• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT.SLB-E) Negeri Pembina Medan Dalam Memberikan Kegiatan Pembelajaran Keterampilan Bagi Penyandang Tuna Grahita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT.SLB-E) Negeri Pembina Medan Dalam Memberikan Kegiatan Pembelajaran Keterampilan Bagi Penyandang Tuna Grahita"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Unit Sekolah Luar Biasa

2.1.1 Pengertian Peranan Unit Sekolah Luar Biasa

Kata peranan berawal dari kata dasar peran. Istilah "peran" kerap diucapkan

banyak orang. Sering kita mendengar kata peran dikaitkan dengan posisi atau

kedudukan seseorang. Atau "peran" dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh

seorang aktor dalam suatu drama. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata

"peran", atau role dalam Bahasa Inggrisnya, memang diambil dari dramaturgy atau

seni teater. Pada seni teater seorang actor diberi peran yang harus dimainkan sesuai

dengan plot-nya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya.

Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” mempunyai arti pemain

sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang

diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat (Departemen

Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005 : 854). Ketika istilah

peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau

mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan

apa yang diharapkan oleh pekerjaan tersebut.

Peranan menurut Poerwadarminta adalah “tindakan yang dilakukan seseorang

(2)

sekelompok orang dalam suatu peristiwa, peranan merupakan perangkat tingkah laku

yang diharapkan, dimiliki oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di

masyarakat. Kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan pengetahuan,

keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain

(http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/487/jbptunikompp-gdl-herinugrah-24326-2-babii.pdf, diakses 29 Juli 2013 pukul 14.05 wib).

Menurut Soerjono Soekanto (2002 : 243) “Peranan merupakan aspek dinamis

kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya maka ia

menjalankan suatu peranan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian

bahwa peranan merupakan penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau bagian dalam

menunjang usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran mengenai hubungan

2 ( dua ) variabel yang merupakan hubungan sebab akibat”.

Peranan Unit Sekolah Luar Biasa adalah suatu penilaian sejauh mana fungsi

Sekolah Luar Biasa (SLB) dalam menunjang usaha pencapaian tujuan yang telah

ditetapkan. Adapun peran SLB sebagai pusat sumber adalah memberikan informasi

tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pendidikan inklusif, baik kepada

sekolah-sekolah regular, maupun SLB lainnya, menyediakan bantuan asesmen yang

rutin terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), memberikan layanan dan

bimbingan kependidikan bagi ABK, menjadi konsultan bagi semua pihak yang

membutuhkan informasi, layanan, bimbingan dan penanganan khusus. Menjalin kerja

sama dengan Dinas / Instansi / LSM dalam upaya implementasi pendidikan inklusif,

(3)

menyusun strategi dan metodologi pembelajaran yang cocok bagi semua anak.

Melakukan penanganan layanan pendidikan bagi ABK dan memberi serta menerima

rujukan atau referensi dalam layanan pendidikan inklusi, Merencanakan dan

menyelenggarakan diklat pendidikan inklusif bagi guru- guru di sekolah reguler dan

SLB serta pihak lain yangg membutuhkan. Menyediakan bantuan kepada berbagai

pihak untuk meningkatkan layanan bagi ABK, serta menjadi fasilitator dan mediator

bagi semua pihak dalam implementasi pendidikan inklusif. Mengatur guru yg ada di

SLB untuk melakukan tugas tambahan sebagai guru pembimbing khusus di sekolah

inklusi.

2.1.2 Jenis-jenis Sekolah Luar Biasa

Pada umumnya, setiap sekolah luar biasa teruntuk bagi salah satu jenis anak

luar biasa, misalnya untuk yang tuli, kurang penglihatan, dan sebagainya. Terdapat

pula sekolah yang diperuntukkan bagi anak luar biasa yang mempunyai cacat ganda,

yaitu yang memiliki dua atau lebih kecacatan, misalnya anak terbelakang yang buta,

atau anak buta yang tuli, dan sebagainya. Sekolah untuk anak luar biasa tersebut

terdiri dari:

1. SLB Anak Cacat Tubuh. Biasanya dilengkapi dengan peralatan protease

(anggota badan buatan), fisioterapi (pengobatan tanpa kimia dan bedah) dan

peralatan-peralatan seperti: kursi roda, kruk, dan sebagainya.

2. SLB Anak buta. Sekolah untuk anak buta, dilengkapi dengan alat tulis braile

(huruf untuk orang buta, terdiri dari titik-titik yang dapat diraba), peralatan

(4)

3. SLB Anak Sukar Lihat. Sekolah anak sukar lihat dilengkapi dengan

peralatan-peralatan untuk membesarkan huruf, daun meja yang dapat digeser-geser dan

lain sebagainya.

4. SLB Anak Tuli. Sekolah ini mengajarkan supaya anak tuli mengerti

pembicaraan orang lain dari gerak bibir dan mimik pembicaraan walaupun

tidak dapat mendengarkan suara dari lawan bicaranya.

5. SLB Anak Sukar Dengar. Sekolah anak sukar dengar dilengkapi dengan alat

bantu dengar (hearing aid). Alat bantu dengar ini dapat diatur sedemikian

rupa sehingga sesuai dengan parah ringannya kecacatan penderita.

6. SLB Anak Cacat Wicara. Sekolah yang melayani anak cacat wicara

diperlengkapi dengan peralatan-peralatan yang diperlukan untuk pembinaan

bicara.

7. SLB Anak Debil. Sekolah anak debil banyak menggunakan kurikulum

sekolah biasa, tetapi disesuaikan kepada kemampuannya yang lebih terbatas

dari anak biasa. Beberapa negara memasukkan anak debil ke kelas-kelas

khusus di sekolah biasa. Tetapi ada juga negara yang memindahkan anak

debil dari sekolah biasa oleh karena anak debil jauh ketinggalan dari anak

normal.

8. SLB Anak Imbesil dan Idiot. Sekolah anak imbesil mengutamakan pendidikan

untuk perkembangan jasmani, khususnya perkembangan motoritik, terutama

alat indera dan kesehatan. Sekolah ini juga mengutamakan latihan-latihan

(5)

sekolah juga mengutamakan penyesuaian sosial anak didiknya. Jadi

latihan-latihan makan, berpakaian, berbibcara, dan sebagainya sangat dianggap

penting.

9. SLB Anak Tuna Laras. Sekolah anak tuna laras tidak memerlukan kurikulum

tersendiri. Sering juga anak tuna laras disekolahkan di sekolah biasa, yang

mereka perlukan adalah bimbingan dari mereka yang mengerti terhadap

masalah-masalahnya.

10.SLB Anak Jenius. Sekolah anak jenius sama dengan sekolah biasa. Tetapi anak jenius akan lebih cepat mencapai tingkat pelajaran yang lebih tinggi dari

pada temannya yang lain. Di Indonesia sampai sekarang masih belum terdapat

sekolah khusus atau SLB untuk anak ini

2.2. Pembelajaran Keterampilan 2.2.1. Pengertian Belajar

Sebagian orang beranggapan belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau

menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran.

Disamping itu pula, sebagian orang yang memandang belajar sebagai latihan belaka

seperti pada latihan membaca dan menulis.

Berikut beberapa defenisi belajar oleh ahli Skinner seperti dikutip Barlow

(Syah, 2005 : 64) dalam bukunya Educational Psychology :

The Teaching-Leaching Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses

(6)

Berdasarkan eksperimen B.F. Skinner percaya bahwa prose adaptasi tersebut

akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforce).

Pavlov & Guthrie juga pakar teori belajar berdasarkan proses conditioning

yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkahlaku itu karena

adanya hubungan antara stimulus (rangsangan) dengan respon. Sedangkan Hintzman

(1978) berpendapat “Learning is a change in organism due to experience which can

affect to organism’s behavior” (belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam

diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat

mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut). (Syah, 2005 : 65)

2.2.2. Pembelajaran Keterampilan

Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan

otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti

menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik namun

keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.

Siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang

rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil. Sedangkan Reber (dalam Syah

2005 : 121) mengatakan : keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola

tingkahlaku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan

keadaan untuk mencapai hasil tertentu.

Pembelajaran keterampilan merupakan program pilihan yang dapat diberikan

(7)

lebih yang dapat menjadi bekal hidup di masyarakat. Pendidikan Keterampilan

menurut Sudirman adalah "program pendidikan yang bertujuan untuk memperoleh

kecakapan dan keterampilan tertentu yang diperlukan anak didik sebagai bekal

hidupnya di masyarakat. Sejalan dengan pengertian di atas, Chaniago dan Sirodjudin

(1981 : 1) mengemukakan, bahwa "Keterampilan merupakan kemampuan khusus

untuk memanipulasi (memanfaatkan alat, ide, serta keinginan daiam melakukan

sesuatu kegiatan yang berguna bagi dirinya sendiri dan banyak orang/masyarakat)".

Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan

keterampilan merupakan kemampuan khusus yang diselenggarakan agar anak didik

memiliki kecakapan (keahlian) yang berguna bagi dirinya sendiri sebagai bekal

hidupnya di masyarakat.

Pembelajaran keterampilan adalah belajar menggunakan gerakan-gerakan

motorik yakni berhubungan dengan urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular.

Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmani tertentu. Pada

jenis-jenis latihan intensif dan teratur amat diperlukan (Syah, 2005 : 126). Terkait

dengan pembelajaran keterampilan terdapat pendekatan lain yang mempunyai

pengaruh cukup besar adalah pandangan dari perspektif Behavioral (Behaviorism).

Pandangan yang cukup berpengaruh dari perspektif ini antara lain:

 Prinsip belajar (learning), dimana aliran ini melihat bahwa perilaku manusia

sebagian besar dihasilkan dari proses belajar, dan bukan berasal dari aliran

(8)

laku yang relative, baik yang tidak nyata (covert) ataupun nyata (overt)

berdasarkan latihan ataupun pengalaman (Adi, 2013 : 73).

Secara sederhana maka dapat dikaitkan bahwa pembelajaran keterampilan

dalam disiplin pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial memiliki keterkaitan

bukan saja pada seting mikro tetapi juga bermanfaat pada seting makro.

Program pengajaran di sekolah yang baik adalah yang mampu meberikan

dukungan besar kepada para siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan

mereka. Sejalan dengan hal tersebut diperlukan bagi setiap guru sekolah untuk

memahami setiap proses dan tugas perkembangan manusia. Ranah psikologis siswa

yang terpenting adalah ranah kognitif. ranah kejiwaan yang terletak pada otak sebagai

sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, seperti ranah afektif

(rasa) dan ranah psikomotor (karsa) (Syah, 2005 : 48). Adapun pemahaman lain

menurut Majid (2008) mengenai kecakapan kognitif, kecakapan afektif, dan

kecapakan psikomotor antara lain sebagai berikut :

 Mengembangkan kecakapan kognitif (pemahaman atau pengetahuan)

Upaya pengembangan kognitif siswa secara terarah baik oleh orang tua

ataupun guru sangan penting. Ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang

perlu diamati yaitu strategi belajar memahami isi materi pelajaran dan strategi

meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi serta menyerap

pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.

(9)

Pembinaan sikap mental (mental attitude) yang mantap dan matang serta

memiliki kecerdasan. Bersikap adalah merupakan wujud keberanian untuk

memilih secara sadar. Setelah itu ada kemungkinan ditindaklanjuti dengan

mempertahankan pilihan lewat argumentasi yang bertanggung jawab, kukuh,

dan bernalar. Bersikap inilah yang kemudian harus disertai strategi

belajar-mengajar yang sudah didahului oleh konsep bermain dan belajar.

 Mengembangkan kecakapan psikomotor

Mampu memberikan manfaat kepada orang lain tentulah harus mempunyai

kemampuan/kompetensi dan keterampilan. Hal ini menjadi perhatian di

kalangan pendidik orang tua maupun lingkungan sekitarnya. Bertujuan agar

proses pembelajaran diarahkan pada proses pembentukan kompetensi dimana

diharapkan kelak siswa dapat member manfaat baik untuk dirinya sendiri

maupun orang lain. Dan bukan sebaliknya menjadi beban dan tanggungan

orang lain.

2.2.3. Tujuan Pembelajaran Keterampilan

Pendidikan keterampilan bertujuan untuk menumbuh kembangkan berbagai

potensi anak didik sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya. Adapun tujuan

utama pendidikan keterampilan sesuai dengan tujuan intruksional adalah sebagai

berikut:

1. Memiliki kemampuan, keterampilan dan sikap dasar yang diperlukan untuk

(10)

2. Memiliki pengetahuan dasar tentang berbagai bidang pekerjaan yang

terdapat di lingkungan masyarakat sekitar.

3. Sekurang-kurangnya mampu menyesuaikan diri di dalam masyarakat dan

memiliki kepercayaan diri.

4. Memiliki suatu jenis keterampilan yang sesuai dengan minat, kemampuan

dan kebutuhan lingkungan.

Tujuan pendidikan keterampilan menurut Mainord dalam Astati (2001)

menyatakan bahwa: "Tujuan pendidikan keterampilan bagi anak tunagrahita ringan

adalah untuk mengembangkan keterampilan dan mengadaptasikannya pada suatu

pekerjaan". Pernyataan tersebut bisa disimpulkan bahwa pendidikan keterampilan

bagi anak tunagrahita ringan adalah untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya

sesuai dengan bakat dan minat sebagai sikap dasar untuk melakukan suatu pekerjaan

didalam masyarakat sehingga dapat memperoleh penghasilan untuk keperluan dirinya

dan masyarakat sekitar (Astati, 2001 : 16).

Penyandang disabilitas perlu dibekali pengetahuan mengenai potensi anak

disabilitas yang bisa dioptimalkan, juga melalui tingkat keluarga, melalui kerjasama

orangtua, anak dan pengasuh sangat penting dalam penanganan anak disabilitas.

2.2.4. Jenis-Jenis Keterampilan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk Sekolah Menengah Atas

Luar Biasa (SMALB) Anak Tunagrahita Ringan, keterampilan merupakan pelajaran

yang memiliki alokasi waktu paling banyak. Selain itu arah pengembangannya

(11)

keterampilan diserahkan pada sekolah yang bersangkutan. Adapun jenis jenis

keterampilan secara umum yang diinstruksikan kurikulum KTSP meliputi:

keterampilan pertanian, keterampilan peternakan, keterampilan tata boga, tata busana,

pertamanan, perikanan, otomotif, keterampilan musik, keterampilan pertukangan,

keterampilan perkantoran, dan keterampilan rekayasa.

Dalam mengembangkan potensi atau bakat penyandang disabilitas, perlu

dimulai dengan analisis kebutuhan, potensi/bakat, minat yang dimiliki oleh

masing-masing individu. Secara umum penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang

bias dioptimalkan seperti kekuatan daya ingat, kehalusan perasaan, kemampuan

dibidang seni, musik, olahraga, dan lain-lain. (Suyono, 2013: 140)

2.2.5. Kemandirian

Menumbuhkan kemandirian pada individu sejak usia dini sangatlah penting

karena dengan memiliki kemandirian sejak dini, anak akan terbiasa mengerjakan

kebutuhannya sendiri. Menurut Yusuf (2002) secara naluriah, anak mempunyai

dorongan untuk berkembang dari posisi dependent (ketergantungan) ke posisi

independent (bersikap mandiri). Anak yang mandiri akan bertindak dengan penuh

rasa percaya diri dan tidak selalu mengandalkan bantuan orang dewasa dalam

bertindak. Kemandirian diartikan sebagai suatu sikap yang ditandai dengan adanya

kepercayaan diri dan terlepas dari kebergantungan (Chaplin, 1995), selanjutnya

Benson dan Grove (2000) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kemandirian

adalah kemampuan individu untuk memutuskan sendiri dan tidak terus menrus berada

(12)

bahwa anak yang mandiri adalah anak yang mampu melakukan aktivitasnya sendiri

tanpa banyak bergantung kepada orang lain.

Seorang anak dikatakan mandiri bila ia memperlihatkan ciri-ciri, yaitu: a)

percaya diri yang didasari oleh kepemilikan akan konsep diri yang positif; b)

bertanggung jawab pada hal-hal yang dikerjakan dan hal ini dapat ditumbuhkan

dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk memegang tangung jawab; c)

mampu menemukan pilihan dan mengambil keputusannya sendiri yang mana hal ini

diperoleh dari adanya peluang untuk mengerjakan sesuatu, dan: d) mampu

mengendalikan emosi dengan adanya kesempatan untuk berbuat dengan tidak banyak

mendapatkan larangan.

Kemandirian bukanlah semata-semata merupakan pembawaan yang melekat

pada diri individu sejak lahir, melainkan dipengaruhi oleh hal-hal lain. Sehubungan

dengan hal itu M. Ali dan Asrori (2004) menyatakan bahwa kemandirian berkembang

selain dipengaruhi oleh faktor intrinsik (pertumbuhan dan kematangan individu itu

sendiri) juga oleh faktor ekstrinsik (melalui proses sosialisasi di lingkungan tempat

inidividu berada). Faktor intrinsik seperti kematangan individu, tingkat kecerdasan

dan faktor ekstrinsik adalah hal-hal yang berasal dari luar diri anak seperti :

perlakukan orangtua, guru, dan masyarakat

(http://file.upi.edu/Direktori/fip/jur-pend-luar-biasa/194808011974032-astati/Bahan-ajar-kemandirian,pdf, diakses 5 Agustus

2013 pukul 09.00 wib).

Anak tunagrahita dengan sisa kemampuan yang mereka miliki perlu

(13)

kemampuan tersebut, maka mereka membutuhkan latihan secara terus-menerus

dengan mengikuti langkah-langkahnya sehingga anak dapat mengerti, memahami dan

mempraktekan cara menolong diri sendiri yang diajarkan oleh guru. Dengan begitu

anak tunagrahita tidak mudah bergantung dengan orang lain.

2.3. Penyandang Cacat Tuna Grahita

2.3.1. Pengertian Penyandang Cacat Tuna Grahita

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan

mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya

untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Istilah anak berkelainan mental

subnormal dalam beberapa referensi disebut pula dengan terbelakang mental, lemah

ingatan, feble minded, mental subnormal, tuna grahita. Semua makna dari istilah

tersebut sama, yakni menunjuk kepada seseorang yang memiliki kecerdasan mental

dibawah normal. Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tuna

grahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah

normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau

layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Bratanata dalam

Efendi, 2006 : 88).

Tuna Grahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang

mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Pada kepustakaan bahasa

asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental

deficiency, mental defective, dll. Istilah tersebut sesungguhnya memiliki arti yang

(14)

ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial

(Somantri, 2006 : 103).

Memahami anak tuna grahita ada baiknya kita pahami defenisi tentang anak

ini yang dikembangkan oleh AAMD (American Association of Mental Defficiency)

sebagai berikut: “keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku

dan terjadi pada masa perkembangan” (Kuffman dan Hallahan, dalam Somantri, 2006

: 104).

Defenisi yang dikemukakan oleh International Classification Diseases (ICD)

10 (WHO Geneva, 1992) : Retardasi Mental ialah suatu keadaan perkembangan

mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya hendaya

(impairment) keterampilan (kecakapan, skills) selama masa perkembangan, sehingga

berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa,

motorik dan sosial. (Lumbantobing, 2006 : 2) .

Kondisi ketunaan yang dialami anak tunagrahita ringan dapat bermanifestasi

dalam kesulitan Adaptive Behavior atau penyesuaian perilaku. Hal ini berarti anak

tunagrahita ringan tidak mampu mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran

kemandirian dan tanggung jawab sosial. Selain itu anak tunagrahita ringan akan

menghadapi masalah keterampilan akademik dan berpatisipasi dalam kelompok usia

sebayanya. Anak tunagrahita ringan juga sering menunjukkan perilaku-perilaku yang

tidak diharapkan, sehingga sebagian orang menganggap bahwa anak tunagrahita

(15)

berlaku dalam lingkungan di sekelilingnya

(http://eprints.uny.ac.id/8676/2/bab%201%20-%20%2007103244009.pdf, diakses

pada tanggal 27 September 2013 pukul 11.00 wib).

Penafsiran yang salah seringkali terjadi di masyarakat awam bahwa keadaan

kelainan mental subnormal atau tuna grahita dianggap seperti suatu penyakit sehingga

dengan memasukkan ke lembaga pendidikan atau perawatan khusus, dengan harapan

anak dapat normal kembali. Penafsiran tersebut sama sekali tidak benar sebab anak

tuna grahita dalam jenjang apapun sama sekali tidak ada hubungannya dengan

penyakit atau sama dengan penyakit. Jadi kondisi tuna grahita tidak bisa

disembuhkan atau diobati dengan obat apapun.

Pada kasus tertentu memang ada anak normal menyerupai keadaan anak

tunagrahita jika dilihat selintas, tetapi setelah ia mendapatkan perawatan atau terapi

tertentu, perlahan-lahan tanda-tanda ketunagrahitaan yang tampak sebelumnya

berangsur-angsur hilang dan kembali normal. Hendeschee (dalam Efendi, 2006 :

88,89) memberikan batasan bahwa anak tuna grahita adalah anak yang tidak cukup

daya fikirnya, tidak dapat hidup dengan kekuatan sendiri ditempat sederhana dalam

masyarakat. Jika ia hidup, hanyalah dalam keadaan yang sangat baik.

Uraian tersebut memberikan implikasi bahwa ketergantungan anak tuna

grahita terhadap orang lain pada dasarnya tetap ada meskipun untuk masing-masing

jenjang anak tuna grahita kualitasnya berbeda, tergantung pada berat-ringannya

ketunagrahitaan yang diderita. Edgar Doll (dalam Efendi, 2006 : 89) berpendapat

(16)

dibawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan

(4) kematangannya terhambat.

2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Tuna Grahita

Mengenai faktor penyebab ketunagrahitaan para ahli sudah berusaha

membaginya menjadi beberapa kelompok. Ada yang membaginya menjadi dua

gugus, yaitu endogen dan eksogen. Ada juga yang membaginya berdasarkan waktu

terjadinya penyebab, disusun secara kronologis sebagai berikut yakni faktor-faktor

yang terjadi sebelum anak lahir (prenatal), faktor-faktor yang terjadi ketika anak lahir

(natal), dan faktor-faktor yang terjadi setelah anak dilahirkan (pos natal). Di bawah

ini akan dikemukakan beberapa faktor keturunan yang berasal dari faktor lingkungan.

(http://file.upi.edu/Direktori.fip/jur.pend.luarbiasa/195706131985031/mamanabdurah

man-saepulr/mengenal-anak-luar-biasa.pdf, diakses 7 Agustus 2013 pukul 11.00

wib).

1. Faktor keturunan

Ketika terjadi fertilisasi dan terjadi manusia baru, maka ia akan memperoleh

faktor-faktor yang diturunkan, baik dari ayah maupun dari ibu yang disebut

genotif. Aktualisasi genotif yang dihasilkan atas kerjasama dengan lingkungan.

Sebagai pembawa sikat keturunan, gene antara lain menentukan warna kulit,

bentuk tubuh, raut wajah, dan kecerdasan.

2. Gangguan metabolism dan gizi

Metabolism dan gizi merupakan dua hal yang sangat penting bagi

(17)

metabolism dan pemenuhan gizi akan mengakibatkan terjadinya gangguan fisik

dan mental pada individu.

3. Infeksi dan keracunan

a) Rubella

Wanita hamil yang terjangkit penyakit rubella akan mengakibatkan janin yang

dikandungnya menderita tuna grahita, tuna rungu, penyakit jantung, dan

lain-lain.

b) Syphilis

Bayi dalam kandunga ibunya yang terjangkit syphilis akan lahir mengalami

kelainan, seperti tuna grahita.

4. Masalah pada kelahiran

Ketunagrahitaan juga dapat disebabkan akibat sulitnya proses kelahiran.

2.3.3. Klasifikasi Tuna Grahita

Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan Tuna

Grahita, baik menurut tinjauan profesi dokter, pekerja sosial, psikolog, dan pedagog.

Seorang dokter mengkalsifikasikan anak tuna grahita didasarkan pada tipe fisiknya

seperti tipe mongoloid, microchepalon, cretinism, dan lain-lain. Seorang pekerja

sosial dalam mengkalsifikasikan anak tuna grahita didasarkan pada derajat

kemampuan dalam penyesuaian diri atau ketergantungan pada orang lain. Sehingga

untuk menentukan berat-ringannya ketunagrahitaan dilihat dari tingkat penyesuaian,

seperti tidak tergantung, semi tergantung, atau sama sekali tidak tergantung pada

(18)

Penilaian tersebut dikelompokkan menjadi anak tuna grahita mampu didik

(debil), anak tuna grahita mampu latih (imbecile), dan anak tuna grahita mampu rawat

(idiot) (Efendi, 2006 : 89.90).

Klasifikasi berdasarkan IQ WISC (dalam Efendi, 2006 : 90) :

a) Tuna Grahita Mampu Didik (Debil)

Anak tuna grahita mampu didik (debil) adalah anak tuna grahita yang tidak

mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki

kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tuna grahita mampu didik

antara lain :

1. Membaca, menulis, mengeja, dan berhitung, kepentingan kerja dikemudian

hari. Kesimpulannya, anak tuna grahita mampu didik berarti anak tuna grahita

yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan

pekerjaan.

b) Tuna Grahita Mampu Latih (Imbecile)

Anak tuna grahita mampu latih atau imbecile adalah anak tuna grahita yang

memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk

mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tuna grahita mampu dididik.

Beberapa kemampuan anak tuna grahita mampu latih yang perlu

diberdayakan, yaitu :

1. Belajar mengurus diri sendiri, misalnya makan, berpakaian, tidur, atau mandi

sendiri.

(19)

3. Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja, atau di lembaga

khusus.

Kesimpulannya, anak tuna grahita mampu latih berarti anak tuna grahita yang

hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan

sehari-hari (activity daily living), serta melakukan fungsi sosial

kemasyarakatan menurut kemampuannya.

c) Tuna grahita Mampu Rawat

Anak tuna grahita mampu rawat (idiot) adalah anak tuna grahita yang

memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri

sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat

mebutuhkan orang lain.

“A child who is an idiot is so low intellectually that he does not learn to talk and usually does learn to take care of his bodily need” (Krik & Johson dalam

Efendi, 2006). Dengan kata lain, anak tuna grahita mampu rawat adalah anak tuna

grahita yang mebutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia

tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain (totally dependent) (Patton

dalam Efendi, 2006 : 91).

Pengklasifikasian atau penggolongan anak tuna grahita menurut

American Psychiatric Association (dalam Lumbantobing, 2006 : 5) sebagai

berikut :

(20)

Kelompok retardasi mental ringan membentuk sebagian besar (sekitar 85%)

dari kelompok retardasi mental. Pada usia prasekolah (0-5 tahun) mereka

dapat mengembangkan kecakapan sosial yang komunikatif, mempunyai

sedikit kemampuan dalam bidang sensorimotor, dan sering tidak bias

dibedakan dengan anak normal tanpa retardasi mental hingga usia lebih lanjut.

Pada usia remaja mereka dapat memperoleh kecakapan akademis sehingga

setara dengan tingkat enam (kelas enam SD). Sewaktu dewasa mereka

biasanya dapat menguasai kecakapan sosial dan vokasional yang cukup untuk

sekedar berdikari. Namun hal itu membutuhkan supervisi, bimbingan, dan

pertolongan, terutama bila mengalami tekanan sosial dan ekonomi, dengan

bantuan yang wajar, penyandang retardasi mental ringan biasanya dapat hidup

sukses didalam masyarakat baik secara berdikari atau dengan pengawasan.

b) Retardasi Mental Sedang

Kelompok ini membentuk sekitar 10% dari kelompok retardasi mental.

Kelompok individu ini memiliki kecakapan komunikasi selama masa anak

dini. Mereka dapat memperoleh manfaat dari vokasional, dan dengan

pengawasan yang cukup dapat mengurus atau merawat diri sendiri. Mereka

dapat memperoleh manfaat dari latihan keckapan sosial dan okupasional lebih

dari tingkat dua (kelas dua SD). Semasa remaja, hubungan sosial mungkin

terganggu karena mereka sukar mengenal norma-norma pergaulan

(21)

(unskilled) atau (semi skilled) di bawah pengawasan di workshop yang

dilindungi/diawasi.

c) Retardasi Mental Berat

Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4 % dari kelompok retardasi

mental. Selama masa anak mereka sedikit saja atau tidak dapat berkomunikasi

bahasa. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dilatih dalam

kecakapan mengurus diri yang sederhana. Sewaktu usia dewasa mereka dapat

melakukan kerja sederhana bila diawasi dengan ketat.

d) Retardasi Mental Sangat Berat

Kelompok retardasi mental sangat berat membentuk sekitar 1-2 % dari

kelompok retardasi mental. Sewaktu masa anak, mereka menunjukkan

gangguan yang berat dalam bidang sensorimotor. Perkembangan motorik dan

mengurus diri dan kemampuan-kemampuan komunikasi dapat ditingkatkan

dengan latihan-latihan yang memenuhi syarat. Beberapa diantaranya dapat

melakukan tugas sederhana ditempat yang disupervisi dan dilindungi.

Somantri mengklasifikasikan tuna grahita kedalam :

1. Tuna Grahita Ringan

Tuna grahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ

antara 68-52 menurut Binet sedangkan menurut skala Wheschler memiliki IQ

69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana.

Anak tuna grahita ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti

(22)

dilatih dan dibimbing dengan baik anak tuna grahita ringan dapat bekerja di

pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun demikian anak terbelakang

mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. Ia

akan membelanjakan uangnya dengan lugu, tidak dapat merencanakan masa

depan, dan bahkan sering berbuat kesalahan. Pada umumnya anak tuna grahita

ringan tidak mengalami gangguan secara fisik. Mereka secara fisik tampak

seperti anak normal pada umumnya, oleh karena itu akan sedikit sukar

membedakan secara fisik antara anak tuna grahita ringan dengan anak normal.

2. Tuna Grahita Sedang

Anak tuna grahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51

36 pada skala Binet dan 54-40 menurut skala Weschler. Mereka dapat dididik

mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari

kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan dan sebagainya.

Anak tuna grahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara

akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka

masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alat rumah

dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari anak tuna grahita sedang

membutuhkan pengawasan terus-menerus dan mereka juga masih dapat bekerja

ditempat kerja terlindung (sheltered workshop).

3. Tuna Grahita Berat

Kelompok anak tuna grahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat

(23)

(severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut

skala Weschler. Tuna grahita sangat berat (profund) meiliki IQ dibawah 19

menurut skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut skala Weschler. Anak tuna

bgrahita berat memerlukan bantuan secara total dalam hal berpakaian, mandi,

makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahay

sepanjang hidupnya (Somantri, 2006 : 106-108).

2.4. Kesejahteraan Sosial

2.4.1. Pengertian Kesejahteraan Sosial

Menurut James Midgley mendefenisikan Kesejahteraan Sosial sebagai suatu

kondisi dalam suatu masyarakat, (Midgley 1997) melihat kesejahteraan social

sebagai:

Suatu keadaan atau kondisi kehiidupan manusia yang tecipta ketika berbagai

permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika kebutuhan manusia dapat

terpenuhi dan ketika kesempatan social dapat dimaksimalkan (Adi, 2013 : 23)

Ilmu kesejahteraan sosial merupakan ilmu yang mencoba mengembangkan

kerangka pemikiran, strategi, dan teknik untuk meningkatkan derajat kesejahteraan

suatu masyarakat. Sedangkan pengertian kesejahteraan social oleh midgley

didefnisikan sebagai ilmu terapan yang mengkaji dan mengembangkan kerangka

pemikiran dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup (kondisi)

masyarakat antara lain : pemenan kebutuhan hidup masyarakat, pengelolaan masalah

sosial, pemaksimalan kesempatan anggota masyarakat untuk berkembang (termasuk

(24)

Ilmu kesejahteraan social pada dasarnya merupakan :

 Ilmu yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata (bersifat terapan)

 Kajian baik secara teoritis maupun metodologis terhadap upaya meningkatkan

kualitas hidup (derajat kehidupan) suatu masyarakat.

(http://file.upi.edu/direktori/fip/jur-pend-luar-biasa/194808011974032-astati/bahan-ajar-kemandirian.pdf, diakses 5 Agustus 2013 pukul 09.00 wib).

Friedlander mengutarakan bahwa konsep dan istilah kesejahteraan sosial

dalam pengertian program yang ilmiah baru saja dikembangkan sehubungan dengan

masalah sosial masyarakat kita yang industrial. Kemiskinan, kesehatan yang buruk,

penderitaan dan disorganisasi sosial telah ada dalam sejarah kehidupan umat manusia,

namun masyarakat yang industrial dari abad ke 19 dan 20 ini menghadapi begitu

banyak masalah sosial sehingga lembaga –lembaga insani yang sama seperti keluarga, ketetanggaan, gereja dan masyarakat setempat tidak mampu lagi

mengatasinya secara memadai.

Berikut ini beberapa defenisi yang menjelasakan arti Kesejahteraan Sosial.

W.A Friedlander mendefinisikan: “Kesejahteraan sosial adalah system yang

teroganisir dari usaha-usaha dan lembaga–lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar hidup dan kesehatan

yang memuaskan serta mencapai relasi perseorangan dan sosial yang memungkinkan

mereka mengembangkan kemampuan secara penuh untuk mempertinggi

(25)

(http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/31904/3/chapter%20II.pdf, diakses

14 Agustus 2013, pukul 07.30 wib).

Secara yuridis konsepsial, pengertian kesejahteraan sosial termuat dalam UU

No.11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, pasal 1 ayat 1 adalah sebagai

berikut:

“Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,

spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu

mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.”

Untuk mewujudkan kesejahteraan sosial tersebut dilaksanakan berbagai

upaya, program dan kegiatan yang disebut “usaha kesejahteraan sosial” baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat, UU No.11 Tahun 2009 dalam pasal 4,

juga menjelaskan secara tegas tugas serta tanggung jawab pemerintah dibidang

kesejahteraan sosial, yang meliputi :

1. Menetapkan garis kebijaksanaan di bidang kesejahteraan sosial.

2. Mengembangkan kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial masyarakat.

3. Mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan usaha–usaha kesejahteraan sosial (Depsos.2009 Undang–Undang R.I No.11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial).

Pelaksanaan ketiga tugas pokok tersebut maka pemerintah menyelenggarakan

(26)

1. Bantuan sosial kepada warga masyarakat yang kehilangan peranansosial

karena berbagai macam bencana (sosial maupun alamiah) atau akibat – akibat lain.

2. Menyelenggarakan sistem jaminan sosial.

3. Bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial.

4. Pengembangan dan penyuluhan sosial dan

5. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan khusus untuk membentuk tenaga– tenaga ahli dan keahlian di bidang kesejahteraan sosial.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31904/3/Chapter%20II.pdf,

diakses 14 Agustus 2013 pukul 07.30 wib).

Bidang kesejahteraan sosial dalam arti sempit sering diidentikkan dengan

bidang kesejahteraan sosial (dikemukakan Spicker dan Dinitto, 1995). Secara

konvensional ada beberapa bidang dalam arti sempit (oleh Fink (1974), Friedlnder

(1980), Mendosa (1901), Zastrow (2004) dan Kirst Ashma (2010) antara lain

meliputi bidang yang terkait dengan pelayanan terhadap anak-anak dan generasi

muda, dalam hal ini layanan untuk anak penyandang disabilitas : bidang yang terkait

dengan kelompok khusus , Mendoza menjelaskan bidang yang terkait kelompok

khusus sangat beragam diantaranya adalah penyandang disabilitas (Adi, 2013: 93).

2.4.2. Pelayanan Sosial

Konsep pelayanan berasal dari usaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik

(27)

pada umumnya dilakukan oleh seorang pekerja sosial. Peningkatkan kesejahteraan

kelompok atau individu yang mengalami masalah baik dalam diri, kelompok dan

lingkungan sosialnya. Pada umumnya masyarakat awam belum begitu tahu dengan

apa yang di maksud dengan pelayanan sosial itu sendiri dan siapa saja yang terlibat

dalam melakukan pelayanan sosial itu. Hal tersebut disebabkan karena mereka hanya

mengetahui pelayanan yang bersifat menolong ’sesaat’ atau dengan kata lain hanya

mengenal pelayanan itu dalam bentuk bantuan langsung.

Pelayanan sosial dalam arti sempit, adalah bantuan yang diberikan pada

orang-orang miskin, pada orang-orang terlantar, yang terkena bencana alam, serta

bantuan-bantuan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang kurang

mampu secara ekonomi. Pelayanan sosial terdiri dari dua kata pelayanan dan sosial.

Pelayanan berarti pemberian bantuan atau pertolongan bagi anak-anak terlantar,

keluarga miskin, cacat, tuna susila dan sebagainya.

Pelayanan sosial merupakan aksi atau tindakan untuk mengatasi masalah

sosial. Pelayanan sosial dapat diartikan sebagai seperangkat program yang ditujukan

untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya. Pentingnya pelayanan sosial dilandasi oleh

keyakinan bahwa kebijakan ekonomi dan kebijakan lainnya tidak selalu mampu

(28)

2.5 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2.5.1 Defenisi Konsep

Konsep adalah suatu makna yang berada di alam fikiran atau dunia

kepahaman manusia yang dinyatakan kembali dengan sarana lambang perkataan atau

kata-kata. Dengan demikian konsep bukanlah objek gejalanya itu sendiri, konsep

adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang memang merujuk ke

gejala nyata ke alam empiris. Konsep merupakan sarana yang merujuk ke dunia

empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna (mutlak) dunia empiris. Bahkan

konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri. Berdasarkan konsep tersebut peneliti dapat

menata hasil pengamatannya kedalam suatu tata kepahaman yang menggambarkan

dunia realitas sebagaimana yang dirasa, dialami, dan diamati (Suyanto, 2011 : 49).

Peranan didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat

dari orang yang menduduki status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat

peran (role-set). Dengan demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari

hubungan-hubungan berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki

status-status sosial khusus

(file:///D:/LOVE/TEORITEORI%20SOSIOLOGI%20%20TEORI%20PERANAN.ht

m, diakses pada tanggal 28 oktober 2013 pukul 22.00 wib).

Kegiatan Pembelajaran keterampilan adalah suatu proses interaksi yaitu hubungan

timbal balik antara guru dengan siswa. Guru memberikan bimbingan dan

(29)

memperoleh pengalaman sesuai dengan tujuan pembelajaran yang melibatkan

berbagai kegiatan dan tindakan yang perlu dilakukan oleh siswa untuk memperoleh

hasil belajar yang baik. Kesempatan untuk melakukan kegiatan dan perolehan hasil

belajar ditentukan oleh pendekatan yang digunakan oleh guru dan siswa dalam proses

pembelajaran tersebut

(http://safnowandi.wordpress.com/2012/11/15/pembelajaran-keterampilan-proses/, diakses pada tanggal 28 oktober 2013 pukul 22.00 wib).

Guna menghindari kesalahpahaman dalam penilitian ini maka dirumuskan dan di

definisikan istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu persamaan

persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengatur

tujuan penelitian. Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah :

1. Penyandang Tuna Grahita adalah sebutan untuk jenis ketunaan atau kecacatan

yang mengalami kelainan mental atau keterbelakangan mental. Memiliki tingkat

kecerdasan mental dibawah normal sehingga untuk melakukan tugas

perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus termasuk

dalam pendidikan.

2. Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang bertanggung jawab atas pendidikan

untuk para penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus.

3. Pendidikan Keterampilan adalah program pendidikan yang diberikan kepada

peserta didik dalam mengarahkan penguasaan keterampilan atau yang dapat

(30)

4. Kemandirian adalah kemampuan individu untuk memutuskan sendiri dan tidak

terus menrus berada di bawah kontrol orang lain.

5. Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri

Pembina Medan dalam memberikan kegiatan pembelajaran ketererampilan bagi

penyandang tuna grahita adalah suatu proses tindakan pelaksanaan kegiatan

pembelajaran keterampilan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Sekolah

Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan demi mencapai kemandirian

para penyandang tuna grahita.

2.5.2 Defenisi Operasional

Defenisi Operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria operasi

lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan

memiliki rujukan-rujukan empiris. Definisi oprasional bertujuan untuk memudahkan

peneliti dalam melaksanakan penelitian di lapangan. Maka perlu operasionalisasi dari

konsep-konsep untuk menggambarkan tentang apa yang harus diamati (Silalahi,

2009: 120).

Adapun yang menjadi definisi operasional dalam Peranan Kegiatan

Pembelajaran Keterampilan terhadap penyandang tuna grahita di UPT.SLB-E Negeri

Pembina Medan untuk mencapai tujuan yang diharapkan sebagai berikut :

1. Pembelajaran Keterampilan

 Aspek Kognitif (pemahaman atau pengetahuan) adalah pembinaan kecerdasan

(31)

tidak hanya cerdas melainkan memiliki kebijaksanaan atau kearifan dalam

berfikir dan bertindak.

 Aspek Afektif (penerapan) adalah pembinaan sikap mental (mental attitude)

yang mantap dan matang. Bersikap adalah merupakan wujud keberanian

untuk memilih secara sadar. Bersikap inilah yang kemudian harus disertai

strategi belajar-mengajar yang sudah didahului oleh konsep bermain dan

belajar.

 Aspek Psikomotor (keterampilan) adalah pembinaan tingkah laku dengan

akhlak mulia serta latihan memegang peranan pokok untuk meneruskan

keterampilan yang sedang dipelajari. Tanpa latihan dan pembiasaan, tidak

mungkin orang menguasai keterampilannya menjadi miliknya.

2. Kemandirian

Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk memutuskan sendiri dan

tidak terus menerus dibawah control orang lain. Dengan memiliki ciri sebagai berikut

:

 Konsep diri yang positif

 Bertanggung jawab

 Menentukan pilihan adanya peluang untuk mengerjakan sesuatu

(32)

2.6 Kerangka Pemikiran

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk menjamin kehidupan

yang lebih bermartabat, tanpa terkecuali mereka yang memiliki kekurangan atau para

penyandang cacat. Lembaga pendidikan tidak hanya ditujukan kepada anak yang

memiliki kelengkapan fisik, tetapi juga kepada anak yang memiliki keterbelakangan

mental. Mereka dianggap sosok yang tidak berdaya, sehingga perlu dibantu dan

dikasihani untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu disediakan berbagai bentuk

layanan pendidikan atau sekolah bagi mereka.

Pada dasarnya pendidikan untuk berkebutuhan khusus sama dengan

pendidikan anak- anak pada umumnya. Para penyandang cacat yang terhambat

pertumbuhannya baik dalam segi sosial, emosional, intelegensi, dan segi kejiwaan

yang selalu ada dalam masyarakat tentunya perlu mendapat perhatian khusus,

sehingga diperlukanlah suatu pemberdayaan yang bermanfaat bagi mereka, agar

mereka bisa hidup secara mandiri di masyarakat. Itu sebabnya peran serta lembaga

pendidikan sangat diperlukan, tidak hanya dalam pembekalan ilmu pengetahuan tapi

juga dalam memberikan keterampilan.

Pemerintah dan masyarakat dituntut untuk proaktif untuk mengatasi hal ini,

yang mana keduanya memiliki tanggung jawab yang sama dalam melakukan

pembinaan demi kesejahteraan para penyandang cacat tersebut. Salah satunya adalah

memberikan kegiatan pemberdayaan yang bersumberdaya masyarakat, oleh karena

itu pemerintah membentuk Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa tingkatan E

(33)

tersebut tidak hanya memberikan peran penyelenggaraan pendidikan tetapi juga

menyelenggarakan keterampilan.

Adapun kegiatan pembelajaran keterampilan meliputi keterampilan tata boga,

tata rias, tata busana, IT (Information Comunication & Technology) dan musik.

Salah satu penyandang cacat yang mendapatkan kegiatan pembelajaran keterampilan

ini yaitu penyandang tuna grahita. Keterampilan bagi penyandang tuna grahita

bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan bakat dan

minat sebagai sikap dasar untuk mengembangkan kemandirian agar dapat berfungsi

(34)

Bagan I Bagan Alir Pikir

Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan di bidang pendidikan keterampilan

1. Pemahaman/pengetahuan (Kognitif)

2. Penerapan (Afektif)

3. Keterampilan (Psikomotor)

4. Kemandirian

Keterampilan tata boga, tata busana, musik, informatika dan teknologi, dan tata rias

Referensi

Dokumen terkait

Contoh Dewa yajña dalam keseharian, melaksanakan puja Tri Sandya, sedangkan contoh Dewa yajña pada hari-hari tertentu adalah melaksanakan piodalan (upacara pemujaan) di pura dan

The proof for horizontal slices is easy: at the bottom of the cube (finest detail, largest scale) the input was already a valid planar partition, every generalization operation

Banyak perusahaan-perusahaan distributor dan perdagangan dalam pendataan (pencatatan) dan bertransaksi penjualan barang masih menggunakan secara tradisional atau dengan kaa lain

Ketentuan dalam Peraturan Wallkota Padang Nomor 28 Tahun 2010 tentang Pedoman Standar Blaya Kegiatan Tahun Anggaran 2011 dilingkungan Pemerintah Kota Padang (Berita Daerah Kota

Dalam pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah cara pembuatan dari mulai menentukan struktur navigasi, membuat design antarmuka , pembentukan elemen, penggabungan

[r]

Penulisan ilmiah ini membahas mengenai bagaimana caranya membuat suatu Modul yang menarik, supaya dalam penggunaannya user dapat cepat mengerti dan mudah untuk mengingat isi dari

Aplikasi yang penulis buat berupa program e-learning yang interaktif dengan menggunakan flash 5 Aplikasi ini berupa informasi tentang proses penyerbukan yang diberikan secara