BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan kejahatan menjadi sangat penting untuk dibahas lebih lanjut
dikarenakan menjadi perhatian terhadap nilai keamanan bagi masyarakat
Indonesia. Banyak fenomena kejahatan yang muncul dimana saja dan diberbagai
daerah yang ada di Indonesia yang menjadi polemik bagi semua kalangan
masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan merupakan
fenomena social yang terjadi di dalam masyarakat. Di media massa bahkan di
media sosial setiap harinya di temui bermacam-macam tindak pidana yang terjadi
di negara ini.
Hukum pidana yang bersifat “mengatur dan memaksa” seakan-akan sudah
tidak bergigi lagi dan tidak mampu untuk menangulangi kejahatan yang semakin
hari semakin bertambah sesuai dengan perkembangan zaman ini. Dari aspek
hukum dengan berkembangnya segala tindak kejahatan yang terjadi pada masa ini
sepertinya sangat perlu kiranya dikaji sebuah penerapan hukum pidana terhadap
pelaku kejahatan dan menganalisis dari segi Kriminologi tentang sebab-sebab
terjadinya kejahatan tersebut.
Kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang dan
barang siapa yang melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar Undang-undang
maka ia akan dihukum. Selain itu kejahatan juga merupakan suatu bentuk dari
dijunjung tinggi pada suatu masyarakat. Pada hampir segenap masyarakat dimana
hidup dan harta benda dinilai tinggi.5 Masalah kejahatan adalah masalah manusia yang merupakan kenyataan sosial yang masalah penyebabnya kurang dipahami
karena studinya belum pada proporsi yang tepat secara dimensial.
Perkembangan atau peningkatan kejahatan maupun penurunan kualitas
atau kuantitas kejahatan, baik yang berada di kota-kota besar maupun di
kampong-kampung adalah relatif dan intraktif sifatnya. Dapat dipahami bahwa
kejahatan merupakan the shadow civilization, merupakan bayang-bayang dari
peradapan dan bahkan ada teori yang mengatakan justru kejahatan itu adalah
produk masyarakat. Lokasi kejahatan ada pada masyarakat, tidak pada individu.6 Di Indonesia akhir akhir ini dikejutkan dengan maraknya isu tentang
perdagangan orang (Trafficking). Perdagangan Orang bukanlah hal yang baru
terjadi. Kasus perdagangan orang telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, yaitu
pada masa kekaisaran romawi yang dipimpin oleh Justiniantahun 527-565M. Pada
masa itu, Justinian menulis sebuah catatan tentang adanya pihak yang ingin
mengambil keuntungan lebih banyak dari prostitusi. Pihak tersebut merayu para
perempuan muda miskin dengan barang-barang mahal. Setelah itu, mereka
menyekap dan memaksa para perempuan itu untuk terus bekerja dalam rumah
border selama mucikari menghendakinya.
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak-anak adalah kelompok
yang paling banyak dimintai korban tindak pidana perdagangan orang, korban
5
Soedjono Dirdjosiswoyo, Ruang Lingkup Kriminologi, Remaja Karya, Bandung, 1984, Halaman 27
6
H. Ridwan Hasibuan, kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik,
perdagangan orang tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi
lain misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudaknya atau praktisi sejenis
itu.7
Data menunjukan di Sumatera Utara daerah korban perdagangan orang
paling banyak terjadi di Medan yaitu sebanyak 47%, Tanjung Balai 19%, Deli
Serdang 14%, Luar Sumatera Utara 10%, dan disusul oleh Tebing Tinggi dan
Langkat yang mempunyai persentase yang sama yaitu 5%. Dalam proses
perpindahanya korban yang akan diperdagangkan, mereka di kirim ke daerah
transit. Dimaksud dengan Daerah Transit itu adalah daerah-daerah tempat singgah
sementara para korban sebelum mencapai tempat tujuan mereka sebenarnya.
Biasanya di daerah tersebut mempunyai transportasi yang memadai untuk
memberangkatkan para korban, untuk di Medan tempat yang dijadikan daerah
transit perdagangan orang adalah Pelabuhan laut Belawan, Bandara Polonia
(sebelum dipindahkan bandara), Padang Bulan Penginapan.8
Perdagangan orang yang mayoritasnya adalah perempuan dan anak
merupakan jenis perbudakan pada era modern ini yang merupakan dampak krisis
multi dimensional yang dialami Indonesia. Dalam pemberitahuan saat ini sudah
dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan telah menjadi bisnis
global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Dari waktu ke
waktu praktik perdagangan orang semakin menunjukan kualitas dan kuantitasnya.
7
Moh.Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Teori Dan Praktek, Liberty Yogyakarta, 2012, Halaman 5
8
Setiap tahun diperkirakan 2(dua) juta manusia diperdagangkan dan sebagian
besarnya adalah perempuan dan anak.9
Berbagai hal yang menyebabkan perbuatan tindak pidana perdagangan
orang ini terjadi, dapat disebabkan Kemiskinan yang struktural seperti tidak
mempunyai keluarga untuk mengikuti kenaikan harga bahan pokok memaksa
mereka untuk bekerja tanpa memikirkan konsekuensi nya.
Di dalam KUHP sebenarnya telah terdapat banyak Pasal yang bisa di
dayagunakan untuk menindak pelaku trafficking ini, seperti Pasal 263 tentang
memalsukan surat-surat Pasal 227 tentang mengaburkan asal-usul seseorang,
Pasal 258, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, dan masih
banyak lagi yang akan dibahas lebih lagi nantinya.
Upaya penegakan hukum terkait dengan tindak pidana perdagangan orang
ini maka pada tanggal 19 april 2007, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan
Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (UU
PTPPO) No.21 tahun 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada
tanggal 19 April 2007 lahirlah Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan
Orang, terbitnya Undang-undang ini merupakan suatu prestasi karena dianggap
sangat komprehensif dan mencerminkan ketentuan yang diatur dalam Protokol
PBB.
Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO)” melarang semua jenis tindakan, cara, atau semua
bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang. Baik
9
yang dilakukan antar wilayah dalam negeri mauun antar negara baik pelaku
perorangan maupun korporasi.
Banyak kalangan menyebut Perdagangan Orang terhadap manusia yang
saat ini digunakan secara resmi di dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007
dengan sebutan Perdagangan orang sebagai “the form of modern day slavery”10 ,
sebutan tersebut sangat tepat karena sesunguhnya ia adalah bentuk dari
perbudakan manusia di zaman modern ini. Ia juga merupakan salah satu bentuk
perlakuan kejam terburuk yang melanggar Harkat dan Martabat Manusia.
Dari uraian-uraian diatas,mendorong penulis untuk mengetahui apakah
kebijakan hukum pidana dalam menangulangi tindak pidana perdagangan orang
sudah dilakukan dan dilaksanakan dengan baik ,dan penulis ingin mengetahui
factor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan
orang dan upaya penangulangan terjadinya tindak pidana perdagangan
orangdengan demikian penulis membuat judul yang bertuliskan “analisis hukum
pidana terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (wanita) Dalam Perspektif
Kriminologi”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, ada beberapa permasalahan yang harus dibahas
mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (wanita) dalam Perspektif
Kriminologi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan). Adapun yang menjadi
permasalahan yang nantinya akan dibahas penulis dalam penulisan skripsi ini
adalah:
10
1. Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur mengenai tindak pidana
perdagangan orang?
2. Bagaimana faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana
perdagangan orang?
3. Bagaimana upaya dalam penangulangan tindak pidana perdagangan
orang?
C. Tujuan Penelitian.
Dalam penulisan ini, ada beberapa hal menjadi tujuan dalam rangka
pencapaian atas pengkajian permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun
tujuannya adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan hukum
terhadap tindak pidana perdagangan orang.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana faktor-faktor terjadinya
tindak pidana perdagangan orang.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana upaya penangulangan
tindak pidana perdagangan orang.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat teoritis dan manfaat
praktis, yaitu sebagai berikut:
1. Manfat Teoritis
Penulisan ini diharapkan memberi manfaat yang sangat besar untuk ilmu
pengetahuan dan menambah literature dan referensi mengenai perlindungan
faktor-faktor terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan upaya
penangulangan tindak pidana perdagangan orang, juga diharapkan memberikan
sumbangsih terhadap kalangan civitas akademika, serta para ilmuwan lainya.
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk aparat penegak hukum
dan pemerintah sehingga dapat memperhatikan hak-hak wanita yang menjadi
korban tindak pidana perdagangan orang dalam proses peradilan pidana dan juga
masalah bantuan hukum kepada korban yang tidak mampu dan buta hukum.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini berjudul “Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak
Pidana Perdagangan Orang (Wanita) Dalam Perspektif Kriminologi (Studi
Putusan Pengadilan Negeri) merupakan hasil pemikiran penulis sendiri tanpa
adanya suatu proses penjiplakan atas karya tulis manapun. Tulisan dengan judul:
“Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Wanita)
Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pengadilan
Negeri Medan)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bukti uji bersih dari pihak Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Walaupun ada sudut pandang dan
pembahasanya pasti berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini
dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis, terutama secara ilmiah atau secara
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengaturan Hukum Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) menurut W.J.P Pompe adalah :
“tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Unda
ng-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.11
Menurut Simons pengertian tindak pidana adalah “Sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dapat
dihukum”12
Dalam Undang-undang No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Pasal 2 ayat (1) berbunyi :
“setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang melanggar persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 dan paling banyak Rp.600.000.000,00”.
Pengertian perdagangan orang menyatakan: “setiap orang yang melakukan
perekrutan, pengiriman, penyerah terimaan orang dengan mengunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan, penipuan , penculikan, penyekapan, penyalahgunaan
kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan,atau penjeratan hutang, untuk tujuan,
mengeksploitasi atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tesebut,dipidana
karena melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun paling lama 15 (lima belas) tahun “
Pasal 2 ayat (1) terdapat kata “untuk tujuan” sebelum kata mengeksploitasi
orang tersebut menunjukan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan
delik formil. Unsur-unsur perdagangan orang yang harus dipahami dari Pasal 2
ayat (1) Undang-undang No.21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dalam
Undang-undang dan tidak dibutuhkan lagi harus mensyaratkan adanya akibat eksploitasi
atau tereksploitasi yang timbul.
Tindak pidana percobaan perdagangan orang dapat dihukum sesuai dengan
Undang-undang No.21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang Pasal 9 yang menyebutkan sebagai berikut:
“setiap orang yang berusaha mengerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) Dan paling banyak Rp.240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah)”.
Pasal 9 diatas sejalan dengan Pasal 163 Bis KUHP ayat (1) yang
menyebutkan bahwa:
Penyertaan dalam tindak pidana perdagangan orang diatur dalam Pasal 16
yang menyebutkan bahwa:
“Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisir, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisir tersebut dipidana yang sama sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga)”
Kelompok yang terorganisir yang dijelaskan dalam penjelasan
Undang-undang No.21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan
orang Pasal 16 bahwa yang dimaksud dengan kelompok terorganisir adalah
kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya
untuk waktu tertentu dan bertindak dengan melakukan satu atau lebih tindak
pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dengan tujuan memperoleh
keuntungan materil memperoleh keuntungan materil dan finansial baik langsung
maupun tidak langsung.13
Didalam KUHP juga diatur tentang perdagangan orang yang memuat
ketentuan mengenai larangan memperniagakan perempuan dan anak laki-laki
belum dewasa sebagaimana diatur dalam Pasal 297 KUHP, serta larangan
memperniagakan budak belia sebagaimana diatur dalam Pasal 324 KUHP dan
mengkualifikasikan tindakan-tindakan tersbut sebagaimana kejahatan. Pasal 297
dan Pasal 324 KUHP tidak berlaku lagi sejak disahkanya Undang-undang No.21
tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang.
13
Sebelum Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang disahkan, digunakan KUHP Pasal 297 yang
berbunyi: “Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun”.14
Hanya Pasal ini yang khusus
menyebutkan perdagangan orang walaupun hal itu masih sangat tidak lengkap dan
belum mengkomodasi perelindungan hukum terhadap perdagangan orang.
Terangkatnya isu perdagangan orang pada awalnya hanya difokuskan pada
perdagangan wanita walaupun pada kenyataanya yang menjadi korban
perdagangan orang bukan hanya wanita tetapi juga laki-laki dan anak. Pelaku
perdagangan orang dengan cepat berkembang menjadi sindikat lintas batas negara
dengan sangat halus menjerat korban, tetapi dengan sangat kejam
mengeksploitasinya dengan berbagai cara, sehingga korban menjadi tidak berdaya
untuk membebaskan diri.15
Dalam era kemerdekaan terlebih di era reformasi yang sangat menghargai
Hak Asasi Manusia, masalah perbudakan atau penghambatan tidak ditolerir lebih
jauh keberadaanya, secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa
perbudakan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang
atau kebebasan pribadi. Hal ini terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sedangkan ayat (2)
menyebutkan bahwa perbudakan dan penghambaan, perdagangan budak,
perdagangan wanita dan segala bentuk perbuatan berupa apapun tujuanya serupa,
Dilarang.
14
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal), Politea, Bogor, 1996.
15
Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
bahwa perdagangan orang merupakan salah satu pelanggaran HAM termasuk
kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan adalah satu perbudakan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan tersebut ditujukan langsung terhadap
penduduk sipil.16
Adapun Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
anak Pasal 83 menyebutkan:
“setiap anak yang diperdagangkan, menjual dan menculik anak untuk diri
sendiri atau dijual, dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling
lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 dan paling sedikit Rp.60.000.000,00.”
Pasal ini melarang memperdagangkan, menjual dan menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual, Undang-undang ini cukupdapat mengakomodasi
perlindungan hukum terhadap anak dari kejahatan perdagangan orang tetapi sama
dengan KUHP, Undang-undang ini tidak cukup memperinci apa yang dimaksud
dengan perdagangan anak dan untuk kepentingan apa anak itu diperjual belikan.
Undang-undang ini menerapkan sangsi yang lebih berat dibandingkan dengan
KUHP.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Utara No.6
tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak menyatakan
bahwa:
“perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih tindak pidana atau perbuatan yang
16
memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan, atau penjeratan utang untuk tujuan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak”
2. Faktor-faktor Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang
Berbicara tentang kejahatan maka harus dibedakan terlebih dahulu
mengenai kejahatan dalam arti yuridis (perbuatan yang termasuk tindak pidana)
dan kejahatan dalam arti sosiologis (perbuatan yang patut dipidana). Perbuatan
yang termasuk tindak pidana adalah perbuatan dalam arti melarang
Undang-undang dan perbuatan yang patut dipidana adalah perbuatan yang melanggar
norma atau kesusilaan yang ada dimasyarakat tetapi tidak diatur dalam
perundang-undangan.17
Menurut Kartono defenisi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang
bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoral), merupakan masyarakat,
asocial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-undang.18
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang memperlajari tentang
kejahatan. Bonger memberikan defenisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan
yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.19
Dalam mempelajari sebab-sebab kejahatan dikenal beberapa kejahatan,
dikenal adanya beberapa teori yang dapat digunakan untuk menganalisis
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori-teori tersebut
17
Rena Yulia, Victimilogi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, Halaman 86.
18
Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Halaman 125.
19
digolongkan kedalam penggolongan teori-teori kriminologi yang positip dan
penggolongan teori-teori yang berkiblat pada mazhab kritis. Penggolongan teori
tersebut terdiri dari:
a. Mazhab antropologi.20
Usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis
dipelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperti GALL (1758-1828) Spurzheim
(1776-1832), yang mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan
tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan
bahwa otak merupakan organ dari akal.
Seorang dokter ahli kedokteran kehakiman yaitu Cesare Lombroso
(1835-1909) merupakan tokoh yang penting dalam mencari sebab-sebab kejahatan dari
ciri-ciri fisik (biologis) penjahat dalam bukunya L’uomo delinquent pokok-pokok
ajaran Lombroso adalah:
1) Penjahat adalah orang yang mempunyai bakat jahat
2) Bakat jahat tersebut diperoleh karena kelahiran yaitu diwariskan dari
nenek moyang
3) Bakat jahat tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu, seperti
muka yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan lain-lain
4) Bakat jahat tersebut tidak diubah, artinya bakat jahat tersebut tidak dapat
dipengaruhi.
Lombroso juga menggolongkan para penjahat dalam beberapa golongan
seperti:21
20
1) Antropologi penjahat: penjahat pada umumnya dipandang dari segi
antropologi merupakan suatu jenis manusia tersendiri (genus home
delinguenes), seperti halnya dengan negro. Mereka dilahirkan demikian
(ildelinguente nato) mereka tidak mempunyai predis posisi untuk
kejahatan, tetapi suatu prodistinasi, dan tidak ada pengaruh lingkungan
yang dapat merubahnya. Sifat batin sejak lahir dapat dikenal dari adanya
stigma-stigma lahir, suatu tipe penjahat yang dapat dikenal.
2) Hypothese atavisme: persoalnya adalah bagaimana caranya menerangkan
terjadinya makhluk yang abnormal itu (penjahat sejak lahir). Lombroso
dalam memecahkan soal tersebut, memajukan hypothaseyang sangat
cerdik, diterima bahwa orang masih sederhana peradapanya sifatnya
adalah amoral, kemudian dengan berjalanya waktu dapat memperoleh sifat
asusila, maka orang penjahat merupakan suatu gejala atavistis, artinya ia
dengan sekonyong-konyong dapat dikembali menerima sifat-sifat yang
sudah tidak dimiliki nenek moyangnya yang lebih jauh (yang dinamakan
pewarisan sifat secara jauh kembali).
3) Hypothese pathology: Berpendapat bahwa penjahat adalah seseorang
penderita epilepsy.
4) Tipe penjahat: ciri-ciri yang dikemukakan oleh Lombroso terlihat pada
penjahat, sedemikian sifatnya, sehingga dapat dikatakan tipe penjahat.
Para penjahat dipandang dari segi antropologi mempunyai tanda-tanda
tertentu, umpamanya sisi tengkoraknya (pencuri) kurang lebih
21
dibandingkan dengan orang lain, dan terdapat kelainan-kelainan pada
tengkoraknya. Dalam tengkoraknya terdapat keganjilan yang seakan-akan
mengigatkan kepada otak-otak hewan, biarpun tidak dapat
ditunjukanadanya kelainan-kelainan penjahat khusus. Roman mukanya
juga lain dari pada orang biasa, tulang rahang lebar, muka menceng, tulang
dahi melengkung kebelakang.
b. Mahzab Perancis atau Mazhab Lingkungan.
Mahzab ini timbul terutama sebagai penentang mahzab (ajaran)
Lombroso. Pemuka-pemukanya adalah para dokter yang mengemukakan arti
penting dari pada milleu sebagai penerbit dari macam-macam penyakit infeksi dan
etilogi dari pada penyakit-penyakit infeksi. Para dokter ini terutama telah lebih
menonjolkan teori milleu dengan menyangkal kebenaran ajaran tentang
kriminalitas sejak lahir. Walaupun mereka adalah dokter dan bukan ahli-ahli
sosiologi, namun mereka mempunyai pengertian yang tepat mengenai
sebab-sebab sosial dari pada kriminalitas. Pemuka-pemukanya adalah Lacassagne
(dokter),Manouvrier (anthropolog) dan G. Tarde (yuridis dan sosiologis).
Menurut Tarde, Kriminalitas bukan gejala antropologis, melainkan karena gejala
sosial, seperti juga lain-lain gejala sosial yang dipengaruhi oleh imitasi.22 c. Mazhab Bio-Sosiologis
Ferri memberikan suatu rumus tentang timbulnya tiap-tiap kejahatan
adalah resultan dari keadaan individu, fisik dan sosial. Pada suatu waktu unsur
individu yang paling penting, keadaan sosial memberi bentuk kejahatan, tetapi ini
22
bakatnya berasal dari bakatnya yang anti sosial (organis dan psikis). Diantara
semua penganut dari Lombroso, Ferri yang paling berjasa dalam menyebarkan
ajaranya. Sebagai seorang ahli ilmu pengetahuan, ia sudah mengetahui bahwa
ajaran Lombroso dalam bentuk aslinya tidak dapat dipertahankan. Dengan tidak
mengubah intinya, Ferri mengubah bentuknya, sehingga tidak lagi begitu berat
sebelah dengan megakui pengaruh lingkungan.
Dari uraian di atas aliran Bio-Sosiologi ini bersintetis kepada aliran
antropologi yaitu keadaan lingkungan yang menjadi sebab kejahatan, dan ini
berasal dari Ferri. Rumusnya berbunyi “tiap kejahatan adalah hasil dari
unsur-unsur yang terdapat dalam individu yaitu seperti unsur-unsur-unsur-unsur yang diterangan oleh
Lombroso.23
d. Mazhab Spiritualis
Mazhab ini mencari sebab-musabab kejahatan dalam ketidak adanya
kepercayaan agama. Pendapat ini dibuatnya atas dasar penemuan, bahwa makin
banyak orang yang tidak pergi ke gereja makin bertambah kejahatan. Jadi terdapat
hubungan kausal antara kedua hal tersebut.24
Diantara aliran-aliran Kriminologi yang mempunyai kedudukan sendiri,
adalah aliran yang dulu mencari sebab terpenting dari kejahatan dalam tindak
beragamanya seseorang. Menurut Kampe aliran ini mungkin pada waktu sekarang
lebih tepat jika dinamakan aliran neo spiritualis, mempunyai kecenderungan
23
H.M Ridwan dan Ediwarman, Op. Cit, Halaman 67.
24
mementingkan unsur kerohanian dalam mencegah terjadinya
kejahatan-kejahatan.25
e. Mazhab Mr. Paul Moedikno Moeliono26
Menurut mazhab ini membagi kepada 5 (lima) golongan antara lain:
1) Golongan Salah Mu Sendiri (SS).
Aliran ini berpendapat kejahatan timbul disebabkan kemauan bebas
individu (Free of the will) kejahatan disebabkan oleh kemauan maka perlu
hukuman untuk jangan lagi berbuat jahat.
2) Golongan Tiada Yang Salah (TOS).
Aliran ini mengemukakan sebab-sebab kejahatan itu disebabkan Herediter
Biologis, kultur lingkungan, bakat + lingkungan, perasaan keagamaan.
Jadi kejahatan itu expresi dari pressi faktor biologis kulturil,
Bio-Sosiologis, spriritualis.
3) Golongan Salah Lingkungan.
Aliran ini menyatakan timbulnya kejahatan disebabkan faktor lingkungan.
4) Golongan Kombinasi.
Aliran kombinasi ini menyatakan bahwa struktur personality individu
terdapat 3 bagian:
a) Das ES = Id.
b) Das Ich = Ego.
c) Uber Ich = Super Ego
25
H.M Ridwan dan Ediwarman, Op. Cit, Halaman 67-68.
26
5) Golongan Dialog.
Aliran ini menyatakan bakat bersama lingkungan berdialog dengan
individu. Manusia berdialog dengan lingkungan maka dia dipengaruhi
lingkungan dan mempengaruhi lingkungan.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana
perdagangan orang diantaranya:
a. Faktor Intren
Yaitu faktor yang berasal dari batin pelaku itu sendiri, seperti faktor
pendidikan dan keluarga dalam melakukan tindak pidana perdagangan
orang.
b. Faktor Ekstren
Yaitu faktor yang berasal dari luar diri pelaku dalam melakukan tindak
pidana perdagangan orang seperti lingkungan sosial, pengaruh massa,
teknologi dan lain-lain.
3. Upaya Penangulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Kebijakan penangulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2
(dua) macam yaitu:27
1. Kebijakan penangulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana
hukum pidana (penal policy); dan
2. Kebijakan penangulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana
diluar hukum pidana (non-penal policy).
27
Pada dasarnya pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada
represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-penal policy lebih
menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.
Marc Ancel menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari
tiga komponen “criminology”, “criminal law”, dan “penal policy”. Marc Ancel
mengemukakan bahwa “penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapan
undang-undang, dan juga kepada para penyelengara atau pelaksana putusan pengadilan.28 Usaha penangulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
pidana merupakan bagian dari penegakan hukum (Law enforcement policy).
Usaha penangulangan kejahatan lewat undang-undang (hukum) pidana pada hak
ikatnya juga merupakan bagian dari usaha perlindungan masyarakat (sosial
welfare).29
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian “social policy” sekaligus
tercakup didalamnya “social welfare policy”dan “social derence policy”. Dilihat
28
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, Halaman 23.
29
dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan
dibidang hukum pidana materil, dibidang hukum formal dan dibidang hukum
pelaksanaan pidana.30 G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang
dilakukan adalah metode penelitian hukum Yuridis Normatif dinamakan juga
dengan penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian normatif data sekunder
sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tirtier. Pelaksanaan penelitian normatif secara
garis besar ditujukan kepada:31
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b. Penelitian terhadap sistematika hukum.
c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.
d. Penelitian terhadap sejarah hukum.
e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.
Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap
peraturan perundang-undangan dan berbagai literature yang berkatian dengan
permasalahan skripsi ini.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan Yuridis Normatif.
30
Ibid. Halaman 30.
31
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi adalah Pengadilan
Negeri Medan karena mengingat banyak terjadinya Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
4. Alat Pengumpulan Data
Pada umumnya para peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa
a. Studi Kepustakaan/studi dokumen (documentary study)
b. Wawancara (interview)
c. Daftar pertanyaan (questioner angket)
d. Pengamatan (observasi)
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi kepustakaan/studi
dokumen (Documentary Study) yaitu dengan melakukan peneltian terhadap data
sekunder yang meliputi Peraturan-peraturan Nasional yang berhubungan dengan
tulisan ini, Yurisprudensi yaitu putusan Pengadilan Negeri Medan serta penelitian
terhadap Bahan Sekunder, yang meliputi karya penelitian, karya dari kalangan
hukum lainnya, dan hasil penelitian, dan bahan-bahan penunjang yang mencakup
bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan sebagainya.
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Prosedur pengambilan dan pengumpulan data diperoleh dengan cara
melakukan studi kepustakaan (library research) dengan tujuan mencari
konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang relevan
mengatur perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan
orang.
6. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan cara kualitatif, yaitu dengan
menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan
dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga