1. Bilateral Investment Treaties (Perjanjian Investasi Bilateral )
Perjanjian Investasi Bilateral (PIB) merupakan perjanjian yang memberikan perlindungan hak dan kekuasaan kepada investor asing, khususnya perusahaan transnasional yang mendominasi perekonomian global. Di dalam PIB antara Indonesia dan negara maju, ada keinginan bagi negara maju untuk mengamankan keuangan yang mereka miliki sekaligus mendapatkan perlindungan hukum terhadap investor dan investasinya di Indonesia. PIB memberikan arti yang sangat luas untuk term “investasi” yang mencakup: properti yang bergerak dan tidak bergerak, hak kekayaan dalam perusahaan, klaim terhadap uang, hak kontrak, hak kekayaan intelektual, konsesi, juga termasuk lisensi dan hak lainnya. Pengertian “investasi” yang sangat luas ini menjadi mayoritas sumber sengketa dalam arbitrase internasional.
Perlindungan untuk investor asing di dalam PIB mencakup: pertama, hak untuk memperoleh perlakuan yang adil dan seimbang (fair and equitable treatment) dengan pelaku lokal. Kedua, Hak mendapat perlakuan yang sama dengan investor negara lain, yang berarti negara harus memberikan perlindungan yang sama pada investor asing dari negara lain yang menandatangani perjanjian investasi dengan Indonesia. Ketiga, Hak investor untuk dapat menggugat negara dimana investasi dilakukan apabila investor merasa dirugikan oleh kebijakan lokal ataupun nasional. Sengketa antara investor asing dan negara dapat dilaksanakan pada peradilan internasional yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Indonesia sendiri sudah menandatangani PIB semenjak tahun 1970an dengan Negara Maju. Kebanyakan PIB ditanda tangani pada era orde baru dimana Indonesia membutuhkan investasi besar-besaran untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi. Orde Baru yang berlangsung pada tahun 1966-1998 adalah gelombang pertama masuknya globalisasi di Indonesia.1 Pada masa tersebut juga, Indonesia belum bergabung dengan berbagai organisasi perdagangan multilateral seperti: APEC, WTO, Asean Economic Community dan G20. Suatu era dimana kekuatan ekonomi belum bertumpu di Asia. Pada saat itu juga, negara menandatanganinya hanya untuk mendapatkan legitimasi dan penerimaan dari negara lain tanpa memahami apa resiko dibalik penandatangan PIB tersebiut.
PIB mempunyai jangka waktu berlaku yang beragam antara 10,15, 20 dan 25 tahun. PIB dapat diperbaharui secara otomatis tergantung dengan isi dari masing-masing PIB. Contoh kasus: PIB antara Indonesia-Belanda ditandatangani pada tahun 1994 dan diimplementasikan pada 1995. Menurut PIB tersebut, PIB akan habis masa berlaku pada Juli 2015. Setahun sebelum berakhirnya PIB, kedua belah pihak berhak untuk menentukan kelanjutan atau pembatalan PIB, dengan notifikasi setahun sebelumnya. Sayangnya, 1 http://eh.net/encyclopedia/the-economic-history-of-indonesia/
walaupun sudah dibatalkan, investor masih dapat menikmati perlindungan investasi yang disebut dengan “sunset period” selama 15 tahun setelah notifikasi pembatalan PIB.
PIB acapkali dilihat sebagai intrumen pembangunan, karena dapat menarik investasi. Pandangan ini sebenarnya salah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa lemah sekali hubungan antara penandatanganan PIB dengan peningkatan investasi di suatu negara. Misal: Jepang hanya memiliki 4 PIB. Brazil tidak memiliki ratifikasi terhadap PIB dan berbagai negara yang telah meratifikasi ternyata mengalami masalah dalam menarik investasi di negaranya, khususnya di daerah Sub-Sahara Afrika.
2. Investasi dan Undang-Undang Penanaman Modal
Indonesia membuat UU No.25 tahun 2007 tentang Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM) sebagai konsekwensi dari PIB dan berbagai FTA yang sudah ditandatangani. Pembuatan UU ini menggantikan UU No.1 tahun 1967 tentang Investasi Luar Negeri dan UU No. 6 tahun 1968 tentang Investasi Domestik. Di dalam UUPM ini memberikan hak yang besar terhadap investor termasuk di dalamnya: jangka waktu penggunaan lahan, insentif pajak, transfer dan repatriasi dan juga Hak Guna Usaha (HGU) di sektor-sektor strategis. Pemerintah memberikan Hak Guna Usaha sampai selama 25 tahun kepada perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia. Segala kemudahan ini sangat dinikmati oleh perusahaan multinasional yang ada di Indonesia.
UUPM secara khusus memandatkan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai wilayah dengan fasilitas investasi seperti: insentif pajak dari pemerintah. Setidaknya akan dibangun 13 kawasan ekonomi khusus yang berada di wilayah: Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua. Kawasan ekonomi di Jawa ditujukan untuk pembuatan barang konsumsi (consumer goods). Sedangkan di luar Jawa untuk produksi barang lainnya. Pembangunan KEK di kawasan ini dikhususkan ditujukan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015.
Dibawah UUPM ini juga pemerintah mengeluarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) sebagai strategi untuk membuka semua sektor ekonomi strategis bagi Investasi asing, mulai dari air, energy, pangan dan keuangan. Semenjak UUPM disahkan, pemerintah telah beberapa kali melakukan revisi terhadap Daftar Negatif Investasi melalui Dekrit Presiden dan Peraturan Presiden. Daftar negatif investasi terbaru diterbitkan pada tanggal 23 April 2014 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang dikenal dengan DNI 2014. DNI 2014 mengatur kebijakan tentang bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal serta bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan yang dibagi
dalam tiga kelompok, yaitu: bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan; bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, lokasi tertentu, serta perizinan khusus.
Perubahan DNI yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk dapat menarik investasi asing. Perubahan ini dilakukan terus menerus melalui beberapa penyesuaian untuk dapat meningkatkan investasi di Indonesia. Tercatat realisasi investasi di Indonesia periode Januari-September 2014 mencapai Rp342,7 triliun atau berhasil tumbuh sebesar 16,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp228,3 triliun dengan pertumbuhan 14,6 persen (BKPM, 2014).
Selain itu pemerintah telah melahirkan berbagai UU sektoral yang memfasilitasi investasi luar negeri. Beberapa UU yaitu: UU Perbankan, UU Migas, UU Minerba, UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan. Keseluruhan UU tersebut ditujukan dalam rangka kemudahan investasi seluruh sektor strategis di Indonesia. Dengan adanya UU tersebut, pemerintah menjamin perusahaan yang berinvestasi di Indonesia, jaminan tersebut dapat berupa: perusahaan tidak akan dinasionalisasi. Beberapa pasal dalam UU sektoral ini merujuk kepada PIB.
Dengan adanya perlindungan terhadap investasi ini, Indonesia menjadi tempat yang aman bagi perusahaan transnasional untuk berinvestasi sekaligus menjadi pasar dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kedaulatan negara perlahan hilang dikalahkan oleh investasi asing. Eksploitasi kekayaan alam khususnya mineral dan batubara telah mengakibatkan masyarakat terpinggirkan. Selain itu, pengerukan kekayaan alam melalui industri ekstraktif telah melahirkan kerusakan lingkungan, menurunkan daya dukung lingkungan dalam menopang pertanian.
Dalam hal industri ekstraktif, pemerintah Indonesia semenjak bulan Januari 2014 telah mengimplementasikan UU Mineral dan Batu Bara yang mensyaratkan perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia wajib melakukan pemurnian konsentrat di dalam negeri. Hal ini dilakukan guna memberi nilai tambah sebelum dilakukan ekspor. Ada banyak tantangan dari perusahaan yang merasa dirugikan dengan implementasi UU ini. Salah satu diantaranya adalah Newmont yang menuntut pemerintah Indonesia di ICSID pada bulan Juli 2014. Hal ini menjadi konsekuensi yang tidak bisa dielakkan jika pemerintah Indonesia sudah terikat dalam PIB. Dengan adanya PIB, terjadi pembatasan kebijakan pemerintah yang seharusnya dapat mendahulukan kepentingan masyarakat. Apabila pemerintah melakukan perubahan kebijakan di luar dari yang sudah ditanda tangani, hal ini berujung kepada dituntutnya Negara pada arbitrase internasional.
Sudah saatnya pemerintah Indonesia bersifat tegas melalui kebijakan yang dapat melindungi industri nasional dan kecil menengah dengan mensyaratkan investasi yang masuk ke Indonesia dapat digunakan sebesar-besarnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Langkah ini dapat diawali dengan revisi dan pembatalan terhadap PIB yang sudah ditanda tangani. Ini membutuhkan langkah konkrit dari berbagai pihak demi melindungi kedaulatan bangsa Indonesia dalam era liberalisasi perdagangan.