• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dan Peraturan Perundang Undang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan dan Peraturan Perundang Undang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

PERUBAHAN KEDUDUKAN WANITA DALAM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBENTUKAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA

DISUSUN OLEH

NAMA : MUHAMMAD AHLUL AMRI BUANA

NIM : 09/281973/HK/18062

(2)

LATAR BELAKANG

Kedudukan dan peran yang dinikmati oleh kaum Hawa pada hari ini berbeda dengan kedudukan dan peran yang mereka miliki sekitar 50 tahun yang lalu. Perkembangan teknologi serta terbukanya sekat-sekat pemisah antara laki-laki dan perempuan mendorong terciptanya gerakan-gerakan feminisme. Diawali oleh seorang Kartini, konsep emansipasi yang menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan diperluas definisinya agar dapat mengikuti arus modernitas dewasa ini. Gerakan-gerakan tersebut menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat akan hakikat golongan perempuan di kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tuntutan kesetaraan gender tidak hanya datang dari internal bangsa Indonesia, namun juga karena pengaruh asing. Istilah feminisme yang kental dengan cara pandang perempuan di Barat dalam menilai kesetaraan seringkali diterjemahkan sebagai “kebebasan”. Pada tingkatnya yang paling ekstrem, feminisme jenis seperti ini bahkan mencapai titik perlawanan terhadap budaya patriarki. Kebencian-kebencian pada lawan jenis yang lahir dari feminisme ala Barat jelas tidak sesuai dengan pola adat-istiadat masyarakat Indonesia. Perempuan punya tempat khusus dalam kebudayaan bangsa kita, tanpa meniru feminisme Barat secara membabi-buta pun perempuan Indonesia memiliki kesempatan yang besar dan setara untuk berkarya.

Dalam menjawab isu mengenai kesetaraan gender di era informasi terbuka seperti sekarang, pembentukan perangkat hukum yang dapat menaungi kepentingan kaum Hawa menjadi semakin signifikan. Selama ini, porsi perempuan yang duduk di kursi pemerintahan memang tidak sebanyak kaum Adam. Akibatnya, banyak kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi-politik-sosial yang dirasa timpang bagi perempuan. Minimumnya jumlah perwakilan mereka di Senayan membuat suara perempuan tidak mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. “De minimis non curat lex”, hukum tidak mengurusi hal yang remeh-temeh. Berpijak pada adagium tersebut, isu mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang memperhatikan hak-hak wanita perlu diefektifkan sedemikian rupa, agar persoalan-persoalan mengenai konflik antargender dapat dihindari di masa yang akan datang.

(3)
(4)

PEMBAHASAN

A. INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT

Perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat memiliki pola. Menurut Auguste Comte, perubahan itu mengikuti Pola Linear atau berjalan beriringan menuju kemajuan. Masyarakat berkembang dari tipe “teologis dan militer” menuju “metafisik dan yuridis” hingga berpuncak pada masyarakat “ilmu pengetahuan dan industri”. Perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat pun memiliki pola yang sama. Apabila dulu wanita hidup di bawah kukungan tradisi patriarki yang otoritarian, perlahan hak-hak mereka selaku mitra yang setara dengan kaum pria mulai diakui. Setelah mendapatkan pengakuan, kedudukan perempuan akan terus berkembang hingga mereka mencapai status mandiri yang memainkan peran penting dalam rumah tangga industri negara. Perubahan-perubahan seperti ini di masa mendatang akan mempengaruhi sistem nilai sosial, sikap-sikap, serta prilaku sosial di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Salah satu faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan zaman ialah industrialisasi. Industrialisasi diartikan sebagai transformasi dari masyarakat pra-industri menuju masyarakat industri, disebut pula sebagai revolusi.1 Industrialisasi ternyata tidak sekedar pendirian pabrik di sini dan sana, namun juga terkait pembentukan suatu kebudayaan baru. Perlahan tapi pasti, perempuan yang tadinya merupakan makhluk inferior dan berhubungan dengan urusan rumah tangga atau reproduksi semata kini telah memegang pekerjaan di berbagai lapangan keilmuan. Sekarang kita dapat menemukan seorang perempuan yang bermatapencaharian sebagai sopir bus, guru, polisi, bahkan pilot pesawat terbang. Penemuan baru di bidang teknologi semakin memperbesar keinginan perempuan untuk keluar dari urusan rumah tangga dan mengambil peranan yang lebih besar di tengah masyarakat.

Perempuan di abad industrialisasi ialah perempuan yang memiliki multiple roles atau peran majemuk. Seorang perempuan dapat menjadi ibu dan ayah sekaligus, memainkan peran sebagai seorang direktur perusahaan, dan bahkan sebagai seorang tokoh keagamaan. Pengendalian sosial sebagai cara yang digunakan oleh masyarakat untuk menertibkan

(5)

anggotanya yang membangkang ternyata tidak mampu membendung arus perempuan yang terjun bebas ke dunia lapangan kerja. Kini, menjadi perempuan tidak serta merta berhubungan dengan status yang diperoleh (ascribed status) saja. Menjadi perempuan modern yang multitasking adalah sebuah status yang memerlukan kualitas tertentu untuk diraih (achieved status). Dengan demikian, tidak ada alasan lain bagi masyarakat untuk memandang rendah kepada gadis-gadis yang keluar rumah, karena mereka melakukan kegiatan yang positif dalam membangun peradaban.2

Besarnya tuntutan kebebasan perempuan di era globalisasi ini ternyata banyak menciptakan masalah-masalah baru yang belum pernah dihadapi oleh generasi pendahulu mereka ribuan tahun yang lalu. Indonesia, sebagai sebuah negara yang multikultur memiliki banyak kelompok atau lapisan perempuan yang masing-masing memiliki masalahnya sendiri. Lapisan tersebut tidak hanya dapat dipandang dari aspek kelas sosial atau ekonomi saja, namun juga melibatkan nilai-nilai budaya, adat istiadat dari berbagai etnis.3 Teknologi terbukti mampu untuk membebaskan wanita dan mendorong emansipasi di berbagai bidang. Namun teknologi juga menyisakan pertanyaan besar akan sejauh mana batas kebebasan ini akan melebar. Dampak terburuk atas industrialisasi peranan perempuan ini adalah penyimpangan-penyimpangan sosial yang muncul beriringan dengan cepat.

Agar dapat mengakomodasi penyimpangan-penyimpangan sosial kepada dan oleh perempuan, serta untuk menjamin terlindunginya hak-hak mereka untuk diperlakukan setara dengan laki-laki, dibutuhkan peraturan-peraturan khusus oleh pemerintah. Persoalan tentang perubahan kedudukan perempuan di tengah masyarakat merupakan persoalan negara juga. Sebagai tulang punggung rumah tangga dan perekonomian bangsa, sudah selayaknya kebijakan yang terkait kesejahteran mereka dibuat dengan berorientasi kepada hak-hak perempuan, tidak semata-mata demi tujuan politis saja. Merupakan tugas bersama bagi kita semua untuk mengantisipasi apa yang kira-kira akan terjadi di masa mendatang terkait persoalan ini.

(6)

B. PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA

Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak banyak peraturan yang dibuat pemerintah terkait dengan peran serta dan kedudukan wanita dalam pemerintahan. Sedikitnya porsi wanita yang duduk langsung dan mewakili kaumnya di Lembaga Legislatif mengakibatkan miskinnya Peraturan Perundang-Undangan yang mengakomodir kepentingan mereka. Selama beberapa waktu Indonesia yang sibuk mempersiapkan mental bangsanya dalam menghadapi gempuran asing di Agresi Militer I dan II serta usaha-usaha memperkokoh barisan persatuan pada beberapa kasus pemberontakan internal membuat perhatian pemerintah terhadap pembuatan peraturan hukum untuk kesejahteraan perempuan terbengkalai.

Sistem hukum yang dimiliki oleh Indonesia merupakan warisan dari hukum kolonial. Dengan adanya asas Uti Posidentis, maka peraturan yang tidak dihapuskan atau belum diatur pada masa pra-kemerdekaan akan tetap berlaku. Hal ini menjadi bumerang untuk posisi kaum perempuan. Burgelijk Wetboek berisi aturan-aturan yang menomorduakan wanita. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak cakap melaksanakan perbuatan hukum sehingga wajib diwakili oleh suaminya dalam melakukan perbuatan hukum. Meskipun ketentuan seperti ini telah dihapus oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, peraturan hukum lainnya yang tercermin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertolak dari perspektif yang memandang perempuan dengan cara sama. Hal ini menimbulkan timpangnya kedudukan perempuan dalam peraturan hukum Indonesia.

Kebudayaan asli Indonesia yang terlanjur memarginalkan peran perempuan pun memiliki andil besar dalam pembentukan karakter bangsa. Ambil contoh budaya Jawa yang menempatkan perempuan sebagai second sex yang bahkan tercermin dalam ungkapan verbal yang sangat mengunggulkan laki-laki, “suarga nunut neraka katut”.4 Faktanya, masih banyak masyarakat Jawa yang terilhami dengan tradisi tersebut. Berdasarkan dokumentasi Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) Jawa Tengah, sepanjang November 2010-Oktober 2011, tercatat 632 kasus dengan korban

(7)

sebanyak 1.277 perempuan dan 34 di antaranya meninggal dunia.5 Tercatat daerah-daerah

yang memiliki angka kekerasan dalam rumah tangga tinggi berada di wilayah Purworejo, Tegal, dan Kudus.6

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dianggap sebagai salah satu bentuk peraturan hukum awal yang masuk kualifikasi perlindungan terhadap perempuan. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. UU No. 1 Tahun 1974 kini dinilai tidak mewakili perempuan. Isu-isu seperti pembedaan posisi dan peran perempuan dalam rumah tangga (kepala rumah tangga adalah suami); pembolehan perkawinan usia anak; pembedaan batasan usia kawin bagi perempuan lebih muda dari laki-laki; dan pembolehan poligami, cenderung melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, menafikan fakta keberagaman di tanah air, serta menjauhkan perempuan dari haknya untuk mendapatkan perlakuan sama di depan hukum. Gugatan yang dilayangkan oleh Halimah Agustina Kamil, mantan istri Bambang Trihatmojo ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapuskan Pasal 39 Ayat (2) huruf f UU No 1/1974 merupakan salah satu contoh kasus nyata tidak terlindunginya kepentingan hukum perempuan Indonesia di abad ke-21 ini.

Perhatian pemerintah akan kedudukan perempuan serta perlindungan terhadap hak-hak mereka baru muncul pada tahun 1984. Diratifikasinya Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita menjadi awal pembaharuan sistem perlindungan terhadap perempuan. Sebelumnya, Peraturan Perundang-Undangan mengenai perempuan amatlah sedikit. Bahkan boleh dibilang tidak ada undang-undang maupun peraturan hukum khusus yang membicarakan persoalan hak-hak perempuan dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai konsekuensi atas diratifikasinya konvensi ini, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak kaum perempuan yang sama dengan kaum lelaki, tidak melakukan diskriminasi berbasis gender, serta mencabut segala bentuk peraturan pidana nasional yang tidak melindungi kepentingan perempuan.7 Tercatat ada empat undang-undang yang berhubungan dengan perlindungan terhadap perempuan sejak tahun 1984 hingga 2011 di

5

http://www.tempo.co/read/news/2011/11/25/058368494/Kekerasan-Perempuan-Jawa-Tengah-Meningkat

6

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/11/28/102940/Kasus-KDRT-di-Purworejo-Tertinggi-se-Jateng

(8)

website resmi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.8

Di awal millenium kedua, muncul Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (gender streaming). Peraturan ini bertujuan untuk menyelenggarakan perencanaan, penyusunan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan pemerintah yang berspektif keadilan gender.9 Dikeluarkannya ketentuan tersebut tidak terlepas dari fakta kegagalan program Keluarga Berencana (KB) yang tidak berwawasan kesetaraan. Praktek-praktek ber-KB dilaksanakan melalui “paksaan” dengan target perempuan dari kalangan ekonomi bawah. Perempuan tidak diberikan kesempatan untuk memilih alat kontrasepsi yang tepat dan kehilangan otonomi untuk mengatur aspek reproduksinya sendiri. Akibatnya, perempuanlah yang harus menanggung dampak buruk pada kesehatan organ reproduksi mereka.

Terkait kesejahteraan perempuan di lingkungan tempat kerja, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dilengkapi dengan beberapa aturan yang cukup memadai. Beberapa hal yang diatur untuk menjamin hak-hak perempuan antara lain: perlindungan jam kerja bagi wanita (mulai pukul 23.00 hingga jam 7 pagi) yang meliputi juga jaminan asupan makanan bergizi selama waktu istirahat, perlindungan dalam masa haid dimana tenaga kerja wanita diperbolehkan tidak hadir pada hari pertama dan kedua menstruasi, perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh, serta pemberian kesempatan pada pekerja wanita yang anaknya masih menyusu untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan. Sayangnya, masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Diperbolehkannya perjanjian khusus antara majikan dan buruh terkait peraturan kerja mengakibatkan banyaknya penyelewengan tersembunyi terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas. Minimnya pengawasan dari dinas-dinas yang berwenang juga menyebabkan banyaknya pekerja wanita yang menderita di lingkungan tempat kerja mereka.

Harapan baru atas pemberdayaan serta perlindungan hak-hak perempuan muncul seiring dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Beberapa hal penting yang diatur oleh undang-undang ini antara lain: pendefinisian tindak kekerasan, pengertian rumah tangga, pengaturan berbagai tindak kekerasan/kejahatan yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, mengatur sanksi bagi pelaku serta mengatur hak-hak korban. Sayangnya, pada implementasinya,

undang-8 http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&Itemid=105

(9)

undang ini belum mampu menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. Sosialisasi undang-undang ini mengalami kendala ketika masyarakat tidak memahami substansi atas berlakunya ketentuan tersebut serta nilai-nilai sosial yang menghindari masalah keluarga menjadi bagian dari ranah publik. Anggapan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga masih merupakan persoalan domestik dikukuhkan dengan masalah-masalah seperti ketergantungan ekonomi, masa depan, serta status anak.10

Kemudian muncul Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Ketentuan dalam pasal 8, pasal 53 dan pasal 55 memberikan mandat bahwa posisi wanita yang duduk di lembaga legislatif sekurang-kurangnya berjumlah 30%. Diharapkan, melalui porsi yang lebih besar tersebut kaum Hawa dapat lebih didengar suaranya serta mampu memerankan peranan vital dalam pengambilan keputusan negara. Akan tetapi, kenyataannya realisasi dari ketentuan Undang-Undang tersebut masih jauh dari harapan. Pada periode 2004-2009 dari 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, anggota perempuan hanya 12 persen. Ditingkat DPRD bahkan jumlahnya semakin kecil, hanya 7-8 persen, dan yang lebih memprihatinkan, terdapat satu kabupaten yang tidak terdapat anggota DPRD yang perempuan.

Miskinnya peraturan perundang-undang yang dimiliki oleh Indonesia terkait perempuan membuktikan rendahnya tingkat perhatian maupun sokongan dari pemerintah terhadap mereka. Di sisi lain, perempuan yang telah lama berada di bawah tekanan tidak banyak mempersoalkan posisi mereka yang masih jauh dari perlindungan hak dan kewajiban. Roscoe Pound dalam teorinya “law as a tool of social control” mengatakan bahwa hukum adalah sarana untuk mempengaruhi warga masyarakat agar bertindak atau bertingkah laku sesuai yang dikehendaki masyarakat. Hukum digunakan sebagai alat untuk merubah tingkah laku warga masyarakat ke arah yang direncanakan. Tanpa adanya aturan hukum yang tegas dan mengatur masalah perempuan, maka masyarakat pun tidak akan pernah melek dari kenyataan pahit terkait kesejahteraan kaum Hawa.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kurang optimalnya fungsi hukum sebagai social engineering. Pertama, faktor perundang-undangan. Ketiadaan aturan hukum membuat upaya-upaya perlindungan perempuan penuh dengan ketidakpastian serta tanda tanya. Kedua, faktor penegak hukum. Aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab sebagai aktor yang melaksanakan perintah perundang-undangan. Tanpa kinerja yang giat dan efektif, peraturan hukum yang melindungi perempuan tidak akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya. Faktor ketiga adalah warga masyarakat. Peran aktif masyarakat dalam

(10)

penegakan hukum menjadi penting sebab di sanalah fungsi operasional hukum dapat terlihat jelas. Terakhir, faktor fasilitas pendukungnya. Kelengkapan sarana dan prasana yang menunjang pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai perempuan akan memberikan banyak kemudahan serta kemanfaatan baik dari pihak pelaksana maupun target yang disasar oleh peraturan hukum tersebut.

KESIMPULAN

Referensi

Dokumen terkait

salinan naskah asli (hardcopy) LPSDK kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 2,

 Bertanggung jawab mengembangkan hidup sesuai iman akan Allah Tritunggal Produk, Praktik (Penilaian Praktik) 3 x 45’ 3.10 Memahami Allah Tritunggal sebagai

Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disebut SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal.. yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan

Dari beberapa pilihan karir yang sesuai dengan program keahlian saya harus fokus merencanakan salah satu untuk saya tekuni

alat pemanas air solar water heater jenis pelat datar dengan sistem hybrid pasif dan aktif sehingga mendapatkan air panas dengan suhu yang di inginkan sebagai

Kami menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa progam studi keperawatan S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Secara umum kandungan logam berat baik Pb, maupunCu dalam air memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan yang ada di sedimen.Hal ini disebabkan karena

Berdasarkan hasil penelitian pada kuadran importance performance analysis (IPA), terdapat 2 indikator yang menjadi prioritas utama fokus perbaikan pada website Lazada.co.id