• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VII"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII

PROGRAM, DAN MOTIF MISI GKPB PERIODE 2012-2016

PADA BIDANG PERSEKUTUAN, PELAYANAN DAN KESAKSIAN

DALAM PERSPEKTIF PANCASILA

Satu periode pelayanan GKPB berdurasi empat tahun. Dalam pelayanan pada periode 2012-2016, GKPB terdiri dari 67 jemaat dan 18 Balai Pembinaan Iman (BPI) 14 ribu jiwa.1 Seluruh jemaat GKPB itu yang terdiri dari suku Bali, Jawa, Ambon, Timor, Toraja, Menado, Batak, Dayak, Sumba, Sunda, Papua, Tionghoa, Warga Negara Indonesia Keturunan Asing, dan Warga Negara Asing tersebar di delapan kabupaten dan satu kota madya yang ada di

provinsi Bali.2 Daftar jemaat-jemaat dan BPI GKPB beserta dengan lokasinya di provinsi Bali tertera dalam lampiran 3 dari disertasi ini. Pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 ada dalam alur sebagaimana diperlihatkan oleh struktur GKPB periode 2012-2016 seperti tertera dalam lampiran 4 dari disertasi ini. Kemudian dengan maksud agar pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 dapat berjalan mumpuni, GKPB. sebenarnya telah menetapkan arah dari pelayanan itu.

Program-program pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 diarahkan: Pertama, oleh visi dan misi GKPB dalam kurun waktu 2008-2028. Kedua, oleh tema GKPB 2012-2016. Visi GKPB untuk kurun waktu 20 tahun, terhitung dari tahun 2008-2028 ialah: “Bumi Bersukacita Dalam Damai Sejahtera”. Visi ini ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinodenya ke 41 Juni 2008. Melalui visi ini GKPB berupaya menselaraskan cita-cita luhurnya dengan kehendak Sang Transenden agar bumi ini secara keseluruhan ada pada keadaan bersukacita dalam damai sejahtera. Mengenai misi GKPB juga untuk kurun waktu 20 tahun yaitu dari tahun 2008-2028 ialah: “Membangun Peradaban Yang Dijiwai Oleh Kasih Terhadap Tuhan, Sesama dan Lingkungan”. Misi ini

1

GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode 2012-2016 Kepada Sinode ke 45 GKPB Tentang Perbendaharaan GKPB(Mangupura : Percetakan MBM,2016),67-69. Laporan Bishop I Nengah Suama, dalam ceramahnya pada pertemuan antara Majelis Sinode Harian GKPB dan mahasiswa teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 29 Juli 2017 di Kantor Sinode GKPB.

2

(2)

ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinode ke 41 Juni 2008. Melalui misi ini, GKPB bertekad bersama dengan semua sesamanya manusia, mewujudkan bumi yang damai sejahtera, dengan jalan menciptakan suatu tata kehidupan yang harmonis dengan Tuhan, sesama dan lingkungan.3

Tentang tema GKPB pada periode 2012-2016 yang juga ditetapkan oleh GKPB berbarengan dengan ditetapkannya visi dan misi, yang berfungsi untuk memandu perjalanan misi GKPB sepanjang periode 2012-2016, ialah: “Menjadi Gereja Yang Bertumbuh Bersama Masyarakat”. Melalui tema ini GKPB mengakui bahwa masyarakat bukanlah orang lain, melainkan kawan seperjalanan sehingga melalui misinya pada periode 2012-2016, GKPB berupaya untuk menciptakan interaksi antara GKPB dan masyarakat bukan saling menegasikan tetapi justru saling menumbuhkan. Dengan berpayungkan tema “Menjadi Gereja Yang Bertumbuh Bersama Masyarakat”, GKPB berharap warganya semakin merasa menjadi bagian dari satu masyarakat majemuk dan tidak melihat sesamanya manusia yang berbeda-beda itu, sebagai orang lain yang harus dikotak-kotakan. Sebaliknya agar mereka menikmati kepelbagian itu sebagai anugerah Tuhan sehingga mereka dimungkinkan untuk bertumbuh bersama dalam keperbedaan.4

VII.A.Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016

Dalam mengimplementasikan misi GKPB pada periode 2012-2016, GKPB menuangkan misinya itu melalui program-program pada bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian. Tentang motif misi GKPB pada periode 2012-2016, diduga terbenam dalam pemahaman dan cara berpikir GKPB dalam melaksanakan program-program misi itu di bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian. Program dan motif misi GKPB periode 2012-2016 seperti termaksud ialah sebagai berikut:

VII.A.1. Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Persekutuan

Dalam mengeksekusi misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang persekutuan, majelis sinode GKPB melalui departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB menuangkan misinya itu ke dalam beberapa mata program. Tidak semua program itu dikemukakan di sini.

3

Gereja Kristen Protestan Di Bali,Buku Visi dan Misi GKPB(Mangupura: Percetakan MBM,2006),7-15.

4

(3)

Yang dibahas di sini, hanya beberapa mata program misi yang motifnya diduga bermasalah ketika disorot dari perspektif nilai kesatuan, nilai kemanusiaan dan nilai kesetaraan Pancasila. Beberapa dari mata program termaksud ialah sebagai berikut:

VII.A.1.a. Program Dan Motif Pemantapan Spiritualitas Kristen Bagi Warga Jemaat

Dalam menelisik program pemantapan spiritualitas Kristen bagi warga jemaat, penulis menemukan bahwa majelis sinode GKPB melalui Departemen Persekutuan dan Pembinaan mengedukasi jemaat-jemaat GKPB untuk memposisikan Alkitab itu sebagai harta rohani orang Kristen yang menginspirasi kerohanian orang Kristen. Tidak jarang GKPB menuturkan warganya bahwa semua buku pada umumnya berisi pengetahuan bukan kebenaran. Hanya

Alkitab yang berisi kebenaran. Hal itu terjadi demikian karena Alkitab adalah firman Allah. Dalam banyak momen GKPB menuntun warganya untuk senang membaca dan menggali isi Alkitab karena sebagai firman Allah Alkitab adalah pelita dan suluh yang memantapkan kehidupan rohani. Dengan maksud untuk menanamkan di hati warga jemaat betapa sucinya Alkitab itu, warga jemaat sering diajak menyanyikan lagu “baca kitab suci doa tiap hari kalau mau hidup”.

Pengajaran menanamkan di hati warga jemaat tentang betapa mulianya Alkitab, sehingga patut dihormati, nampaknya cukup berhasil. Hal itu dikatakan demikian sebab hampir di seluruh jemaat GKPB ada tindakan-tindakan warga jemaat yang memperlihatkan betapa Alkitab itu diagungkan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini: Pertama, dalam setiap kebaktiam umum, kebaktian hari raya gerejawi, dan kebaktian khusus seperti kebaktian hari ulang tahun gereja, selalu ada prosesi lilin dan Alkitab mengawali ibadah. Lilin dipakai sebagai simbol Tuhan, dan Alkitab ditempatkan sebagai firman Tuhan. Pada saat prosesi ini, jemaat berdiri dengan sikap khidmat.

(4)

itu dilakukan demikian didasarkan pada harapan keluarga dari orang yang meninggal, bahwa dia yang meninggal itu berjalan bersama firman Tuhan sehingga tenang menuju bumi abadi.

Berdasarkan pada tindakan dari jemaat-jemaat GKPB seperti tersebut di atas, penulis berinterpretasi bahwa bagi jemaat-jemaat GKPB Alkitab itu adalah segala-galanya. Interpretasi yang penulis buat ini, menjadi tidak salah sebab semua informan ketika diajak berdiskusi mengenai hubungan antara Alkitab dan konteks, mempunyai cara berpikir dari Alkitab ke konteks.5 Maksud mereka Alkitab menjadi norma untuk menerangi dan menilai konteks. Mereka berpendirian demikian karena pengajaran GKPB sendiri tentang Alkitab sebagaimana tertuang dalam buku “Inti Pemahaman Iman GKPB” dan buku “Katekesasi GKPB”, menyatakan bahwa sebagai firman Allah Alkitab itu bersifat mutlak,6 sumber iman orang Kristen satu-satunya.7Tindakan jemaat-jemaat GKPB terhadap Alkitab seperti demikian ini, sudah merupakan sebuah sikap penyembahanterhadap Alkitab.

Sebuah sikap penyembahan terhadap Alkitab akan cendrung mengutamakan Alkitab sebagai sumber kebenaran-kebenaran mutlak yang menafikan eksistensi kitab suci atau kebenaran-kebenaran keberagamaan lainnya. Sikap yang demikian telah dan akan membuat jemaat-jemaat GKPB menjadi fanatik. Fanatisme yang berlebihan hanya akan menimbulkan kebutaan rohani. Kemudian rohani yang buta cendrung mendorong orang bersikap manipulatif yang pada akhirnya hipokrit dengan dalil agama. Sikap yang demikian ini mengarah kepada pembekuan keberagamaan yang seharusnya dinamis dan responsif terhadap konteks masyarakat pluralistik.

VII.A.1.b. Program Dan Motif Pemantapan Persekutuan Keluarga Kerajaan Allah

Dalam mengobservasi program pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah, penulis menemukan bahwa dengan berpayung pada Roma 8:29, 1 Korintus 1:9, 8:6, GKPB dalam pemahaman imannya merumuskan kerajaan Allah yang telah datang dan yang akan datang itu, sebagai persekutuan orang-orang yang percaya dan menerima karya penyelamatan

5

Hasil wawancara dengan Pdt. Pieter Alexander Lestuny, seorang pendeta GKPB yang menjadi pendeta di jemaat penulis menjadi warga jemaat, dengan Guntur Tateang seorang majelis jemaat GKPB Yudea Padang Luwih, dengan I Wayan Ruspendi wakil rektor II Universitas Dhyana Pura majelis jemaat GKPB Legian, dengan I Made Gunawan, seorang guru sekolah minggu di GKPB. wilayah Badung Selatan.

6

Gereja Kristen Protestan Di Bali,Inti Pemahaman Iman(Mangupura:Percetakan MBM,tanpa tahun),39-40.

7

Departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB,Buku Pelajaran Katakesasi GKPB

(5)

Allah dalam Kristus.8 Nampaknya dengan berpayungkan pada dogma ini dan dalam rangka memantapkan program persekutuan keluarga kerajaan Allah, di jemaat-jemaat GKPB ada ungkapan “Keluarga Kerajaan Allah”. Ungkapan ini pada umumnya merupakan suatu sapaan yang muncul dari para pemimpin kebaktian atau pertemuan dan dialamatkan kepada warga jemaat. Warga jemaat agaknya tidak hanya suka tetapi juga menerima bahkan membenarkan ungkapan “Keluarga Kerajaan Allah” sebagai suatu sapaan yang tepat buat mereka, karena bagi warga jemaat, kerajaan Allah itu tidak berbeda dengan gereja itu sendiri yang di dalamnya mereka ada seperti sebuah keluarga. Bagi mereka, seluruh warga gereja menjadi satu keluarga yaitu keluarga kerajaan Allah.9

Dalam pengamatan penulis hampir di seluruh jemaat-jemaat GKPB, setiap kali

menaikkan doa persembahan kepada Tuhan dalam kebaktian-kebaktian, wargajemaat selalu memohon agar uang yang telah dikumpulkan berguna untuk pelebaran Kerajaan Allah, tetapi tidak pernah bersikap kritis walaupun dalam prakteknya uang persembahan itu lebih banyak digunakan untuk pekerjaan dan kepentingan gereja. Hal ini terjadi demikian adalah karena ketika warga jemaat mendoakan agar uang persembahan itu berguna untuk pelebaran Kerajaan Allah, mereka memang maksudkan agar uang persembahan itu berguna bagi pelebaran dan kepentingan gereja.Dalam hal ini, bagi warga jemaat, sesuatu yang mereka bawa bagi gereja mereka lihat sebagai sesuatu yang mereka bawa bagi kerajaan Allah.10

Ketika menjawab pertanyaan penulis apakah kata “kerajaan” dalam kalimat yang berbunyi “dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan” (Wahyu 1:6) dan dalam kalimat yang berbunyi ,”dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan” (Wahyu 5:10), hendak menerangkan bahwa kerajaan Allah itu adalah gereja, warga GKPB mengatakan ya. Menurut mereka kata “kerajaan” dalam kitab Wahyu 1:6 dan Wahyu 5:10 dikaitkan dengan Allah dan dikaitkan dengan orang-orang yang dibeli atau ditebus oleh Yesus Kristus bagi Allah. Jadi kerajaan Allah itu adalah gereja karena yang dibeli atau ditebus oleh Yesus Kristus bagi Allah dari segala bangsa adalah gereja itu sendiri11. Menjawab pertanyaan apakah ungkapan “Kerajaan Allah” dalam lagu “Sungguh Kerajaan

8

Gereja Kristen Protestan Di Bali,Inti Pemahaman . . . , 28,30. Departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB,Buku Pelajaran . . . , 97.

9

Hasil wawancara dengan I Wayan Murdana, majelis jemaat GKPB. Sabda Bayu Singaraja

10

Hasil wawancara dengan I Nyoman Tri Amerta majelis jemaat GKPB. Gunung Muria Gitgit, Sukasada, Buleleng, Bali utara. I Gusti Putu Sukma Wibawa warga GKPB. Jemaat Yudea Padang Luwih, Badung.

11

(6)

Allah di bumi tak kalah “(Kidung Jemaat Nomer 247) mau menerangkan dan harus dihayati bahwa kerajaan Allah itu adalah gereja, semua warga GKPB yang ditanyakan menjawab ya. Mereka berpendapat demikian karena menurut mereka dalam lagu itu disebutkan bahwa Yesus yang adalah kepala gereja dilantik menjadi kepala kerajaan Allah. Jadi ungkapan “Kerajaan Allah” dalam lagu “Sungguh Kerajaan Allah di bumi tak kalah” menunjuk kepada gereja.12

Kepada beberapa warganya yang malas bergereja dan yang kebetulan banyak mengalami penderitaan, dan dengan maksud supaya mereka menjadi warga yang rajin bergereja, kebanyakan para pendeta dan majelis jemaatGKPB sering merujukpada Matius 6:33 yang mengatakan : “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan KebenaranNya, maka semuanya akan ditambahkan kepadamu, sebagai nasihat. Hal itu dilakukan karena mereka berpandangan bahwa kerajaan Allah dan kebenaranNya harus dicari di gereja dan dengan jalan bergereja. Gereja itulah kerajaan Allah dan di luar gereja tidak ada kerajaan Allah.13Ketika menjawab pertanyaan penulis apakah kerajaan sorga sama dengan sorga, warga GKPB mengatakan bahwa kerajaan sorga tidak sama dengan sorga. Menurut mereka kerajaan sorga adalah sebuah lembaga Allah yang ada di dunia. Sedangkan sorga dipahami sebagai tempat dimana Allah dan orang kudus yang telah meninggal dunia bersemayam.14

Pada waktu ditanyakan apakah kerajaan sorga sama dengan kerajaan- kerajaan dunia, dijawab bahwa kerajaan sorga tidak sama dengan kerajaan-kerajaan dunia. Kerajaan sorga dimengerti sebagai lembaga Allah yang dipimpin oleh Allah, yang masih ada di dunia tetapi berasal dari Allah.Sedangkan kerajaan-kerajaan dunia dimengerti sebagai kerajaan-kerajaan yang tidak hanya berada di dunia tapi juga berasal dari dunia.15Dalam menjawab pertanyaan apakah kerajaan Allah sama dengan semua agama yang ada di dunia, dikatakatan bahwa kerajaan Allahsesuai dengan kesaksian Alkitab dan dogma gereja, tidak sama dengan semua agama yang ada di dunia. Kerajaan Allah adalah gereja itu sendiri, yaitu lembaga dimana Allah di dalam Yesus Kristus menjadi rajanya dan orang-orang yang percaya kepadaNya

12

Hasil wawancara dengan I Nengah Jebolyasa, majelis jemaat GKPB. Katung, Bangli, Bali Timur. I Ketut Sarjana, warga GKPB. jemaat Filia, Amlapura, Karangasem, Bali timur. I Gusti Putu Sukma Wibawa, warga GKPB Jemaat Yudea Padang luwih, Kuta utara, Badung. Ni Ketut Lipur, warga GKPB jemaat Blimbingsari di Salatiga

13

Hasil wawancara dengan Ni Gusti Ayu Negari, warga GKPB.Jemaat Mandira Santi Negara, Jembrana, Bali barat. I Dewa Nyoman Sudarta, majelis jemaat GKPB Belatungan, Tabanan

14

Hasil wawancara dengan Obed Dartha, warga GKPB. Jemaat Mandira Santi Negara, Jembrana, Bali barat.

15

(7)

menjadi warganya.Sedangkan semua agama yang ada di dunia, selain agama Kristen (gereja) dipahami bukan sebagai keluarga kerajaan Allah, sebab agama-agama tersebut tidak dipimpin oleh Yesus Kristus dan penganut-penganutnya tidak percaya kepadaNya sebagai juru selamat dunia.16

Pada waktu ditanyakan apakah berbuat sesuatu bagi gereja tidak berbeda dengan berbuat sesuatu bagi kerajaan Allah, dan apakah memberitakan gereja tidak berbeda dengan memberitakan kerajaan Allah, warga GKPB menjawab tidak, dengan alasan karena kerajaan Allah dan gereja itu tidak berbeda. Bagi mereka apa yang kita buat bagi gereja kita buat bagi kerajaan Allah. Memberitakan kerajaan Allah adalah memberitakan gereja.17Ketika ditanyakan apakah para pendeta mengajarkan dan mewariskan kepada mereka bahwa

kerajaan Allah itu sama saja dengan kerajaan dunia, dijawab tidak.Menurut mereka para pendeta mengajarkan dan mewariskan kepada mereka bahwa kerajaanAllah adalah pemerintahan Allah, sedangkan kerajaan dunia adalah pemerintahan dunia. Oleh karena itu keluarga kerajaan Allah adalah orang-orang yang telah ada dalam pemerintahan Allah dalam Kristus yaitu gereja. Orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus yang adalah juru selamat dan kepala gereja, belum masuk sebagai keluarga kerajaan Allah dan masih berada di dalam kerajaan dunia. Demikian juga orang-orang yang meninggalkan imannya kepada Kristus sebab menikah dengan orang yang tidak seiman, tidak lagi menjadi keluarga kerajaan Allah.18

Dengan mengamati perkataan, tindak tanduk warga GKPB, penulis menemukan bahwa dalam rangka memantapkan persekutuan keluarga kerajaan Allah di bawah terang dogma gereja dimana gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan oleh Kristus, banyak warga GKPB menasehati anak-anaknya untuk hati-hati dan pilih-pilih kawan dalam pergaulan agar jangan sampai menikah dengan orang lain atau orang luar yaitu orang yang berbeda agama. Kalau ada warga jemaat yang meninggalkan imannya karena menikah, keluarga besar dari warga tersebut sangat sedih dan sebagian besar jemaat menilai pernikahan itu sebagai suatu kemalangan. Sebaliknya bila ada warga jemaat yang karena melalui pernikahannya bisa membawa pasangannya menjadi warga gereja, keluarga besar dan seluruh warga jemaat sangat bersukacita, sebab pernikahan yang demikian itu dinilai sebagai suatu

16

Hasil Wawancara dengan I Wayan Yohanes, majelis jemaat GKPB.Selabih, Tabanan, Bali.

17

Hasil wawancara dengan I Wayan Murtiyasa majelis jemaat GKPB. Blimbingsari, Melaya, Jembrana.

18

(8)

keberhasilan, membawa seseorang dari gelap kepada terang. Berdasarkan pada penemuan ini, penulis menafsirkan bahwa program pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah GKPB adalah sebuah pemujaan dogma gereja. Dalam memperilah dogma gereja senyatanya GKPB tertuntun untuk memandang sesamanya manusia yang hanya karena berbeda agama, sebagai orang lain. Dogmalatry mendiskriminasi manusia bukan menyatukan. Pemujaan terhadap dogma gereja membentuk persekutuan gerejawi yang eksklusif dan mendominasi bukan persekutuan gerejawi yang inklusif dan transformatif.

VII.A.1.c. Program Dan Motif Pemantapan Kekudusan Dan Ketertiban Gereja

Dalam menelisik program pemantapan kekudusan dan ketertiban gereja, penulis

menemukan bahwa GKPB menetapkan tata gereja dan peraturan gereja dimana beberapa pasal darinya merupakan hukum gereja yang berpotensi dijadikan instrumen untuk memenuhi hasrat pribadi warga gereja untuk mendishumanisasi dan menstigmatisasi warga gereja.19 Majelis sinode dan majelis jemaat menerapkan beberapa pasal tata gereja dan peraturan gereja dengan sangat keras kepada beberapa pekerja, pejabat dan warga gereja tertentu. Kepada beberapa pekerja dan pejabat gereja yang secara resmi sampai dibahas ditetapkan melakukan pelanggaran terhadap tata gereja dan peraturan gereja, dijatuhi masa pendisiplinan berupa tidak boleh menerima sakramen perjamuan kudus dan dibebastugaskan, dan tidak diperbolehkan menjadi pejabat gereja dalam waktu tertentu. Kepada beberapa warga gereja yang tidak menghadiri dan tidak menerima kegiatan-kegiatan gerejawi secara berturut-turut dalam kurun waktu setahun diposisikan dan didaftar sebagai warga gereja tidak aktif.

Mencermati perkataan, bahasa tubuh, dan sikap majelis sinode, majelis jemaat dan warga jemaat; baik dari pihak yang menjatuhi pendisiplinan maupun dari pihak mereka yang dijatuhi pendisiplinan, baik dari mereka yang menyebut sesamanya sebagai warga gereja non aktif maupun dari mereka yang ditulis namanya dalam buku induk sebagai warga gereja tidak aktif, penulis berinterpretasi bahwa masa pendisplinan dan penertiban itu sekalipun dalam tata gereja dan peraturan gereja disebut sebagai masa gereja melakukan pembinaan,20 namun dalam penerapannya adalah lebih banyak ditungngangi oleh mens rea warga gereja, untuk menghakimi, meremehkan, melukai bahkan menghancurkan sesamanya yang dikenakan

pendisiplinan.

19

Gereja Kristen Protestan di Bali,Tata Gereja GKPB(Mangupura: Percetakan MBM,2006),7. Lihat juga Gereja Kristen Protestan di Bali,Peraturan GKPB (Mangupura: Percetakan MBM,2007),12-14.

20

(9)

Analisa penulis mendapat pembenaran ketika atas pertanyaan penulis bagaimana pelaksanaan pendisiplinan dijalankan di GKPB, beberapa pekerja dan warga GKPB mengatakan bahwa penerapan pendisiplinan di GKPB tidak banyak berupa pengembalaan, tetapi justru lebih banyak bersifat dan berbentuk pendishumanisasian dan penstigmatisasian sesama manusia yang ditetapkan bersalah sebagai orang yang harus dijauhi dan dilepaskan dari gereja. Oleh karena begitu rupa dan praktek pendisiplinan, maka tidak sedikit pekerja, pejabat dan warga gereja yang setelah mendapat perlakukan seperti itu dari gereja dalam menjalani masa pendisiplinan, bukan menjadi warga yang mendekatkan diri ke gereja malah menjauhkan diri dari gereja.21

VII.A.1.d. Program Dan Motif Penerapan Fungsi Jabatan Gerejawi

GKPB menetapkan lima jabatan gerejawi yang berfungsi untuk mengatur kehidupan gereja yaitu: bishop, pendeta, penatua, diaken dan penginjil.22 Dalam meneliti program penerapan fungsi jabatan gerejawi, penulis menemukan bahwa dalam setiap upacara gerejawi, warga gereja yang berjabatan gerejawi mengenakan pakaian dan atribut yang khusus serta duduk atau berdiri di tempat yang khusus pula. Warga gereja yang berjabatan bishop memegang tongkat, mengenakan jubah yang berbeda dengan jubah pendeta dan berkalung salib emas lagi besar, sementara pendeta berkalung salib dari perak dan dalam ukuran lebih kecil. Pada waktu ada warga jemaat biasa meninggal dunia, ia dikubur oleh pendeta setempat. Tetapi ketika ada warga jemaat dari keluarga pendeta yang meninggal, ia dikubur oleh bishop. Upacara pernikahan warga jemaat biasa dilayankan oleh pendeta setempat, sedangkan upacara pernikahan pendeta atau vikaris dilayankan oleh bishop. Pada waktu ada upacara-upacara seperti pemakaman pendeta dan pentahbisan vikaris ke dalam jabatan pendeta, selalu ada prosesi para pendeta dengan mengenakan pakaian seragam, berkalungkan salib dan mereka juga duduk berpisah dari warga jemaat lain yang disebutnya warga jemaat biasa.

Berdasar pada realita tersebut di atas, penulis berinterpretasi bahwa program penerapan fungsi jabatan gerejawi di GKPB membuat warga gereja: Pertama, memandang spiritualitas gerejawi itu lebih sebagai upacara yang bersifat ritualistik daripada sebuah perilaku dan

kinerja yang bersifat humanis. Kedua, membentuk warga gereja melihat organisasi gerejawi

21

Hasil wawancara dengan I Wayan Yasa, Hengki Henkrisliono, I Wayan Gari Viryadama.

22

(10)

itu lebih sebagai lembaga keagamaan yang berstruktur hirarkhis daripada sebagai lembaga keagamaan yang bersifat egaliter. Dalam interpretasi penulis, program penerapan fungsi jabatan gerejawi di GKPB menuntun warga GKPB untuk melihat keberagamaan itu sebagai kegiatan yang bersifat formalistik, ornamental dan show off, sehingga lebih mementingkan

uniformity ketimbang unity; dan organisasi gerejawi itu sebagai lembaga keagamaan yang berstruktur hirarkis dari pada sebagai lembaga keagamaan yang berstruktur non hirarkis, sehingga sangat mendiskriminasi warga gereja dan bukan mensederajatkannya.

Interpretasi penulis menampak tervalidasi ketika terhadap pertanyaan penulis, untuk siapa kira-kira para warga gereja yang berjabatan gerejawi dengan segala seragam dan atribut jabatannya melayankan dan terlibat dalam upacara-upacara gerejawi, beberapa warga gereja

mengatakan bahwa itu semua dilakukan bukan sebagai sebuah tindakan kemanusiaan, tetapi sebagai sebuah tindakan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Sebagai contoh, demikian kata para informan, pada waktu koleganya masih hidup, tidak jarang ia mendapat perlakuan yang melukai batinnya justru dari para koleganya. Pada waktu kawan sekerjanya jatuh sakit sampai masuk rumah sakit berulangkali, mereka tidak mengunjungi apalagi memberi bantuan. Tetapi ketika koleganya telah menjadi jenasah, mereka datang dengan pakaian seragam dan bermuka duram durja, seolah-olah mereka sangat sayang kepada koleganya, padahal motif mereka berbuat demikian, sebatas hanya untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka kaum rohaniwan-rohaniwati yang mempunyai solidaritas.23

VII.A.1.e. Program Dan Motif Pemantapan Persekutuan Dengan Gereja-Gereja Di Bali

Dalam meneliti program pemantapan persekutuan warga GKPB dengan gereja-gereja yang ada di Bali, penulis menemukan bahwa majelis sinode GKPB melalui departemen persekutuan dan pembinaan GKPB senantiasa mempelopori dan mengajak jemaat-jemaat GKPB untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga persekutuan gereja-gereja Protestan yang ada di daerah provinsi Bali, yang bernama Musyawarah Pelayanan Antar Gereja (MPAG),24 yaitu sebuah lembaga yang nampaknya memang dikehendaki oleh kementrian agama,25 baik di tingkat

23

Hasil wawancara dengan Dwi Adnyana, Anik Yuesti, I Nyoman Rubin, I Nyoman Sukarya, I Made Sukariata, Ni Komang Ester, Ni Gusti Ratna.

24

MPAG,Pedoman Dasar Musyawarah Pelayanan Antar Gereja Propinsi Bali (Denpasar:tanpa penerbit,2010),1.

25

(11)

provinsi maupun tingkat kabupaten dan kodya. Sebagaimana terbaca dalam buku “Pedoman Dasar MPAG Provinsi Bali”, penulis juga menduga bahwa seluruh gereja-gereja anggota MPAG menyadari bahwa: Pertama, mereka adalah orang-orang yang dipanggil oleh satu juru selamat yaitu Yesus Kristus, sehingga mereka bertekad untuk merealisasikan tri panggilan gereja bersekutu, melayani dan bersaksi secara bersama-sama. Kedua, mereka menyadari bahwa ia bukan saja warga-warga kerajaan Allah tetapi juga adalah warga Indonesia yang berazaskan Pancasila, sehingga mereka juga bertekad untuk mewujudkan tri kerukunan umat beragama.26

Dalam mengamati perjalanan pimpinan GKPB dan jemaat-jemaat GKPB dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh MPAG seperti rapat pengurus

MPAG untuk mencari solusi bersama atas masalah-masalah gerejawi yang mereka hadapi, kebaktian Natal bersama dan kebaktian kebangunan rohani, dan berdasarkan informasi dari beberapa informan,27penulis mendapat kesan bahwa konten dari partisipasi GKPB dalam kegiatan-kegiatan MPAG yang dimaksudkan sebagai pemantapan persekutuan GKPB dengan gereja-gereja Protestan, baru sebatas upaya untuk saling mengenal akan keberadaan masing-masing gereja. Kegiatan-kegiatan dengan konten seperti itu, dalam perkiraan penulis banyak menguras tenaga dan waktu gereja-gereja anggota MPAG, untuk mendisain acara-acara dan liturgi yang merepresentasikan dan mengakomodir tradisi masing-masing gereja. Penulis berkira demikian, karena dalam pengamatan penulis, masing-masing gereja anggota MPAG dalam setiap kegiatan MPAG, memiliki kepentingan yang bersifat denominasi sentris, berupa keperluan untuk diterima dan diakui keberadaannya.

Mencermati kegiatan persekutuan gerejawi yang GKPB ikuti dalam MPAG seperti terurai di atas, kualifikasi dari program pemantapan persekutuan GKPB dengan gereja-gereja di Bali dalam interpretasi penulis, justru adalah sebuah partisipasi GKPB yang mendukung kepentingan gereja-gereja melalui lembaga MPAG untuk mendapat pengakuan dan legitimasi sebagai gereja dari sesama komunitas Kristiani, masyarakat dan pemerintah. Dalam keadaannya yang demikian, GKPB belum mempunyai upaya, daya dan jalan konkrit untuk mengajak gereja-gereja dalam wadah MPAG Bali mengembangkan makna persekutuan gereja-gereja MPAG dalam perspektif Pancasila, yaitu persekutuan gereja-gereja MPAG dan kadang-kadang melalui Pembimas Kristen Protestan memfasilitasi kegiatan-kegiatan MPAG. Pada tahun 2016 ada 55 gereja (denominasi)Protestan di Bali yang menjadi anggota MPAG Bali.

26

MPAG,Pedoman Dasar . . . , pengantar.

27

(12)

yang mencintai dan merawat keindonesiaan, padahal lembaga ini menyatakan bahwa ia berazaskan Pancasila. Interpretasi penulis dibenarkan oleh pendeta GKPB Januar Togatorop Simatupang yang menjadi Pembimas KristenProtestan pada Kantor Kementrian Agama Wilayah Provinsi Bali. Dengan merujuk buku Pedoman Dasar MPAG Bali,28 dia mengatakan setiap gereja anggota MPAG Bali tidak terkecuali GKPB memang hanya dipanggil untuk mengakui, menerima dan menghormati perbedaan doktrin dan keberadaan masing-masing gereja. Lebih jauh dia mengatakan, pengurus MPAG pun tidak diperbolehkan sehingga tidak dibenarkan mencampuri urusan rumah tangga masing-masing gereja.29

VII.A.1.f. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Masyarakat

Dalam menelisik program pemantapan relasi gereja dengan masyarakat, penulis menemukan bahwa majelis sinode melalui departemen persekutuan dan pembinaan GKPB dan para pendeta GKPB selalu mengedukasi dan mengajak jemaat-jemaat untuk membangun relasi yang baik dengan masyarakat melalui etika gerejayang baik. Dengan maksud untuk menciptakan relasi yang baik dengan masyarakat, tidak sedikit jemaat-jemaat GKPB melakukan kunjungan rumah dan membawa dana aksi sosial (uang diakonia) kepada warga masyarakat yang tengah menderita sebagaimana mereka perbuat kepada warga jemaat. Masih terkait dengan upaya menciptakan relasi yang baik dengan masyarakat, hampir semua jemaat-jemaat GKPB melakukan kunjungan pelayatan dan membawa “uang tali kasih” atau “bingkisan belasungkawa” kepada anggota masyarakat yang berduka atas kematian sanak saudaranya, seperti yang mereka lakukan kepada anggota jemaat.

Dalam mencermati apa yang dikatakan, gerak-gerik dan mimik, serta tindakan yang dilakukan oleh jemaat-jemaat GKPB ketika melakukan kedua jenis kegiatan yang dimaksudkan untuk pemantapan hubungan baik jemaat dengan masyarakat seperti tersebut di atas, penulis berasumsi bahwa dalam membangun relasi harmonis gereja dengan masyarakat, ternyata hubungan jemaat dengan masyarakat substansinya sangat berbeda dengan relasi jemaat dengan sesama warga jemaat. Bertolak dari data yang faktual ini, penulis menafsirkan bahwa walaupun dalam program pemantapan hubungan jemaat dengan masyarakat,etika

28

Januar Togatorop Simatupang merujuk Pedoman Dasar MPAG Bali BAB III Saling Mengakui Dan Saling Menghormati, pada pasal 7 yang berbunyi “Anggota MPAG saling mengakui dan saling menghormati doktrin setiap anggotanya”, pada pasal 9 yang berbunyi “Anggota MPAG saling mengakui dan saling menerima keberadaan dan perbedaan masing-masing anggota. Dan pada pasal 11 yang mengatakan: “MPAG tidak mencampuri urusan rumah tangga masing-masing anggotanya”.

29

(13)

jemaat-jemaat GKPB ternyata diskriminatif. Mereka melihat dan memperlakukan antara warga gereja dengan warga masyarakat sebagai saudara-saudara yang berbeda.

Interpretasi penulis seperti termaksud di atas, tidak keliru setelah mendengar jawaban beberapa orang atas pertanyaan yang penulis kemukakan. Ketika penulis menanyakan apakah kunjungan dan pemberian uang diakonia yang jemaat-jemaat GKPB lakukan terhadap anggota masyarakat, substansinya sama dengan kunjungan dan pemberian diakonia yang jemaat-jemaat lakukan kepada anggota gereja, semua informan sejumlah 8 orang dari masing-masing majelis wilayah menjawab hal itu tidak sama. Menurut mereka, kunjungan dan pemberian uang diakonia ke warga jemaat dilakukan sebagai tanda persaudaraan di dalam Tuhan. Sedangkan kunjungan dan pemberian uang diakonia kepada anggota

masyarakat dilakukan untuk memperkenalkan kasih Yesus kepada masyarakat.30

Selanjutnya dalam menjawab pertanyaan apakah pelayatan dan pemberian “uang tali kasih” yang jemaat-jemaat GKPB lakukan terhadap sesama warga jemaat itu, sama substansinya dengan yang diperbuat jemaat untuk warga masyarakat, semua informan sejumlah 8 orang perempuan dari masing-masing wilayah pelayanan GKPB menjawab bahwa hal itu berbeda. Menurut mereka pelayatan ke warga jemaat adalah pelayatan dimana warga jemaat berperan sebagai tuan rumah yakni menyambut dan melayani para pelayat, mengusahakan dan menyediakan segala yang diperlu sebagai tanda jemaat satu saudara dengan keluarga yang berduka. Sedangkan dalam pelayatan dan pemberian “uang tali kasih” kepada warga masyarakat dikatakan oleh mereka bahwa dalam pelayatan itu jemaat hanya berperan sebagai hadirin saja, dan “bingkisan belasungkawa” yang diberikannya itu sebagai tanda empati semata.31

30

Hasil Wawancara dengan I Gusti Ngurah Suryawan(Wilayah Buleleng),I Made Suarna (Wilayah Jembrana), I Wayan Ardana (Wilayah Tabanan), I Made Widiadana (Wilayah Badung utara), I Nyoman Subaga (Wilayah Badung Selatan), I Nyoman Jefri Sutarsa (Wilayah Kota Denpasar), I Wayan Sutarja (Wilayah Bali timur laut), I Nyoman Wira Saputra(Wilayah Bali timur ).

31

(14)

VII.A.1.g. Program Dan Motif Penciptaan Upacara-Upacara Gerejawi Yang Kreatif

Membaca Buku Arah Pelayanan GKPB periode 2012-2016,32 penulis menemukan bahwa program penciptaan upacara-upacara gerejawi kreatif dicanangkan oleh GKPB dengan tujuan agar ibadah-ibadah yang diselenggarakan oleh jemaat-jemaat menjadi berkat bagi masyarakat, menarik, kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi dimana upacara itu dilayankan.Tujuan yang demikian ini dipandang sangat relevan karena beberapa jenis upacara gerejawi seperti ibadah peneguhan nikah, ibadah memasuki rumah baru dan ibadah pemakaman, tidak hanya dihadiri oleh umat kristiani saja, tetapi juga oleh umat beragama lain dan pada umumnya dalam jumlah yang tidak sedikit.

Menelisik empat kali upacara peneguhan nikah dan mengobservasi dua kali kebaktian pemakaman di jemaat-jemaat GKPB dalam kurun waktu tujuh bulan terhitung dari 5 Agustus 2016 sampai dengan 24 Pebruari 2017, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, warga jemaat duduk berkelompok dengan sesama warga jemaat. Kedua, semua warga jemaat memegang buku liturgi beserta lagu-lagu yang dinyanyikan dalam ibadah, sedangkan sebagian besar umat beragama lain tidak diberi liturgi. Ketiga, warga jemaat menyanyi dengan suara keras karena mereka sudah terbiasa menyanyikan lagu-lagu yang tersedia. Umat beragama lain diam karena tidak mengenal lagu-lagu yang dinyanyikan jemaat. Keempat, pendeta berkhotbah dengan sangat semangat tentang “kebahagiaan hidup orang percaya kepada Kristus”. Kelima, kebanyakan umat beragama lain menampakkan wajah kebingungan karena merasa asing dan karena sama sekali tidak bisa menikmati isi ibadah. Berdasarkan pada temuan-temuan seperti tersebut di atas, penulis menafsir bahwa GKPB sekalipun berpayungkan pada tema bertumbuh bersama masyarakat, dan walaupun berprogram supaya upacara-upacara gerejawi itu kontekstual, ternyata ibadah GKPB sangat bercorak eksklusif dan menginjili, sehingga memisahkan dan menggurui, bukan merangkul apalagi mempersekutukan antara warga jemaat dan warga masyarakat.

Interpretasi penulis sebagaimana tergambar di atas, menampak tidak salah ketika dua pendeta dan satu orang majelis jemaat atas pertanyaan penulis kenapa gereja dalam kebaktian-kebaktian yang dihadiri oleh banyak umat beragama lain, tidak membuat liturgi

yang berkarakter humanis saja, mengatakan bahwa justru ketika banyak orang dari umat beragama lain hadir dalam kebaktian Kristen, gereja harus memakai kesempatan itu untuk

32

Gereja Kristen Protestan Di Bali, Arah Pelayanan GKPB Periode 2012-2016,

(15)

mengkumandangkan keunikan dan keunggulan ajaran-ajaran Kristen lewat lagu-lagu, doa dan khotbah, supaya mereka boleh mendengar dan menjadi percaya.33 Jemaat-jemaat GKPB dan masyarakat Bali sebenarnya memiliki banyak lagu dan ceritera daerah yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bila saja jemaat-jemaat GKPB mengkomposisi semua itu dalam ibadah-ibadah mereka yang dihadiri oleh umat beragama lain, sangat bisa jadi ibadah jemaat itu akan menjadi ibadah bersama yang sangat mempersekutukan masyarakat.

VII.A.1.h. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama

Lain

Dalam mengobservasi program pemantapan hubungan gereja dengan agama-agama

lain, penulis menemukan bahwa majelis sinode melalui departemen persekutuan dan pembinaan GKPB mengkondisikan para pendeta yang bekerja di tingkat sinode menjadi pengurus Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) tingkat provinsi, dan para pendeta yang menjadi pengurus wilayah menjadi pengurus Komunikasi Antar Umat Beragama tingkat kabupaten. FKUB Bali adalah wadah yang dibentuk pemerintah Bali melalui kementerian agama republik Indonesia kantor wilayah provinsi Bali dengan menempatkan lima orang dari masing-masing agama duduk sebagai pengurusnya. Sebagai hasil bentukan pemerintah yang mendapat sambutan dari agama-agama, kegiatan FKUB difasilitasi dan diarahkan tujuannya oleh pemerintah, yakni untuk membantu pemerintah menciptakan masyarakat beragama yang hidup berdampingan rukun. Sesuai dengan nama dan peruntukannya, FKUB selalu menjadi jalan bagi pemerintah berkomunikasi dan membuat masing-masing agama melalui perwakilannya saling berdialog dalam sebuah forum, untuk membahas peristiwa yang akan terjadi dan masalah yang telah terjadi, guna untuk menciptakan adanya harmoni di antara umat beragama.

Mengamati model dialog FKUB provinsi dan kabupaten/kodya yang ada di Bali, berupa diskusi berbagi pemahaman terhadap suatu topik dari sudut pandang masing-masing agama, dan mencermati beberapa materi dialog yang disampaikan oleh para pendeta GKPB di tingkat provinsi dan kabupaten/kodya, penulis menafsirkan bahwa dalam dialog-dialog FKUB, GKPB yang berprogram untuk memantapkan hubungan baik dengan agama-agama

lain, ternyata hanya mengulang atau menegaskan apa yang sesungguhnya telah merupakan ketetapan atau kebenaran konstitusional yaitu kebhinneka tunggal ikaan agama-agama

33

(16)

Indonesia, dan seraya dengan dengan itu melakukan pemberitaan yang bersifat apologetik atas kekristenan. Interpretasi penulis ini menampak benar, ketika empat informan yaitu para pimpinan dan pendeta GKPB yang kerap menjadi pembicara dalam dialog antar agama, mengatakan bahwa dalam paper-paper dialognya, mereka selalu hanya berangkat dari Alkitab sehingga memilih dan mengurai teks-teks Alkitab yang dipandangnya mendukung hubungan antar agama dan yang diduganya membentangkan keunggulan kekristenan.34

Di mata penulis, program pemantapan hubungan gereja dengan agama-agama lain, yang dibangun berdasarkan pada gaya dialog yang melihat keindonesiaan itu atau kebhinneka tunggal ikaan agama itu, dari sudut pandang agama masing-masing, memperlihatkan bahwa keindonesiaan itu, atau Pancasila itu, seolah-olah belum final atau belum menjadi sebuah

ideologi atau konstitusi bangsa. Padahal kebhinneka tunggal ikaan agama-agama itu sudah final dalam ideologi dan konstitusi Indonesia. Artinya ajaran dari semua agama sudah terakomodasi dalam Pancasila dan UUD’45. Oleh karena begitu keadaannya, maka dalam rangka memantapkan hubungan dengan agama-agama lain yang otentik dan juga dalam rangka memajukan kualitas hubungan dengan agama-agama lain, yang mensejahterakan bangsa, GKPB semestinya mempelopori gerakan untuk menginovasi model gaya dialog FKUB, bukan lagi membahas tujuan kerukunan dari sudut pandang masing-masing agama yang pada memiliki titik tengkar, tetapi justru melihat keberadaan masing-masing agama dari perspektif titik temu yang mendamaikan yaitu konstitusi.

Menurut penulis dialog yang melihat keindonesiaan dari perspektif Alkitab, membuka ruang bagi gereja untuk tergoda melakukan apologetik, dimana sifat itu pada umumnya tidak mendukung upaya penciptaan hubungan baik dengan agama-agama. Sedangkan dialog yang melihat Alkitab atau dogma gereja dari perspektif Pancasila, sangat bisa jadi akan membantu gereja untuk berbuka diri, berintrospeksi diri dan bertransformasi diri dalam beretika dan berupacara, dimana perilaku demikian dalam imaginasi penulis, akan sangat kondusif dalam penciptaan hubungan baik dengan agama-agama lain.

34

(17)

VII.A.1.i. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Negara Dan

Bangsa

Dalam mengobservasi program pemantapan hubungan gereja dengan negara, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, jemaat-jemaat GKPB secara institusional selalu mengindahkan setiap undangan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Kedua, jemaat-jemaat GKPB senantiasa mengundang para pemerintah untuk menghadiri upacara-upacara peringatan hari raya gerejawi yang mereka selenggarakan dan mereka sangat senang sekali, ketika para pemerintah bisa memenuhi undangan itu. Ketiga, jemaat-jemaat GKPB sangat bangga sekali ketika dalam setiap upacara-upacara gerejawi, para pemerintah menyampaikan bahwa agama Kristen adalah salah satu dari agama resmi Indonesia yang dilindungi oleh

negara dan yang diharap peran sertanya bersama dengan agama-agama lain dan pemerintah dalam menyukseskan pembangunan nasional. Keempat, kehadiran para pemerintah dan pernyataan mereka tentang keberadaan gereja sebagai bagian integral yang diperlu oleh negara dan bangsa, oleh jemaat-jemaat GKPB dinilai sebagai penentu atau puncak keberhasilan sebuah upacara gerejawi.

Dalam mencermati perkaataan jemaat-jemaat GKPB, penulis menemukan bahwa mereka mengenal semua hari raya nasional seperti: 2 Mei hari pendidikan nasional, 20 Mei hari kebangkitan nasional, 17 Agustus hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, 28 Oktober hari sumpah pemuda, 10 Nopember hari pahlawan, dan 20 Nopember hari peringatan puputan Margarana. Mendengar perkataan jemaat-jemaat GKPB penulis juga menemukan bahwa tidak sedikit diantara mereka mengetahui lagu-lagu kebangsaan seperti: Indonesia Raya, Satu Nusa Satu Bangsa, Padamu Negeri, Maju Tak Gentar, Garuda Pancasila, Dari Sabang sampai Merauke. Namun dalam mengamati tindakan jemaat-jemaat GKPB, penulis menemukan bahwa di gereja mereka hanya menyelengarakan upacara peringatan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam sebuah kebaktian minggu pada tanggal yang bersamaan atau berdekatan dengan 17 Agustus. Peringatan itupun dibuat sangat sederhana. Mereka hanya menyanyikan lagu Indonesia Raya saja, lalu menaikkan doa syukur atas kemerdekaan Indonesia. Peringatan yang sangat sederhana itu disisipkan dalam liturgi minggu. Jemaat-jemaat tidak membuat tata ibadah khusus untuk peringatan kemerdekaan Indonesia.

(18)

banyak untuk mendapat pengakuan dan legitimasi diri dari negara dan bangsa, daripada untuk menggelorakan semangat kebangsaan warga jemaat dan kecintaan warga jemaat akan tanah air. Analisa penulis bahwa program GKPB dalam pemantapan hubungan gereja dengan negara dan bangsa bermotifkan untuk mendapat pengakuan dan legitimasi diri, mendapat pembenaran ketika beberapa informan atas pertanyaan penulis mengapa pemerintah diundang dan dimintakan memberi sambutan dalam upacara-upacara gerejawi, mengatakan bahwa pemerintah diundang supaya pemerintah yang adalah penguasa negara dan pengayom masyarakat bisa mengenal lalu memperhitungkan keberadaan gereja.35

Interpretasi penulis bahwa pelaksanaan program GKPB dalam pemantapan hubungan gereja dengan negara dan bangsa, tidak banyak bertujuan untuk membangkitkan semangat

nasionalisme dan kecintaan akan tanah air. juga mendapat pembenaran ketika beberapa informan atas pertanyaan penulis mengapa peringatan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia sangat sederhana dan mengapa GKPB tidak memperingati hari-hari raya nasional lainnya, mengatakan bahwa urusan inti gereja yang adalah lembaga keagamaan berbeda dengan urusan inti negara dan bangsa yang adalah lembaga politik. Mendengar jawaban para informan seperti tersebut di atas, penulis juga berinterpretasi bahwa GKPB walaupun mempunyai program pemantapan hubungan gereja dengan negara dan bangsa, ternyata warganya belum melihat Indonesia itu sebagai karya keselamatan Allah buat seluruh rakyat Indonesia.

Analisa penulis seperti termaksud di atas, tidak meleset ketika beberapa warga GKPB atas pertanyaan penulis apakah lembaga gereja itu berbeda sekali dengan negara dan bangsa, memberi jawab bahwa gereja itu sangat berbeda dengan bangsa. Gereja itu adalah lembaga keagamaan hasil karya keselamatan Allah di dalamYesus. Sedangkan bangsa adalah lembaga politik hasil perjuangan para pahlawan bangsa. Lebih jauh mereka mengatakan urusan inti gereja sebagai lembaga rohani harus lebih banyak memberitakan tentang karya keselamatan Allah di dalam Yesus. Olehnya, hal-hal yang menyangkut negara dan bangsa tidak perlu banyak dibahas apalagi diupacarakan di dalam gereja, tegas mereka.36 Penyebab dari realita ini, sebagaimana ditemukan dalam pemeriksaan penulis atas dokumen-dokumen pengajaran

35

Ni Nyoman Switrini warga GKPB. Jemaat Mandira Santi negara Jembrana Bali barat. Ni Luh Erni Kesuma wati warga GKPB. Jemaat Bukit Palma Sanggulan Tabanan. Yohanes Ano majelis jemaat GKPB Mandira Asih, Tegal Badeng, Jembrana, Bali barat. Ni Luh Mudrasih warga GKPB. Jemaat Sabda Bayu Singaraja, Bali utara.

36

(19)

GKPB seperti Inti Pemahaman Iman dan Buku Katakesasi, nampaknya karena GKPB sendiri, memang belum merumuskan secara iman Indonesia itu sebagai karya keselamatan Allah bagi seluruh rakyat Indonesia.

VII.A.1.j.Program Dan Motif Partisipasi Pembentukkan Gereja Kristen Indonesia

YangEsa

Dalam meneliti program partisipasi GKPB dalam pembentukkan gereja Kristen protetan Indonesia, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, kata Di dalam nama Gereja Kristen Protestan Di Bali sekalipun tidak muncul dalam singkatannya (GKPB) sangat ditekankan oleh para pemimpin dan pekerja GKPB ketika mereka berbicara atau

memperkenalkan GKPB. Kedua, warga GKPB, para pendeta GKPB dan para pekerja GKPB lainnya tidak hanya terdiri dari suku Bali saja, tetapi dari berbagai suku yang ada di Indonesia bahkan juga ada beberapa orang yang berasal dari negara-negara di luar Indonesia. Ketiga, suku Bali yang beragama Kristen Protestan di luar wilayah provinsi Bali seperti di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, di wilayah provinsi Sumatera Selatan, di wilayah provinsi Bengkulu, di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara jumlahnya lebih banyak daripada seluruh warga GKPB, namun GKPB dari dulu dan khususnya pada periode pelayanan 2012-2016, tidak pernah berikhtiar untuk mendirikan GKPB di luar wilayah provinsi Bali. Keempat, suku Bali yang beragama KristenProtestan yang menggereja di wilayah mereka tinggal, khususnya di daerah-daerah transmigrasi cendrung untuk menetap di sana, bekerja optimal membangun diri dan negeri, sampai ajal menjemput mereka.

(20)

wilayah, sehingga olehnya juga cita-cita didirikannya Dewan Gereja Indonesia (DGI) kini PGI pada tahun 1950 agar gereja-gereja Kristen Protestan di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya sekedar membentuk hubungan kerjasama gereja-gereja Indonesia seperti yang terjadi sekarang ini, namun bersatu menjadi gereja-gereja Kristen Protestan di tingkat nasional, menjadi semakin kabur.37

Analisa penulis bahwa GKPB berpandangan dan berprediksi “dengan menyatu dan melebur diri dalam memperkuat gereja Kristen Protestan di sebuah wilayah Indonesia, akan memperluas wawasan kebangsaan warga gereja”, menampak benar pula karena atas pertanyaan penulis kepada empat suku Bali yang menjadi warga gereja di wilayah transmigrasi “mengapa tidak pulang saja ke Bali lagi, karena Bali sekarang sudah sangat maju sekali”, mengatakan bahwa mereka memang tidak lupa Bali, tetapi mereka tidak punya keinginan untuk pulang ke Bali. Kalaupun mereka ke Bali hanya sebentar saja untuk tujuan menegok keluarga dan berobat kalau sakit. Sesudah itu mereka ingin cepat-cepat pulang ke rumah mereka. Daerah dimana mereka kini tinggal, menjadi rumah mereka. Mereka tidak merasa asing sebaliknya sangat kerasan di sana karena tanah dan air di sana sama dengan tanah dan air yang ada di Bali yakni bagian dari Tanah Air Indonesia, yaitu sama-sama memberi mereka penghidupan, tempat mereka berbakti kepada ibu pertiwi, tempat mereka belajar hidup bersama dengan orang-orang dari berbagai suku, ras dan agama, tempat mereka beranak pianak, tempat perlindungan mereka di hari tua sampai mereka menutup mata.38

VII.A.2. Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Pelayanan

Dalam mengeksekusi misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang Pelayanan, majelis sinode GKPB melalui departemen pelayanan dan usaha menuangkan misinya itu ke dalam beberapa mata program. Tidak semua program itu dikemukakan di sini. Yang dibicarakan di sini, hanya beberapa mata program yang pelaksanaannya diduga bermasalah ketika dikaji dari perspektif nilai-nilai: kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan Pancasila. Beberapa dari program termaksud ialah sebagai berikut:

37

Hasil wawancara denganI Wayan Mastra, I Ketut Suyaga Ayub, Kristantius Dwiatmaja, I Wayan Damayana, I Nengah Ripa.

38

(21)

VII.A.2.a. Program Pemberdayaan Warga GKPB Untuk Berjiwa Wira Usaha

Program pemberdayaan warga GKPB untuk berjiwa wira usaha, sebagaimana telah disebutkan di atas, dikelola oleh departemen pelayanan GKPB yang selengkapnya bernama departemen pelayanan dan usaha. Filosofi yang ada dalam penamaan itu, ialah GKPB akan bisa melayani dengan baik yakni bisa membantu ekonomi dan kesehatan masyarakat, bila GKPB sendiri terlebih dahulu telah maju dalam hal ekonomi dan kesehatan. Dalam mempelajari program pemberdayaan warga GKPB untuk berjiwa enterpreneur, yang dikelola oleh departemen pelayanan dan usaha, penulis menemukan bahwa berangkat dari falsafah termaksud di atas, para pimpinan GKPB yang mengelola departemen pelayanan dan usaha, selalu menanamkan di hati warga GKPB; semangat kewirausahaan melalui ceramah-ceramah

yang dibawakan oleh para motivator, dan pengusaha-pengusaha yang berhasil secara ekonomi. Disamping pemberian motivasi, majelis sinode GKPB melalui departemen pelayanan dan usahanya, juga memberikan contoh kepada warga gereja dan masyarakat bagaimana berwirausaha yang berpotensi sukses, melalui pendirian dan pengelolahan usaha percetakan, usaha peternakan babi, usaha perkebunan, usaha perkayuan, usaha Bank Perkreditan Rakyat dan usaha penginapan.

Mengobservasi perkataan, gerak tubuh, dan sikap para pekerja GKPB di departemen pelayanan dan usaha dan warga GKPB binaan mereka, penulis menemukan bahwa pemberdayaan tentang kewirausahaan yang dilakukan oleh departemen pelayanan dan usaha GKPB, telah mampu membangkitkan semangat enterpreneurship warga gereja. Sebagian besar warga GKPB menjadi orang-orang yang memiliki usaha-usaha disamping mereka telah mempunyai pekerjaan tetap. Bahkan tidak sedikit warga GKPB meninggalkan pekerjaan tetap mereka ketika dalam berwirausaha dan merebut pasar, hasil usaha mereka memenangkan pasar, sehingga hasil usaha mereka mendatangkan keuntungan materiil yang jauh lebih besar. Kebanyakan warga GKPB yang telah berhasil dalam usaha mereka yang satu, membangun usaha yang lain lagi dan mereka dengan gigih melakukan segala cara untuk mempertahankan keberhasilan usahanya. Pada umumnya mereka juga sangat bangga dan merasa telah berjasa membantu masyarakat miskin dengan cukup memberi mereka pekerjaan di perusahan-perusahan mereka dengan gaji sesuai dengan standar upah minimum regional.

(22)

kedalam tubuh warga GKPB dan mengendalikan perilaku mereka. Analisa penulis dibenarkan oleh beberapa pembisnis dan warga GKPB, sebab terhadap pertanyaan penulis bagaimana caranya menjadi kaya dan untuk apa menjadi kaya, mereka mengatakan bahwa kalau kita tidak bisa dan tidak kuat dalam bersaing di dunia bisnis, kita tidak akan bisa menjadi kaya, dan kalau kita tidak kaya harta, kita tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup kita yang kian hari kian meningkat dan kita juga tidak akan bisa menolong ekonomi dan kesehatan, anak-anak, keluarga dan sesama kita yang miskin.39

VII.A.2.b. Program Dan Motif Pemberian Modal Sebagai Sarana Usaha Bagi

Masyarakat Miskin

Mendengar perkataan dan menyimak tindakan para pekerja GKPB pada departemen pelayanan dalam program pembekalan kewirausahaan dan pemberian pinjaman modal kredit uang sebagai sarana usaha bagi masyarakat miskin, seraya mencermati sikap para stake holdersnya dan menyimak beberapa dokumen terkait,40 penulis menemukan data dan fakta sebagai berikut: Jumlah penduduk miskin di Bali pada bulan Maret tahun 2015 mencapai 4.74 % dari total penduduk Bali. Penduduk Bali miskin yang berjumlah sekitar 197 ribu jiwa itu, adalah mereka yang potensi dirinya belum tergali, mereka yang motivasi dan ketrampilan dirinya dalam berusaha sangat rendah, mereka yang memiliki keterbatasan atas akses modal usaha. Pemerintah belum memiliki skema yang memungkinkan penduduk miskin bisa dengan mudah mendapatkan akses modal.

Sepanjang periode 2012-216, departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan pihak pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat baik dari luar maupun dari dalam negeri, sudah melakukan pengidentifikasian, pembekalan kewirausahaan, pendampingan dan pemberian kredit yang jumlahnya disesuaikan dengan jenis usaha yang dibuat, berkisar antara Rp 500.000,- sampai Rp.40.000.000,- dengan bunga sebesar 1 % tanpa jaminan, kepada 3.525 orang dari keluarga miskin yang tersebar di 20 desa di kabupaten Buleleng, Jembrana dan Bangli. Para penerima pembekalan tentang kewirausahaan, pendampingan dan kredit sejumlah 3.525 orang itu, memanfaatkan pemberdayaan departemen pelayanan GKPB itu, untuk usaha-usaha yang produktif seperti: perkebunan, peternakan, tukang jahit, bengkel,

39

. I Wayan Mastra, I Wayan Kayun Sudirsa, I Ketut John Panca, I Ketut Putra Suartana, I Wayan Sudirman, I Made Matius, I Made Kornelius

40

(23)

perdagangan, transportasi, depot makanan, dan pendirian salon kecantikan. Para pekerja GKPB di departemen pelayanan sangat bahagia ketika menyaksikan bahwa pada akhir Desember 2016, masing-masing pengembang usaha mikro kecil dampingannya dapat menaikkan taraf kehidupan mereka sehingga menunjukkan kegairahan hidup karena telah mencapai pendapatan rata-rata Rp1.824.292 per bulan.

Berbekal pada temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB melalui kerja sama dengan banyak pihak, dalam bidang pelayanan berupa pemberian pembekalan tentang kewirausahaan dan pinjaman modal sebagai sarana usaha bagi masyarakat miskin guna untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka, agar mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup primer mereka berupa pangan, sandang dan papan adalah hanya

sebuah solidaritas terbatas terhadap kaum miskin. Melalui solidaritas yang terbatas itu, tersirat GKPB memang bisa merasakan betapa tertekannya hidup orang miskin, yaitu orang yang belum bisa mengatasi tiga kebutuhan pokok mereka seperti tersebut di atas, sehingga GKPB memberdayakan mereka di bidang ekonomi agar mereka memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun sementara berasa dan berbuat demikian, sedikitpun tidak ada terlintas dalam pikiran sebagian besar warga GKPB sebuah mimpi luhur agar pemerintah dan pengusaha di negeri ini, mendesain sistem ekonomi dan mencipta beberapa badan usaha yang tidak berpihak dan berorientasi kepada para pemilik modal, tetapi berpihak kepada masyarakat umum dan berorientasi pada kemajuan ekonomi masyarakat miskin.

Analisa penulis sebagaimana terurai di atas, mendapat validasi, karena atas pertanyaan penulis, apakah mungkin kita bisa mengatasi kemiskinan dari sesama kita sementara kita di negeri ini tidak pernah bercita-cita agar di negeri ini, ada sistem ekonomi dan ada badan usaha milik negara bahkan badan usaha milik swasta pun, yang tidak berpihak dan tidak berorientasi pada keuntungan bagi pemilik modal tetapi berpihak kepada masyarakat umum dan berorientasi pada kemajuan ekonomi kaum miskin, seperti menyelengarakan transportasi masal yang berbiaya murah terjangkau oleh masyarakat miskin, membangun pasar rakyat yang menggairahkan lapisan masyarakat miskin untuk berekonomi, membuat desa wisata yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan banyak bagi penduduk desa dan meyebabkan desa mendapat pendapatan secara langsung dari kunjungan wisata, membangun koperasi yang mampu menerima produksi masyarakat dan mendistribusikannya dengan hasil yang

(24)

sebanyak mungkin. Kemudian sebagai pemilik modal yang memburu kekayaan pribadi, baik pemerintah maupun pengusaha pasti mencipta sistem ekonomi dan badan usaha yang lebih banyak berpihak pada kemajuan ekonomi mereka yang tidak kenal batas daripada keuntungan ekonomi masyarakat miskin. Bila sistem ekonomi dan badan usaha negara dan swasta tidak berorientasi pada keuntungan, kedua badan usaha itu tidak hanya berpotensi untuk segera gulung tikar, tetapi juga tidak akan melatih masyarakat untuk bersaing dalam dunia ekonomi dengan jalan kerja keras dan kerja cerdas, agar semua lapisan masyarakat menjadi manusia pembangun dan bukan manusia parasit. Manusia benalu yang tidak mau bekerja keras dan tidak berani bersaing, justru akan mengganggu tatanan ekonomi masyarakat dan negara.41

VII.A.2.c. Program Dan Motif Pemberdayaan Dan Pelayanan Kesehatan Bagi

Masyarakat Miskin

Mendengar apa yang dikatakan dan mengamati apa yang dilakukan para pekerja GKPB pada departemen pelayanan dalam program pemberdayaan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin,42 sembari menyimak sikap para stake holdernya, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut: Dalam mempersiapkan rencana kerjanya, departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, mengidentifikasi dan menetapkan 24 desa atau kelompok masyarakat yang kepadanya akan diberi pendampingan dalam pelayanan kesehatan.43Kemudian mengawali kerjanya, departemen pelayanan mengutus dua buah tim pelayanan kesehatan keliling ke desa-desa dampingan itu. Masing-masing tim itu terdiri dari seorang dokter, dan empat orang perawat.

Sekali sebulan kedua tim termaksud di atas, mengadakan perkunjungan sehari penuh, sehingga dalam setahun ke 24 desa atau kelompok dampingan itu terlayani. Dalam setiap kunjungannya, tim kesehatan GKPB memberi penjelasan tentang pemeliaraan kesehatan seperti mengkonsumsi makanan yang sederhana namun sehat dan gaya hidup yang sehat seperti banyak bergerak dan hidup sederhana tapi bersih, memberi penjelasan tentang jenis-jenis penyakit yang bisa menimpa masyarakat dan penyebabnya, memberi nasehat tentang

41

I Wayan Mastra, I Ketut Arka, I Nengah Ripa, I Gede Mustika,I Nyoman Sunarta, I Nyoman Dirgayusa, I Gede Suarna, I Ketut Mertayasa.

42

Masyarakat desa yang penghasilannya belum mampu mengatasi kebutuhan primernya, sehingga sering tidak punya kemampuan untuk meningkatkan kondisi dan derajat kesehatannya.

43

(25)

pentingnya program keluarga berencana, dan memberi pengajaran tentang pencegahan penularan Human Immune deficiency Virus (HIV) dari ibu ke anak.Terhadap penyakit-penyakit yang ditemukan dalam kunjungannya, tim pelayanan kesehatan melakukan pemeriksaan, imunisasai, pelayanan pengobatan secara langsung, dan rujukan ke rumah sakit bagi orang-orang yang penyakitnya perlu mendapat penanganan rumah sakit.

Selama periode pelayanan 2012-2016, tim kesehatan GKPB telah memberikan edukasi dan pelayanan kesehatan dasar kepada 34.074 orang. Kepada masyarakat yang telah mendapat pemberdayaan tentang hidup sehat, telah memiliki kemampuan dasar untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Kepada masyarakat yang mendapat pelayanan kesehatan, sebagian besar telah mendapat kesembuhan. Sebagai contoh, 88 % dari 133 ibu

hamil yang dilayani sudah bebas anemia saat melahirkan, padahal pada awal pemeriksaan 29,3 % anemia. Pada akhir tahun 2016, 84,4 % dari 2.047 anak yang dilayani sudah bebas anemia, padahal pada tahun 2014 20 % dari anak-anak tersebut ditemukan anemia. Sejumlah 7 bayi yang dilahirkan oleh para ibu yang terinfeksi HIV tidak terinfeksi HIV. Masyarakat desa dampingan sangat berbahagia, terlebih lagi departemen pelayanan GKPB ketika kini, melihat sebagian besar masyarakat dampingan memiliki kemampuan dasar dalam meningkatkan derajat kesehatan keluarga dan sebagaian besar masyarakat dampingan memiliki kondisi hidup sehat.

Bertolak dari temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB dalam bidang pelayanan berupa pemberian edukasi dan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat miskin, guna untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah sebuah misi yang mengagungkan kemanusiaan. Dalam misi itu tersirat GKPB bisa merasakan betapa menderitanya hidup orang miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk hidup sehat dan tidak sanggup untuk membiayai kesehatan bila mereka sakit. Dalam misi yang mengagungkan kemanusiaan, nampaknya GKPB bisa merasakan bahwa orang yang kesehatannya terganggu dalam waktu yang berkepanjangan, bisa menjadi orang yang kehilangan akan harkat dan martabat diri sebagai manusia. Dalam misinya berupa pemberdayaan dan pemberian pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, mudah terinterpretasi bahwa departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan pihak pemerintah dan lembaga-lembaga sosial, berempati dengan sesamanya yang tidak memiliki

(26)

meningkatkan derajat kesehatannya dan membebaskan mereka dari penyakitnya, karena ketidaksehatan itu cendrung mendegradasi kemanusiaan seseorang.

Analisa penulis sebagaimana terurai di atas, mendapat validasi ketika atas pertanyaan penulis tentang tujuan utama dari pemberdayaan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, semua informan mengatakan bahwa departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, melakukan pemberdayaan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, dimaksudkan agar sebagaimana sebagian besar warga GKPB dengan kemampuannya dalam meningkatkan derajat kesehatan, tidak terdegradasi kemanusiaanya oleh ketidaksehatan, biarlah juga sesamanya manusia yang miskin, memiliki kemampuan untuk meningkatkan kondisi hidup sehat dan biarlah mereka

juga sembuh dari penyakitnya, sebab hidup dengan penyakit yang tidak bisa tertangulangi sangat mendegradasi kemanusiaan.44

VII.A.2.d.Program Dan Motif Pendampingan Sosial Bagi Orang Dengan Human Immune Deficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency Syndrom

(AIDS) Dan Disable

Dalam menelisik program pendampingan sosial departemen pelayanan GKPB bagi orang dengan HIV/AIDS dan disable, dengan jalan mendengarkan perkataan dan mengamati tindakan para pekerja GKPB pada departemen pelayanan dalam program pendampingan sosial bagi orang dengan HIV/AIDS dan disable, sembari mencermati sikap para stake holdernya dan menyimak dokumen-dokumen terkait,45 penulis menemukan beberapa fenomena sebagai berikut: Peningkatan kasus HIV dan AIDS per tahun di Bali pada semua umur sekitar 25 %. Sampai Januari 2017 kasus HIV dan AIDS di Bali telah sebanyak 12.341. Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) demikian juga orang yang cacat fisik (diable) sering merasa terstigmatisasi oleh masyarakat sebagai orang yang tidak normal sehingga tidak jarang juga menjadi kelompok manusia yang merasa terpinggirkan, merasa menjadi manusia yang tidak dihargai kemanusiaannya.

Dalam merespon masalah kemanusiaan yang tidak ringan seperti termaksud di atas, departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat merancang sedemikian rupa pos-pos pelayanannya yang ada di Kapal,

44

Ni Luh Debora Murthy, Vera Manurung, Ni Nengah Widiasih, Ni Gusti Ratna, Ni Gusti Ratih.

45

(27)

Mengwi Badung, di Abianbase Mengwi Badung dan di Bongan Tabanan lalu mensosialisasikannya sebagai “rumah sehat” tempat penyelenggaraan pendampingan sosial bagi para ODHA dan disable. Di rumah-rumah sehat ini, para ODHA dan disable tidak dilihat sebelah mata, melainkan diterima sebagai sesama manusia yang berpotensial untuk mengisi lembaran hidupnya di masa-masa mendatang sebagai lembaran penuh guna bagi banyak orang. Dalam penerimaan yang demikian, para ODHA dan disable disamping diberi pendidikan dan pelayanan kesehatan, mereka juga diberi pendidikan dan pelatihan ketrampilan seperti tata rias, tata boga, dan menjahit. Sebagian besar para ODHA dan disable setelah mendapat pendampingan sosial dari departemen pelayanan GKPB, berangsur-angsur terhapus traumanya sebagai orang yang tertolak, lalu dengan percaya diri menunjukkan

eksistensinya dihadapan publik sebagai sesama manusia yang sama-sama punya rasa dan kebutuhan untuk aktualisasi diri, lewat kerja dan usaha yang sepadan dengan kondisinya.

Berangkat dari temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB dalam bidang pelayanan berupa pemberian pendampingan sosial bagi para ODHA dan disable, adalah sebuah misi yang memeliara kemanusiaan seseorang. Melalui misi ini terproyeksi lugas bahwa GKPB bisa merasakan betapa merananya hidup seseorang, bila hanya karena ia ODHA atau disable ia tertolak atau termarginalisasikan dalam kehidupan sosial. Orang yang merasa hidupnya dipinggirkan dalam sebuah kelompok sosial, pada umumnya mudah kehilangan akan harkat dan martabat diri sebagai manusia, mengingat manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup nyaman tanpa memiliki interaksi sosial yang kondusif. Analisa penulis yang demikian ini tidak menyimpang, sebab ketika penulis bertanya mengapa GKPB melaksanakan pendampingan sosial bagi para ODHA dan disable, semua orang yang penulis wawancarai mengatakan GKPB melaksanakan pendampingan sosial bagi para ODHA dan disable karena GKPB ingin berbela rasa dengan para ODHA dan disable, bahwa keberadaan mereka sebagai ODHA dan disable tidak membuat sedikitpun kemanusiaannya berkurang.46

VII.A.2.e. Program Dan Motif Pengelolahan Sampah Dan Pelestarian Lingkungan

Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pengelolahan

sampah, melalui mendengar perkataan para pekerja dan stake holder dari departemen

46

(28)

pelayanan GKPB pada program tersebut, dan juga dengan menyimak dokumen terkait,47 penulis terinformasi bahwa Bali dengan penduduk 4,1 jiwa menghasilkan 10.030 m3 sampah tiap harinya.13 % atau 1.304 m3 darinya merupakan sampah plastik yang hanya akan terurai secara sempurna hingga ribuan tahun. Sampah plastik yang didaur ulang sampai saat ini baru mencapai sekitar 2% dan sisanya masih mencemari lingkungan disamping juga mengancam daya tarik Bali sebagai destinasi pariwisata utama Indonesia. Penerapan aturan penggunaan kantong plastik berbayar seharga Rp 200.- per kantong di toko ritel sangat terbatas dan tidak efektif untuk mengubah perilaku masyarakat dalam menggunakan kantong plastik. Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pelestarian lingkungan, melalui mendengar perkataan para pekerja dan stake holdernya departemen pelayanan GKPB

pada program termaksud, penulis terinformasi bahwa jumlah penebangan pohon lebih banyak dari penanamannya, sehingga olehnya daya dukung alam Bali baik dalam penyiapan lahan, air dan udara yang tidak tercemar bagi penduduk, menjadi sangat menurun.

Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pengelolahan sampah, dengan jalan mencermati tindakan para pekerja departemen pelayanan GKPB beserta dengan stake holdernya, penulis menemukan bahwa melalui kerjasama dengan pihak pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, departemen pelayanan GKPB pada periode pelayanan 2012-2016, membentuk lembaga bank sampah di kecamatan Mengwi dan Kuta utara dimana pada akhir 2016 anggotanya sudah berjumlah 725 orang. Dalam pendampingan departemen pelayanan GKPB lembaga bank sampah ini bertugas untuk mengidentifikasi, memilah dan memposisikan antara sampah anorganik dan sampah organik. Dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2015, bank sampah departemen pelayanan GKPB telah mengumpulkan 87.591 kg sampah anorganik dari wilayah Mengwi dan Kuta utara dan telah menyalurkannya ke pendaur ulang sehingga tidak mencemari lingkungan dari mana sampah itu di ambil. Sedangkan sampah organik oleh 278 orang dari anggota bank sampah diolah menjadi kompos baik dengan metode tradisional dalam bentuk galian lubang di tanah maupun dengan komposter.Sampah organik yang menjadi kompos sangat membantu komposisi dan pori-pori tanah dan sangat menyuburkan tanaman yang tumbuh di atasnya.

Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pelestarian alamdengan jalan mengamati tindakan para pekerja departemen pelayanan GKPB beserta

47

Referensi

Dokumen terkait

Agar dihadiri oleh direktur Perusahaan / pegawai yang diberikan kuasa oleh direktur dengan membawa data – data perusahaan yang asli sesuai dengan isian kualifkasi yang

•• Cara ini menggunakan cairan berwarna Cara ini menggunakan cairan berwarna yang dapat menembus cacat?. Setelah yang dapat

[r]

Desain tempat wudhu sangat beraneka ragam, namun dalam aspek kebersihan dan kesucian lebih baik didesain dengan menggunakan kran dengan penampung air yang

[r]

[r]

Applying the concept of brand to the project related to Islamic Cultural brand and practice few policy analysts and urban/place professionals have given it a

Apabila dikemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena di dalam tugas akhir ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia menerima sanksi apapun