potensial dan Indeks Mutu Usahatani Padi Sawah Pada Musim Tanam MH dan MK di Jawa, Rata-Rata 1996-2000.

Musim tanam MH Musim tanam MK

Provinsi

Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah

Jumlah kabupaten Produktivitas potensial

Jabar 13 3 4 16 4 0

Jateng 3 3 23 9 5 15

Jatim 6 3 19 14 4 10

Total Jawa 22 9 46 39 13 25

Indeks mutu usahatani

Jabar 4 9 7 0 2 18

Jateng 21 3 5 8 6 15

Jatim 24 0 4 7 4 17

Total Jawa 49 12 16 15 12 50

Persentase kabupaten (%) Produktivitas potensial

Jabar 65,0 15,0 20,0 80,0 20,0 0,0

Jateng 10,3 10,3 79,3 31,0 17,2 51,7

Jatim 21,4 10,7 67,9 50,0 14,3 35,7

Total Jawa 28,6 11,7 59,7 50,6 16,9 32,5

Indeks mutu usahatani

Jabar 20,0 45,0 35,0 0,0 10,0 90,0

Jateng 72,4 10,3 17,2 27,6 20,7 51,7

Jatim 85,7 0,0 14,3 25,0 14,3 60,7

Total Jawa 63,6 15,6 20,8 19,5 15,6 64,9

Catatan :

1. Pengelompokkan menurut kategori dilakukan berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi (25%) dari seluruh data kabupaten dan musim tanam.

2. Kategori produktivitas potensial : Tinggi = diatas 5,81 t/ha, Rendah = dibawah 5,42 t/ha. 3. Kategori mutu usahatani : Tinggi = diatas 92 persen, Rendah = dibawah 83 persen.

Jika dikaji menurut musim tanam produktivitas potensial umumnya lebih tinggi

pada MK daripada MH, sebaliknya, mutu usahatani lebih tinggi pada MH dibanding MK.

Kajian dengan menggunakan data per kabupaten menghasilkan kesimpulan yang sama

seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 7. Sebagian besar kabupaten di Jawa (59,7%)

memiliki produktivitas potensial yang tergolong rendah pada musim tanam MH,

sebaliknya, pada musim tanam MK sebagian besar kabupaten (64,9%) memiliki mutu

usahatani tergolong rendah. Hal tersebut mengungkapkan bahwa permasalahan yang

(27)

musim tanam dimana masalah mutu usahatani yang rendah lebih dominan pada musim

tanam MK sedangkan masalah produktivitas potensial yang rendah lebih dominan pada

musim tanam MH.

Mengacu pada kedua temuan diatas maka upaya peningkatan produktivitas padi

yang ditempuh melalui introduksi varietas berdaya produksi lebih tinggi seyogyanya lebih

diutamakan pada musim tanam MH. Secara regional upaya tersebut sebaiknya

diutamakan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur mengingat sebagian besar

kabupaten di kedua provinsi tersebut memiliki produktivitas potensial yang tergolong

rendah pada musim tanam MH. Sementara itu upaya peningkatan mutu usahatani akan

lebih efektif jika diprioritas pada musim tanam MK mengingat sebagian besar kabupaten

di ketiga provinsi di Jawa memiliki mutu usahatani yang rendah pada musim tanam MK.

Pada musim tanam MK tersebut introduksi varietas unggul yang berdaya produksi lebih

tinggi belum tentu efektif untuk meningkatkan produktivitas yang dicapai petani

mengingat masalah yang dihadapi petani sebenarnya terletak pada mutu usahatani yang

rendah, bukan pada penggunaan varietas yang berdaya produksi rendah.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN

Selama 1972-2000 produktivitas padi sawah di Jawa mengalami peningkatan

tetapi dengan laju peningkatan yang semakin lambat. Dengan kata lain, laju

pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa mengalami perlambatan. Pada periode

1996-2000 produktivitas padi sawah di Jawa bahkan turun rata-rata sebesar 0,20 persen

per tahun. Sementara itu variabilitas produktivitas padi sawah akhir-akhir ini cenderung

naik, hal ini menunjukkan bahwa ketidakpastian produktivitas padi sawah di Jawa

semakin tinggi.

Sekitar 87 persen perlambatan laju pertumbuhan produktivitas padi sawah di

Jawa disebabkan oleh laju peningkatan mutu usahatani yang semakin lambat dan 23

persen terjadi akibat penggunaan varietas unggul padi yang berlangsung dengan lambat.

Sedangkan perlambatan laju peningkatan mutu usahatani dapat terjadi karena mutu

usahatani yang dilakukan petani sudah cukup tinggi sehingga sulit ditingkatkan lebih

jauh. Disamping itu perlambatan laju pertumbuhan produktivitas juga dapat disebabkan

(28)

Mutu usahatani yang relatif rendah umumnya terjadi pada musim tanam MK,

sebaliknya produktivitas potensial yang rendah terjadi pada musim tanam MH. Hal ini

mengungkapkan bahwa dalam rangka efisiensi upaya peningkatan produktivitas padi

sawah maka pendekatan yang ditempuh seyogyanya dilakukan secara selektif menurut

musim tanam dimana upaya introduksi varietas unggul lebih diutamakan pada musim

tanam MH sedangkan upaya peningkatan mutu usahatani diutamakan pada musim

tanam MK. Dikotomi pendekatan juga diperlukan menurut daerah sentra produksi dan

daerah lainnya, sesuai dengan permasalahan spesifik yang dihadapi di masing-masing

daerah untuk meningkatkan produktivitas padi sawah.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Perlambatan laju pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa dapat

menimbulkan masalah pangan di masa yang akan datang karena Jawa merupakan

penyumbang terbesar produksi padi sawah secara nasional dan sebagian besar

peningkatan produksi padi sawah tersebut bersumber dari peningkatan produktivitas

usahatani. Untuk memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat sebagian kebutuhan

beras memang dapat dipenuhi melalui impor tetapi kebijakan tersebut dapat merugikan

stabilitas ketahanan pangan nasional karena pasar internasional beras memiliki

variabilitas tinggi. Dalam rangka mengantisipasi perlambatan laju pertumbuhan

produktivitas padi sawah di Jawa maka diperlukan beberapa kebijakan yang dapat

diuraikan sebagai berikut :

(1) Dalam jangka panjang kebijakan kedepan perlu diarahkan untuk menggeser sentra

produksi padi dari Jawa ke luar Jawa. Kebijakan ini diperlukan mengingat peluang

peningkatan produksi padi sawah di Jawa, baik melalui peningkatan luas panen

maupun peningkatan produktivitas usahatani, semakin terbatas. Peningkatan luas

panen terkendala oleh konversi lahan sawah yang cenderung meningkat dan

kegiatan pencetakan sawah yang semakin terbatas. Sedangkan peningkatan

produktivitas terkendala oleh mutu usahatani yang relatif tinggi sehingga cukup sulit

untuk ditingkatkan lebih jauh.

(2) Dalam rangka efisiensi upaya peningkatan produksi padi diperlukan kebijakan

spesifik antara daerah Jawa dan luar Jawa. Dikotomi kebijakan juga diperlukan

antara daerah sentra produksi dan daerah penyangga produksi padi. Sesuai dengan

peluang yang tersedia upaya peningkatan produksi padi lebih diprioritaskan di daerah

(29)

Jawa lebih diarahkan untuk mempertahankan tingkat produksi yang sudah dicapai. Di

daerah tersebut upaya peningkatan produksi lebih lanjut yang dapat ditempuh melalui

intensifikasi pemanfaatan lahan dan penggunaan masukan usahatani perlu dihindari

karena dapat mempercepat terjadinya kelelahan lahan.

(3) Selama ini pengendalian harga gabah merupakan salah satu instrumen kebijakan

yang diterapkan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas padi melalui

peningkatan mutu usahatani. Di masa kedepan kebijakan tersebut kurang efektif

karena mutu usahatani padi sawah yang dilakukan petani semakin sulit ditingkatkan

lebih jauh, terutama di daerah sentra produksi. Berdasarkan hal tersebut maka dana

subsidi pengendalian harga gabah sebaiknya dialihkan ke pembangunan jaringan

irigasi dan pencetakan sawah baru khususnya di luar Jawa. Pembangunan jaringan

irigasi sangat dibutuhkan untuk mengurangi kendala yang dihadapi petani dalam

rangka meningkatkan mutu usahatani.

(4) Di daerah penyangga produksi padi dan di luar Jawa peningkatan mutu usahatani

dapat ditempuh melalui diseminasi teknologi usahatani yang sudah dikembangkan

dewasa ini. Tetapi untuk daerah sentra produksi dan di Jawa diperlukan

penyempurnaan teknologi usahatani yang pada intinya ditujukan untuk

mengantisipasi gejala kelelahan lahan. Salah satu teknologi yang antisipatif terhadap

gejala kelelahan lahan tersebut adalah teknologi pemupukan berimbang yang

diantaranya menekankan penggunaan pupuk kandang. Dalam rangka diseminasi

teknologi tersebut perlu dirumuskan pedoman pemupukan berimbang yang bersifat

spesifik lokasi. Pedoman pemupukan tersebut perlu direvisi secara periodik 5-7 tahun

sekali untuk mengantisipasi perubahan keseimbangan unsur hara yang disebabkan

oleh kegiatan usahatani yang dilakukan petani. Dalam kaitan ini perdagangan pupuk

majemuk juga perlu lebih dikendalikan untuk menghindari kesulitan petani dalam

melakukan pemupukan secara berimbang, sesuai dengan pedoman pemupukan

yang telah dirumuskan.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana M.O, Sulaiman. F, Hurun A. M, Siregar M, Rachman B. 1997. Pengembangan Sistem Perbenihan Nasional. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.

(30)

Badan Pusat Statistik (BPS). 1999. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Konsumsi Kalori dan Protein Rumah Tangga. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2001. Statistik Penggunaan Lahan di Jawa dan Luar Jawa. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Byerlee D. 1993. Modern Varieties, Productivity and Sustainability : Recent Experiences and Emerging Challenges. Proceedings of the XXII Conference of the International Association of Agricultural Economists. Harare, 22-29 August.

De Datta S.K, Gomez K.A, Herdt R.W and Barker R. 1987. A Handbook on the Methodology for an Integrated Experiment-Survey on Rice Yield Constraints. The International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines.

De Datta S.K, Gomez K.A and Descalsota J.P. 1988. Changes in yield response to major nutrients and soil fertility under intensive rice cropping. Soil Science 146, 350-358.

Dey M.M and Hossain M. 1995. Yield potentials and modern rice varieties : an assessment of technological constraints to increase rice production. In : Proceedings of the Final Workshop of the Projections and Policy Implications of Medium and Long-term Rice Supply and Demand Project. Beijing, China, 23-26 April 1995.

Djunainah. 1993. Deskripsi Varietas Unggul Padi 1943 - 1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Gomez R. 1998. Climate-Related Risk in Agriculture. A note prepared for the IPCC Expert Meeting on Risk Management Methods. Toronto, 29 April – 1 May 1998.

Herdt R.W and Capule C. 1983. Adoption, Spread and Production Impact of Modern Rice Varieties in Asia. The International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines.

Irawan B. 2002. Stabilization of Upland Agriculture Under El Nino-Induced Climatic Risk: Impact Assessment and Mitigation Measures in Indonesia. CGPRT Centre Working Paper No. 62.

Irawan B. dan Hendiarto. 2002. Analisis Kebijakan Investasi Pertanian. Didalam: Sudaryanto T (eds). Analisis Kebijakan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agro Industri. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor.

Irawan B. 2002. Kebijakan Penanggulangan Krisis Ekonomi dan Konsekuensinya Terhadap Peluang Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, SOCA , Vol.2 No.2. Juli 2002. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

(31)

Pingali P.L, Hossain M and Gerpacio R.V. 1997. Asian Rice Bowls : The Returning Crisis International Rice Research Institute (IRRI). Manila, The Philippines.

Sudaryanto T, Hermanto, Pasandaran, E and Rosegrant M.W. 1992. Food situation and outlook for Indonesia. International Food Policy Research Institute in collaboration with Center for Agro-Socio Economic Research, Bogor. Indonesia.

Sunihardi. 1999. Deskripsi Varietas Unggul Padi dan Palawija 1993 - 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

(32)

Lampiran 1. Varietas padi sawah yang digunakan petani di Jawa menurut provinsi selama Tahun 1996-2000

Daya produksi (t/ha) Provinsi Varietas Tahun

pelepasan Rasa nasi Minimal Maksimal Jabar Jateng Jatim

Adil 1976 kurang 5.00 6.00 0 1 0

Atomita1 1982 enak 4.50 5.00 1 1 0

Atomita2 1983 sedang 4.50 5.50 0 1 0

Atomita4 1991 enak 5.00 7.00 0 1 1

Ayung 1980 enak 4.50 5.50 0 1 0

Barito 1981 enak 4.50 5.00 0 1 0

Barumun 1991 kurang 5.00 6.00 0 0 1

Batang Anai 1996 kurang 4.50 10.00 0 1 0

Bengawan Solo 1993 enak 4.50 5.00 1 1 0

C22 1989 kurang 2.62 3.38 0 1 0

Cibodas 1995 sedang 6.03 7.77 1 1 1

Cikapundung 1984 enak 4.50 5.00 1 1 0

Cilamaya Muncul 1996 enak 5.00 6.00 1 1 0

Ciliwung 1988 enak 4.50 5.50 1 1 0

Cilosari 1996 enak 5.00 6.50 0 1 1

Cimandiri 1980 enak 3.50 4.50 0 1 0

Cipunagara 1981 enak 4.50 5.00 1 1 1

Cisadane 1980 enak 4.50 5.50 1 1 1

Cisanggarung 1985 enak 5.00 6.00 1 1 0

Cisokan 1985 kurang 4.50 5.00 0 0 1

Citanduy 1983 sedang 4.00 5.00 0 1 0

Digul 1996 kurang 5.00 7.00 0 0 1

Dodokan 1987 enak 4.46 5.74 1 1 1

Gemar 1976 sedang 4.50 5.50 0 1 0

IR-36 1978 kurang 4.00 4.50 0 1 1

Kelara 1983 kurang 4.00 5.00 0 1 0

Krueng Aceh 1981 enak 4.50 5.50 0 1 1

Lusi 1989 ketan 4.00 5.00 1 1 1

Maros 1996 enak 4.50 9.00 1 1 1

Membramo 1995 enak 5.68 7.32 1 1 1

PB38 1978 kurang 4.00 4.50 0 1 0

Pb56 1983 kurang 4.00 4.50 0 1 0

Semeru 1980 kurang 4.50 5.50 0 1 1

Walanai 1989 sedang 4.37 5.63 1 0 1

Way Apoboru 1998 enak 5.00 8.00 1 1 1

Way Seputih 1989 enak 4.37 5.63 1 1 1

Widas 1999 enak 5.00 7.00 0 1 1

Gambar

Gambar 1.Konsep Senjang Produktivitas Tanaman Padi Antara Produktivitas Hasil Penelitian dan Produktivitas di Tingkat Petani
Gambar 2.   Dinamika Produktivitas, Variabilitas dan Koefisien Variasi Produktivitas
Tabel 1.Rata-rata Produktivitas Padi Sawah, Laju Pertumbuhan Produktivitas, Variabilitas dan Koefisien Variasi Produktivitas Antar Kabupaten di Jawa, 1972-2000
Tabel 2.    Deskripsi Varietas Padi Sawah Dataran Rendah yang Dilepas Hingga Tahun 2001
+7

Referensi

Dokumen terkait

pembelajaran dan multimedia yang akan digunakan dalam pakej parisian Siri lndeks AI-Quran ini, penilaian mengenai salah satu daripada parisian yang sudah

Kata Kunci: Cerita Rakyat, Adventure Game, Unity3D, Buaya Ajaib Sungai Tami, Asal Mula Telaga Biru, Asal Mula Anak Sungai Mahakam, Asal Mula Danau Toba, Timun

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris apakah ukuran KAP, opini audit, pergantian manajemen, masalah keuangan perusahaan ( financial distress ), dan

Dengan diumumkannya PEMENANG kepada peserta lelang diberikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan, apabila masih terdapat kesalahan di dalam penetapan pemenang

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif pada kriteria Green Building berdasarkan perangkat penilaian Greenship untuk Bangunan Baru Versi 1.2

penelitian ini dilakukan pengujian kekuatan geser restorasi resin komposit pada email gigi tetap setelah aplikasi asam fosfat 37% dengan durasi 5, 15 dan 25 detik. Alasan

Biarpun proses penjajahan ini tidak berlaku secara langsung seperti di negara-negara Tanah Melayu yang dijajah melalui perjanjian penyerahan negara atau negeri oleh golongan raja

They glanced at Susannah and looked a bit longer at Jake (his youth apparently more interesting to them than her dark skin), but it was clearly Roland they had come to see;