• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang mencakup Indo Cina dan

Semenanjung Malaya serta kepulauan di sekitarnya. Sekitar 80% dari wilayah Asia

Tenggara merupakan wilayah lautan dan lebih dari 60% masyarakat Asia Tenggara hidup

dengan mengandalkan sektor kelautan sebagai tulang punggung perekonomian. Hal ini

menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai jalur alur perdagangan global. Di samping itu,

Asia Tenggara juga memiliki letak yang strategis di tinjau dari berbagai aspek baik itu dari

segi astronomis, geografis, politis, ekonomis, sosial serta keadaan alamnya. Tak heran jika

strategisnya posisi kawasan ini pada era perang dingin telah menempatkan kawasan Asia

Tenggara sebagai ajang persaingan ideologi dan militer khususnya antara Amerika Serikat

dan Uni Soviet. Perkembangan situasi tersebut mencapai titik kulminasi sejalan dengan

perubahan situasi politik internasional di penghujung abad ke-20.1

Laut Cina Selatan (selanjutnya disingkat LCS) merupakan bagian dari Samudera

Pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat

Taiwan dengan luas sekitar 3,5 juta km². Berdasarkan ukurannya, LCS ini merupakan

wilayah perairan terluas atau terluas kedua setelah kelima samudera. Laut Cina Selatan

(LCS) merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di

dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya sangat

penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran internasional.2

1

http://www. Tabloiddiplomasi.org/previous-issue/104-agustus-2010/903 “Asean Maritime Forum Akan Dapat Mengatasi Berbagai Isu Terkait Wilayah Maritim” , diakses pada 29 Agustus 2016.

(2)

Dari berbagai konflik teritorial antar negara di Asia Tenggara, konflik di LCS kini

menjadi sumber ketegangan baru yang dapat menimbulkan ancaman atas keamanan

regional maupun internasional. Sumber pesoalan yang membuat kawasan Asia Tenggara

diliputi ketegangan adalah sengketa klaim kepemilikan wilayah di LCS, yang melibatkan

beberapa negara yaitu Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Philipina, Vietnam dan Brunei

Darussalam. Persengketaan di kawasan ini mencakup kedaulatan teritorial maupun

kedaulatan maritimnya. Kedaulatan teritorial yaitu menyangkut kepemilikan wilayah yang

ada di daerah sengketa. Sementara kedaulatan maritim berhubungan dengan penetapan

batas yang diizinkan oleh Hukum Konvensi laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya

disebut PBB) United Nation Covenant on Law of Sea (selanjutnya disebut UNCLOS) tahun

1982.

Beberapa unsur yang menjadi alasan tidak selesainya masalah sengketa ini yakni

akibat benturan masalah hukum laut wilayah antar negara. Malaysia, Brunei Darussalam

dan Philipina mengklaim LCS berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 57 UNCLOS1982

yang memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk memperluas wilayahnya tidak

lebih dari 200 mil yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif.3

Tiongkok sebagai negara yang mengklaim seluruh wilayah perairan LCS bersikap

semakin keras dan cenderung menolak berkompromi terkait sengketa LCS, misalnya

dalam insiden dengan kapal survei geologi Vietnam. Begitu pula dalam kasus komunikasi

antara kapal perang India yang tengah berlayar di LCS dengan kapal perang Tiongkok, di

mana nada pertanyaan dari kapal perang Tiongkok bersifat menantang. Belakangan

pemerintah Tiongkok mengganggap bahwa situasi di LCS kini semakin memburuk seiring

(3)

Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration

(selanjutnya disebutPCA) atas klaim Tiongkok di LCS dibuat untuk menanggapi pengajuan

keberatan Pemerintah Philipina tahun 2013. Philipina keberatan atas aktivitas dan klaim

Tiongkok di LCS, terutama klaim Tiongkok terhadap hak-hak kesejarahan (historic rights)

dan sembilan garis putus-putus (nine-dash-line. Nine-dash-line) adalah upaya Tiongkok

untuk memetakan klaim historic rights pada fitur maritim dan perairan LCS. Akibatnya,

lebih 80 persen wilayah LCS diklaim oleh Tiongkok. Klaim ini tidak didukung dengan data

koordinat geografis. Menurut PCA, klaim ini tak sesuai dengan hak berdaulat Zona

Ekonomi Ekslusif (selanjutnya disebut ZEE) yang didasarkan pada UNCLOS. Permanent

Court of Arbitration (PCA) menyatakan Tiongkok telah melanggar hak-hak kedaulatan

Philipina dan juga menegaskan bahwa Tiongkok telah menyebabkan kerusakan

lingkungan dengan membangun pulau-pulau buatan.

Masyarakat Philipina, sebagai warga dari negara yang mengajukan keberatan atas

klaim Tiongkok di LCS, menyambut baik putusan PCA. Sebagian warga menggelar pawai di

sejumlah tempat di Manila, membawa poster, dan mengibarkan bendera negeri itu. Salah

satu poster bertuliskan, “Kedaulatan Philipina, tidak bisa ditawar-tawar”. Menteri Luar

Negeri Philipina, Perfecto Rivas Yasay Jr., menyebut putusan Mahkamah Arbitrase itu

sebagai keputusan bersejarah yang memberi kontribusi penting pada upaya pencarian

solusi damai atas perselisihan teritorial antarnegara di perairan. Menlu Philipina juga

menegaskan sikap dan komitmen negaranya untuk mencari penyelesaian secara damai 4

3

UNCLOS 1982 diakses melalui

convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf pada tanggal 21 Desember 2016.

(4)

dengan pandangan untuk mempromosikan dan meningkatkan perdamaian dan stabilitas

di kawasan.5

Hal yang mendasari mengapa LCS bisa mengalami permasalahan yang besar.

Pertama, kekuatan besar memainkan peran dalam LCS. Tiongkok dan Amerika Serikat

memiliki banyak saluran komunikasi bilateral yang bisa saja membuat situasi menjadi

meningkat. Tiongkok dan Amerika Serikat secara strategis memberi sinyal satu dengan

lain. Namun, Tiongkok dan Amerika Serikat tak akan meningkatkan situasi di luar kendali.

Kedua, stabilitas strategis yang dilihat di LCS berasal dari asimetri kekuasaan yang

menyediakan ruang strategis untuk bermanuver. Terakhir, setidaknya masih ada Berbeda dengan Philipina, Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing menyatakan,

Tiongkok tidak akan menerima posisi atau aksi apa pun yang didasarkan pada putusan

Mahkamah Arbitrase atas pengajuan keberatan Philipina. Namun, Tiongkok tetap akan

menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan LCS. Dalam pernyataannya, Kementerian

Luar Negeri Tiongkok menyatakan putusan Mahkamah itu hampa dan tidak memiliki

kekuatan mengikat. “Kedaulatan teritorial dan hak-hak maritim serta kepentingan

Tiongkok di LCS tidak terpengaruh keputusan itu”. Tiongkok menentang dan tidak akan

pernah menerima klaim ataupun aksi yang didasarkan pada keputusan itu. Sedangkan

Tiongkok, Vietnam dan Taiwan mengklaim LCS berdasarkan sejarah peninggalan

kekuasaan dinasti atau kerajaan mereka (Tiongkok) serta peninggalan negara penjajahnya

(Vietnam dan Taiwan). Sebenarnya seluruh negara yang bersengketa dan tergabung

dalam organisasi regional ASEAN telah sepakat membawa permasalahan ini ke arbitrase

internasional akan tetapi anggapan berbeda datang dari Tiongkok yang menginginkan

penyelesaian secara bilateral karena akan lebih menguntungkan kedua belah pihak.

5

(5)

beberapa dialog yang terjadi dan dapat dilihat bahwa saling ketergantungan ekonomi

makin meningkat.6

Tiongkok menegaskan akan menolak semua aturan panel arbitrasi PBB

tentang klaimnya atas wilayah LCS. Saat ini, negara itu terlibat sengketa

perbatasan dengan sejumlah negara asia. Perwira tinggi angkatan Laut Tiongkok,

Laksamana Sun Jianguo, meminta negara-negara lain yang tidak punya klaim di

LCS agar tidak mencampuri urusan itu. Hal itu disampaikannya hari Minggu

(05/06) pada konferensi keamanan regional Shangrila di Singapura. Laksamana

Sun secara tidak langsung menunjuk pada Amerika Serikat dan Australia. "Kami

tidak membuat masalah, tapi kami juga tidak takut," ujar Sun, yang juga wakil

kepala staf militer di Kementerian Pertahanan. "Tiongkok tidak akan menerima

putusan arbitrase dan tidak akan membiarkan pelanggaran apapun pada

kedaulatan dan keamanan Tiongkok dan Tiongkok tidak akan tinggal diam,"

Panel arbitrase sengketa LCS akan digelar beberapa minggu depan di Mahkamah

Internasional di Den Haag, Belanda. Gugatannya diajukan oleh Philipina, yang

mempertanyakan keabsahan politik perbatasan Tiongkok berdasarkan Konvensi

PBB tentang Hukum Laut.

7

Angkatan bersenjata Tiongkok berjaga di Spratly Islands, February 2016

pada konferensi yang sama, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Ash Carter

mengatakan, putusan panel arbitrase PBB akan menjadi "kesempatan baik bagi

6

Ibid. 7

(6)

Tiongkok dan seluruh kawasan untuk membentuk masa depan yang berprinsip

pada diplomasi dan untuk menurunkan ketegangan.

Ketegangan di LCS diduga akan memicu naiknya anggaran pertahanan di

kawasan Asia-Pasifik sampai seperempatnya hingga akhir dekade ini, demikian

laporan yang dirilis lembaga konsultasi pertahanan IHS Jane pekan lalu.

Anggaran pertahanan di kawaan LCS diprediksikan akan naik dari US$ 435 miliar

tahun lalu menjadi US$ 533 miliar pada tahun 2020. Belanja militer global juga

akan bergeser dari Eropa Barat dan Amerika Utara ke arah pasar negara-negara

berkembang, terutama di Asia.

Pengadilan arbitrase internasional yang menangani sengketa LCS, telah

memutuskan untuk menggugurkan klaim Tiongkok atas wilayah di Kepulauan

LCS. "Arbitrase adalah sandiwara politik dengan dalih hukum,""Tiongkok

memiliki kedaulatan teritorial dan hak maritim dan kepentingan di LCS," kata

sebuah pernyataan terpisah yang berjudul "Pernyataan Pemerintah Republik

Rakyat Tiongkok pada Kedaulatan Tiongkok Teritorial dan Hak Kelautan dan

Kepentingan di LCS".

8

Menurut berita Xinhua juga, pemerintah Tiongkok selalu tegas menentang

invasi dan pendudukan ilegal oleh negara-negara tertentu di beberapa pulau dan

terumbu karang Tiongkok Nansha Qundao (Kepulauan Nansha), dan kegiatan

yang melanggar atas hak-hak dan kepentingan Tiongkok di wilayah maritim yang

berada di bawah yurisdiksi Tiongkok. "Tiongkok memiliki kedaulatan atas

Nanhai Zhudao (LCS Kepulauan), yang terdiri dari Dongsha Qundao (Kepulauan

(7)

Dongsha), Xisha Qundao (Kepulauan Xisha), Zhongsha Qundao (Kepulauan

Zhongsha) dan Nansha Qundao," kata pernyataan pemerintah Tiongkok.

"Tiongkok memiliki perairan pedalaman, laut teritorial dan zona tambahan,

berdasarkan Nanhai Zhudao. Juga, Tiongkok memiliki ZEE dan landas kontinen,

berdasarkan Nanhai Zhudao

9

Konflik LCS memiliki arti penting bagi kawasan Asia Pasifik

dikarenakan keterlibatan 6 (keenam) negara yang bersikeras untuk mendapatkan

klaim wilayah seolah dihantui oleh kemungkinan terjadinya perang apabila upaya

diplomasi dan gencatan senjata gagal dilakukan. Teruntuk dari catatan sejarah

"

Tiongkok memiliki hak bersejarah di LCS," Tiongkok menghormati dan

menjunjung tinggi kebebasan navigasi dan dinikmati oleh semua negara di bawah

hukum internasional di LCS dan tetap siap untuk bekerja dengan negara-negara

pantai lain dan masyarakat internasional untuk menjamin keamanan dan akses

tanpa hambatan ke jalur pelayaran internasional di LCS. Keputusan hari ini oleh

Pengadilan dalam arbitrase Philipina-Tiongkok merupakan kontribusi penting

untuk tujuan bersama dari resolusi damai untuk sengketa di LCS, kata juru bicara

Departemen Luar Negeri John Kirby dalam sebuah pernyataan pers.

Para pejabat AS sebelumnya telah mengatakan mereka khawatir Tiongkok

mungkin menanggapi putusan pengadilan internasional di Den Haag akan

mendeklarasikan zona identifikasi pertahanan udara di LCS, seperti yang terjadi

di Laut Cina Timur pada tahun 2013, atau dengan meningkatkan bangunan dan

fortifikasi pulau buatan.

9

(8)

terdapat beberapa kali konflik terbuka antara Tiongkok dan Philipina.

Tiongkok berkeyakinan bahwa wilayah LCS merupakan peninggalan dinasti

leluhur yang sudah seharusnya menjadi bagian atas kedaulatan Tiongkok akan

tetapi hal serupa datang dari kubu Philipina dan kelima negara lain dengan asumsi

bahwa apabila menarik garis pantai dan landasan kontenin maka wilayah LCS

termasuk ke dalam yurisdiksi kedaulatan mereka hingga pada pihak Philipina

mengajukan Tiongkok ke pengadilan PBB dengan harapan menyelesaikan

sengketa wilayah di LCS.

Dari berbagai konflik teritorial antar negara di Asia Tenggara, konflik di LCS kini

menjadi sumber ketegangan baru yang dapat menimbulkan ancaman atas keamanan

regional maupun internasional. Sumber pesoalan yang membuat kawasan Asia Tenggara

diliputi ketegangan adalah sengketa klaim kepemilikan wilayah di LCS, yang melibatkan

beberapa negara yaitu Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Philipina, Vietnam, dan Brunei

Darussalam. Persengketaan di kawasan ini mencakup kedaulatan teritorial maupun

kedaulatan maritimnya juga. Kedaulatan teritorial yaitu menyangkut kepemilikan wilayah

yang ada di daerah sengketa. Sementara kedaulatan maritim berhubungan dengan

penetapan batas yang diizinkan oleh Hukum Konvensi laut PBB UNCLOS, 1982.

Ketegangan di LCS itu telah diwarnai oleh sejumlah insiden militer atau gesekan

yang melibatkan sejumlah negara pengklaim. Gejala tersebut harus diwaspadai,

mengingat ketegangan di kawasan tersebut berpotensi menimbulkan kekhawatiran akan

berkembangnya berbagai insiden militer tersebut menuju terjadinya peperangan regional

bahkan global yang tak hanya melibatkan kelima negara, melainkan pula menyeret

keterlibatan lebih banyak lagi negara-negara lainnya ke kawasan itu. Indikasi ini tampak

(9)

armada tempurnya jika pecah perang di LCS.10 Seperti dikemukakan oleh McCain, mantan perwira menengah Angkatan Laut Amerika Serikat, Washington harus memperluas

dukungan politik dan militernya ke negara-negara Asia Tenggara serta memperkuat

barisan menghadapi Tiongkok.11

Sesungguhnya di LCS terdapat empat gugus kepulauan yang menjadi sengketa

yaitu; Kepulauan Macclesfield, Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel dan Kepulauan

Spratly. Negara-negara yang terlibat dalam sengketa di LCS adalah Tiongkok, Taiwan,

Vietnam, Philipina, Malaysia. Dalam sengketa Kepulauan Spratly telah melibatkan

negara-neggara Pillpina, Vietnam, Tiongkok dan Malaysia. Sedangkan Kepulauan Paracel, telah

melibatkan Tiongkok dan Vietnam dalam sengketa.

Laut Cina Selatan (LCS) dianggap perairan yang tidak

pernah sepi dari sengketa sekalipun negara-negara yang berada disekitar perairan

tersebut menilai obsesinya sebagai wilayah bebas, damai dan netral. Wilayah perairan ini

dianggap jaga sebagai perairan tak bertuan karena banyaknya klaim tumpang-tindih di

atas pulau-pulau kecil, karang dan atol yang bertebaran di perairan ini.

12

Berdasarkan latar belakang di atas tertarik memilih judul Aspek Hukum

Penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional

dalam Kasus Laut Cina Selatan.

Keduanya berada pada titik tengah

jalur navigasi internasional di LCS sehingga siapa yang menguasai kedua gugus kepulauan

ini berarti akan mengontrol jalur navigasi internasional di LCS. Tentu saja selain potensil.

Sebagai jalur laut internasional adalah potensi sumberdaya alamnya yang cukup tinggi

seperti minyak dan potensi perikanan.

/diakses tanggal 1 November 2016.

11

(10)

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan hukum putusan arbitrase internasional?

2. Bagaimanakah kewenangan arbitrase internasional dalam menyelesaikan

sengketa wilayah dalam hukum internasional?

3. Bagaimanakah aspek hukum penolakan Republik Rakyat Cina terhadap keputusan arbitrase internasional dalam kasus Laut Cina Selatan?

J. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diangkat, maka penelitian ini bertujuan

untuk :

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum putusan arbitrase internasional.

2. Untuk mengetahui kewenangan arbitrase internasional dalam menyelesaikan

sengketa wilayah dalam hukum internasional.

3. Untuk mengetahui aspek hukum penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan.

K. Keaslian Penulisan

Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas hukum USU skripsi

dengan judul Aspek Hukum Penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap

Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan, belum pernah

diteliti dalam bentuk skripsi dari Departemen Hukum Internasional di Fakultas

(11)

Hukum USU, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan

ilmiah.

L. Tinjauan Pustaka

1. Hukum Internasional

Profesor Charles Cheney Hyde dalam J.G Starke menyatakan bahwa hukum

internasional dapat didefenisikan sebagai keseluruhan hukum-hukum yang untuk

sebahagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya

negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya benar-benar ditaati

secara umum dalam hubungan-hubungan mereka secara umum.13 Hukum internasional

diartikan oleh Sugeng Istanto sebagai kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya

dipertahankan oleh masyarakat internasional. Dari segi peristilahan, hukum internasional

yang dimaksud adalah hukum internasional public atau law of nations (hukum

bangsa-bangsa). Hukum internasional public ini juga merupakan pengertian yang sempit dari

hukum internasional.14 Hukum perdata internasional dan hukum internasional publik merupakan pengertian luas dari hukum internasional.15

Pasal 1 UNCLOS 1982 menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara kepulauan

meliputi juga perairan yang ditutup oleh atau terletak disebelah dalam dari garis pangkal

lurus kepulauan, yang disebut sebagai perairan kepulauan, yang disebut sebagai perairan

13 J. G. Starke,

Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international Law, alih bahasa: Bambang Iriana Djajaatmadja), Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 3

14

Sugen Istanto, Hukum Internasional, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1998, hal. 2.

15

(12)

kepulauan. Kedaulatan ini juga meliputi ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah

dibawahnya, beserta kekayaan laut yang terkandung didalamnya.16

2. Hukum Arbitrase Internasional

Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau

para hakim yang bertujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau mentaati keputusan

yang telah diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk

tersebut.17 Arbitrase Internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih, yang memberi keputusan dengan tidak harus ketat memperhatikan

pertimbangan-pertimbangan hukum. Hal-hal penting dala

persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase dan sengketa diselesaikan

atas dasar menghormati hukum.18 3. Laut Cina Selatan

Laut Cina Selatan merupakan salah satu perairan dengan lokasi strategis

dan telah lama menjadi bahan perbincangan yang menorehkan sejarah konfliktual berkepanjangan. Perebutan klaim wilayah atas LCS ditengarai sebagai sengketa

sengit yang melibatkan banyak aktor negara-bangsa seperti, Malaysia, Tiongkok, Brunai Darussalam, Vietnam, Philipina dan Taiwan &'regory dalam The South Tiongkok Sea in Focus: Clarifying the Limitsof Maritime Disputes adanya keserakahan untuk mendominasi baik secara politis maupun ekonomis adalah hasrat bagi seluruh pihak terkait yang tengah berlomba untuk mendapatkan hak klaim wilayah terutama di bagian kepulauan Spratly dan Paracel dengan catatan memiliki cadangan gas alamdan minyak bumi yang berlimpah.19

16

Mochrar Kusuma Atmadja, Pengantar Hukum Internasional.Alumni, Bandung, 2010, hal 11

17

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Jakarta, 2001, hal 1. 18

diakses tanggal 1 September 2016

19

(13)

M. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode

penelitian hukum normatif atau disebut penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.20

2. Metode pendekatan

Berdasarkan penjelasan di atas,

penulis memutuskan menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk meneliti

dan menulis pembahasan skripsi ini sebagai metode penelitian hukum. Penggunaan

metode penelitian normatif dalam upaya penelitian dan penulisan skripsi ini dilatari

kesesuaian teori dengan metode penelitian yang dibutuhkan penulis.

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan

tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang

sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah

pendekatan peraturan perundang-undangan (statue aproach).21

3. Sumber data

Suatu penelitian normatif

tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu

penelitian.

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan

data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahaan terhadap

berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi

20

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal 13 – 14.

21 Peter Mahmud Marzuki.

(14)

penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.22

4. Pengumpulan Data

Data sekunder berasal dari

penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari : Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian

yang berkaitan dengan penelitian ini yang berfungsi untuk memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum,

majalah-majalah, karya ilmiah dan sumber-sumber media elektronik. Bahan hukum tersier yaitu

bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap badan hukum primer dan

badan hukum sekunder, seperti : Kamus Hukum, dan Kamus Bahasa Indonesia serta

ensiklopedia.

Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi peraturan

perundang-undangan, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum sesuai

permasalahan penelitian. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan

dengan cara membaca,menelaah, mencatat membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang

ada kaitannya penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap Keputusan Arbitrase

Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan.

5. Analisis Data

Penulisan skripsi ini merupakan penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif

yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan

yang terjadi. Analisis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data

sekunder yang didapat. Bahan hukum yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan

22 Soerjono Soekanto dan Sri

(15)

dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai

jenis bahan hukum, selanjutnya semua bahan hukum diseleksi dan diolah, kemudian

dinyatakan secara deskriptif sehingga menggambarkan dan mengungkapkan dasar

hukumnya, sehingga memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dimaksud. Dari

hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas

permasalahan ini.

N. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan

permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu

dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan

keseluruhan ke dalam lima bab terperinci adapun bagiannya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat sub bab antara lain latar

belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II KEDUDUKAN HUKUM PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

Bab ini membahas pelaksanaan putusan arbitrase internasional, dasar hukum pelaksanaan putusan arbitrase internasional dan kedudukan hukum putusan arbitrase internasional

BAB III KEWENANGAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM

(16)

Pada bagian bab ini membahas sejarah dan pengertian arbitrase internasional, prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dan kewenangan arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa wilayah

BAB IV ASPEK HUKUM PENOLAKAN REPUBLIK RAKYAT CINA TERHADAP KEPUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM KASUS LAUT CINA SELATAN

(17)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Kabupaten Dairi berada di Dataran Tinggi Bukit Barisan dengan ketinggian sekitar 400 - 1.700 meter diatas permukaan laut (dpl) atau sekitar 200 meter diatas permukaan

Pencapaian sasaran tersebut, direncanakan diukur dengan menggunakan 7 (tujuh) Indikator Kinerja Utama (IKU) yaitu: (1) Jumlah Penguatan Lembaga Distribusi Pangan

Selanjutnya berkaitan dengan metode pertanyaan evaluatif, yaitu metode pertanyaan yang digunakan guru untuk membuat siswa memikirkan kembali pemahaman mereka

(2006, p.129), terdapat beberapa faktor perilaku konsumen yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan konsumen yaitu faktor cultural, social, personal, dan psychological.

Adapun kritik sosial yang terdapat dalam novel Surat Cinta untuk Kisha karya Bintang Berkisah yaitu kritik sosial tentang kemiskinan, kritik sosial tentang kejahatan, kritik

Pada penelitian ini 100 pasang serangga dimasukkan kedalam tandan bunga jantan yang telah disungkup dan masih berada pada tanaman kelapa sawit kemudian diambil 3 spikelet

Perancangan sistem dalam proposal skripsi ini terdiri dari dua Alat absensi sidik jari(X100C), Local Area Network (LAN), komputer utama/server, dan

Namun sosialisasi yang diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang tidak bersifat khusus membahas tentang Kebijakan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Johar