• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilmu Alam Ilmu Sosial dan Ilmu Humaniora

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ilmu Alam Ilmu Sosial dan Ilmu Humaniora"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

ILMU ALAM, ILMU SOSIAL, DAN ILMU HUMANIORA DALAM MEMANDANG REALITAS: SEBUAH RENUNGAN BAGI PEMULA

Berdasarkan pengalaman mengajar matakuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian di Program Pascasarjana (S2 dan S3) beberapa tahun terakhir, saya berkesimpulan bahwa pemahaman mahasiswa tentang perbedaan secara konseptual bagaimana ilmu alam dan ilmu sosial serta humaniora memandang realitas belum sepenuhnya dikuasai. Akibatnya, terjadi kerancuan berpikir dan ujungnya adalah kesalahan secara metodologis. Tidak jarang saya menghadapi pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, karena saya tidak mengerti maksud pertanyaan tersebut.

Tulisan pendek ini akan membahas perbedaan yang melandasi cara berpikir kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Sebenarnya pembicaraan mengenai hal ini Indonesia sudah mulai muncul sejak 1970’an ketika ilmu sosial mulai mengambil peranan penting dalam kehidupan seiring dengan berkembangnya madzhab interpretivisme di berbagai bidang keilmuan. Para ilmuwan sepakat bahwa dibanding ilmu-ilmu alam, seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, geologi dan sejenisnya, ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, politik, sejarah, antropologi dan seterusnya, dan juga ilmu-ilmu humaniora seperti bahasa, sastra, dan seni dianggap jauh tertinggal. Malah ada yang berpendapat lebih ekstrim bahwa ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu-ilmu-ilmu humaniora tidak akan mampu mengejar kemajuan ilmu-ilmu-ilmu-ilmu alam. Sebab, ketika ilmu-ilmu sosial mencoba mengejarnya, ilmu-ilmu alam sudah melompat demikian jauh. Ada pula yang berpendapat bahwa lambat laun ilmu-ilmu sosial akan mampu mengejar ketertinggalannya dengan ilmu-ilmu alam, karena gejala sosial yang menjadi kajian utamanya berkembang sangat pesat. Sedangkan gejala alam yang menjadi kajian utama ilmu-ilmu alam relatif tetap. Kalaupun berubah, perubahan tersebut tidak secepat gejala sosial. Bisa saja anggapan tersebut benar, tetapi juga bisa salah. Tulisan pendek ini tidak membahas lebih lanjut mengenai percepatan kemajuan dua macam ilmu tersebut, melainkan perbedaan yang melandasi cara berpikir dan memandang realitas kehidupan, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Sebagaimana diketahui ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora mengkaji tentang perilaku manusia. Perilakunya dengan manusia lain baik secara pribadi maupun kolektif dikaji oleh sosiologi, perilaku kejiwaannya oleh psikologi, perilaku kebahasaannya oleh ilmu bahasa atau linguistik, perilakunya di masa lampau oleh sejarah, perilakunya mendidik oleh ilmu pendidikan, perilaku yang terkait dengan budaya atau nilai dan tradisi oleh antropologi, perilaku transaksinya oleh ilmu ekonomi, perilakunya dalam mendominasi dan memengaruhi orang lain oleh ilmu politik, perilakunya dengan tata aturan hidup oleh ilmu hukum dan seterusnya. Semua perilaku tersebut merupakan gejala sosial yang menjadi wilayah kajian utama ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora. Sedangkan ilmu-ilmu alam berhubungan dengan gejala-gejala alam yang bersifat fisik, konstan dan bisa diamati secara kasat mata, dan untuk memahaminya tidak sesulit gejala sosial. Disebut tidak sulit karena gejala alam bisa dipilah-pilah menjadi variabel yang jelas dan bisa diukur serta pola peristiwanya senantiasa tetap. Misalnya, pola mengenai gejala gunung meletus atau gejala tsunami sejak dahulu kala hingga sekarang tidak banyak berubah. Sedangkan gejala atau peristiwa sosial terikat dengan variabel tempat, waktu, pelaku, dan setting sehingga lebih kompleks. Karena itu, gejala atau peristiwa yang sama terjadi di tempat dan setting serta konteks yang berbeda maknanya akan berbeda pula. Baik setting, pelaku, dan konteks dipahami sebagai satu kesatuan untuk memeroleh pemahaman secara komprehensif. Masing-masing tidak berfunsgi sebagai variabel yang saling mempengaruhi, melainkan secara bersama-sama hadir dalam hubungan timbal balik atau reciprocal. Karena gejala sosial sangat kompeks, maka untuk memahaminya tidak cukup dengan satu sudut pandang atau satu disiplin ilmu. Sekadar contoh gejala atau peristiwa kekerasan agama yang sering terjadi akhir-akhir ini tidak bisa dipahami hanya dari sudut pandang agama, tetapi juga politik, budaya, ekonomi, pendidikan dan seterusnya. Ketika pengkaji ilmu bahasa menemukan orang beberapa

(2)

kali melakukan kesalahan ucapan pada kata atau istilah tertentu dalam sambutan, maka gejala itu tidak dipahami dengan menghitung berapa kali kesalahan tersebut terjadi, melainkan menganalisis bentuk kesalahannya dan mencari sebabnya dari sisi setting, konteks dan waktu kejadian. Benar bahwa gejala sosial seperti perilaku bernegosiasi, berkonflik, berinteraksi, berbahasa, bertransaksi, dan semacamnya bisa diamati. Tetapi untuk memahami semua perilaku itu diperlukan perenungan yang mendalam atau, meminjam istilah Weber, verstehen. Sebab, makna gejala sosial tidak berada pada wilayah permukaan (surface), melainkan berada di balik yang tampak. Selanjutnya, yang tampak itu disebut fenomena, sedangkan yang tidak tampak --- dan justru itu yang sebenarnya --- disebut realitas. Tugas utama pengkaji ilmu-ilmu sosial dan humaniora justru lebih banyak berurusan dengan hal-hal yang tidak tampak. Sekadar contoh lagi adalah mengenai hiruk pikuk rencana pembangunan gedung DPR RI yang menimbulkan pro dan kontra hari-hari ini yang rencananya memerlukan beaya hingga Rp. 1, 6 trilyun. Para ahli teknik sipil, arsitek dan perencanaan pembangunan lebih tertarik membahas aspek tata letak, redesign gedung sehingga tidak kelihatan sempit, mengukur kekuatan bangunan sehingga tidak runtuh dalam kurun waktu tertentu, dan seterusnya. Sebaliknya, pengkaji ilmu-ilmu sosial lebih terfokus pada pertanyaan mengenai makna sikap ngotot Ketua DPR Marzuki Alie yang begitu bersemangat memperjuangkan terwujudnya bangunan tersebut, kendati memperoleh banyak penolakan, baik dari dalam DPR sendiri maupun masyarakat luas. Menggunakan perspektif fenomenologi, bisa dimaknai ada maksud tersembunyi pada diri Marzuki Alie yang tidak terungkap. Sebab, sikap ngototnya sebagaimana kita saksikan melalui media massa merupakan pantulan gejolak dunia batinnya. Contoh lainnya, misalnya, ketika ahli vulkanologi mengkaji besaran lava gunung Merapi yang meletus beberapa waktu lalu, maka variabel untuk mengukur besaran tersebut tidak banyak. Begitu juga ketika mereka menditeksi kapan gunung Merapi akan meletus, maka ukuran-ukuran yang dijadikan pedoman dari waktu ke waktu dan dari satu peristiwa ke peristiwa letusan lainnya relatif tetap. Tetapi ketika para pengkaji ilmu-ilmu sosial yang mempelajari dampak sosial akibat letusan gunung Merapi, maka mata rantai untuk sampai pada kesimpulan sangat kompleks. Jangankan untuk menyimpulkan dampak sosial akibat letusan Merapi, sekadar mencari jawaban mengapa Mbah Maridjan selaku juru kunci gunung Merapi yang enggan mengungsi kendati gunung sudah mengeluarkan lava dan peringatan secara resmi dari pemerintah juga sudah diberikan sangat sulit diperoleh jawabannya. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa yang paling tahu alasannya hanya Mbah Maridjan sendiri. Para ahli itu pun hanya membuat inferensi yang bersifat sementara yang belum tentu benar. Berbagai tafsir pun bermunculan. Hingga Mbah Maridjan akhirnya meninggal karena terkena sengatan panas lava alasan keengganan pindah belum pernah diperoleh. Kejahatan mafia pajak yang dilakukan oleh mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, tidak kalah menariknya jika dianalisis secara sosial. Peristiwanya tunggal, berupa mafia pajak, tetapi akar permasalahannya tidak sesederhana itu. Begitu juga kengototan Nurdin Halid untuk mencalonkan diri lagi menjadi Ketua Umum PSSI walaupun terjadi banyak penolakan tak pelak merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dikaji hanya dengan satu dimensi, misalnya, olah raga saja, tetapi ada banyak dimensi yang melingkupinya. Sebagaimana ditulis di depan, sebuah peristiwa sosial tidak bisa dipahami dan didekati hanya dengan atau oleh satu pendekatan, tetapi harus secara holistik. Kemampuan memahami gejala sosial secara holistik memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang tidak sedikit. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah expert judgement yang harus dimiliki oleh para pengkaji ilmu sosial. Mengkontraskan Ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora bukan berarti menempatkan yang satu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain, atau yang satu lebih bermanfaat dari yang lain. Tetapi yang satu berbeda dengan yang lain karena wilayah atau, meminjam istilah paradigma positivistik, objek kajiannya memang berbeda. Allah menciptakan dunia seisinya dengan sempura dan berpasang-pasangan. Jika ada siang dan malam, ada baik dan buruk, ada tinggi dan rendah yang semuanya untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaannya, maka dalam kajian ilmu pengetahuan

(3)

ada fakta sosial dan ada definisi sosial. Jika ilmu alam bertugas mengkaji fakta sosial yang empirik, maka ilmu sosial dan ilmu-ilmu humniora bertugas mengkaji definisi sosial yang abstrak dan simbolik. Tentu saja karena objek materialnya berbeda, maka metode dan cara untuk memerolehnya juga berbeda. Dalam bahasa filsafat ilmu, jika ontologinya berbeda, maka epistemologinya pasti berbeda. Contoh sederhananya menangkap ikan tidak bisa dengan pisau atau sabit yang tajam, melainkan jala atau pancing. Begitu juga memotong rambut tidak dengan sabit atau pisau, melainkan gunting. Singkatnya, materi menentukan alat, bukan sebaliknya. An object determines a means. Karena itu, terjadi kesalahan serius jika seorang peneliti atau pengkaji ilmu sosial dan humaniora yang ingin mengetahui persepsi seseorang terhadap sebuah gejala sosial menggunakan tes atau obervasi untuk memerolehnya. Begitu juga kesalahan yang sama terjadi jika pengkaji ingin mengetahui kemampuan atau kompetensi seseorang dalam bidang tertentu dengan menggunakan cara wawancara. Dalam kehidupan akademik sehari-hari saya sering menemukan tumpang tindih pemahaman dan metode untuk memperoleh jawaban atas gejala atau fenomena yang dikaji. Kesalahan menentukan alat akan menjadi awal kesalahan jawaban. Lebih fatal lagi jika jawaban yang salah itu dipakai sebagai dasar mengambil sebuah kebijakan. Karena itu, diperlukan kemampuan berpikir metodologis yang tepat bagi para pengkaji ilmu pengetahuan, baik untuk mengkaji gejala alam, sosial, dan kemanusiaan dalam upaya menjelaskan dan mengeksplorasi setiap peristiwa. Semoga tulisan sederhana ini ada manfaatnya bagi para pengkaji pemula, baik ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu humaniora. _____________ Malang, 7 April 2011

Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo

Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tas ini berbentuk sederhana dan simpel hanya ditambahkan dengan boneka-boneka monster, warna-warna yang dipilih juga warna-warna yang cerah sehingga cocok digunakan untuk

Adam, W. Boneka & Aksesori Rajut Anak. Jakarta: Kriya Pustaka. Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia. Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaannya.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Struktur Organisasi Penguatan kelembagaan Pemerintah Kampung Tualang Baro telah terbentuk dan berjalan sesuai dengan Qanun Kabupaten Aceh

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Seni

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.. Sari

[r]

Subjek tersebut dilakukan swab pada permukaan palatum rongga mulut dan permukaan intaglio gigitiruan yang menghadap ke permukaan palatum, kemudian hasil swab