• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar hs-CRP pada pasien DM tipe 2 Dengan dan Tanpa Hipertensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kadar hs-CRP pada pasien DM tipe 2 Dengan dan Tanpa Hipertensi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. C-Reaktif Protein (CRP)

2.1.1. Definisi

C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang

pada serum normal dijumpai dalam jumlah yang sangat sedikit (1ng/L).

CRP merupakan marker inflamasi sistemik. Kadarnya naik beberapa ribu

kali lipat dalam menanggapi infeksi atau peradangan akut.

2.1.2. Sejarah

Pada tahun 1930 William Tillet dan Thomas Francis di Institut

Rockefeller mengobservasi substansi dalam serum penderita Pneumonia

pneumokokkus. Serum penderita membentuk presipitasi ketika dicampur

dengan Capsular (C) Polisakarida dari dinding sel Pneumococcus.

Aktivitas ‘C-reactive’ ini tidak dijumpai pada orang yang sehat. MacLeod

dan Avery kemudian menemukan substansi ini suatu protein dan

menambahkan nama ‘acute phase’ di akhir. Lofstrom menemukan respon

fase akut yang mirip pada keadaan inflamasi akut dan kronik, dan

kemudian diakui menjadi CRP yaitu protein fase akut nonspesifik.1,16

2.1.3. Struktur dan Sintesis CRP.

CRP merupakan protein fase akut Pentraxin, suatu protein pengikat

kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5-6

subunit polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri dari 206 residu asam

(2)

7

molekul berbentuk cakram (disc) dengan berat molekul 110 – 140 kDa,

setiap unit mempunyai berat molekul 23 kDa.1,17

Gambar 2.1. Struktur CRP

Sumber: W. Saunders (2003)

CRP merupakan marker inflamasi sistemik non spesifik terutama

dihasilkan oleh hepatosit di bawah pengaruh sitokin seperti interleukin -6

(IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF α). CRP secara normal

ditemukan dalam serum manusia dalam jumlah yang sangat sedikit (< 1

mg/L dengan median 0,8 mg/L).1, 17

Eisenhardt dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa C-Reactive

Protein terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan

monomer (mCRP). Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai

reaksi fase akut dalam respon terhadap infeksi, inflamasi dan kerusakan

jaringan. Bentuk monomer berasal dari pentamer CRP yang mengalami

dissosiasi dan mungkin dihasilkan juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti

(3)

8

Gbr 2.2. Peran CRP pada inflamasi vaskular

hs-CRP merupakan pemeriksaan yang dapat mengukur kosentrasi

CRP yang sangat sedikit sehingga bersifat lebih sensitif dengan range

pengukuran 0,1-20 mg/L,baik untuk memeriksa adanya inflamasi derjat

rendah(low level inflammation).Kadar hs-CRP stabil selama jangka waktu

yang lama, stabilitas kimia yang baik, tidak memerlukan tindakan khusus

untuk sampling, memiliki waktu paruh yang relatif panjang (19 jam), tanpa

variasi diurnal. Hal demikan menjadikan CRP digunakan sebagai

biomarker peradangan terdepan untuk aplikasi klinis sehingga dapat

digunakan untuk menegakkan diagnostik inflamasi maupun penyakit

infeksi.,1,4,19

Respon inflamasi berupa aktivasi makrofag dan limfosit T

(4)

9

dihasilkan oleh makrofag pada luka endotel. Sitokin ini akan merangsang

pembentukan reaktan fase akut, C- reactiveprotein (CRP) di hati.

Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat, dalam waktu yang

relatif singkat (6-8) jam konsentrasi serum meningkat tajam diatas 5 mg/L

setelah terjadinya reaksi inflamasi, infeksi maupun kerusakan jaringan.

2.1.4. Fungsi Biologis CRP

Fungsi dan peranan CRP di dalam tubuh (in vivo) belum diketahui

seluruhnya, banyak hal yang masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP

bukan suatu antibodi, tetapi CRP mempunyai berbagai fungsi biologis

yang menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan mekanisme

daya tahan tubuh terhadap infeksi.

Fungsi biologis CRP diantaranya ialah:20

1. CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri

melalui reaksi presipitasi/aglutinasi.

2. CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti

granulosit dan monosit/makrofag.

3. CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai

dengan C1q maupun jalur alternatif.

4. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini

diduga CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa

fungsi tertentu selama proses peradangan.

5. CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein

(5)

10

6. CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen

yang terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan.

2.1.5. Cara Pemeriksaan C-Reactive Protein

Ada banyak cara yang dapat dipakai untuk penentuan CRP.

Beberapa cara yang sering dikerjakan di Indonesia terutama di RSUP H.

Adam Malik yaitu:

Cara Aglutinasi Latex.

Imunoassay, biasanya dipakai teknik Double Antibody Sandwich

ELISA.

high sensitivityC-Reactive Protein (hs-CRP).

2.2. high sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP)

Pemeriksaanhs-CRP dapat mengukur konsentrasi CRP yang

sangat sedikit dengan rentang pengukuran 0,1 – 20 mg/L.17Baik untuk

memeriksa adanya inflamasi derajat rendah (low level inflammation). Pada

dasarnya, tes ini dianjurkan pada orang-orang yang memiliki tingkat risiko

tinggi terhadap penyakit jantung, yaitu pernah mengalami serangan

jantung, memiliki keluarga dengan riwayat penyakit jantung, dislipidemia,

diabetes, hipertensi, wanita menopause, perokok dan obesitas serta

kurang melakukan aktivitas fisik.

AHA / CDC merekomendasikan hs-CRP dengan alasan:

a. hs-CRP adalah indikator global kejadian kardiovaskular di masa

depan pada orang dewasa tanpa riwayat penyakit kardiovaskuler

(6)

11

b. hs-CRP meningkatkan penilaian risiko dan hasil terapi dalam

pencegahan penyakit kardiovaskular

c. hs-CRP bermanfaat sebagai marker independen untuk

mengevaluasikemungkinan kejadian kardiovaskular berulang,

seperti infark miokard ataurestenosis, setelah intervensi koroner

perkutan.

2.2.1. Pemeriksaan Kadar hs-CRP dengan alat Cobas 6000 C 501

analyzer

a. Prinsip dan Metode Pemeriksaan.

Imunoturbidimetri: Merupakan cara penentuan kuantitatif. CRP

dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP

membentuk suatu kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang

terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris.

Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dengan

pengukuran turbidimetrik.21

Gambar 2.3. Prinsip pemeriksaan hs-CRP dengan

metodeParticle Enhanced Immunoturbidimetry

(7)

12 b. Cara Pemeriksaan Imunoturbidimetri.

Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dimana dapat

mengukur kadar sampai < 0,2 mg/L sehingga disebut dengan high

sensitivity C-Reaktive Protein (hs-CRP).Metode berdasarkan reaksi

antara antigen dan antibodi dalam larutan buffer dan diikuti dengan

pengukuran intensitas sinar dari suatu sumber cahaya yang

diteruskan melalui proses imuno presipitasi yang terbentuk dalam

fase cair. Dalam penelitian ini memakai metode imunoturbidimetri

menggunakan reagenC-Reactive Protein (latex) High

Sensitive-Roche. 21

c. Prosedur pemeriksaanhs-CRP

Sampel ditambah dengan R1 (buffer) kemudian ditambah R2 (latex

antibodi anti CRP) dan dimulai reaksi dimana antibodi anti CRP

yang berikatan dengan mikropartikel latex akan bereaksi dengan

antigen dalam sampel untuk membentuk kompleks Ag-Ab.

Presipitasi dari kompleks Ag-Ab ini diukur secara turbidimetrik.21

2.3. DIABETES MELITUS 2.3.1. Definisi

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik yang

ditandai dengan adanya hiperglikemi sebagai akibat berkurangnya

produksi insulin atau gangguan aktifitas dari insulin ataupun keduanya.

Keadaan ini akan mengakibatkan perubahan-perubahan metabolisme

terhadap karbohidrat, lemak maupun protein.22 Hiperglikemia kronik yang

(8)

13

kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan

pembuluh darah.

Organ pancreas terdiri dari bagian eksokrin yang merupakan

kelenjar pencernaan dan pancreas endokrin yang merupakan sumber

insulin dan hormon lain seperti glucagon dan somatostatin. Kelenjar

endokrin inilah yang berperan mengatur nutrisi selular mulai dari

kecepatan absorbsi makanan hingga penyimpanannya di tingkat sel.

Disfungsi pancreas endokrin atau respon abnormal dari jaringan sasaran

terhadap hormon yang dihasilkannya berakibat gangguan yang

merupakan sindrom klinis yang disebut Diabetes Melitus.23

2.3.2. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM yang dipakai sekarang ini antara lain klasifikasi DM

menurut ADA (American Diabetes Association) dan WHO (World Health

Organization). Klasifikasi DM yang dipakai di Indonesia menurut

Konsensus PERKENI 2006sesuai dengan klasifikasi DM menurut ADA

1997.24

Klasifikasi DM menurut PERKENI.24 1)

DM tipe 1

2)

DM tipe 2

3)

DM tipe lain: Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja

insulin, penyakit endokrin pangkreas, Karena obat atau zat kimia

Infeksi, sebab imunologi (jarang). Sindrom genetic lain yang

berkaitan dengan DM

4)

(9)

14

2.3.3. Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus

Gejala klinis berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya

merupakan gejala klinis yang khas pada DM. Jika di jumpai pemeriksaan

KGD sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM.

Hasil pemeriksaan KGD puasa ≥ 126mg/dl juga digunakan untuk patokan

diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil

pemeriksaan KGD yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat

untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut

dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik KGD puasa ≥ 126

mg/dl, KGD sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil tes

toleransi glukosa oral ( TTGO ) yang abnormal.24

2.4. Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2).

DM tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik berupa

hiperglikemi akibat kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,

gangguan kerja insulin / resistensi insulin, atau keduanya. DM Tipe 2

umumnya mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya,

resistensi insulin belum menyebabkan diabetes klinis. Sel beta pankreas

masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemi, pada

keadaan ini kadar glukosa darah masih normal atau sedikit meningkat.

Kemudian jika telah terjadi kelelahan sel beta pankreas, baru timbul

diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang

(10)

15

Resistensi insulin ditemukan pada lebih 90 % kasus dan merupakan

penyebab terbanyak pada DM tipe 2.Resistensi insulin awalnya terjadi

pada otot rangka dimana konsentrasi insulin yang lebih besar dibutuhkan

untuk mengangkut glukosa ke dalam sel. Sebagaimana peningkatan

resistensi insulin, peningkatan kompensasi pada sekresi insulin

memungkinkan tubuh untuk mempertahankan konsentrasi glukosa normal

untuk jangka waktu tertentu. Namun, seiring perjalanan penyakit, fungsi

β-sel pankreas secara bertahap berkurang.26

Insulin memfasilitasi masuknya glukosa kedalam otot, adiposa dan

jaringan lain dengan cara difusi dengan bantuan hexose transporters.

Hormon insulin akan berikatan pada reseptor sel target (insulin reseptor

substrate/IRS) yang kemudian mengaktifasi phosphatydylinositol kinase

(PI-3 kinase) dan sebagai transporter utama untuk uptake glukosa adalah

Glukosa Transporter 4 (GLUT-4). Pada resistensi insulin asam lemak

bebasakan menurunkan signal IRS untuk mengaktifasi PI-3 melalui protein

kinase C sehingga uptake glukosa darah berkurang oleh GLUT-4. Bila hal

ini terjadi pada jaringan adiposa dan otot rangka maka akan

menyebabkan peningkatan gula darah 2 jam setelah makan, sedangkan

bila terjadi pada jaringan hati akan menyebabkan peningkatan kadar gula

darah puasa yang terjadi karena proses glukoneogenesis.27

Resistensi insulin berhubungan dengan peningkatan sensitivitas sel β

pankreas dan keadaan hiperinsulinemia merupakan suatu mekanisme

kompensasi. Hal ini terjadi karena hipertropi sel β pankreas disebabkan

(11)

16

akhirnya akan menyebabkan gangguan sekresi hormon insulin melalui

percepatan terjadinya proses apoptosis, hal terakhir ini menerangkan

hubungan antara toksisitas lemak dan glukosa yang didasari ketidak

seimbangan produksi radikal bebas dan antioksidan..28

Resistensi insulin juga menyebabkan berbagai kondisi diantaranya

hipertensi yang mengarah pada percepatan proses aterosklerosis.28

2.4.1. Aterosklerosis dan CRP

Aterogenesis merupakan proses keradangan tingkat rendah dan

berkelanjutan yang dimulai sejak usia muda dan berkembang

perlahan-lahan sampai puluhan tahun. Oleh karena itu pengukuranpetanda

inflamasi sangat diperlukan untuk memprediksi resiko kelainan

kardiovaskular.29

CRP mempunyai peran patofisiologi langsung dalam

perkembangan dan progresi aterosklerosis, mekanismenya meliputi

induksi disfungsi endotel, pembentukan sel busa (foam cell), inhibisi

diferensiasi dan survival sel progenitor endotelial dan aktivasi komplemen

pada plak aterosklerotik.29

Adanya reseptor CRP pada monosit dapat membantu penarikan

monosit ke dinding arteri. CRP dapat merangsang makrofag untuk

menghasilkan tissu factor yang sangat protrombosis sehingga

memungkinkan terbentuknya jalur koagulasi dan inflamasi yang saling

berhubungan. Selain itu CRP dapat mengaktivasi komplemen pada

plaque aterosklerosis sehingga bisa menyebabkan instabilitas plaque.

(12)

17

mensensitisasi sel endotel. Peningkatan CRP berhubungan dengan

disfungsi endotel dan progresifitas aterosklerosis.29

Mekanisme inflamasi memainkan peran sentral dalam semua tahap

aterosklerosis, dari rekrutmen awal leukosit ke dinding arteri hingga

pecahnya plak yang tidak stabil, yang menghasilkan manifestasi klinis.

Paparan endotel terhadap sitokin proinflamasimenginduksi

terjadinya aktifitas prokoagulasi yang menyebabkan ekspresi molekul

adhesin dan menyebabkan gangguan relaksasi. Perubahan fungsi endotel

ini disebut aktivasi endotel. Peningkatan CRP berhubungan dengan

terjadinya gangguan reaktivitas endotel.29

CRP dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Ikatan CRP pada

ligan dapat mengaktivasi sistem komplemen, menyebabkan penumpukan

C3 pada jaringan. Penumpukn C3 dan aktivasi komplemen pada arteri

sangat berperan pada proses aterogenesis.30

Pada aterosklerosis aktivasi sel-sel imun pada plaque akan

menghasilkan sitokin yang berperan pada proses peradangan.

Interferon,IL-1, TNF yang menginduksi produksi sejumlah

IL-6.Sitokin-sitokin ini juga diproduksi oleh berbagai jaringan sebagai respon terhadap

infeksi. Interleukin-6 merangsang produksi sejumlah besar protein fase

(13)

18

Gambar 2.4. Proses inflamasi yang terlibat pada atherosklerosis.

(sumber: Sevenoaks and Stockley Respiratory Research 2006 7:70)

2.4.2. Kerusakan Endotel dan Aterosklerosis

Hipotesis terbaru mengatakan bahwa awal terjadinya lesi

aterosklerosis yaitu berupa adanya perubahan-perubahan fungsi sel

endotel. Kerusakan endotel menyebabkan perubahan permeabilitas

kapiler, atau perubahan hubungan antara sel endotel dengan jaringan ikat

di bawahnya. Sel endotel dapat terlepas sehingga terjadi hubungan

langsung antara komponen darah dengan dinding arteri. Kerusakan

endotel akan menyebabkan pelepasan growth factor yang akan

merangsang masuknya monosit dan lipid ke dalam pembuluh darah

melalui transport aktif dan pasif. Monosit yang keluar pembuluh darah

(14)

19

akan terbentuk sel busa “foam sel” yang merupakan fatty streak (prekusor

plak aterosklerosis) dan selanjutnya akan menjadi plak fibrosa.30

Aterosklerosis merupakan hasil interaksi yang kompleks dari

berbagai faktor, meliputi disfungsi endotel, perekrutan monosit, inflamasi,

proliferasi sel otot polos, akumulasi dan oksidasi lipid, nekrosis, kalsifikasi

dan trombosis. Aterosklerosis itu sendiri bukanlah suatu penyakit yang

berbahaya, tetapi apabila plak aterosklerosis ruptur dan terjadi

ketidakseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme proteksi

maka dapat menyebabkan terjadinya trombosis.30

2.4.3. Aterosklerosis pada penderita DM tipe 2

Kerusakan endotel yang mengawali lesi aterosklerosis pada

penderita DM tipe-2 terjadi akibat hiperglikemi, resistensi insulin dan

hiperinsulinemi, inflamasi trombosis/ fibrinolisis, dislipidemia, hipertensi.

Keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan stres oksidatif.

Mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel akibat hiperglikemia adalah

akibat penumpukan dari spesimen oksigen reaktif ROS (Reactive Oxygen

Species). KGD yang tinggi meningkatkan perbedaan potensial akibat

tingginya proton pada rantai respiratori mitokondria, yang mengakibatkan

perpanjangan hidup dari superoxide-generating electron transport

intermediates, sehingga terjadilah penumpukan ROS.31 Saat terjadi

penumpukan ROS ini, menyebabkan kerusakan sel, mekanisme ini

(15)

20

1. Peningkatan aliran jalur polyol(Aldosa Reduktase):

Pada normoglikemia, sebagian besar glukosa seluler mengalami

fosforilsasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh enzim heksokinase. Bagian kecil

dari glukosa yang tidak mengalami fosforilasi memasuki jalur poliol, yakni

jalur alternatif metabolisme glukosa. Melalui jalur ini, glukosa dalam sel

dapat diubah menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase

(AR). Enzim aldose reduktase dapat ditemukan pada sejumlah jaringan

mamalia termasuk lensa dan retina.Enzim tersebut mengkonversi glukosa

menjadi polialkohol sorbitol melalui reduksi gugus aldehid glukosa dalam

keadaan normal, konsentrasi sorbitol di dalam sel rendah. Akan tetapi,

apabila terjadi keadaan hiperglikemia, konsentrasi sorbitol meningkat.

Sorbitol, dengan bantuan enzim sorbitol dehidrogenase (SDH), akan

diubah menjadi fruktosa. Degradasi sorbitol ini berjalan lambat sehingga

sorbitol menumpuk dalam sel, sehingga dapat menyebabkan peningkatan

tekanan osmotik dan selanjutnya dapat merusak sel.31

Masuknya substrat (substrat flux) melalui jalur poliol, selain dapat

meningkatkan kadar sorbitol dan fruktosa intraseluler, juga menurunkan

rasio NADPH terhadap NADP+ Selain itu, rasio NADH terhadap NAD+

sitosolik juga menurun. Berkurangnya NADPH di dalam sel akibat

meningkatnya AR dapat menghambat aktivitas enzim lain yang

membutuhkan NADPH.31

Hiperglikemia menyebabkan peningkatan konversi glukosa menjadi

(16)

21

dinucleotide phosphate (NADPH) dan glutation, meningkatkan sensitivitas

sel terhadap stres oksidatif.31

2.Peningkatan pembentukan advance glycation end product (AGE):

AGEs merupakan salah satu produk sebagai penanda modifikasi

protein akibat dari reaksi gula pereduksi terhadap asam amino. Akumulasi

AGEs di berbagai jaringan merupakan sumber utama radikal bebas

sehingga mampu berperan dalam peningkatan stres oksidatif, serta terkait

dengan patogenesis komplikasi diabetes.

Pada diabetes, akumulasi AGEs secara umum mempercepat

terjadinya aterosklerosis, nefropati, neuropati, retinopati, serta katarak.

Pengikatan AGEs terhadap reseptor makrofag spesifik (RAGEs

)

mengakibatkan sintesis sitokin dan faktor pertumbuhan serta peningkatan

stres oksidatif.31,41

3.Aktivasi dari isoform protein kinase C (PKC):

Hiperglikemia menyebabkan peningkatan konversi glukosa menjadi

sorbitol, yang dimetabolisir menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase,

meningkatkan rasio NADH/NAD+. Hal ini menyebabkan triose fosfat yang

teroksidasi dan sintesis de novo dari diacylglycerol (DAG). Peningkatan

DAG mengaktifkan PKC yang akan menimbulkan berbagai efek ekspresi

gen.

4.Peningkatan aliran jalur hexosamine:

Pada hiperglikemia, glukosa semakin banyak memasuki

(17)

UDP-N-22

acetylglucosamine, adalah substart yang diperlukan untuk faktor

transkripsi intraseluler, yang mempengaruhi ekspresi dari banyak gen.

Jalur ini berhubungan dengan disfungsi endotelial dan mikrovaskular.

2.5. Hipertensi 2.5.1. Definisi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.

Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) dan hipertensi

sekunder. Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari

peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder

disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma,

hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit

parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat .31

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure

(JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi

menjadikelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.

Klasifikasi Tekanan

Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII

The Joint National Committee on Preventation, Detection

(18)

23

dan badan dunia WHO dengan International Society of Hipertention

membuat definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang

tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90

mmHg atau lebih atau sedang memakai obat anti hipertensi. Pada

anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih dari 95 persentil

dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur

sekurang-kurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah .32

2.5.2. Diagnosis Hipertensi

Diagnosis hipertensi baru dapat ditetapkan setelah dua kali atau

lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda kecuali terdapat

kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis. Penegakkan diagnosis

hipertensi adalah dengan melakukan anamnese terhadap keluhan pasien,

riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, serta

pemeriksaan penunjang.33

Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah

setelah pasien beristirahat 5 menit. Posisi pasien adalah duduk bersandar

dengan kaki di lantai dan lengan setinggi jantung. Ukuran dan letak

manset serta stetoskop harus benar. Ukuran manset standar untuk orang

dewasa adalah panjang 12-13 cm dan lebar 35 cm. Penentuan sistolik

dan diastolik dengan menggunakan Korotkoff fase I dan V. Pengukuran

dilakukan dua kali dengan jeda 1-5 menit. Pengukuran tambahan

dilakukan jika hasil kedua pengukuran sangat berbeda. Konfirmasi

pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan pertama

(19)

24 2.5.3. Patofisiologi.

Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama untuk

mendorong darah ke jaringan. Tekanan tersebut harus diatur secara ketat

dengan tujuan:1) Dihasilkan gaya dorong yang cukup sehingga otak dan

jaringan lain menerima aliran darah yang adekuat, dan 2) tidak terjadi

tekanan yang terlalu tinggi yang dapat memperberat kerja jantung dan

meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah. Pengaturan tekanan

darah melibatkan integrasi berbagai komponen sistem sirkulasi dan sistem

tubuh lain. Perubahan setiap faktor tersebut akan mengubah tekanan

darah kecuali terjadi perubahan kompensatorik pada variabel lain

sehingga tekanan darah konstan.34

(20)

25

Berdasarkan bagan tersebut diketahui bahwa tekanan darah

sangat tergantung pada curah jantung (cardiac output) dan resistensi

perifer. Menurut Wilson and Price (2006), besar tekanan darah seseorang

juga dapat dihitung dengan rumus: Di dalam tubuh terdapat baroreseptor

yang secara konstan memantau tekanan darah arteri rata-rata.

Baroreseptor tersebut adalah sinus caroticus dan baroreseptor arcus

aorta. Setiap perubahan pada tekanan darah akan mencetuskan refleks

baroreseptor yang diperantarai oleh sistem saraf otonom. Tujuan refleks

tersebut adalah penyesuaian curah jantung dan resistensi perifer total

sehingga tekanan darah kembali normal.34

Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan

hipertensi esensial antara lain:33

1. Curah jantung dan tahanan perifer

Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang

terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan

berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler.

Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan

penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh

angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang

irreversible .

2. Sistem Renin-Angiotensin

Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan

ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan

(21)

26

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin

II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE

memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.

Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh

hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I

(dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,

angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat

aktif).

Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena

bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:

a. Meningkatkan sekresi hormon anti diuretik (ADH) dan rasa haus.

ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal

untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,

sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis)

sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk

mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan

cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah

meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.

Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal.

Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi

ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.

(22)

27

meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan

meningkatkan volume dan tekanan darah.

3. Sistem Saraf Otonom.

Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi

dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang

penting dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi

karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin

bersama – sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi,

dan beberapa hormon.

4. Disfungsi Endotelium

Sel endotel pembuluh darah mempunyai peran yang penting dalam

pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah

vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endothelium.Secara

klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan

gangguan produksi dari oksida nitrit.

5. Substansi vasoaktif

Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium

dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin

merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin

dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta

mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide

merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon

(23)

28

air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan

hipertensi .

6. Hiperkoagulasi

Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidak normalan dari

dinding pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel

endotelium), ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan

fibrinolisis.Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan

hiperkoagulasiyang semakin lama akan semakin parah dan merusak

organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat

anti-hipertensi.

7. Disfungsi diastolik

Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat

beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi

peningkatan kebutuhan input ventrikel.

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam

pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:

Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer.

2.6. Diabetes dan Hipertensi

Prevalensi terjadinya hypertensi pada penderita diabetes adalah

2 kali dari pada yang tidak diabetes. Kaitan yang paling utama adalah

pada penderita diabetes terjadi komplikasi yg progresif dan akseleratif

baik pada mikrovaskular (retinopati dan nefropati) serta makrovaskular

(aterosklerosisi). Penyakit makrovaskular merupakan mayoritas kematian

(24)

29

Kekurangan insulin pada tingkat sel merupakan mekanisme umum

yang terlibat dalam pengembangan hipertensi pada DM tipe 2. Insulin

memiliki peran penting dalam modulasi metabolisme kalsium seluler. Aksi

insulin yang menurun pada sel-sel otot polos pembuluh darah

berkontribusi mempercepat baik terhadap kejadian hipertensi dan

aterosklerosis. Pengamatan terbaru menunjukkan gangguan respon

seluler terhadap insulin mempengaruhi peningkatan tonus otot polos

pembuluh darah (ciri hipertensi pada penderita diabetes). Penelitian

baru-baru ini menunjukkan bahwa insulin melemahkan respon kontraktil

vaskular dari fenilefrin, serotonin, dan kalium klorida. Dengan demikian,

tampak insulin yang biasanya melemahkan respon vaskular otot polos

kontraktil faktor vasoaktif,sedangkan pada resistensi insulin terjadi

peningkatan reaktivitas vaskular.36

Peningkatan tekanan darah pada resistensi insulin terjadi karena

insulin meningkatkan retensi natrium pada ginjal. Resistensi insulin juga

berhubungan dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis dan hipertrofi

otot polos pada dinding pembuluh darah.

Pada penderita diabetes mellitus, hipertensi dikaitkan dengan

resistensi insulin dan kelainan pada sistem renin-angiotensin dan

sympathetic tone, yang mengakibatkan konsekuensi pembuluh darah dan

metabolisme yang berkontribusi terhadap morbiditas. Kelainan metabolik

yang berhubungan dengan diabetes mellitus berkontribusi terhadap

disfungsi endotel. Sel endotel mensintesis beberapa zat bioaktif kuat yang

(25)

30

nitrat, spesies reaktif lainnya, prostaglandin, endothelin, dan angiotensin

II. Pada individu tanpa diabetes, oksida nitrat membantu untuk

menghambat aterosklerosis dan melindungi pembuluh darah. Namun,

bioavailabilitas oksida nitrat yang diturunkan endotelium berkurang pada

individu dengan diabetes. Karena hiperglikemia menghambat produksi

endhotelium dan meningkatkan produksi supoeroksid anion (oksigen

reaktif) yang merusak pembentukan nitrit oksida. Produksi nitrit oksida

selanjutnya akan dihambat lebih lanjut oleh resistensi insulin.Karena

resistensi insulin menyebabkan pelepasan asam lemak berlebih dari

jaringan adiposa. Asam lemak bebas akan mengaktifkan protein kinase

C, menghambat phosphatidylinositol-3, dan meningkatkan produksi

spesies oksigen reaktif, semua mekanisme ini secara langsung

mempengaruhi produksi oksida nitrat atau menurunkan bioavailabilitas

nitrit oksida.36

Insulin menyebabkan up-regulation reseptor angiotensin I dan

mengakibatkan oversensitisasi otot polos pembuluh darah terhadap

peningkatan kalsium dan kontraksi yang dimediasi angiotensin-II.

Sehingga pemaparan lama hiperinsulinemia berimplikasi terjadinya

aterogenesis dan hipertensi.9,38

Peningkatan kadar sodium juga diperkirakan berperan pada

hipertensi penderita DM. Sodium dapat meningkat sekitar 10% bahkan

pada penderita diabetes yang normotensif. Penderita diabetes memiliki

gangguan kemampuan untuk mengekskresikan intravenous saline load

(26)

31

diekskresikan. Mekanisme retensi sodium pada diabetes sebenarnya

masih kurang begitu diketahui namun diperkirakan berkaitan dengan

peningkatan reabsorbsi glukosa. Selain itu dipostulasikan juga bahwa

retensi sodium pada diabetes berkaitan dengan penurunan untuk

melepaskan faktor natriuretik seperti dopamin ,prostaglandin dan kalikrein

serta efak tubular insulin.

Peningkatan resistensi vaskular perifer dan kontraktilitas otot polos

vaskular berespon terhadap agonist seperti nor-epinefrin dan angiotensin

II menjadi dasar terjadinya hipertensi pada diabetes. Resistensi insulin

memberikan respon yang berlebihan terhadap agonist-agonist tersebut,

namun alasan secara detil mengapa terjadi respon berlebih tersebut

masih belum jelas.

Pada hiperglikemia kronis, dapat terjadi peningkatan rigiditas

vaskular dengan mempromosikan perubahan struktural vaskular. Pada

kosentrasi yang tinggi, glukosa memberikan efek toksik pada sel

endotelial sehingga terjadi penurunan relaksasi endothelial-mediated

vascular, yang akan meningkatkan konstriksi dan hiperplasia sel otot polos

vaskular serta remodelling vaskular. Selain itu terdapat bukti bahwa

hiperglikemia dapat mempercepat pembentukan produk glikosilasi non

enzimatik yang berkumpul pada protein dinding pembuluh. Pengikatan

protein yang mengalami hasil akhir glikosilasi kepada makrofag

menginduksi sintesis dan sekresi Tumor Nekrosis Faktor dan IL-1. Sitokin

tersebut akan menstimulasi sel lain untuk meningkatkan sintesis protein

(27)

32

Insulin memiliki efek meningkatkan konstriksi pembuluh darah

melalui stimulasi dari sistem saraf simpatik dan meningkatkan absorbsi

dari sodium, akibatnya terjadi keseimbangan antara vasokonstriksi dan

vasodilatasi sehingga akan mempertahankan tekanan darah dalam

keadaan normal. Pada keadaan patofisiologis, misalnya pada obesitas,

keseimbangan akan terganggu dengan peningkatan efek simpatis sebagai

respon hiperinsulinemia bersama dengan vasodilatasi yang diperantarai

insulin (vascular insulin resistence). Terdapat korelasi negatif antara

vasodilatasi yang diinduksi insulin dan tekanan darah. Hubungan antara

resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan hipertansi kemungkinan bukan

bersifat kausatif tetapi berhubungan dengan kelainan patofisiologi.38

UKPDS melakukan analisis yang menunjukkan pentingnya awal

penilaian tekanan darah dalam perjalanan diabetes. Meningkatkan kontrol

tekanan darah pada pasien diabetes telah terbukti efektif dalam

mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular dan nefropati. Bahwa

pengobatan glikemia pada pasien dengan DM tipe 2 adalah sulit karena

hiperglikemia progresif, lebih mudah untuk mempertahankan peningkatan

kontrol tekanan darah. Penelitian UKPDS, penurunan rata-rata 10 mmHg

tekanan sistolik dapat menurunkan resiko komplikasi sebesar 12%,

kematian 15%, Infark miokard 11% dan komplikasi mikrovaskuler 13 %.

Adanya Hipertensi pada pasien DM tipe 2 berarti akan diikuti risiko

(28)

33 2.7. Kerangka Konsep

DM TIPE 2

Stress

Inflamasi,keru sakan endotel HATI

hs-CRP

Atherosklerosis

Hipertensi

IL-1 IL-6

Hiperglikemia

Gambar

Gambar 2.1.  Struktur CRP
Gambar 2.3. Prinsip pemeriksaan hs-CRP dengan
Gambar 2.4. Proses inflamasi yang terlibat pada atherosklerosis.
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII

Referensi

Dokumen terkait

Dfliarapkan dari hasil penelitian ini dapat diketahui besarnya variasi jenis yang terdapat antar jenis tegakan maupun di bawah tajuk tegakan yang sejenis, yang pada akhirnya

maka Pokja 5 (lima) Unit Layanan Pengadaan Kordinator Wilayah Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan Pemenang pada Paket tersebut di atas sebagai berikut

persetujuan terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis (89%) dan komunikasi matematis (77%), sikap siswa yang menunjukkan kesukaan terhadap pembelajaran

Berdasarkan pada permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan merumuskan judul “ Meningkatkan

Kebutuhan sehubungan dengan bahan katoda yang digunakan dalam SOFC termasuk aktifitas elektrokimia yang baik, konduktifitas elektronik yang tinggi, porositas yang sesuai dan

Judul Skripsi :Pengaruh Suhu yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tingkat Kematangan Gonad Kerang Darah (Anadara granosa).. Nama Mahasiswa : Aring

bahwa dalam rangka pencapaian pembangunan di bidang kesehatan dan peningkatan mutu pelaksanaan program- program kesehatan diperlukan adanya Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan

Dari pertanyaan ini, Maka rumusan masalahnya ialah bagaimana makna pengampunan yang diberikan Yesus terhadap perempuan berzinah yang dipaparkan Injil Yohanes 7:53-8:11