• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan ct scan toraks di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan ct scan toraks di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi

Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,

mencakup keganasan yang berasal dari paru itu sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di paru). Kanker paru primer yaitu tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus atau bronchogenic carcinoma (PDPI, 2002) .

2.2. Epidemiologi

Kanker paru merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Kanker paru sekarang penyebab kematian akibat kanker baik pada pria maupun wanita. Menurut perkiraan oleh American Cancer Society, sekitar 160.000 kematian akibat kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2000. Angka ini melebihi angka kematian akibat kanker kolorektal, payudara, dan kanker prostat, yang pada tahun 2004 diperkirakan menjadi sekitar 125.000 kematian. Kurang lebih 1 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun akibat kanker paru. Kanker paru adalah penyebab utama kematian terkait dengan kanker, tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia. Pada tahun 2008 di Amerika serikat diperkirakan 215.020 penderita kanker paru kasus baru dan sebanyak 161.840 jiwa diperkirakan meninggal karena kanker paru. Pada tahun 2009 terdapat penderita kanker paru yang meninggal sebanyak 159.000 jiwa (Raza, 2006).

Pada pria, daerah dengan insiden tertinggi (>46/100.000 penduduk per tahun) adalah Eropa, Amerika Utara dan Australia / Selandia Baru. Angka yang cukup tinggi (25-46/100.000 penduduk per tahun) terdapat di Cina, Jepang dan Asia Tenggara, Sedangkan angka terendah (< 25/100.000 penduduk per tahun)

(2)

sedangkan insiden rendah (<6.5/100.000 penduduk per tahun) yaitu di India, Afrika, Spanyol (Raza, 2006).

2.3. Etiologi

Etiologi kanker paru dapat dibagi menjadi faktor risiko yang dapat

dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko tidak dapat dimodifikasi termasuk jenis kelamin, ras, dan predisposisi genetik. Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi meliputi paparan asap rokok, asap lingkungan, karsinogen di lingkungan kerja, polusi udara, dan makanan. Beberapa penyakit paru yang mendasari juga meningkatkan risiko kanker paru (Josen, 2002).

2.3.1 Jenis Kelamin

Dominasi laki-laki terkena kanker paru secara substansial adalah bahwa kebiasaan laki-laki merokok lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Bila dibandingkan antara perempuan dan laki-laki bukan perokok, maka perempuan memiliki risiko menderita kanker paru 2-7 kali seumur hidupnya dan jika dibandingkan antara perempuan dan laki-laki perokok, maka perempuan memiliki risiko lebih besar menderita kanker paru dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan dalam enzym cytochorome P-450, dan kemungkinan efek estrogen terhadap perkembangan pertumbuhan kanker paru (Josen, 2002).

2.3.2. Faktor Genetika

Faktor genetik memicu terjadinya kanker paru dengan angka berkisar antara 10% dan 15%. Samet menemukan bahwa pada orang tua yang menderita kanker paru risiko terjadinya kanker paru pada anak meningkat lebih dari lima kali dibandingkan orang tua yang tidak menderita kanker paru (Deaen 2008; Senby 2002)

2.3.3. Suku

(3)

peningkatan angka kejadian kanker paru pada perokok Afrika dan Amerika (Senby,2002)

2.3.4. Merokok

Studi epidemiologi secara konsisten mendefinisikan merokok sebagai

faktor risiko utama untuk kanker paru. Asap tembakau yang dihisap baik secara langsung atau sebagai perokok pasif diperkirakan mengandung 4000 senyawa kimia, termasuk lebih dari 60 zat yang diketahui menyebabkan kanker. Iritasi tembakau dan karsinogen merusak sel-sel di paru, dan dari waktu ke waktu sel-sel yang rusak bisa berubah menjadi kanker. Perokok memiliki tingkat fungsi paru yang lebih rendah daripada bukan perokok, dan berhenti merokok sangat mengurangi risiko kumulatif untuk terjadinya kanker paru. Risiko untuk terjadinya kanker paru meningkat seiring dengan usia awal mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, dan lama tahun merokok (Prokhorov, 2008)

2.3.5. Environmental Tobacco Smoke (ETS)

ETS adalah campuran dari hampir 5000 senyawa kimia, termasuk 43 zat karsinogen penyebab kanker paru. Hal ini tidak mengherankan bahwa ETS menyebabkan penyakit yang sama seperti merokok aktif namun risiko berkurang secara proporsional dengan pengenceran asap di lingkungan (Josen,2002)

2.3.6. Paparan Pekerjaan

Bahan - bahan karsinogenik di lingkungan pekerjaan dapat meyebabkan terjadinya kanker paru apabila terpapar lama. Angkanya mencapai antara 3% sampai 17 %. Bahan karsinogenik yang sering menyebabkan kanker paru antara lain radon, arsenic, codmium, asbses (josen,2002)

2.4 Gambaran Klinis

Gejala klinis pasien dengan kanker paru dapat berupa sesak napas, batuk,

(4)

cava superior. Stridor dan hemoptisis adalah gejala yang jarang pada pasien dengan SCLC (Hirsch,2004)

Gejala klinis yang timbul disebabkan oleh obstruksi endobronkial, pneumonia berulang, efek massa dari nodul perifer atau lesi pusat. Gejala juga

bisa dihasilkan dari lesi selain lesi paru primer, seperti metastasis jauh dan sindrom paraneoplastik. Dalam beberapa kasus, metastasis dapat menjadi penyebab gejala dan pasien mungkin tidak memiliki keluhan yang dihasilkan dari lesi paru primer. 50-70% pasien datang dengan keluhan batuk. Gejala lain dapat berupa suara serak, hemoptisis, mengi dan demam. Timbulnya beberapa gejala mungkin menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Ada atau tidak adanya produksi sputum dengan batuk biasanya tidak spesifik. Efusi pleura dan efusi perikardial merupakan hasil dari invasi oleh sel-sel tumor. Sebanyak 50% dari semua pasien dengan karsinoma bronkogenik mengeluh nyeri dada pada gejala awal dan merupakan indikasi dari penyebaran intratoraks nyeri tajam dari karsinoma bronkogenik adalah pertanda buruk mencerminkan penyakit lanjut atau invasi pleura. Sekitar 30% dari pasien hadir dengan dipsneu. Obstruksi endobronkial, atalektasis, dan efusi pleura dapat menjadi penyebab dispneu pada pasien karsinoma bronkogenik. Tumor pancoast terjadi pada sulkus superior dan menyerang sekitar ganglia simpatik dan interkostalis saraf serta pleksus brakialis. Hal ini menyebabkan nyeri bahu, kelemahan atau mati rasa pada ekstremitas atas ipsilateral, dan sindrom Horner (ptosis, miosis, anhidrosis). Kompresi vena kava superior dapat menyebabkan sindrom vena kava superior yang manifestasinya berupa edema ekstremitas atas, wajah, dan dipsneu, pelebaran vena kolateral. Sindrom paraneoplastik yang disebabkan oleh sekresi hormon dan bahan kimia oleh tumor terjadi pada sekitar 10 sampai 15% pasien (Raza,2006)

Gejala klinis dari kanker paru secara garis besar dapat dibagi : A. Manifestasi Lokal Kanker Paru (Intrapulmonal Intratorakal)

Gejala lokal yang timbul berupa batuk berdahak, batuk darah, sesak napas, nyeri dada.Obstruksi saluran napas biasanya terjadi setelah tumor berukuran besar.

(5)

2. Hemoptisis yang sering terlihat pada pasien dengan lesi endobronkial dan juga dapat mengakibatkan komplikasi terkait kanker paru, seperti emboli paru atau pneumonia.

3. Sesak napas dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk penyakit pada

endobronkial, atelektasis, emboli paru, penyebaran tumor ke kelenjar limfe dan efusi perikardial yang menyebabkan aritmia dan tamponade.

4. Nyeri dada, terjadi sebagai akibat invasi tumor ke pleura, ke dinding dada dan ke mediastinum (Fosella, 2003;Putnam 2003:Shah 2007).

B. Manifestasi Intratorakal Ekstrapulmonal 1. Disfagia

Invasi tumor secara langsung atau kelenjar mediastinum yang membesar dapat menyebabkan penekanan pada esophagus, menyebabkan disfagia (Syahruddin,2008)

2. Suara Serak

Tumor dapat menekan nervus laringeus rekurens menyebabkan paralisis pita suara. Tumor mediastinum yang besar dapat menyebabkan paralisis pita suara bilateral, menyebabkan stridor akibat sumbatan pada saluran napas bagian atas (Fossella,2003)

3. Sindroma Horner,s

Tumor yang berada di apikal dapat meluas, melibatkan saraf simpatis dan menyebabkan sindroma Horner,s (kelopak mata jatuh, pupil mengecil, tidak berkeringat pada satu sisi wajah) (Fossella, 2003)

4. Sindroma Vena Kava Superior (SVKS)

Gambaran klinis SVKS adalah sesak napas, bengkak pada muka, leher dan lengan, batuk, orthopnue, nyeri dada dan sakit kepala. Sedangkan tanda klinis

SVKS adalah pelebaran vena dileher, wajah sembab, venektasi vena dileher, daerah dada maupun punggung, bengkak pada lengan dan edema (Fossella, 2003;Putnam 2003)

(6)

Penderita kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik. Hal ini terjadi bukan karena invasi tumor secara langsung melainkan karena polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel tumor yang menyerupai hormon.

Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik

Tipe kanker Gejala Manifestasi klinis

Karsinoma sel kecil

Karsinoma sel besar Human chorionic gonadotropin

Ginekomastia

Sumber : Putnam,2003

D. Manifestasi Ekstratorakal Metastasis a. Metastasis ke hati

Keluhan paling sering ditemukan adalah anoreksia, perasaan tidak nyaman dan penurunan berat badan. Gejala klinis yang jarang ditemukan adalah ikterik, nyeri perut kanan atas yang berhubungan dengan hepatomegali. b. Metastasis ke susunan saraf pusat

Gejala klinis metastasis ke otak adalah nyeri kepala, perubahan status mental, kejang, mual dan muntah, defisit fokal motorik dan sensorik. c. Metastasis ke tulang

Sepertiga dari penderita kanker paru bermetastasis ke tulang, gejala paling sering berupa nyeri tulang, biasanya asimptomatik

d. Metastasis ke adrenal

Metastasis adrenal yang luas dapat menyebabkan nyeri punggung dan

(7)

2.5 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang cermat adalah komponen penting dalam menegakkan kanker paru karena dapat memberikan petunjuk diagnostik, prognosis. Penampilan umum mungkin tampak normal atau adanya lemah,

kakhesia, kelesuan, pucat, dan sakit kepala. Suara serak menunjukkan adanya gangguan N. rekurens laryngeus. Tanda obstruksi berupa sesak nafas dan nafas berbunyi sering di jumpai sebagai akibat adanya obstruksi ataupun ada penyakit dasar yang menyertai seperti PPOK. hipertensi vena jugularis dan pulsus paradoksus merupakan tanda-tanda tamponade pericardium (Fossella,2003). 2.6 Pemeriksaan Laboratorium

Evaluasi klinis pasien yang diduga kanker paru dengan menggunakan laboratorium rutin, yang terdiri dari hitung darah lengkap (termasuk hitung darah diferensial dan jumlah trombosit) sangat membantu menegakkan diagnosis. Tes laboratorium ini dapat menjadi indikator yang berguna untuk melihat adanya proses metastatik seperti peningkatan alkaline phosphatase, hiponatremia karena SIADH, hipokalemia dan hiperglikemia karena produksi hormon adrenokortikotropik ektopik atau hiperkalsemia. Tingkat albumin yang rendah dan serum laktat dehidrogenase meningkat memberikan prognosis yang lebih buruk pada pasien kanker paru (Fossella,2003).

2.7 Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, CT Scan tulang, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan metastasis (PDPI,2002).

2.7.1 Foto Toraks

(8)

toraks yang rendah, adanya letak lesi yang overlapping dengan tulang kosta ataupun klavikula. Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit, dll.

Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan kelenjar getah bening untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja (PDPI,2002).

(9)

Tabel 2. Gambaran foto toraks berdasarkan tipe histologi kanker paru

Gambaran radiologi Karsinoma sel skuamosa baik daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stadium juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intra pulmoner (PDPI,2002).

(10)

kepala / jaringan otak, CT Scan tulang dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga perut

(PDPI,2002).

2.7.3 PET (Positron Emission Tomography) atau PET-CT

PET-CT adalah prosedur yang tidak invasif dalam menilai pembesaran kelenjar getah bening dengan sensitivitas 74 % dan spesifisitas 85 %, namun jika pembesaran kelenjar getah bening lebih besar sensitivitasnya dapat menjadi 100 % dengan spesifisitas 79 % (Hammerscmidt,2009).

2.7.4 MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Dengan pemeriksaan MRI scan dapat memberikan informasi lebih rinci tentang invasi tumor ke struktur toraks. Pada pancoast tumor sangat penting untuk menilai invasi tumor ke vaskular, saraf plexus brakialis dan ketika kanker paru direncanakan untuk tindakan operasi (Hammerscmidt,2009).

2.7.5 Pemeriksaan Radiologi Tambahan

Dalam menentukan stadium kanker paru, diperlukan pemeriksaan radiologi tambahan. Untuk mendeteksi metastasis yang jauh diperlukan pencitraan yang tepat dengan : (Fossella,2003)

a. CT atau MRI kranial dengan kontras b. Bone Scientigraphy

c. Ultrasonografi

d. CT atau MRI hati dan adrenal 2.8. Histologi Kanker Paru

Karsinoma bronkogenik dibagi menjadi empat jenis histologi yang utama berdasarkan sifat biologi dan penanganan dan prognosisnya yaitu:(

Hammerscmidt,2009;Patel,2008)

(11)

-Adenokarsinoma (13 %) -Karsinoma sel besar (5 %)

2. Kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) sebanyak 30 %

2.9. Stadium kanker Paru

Anatomi kelenjar getah bening dalam klasifikasi revisi TNM untuk kanker paru berdasarkan N1, N2 kelenjar getah bening mediastinum sesuai komite Staging Internasional (ISC) dari Asosiasi Internasional untuk Studi Kanker Paru (IASLC) pada nodul stasiun untuk stadium kanker paru (Punamiya,2011).

 Sistem TNM

Sistem TNM ini menggambarkan tingkat anatomi penyakit didasarkan pada penilaian dari tiga komponen : T : besarnya tumor primer, N : ada atau tidaknya keterlibatan / metastasis kelenjar getah bening, M : ada atau tidaknya metastasis jauh (Peter,2009).

 TNM klasifikasi klinis

 T: Tumor primer

 TX : tumor primer tidak dapat dinilai, atau tumor dibuktikan oleh adanya sel-sel ganas di sputum atau hasil bilasan bronkial tetapi tidak di visualisasikan oleh pencitraan atau bronkoskopi

 T0 : Tidak ada bukti tumor primer

 Tis : Karsinoma in situ

 T1:Tumor 3 cm atau kurang dalam dimensi terbesar, dikelilingi oleh paru-paru atau visceral pleura, tanpa bukti dari bronkoskopi dimana invasi lebih proksimal dari bronkus lobar (yaitu, bukan dalam bronkus utama)

T1a : Tumor 2 cm atau kurang dalam dimensi terbesar

T1b : Tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 3 cm dalam dimensi terbesar

 T2 :Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 7 cm, atau tumor dengan

salah satu dari poin berikut berikut:

(12)

- Menginvasi pleura visceral

- Terkait dengan atelektasis atau pnemonitis obstruktif yang meluas ke daerah hilus, tetapi tidak melibatkan seluruh paru-paru

T2A Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm terbesar

dimensi.

T2B Tumor lebih dari 5 cm tapi tidak lebih dari 7 cm dalam dimensi terbesar.

 T3 : Tumor lebih dari 7 cm atau yang secara langsung menginvasi salah

satu dari berikut: dinding dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma, saraf frenikus, mediastinum pleura, pericardium parietal, atau tumor di bronkus utama kurang dari 2 cm distal ke karina tapi tanpa keterlibatan karina, atau atelektasis terkait atau pneumonitis obstruktif paru-paru seluruh atau nodul tumor yang terpisah di lobus yang sama sebagai tumor primer.

 T4 : Tumor dari berbagai ukuran yang menyerang salah satu dari berikut:

mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, saraf laryngeal rekuren, esofagus, tulang belakang, karina, tumor nodul yang terpisah dalam lobus ipsilateral berbeda dengan tumor primer.

 N : Kelenjar getah bening regional

 NX : kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai

 N0 : Tidak ada metastasis daerah kelenjar getah bening

 N1: Metastasis di peribronchial ipsilateral dan / atau kelenjar getah bening

hilus ipsilateral dan di intrapulmonal, termasuk keterlibatan dengan ekstensi langsung

 N2 : Metastasis di kelenjar getah bening mediastinum ipsilateral dan /

atau subkarina

 N3 : Metastasis di hilus kontralateral mediastinal, kontralateral, sisi tak

sama panjang ipsilateral atau kontralateral, atau kelenjar getah bening supraklavikula

 M : Metastasis jauh

(13)

 M1: Metastasis jauh

 M1A : Nodul tumor terpisah dalam lobus kontralateral, tumor pleura

dengan nodul atau ganas pleura atau efusi perikardial

 M1B : Metastasis jauh Tabel 3.Derajat Kanker Paru

Versi 6 Versi 7

T N M T N M

Occult

Carcinoma

X 0 0 0 0 0

0 Is 0 0 Is 0 0

I IA 1 0 0 IA 1a,b 0 0

IB 2 0 0 IB 2a 0 0

II IIA 1 1 0 IIA 1a,b 1 0

2a 1 0

2b 0 0

IIB 2 1 0 IIB 2b 1 0

3 0 0 3 0 0

III IIIA 1-3 2 0 IIIA 1,2 2 0

3 1 0 3 1,2 0

4 1,0 0

IIIB 4 0-2 0 IIIB 4 2 0

Any 3 0 Any 3 0

IV Any Any 1 IV Any Any 1a,b

Sumber: Hammerscmidt,2009

2.10CT Scan (Computer Tomography Scanning)

(14)

CT Scan dapat menghasilkan gambar yang sangat akurat dari organ didalam tubuh seperti tulang, pembuluh darah. Sejak tahun 1972 CT scan telah di perkenalkan sebagai alat prosedur diagnostik dalam dunia kedokteran yang di perkenalkan pertama kali oleh Sir Godfrey Hounsfield di Hayes, Inggris yang

menghasilkan gambar CT Scan untuk keperluan klinis. Prinsip dasar dari Computer tomograpy sama dengan radiografi konvensional yaitu menggunakan sinar X melalui teknik tomografi dan komputerisasi. Sinar X menembus tubuh di buat sedemikian rupa sehingga dalam bentuk potongan penampang tipis, bisa berupa potongan aksial dan koronal. Absorbsi sinar X oleh jaringan lunak dengan konstituen perbedaan nomor atom direkam oleh detektor dalam bentuk data digital, dikonversikan kedalam bentuk bayangan organ hitam putih seksional (Goldman,2007).

Gambar 1. Prinsip kerja CT Scanner (Goldman,2007)

Indikasi CT scan toraks digunakan untuk meneliti lebih lanjut tentang kelainan yang ditemukan pada foto toraks, membantu mendiagnosis kelainan yang timbul di rongga dada, mendeteksi dan mengevaluasi luasnya tumor atau hasil

metastasis dari organ lain dari tubuh, mengevaluasi kemajuan suatu pengobatan dan mengevaluasi cidera pada dada dan organ didalamnya. Angka sensitivitas dan spesifisitas CT Scan dalam mendiagnosis metastasis kelenjar limfe sebesar 76 % dan 78 % (Weitberg,2002).

(15)

a. Memiliki kontras resolusi dan spasial resolusi yang tinggi. Kontras resolusi adalah kemampuan untuk membedakan dua objek yang memiliki densitas hampir sama. Spasial resolusi adalah kemampuan untuk membedakan dua objek yang saling berdekatan letaknya.

b. Hasil gambaran dapat direkonstruksi sesuai kebutuhan, misalnya dari proyeksi aksial dijadikan proyeksi sagital atau koronal.

c. Gambaran jaringan lunak memiliki karakteristik yang baik dengan adanya pengaturan window.

d. Hasil gambaran berupa irisan melintang ( cross sectional ) sehingga super posisi antar organ dapat dihindari

e. Diagnosis lebih akurat dengan adanya pengambilan gambaran dari berbagai proyeksi seperti proyeksi aksial, sagital dan koronal.

f. CT scan dapat dilakukan dengan cepat.

g. Memberikan pencitraan spesifik terhadap tulang, jaringan lunak dan pembuluh darah.

Kelemahan CT scan :

1) CT Scan melibatkan pajanan terhadap radiasi sinar X 2) Risiko alergi terhadap bahan kontras

3) Tidak boleh sering dilakukan pada anak anak dan wanita hamil 4) CT Scan tidak baik untuk mengidentifikasi patologi jaringan lunak 5) Membutuhkan biaya mahal

(16)

Tabel 4. Contoh Hounsfield Unit dari berbagai jaringan

Jaringan Hounsfield unit

Tiroid 70 ± 10

Hepar 65 ± 5

Otot 45 ± 5

Limpa 45 ± 5

Darah (beku) 80 ± 10

Darah (Vena) Tulang (padat) Tulang (spongy)

Pankreas Ginjal Jaringan lemak

55 ± 5 >250 130 ± 100

40 ±10 30 ± 10 -90 ± 100

Sumber: Astowo,2010

Penelitian yang dilakukan Herlambang tahun 2003 dalam meneliti karakteristik jenis kanker paru berdasarkan peningkatan densitas didapatkan terdapat perbedaan Housfield Unit (HU) pada jenis sel ganas yaitu antara 55 – 80 HU dimana karsinoma epidermoid mempunyai ukuran HU paling tinggi (80 HU) dan, diikuti adenocarcinoma (67 HU), small cell ( 62 HU), large cell (61 HU) dan yang paling rendah jenis undifferentiated/ malignant cell (55 HU) (Herlambang,2003).

(17)

2.11 TransThoracic Needle Aspration (TTNA)

2.11.1 SEJARAH

TransThoracic Needle Aspiration (TTNA) merupakan suatu tindakan metode diagnosis invasif dibidang penyakit paru yang biasa digunakan untuk

diagnostik massa ganas di paru. Tindakan ini pertama kali diperkenalkan oleh Leyden tahun 1883. Tujuan dari tindakan ini adalah mengkonfirmasi diagnosis pneumonia. Kemudian Menetrier pada tahun 1886 melaporkan penggunaan prosedur ini pada 3 orang penderita dengan massa di paru. Saat itu tindakan ini belum banyak digunakan karena efek samping yang sering terjadi dan biasanya berat karena menggunakan jarum aspirasi yang besar. Efek samping yang sering terjadi adalah perdarahan dan pneumotoraks, dan tidak jarang menimbulkan kematian (Astowo,2010).

Dengan perkembangan diagnostik pencitraan dan perkembangan teknik biopsi seperti diperkenalkan jarum halus dan semakin meluas penerimaan pemeriksaan sitologi, membuat Transthoracic biopsy diterima luas dan sangat berguna dalam menyelidiki lesi yang ada di toraks. Selanjutnya banyak publikasi yang telah banyak dimuat dalam beberapa jurnal untuk diagnosis lesi jinak maupun ganas pada kelainan paru dengan melakukan TTNA. TTNA dapat dilakukan dengan tuntunan USG, CT Scan toraks, ataupun dengan C-arm cone beam CT (CBCT) (Nitadori,2006).

2.11.2 DEFINISI

Transthoracic Needle Aspiration (TTNA) merupakan tindakan melakukan biopsi jarum halus secara transtorakal dengan atau tanpa tuntunan fluoroskopi/ USG/ CT scan untuk kepentingan diagnostik. Gupta tahun 2010 mendefinisikan TTNA adalah tindakan menusukkan jarum kedalam lesi abnormal untuk

(18)

tingkat mortalitas dan morbiditas yang rendah dibandingkan dengan biopsi eksisi ataupun biopsi terbuka (Gupta,2010).

TTNA dapat dilakukan pada pasien pada kasus nodul paru yang soliter dimana secara klinis, radiologis foto toraks dan tindakan bronkoskopi yang belum mendapatkan diagnosis definitif. TTNA juga dapat diindikasikan pada kasus

dengan penyakit paru intersisial, infiltrat yang persisten baik single ataupun multipel yang tidak terdiagnosis dari kultur sputum, kultur darah dan bronkoskopi. TTNA juga merupakan pilihan diagnostik lesi di perifer yang dicurigai suatu keganasan (Levine,1988;Boskovich,2013;Dewan,1995).

Pada beberapa tahun ini telah dilaporkan angka tingkat akurasi TTNA ± 80 % untuk penyakit jinak dan ± 90 % untuk penyakit keganasan. Wescott pada tahun 2011 melaporkan secara keseluruhan angka sensitivitas 93 % dan angka spesifisitas 100 % dalam mendiagnosis nodul paru dengan ukuran diameter < 1,5 cm.Stanley EK loh pada tahun 2013 melaporkan angka akurasi diagnostik pada lesi yang malignan sebesar 96,8 % dan angka sensitivitas dan spesifisitas masing masing 95,7 % dan 100 % dengan menggunakan jarum no 18G – 23G (EK loh,2013). Beslic pada tahun 2012 membandingkan teknik TTNA dengan tuntunan CT scan toraks dengan jarum dan core biopsy dan didapatkan hasil diagnostik dengan jarum sebesar 79,60 % dengan menggunakan jarum no 22G, sedangkan memakai core biopsy sebesar 96,85%, sedangkan komplikasi pneumotoraks dengan core biopsy lebih besar yaitu 31,5%, lebih besar dibandingkan dengan jarum yaitu 9,7 %. Penelitian yang dilakukan Lee pada tahun 2009 tindakan TTNA dengan jarum aspirasi no 21G dengan C-arm Cone-beam CT (CBCT) didapatkan hasil akurasi diagnostik sebesar 97,9% dalam mendiagnostik lesi di paru (Beslic,2012;Lee,2012).

Lima dkk melaporkan tingkat akurasi prosedur TTNA dengan

(19)

menderita tuberkulosis (Beg,2002).Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni dkk tahun 2009 di RS Persahabatan dalam mendiagnosis lesi di paru yang dicurigai keganasan dengan membandingkan hasil bronkoskopi dengan TTNA dengan jarum spinal no 25G, didapatkan hasil akurasi yang lebih tinggi dengan teknik

TTNA menggunakan jarum spinal no 25G sebesar 80 % dibandingkan dengan bronkoskopi sebesar 50 % (Wahyuni,2009).

2.11.3 INDIKASI

American Thoracic Society (ATS) mempublikasikan indikasi tindakan TTNA antara lain ( Astowo,2010 ; Birchad,2011):

1) Massa atau nodul yang soliter maupun multipel

2) Diagnosis dugaan metastasis paru pada pasien dengan diketahui kanker primer

3) Konfirmasi diagnosis kanker pada pasien yang tidak dianjurkan untuk reseksi operasional

4) Mendapatkan bahan untuk analisis mikrobiologi yang diduga suatu proses infeksi

5) Mendapatkan bahan diagnostik dari kelenjar getah bening dan lesi lainnya di mediastinum

6) lesi pada mediastinum atau di hilus 7) invasi tumor paru ke dinding dada 8) Konsolidasi atau infiltrat di paru

Crestanello pada tahun 2004 mengindikasikan TTNA pada kasus adanya massa di mediastinum, mengevaluasi massa di perihilar setelah gagal ataupun negatif didiagnosis dengan bronkoskopi, mengevaluasi nodul ataupun konsolidasi pada proses infeksi (Crestanello,2004).

Indikasi TTNA menurut BTS :

(20)

2. Nodul multipel yang dicurigai keganasan

3. Infiltrat lokal yang persisten dimana penunjang diagnosis yang dilakukan tidak diketahui penyebabnya.

2.11.4 KONTRAINDIKASI

Beberapa kontraindikasi untuk tindakan TTNA adalah (Birchard,2011 ;Manhire,2003 ; Beamis,2014):

1) Pasien tidak kooperatif

2) Pasien yang tidak menyetujui informed consent 3) Batuk yang sulit diatasi

4) Kista hidatid paru karena beresiko terjadi ruptur kapsul dan penyebaran sistemik

5) Kurangnya pelatihan atau pengawasan operator

6) Kurangnya peralatan atau personel yang memadai untuk memberikan perawatan darurat pasien dalam kasus komplikasi termasuk pneumotoraks, perdarahan, dan serangan jantung.

7) Gangguan koagulopati 8) hipertensi pulmonal berat

9) Kurangnya peralatan pencitraan yang memadai

10)Ketidakmampuan untuk memvisualisasikan lesi pada saat biopsi 11)Lesi diduga vaskular

12)Pasien yang membutuhkan atau diantisipasi membutuhkan ventilasi mekanis

13)Setiap situasi dimana hasil biopsi tidak akan mempengaruhi pasien manajemen atau prognosis

Beberapa kondisi dikaitkan dengan peningkatan risiko yang mungkin

memerlukan pertimbangan khusus : (Beamis,2014)

1. Emfisema bulosa atau jaringan paru kistik sepanjang jalur jarum 2. Uremia

(21)

4. Gangguan koagulasi dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan 5. Infark miokard, angina tidak stabil, gagal jantung kongestif atau disritmia

jantung yang tidak terkontrol 6. Usia lanjut dan malnutrisi

7. Sindroma Vena Cava Superior

8. Gangguan fungsi pembekuan darah dimana platelet < 100.000/ ml, rasio APTT atau rasio PT > 1,4.

2.11.5 PROSEDUR TINDAKAN

Dapat dilakukan tanpa atau menggunakan tuntunan/ bantuan Ultrasound (USG), fluoroskopi atau CT scan toraks. Bila melakukan tindakan tanpa bantuan, terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan foto toraks standar yaitu foto toraks PA (postero Anterior) dan lateral untuk mengetahui lokasi massa tersebut. Akurasi atau keberhasilan TTNA akan lebih baik bila menggunakan bantuan CT scan toraks bila dibandingkan dengan yang lain, karena dapat diukur / ditentukan jarak massa dari dinding dada dan kepadatan massa tersebut (Astowo,2010).

Sulit menentukan daerah yang akan diambil untuk biopsi tanpa bantuan pencitraan dengan CT scan toraks terutama bila diameter massa tersebut kecil ( kurang dari 1 cm), atau tumor tersebut terdiri dari jaringan nekrotik dan peradangan atau terbentuk kavitas. Untuk mendapat jaringan tumor tersebut diambil daerah yang mempunyai kepadatan (ROI=Region Of Interest) 30-50 HU (Hounsfield Unit), sedangkan bila dilakukan biopsi pada daerah dengan ROI lebih kecil dari 30 HU akan didapat jaringan nekrotik atau peradangan sehingga ditemukan negatif palsu (Astowo,2010).

Dalam melakukan tindakan TTNA dapat digunakan jarum biopsi dari

berbagai konfigurasi, panjang jarum, ujung jarum, dan mekanisme pengambilan sampel yang tersedia. Jarum yang dipilih tergantung pada karakteristik lesi, jenis / jumlah jaringan yang dibutuhkan, dan preferensi operator. Jarum biopsi dapat dibagi menjadi tiga kelompok:

(1) Jarum apirasi untuk pengambilan spesimen untuk evaluasi sitologi

(22)

(3) jarum biopsi inti otomatis (automated core biopsy needle) untuk pengambilan spesimen untuk evaluasi histologist (Birchard,2011).

Jarum aspirasi yang berdinding tipis dan fleksibel digunakan untuk memperoleh spesimen untuk sitologi atau evaluasi mikrobiologis. Yang paling

umum digunakan kelompok ini adalah jarum Chiba yang tersedia dalam ukuran 18 sampai 25-gauge (Birchard,2011; Neyaz,2012).

Untuk tumor yang membutuhkan histologis atau spesimen yang lebih besar untuk analisis, jarum cutting dapat digunakan. Jarum ini memiliki ujung beraneka ragam. Dua jarum yang biasa digunakan dalam kelas ini adalah Franseen dan Westcott. Jarum ini dapat dimodifikasi sebagai jarum aspirasi, dalam arti bahwa mereka dapat dipakai sebagai aspirasi disamping dapat memotong jaringan (Birchard,2011; Neyaz,2012).

Jarum biopsi inti otomatis biasanya digunakan untuk mendapatkan jaringan untuk evaluasi histologis. Sebagian besar perangkat biopsi, seperti Temno atau Achieve merupakan perangkat yang menggunakan mekanisme pegas yang diaktifkan. Panjang jarum bervariasi antar perangkat. Penggunaan perangkat biopsi otomatis dapat meningkatkan hasil jika ahli patologi tidak di tempat pada saat biopsi karena tergantung pada jenis tumor, jarum akan mendapatkan sampel inti yang bebas dari kerusakan (Birchard,2011).

(23)

Gambar 4. Core biopsy (Birchard,2011)

(24)

Gambar 5. Jarum spinocain 25 G (Birchard,2011)

2.11.6 Tindakan TTNA dengan CT Scan toraks

Tindakan TTNA dilakukan di ruang pemeriksaan CT scan. Penderita di monitor di ruang pemeriksaan CT scan. Posisi penderita berbaring. Bila pasien tidak dapat berbaring baik pada posisi supine maupun prone tindakan dibatalkan karena kesulitan teknis penentuan lokasi. Lakukan pemeriksaan CT scan toraks untuk mencari massa tumor. Setelah diketahui massa tumor diukur tingkat kepadatan (ROI). Kemudian diukur jarak antara massa tumor dengan dinding dada. Kemudian tindakan selanjutnya mencari titik tusuk (Point of entry) dengan bantuan CT scan toraks yang sebelumnya telah diberi tanda/ marker ( marker di letakkan di dinding dada). Setelah didapat titik tusuk tersebut, daerah sekitar tempat tesebut dilakukan tindakan antiseptik. Selanjutnya dilakukan anastesi infiltrasi dititik tersebut. Jarum ditusukkan dan diarahkan dengan tepat dengan tuntunan CT scan toraks sampai target yang tepat. Selanjutnya dilakukan biopsi paru dengan jarum spinal. Jarum spinal yang biasa digunakan adalah ukuran 23G atau 25G. Tindakan selanjutnya melepas mandrin jarum biopsi tersebut. Kemudian disambungkan dengan jarum suntik dan diberi tekanan positif. Dilakukan gerakan biopsi naik turun beberapa kali. Kemudian jarum dicabut dan dibuat sediaan dengan cara menyemprotkan aspirat pada gelas objek. Sediaan sesegera mungkin di fiksasi dengan alkohol 96 %. Ulangi prosedur ini beberapa kali sampai didapatkan bahan yang representatif. Selanjutnya bahan dikirim ke

(25)

Gambar 6. CT Scan axial nodul multipel di kedua paru (Astowo,2010)

(26)

Gambar 8. Membuat marker pada titik tusuk (Astowo,2010)

(27)

. Gambar 10. Tindakan aspirat dibuat sediaan hapus (Astowo,2010) 2.11.7 KOMPLIKASI

British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan adanya keseimbangan

antara keuntungan ataupun manfaat yang diperoleh dengan risiko yang akan

dihadapi sebagai komplikasi tindakan TTNA, dan harus melibatkan tim secara

multidisiplin yang minimal melibatkan ahli radiologi dan pulmonologi

(Boskovich,2013).

Komplikasi yang sering terjadi dari tindakan TTNA adalah :

1. Pneumotoraks.

Stanley EK dkk melaporkan angka komplikasi pneumotoraks sebesar 34,8

% dalam mendiagnosis lesi di paru dengan metode TTNA dengan

tuntunan CT Scan toraks (EK loh,2013). Sedangkan De Filippo dkk

melaporkan angka kejadian pneumotoraks sebesar 28,6 % dalam

mendiagnosis lesi di paru dengan teknik TTNA tuntunan CT Scan toraks.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pneumotoraks adalah

emfisema paru, jarum yang menembus rongga pleura, kedalaman nodul,

letak lesi yang dekat dengan pleura. De filippo tahun 2014 melaporkan

tingkat komplikasi pneumotoraks meningkat pada letak nodul dengan

kedalaman > 3 cm, sedangkan yankelevitz pada tahun 1993 insiden

pneumotoraks meningkat pada lesi < 1 cm. Ukuran jarum yang digunakan

(28)

jarum yang digunakan, semakin besar insiden pneumotoraks. Setelah

dilakukan tindakan dianjurkan dilakukan observasi selama 24 jam untuk

melihat adanya komplikasi pneumotoraks (Boskovich,2013;De

filippo,2014).

2. Perdarahan

Perdarahan merupakan salah satu komplikasi. Angka insiden berkisar 11

%. Perdarahan lokal dapat terjadi disekeliling lesi yang dibiopsi ataupun

sepanjang alur dari jarum (Birchard,2011).

3. Emboli udara

Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang terjadi tapi fatal bila

sampai terjadi. Insiden berkisar 0,02-1,8%. Emboli udara dapat

menyebabkan infark serebri, infark miokard, dan kematian.

Penatalaksanaan segera adalah dengan melakukan posisi Trendelenburg

(Birchard,2011).

4. Infeksi

Infeksi disebabkan oleh flora kuman yang ada di kulit yang menembus

masuk ke paru. Oleh karena itu sterilisasi kulit sebelum tindakan sangat

diperlukan untuk mencegah komplikasi infeksi (Birchard,2011)

5. Beberapa komplikasi lain yang terjadi dapat berupa nyeri, sesak nafas,

(29)

Gambar

Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik
Tabel 3.Derajat Kanker Paru
Gambar 1. Prinsip kerja CT Scanner (Goldman,2007)
Gambar 2. Computer Tomography (CT-Scan) dan hasil (Fossella,2003)
+6

Referensi

Dokumen terkait

data pasien penyakit jantung dengan menggunakan faktor-faktor yang. mempengaruhi pasien menderita

Your food will take longer to defrost if the temperature ofyour refrigerator is several degrees lower.. Place your frozen food on a plate or dish to prevent

Please tell all the teachers, school staff and students that there will be a cleaning activity.. ori the following

• Please describe the detail concept of this program, includes number of participants, level of participants and methodology to measure the successful of program..6. THE BEST

flitsal match, basketball match, singing contest, speech contest, and classroom contest.. The second day is basketball

Metode klasifikasi yang sering digunakan adalah metode klasifikasi berstruktur pohon, diantaranya yaitu QUEST ( Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees ) dan

you may wish to practice shifting into the higher gears. Achieving this fluidity will take practice and muscle memory.?. 5. Work your way gradually towards streets

Anak auditorial menghafal lebih cepat melalui membaca keras atau mendengarkan kaset pembelajaran Nilai rata-rata pemahaman konsep IPA materi getaran dan gelombang