• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN DAN METODOLO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN DAN METODOLO"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN DAN METODOLOGI PEMBELAJARAN ISLAM AL-ZARNUJI DENGAN PENDIDIKAN MASA KINI

(Telaah Terhadap Kitab Ta’lim al-Muta’allim)

Mohamad Samsudin

ABSTRACT

This study aims of this research is the first, to know the concept of education and learning methodologies in the classic book Ta‟lim al- Muta'allim by al-Zarnûjî; second, to determine the relevance of the concept of education and learning methodologies in the classic book Ta‟lim al- Muta'allim by al-Zarnûjî with education today. To achieve these objectives, the authors used the library research technical that using materials written that have been published in books form. This study uses a philosophical approach, historical, and sociological. This is done because this study with respect to the educational concept of a character who lives in a certain period of time and circumstances. The results showed that al-Zarnûjî seems to try to provide a solution how to create an education that not only focused on earthly life, but also oriented to the afterlife. Thus, the concept of Islamic education in the Ta‟lim al- Muta'allim by al-Zarnûjî is still relevant applied in education today. It is based on the moisture content of the book which is based on the Qur'an and the Hadith based on religious morality (moral) values and education in general, while the Indonesian society is a religious society. In addition, many aspects of the character described by al-Zarnûjî in his book is a powerful therapy to dispel growing demoralization teens terrific result of modernization and globalization.

PENDAHULUAN

Persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan. Selama manusia ada, maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah dan direkonstruksi dari waktu ke waktu, baik dalam arti makro seperti kebijakan pendidikan, politik pendidikan, maupun dalam arti mikro, seperti tujuan, metode, pendidik dan pelajar, baik konsep filosofinya maupun tataran praktiknya. Perkembangan yang cepat sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi, bagaimanapun juga mempengaruhi terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan proses peningkatan kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran praktiknya. Apalagi kalau dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem pendidikan sebenarnya berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosofis pendidikannya, sehingga kajian-kajian mengenai konsep pendidikan yang dilontarkan para ahli merupakan keharusan.

Pendidikan adalah sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Kedua pemetaan tersebut tidak terlepas dari permasalahan apabila dilihat dari realitas pendidikan itu sendiri. Begitu pula pendidikan nasional yang masih banyak memerlukan pembenahan, baik pada aspek internal maupun eksternal. Berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah menjadikan pendidikan sebagai jasa komoditas yang dapat diakses oleh masyarakat (pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja. Di sisi lain, kehidupan sosial yang berlandaskan sekularisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh) dan materialistik (money oriented) sehingga mengakibatkan motif penyelenggara dan pengenyam pendidikan saat ini lebih bertujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk akhlak mulia). Selain daripada itu, kehidupan politik yang oportunistik telah membentuk karakter politikus Machiavelis (melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan) di kalangan eksekutif dan legislatif termasuk dalam merumuskan kebijakan pendidikan di Indonesia.

Dalam kaitannya pendidikan sebagai suatu sistem, permasalahannya pun terus berkembang, seperti: 1). Keterbatasan eksesibilitas dan daya tampung; 2). Kerusakan sarana/prasarana ruang kelas; 3). Kekurangan jumlah tenaga guru; 4). Kinerja dan kesejahteraan guru belum optimal; 5). Proses

Mohamad Samsudin, lahir di Kediri 18 Maret 1974. Lulus S1 dari STAI Darul Qalam Tangerang dan S2 dari

(2)

pembelajaran yang konvensional; 6). Jumlah dan mutu buku yang belum memadai; 7). Otonomi pendidikan; 8). Keterbatasan anggaran; 9). Mutu SDM pengelola pendidikan; 10). Life skill yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan; 11). Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan; dan 12). Kurangnya menjalin kemitraan dengan dunia industri. Permasalahan tersebut perlu mendapatkan solusi yang cepat apabila tidak ingin negara ini berkubang dalam keterpurukan mutu pendidikan. Ditambah lagi dengan pesatnya arus teknologi informasi, khususnya internet, yang ternyata mampu menggeser paradigma pendidikan. Selain itu, hal lain yang mempercepat pergeseran paradigma pendidikan adalah kompetisi bebas, free trade dan hilangnya monopoli.1

Beberapa konsekuensi logis percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang selama ini berjalan antara lain adalah sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal yang konvensional. Akan tetapi, sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence (distributed knowledge). 2 Fungsi guru/dosen/lembaga pendidikan akhirnya beralih dari sebuah sumber pengetahuan menjadi mediator dari ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran yang sifatnya konsensus bersama. Pemahaman akan sebuah konsep akan dilakukan secara bersama pula. Guru tidak lagi dapat memaksakan pandangan dan kehendaknya karena mungkin para murid memiliki pengetahuan yang lebih dari informasi yang mereka peroleh selama ini. Di sinilah peserta didik kehilangan figur panutan dan pembimbing dalam membentuk akhlak mulia.

Dalam amanat pembukaan UUD 1945 yang menerangkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya institusi Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sampai saat ini, pendidikan nasional masih belum bisa menciptakan pendidikan yang bisa menanamkan konsep-konsep pencerahan, kepekaan sosial, serta rasa memiliki terhadap tanah air. Konteks pendidikan saat ini masih didominasi oleh konstruksi pemikiran yang sangat pragmatis dari dunia pendidikan, dimana orientasi untuk belajar ialah untuk mencari sebuah pekerjaan yang layak. Sekolah dianggap sebagai sebuah formalitas dan rutinitas yang harus dipenuhi untuk mendapatkan secarik kertas yang dinamakan ijazah. Tujuan pendidikan sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-undang Pendidikan tidak semua diukur menjadi indikator kesuksesannya. Contoh, pada salah satu tujuan pendidikan itu disebutkan bahwa kecerdasan spiritual itu harus dikembangkan, bahkan dalam hal itulah yang menjadi dasar dari semuanya. Akan tetapi, untuk naik kelas atau lulus ujian, kecerdasan spiritual itu tidak menjadi penentu sehingga salah satu indikator dalam tujuan pendidikan, yaitu kecerdasan spiritual tadi tidak dihitung. Yang dihitung malahan nilai hasil belajar matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris dengan rata-rata tertentu. Berawal dari permasalahan pendidikan tersebut perlu kiranya adanya kajian tentang konsep pendidikan yang komprehensif yang telah ditulis oleh para pakar pendidikan Islam.

Dalam konteks Islam, salah satu misi sentral Nabi Muhammad SAW adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang benar-benar utuh, tidak hanya secara jasmaniah tetapi juga secara batiniah. Peningkatan kualitas sumber daya manusia itu dilaksanakan dalam keselarasan dengan tujuan misi profetis nabi, yakni untuk mendidik manusia, memimpin mereka ke jalan Allah SWT, dan mengajarkan kepada mereka untuk menegakkan masyarakat yang adil, sehat, harmonis, sejahtera secara material maupun spiritual. Nabi Muhammad SAW diutus untuk mengembangkan kualitas kehidupan manusia, menyucikan moral mereka, dan membekali mereka dengan bekal-bekal untuk menghadapi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.3 Amanat kenabian ini secara terus-menerus diemban oleh para sahabat Nabi sampai generasi berikutnya sebagai waratsatul anbiyâ‟ (pewaris para nabi).

Dari abad ke abad tidak satu masa pun yang kosong dari kehadiran para cendekiawan muslim yang memberikan penyegaran dan pembaharuan pemikiran keilmuan demi eksistensi manusia sebagai khalîfah

1

Veithzal Rivai dan Sylviana Murni, Education Management, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 30-34. 2

Veithzal Rivai dan Sylviana Murni, Education Management, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 48.

3

(3)

fil ardh.4 Sampailah pada masa keemasan Islam pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah pada abad ketujuh Masehi tepatnya di masa Khalifah al-Manshûr5 (136-158 H./753-774 M.) dan sampai masa

al-Ma‟mûn6

(198-218 H./813-833 M.) hingga masa-masa sesudahnya sampai akhir abad kesepuluh Masehi. Dengan penerjemahan buku-buku asing (Yunani dan Persia) secara besar-besaran sehingga ilmu pengetahuan semakin meluas di tangan kaum muslimin. 7 Hasan Langgulung dalam hal ini menginformasikan seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa diantara ciri-ciri terpenting yang memberikan keunikan pendidikan Islam sepanjang periode ini adalah terlibatnya ulama-ulama Islam menulis tentang judul pendidikan dan pengajaran secara meluas dan mendalam yang menunjukkan keprihatinan khusus dalam hal ini.8 Pengarang yang pertama-tama sekali dalam hal ini adalah Ibn Shahnûn9 pada abad ketiga Hijriyah, al-Qâbisî10 pada abad keempat Hijriyah dan banyak lagi yang lainnya, dan yang paling terkenal adalah Ibn Miskawaih11 dan al-Ghazâlî12 pada abad keenam Hijriyah serta al-Zarnûjî 13 (wafat 591 H.) yang telah menulis kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim Tharîq at-Ta'allum.14 Kemudian pada abad kedelapan Ibn Khaldûn15 dengan kitab al-Muqaddimah-nya.

Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengungkapkan kembali konsep pendidikan serta metodologi pembelajaran al-Zarnûjî dalam Kitab Ta‟lîm Al-Mut‟allim-nya, mengingat pendidikan tidak

4

Kata khalifah berasal dari fi‟il mâdhî khalafayang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Lihat Ibnu Manzur al-Anshari, Lisân al-„Arab, (Beirut-Libnan: Dâr at-Tâtsî al-„Arabî, 771 H.), Jilid IX, h. 171-172. Bila pengertian ini ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinya adalah lebih cenderung pada pengertian mengganti, yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain.

5Nama lengkapnya adalah Abû Ja‟far al-Manshûr, khalifah kedua setelah Abû al-Abbâs as-Safah (pendiri Dinasti Abbasiyah). Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet ke-14, h. 50-52.

6

Nama lengkapnya adalah Abdullâh Abû al-Abbâs al-Mamûn Ibn Hârûn ar-Rasyîd. Ia lahir pada 15 Rabiul Awal tahun 170 H/786 M. Pemerintahannya menandai kemajuan yang sangat hebat dalam sejarah Islam. Selama lebih kurang 21 tahun masa kepemimpinannya, ia mampu meninggalkan warisan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga. Kemajuan itu meliputi aspek ilmu pengetahuan, seperti matematika, astronomi, kedokteran dan filsafat. Lihat Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), cet. ke-1, h. 57.

7

Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD PRESS, 2005), h. 105. 8

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke-3, h. 108.

9

Nama lengkapnya Muhammad ibn „Abd as-Salâm ibn Shahnûn al-Tanâwukhî al-Qirâwanî lahir di Qairawan, Tunisia daerah Afrika Utara pada tahun 202 H/802 M. dan wafat pada tahun 256 H /856 M. Ia terkenal sebagai ulama pendidikan Islam dan menulis buku Adab al-Muta‟allimîn. Lihat Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), cet. ke-1, h. 54.

10

Nama aslinya adalah Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Khalaf al-Ma‟ârifî al-Qâbisî (324-403 H/936-1012 M.) lahir di Kairawan, Tunisia (wilayah Maghribi, Afrika Utara) pada hari Senin bulan Rajab, tahun 324 H. bertepatan dengan 13 Mei 936 M. sedangkan wafat pada tanggal 03 Rabi‟ul Awal 403 H. bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1012 M. Al- Qâbisî menjadi ulama ulung dalam bidang fikih dan hadits. Adapun dalam bidang ilmu pendidikan, ia mengarang kitab ar-Risâlah al-Mufâshalah li Ahwâl al-Muta‟allimîn wa Ahkam al-Mu‟allimîn wal Muta‟allimîn. Lihat Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), cet. ke-1, h. 97.

11

Nama lengkapnya adalah Abû Alî Ahmad ibn Muhammad ibn Ya‟qûb Miskawaih, lahir di Ray (sekarang Teheran), Iran pada tahun 325H./934 M. dan meninggal pada tahun 421 H./1030 M., ia terkenal sebagai ahli kimia, sejarah, filsafat, kedokteran, dan sastra serta terkenal juga dengan gelar al-Kazin. Karya tulisnya tentang pendidikan akhlak (moral/etika) yang dimuat dalam kitabnya Tartîb as-Sa‟âdah, Jawîdan Khirâd, dan Tahdzîbul Akhlâq. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), Cet. ke-3, h. 162.

12

Nama lengkapnya Abû Hâmid ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî at-Thûsî, lahir di Thabiran, Khurasan pada 450 H./1058 M. Perjalanan ilmiahnya yang luas mengantarkannya menjadi seorang ahli fikih, theologi, filsafat dan tasawuf. Al-Ghazâlî wafat di Khurasan pada 505 H./1111 M. dengan meninggalkan sekitar 200 karya tulis yang terdiri dari beberapa disiplin ilmu. Lihat Khairudin az-Ziriklî, al-A‟lâm , (Beirut: Dâr al-„Ilmi li al-Malâyîn, 1990), Jilid VII, h. 22.

13

Beliau adalah Burhân ad-Dîn Ibrâhîm al-Zarnûjî al-Hanafî. Wafat pada tahun 610 H. dan merupakan salah satu murid dari Syaikh Burhân ad-Dîn al-Farghânî pengarang kitab al-Hidâyah. Lihat Haji Khâlifah, Kasyf azh-Zhunnûn „An Asmâ‟i al-Kutub wa al-Funûn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994 M/1414 H.), Jilid. 5, h. 15. Lihat juga „Umar Ridhâ Kahhalah, Mu‟jam al

-Mu‟allifîn:Tarâjim Mushannif al-Kutub al-„Arabiyyah, (Beirut:Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1957), Jilid 3, h. 43.

14

Nama kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim Thariq al-Ta'allum karya az-Zarnûji dan selanjutnya disebut Ta‟lîm al-Muta‟allim. Tentang perihal kitab ini dan latar belakang penyusunannya bisa dilihat pada bab selanjutnya dalam penelitian ini.

15

(4)

diartikan mengubah potensi dasar manusia tetapi mengkondisikan agar pemberdayaan potensi dasar manusia dan masyarakat itu menjadi lebih mengalami peningkatan kualitas dan adaptif terhadap perkembangan lingkungan. Potensi yang perlu dikembangkan adalah potensi metodologik yang lebih bermakna dalam mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam kitab Ta‟lîm al-Mut‟allim inilah konsep pendidikan dan metodologi pembelajaran dibahas secara komprehensif.

Kitab Ta‟lîm al-Mut‟allim, karya al-Zarnûjî merupakan kitab yang erat kaitannya dengan pendidikan. Di antara pembahasannya menguraikan tentang metodologi pembelajaran, yang menurut

syaikh Ibrâhîm ibn Ismâ‟îl16

, telah dipelajari dan diterapkan dalam dunia pendidikan saat itu serta mendapat tempat yang cukup baik di kalangan para penuntut ilmu maupun para pendidik, yang tinggal di lingkungan raja pada masa pemerintahan Murâd Khân ibn Salîm Khân17 abad XIV Masehi di Turki.18 Menurut Nurcholish Madjid kitab Ta‟lîm al-Mut‟allim karya syaikh al-Zarnûjî merupakan salah satu kitab dari sekian kitab yang sangat mengedepankan adab dan sikap yang harus dimiliki oleh santri sehingga akan mempengaruhi dan melahirkan hubungan yang harmonis antara kiai19 dan santri20. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa setiap santri diharapkan memenuhi tuntutan kitab itu dalam sikapnya terhadap kiai. Hal ini karena dalam kitab tersebut mengajarkan tentang gambaran yang sangat ideal antara ketaatan murid terhadap gurunya.21 Keistimewaan Kitab Ta‟lîm Al-Mut‟allim tersebut terletak pada materi yang dikandungnya. Sekalipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan hanya membicarakan metode belajar, namun sebenarnya kitab tersebut juga membahas tentang tujuan belajar, prinsip belajar, strategi belajar, dan lain sebagainya yang secara keseluruhan didasarkan pada moral religius.22 S.M. Ziauddin Alavi mengatakan bahwa al-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm al-Mut‟allim menganalisa secara jelas tentang pengertian dan cakupan pendidikan yang diikuti dengan pembahasan tentang hakekat ilmu pengetahuan, pemilihan ilmu pengetahuan, waktu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, garis-garis besar petunjuk bagi pengajaran para siswa permulaan, hubungan dengan Tuhan dan tingkah laku (akhlak) yang baik.23

Pergeseran waktu merupakan bagian yang ikut menentukan terjadinya perubahan. Perubahan zaman, tanpa dapat dipungkiri ternyata memberikan pengaruh yang begitu besar bagi pola hidup dan kehidupan manusia yang berada pada putaran zaman itu sendiri. Di era globalisasi saat ini pernyataan tersebut tampak nyata ketika melihat sisi-sisi tertentu dalam kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan misalnya, secara nyata ikut menggambarkan adanya perubahan yang begitu pesat, dan itu mengarah kepada hal yang positif walaupun terkadang menyimpan dampak negatif apabila manusianya tidak mampu merespon perubahan tersebut dengan bijaksana. Globalisasi ternyata mengubah nilai, sikap, dan pandangan hidup manusia. Nilai kebendaan (materialistis) menjadi ukuran dalam mengambil sikap dan pandangan hidupnya. Segala sesuatu yang baru selalu disenangi karena menurut sebagian orang bahwa yang baru adalah modern, sementara yang lama akan segera ditinggalkan karena dianggap kolot dan ketinggalan zaman.

16

Beliau adalah salah seorang ulama yang mensyarah (memberikan komentar) terhadap kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim al-Zarnûjî.

17

Murâd Khân (761-791 H./1360-1389 M.) adalah merupakan penguasa ke-3 dari dinasti Usmani dan merupakan penguasa pertama yang menaklukkan daratan Eropa. Lihat J.H. Kramers “Murad I”, dalam C.E. Bosworth, dkk. (ed.), Ensiklopedia of Islam, WebCD Edition, (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003.

18 J.H. Kramers “Murad I”, dalam C.E. Bosworth, dkk. (ed.),

Ensiklopedia of Islam, WebCD Edition, (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).

19Kata “kiai” berarti sebutan bagi alim ulama (khususnya dalam agama Islam) dan benda-benda bertuah. Kata “kiai” tidak saja berarti tua (yang kebetulan semakna dengan kata “syaikh” dalam bahasa Arab), tetapi juga berarti sakral, keramat, dan sakti. Lihat juga Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. ke-1, h. 20.

20Kata “santri” berasal dari bahasa Tamil yang berarti

guru ngaji. Sumber lain menyebutkan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa India “shastri‟ dari akar kata “shastra” yang berarti buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini santri berarti pengikut kiai sebagai muridnya atau penuntut ilmu agam. Lihat Zamaksyari Dofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1995), h. 18.

21

Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. ke-1, h. 24. 22

Muh. Abdul Mukti, Kualitas Hadits-hadits dalam Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim Tharîq al-Ta'allum karya az-Zarnûji , (Jakarta: PPS UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 5. Merupakan tesis.

23

(5)

Gejala-gejala tersebut dapat ditemukan tatkala melihat perilaku kehidupan anak-anak usia remaja yang notabene kondisi mentalnya masih labil sehingga amat mudah menerima pengaruh dan mengikuti perubahan tanpa mengadakan penyaringan terlebih dahulu. Pada akhirnya mereka sering mengikuti pola-pola kehidupan yang dibawa oleh arus informasi dan teknologi secara membabi buta tanpa memperhitungkan dampak yang diakibatkannya. Dampak kemajuan ilmu pengetahuan sedikit demi sedikit mengarahkan mereka kepada sikap mengagungkan kecemerlangan rasio yang pada akhirnya merobek nilai idealisme-humanisme. Sikap materialistis yang mengarah kepada konsep hedonisme secara bertahap akan menghapus aspek-aspek etika religius dan mengikis dinding moralitas dan humanisme. Akibat dari semua itu akan muncul ragam demoralitas seperti: tawuran antar pelajar, seks bebas, kriminalisasi di berbagai lingkungan, kebohongan, korupsi, dan lain sebagainya. Dan yang lebih menyedihkan adalah apabila hal tersebut malah dijumpai di dunia pendidikan.

Jika demikian kondisinya, pendidikan kita selama ini gagal menampilkan fungsi-fungsi sosialnya saat dituntut membantu menyelesaikan berbagai persoalan moralitas bangsa ini. Walaupun perbaikan di dunia pendidikan semakin nyata, baik dalam aspek manajemen, kurikulum, metode pembelajaran maupun sarana dan prasarananya tetapi output yang dihasilkan masih jauh dari yang diharapkan, terutama aspek moralitas. Hal inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengkaji konsep pendidikan yang terdapat dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim, sekaligus menelusuri aspek mana yang masih relevan dengan pendidikan masa kini.

Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan dan mencermati latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep pendidikan dan metodologi pembelajaran al-Zarnûjî yang terdapat dalam

kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim?

b. Adakah relevansi antara konsep pendidikan dan metodologi pembelajaran al-Zarnûjî yang

terdapat dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim dengan pendidikan masa kini?

Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian ini, sebagaimana yang dikemukakan dalam rumusan masalah sebelumnya adalah:

a. Untuk mengetahui konsep pendidikan dan metodologi pembelajaran al-Zarnûjî yang terdapat

dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim

b. Untuk mengetahui relevansi antara konsep pendidikan dan metodologi pembelajaran al-Zarnûjî

yang terdapat dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim dengan pendidikan masa kini

Metodologi Penelitian

(6)

suatu gagasan dan mencari hubungan antara satu masalah sosial dengan masalah sosial lainnya, termasuk masalah di dunia pendidikan masa kini.

KAJIAN TEORI

A. Pendidikan Islam dalam Perspektif Al-Qur’an

Al-Qur'an adalah kitab suci agama Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, berisikan pedoman dan petunjuk bagi manusia dalam menata kehidupan mereka untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mencapai fungsi tersebut, Al-Qur'an tidak hanya menyebutkan dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Tuhan sebagai khaliknya yang wajib disembah, maupun sebagai integrasinya dalam hubungan sesama manusia saja, akan tetapi lebih jauh lagi tentang hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi.24 Al-Qur'an merupakan kitab Allah SWT yang berisikan petunjuk dan pedoman keagamaan, namun kandungannya tidak hanya di bidang keagamaan saja, tetapi juga menghimpun bermacam-macam persoalan kehidupan manusia, seperti persoalan pendidikan25, perekonomian26, manusia27, alam semesta28, tumbuh-tumbuhan29,falaq,30 dan persoalan-persoalan lainnya tentang kehidupan manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Al-Qur'an telah memberikan petunjuk yang sangat besar terhadap masalah pendidikan dan penemuan-penemuan para ahli serta pertumbuhan ilmu pengetahuan yang sangat pesat di dunia Islam, sehingga memungkinkan terciptanya penemuan-penemuan modern dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai aspek kebutuhan manusia. Sehingga Salih Abdullah Salih, sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, sampai pada kesimpulan bahwa Al-Qur'an adalah “Kitab Pendidikan”. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:31

Pertama, dilihat dari segi surat pertama kali diturunkan, yaitu surat Al-„Alaq ayat 1-5, yang

berkaitan dengan pendidikan. Ayat pertama dari surat ini yang berbunyi “ iqra‟ ” yang berarti: bacalah,

telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun tidak.32 Arti dan kandungan dari kata tersebut sudah jelas bahwa manusia diperintah untuk banyak membaca (dalam arti yang luas). Kedua, dilihat dari segi asalnya, yaitu dari Allah SWT. Dia dalam beberapa sifat-Nya memperkenalkan diri-Nya sebagai pendidik. Kata rabb dalam Al-Qur'an asal katanya tarbiyah berarti pendidikan, baik yang bersifat fisik keduniaan (khalqiyah) maupun yang bersifat mental spiritual atau akhlak (khuluqiyah). Allâh Rabb al-„Alamîn berarti mengandung pengertian bahwa Allah SWT yang memelihara (fisik, jiwa, dan akal) serta mendidik (agama dan akhlak) seluruh makhluk semesta alam.33 Ketiga, dilihat dari segi pembawanya, yaitu Nabi Muhammad SAW, juga tampil sebagai pendidik. Rasulullah SAW sebagai penerima Al-Qur'an bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuknya dengan membacakan kepada umat manusia.34 Keempat, dilihat dari segi namanya, terdapat sejumlah nama Al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan. Dia antara namanya adalah Al-Qur'ân35 dan Al-Kitâb36. Kelima, dilihat dari segi misi utamanya. Misi utama Al-Qur'an adalah

24

Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), h. 14. 25

Q.S. Al-Baqarah [2]: 151, 129; Āli „Imrân [3]: 164; Luqmân [31]: 13; Al-Jumu‟ah [62]: 2; Al-Mulk [67]: 23. 26

Q.S. Al-Baqarah [2]: 82; Thâhâ [20]: 18. 27

Q.S. Al-Mu‟minûn [13]: 12-14; Al-Hajj [22]: 5. 28 Q.S. Al-Anbiyâ‟ [21]: 30; Hûd [11]: 7.

29

Q.S. Al-An‟âm [6]: 95; An –Nur [24]: 45; Fâthir [35]: 27. 30

Q.S. Al-Ghâsyiyah [88]: 18-20; Al-Baqarah [2]: 189. 31

Abuddin Nata, Pendidikan dalam Prespektif Al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 2-4. 32

Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994) cet. I, h. 167.

33

Ar-Raghîb al-Ashfahânî, Mu‟jam al-Mufradât Li Alfâdz Al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h.189. 34

Q.S. Al-Ghâsyiyah [88]: 18-20; Q.S. Al-Baqarah [2]: 189. 35

Secara etimologis, Al-Qur'an adalah mashdar dari qara‟a yang memiliki arti mengumpulkan atau menghimpun.

Qirâ‟ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lainnya dalam satu ungkapan yang teratur. Al-Qur'an

(7)

membina akhlak mulia. Menurut Fazlur Rahman bahwa dasar Al-Qur'an secara eksplisit adalah moral yang menitikberatkan pada monoteisme dan keadilan sosial. Oleh karena itu, manusia harus tunduk kepadanya. Ketundukan itu disebut “Islam” dan perwujudannya dalam kehidupan disebut ibadah atau pengabdian kepada Allah SWT. Sementara moral dan akhlak mulia adalah jiwa dalam pendidikan.37

Dengan mengemukakan beberapa alasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur'an adalah sebuah kitab suci yang sangat memperhatikan aspek pendidikan. Hampir seluruh ayat Al-Qur'an memberikan kandungan pendidikan, baik pendidikan yang berhubungan dengan aqîdah, syarî‟ah maupun mu‟âmalah. Di sisi lain, Allah SWT sangat memuji dan meletakkan ilmu serta ahlinya di atas yang lain. Betapa tingginya derajat ahli ilmu sehingga Allah SWT merangkaikan persaksian-Nya bersama para malaikat 38. Dalam surat Al-Mujâdilah ayat 11, Allah SWT berjanji akan mengangkat derajat orang yang beriman dan ahli ilmu melebihi yang lainnya dengan beberapa derajat. Dalam ayat lain Allah SWT menerangkan bahwa barangsiapa yang diberi ilmu (hikmah), maka ia telah diberikan kebaikan yang banyak.39Dengan ilmu itulah manusia dibedakan kualitasnya di sisi Tuhan dengan makhluk lain bahkan dengan malaikat sekalipun. Terbukti dengan Nabi Adam AS berhak dihormati oleh semua malaikat di langit karena ilmu yang telah Allah SWT ajarkan kepadanya.40 Bahkan menurut Allah SWT orang yang paling takut kepada-Nya adalah ulama (ahli ilmu),41 karena dengan ilmu yang dimilikinya maka akan menambah keimanan. Dengan keimanan yang mantap maka akan bertambah ketakwaan seseorang.

Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang menerangkan keutamaan ilmu dan ahli ilmu. Ayat-ayat tersebut dikaji oleh ahli pendidikan dengan memahami beberapa istilah yang menunjukkan arti pendidik. Istilah-istilah tersebut antara lain: „ulamâ‟42, ar-râsikhûna fi al-„ilm43, ahl adz-dzikr 44, al-Murabbî 45, al-muzakkî 46, ulul al-bâb 47, dan al-muwa‟idz.48 Dengan demikian terlihat jelas bahwa seorang guru

al-Qaththân, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, (Terj.) H. Aunur Rafiq El Mazni dari judul asli Mabâhits fî „Ulûm Al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), Cet. V, h.16.

36 Secara etimologis, Al-Kitâb adalah mashdar dari kataba yang memiliki arti menulis, menakdirkan, dan memerintahkan. Kitab berarti tulisan atau yang ditulis. Dinamakan Al-Kitab karena ia ditulis dengan pena. Lihat Syaikh Manna‟ Khalîl al -Qaththân, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Terj.) H. Aunur Rafiq El Mazni dari judul asli Mabâhits fî „Ulûm Al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), Cet. V, h.20.

37

Fazlur Rahman, Islam, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), h. 49. 38

Lihat Q.S. Āli „Imrân [3]: 18 39

Lihat Q.S. Al-Baqarah [2]: 269. 40

Lihat Q.S. Al-Baqarah [2]: 31. 41

Lihat Q.S. Fâthir [35]: 28. 42

Lihat Q.S. Fâthir [35]: 28, dan Q.S. Asy-Syu‟arâ‟ [26]: 196-197. Istilah ulama adalah bentuk jamak dari kata „âlim yang artinya orang yang memiliki ilmu pengetahuan di atas rata-rata kemampuan orang lain. Kata ‟ulamâ‟ dan „âlim kemudian diartikan sebagai orang yang tahu yang memiliki pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan kealaman, yang dengan pengetahuannya tersebut menjadikan dirinya dan orang lain memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT. Lihat Ar-Raghîb al-Ashfahânî, Mu‟jam al-Mufradât Li Alfâdz Al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 356.

43Lihat Q.S. Āli „Imrân [3]: 7. Kata

ar-râsikhûna berasal dari kata rasakha, yarsukhu, rusukhan yang berarti tetap dan lekat. Orang yang ar-râsikhûna fi al-„ilm adalah orang yang mempunyai keimanan yang kuat dan selalu berdoa agar keimanan tersebut selalu melekat kokoh di dalam hati. Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung. t.t.), h. 141.

44

Lihat Q.S. An-Nahl [16]: 43. Imam al- Marâghî dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud adz-dzikr adalah Al-Qur'an, sedangkan ahl adz-dzikr adalah orang yang memahami dan mampu menjelaskan kepada manusia apa yang tersembunyi dari rahasia kandungan ajaran agama yang terdapat dalam kitab-kitab Allah SWT.Lihat Imâm Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jld V, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 87.

45

Lihat Q.S. al-Fatihah [1]: 2. Kata al- Murabbî berasal dari kata ar-rabb yang secara harfiyah berarti insyâu as-syai‟i hâlan fahâlan ilâ hadd at-tammâm, artinya mengembangkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai tingkat kesempurnaan. Lihat Ar-Raghîb al-Ashfahânî, Mu‟jam al-Mufradât Li Alfâdz Al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h.189.

46 Lihat Q.S. Al-Baqarah [02]: 151), lihat juga Q.S. Āli „Imrân [03]: 164, Q.S. Al-Jumu‟ah [62]: 02. Kata

al-muzakkî berarti oranga yang berusaha membersihkan jiwa orang yang dididiknya agar bersih dari sifat-sifat tercela kemudian ditumbuhkan dengan sifat-sifat yang terpuji. Lihat Abu Hâmid ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulûm ad-Dîn, (Semarang: Maktabah wa Matba‟ah, t.t.), h. 97

47

Lihat Q.S. Ibrâhîm [14]: 52. Kata ulul al-bâb dapat diartikan orang yang berakal. 48

(8)

dalam perspektif Al-Qur'an memiliki tugas yang amat luas dan beragam. Di samping itu seorang guru tidak hanya diasumsikan memiliki ilmu pengetahuan agama saja melainkan juga dituntut memiliki ilmu pengetahuan umum serta mampu mengimplementasikan antara keduanya dalam kehidupan nyata. Sehingga menempati derajat insan kamil dan berfungsi sebagai khalîfah fi al-ardh. Konsep insan kamil (manusia seutuhnya) dalam pandangan Islam dapat diformulasikan secara garis besar sebagai manusia beriman dan bertakwa serta memiliki berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya secara baik, positif , dan konstruktif.

B. Pendidikan dalam Perspektif Hadits

Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Allah SWT yang menyempurnakan ajaran sebelumnya serta memberantas kebatilan yang terjadi dalam masyarakat jahiliyah. Sebagai pewaris para nabi sebelumnya dengan misi li utammima makârima al-akhlâq (untuk menyempurnakan akhlak yang mulia),49 Rasulullah SAW memperjuangkan demi tercapainya misi tersebut melalui pendidikan. Nabi Muhammad SAW tampil sebagai guru sekaligus suri tauladan (uswah al hasanah) bagi umatnya dalam berbagai aspek kehidupan. Beliau mengajarkan Al-Qur'an kepada pengikutnya dan menjelaskan hal-hal yang penting dari ayat-ayat Al-Qur'an serta membimbing mereka agar memiliki kehidupan sebagai muslim yang benar dan sesuai dengan ajaran Al-Qur'an. Nabi Muhammad SAW mendengarkan berbagai masalah keagamaan dan sosial di masyarakat dan berupaya memecahkannya sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Di sisi lain, Rasulullah SAW tidak hanya sebatas mengajarkan isi kandungan Al-Qur'an saja, melainkan beliau adalah orang pertama dan paling sempurna dalam mengaplikasikan Al-Qur'an. Maka pantas ketika Aisyah ditanya oleh para sahabat tentang akhlak Rasulullah SAW, maka ia menjawab akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur'an.50

Rasulullah SAW sangat memberikan perhatian terhadap pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Perhatian tersebut ditunjukkan dalam berbagai didikan beliau sendiri terhadap umatnya. Dengan berbagai sunnahnya, beliau mengajarkan kepada kaum muslimin bahwa sebaik-baiknya ilmu pengetahuan adalah ilmu yang dapat menghantarkan seseorang menggapai hidayah, derajat ketakwaan, dan keimanan di sisi Allah SWT. Ilmu juga sebagai indikator keselamatan dan kebaikan seseorang yang memilikinya serta mengamalkannya. Sebagaimana sabdanya: “Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, maka ia dikaruniai kepahaman agama.” (H.R. al-Bukhari).51 Pendidikan yang di dalamnya terdapat unsur pendidik dan peserta didik, mendapat perhatian khusus dari Rasulullah SAW. Seseorang yang memiliki ilmu kemudian menyembunyikan ilmu pengetahuannya saat ditanya orang lain, maka akan diancam dengan siksa neraka. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa ditanya tentang ilmu yang ia ketahui kemudian ia menyembunyikannya, maka ia akan dibelenggu di hari kiamat dengan belenggu dari api neraka.” (H.R. Ibn Mâjah).52

Sebagai manusia teladan dengan fungsinya uswah al-hasanah (suri tauladan yang baik), Rasulullah SAW benar-benar berperan sebagai pendidik yang ideal. Hal ini dapat dilihat dari profil Rasulullah SAW sebagai murabbî 53, mu‟allim54 , mu‟addib55, mudarris 56, mursyid 57, mutlî 58, dan muzakkî 59. Semua

49

Lihat hadis Al-Baihaqy, As-Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), Juz II, h. 472. 50

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imâm Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), Jld VI, Bâb Hadîts Sayyidah „Āisyah, h. 447.

51Abu „Abdillâh Mu

hammad ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Matn Bukhârî bi Hâsyiyah as-Sindî, Jld I, (Indonesia: Syirkah al-Ma‟ârif, t.t.), Kitâb al-„Ilm, Bâb Fadhl al-„Ilm, h. 24.

52

Imâm Abû „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd ibn Mâjah ar-Râbi'î al-Qazwinî, Syurûh Sunan Ibn Mâjah, ditahqiq oleh Raid ibn Shabrî Abî „Alafah, Juz I, (Jordan: Bait al-Afkâr ad-Dauliyyah, 2007), h. 175.

53

Murabbi adalah orang yang mendidik, mengembangkan dan menumbuhkan potensi anak didik ke arah yang lebih baik. Lihat Ar-Raghîb al-Ashfahânî, Mu‟jam al-Mufradât Li Alfâdz Al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h.189.

54Mu‟allim

berarti orang yang mengajar atau orang yang terlebih dahulu memiliki pengetahuan kemudian memberikan pengetahuannya kepada orang lain. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. ke-14, h. 965.

55Mu‟addib

(9)

konsep pendidik tersebut diperankan dengan nyata oleh Rasulullah SAW, sehingga menghasilkan output yang berkualitas. Hal ini terbukti dengan keberhasilan beliau dalam waktu singkat mengubah bangsa Arab yang pada mulanya hidup dalam kejahiliyahan dan kegelapan menjadi negara yang berdaulat, berperadaban tinggi, bahkan menjadi bangsa adikuasa terutama pada fase pemerintahan Bani Abbasiyah.

Sosok panutan seperti Rasulullah SAW dalam mendidik umat serta anjurannya untuk menuntut ilmu merupakan inspirasi dan motivasi terbesar bagi pengikutnya, mulai dari generasi sahabat hingga generasi sekarang. Perhatiannya diungkapkan dalam berbagai sabdanya tentang keutamaan ilmu pengetahuan serta pentingnya menuntut ilmu. Sabda Rasul SAW: “Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan antar saya dengan orang yang paling rendah di antara kamu. Kemudian bersabda Rasulullah SAW, Sesungguhnya Allah SWT, malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut yang berada pada batu dan sampai ikan; mereka bersalawat kepada seorang pendidik yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (H.R. at-Tirmidzi).60 Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, Rasulullah SAW menyatakan: “Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga.” (H.R. at-Tirmidzi).61 Sabda Rasul yang lain: “Barangsiapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hinga ia pulang.” (H.R. at-Tirmidzi). 62

Berdasarkan penjelasan di atas, menurut hemat penulis, perhatian Rasulullah SAW terhadap pendidikan sangat besar sehingga jumhur (mayoritas) ulama sepakat bahwa menuntut ilmu hukumnya fardhu „ain.

TEMUAN PENELITIAN

Biografi Pengarang dan Profil Kitab Ta’lîm Al-Muta’allim

Al-Zarnûjî memiliki nama lengkap Syaikh Burhânuddîn Ibrâhîm al-Zarnûjî al-Hanafî.63 Kata “syaikh” merupakan panggilan kehormatan bagi seorang ulama, seperti “kiai” dalam bahasa Jawa.

Sedangkan kata “Burhânuddîn” (bukti kebenaran agama) merupakan gelar yang diberikan kepadanya.64

Selain dari itu, al-Zarnûjî juga bergelar “Burhân al-Islâm“ (bukti kebenaran Islam).65 Adapun al-Zarnûjî

56

Mudarris artinya guru, pengajar.Yaitu orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. ke-14, h. 335

57

Mursyid adalah salah satu sebutan pendidik/guru dalam pendidikan Islam yang bertugas untuk membimbing peserta didik agar ia mampu menggunakan akal pikirannya secara tepat, sehingga ia mencapai keinsafan dan kesadaran tentang hakekat sesuatu atau mencapai kedewasaan berpikir. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. ke-14, h. 535.

58

Mutlî artinya adalah pendidik yang mengajarkan kepada peserta didik ketrampilan membaca. Lihat juga Ibnu Manzhûr, Lisân al-„Arab, (Beirut-Libnan: Dâr at-Tatsî al-„Arabî, 771 H), Jld IX, h. 47.

59 Muzakkî artinya pendidik yang bertanggung jawab untuk memelihara, membimbing, dan mengembangkan fitrah peserta didik, agar ia selalu berada dalam kondisi suci dalam keadaan ta‟at kepada Allah SWT agar terhindar dari perbuatan tercela. Lihat Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, Hadits Tarbawi: Membangun Kerangka Pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Cet. ke-2, , h. 132-134.

60 Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-„Arabî al-Mâlikî, „Āridzah al

-Ahwadzî bi Syarhi Shahih at-Tirmidzî, Juz X, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.), Bâb Mâ jâ‟a fî Fadhl al-Ilm „alâ al-„Ibâdah, h. 157.

61 Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-„Arabî al-Mâlikî, „Āridzah al-Ahwadzî bi Syarhi Shahih at-Tirmidzî, Juz X, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.), Bâb Fadhl al-„Ilm , h. 115.

62 Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-„Arabî al-Mâlikî, „Āridzah al

-Ahwadzî bi Syarhi Shahih at-Tirmidzî, Juz X, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.), Bâb Fadhl al-„Ilm , h. 116.

63

Haji Khalîfah, Kasyf azh-Zhunûn „An Asmâi al-Kutub wa al-Funûn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Jilid 5, h. 15. Lihat juga M. Plessner dan J.P. Berkey “az-Zarnûji”, dalam C.E. Bosworth, dkk. (ed.), Encylopedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).

64„Umar Ridhâ Ka

hhâlah, Mu‟jam al-Mu‟allifîn: Tarâjim Mushannif al-Kutub al-„Arabiyyah(Beirut: Dâr Ihya‟ at-Turâts al-„Arabî, 1957), Jilid 3, h. 43

65

Di antara ulama yang memberikan gelar Burhân al-Islâm kepada az-Zarnûji adalah „Abd „Azîz Syâhîn Saqar, „Abd al -Ghanî asy-Syarâjî, Sayyid Ahmad „Utsmân, Marwân Qibbânî dan lain-lain. Lihat Muhyiddîn „Atiyah, Fikr at-Tarbawî

(10)

adalah nama yang dinisbatkan dari nama kota tempat di mana beliau berada. Adapun nama person-nya

sampai sekarang, menurut „Aliy As‟ad, belum ditemukan literatur yang menulisnya.66

Di kalangan ulama belum diketahui tanggal kelahirannya. Adapun mengenai masa hidup dan wafatnya ada beberapa pendapat, yaitu: pertama, al-Zarnûjî wafat pada tahun 591 H./1195 M.;67 kedua, Zarnûjî wafat pada tahun 640 H./1243 M.. Hal ini diduga karena Zarnûjî penulis kitab Ta'lî

al-Muta'allim ini hidup dalam satu zaman dengan al-Zarnûjî lain, yaitu Tâjjuddîn Nu‟mân ibn Ibrâhîm al-Zarnûjî yang hidup pada tahun 640 H./1243 M.;68 ketiga, al-Zarnûjî hidup sezaman dengan Ridhâ‟uddîn

an-Naisâbûrî yaitu antara tahun 500-600 H. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Grunebaum dan Abel, sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyatakan bahwa al-Zarnûjî adalah “toward the end of 12th and beginning of 13th century AD”.69

Demikian pula mengenai daerah tempat kelahirannya tidak ada keterangan yang pasti. Adapun mengenai nama al-Zarnûjî itu sendiri dinisbatkan pada nama sebuah tempat yaitu Zurnûj, yang menurut al-Qurâsyî adalah sebuah nama tempat yang terletak di wilayah Irak.70 Lain halnya dengan Yâqût ibn

„Abdullâh al-Hamâwî yang mengatakan bahwa Zurnûj adalah sebuah tempat yang sangat masyhur di “Mâ

warâ‟ an-Nahr” yang termasuk dalam wilayah Turkistan (kini Afghanistan) karena ia berada di dekat kota Khoujandâ.71 Sedangkan nama al-Hanafî menurut Haji Khalîfah dinisbatkan pada nama madzhab yang dianutnya yaitu madzhab Imam Hanafî.72

Mengenai riwayat pendidikannya dapat diketahui dari keterangan yang dikemukakan para peneliti. Bukhara dan Samarkand adalah kota-kota yang dikunjungi az-Zarnûjî. Hal ini beliau lakukan karena kedua kota tersebut dinilai sebagai pusat kegiatan keilmuan, pengajaran, dan lain sebagainya. Masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran yang diasuh antara lain oleh: Burhânuddîn al-Marghînânî (w. 593 H./1197 M.), Syamsuddîn „Abd al-Wajdi Muhammad ibn Muhammad ibn „Abd al-Sattâr al-„Amidî dan lain-lainnya. Selain itu al-Zarnûjî juga belajar pada Ruknuddîn al-Farghînânî, seorang ahli fikih, sastra, dan seorang penyair yang wafat pada tahun 594 H./1170 M. dan juga pada Rukn al-Islâm Muhammad ibn Abî Bakar, yang terkenal dengan nama Khawâhir Zâdâ, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fikih, sastra, dan syair yang wafat pada tahun 573 H./1177 M.73

Mengenai kondisi sosial dan lingkungan masyarakat pada waktu al-Zarnûjî hidup, para peneliti pun masih berbeda pendapat. Menurut al-Qurâsyî, al-Zarnûjî adalah seorang pendidik yang hidup pada abad ke-13. Sedangkan M. Plessner dan J.P. Berkey yang mengatakan bahwa al-Zarnûjî adalah hidup pada akhir abad 6 H./12 M. dan awal abad ke-7 H./13 M..74 Demikian pula halnya dengan G.E. Von Grunebaun dan Theodora M. Abel yang mengatakan bahwa al-Zarnûjî adalah seorang ulama yang hidup pada akhir abad ke-12 dan permulaan abad ke-13 Masehi.75 Marwân Qabbânî juga mengatakan bahwa al-Zarnûjî hidup sekitar pertengahan abad ke-6 Hijriyah hingga sepertiga awal abad ke-7 Hijriyah. Pendapat Qabbânî tersebut diperkuat lagi oleh hasil penelitian Muhammad „Abd al-Qâdir Ahmad yang menyatakan bahwa al-Zarnûjî hidup sejak pertengahan abad ke-6 sampai awal abad ke-7 Hijriyah. Sementara itu dalam

66

Az-Zarnûjî, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu, terj. Aliy As‟ad, (Kudus: Menara Kudus, 2007), Bab Pembukaan, h. ii. 67

Mochtar Afandi, The Method of Muslim Learning as Illustrated in az-Zarnûji‟s Ta‟lim al-Muta‟allim Tariq al

-Ta‟allum, (Monttread: Institute of Islamic Studies McGill University, 1993), h.19. adalah Tesis.

68

Khairuddîn az-Ziriklî, al-A‟lâm: Qâmûs Tarâjim li Asyhâr ar-Rijâl wa an-Nisâ‟ min al-„Arab wa al-Musta‟ribîn wa al-Mustasyriqîn, (Beirut: Dâr al-„Ilm li al-Malâyîn, 1990), Cet. Ke-9, Juz 8, h. 35.

69 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003). Cet. Ke-3, h. 104.

70 al-Qurâsyi, al-Jawâhir al-Madîah fî Tabaqât al-Hanafiyyah, (Kairo: „Isâ al-Halabî, 1958), Juz 2, h. 312. 71Syihâbuddîn Abî „Abdillâh Yâqût ibn „Abdullâh al

-Hamâwî ar-Rûmî al-Baghdâdî Mu‟jam al-Buldân (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, tt), Juz IV, h.378. Ditahqiq oleh Farid‟Abd al-„Azîz al-Jundî.

72

Haji Khalîfah, Kasyf azh-Zhunûn „An Asmâi al-Kutub wa al-Funûn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Jilid 5, h. 15. 73

Mochtar Afandi, The Method of Muslim Learning as Illustrated in az-Zarnûji‟s Ta‟lim al-Muta‟allim Tariq al

-Ta‟allum, (Monttread: Institute of Islamic Studies McGill University, 1993), h.2-5.

74 Lihat M. Plessner dan J.P. Berkey “az-Zarnûji”, dalam C.E. Bosworth, dkk. (ed),

Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).

75

Mochtar Afandi, The Method of Muslim Learning as Illustrated in az-Zarnûji‟s Ta‟lim al-Muta‟allim Tariq al

(11)

katalog perpustakaan Berlin No. 111, Ahlward menyebutkan bahwa Muhammad ibn Sulaimân al-Kaffâwî (w. 990 H./1592 M.) menempatkan al-Zarnûjî ke dalam kelompok generasi ke-12 ulama madzhab Hanafiyah, dan diperkirakan ia hidup hingga tahun (620 H./1223 M.).76 Dari berbagai pendapat tentang masa hidup al-Zarnûjî tersebut, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa al-Zarnûjî hidup di penghujung pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad yang berlangsung hingga lebih kurang lima abad lamanya yaitu tahun 132-640 H. atau 750-1258 M., yang pada kurun waktu tersebut merupakan masa puncak kejayaan Islam dalam peradaban dan ilmu pengetahuan.

Adapun guru-guru al-Zarnûjî adalah sebagai berikut: 1) Syaikh Burhânuddîn „Alî ibn Abî Bakar al -Marghînânî, ulama besar bermazhab Hanafi yang mengarang kitab al-Hidâyah, suatu kitab fikih rujukan utama madzhabnya. Beliau wafat pada tahun 593 H./1197 M.; 2) Rukn al-Islâm Muhammad ibn Abî Bakar, popular dengan nama Khawâhir Zâdâ atau Imâm Zâdâ (w. 573 H./1177 M.). Beliau ulama besar ahli fikih bermadzhab Hanafi, pujangga sekaligus penyair, pernah menjadi mufti di Bukhara, wafat pada tahun 573 H./1177 M.; 3) Syaikh Hammâd ibn Ibrâhîm, ulama ahli fikih bermadzhab Hanafî, sastrawan dan ahli kalam, wafat pada tahun 576 H./1180 M.; 4) Fakhruddîn al-Kasyânî, yaitu Abû Bakar ibn Mas‟ûd al-Kasyânî. Beliau ulama ahli fikih bermadzhab Hanafi pengarang kitab Badi‟ ash-Shanâ‟i. wafat pada tahun 587 H./1197 M.; 4) Syaikh Fakhruddîn Qâdhî Khân al-Anzajandî, ulama besar yang dikenal sebagai mujtahid dalam madzhab Hanafî dan banyak menulis kitab, wafat pada tahun 592 H./1196 M.; 5) Ruknuddîn al-Farghînânî yang digelari dengan al-Adîb al-Mukhtâr (sastrawan pujangga pilihan). Beliau seorang ulama ahli fikih bermadzhab Hanafî, pujangga sekaligus penyair, wafat pada tahun 594 H./1198 M.77 Sementara mengenai murid-murid az-Zarnûjî, penulis belum menemukan referensi atau data yang menerangkan nama-nama murid beliau. Hal ini disebabkan minimnya informasi dari beberapa referensi yang menerangkan tentang biografi dan riwayat hidup az-Zarnûjî. Adapun mengenai karya az-Zarnûjî, menurut Haji Khalîfah mengatakan bahwa karya al-Zarnûjî yang dapat diketahui dan dinikmati hingga zaman sekarang ini adalah kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim. Lebih lanjut dikemukakan oleh Haji Khalîfah bahwa kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim adalah satu-satunya karya az-Zarnûjî.beliau wafat pada tahun 610 H. 78

Isi Kitab Ta’lîm al-Muta’allim

Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim berjumlah satu jilid yang relatif tidak tebal. Al-Zarnûjî menyusun karyanya didahului dengan basmalah, kemudian menyambungnya dengan pujian terhadap Allah SWT dan disempurnakan dengan salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Penyusunan Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim ini dilatarbelakangi banyaknya pelajar yang giat dalam menuntut ilmu, akan tetapi tidak mendapatkan manfaat dan buah dari ilmu itu sendiri. Selanjutnya al-Zarnûjî mengadakan penelitian apa yang menyebabkan para pelajar tidak mendapat manfaat dari ilmu yang selama ini mereka cari. Dari hasil penelitian yang dilakukan al-Zarnûjî dapat disimpulkan bahwa: pertama, pelajar di kala itu banyak yang keliru jalannya dalam menuntut ilmu; kedua, para pelajar pada zaman itu tidak mencermati dan menganalisa permasalahan tersebut, maka al-Zarnûjî merasa prihatin dan tersentuh untuk menyusun sebuah risalah yang berhubungan dengan tatacara dalam menuntut ilmu (metodologi pembelajaran). Oleh karena itulah az- Zarnûjî menyusun karyanya dengan memberi nama TA‟LîM AL-MUTA‟ALLIM THARîQ AT-TA‟ALLUM” yang berarti “Pelajaran bagi Pelajarakan Jalannya Belajar”. 79

Dalam karyanya, al-Zarnûjî membagi menjadi 13 pasal yang terdiri dari: 1). Pengertian Ilmu dan Fikih serta Keutamaannya; 2). Niat dalam Belajar; 3). Memilih Ilmu, Guru, Teman, dan Ketabahan; 4). Mengagungkan Ilmu dan Ulama; 5). Tekun, Kontinuitas, dan Minat; 6). Permulaan, Ukuran, dan Tata

76 M. Plessner dan J.P. Berkey “az-Zarnûji”, dalam C.E. Bosworth, dkk. (ed),

Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).

77

Haji Khalîfah, Kasyf azh-Zhunûn „An Asmâi al-Kutub wa al-Funûn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Jilid 5, h. 15. Lihat juga „Umar Ridhâ Kahhâlah, Mu‟jam al-Mu‟allifîn: Tarâjim Mushannif al-Kutub al-„Arabiyyah(Beirut: Dâr Ihya‟ at-Turâts al-„Arabî, 1957), Jilid 3, h. 43. Lihat juga M. Plessner dan J.P. Berkey “az-Zarnûji”, dalam C.E. Bosworth, dkk. (ed.), Encylopedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).

78

Haji Khalîfah, Kasyf azh-Zhunûn „An Asmâi al-Kutub wa al-Funûn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Jilid 5, h. 15. 79

Dalam manuskrip naskah asli, ditemukan judul kitab ini sedikit berbeda redaksi, yaitu Ta‟lîm al-Muta‟allim Fî Tharîq

at-Ta‟allum. Yusuf Sarkis dalam Mu‟jam al-Mathbu‟ât menyebut nama Ta‟lîm al-Muta‟allim Li at-Ta‟allum Tharîq al-„Ilm.

(12)

Tertib Belajar; 7). Tawakkal; 8). Waktu Keberhasilan; 9). Kasih Sayang dan Nasihat; 10). Mencari Faedah; 11). Sifat Wara‟ saat Belajar; 12). Penyebab Hafal dan Lupa; 13). Mendatangkan dan Menolak Rezeki, Serta Memperpanjang dan Memperpendek Umur. Setelah az- Zarnûjî menutup mukadimahnya

dengan ungkapan “Hanya kepada Allah kami mohon pertolongan, dan hanya kepada -Nya kami berserah

diri serta tempat kami kembali”, kemudian az- Zarnûjî mulai membahas pasal demi pasal hingga selesai. Untuk melihat pembahasan kitab ini secara komprehensif, akan penulis paparkan sebagai berikut:

Ilmu dan Ulama serta kemuliaannya

Dalam pasal pertama al-Zarnûjî menyatakan bahwa kemuliaan ilmu itu tiada seorang pun yang meragukannya, karena ilmu itu khusus dimiliki manusia. Artinya, ilmu hanya dimiliki oleh manusia, binatang tidak memilikinya. Dengan ilmulah manusia mendapat kemuliaan dan kedudukan mulia di sisi Allah SWT. Di samping itu, ilmu merupakan wasîlah (sarana) terhadap kebaikan dan takwa. Dengan ilmu, Allah SWT memperlihatkan keunggulan Nabi Ādam AS atas para malaikat dan memerintahkan mereka agar sujud (hormat) kepada beliau. Hal ini terjadi karena Allah SWT telah mengajari Nabi Ādam AS tentang nama-nama sesuatu dan fungsinya.80

Ilmu yang harus diprioritaskan untuk dipelajari terlebih dahulu adalah „Ilmu al-Hâl (yaitu ilmu tingkah laku atau ilmu keadaan/kondisi). Yang dimaksud di sini adalah ilmu pengetahuan yang selalu diperlukan dalam melaksanakan agama, yaitu Ilmu Ushûluddîn81 dan Ilmu Fikih.82 Kedua ilmu ini tidak dapat diabaikan oleh setiap muslim dan muslimat, karena ilmu Ushûluddîn akan membimbing kehidupan iman dan ruhaninya, sedangkan ilmu fikih akan membimbing perbuatan jasmani dalam melaksanakan tugas amanat agamanya. Al-Zarnûjî menganjurkan setelah mempelajari kedua ilmu tersebut untuk mempelajari juga ilmu yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak terpuji (akhlâq al-karîmah) maupun akhlak tercela (akhlâq al-madzmûmah). Dengan mengetahui akhlak terpuji diharapkan seseorang dapat melaksanakannya, sedangkan mengetahui akhlak tercela diharapkan seseorang mampu mengantisipasinya. Karena secara logis, seseorang tidak akan dapat menghindar dari akhlak tercela kecuali ia mengetahuinya.

Al-Zarnûjî mengklasifikasi hukum mempelajari ilmu dalam beberapa hukum. „Ilmu al-Hâl dan akhlak hukum mempelajarinya adalah fardhu „ain, sedangkan ilmu yang bersifat temporer penggunaannya maka hukum mempelajarinya adalah fardhu kifâyah. Adapun yang dikategorikan ilmu fardhu kifâyah antara lain, ilmu kedokteran.83 Sedangkan ilmu nujum yang berarti meramal nasib seseorang atau meramal penyakit maka hukum mempelajarinya adalah haram. Karena implikasi dari ilmu ini dapat merusak iman seseorang, karena seakan mendahului takdir Allah SWT. Lain halnya dengan ilmu nujum semacam ilmu falak atau astronomi modern, maka hukum mempelajarinya adalah mubâh. Karena ilmu ini didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan empirik yang tersusun secara ilmiah akademik. Di samping itu, ilmu nujum ini memiliki manfaat yang berguna bagi kehidupan manusia, misalnya untuk mengetahui arah mata angin, mengetahui arah kiblat, dan memprediksi bakal terjadinya sesuatu berdasarkan fenomena alam seperti kapan akan turun hujan.

Niat dan Motivasi Belajar

Setelah seseorang memahami tentang ilmu, ulama dan kemuliaannya serta kewajiban bagi muslim untuk menuntut ilmu, maka selanjutnya dibutuhkan niat dan motivasi dalam menempuh jalan menjadi ahli

80 Lihat Q.S. Al-Baqarah/2: 30-34. 81

Ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar agama yang meliputi ilmu tauhid, keyakinan-keyakinan, dan sabda Tuhan. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), Cet. ke-2, h. iv.

82

Fikih secara bahasa artinya paham akan maksud pembicaraan. Sedangkan secara istilah artinya pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci. Lihat Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet, ke-8, h. 2.

83Fardhu „ain

adalah ketetapan Allah SWT yang harus dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf (dewasa dan sehat akal). Sedangkan fardhu kifâyah adalah ketetapan Allah SWT yang penting dan dan harus dilaksanakan dengan tanpa meninjau individu pelakunya. Substansi keduanya sama yaitu ketetapan yang harus dilaksanakan. Perbedaannya hanya terletak pada pelaku. Fardhu

(13)

ilmu. Karena niat adalah pondasi utama dalam meniti dunia keilmuan. Al-Zarnûjî berpesan pada pasal kedua dalam kitabnya, bahwa setiap pelajar harus mempunyai niat yang baik selama menuntut ilmu, sebab niat merupakan dasar atau pokok segala aktifitas. Al-Zarnûjî mengatakan bahwa selama menuntut ilmu hendaknya para pelajar berniat untuk mencari ridha Allah SWT, untuk bekal di akhirat, memberantas kebodohan diri maupun orang lain, mengembangkan dan menegakkan Islam, dan hendaknya menuntut ilmu itu diniatkan untuk mensyukuri nikmat akal dan badan yang sehat. Janganlah menuntut ilmu diniatkan untuk mencari popularitas, harta, dan lain sebagainya. Karena seseorang yang telah merasakan buahnya ilmu dan amal, maka akan semakin sedikit cintanya terhadap harta benda. Akan tetapi beliau mengatakan bahwa seseorang boleh meraih keagungan demi memperjuangkan kebenaran dan memuliakan agama (amar ma‟rûf nahî munkar), dan bukan untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri”.

Oleh karena itu di antara sikap yang harus diperhatikan oleh para pelajar, menurut al-Zarnûjî antara lain: 1). Janganlah ilmu (agama) yang telah diperolehnya hanya digunakan untuk mencari keuntungan dunia semata; 2). Janganlah mengharap pemberian orang lain (tamak) atau meminta-minta yang bukan pada tempatnya, sehingga menjadikan dirinya menjadi hina sebab perbuatan itu; 3). Para pelajar harus memiliki sifat tawâdhu‟ (rendah hati). Karena sesungguhnya tawâdhu‟84 adalah bagian tanda orang yang takwa. Dengan tawâdhu‟derajatnya akan semakin tinggi; 4). Hendaknya seorang pelajar berpenampilan dan bertindak dengan sesuatu yang dapat mengangkat derajat ilmu dan ahlinya, seperti membesarkan putaran surban dan melonggarkan lengan baju, sebagaimana yang dianjurkan oleh Imâm Abû Hanîfah, hal ini dimaksudkan agar ilmu dan orang alim tidak dipandang remeh.85

Kriteria Ilmu, Guru, dan Teman

Menurut Al-Zarnûjî ilmu yang pertama sekali harus dipelajari adalah ilmu tauhid. Yang kedua hendaknya memilih ilmu yang lama (kuno) dan jangan memilih ilmu yang baru. Ilmu lama (kuno) maksudnya adalah ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, tâbi‟în, dan tâbi‟ at-tâbi‟în. Sedangkan ilmu baru adalah ilmu-ilmu yang lahir setelah periode tersebut (khususnya masalah ilmu agama), seperti ilmu debat dan ilmu meramal nasib. Kedua ilmu tersebut harus dijauhi, karena menurut az-Zarnûjî, akan menjauhkan pelajar dari belajar ilmu fikih, membuang-buang umur, dan melahirkan sifat buas serta menimbulkan permusuhan.86

Dalam memilih guru pun al-Zarnûjî menyarankan agar memilih guru yang lebih „alîm,87wara‟,88 dan lebih tua usianya. Adapun cara memilih guru adalah dengan tidak langsung melibatkan diri dalam halaqah ilmiah, melainkan dengan sabar menunggu sambil merenung dan bermusyawarah selama lebih kurang dua bulan guna memilih seorang guru yang sesuai dengan kemantapan hati. Setelah dianggap mantap berguru kepadanya, maka barulah menetap dalam menuntut ilmu padanya. Hal ini dimaksudkan

84Tawâdhu‟dalam bahasa Jawa sering diartikan “andhap asor” artinya rendah hati. Tawâdhu‟

dalam arti merendah dan tidak suka memamerkan prestasi kesalihan yang telah dicapainya.

85

Penampilan seperti ini, kata K.H. Tolchah Mansoer, ternyata dipraktikkan oleh dunia universitas sekarang, seperti para dosen/guru besar selalu memakai toga dan muts berwarna hitam sebagai pakaian kebesaran ketika upacara resmi keilmuan, misalnya ketika wisuda sarjana, pidato pengukuhan guru besar, dan lain sebagainya. Begitu juga para mahasiswa yang telah tamat menempuh studi. Lihat al-Zarnuji, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu, terj. Aliy As‟ad, (Kudus: Menara Kudus, 2007), bagian Sambutan (Kata Pengantar), t.h.

86

Batasan seperti ini tentu dimaksudkan dalam konteks mempelajari agama. Karena dalam belajar ilmu agama memang diperlukan kemurnian/akurasi ilmu dan faliditas informasinya. Sedang akurasi dan faliditas ini dapat diperoleh dari sumber asalnya. yaitu Nabi SAW dan generasi terdekatnya (sahabat dan para tabi‟in). Belajar ilmu agama tidak boleh gegabah sebab akan berakibat nilai-nilai agama terdistorsi dengan pemaksaan logika, sehingga ajarannya tidak murni lagi. Ilmu juga dapat diklasifikasikan menjadi ilmu yang bersumber dari syariat dan ilmu yang bersumber dari filsafat. Termasuk ilmu yang bersumber dari syariat, antara lain: ilmu qira‟ah, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu ushul fikih, ilmu akhlak, dan tasawuf. Selain dari itu semua dikelompokkan ke dalam ilmu yang bersumber dari filsafat. Lihat Haji Khalîfah, Kasyf azh-Zhunûn „An Asmâi al-Kutub wa al-Funûn, Jilid 1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 11.

87 „Alîm adalah bahasa Arab yang berarti orang yang berilmu, karena akar katanya adalah „ilm. „Alim adalah orang yang telah menguasai ilmu agama Islam dengan segala cabangnya. Ia juga telah melalui pendidikan agama Islam secara formal maupun non formal.. Lihat Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009), h. 92.

88Wara‟

adalah menjaga diri (self protection) dari hal yang haram, baik perbuatan, ucapan, sandang, pangan, dan papan.

Wara‟ kâmil (wara‟ yang sempurna) adalah menjaga diri dari segala sesuatu yang tidak berguna menurut agama, baik sesuatu itu

(14)

agar mendapat berkah dan manfaat sebanyak-banyaknya dari ilmu sang guru. Karena apabila seorang pelajar langsung belajar pada seorang guru tanpa berpikir dan musyawarah terlebih dahulu, maka dikhawatirkan ketika menemukan ketidakcocokan pada pelajaran maupun guru tersebut, maka akan berakibat meninggalkannya. Apabila hal ini terjadi pada seorang pelajar, maka berakibat tidak mendapatkan keberkahan dalam belajar.

Yang Harus Dilakukan oleh Penuntut Ilmu

Setelah pelajar mengetahui bahwa ilmu, guru, dan lingkungan pendidikan telah sesuai dengan kebutuhannya dan merasa mantap dalam hatinya, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh seorang pelajar adalah sebagai berikut:

Sabar dan Tabah

Kesabaran dan ketabahan adalah modal dasar yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu. Banyak orang yang berlomba menuju kemuliaan, tetapi jarang yang mempunyai ketabahan. Demikian yang dikatakan al-Zarnûjî dengan mengutip sebuah syair yang berbunyi, “Menuntut ilmu adalah jalan menuju kemuliaan, tanpa kesabaran dan ketabahan berarti kesia-siaan.” Oleh karena itu, al-Zarnûjî berpesan kepada para pelajar agar selalu tabah dalam menempuh studinya, dengan cara: 1). Setelah mempelajari suatu kitab (buku) dilarang meninggalkannya dalam keadaan terbengkalai; 2). Dalam mempelajari suatu bidang studi tidak beralih ke bidang studi lain kecuali bidang studi yang pertama telah dipahaminya;89 3). Tidak berpindah-pindah dari institusi satu ke institusi lainnya kecuali karena terpaksa; 4). Sabar dalam melawan kehendak hawa nafsunya; dan 5). Harus sabar dalam menerima segala ujian dan bencana saat menempuh studi.

Memilih teman

Memilih teman dalam lingkungan belajar adalah hal yang sangat penting bagi pelajar yang sedang menuntut ilmu. Karena rajin atau malas, baik atau jelek, sukses atau gagalnya seorang pelajar dapat dipengaruhi oleh temannya. Keadaan teman dan karakternya adalah indikator dari seseorang. Dalam hal memilih teman, al-Zarnûjî menyarankan agar seorang pelajar memilih teman yang tekun, wira‟i, berwatak jujur dan mudah memahami permasalahan yang ada. Sedangkan teman pemalas, pengangguran, cerewet, pengacau, dan suka menfitnah; hendaklah dijauhi. Teman yang bersifat seperti itu akan menggagalkan cita-cita bahkan menyeret ke dalam neraka.

Mengagungkan ilmu dan ulama

Bagi seorang pelajar mengagungkan ilmu dan ahlinya adalah sebuah keniscayaan. Karena ilmu dan keberkahannya hanya dapat diperoleh dengan rasa ta‟zhîm kepadanya. Oleh karena itu, al-Zarnûjî menjelaskan beberapa cara mengagungkan ilmu dan ahlinya, di antaranya adalah dengan menghormati guru dan memuliakan kitab, karena kitab adalah tempat di mana ilmu ditulis. Memuliakan kitab pada hakikatnya adalah mengagungkan ilmu itu sendiri. Menghormati guru antara lain tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, tidak mendahului berbicara kecuali dengan izinnya, tidak banyak bicara di sisinya, tidak bertanya sesuatu yang membosankannya, mengambil waktu yang tepat saat bertamu dan tidak mengetuk pintu rumahnya tetapi menunggu sampai ia keluar, menghormati puteranya dan siapapun yang berkaitan dengannya, dan lain sebagainya. Inti dari semua itu adalah mencari ridha sang guru, menghindari murkanya, dan melaksanakan perintahnya (selama tidak melanggar agama). Karena barangsiapa melukai hati gurunya, maka tertutuplah keberkahan ilmunya dan hanya sedikit manfaat ilmu yang dapat dipetiknya.

Sedangkan cara memuliakan kitab, antara lain tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci, tidak menjulurkan kaki ke arah kitab, meletakkan kitab yang lebih tinggi derajatnya di atas kitab yang lebih rendah (contoh meletakkan kitab tafsir Al-Qur'an di atas kitab hadits, dan seterusnya), tidak meletakkan barang apapun di atas kitab, menulisi dengan tulisan yang jelas dan indah, tidak

89

(15)

coret di dalamnya dengan coretan yang tidak berguna, tidak menulisi dengan tinta warna merah, 90 dan format kitab hendaknya persegi empat.

Khidmat dalam mengikuti proses belajar

Dianjurkan kepada penuntut ilmu agar memperhatikan seluruh pelajaran dengan penuh keseriusan serta rasa hormat. Keseriusan dalam memperhatikan pelajaran adalah mutlak harus dimiliki oleh pelajar, walaupun ia telah mendengar pelajaran yang sama sebanyak seribu kali. Karena serius dalam memperhatikan pelajaran adalah ciri-ciri ahli ilmu.

Menyerahkan pemilihan bidang studi kepada guru

Dianjurkan kepada penuntut ilmu agar tidak memilih sendiri bidang studinya, tetapi menyerahkan kepada gurunya. Karena guru adalah orang yang lebih tahu tentang apa yang terbaik buat murid-muridnya, termasuk memilihkan bidang studi yang sesuai dengan bakat dan kompetensi muridnya.

Memilih posisi duduk yang tepat

Saat belajar, penuntut ilmu hendaknya memilih tempat duduk yang tepat. Artinya, tidak terlalu dekat dengan guru atau terlalu jauh darinya. Duduk terlalu dekat menandakan kurangnya rasa hormat kepada guru. Sedangkan duduk terlalu jauh dari guru dikhawatirkan ilmu yang disampaikan kurang dapat diterima.

Menghindari akhlak tercela

Akhlak tercela dalam hati seseorang ibarat anjing galak di dalam rumah. Apabila di dalam rumah terdapat anjing galak maka setiap orang akan takut memasukinya. Demikian pula akhlak tercela, apabila berada di hati seorang pelajar, ilmu dan hikmah akan sulit memasukinya.

Bersungguh-sungguh dan tekun belajar

Keberhasilan dalam segala hal tak terlepas dari faktor usaha dan kesungguhan untuk meraihnya, begitu pula menuntut ilmu. Kesungguhan pelajar dalam meraih cita-cita dapat diwujudkan dengan tekun mengulangi pelajaran yang telah didapatkannya dan apabila telah jenuh terhadap suatu ilmu maka beralih ke bidang studi lain.

Menyantuni diri sendiri

Maksudnya tidak menforsir diri sendiri walau dalam kebaikan karena hal itu tidak dianjurkan oleh agama. Karena setiap anggota tubuh juga mempunyai hak yang harus diberikan oleh setiap manusia. Tidak memberikan hak pada setiap anggota tubuh berarti kezaliman, sedangkan zalim merupakan perbuatan tercela. Oleh karena itu, penuntut ilmu harus pandai mengatur waktu dalam kesungguhan belajarnya agar tidak sampai berlarut-larut dalam kezaliman diri sendiri.

Memancangkan cita-cita luhur

Penuntut ilmu harus bercita tinggi dalam berilmu, karena manusia akan terbang dengan cita-citanya sebagaimana burung terbang dengan sayapnya. Cita-cita merupakan motivasi kuat untuk mewujudkan kesungguhan, sementara cita-cita dan kesungguhan adalah modal dasar dalam meraih kesuksesan dalam segala hal.

Terus menghayati keutamaan ilmu

Agar semangat menuntut ilmu tidak hilang di tengah jalan, maka penuntut ilmu hendaknya selalu mengingat akan kemuliaan ilmu dibanding dengan yang lain. Hendaknya seorang pelajar tidak terperdaya dengan sesuatupun selain ilmu, dan tidak berpaling dari fikih.

Siap hidup prihatin

90

(16)

Perlu disadari bahwa perjalanan menuntut ilmu itu tidak lepas dari kesulitan dan keletihan, karena menuntut ilmu adalah merupakan urusan yang sangat agung. Barang siapa yang sabar menghadapi semua kesulitan tersebut, maka ia akan mendapatkan lezatnya ilmu yang melebihi semua kelezatan dunia.

Pranata Teknik Belajar

Metode belajar sangat penting demi keberhasilan siswa dalam menempuh studi. Al-Zarnûjî menyatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pelajar dalam meraih suksesi studinya, antara lain:

Hari permulaan belajar

Menurut az-Zarnûjî, hari yang tepat untuk memulai belajar adalah hari Rabu. Karena pada hari itu Allah SWT menciptakan cahaya, dan hari itu pula merupakan hari sial bagi orang kafir, maka berarti hari Rabu merupakan hari berkah bagi orang mukmin.

Kualitas dan Kuantitas pelajaran

Seorang pelajar dalam menerima pelajaran, seharusnya sedikit demi sedikit sesuai dengan pola pikir dan daya nalar yang ia miliki. Pelajaran bagi pemula hendaknya tidak terlalu banyak sehingga sulit untuk dihafal. Di samping itu pelajaran bagi pemula juga berupa pelajaran yang mudah dipahami. Setelah semuanya dapat dihafal dan dipahami, baru boleh ditambah dengan pelajaran lebih lanjut dengan cara sedikit demi sedikit.

Membuat catatan

Hendaknya seorang pelajar selalu membuat catatan ilmu yang telah diterima dengan jelas dan rapi. Janganlah tulisan tidak dapat dibaca oleh sang penulis sendiri, apalagi orang lain. Hal ini akan berakibat menumpulkan tabiat, menghilangkan kecerdasan, membuang-buang waktu, dan menimbulkan penyesalan.91

Orientasi pada pemahaman

Penuntut ilmu hendaknya berorientasi pada pemahaman pelajaran, bukan pada banyaknya hafalan apalagi banyaknya catatan.

Berdoa

Doa adalah pedang orang beriman. Oleh karena itu, seorang pelajar harus berdoa dan tadharru‟92 kepada Allah SWT untuk mendapatkannya, karena Allah SWT mengabulkan doa yang dipanjatkannya dan tidak mengecewakan orang yang berharap kepada-Nya.

Diskusi ilmiah

Pelajar harus melakukan diskusi dalam bentuk mudzâkarah,93 munâdharah,94 dan muthârahah.95 Karena diskusi lebih besar manfaatnya dibanding sekedar mengulang-ulang pelajaran, karena diskusi berarti juga mengulang-ulang pelajaran ditambah edded value (nilai lebih).

Pendalaman ilmu

Al-Zarnûjî menyarankan setiap pelajar agar selalu melakukan penghayatan ilmiah secara mendalam pada setiap kesempatan, karena detil-detil ilmu

Referensi

Dokumen terkait

Bagi investor besar liabilities yang dimiliki sebuah bank menunjukan bahwa bank tersebut dapat dipercaya untuk mengelola penyaluran dana, dan mampu memberikan hasil

Bersama ini kami kirimkan Laporan Bulanan untuk bulan April 2017, tentang keadaan perkara-perkara Perdata dan perkara-perkara Pidana pada Pengadilan Negeri Metro

PHYSICAL ACTIVITY & HEALTH SPORT ORGANIZED SPORT ACTIVE RECREATION INFORMAL SPORT ACTIVE LIVING.. transportasi yang mengaktifkan tubuh kita, seperti: berjalan

Tse dan Wilton dalam Tjiptono, (2001: 24) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian ( disconfirmation)

Topik pembicaraan yang diangkat seputar pernikahan lintas bangsa atau istilah bahasa Jepang disebut kokusai kekkon (dalam hal ini beberapa kasus orang Jepang

Selain itu, dengan memandang kemiskinan bukan hanya sebagai fenomena yang bersifat unidimensional namun sebagai bentuk deprivasi dari berbagai dimensi serta beberapa

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dimaksudkan untuk menemukan, memahami, menjelaskan serta memperoleh gambaran tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian

tersebut menggambarkan harga atau nilai ekonomi lahan yang didapat sebagai hasil dari investasi, dimana lahan adalah faktor produksi dalam kegiatan usahatani padi sawah