• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Keluarga Migran Etos Kerja dan (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan Keluarga Migran Etos Kerja dan (1)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah tenaga kerja di luar negeri yang cukup banyak.Menurut catatan BNP2TKI periode Januari 2015 terdapat 429.872 TKI yang tersebar di beberapa negara. Dilihat dari sisi penerimaan devisa negara dan sisi ekonomi keluarga migran, keberadaan jumlah TKI ini menguntungkan. Namun ternyata juga menimbulkan dampak bagi kondisi keluarga migran khususnya perempuan (istri) dan anak.Penelitian ini dilakukan di Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur.Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut merupakan salah satu wilayah yang telah diresmikan oleh BNP2TKI dan Kementrian Tenaga Kerja sebagai Desa TKI.

Riset ini fokus pada Pertama, implikasi sosial ekonomi yang dihadapi perempuan (istri) yang suaminya bekerja menjadi pekerja migran dan Kedua, pola dan mekanisme penghidupan yang dilakukan oleh perempuan (istri) keluarga migran.Pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu konsep etos kerja dan strategi penghidupan.Dinamika perempuan keluarga migran ini memunculkan ragam pola dan mekanisme yang secara bertahap memiliki peran dalam upaya meningkatkan kualitas kesejahteraan keluarga.Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi kasus tunggal di wilayah penelitian dan analisis data sekunder yang relevan dengan fokus kajian.

Hasil penelitian meliputi: Pertama, implikasi sosial ekonomi yang dihadapi perempuan (istri) keluarga migran adalah perempuan memiliki beban untuk menjaga kehidupan keluarga yaitu anak-anaknya atau anggota keluarga yang lain. Kedua, tipologi strategi penghidupan yang dilakukan istri pekerja migran yaitu Pertama, istri bekerja di sektor pertanian dan jasa yang dapat mencukupi kebutuhan harian keluarga.Kedua, istri mengelola remitan dalam bentuk usaha baru seperti kios/toko dan Ketiga, istri melakukan diversifikasi pekerjaan sesuai keterampilan.Pemanfaatan modal sosial juga menjadi bagian dari safety belt keluarga.

(2)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Buruh migran Indonesia (BMI) atau yang sering disebut dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), adalah profesi yang cukup menjanjikan bagi mereka yang yang memiliki skill dan tingkat pendidikan yang rendah. Ketika lapangan kerja yang ada di daerah asal tidak bisa menyerap tenaga kerja lokal yang ada, maka peluang untuk melakukan migrasi menjadi TKI ke luar negeri dianggap sebagai solusi yang paling nyata dan ideal untuk dilakukan. Mobilitas penduduk yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, dipandang sebagai bentuk aktivitas yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Oleh karena itu, jika melihat keadaan penduduk usia produktif di Indonesia saat ini, bahwa banyak dari mereka yang cenderung memilih keluar dari daerah asalnya ke daerah lain yang dianggap lebih baik secara ekonomi.

Daerah kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat tercatat sebagai daerah kabupaten tertinggi sebagai penyumbang TKI ke luar negeri. Dalam situs BNP2TKI dituliskan bahwa Dalam penempatan TKI ke luar negeri tahun 2014 sebanyak 429.872 orang, sebanyak 29.510 orang di antaranya berasal dari kabupaten Lombok Timur, yang merupakan kabupaten tertinggi dari 25 kabupaten terbesar penyumpang penempatan TKI yang ada. Meskipun Lombok Timur merupakan kabupaten terbesar se-Indonesia dalam hal penyumbang TKI ke luar negeri, namun sebenarnya di provinsi Nusa Tenggra Barat sendiri ada banyak sekali daerah-daerah yang dapat dikatakan sebagai kantong TKI. Abdul Haris (2002:2) mengatakan secara umum, ada beberapa alasan yang menyebabkan terjadi peningkatan mobilitas penduduk dari NTB ke luar negeri, khususnya ke Malaysia. Pertama, kondisi ekonomi daerah yang masih tergolong miskin tidak memungkinkan penduduk untuk hidup layak, sementara beban hidup semakin meningkat. Kedua, adanya perbedaan upah yang sangat jauh antara daerah asal (NTB) dan daerah tujuan (Malaysia), padahal jenis pekerjaan yang dijalani sama.

(3)

Utara. Banyaknya profesi TKI tidak hanya mengubah kualitas hidup masyarakat desa Jenggik Utara, namun juga kebudayaan masyarakat Jenggik Utara itu sendiri. Profesi TKI dalam pandangan sebagian besar masyarakat Desa Jenggik Utara dianggap sebagai suatu “warisan” yang harus mereka terima.Bahkan bagi anak-anak yang mulai beranjak dewasa pandangan ini dijelaskan melalui keinginan mereka untuk berangkat ke luar negeri menjadi buruh migran setelah lulus SMA.

Dalam suatu nilai yang dipahami oleh masyarakat Sasak, ketika seseorang yang berusia produktif telah berkeluarga, maka dirinya sudah tidak pantas lagi untuk tinggal bersama orang tua. Dengan kata lain ketika suatu keluarga terbentuk maka ada tuntutan-tuntuta baru yang melekat pada dirinya, seperti harus memiliki perkerjaan, memiliki tempat tinggal sendiri, dan utamanya menciptakan kehidupan yang mapan dan layak. Oleh karenanya untuk mewujudkan itu semua mereka yang berusia produktif harus segera memenuhi tuntutan budaya tersebut dengan cara bekerja. Namun, tidak terserapnya seluruh usia produktif pada pasar kerja di wilayah Jenggik Utara ini membuat profesi TKI dianggap sebagai sebuah jalan keluar yang kiranya bisa melepaskan masyarakat dari tuntutan-tuntutan di tengah kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut. Terlebih didukung dengan modal pekerja yang memiliki latar pendidikan rendah dan ketrampilan terbatas.

Wilayah Desa Jenggik Utara memang memiliki lahan pertanian yang sangat terbatas. Hal ini membuat masyarakat Desa Jenggik Utara tidak dapat banyak berharap akan hasil dari persawahan yang ada. Ditambah sebagian besar lahan persawahan di Desa Jengiik utara rupanya bukan milik masyarakat setempat, akan tetapi milik penduduk dari Desa lain. Sehingga banyak dari penduduk desa ini yang berprofesi sesbagai buruh tani.Selain lahan persawahan, ternyata sebagain besar wilayah Jenggik Utara adalah area perkebunan.Namun wilayah perkebunan pun tidak banyak memberikan hasil bagi masyarakat desa, Hal ini mengingat perkebunan yang ada merupakan area yang ditumbuhi tanaman yang kurang memberi hasil ekonomi.Artinya perkebunan tersebut ditumbuhi oleh berbagai macam pepohonan, sehingga terlihat seperti hutan. Implikasi dari ketidakuntungan wilayah inilah yang membuat mobiltas antar negara kerap kali dilakukan sebagai suatu solusi menguntungkan masyarakat Desa Jenggik Utara.

(4)

malunya tersebut. Tuan Guru Kirom (2010) menjelaskan bahwa keberangkatan warga Sasak untuk menjadi TKI tidak melulu disebabkan oleh faktor ekonomi, namun perceraian akibat kegagalan rumah tangga sering kali menjadi penyebab atau pendorong untuk melakukan migrasi.Hal itu semata-mata dilakukan untuk membuang rasa malu dan pelampiasan emosionalnya.

Berdasarkan data BMI Desa Jenggik Utara tercatat pada Februari 2016 jumlah migran laki-laki terdapat 464 orang dan jumlah migran perempuan terdapat 40 orang. Jumlah ini menunjukkan bahwa buruh migran didominasi oleh kaum laki-laki. Adanya ketimpangan jumlah ini ternyata ada hubungannya dengan nilai agama. Masyarakat Desa Jenggik Utara dikenal dengan masyarakat yang religius. Mereka memegang teguhnilai-nilai agama Islam dalam pola kehidupannya. Sikap ini kemudian berpengaruh pada konsep pemahaman masyarakat akan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian secara Islam dimana laki-laki memiliki peran untuk mencari nafkah, dan perempuan bertugas untuk mengurus anak di rumah masih dipegang dengan sangat kuat. Paham ini kemudian menciptakan pola kehidupan keluarga migran dimana kepala keluarganya bekerja sebagai buruh migran di luar negeri dan istrinya bertanggung jawab dalam urusan rumah tangga, pengasuhan anak dan juga pengelolaan remitan.

Implikasi dari pembagian kerja seperti yang dilakukan keluarga Migran di Desa Jenggik Utara, ternyata tidak sepenuhnya menguntungkan bagi perempuan (istri). Dalam hal ini, perempuan banyak menemui kondisi seperti kurangnya remitan dari suami, yang tak ubahnya membuat mereka beradaptasi secara mandiri untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan anak-anak mereka. Karena itu, tidak jarang ditemui para perempuan (istri) mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini kemudian memunculkan peran ganda yang dialami oleh para perempuan tersebut. Penelitian ini mencoba melihat dan menjelaskan implikasi sosial-ekonomi yang dihadapi perempuan serta upaya mereka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari keluarga migran.

1.2. Rumusan Masalah

1.Bagaimana implikasi sosial ekonomi yang dihadapi perempuan (istri) keluarga pekerja migran?

(5)

1.3. Tinjauan Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian 1.3.1. Tinjauan Pustaka

Perempuan dan Penghidupan

Penghidupan (livelihood) menurut Chambers (Aisyah dan Baiquni,2014; Puspitasari,et al 2014) merupakan sebuah kesatuan dari kemampuan aset termasuk aspek sosial dan aktivitas yang dilakukan untuk menunjang hidup. Penghidupan dapat berkelanjutan apabila bisa pulih dari tekanan seperti bencana alam dan lain-lain dengan mengunakan aset dan kemampuan yang dimiliki sekarang tanpa mengantungkan kepada sumberdaya alam. Aspek dari penghidupan (livelihood) menurut Ellis dan Scoone (Widiyanto,2010;Puspitasari,et al,2014) meliputi aset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal finansial dan modal sosial), aktifitas dan akses terhadap aset-aset tersebut yang dikombinasikan untuk menentukan kehidupan bagi individu maupun rumah tangga. Penjelasan Ellis (Permana,2014; Puspitasari,et al,2014) menjelaskan lebih rinci tentang livelihood assets yaitu:

1. Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital): Modal ini bisa juga disebut sebagai lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan abiotik di sekeliling manusia. Modal ini dapat berupa sumberdaya yang bisa diperbaharui maupun tidak bisa diperbaharui. Contoh dari modal sumberdaya alam adalah air, pepohonan, tanah, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan di perairan, maupun sumber daya mineral seperti minyak, emas, batu bara dan lain sebagainya.

2. Modal Fisik (Physical Capital): Modal fisik merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain sebagainya. 3. Modal Manusia (Human Capital) :Modal ini merupakan modal utama apalagi

pada masyarakat yang dikategorikan “miskin”. Modal ini berupa tenaga kerja yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi oleh pendidikan, ketrampilan, dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

4. Modal Finansial (Financial Capital and Subtitutes) Modal ini berupa uang, yang digunakan oleh suatu rumah tangga. Modal ini dapat berupa uang tunai, tabungan, ataupun akses dan pinjaman.

(6)

Dari adanya kelima aset tersebut bila dikonseptualisasikan dengan framework Scoones (Puspitasari,et al,2014) dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Strategi Penghidupan

Sumber : Scoones(dalam Puspitasari,et al,2014).

Berdasarkan penjelasan diatas terdapat beberapa poin penting yang dapat digunakan dalam memperoleh gambaran mengenai kegiatan yang terkait dengan penghidupan perempuan (istri) keluarga migran. Selain itu, pilihan cara atau strategi yang dilakukan oleh perempuan diharapkan dapat menjadi solusi bertahan hidup pada masa-masa sulit dalam keluarga atau rumah tangganya.

Perempuan dan Etos Kerja

(7)

mengatakan bahwa terdapat kaitan antara pekembangan masyarakat dengan sikap masyarakat terhadap makna kerja. Bagi kalangan sekte Protestan Calvinist yang ditelitinya, budaya kerja keras adalah suatu keharusan mengingat hal ini adalah panggilan rohani.Kerja keras ini kemudian yang membawa mereka pada kondisi maksimal dimana mereka mendapatkan kelimpahan ekonomi. Hal inilah yang ditekankan oleh Weber bahwa terdapat sistem nilai yang berfungsi mengendalikan etos kerja.

Etos kerja bukanlah suatu hal yang taken for granted. Keberadaannya didorong oleh beberapa situasi yang berkembang di masyarakat.Selain sistem nilai seprti yang dijelaskan Weber, etos kerja juga berkaitan erat dengan kondisi ekonomi. Menurut Mubyarto (1991) mengatakan bahwa keras tidaknya orang bekerja berhubungan dengan pola hidup (sederhana atau mewah) dan perilaku berekonomi (hemat atau boros). Hal ini juga dapat ditafsirkan bahwa etos kerja didorong oleh kebutuhan.

Selama ini banyak orang beranggapan bahwa ketertinggalan desa adalah sebuah akibat dari rendahnya etos kerja masyarakat desa. Padahal, jika dilihat secara sepintas etos kerja masyarakat desa justru tinggi (Mubyarto,1991). Mereka bahkan menganut prinsip hidup tiada hari tanpa kerja. Dalam melihat tinggi rendahnya etos kerja anggota masyarakat desa sangat ditentukan oleh sejumlah faktor seperti pola pemilikan tanah dan faktor produksi lain seperti ternak, pola hubungan produksi serta tersedia atau tidaknya pekerjaan di luar sektor pertanian (Mubyarto,1991). Hal tersebut juga memperjelas bahwa etos ketertinggalan desa bukan semata-mata berasal dari etos kerja yang rendah melainkan adanya keadaan alam yang tidak mendukung, teknologi sederhana dan kondisi sosial lainnya.

(8)

1.3.2. Konseptualisasi Penelitian

Strategi penghidupan perempuan (istri) keluarga migran muncul sebagai bagian dari adaptasi terhadap berbagai resiko yang dihadapi yaitu kemiskinan dan kerentanan sosial-ekonomi. Perempuan (istri) keluarga migran ini mengombinasikan berbagai modal/aset yang dimiliki yaitu alam, fisik, finansial, sumber daya manusia dan sosial. Perbedaan bentuk strategi yang muncul dan diterapkan oleh perempuan ini sesuai dengan kondisi dan kepemilikan sumber daya/aset yang ada. Keluarga migran sejahtera memiliki kepemilikan sumber daya/aset yang lebih besar dan kondisi ekonomi keluarga yang mapan daripada keluarga migran tidak sejahtera yang kepemilikan sumber daya/asetnya dan kondisi ekonomi keluarganya terbatas.

(9)

Keluarga

Penelitian ini menggunakan format penelitian kualitatif dengan metode studi kasus tunggal sebagai perangkat eksplanatoris terhadap fokus kajian yaitu mengenai etos kerja dan strategi penghidupan perempuan (istri) keluarga migran.Unit analisis dalam penelitian ini adalah perempuan (istri) dari keluarga migran, perangkat desa dan pendamping LSM.

2. Teknik Pengumpulan Data

(10)

triangulasi peneliti yaitu peneliti melakukan review dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti yang sama atau menggunakan pendekatan sama dengan kajian penelitian ini serta (d) triangulasi teori yaitu peneliti dalam membahas permasalahan yang sedang dikaji tidak menggunakan satu perspektif teori tetapi dikoneksikan dengan teori lain yang memiliki relevansi untuk lebih memperdalam analisa data hasil penelitian ini. Berikut penjelasan dari masing-masing teknik:

a. Teknik Observasi

Observasi yang dimaksud adalah pengumpulan data di mana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang disaksikan selama penelitian.Secara khusus jenis observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif yaitu peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian.

b. Teknik Wawancara

Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan informan.Bentuk komunikasi untuk mendapatkan data dilakukan dalam bentuk tanya-jawab dan hubungan tatap muka.Adapun jenis wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah semiterstruktur (kategori in-depth interview) dimaksudkan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya.Dalam hal ini peneliti menyiapkan panduan wawancara untuk disampaikan kepada informan sesuai dengan kajian penelitian.Kegiatan wawancara dilakukan pada 6 (enam) orang perempuan (istri) keluarga migran.Kategori istri dikelompokkan menjadi dua yakni keluarga migran ada 2 (dua) yaitu keluarga migran yang sejahtera dan tidak sejahtera.

c. Data Sekunder

(11)

3. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan fokus pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan dan penempatan data sesuai konteksnya. Proses analisa data tersebut meliputi: (1) peneliti mengacu pada proposisi teori melakukan pemilihan kasus yang dicermati secara fokus dan mendalam untuk kemudian dilakukan pengembangan deskripsi kasus. Sumber data pada tahap ini diperoleh dari kegiatan observasi partisipan dan wawancara awal; (2) Pada tahap ini peneliti menentukan kategori tertentu dari pembuatan daftar identifikasi kategori untuk kemudian dijelaskan pola yang ada pada setiap kategori. Bila kemudian terdapat kesamaan kemudian dilakukan penjodohan pola sedangkan bila muncul kontras/perbedaan maka dilakukan penjelasan tandingan pola sesuai kategori yang ada; (3) Analisis peristiwa kronologis yaitu peneliti mengorganisasikan hasil identifikasi kategori pada proses sebelumnya untuk dicermati dari aspek waktu melalui tabulasi frekuensi peristiwa yang berbeda dan memeriksa kompleksitas diantara peristiwa yang berbeda tersebut. Dalam proses ini analisis diperoleh dari hasil observasi partisipan dan wawancara tahap kedua; (4) Pada tahap ini peneliti sudah mengintegrasikan ketiga analisis sebelumnya untuk dilihat dan disesuaikan ‘benang merah’nya sehingga menghasilkan ‘kontruksi bangunan’ situasi sosial atau objek penelitian. Keempat kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan di lapangan sehingga menjadi satu siklus penelitian untuk kemudian dapat disusun suatu konklusi atau kesimpulan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Setting Sosial Keluarga Pekerja Migran

(12)

sebenarnya dibangun dalam kerangka kebudayaan Islam. (Abdul Haris,2002). Misalnya adat Merari, Begawe1, dan Roah2 masih sering terlihat di daerah ini.

Ikatan akan keyakinan agama islam yang ada di daerah ini cukup kuat, dan jauh dari hal mistis. Hampir tidak ditemukan kepercayaan-kepercayaan tahayul yang diyakini masyarakat Desa ini. Karena masyarakat Desa Jenggik Utara 100% adalah muslim. Setiap selesai sholat maghrib di setiap masjid maupun mushola yang ada di Desa ini, akan terdengar kajian-kajian maupun semacam dzikir yang suarakan melalui pengeras suara. Hal tersebut berlangsung hingga waktu isya tiba dan kemudian kembali menunaikan sholat berjama’ah.

Selain itu masyarakat Jenggik Utara juga terkenal dengan budaya “ke-TKI-an”, sesperti yang telah dibahas sebelumnya. Menjadi TKI bagi sebagian masyarakat Desa Jenggik Utara adalah bagaikan sebuah “warisan” yang diberikan bagi mereka. Saat ini ada sekitar 504 penduduk dari 5439 penduduk Desa Jenggik Utara yang sedang merantau sebagai TKI ke luar Negeri. Mayoritas mereka merantau ke Negara Malaysia, sebagian ke Arab Saudi dan beberapa negara lainnya yang ada di Timur Tengah.Namun demikian dapat dikatakan mayoritas penduduk Desa Jenggik Utara pernah merasakan menjadi TKI.Dikatakan bahwa menjadi TKI itu merupakan sebuah warisan, karena ketika anak-anak beranjak dewasa yang mulai terlihat adalah bayangan luar negeri.Ada banyak hal yang melatarbelakangi masyarakat Desa Jenggik Utara berangkat merantau menjadi TKI, seperti keadaan ekonomi yang sulit di daerah asal yang dibarengi dengan susahnya memperoleh pekerjaan karena ketersediaan lapangan kerja yang sangat minim.Selain itu juga skill mereka yang sangat minim akibat dari pendidikan yang rendah seperti sebatas tamat sekolah dasar atau sebatas tamat SMP dan SMA, membuat mereka tidak terserap di lapangan kerja yang ada. Berikut ilustrasi dari tingkat pendidikan masyarakat:

1Merari sendiri adalah suatu rangkaian adat suku sasak dalam hal pernikahan yang konsep dan prosesnya sangat mirip dengan syariat Islam. Sedangkan Begawe itu sendiri merupakan acara pesta saat pernikahan tersebut, dimana dalam syariat Islam lebih dikenal dengan “walimatul Urs”

(13)

Tabel 1. Tingkat Pendidikan TKI Desa Jenggik Utara 2016 Tingkat Pendidikan

SD SMP SMA PT Tidak tamat SD Total

Jumlah 208 169 103 6 18 504

Persentase 41,26% 33,53% 20,43% 1,19% 3,57% 100%

Sumber: Lembaga Sosial Desa (LSD) Jenggik Utara, per Februari 2016

Namun, rupanya faktor ekonomi bukan merupakan satu-satunya faktor yang mendorong masyarakat Desa Jenggik Utara untuk menjadi TKI. Selain itu faktor emosional pun tidak jarang menyebabkan mereka untuk memutuskan berangkat merantau menjadi buruh migran ke luar negeri. Kepala Desa Jenggik Utara (2015) menjelaskan bahwa banyaknya kasus kawin cerai juga merupakan faktor yang cukup nyata yang menyebabkan warganya berangkat ke luar negeri untuk menjadi TKI. Bahkan Bu Zuh (2015), seorang aktivis TKI sekaligus anggota LSD Jenggik Utara menjelaskan menjadi TKI seolah-olah merupakan solusi dari setiap permasalahan yang ada, bahkan Ia bercerita ada warga yang memutuskan menjadi TKI hanya karena putus dengan pacarnya. Bahkan dalam sebuah buku (Pergulatan Dari Kancah Kisah Advokasi Buruh Migran NTB, 2010) yang diterbitkan oleh salah satu Lembaga non pemerintah yaitu Plan, dimana dalam buku tersebut ada sebuah tulisan yang menceritakan seorang Tuan Guru Arihinul Kirom yang merupakan pemuka Agama di Lombok Timur, dan juga Ia banyak terlibat dalam permasalahn para TKI. Tuan Guru Kirom (2015) menjelaskan bahwa keberangkatan warga Sasak untuk menjadi TKI tidak melulu disebabkan oleh faktor ekonomi, namun perceraian akibat kegagalan rumah tangga sering kali menjadi penyebab atau pendorong untuk melakukan migrasi. Hal itu semata-mata dilakukan untuk membuang rasa malu dan pelampiasan emosional.

(14)

membutuhkan rumah atau tempat tinggal yang baru.Untuk bisa mewujudkan itu maka masyarakat memerlukan pekerjaan yang layak. Maka tidak heran jika ada banyak sekali anak-anak yang telah ditinggal orang tua mereka sejak masih kecil, terutama Ayah mereka untuk merantau bekerja sebagai TKI ke luar negeri selama bertahun-tahun.

Menjadi TKI tidak selamanya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Untuk para TKI yang bekerja di sektor bangunan, rata-rata upah yang diperoleh adalah 40-50 ringgit perhari.Sedangkan untuk TKI yang ada di sektor perkebunan, rata-rata upah yang diperoleh adal 35 ringgit perhari atau sekitar 105.000 rupiah per hari. Jam kerja yang biasa dilakukan para pekerja baik di sektor bangunan maupun perkebunan, waktu normalnya adalah delapan jam. Jika bekerja lebih dari itu maka akan ada upah tambahan, tergantung kesepakatan kontrak. Pendapatan yang berbeda-beda antar TKI ini ternyata juga berpengaruh pada pola penghidupan keluarga. Hal ini didapatkan dari 6 informan dengan perlakuan kepala keluarga migran yang berbeda. Berikut adalah tabel mengenai gambaran umum dari perempuan keluarga migran yang dibedakan ke dalam dua bentuk keluarga yakni keluarga sejahtera dan tidak sejahtera:

Tabel 1. Profil Informan

Pekerjaan : Pengelola Toko Pribadi

Pekerjaan Suami : TKI di Malaysia (Supir alat berat) Jumlah Remitan yang

diterima

: Rp 2.000.000,00 – Rp 3.000.000,00 (rutin per bulan)

Aset yang dimiliki : Toko pakaian dan sembako

2 Nama : Sumiati

(15)

Profil Keluarga Tidak Sejahtera

Pekerjaan : Penggali batu apung tanah milik sendiri Pekerjaan Suami : TKI di Malaysia (Kuli Bangunan) Jumlah Remitan yang

diterima

: Rp 1.000.000,00 – Rp 2.000.000,00 (rutin pertiga bulan )

Aset yang dimiliki : Tanah tambang seluas 10 are

2 Nama : Mustiari

Usia : 50 tahun

Pendidikan Terakhir : SD

Jumlah Anak : 4 (Tiga sudah berkeluarga, dan anak keempat usia SMP)

Pekerjaan : Buruh penggali batu aung Pekerjaan Suami : TKI di Malaysia

Jumlah Remitan yang diterima

: Rp 3.000.000,00 (rutin pertiga bulan)

Aset yang dimiliki : Rumah permanen

3 Nama : Nuriah

Usia : 47 tahun

Pendidikan Terakhir : SD

Jumlah Anak : 2 (anak pertama sudah bekerja sedang anak kedua berusia 13 tahun)

(16)

Ada beberapa pola umum yang ditemui pada informan, bahwa keberangkatan suami untuk merantau menjadi TKI pada keluarga migran sejahtera, dilakukan paska awal pernikahan. Artinya usia pernikahan muda mendorong suami untuk merantau menjadi TKI ke luar negeri. Seperti keluarga Ibu Marni, keinginan untuk segera memiliki rumah pribadi terlihat jelas dimana empat tahun pertama setelah suaminya bekerja, ia sudah bisa memiliki rumah bahkan membangun sebuah toko. Begitu juga dengan keluarga ibu Sumiati yang bisa membangun rumah dan membeli beberapa petak sawah dan juga tanah. Terdapat perbedaan antara keluarga migran sejahtera dan yang tidak sejahtera. Keluarga migran yang tidak sejahtera cenderung berasal dari keluarga dengan usia pernikahan yang cukup tua.

Terkait hal tersebut maka diperoleh poin dasarnya bahwa keputusan suami untuk berangkat merantau menjadi TKI di luar negeri di usia pernikahan yang masih muda memiliki peluang untuk bisa membentuk dan memiliki kehidupan yang sejahtera, sehingga istri yang ditinggal di daerah asal dapat hidup dengan sejahtera mengelola hasil dari kerja suami dengan optimal. Sedangkan keputusan suami untuk merantau menjadi TKI ke luar negeri ketika usia pernikahan sudah cukup tua, memiliki peluang yang kecil untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga. Walaupun pasti ada peningkatan kualitas hidup namun tidak terlalu signifikan seperti pasangan keluarga migran yang masih muda.

III.2 Perempuan, Kerja dan Penghidupan

(17)

Tabel 2. Gambaran Umum Kondisi Informan Istri Keluarga Sejahtera

No Gamabaran Umum Perempuan Keluarga Migran

1. Ibu Marni ditinggal suaminya merantau menjadi TKI ke Malaysia sejak empat tahun yang lalu saat masih mengandung. Suaminya bekerja sebagai supir alat berat di sektor kontruksi bangunan, setiap bulan sangat rutin memberi kiriman uang sejumlah 2-3 juta rupiah.Dalam kurun waktu empat tahun suaminya bekerja, kini Ia bisa memiliki sebuah toko pakaian dan sembako. Ibu marni sendiri selama ditinggal suaminya, hanya bekerja di rumah mengurus dan mengelola toko hasil kerja suaminya.

2. Ibu Sumiati ditinggal suaminya selama hampir sembilan tahun dan pulang ke daerah asal setiap tiga tahun sekali. Dalam kurun waktu itu telah banyak yang diperoleh hasil dari kerja suaminya. Ibu Sumiati kini telah membeli sejumlah tanah dan area persawahan, dimana hasil dari sawah tersebut pada musim panen terakhir, Ia dapat menghasilkan Padi sebanyak 2,5 Ton. Dalam setahun Ia bisa memperoleh tiga kali panen. Di samping mengelola sawah dan tanah yang Ia miliki, ibu Sumiati juga memiliki pekerjaan sampingan membuat kerajinan berupa keranjang dari anyaman bambu, dimana setiap minggunya Ia bisa menghasilkan uang sebanyak Rp 160.000 dari hasil kerajinan tersebut. Ia ikut kelompok pengrajin anyaman bambu di dusunnya, dusun ceret lauq. Dimana kelompok pengrajin tersebut mendapatkan dana dari Dinas Sosial sejumlah 40 juta rupiah untuk dua kelompok pengarajin yang ada di dusun tersebut. Kebanyakan anggota dari kelompok pengrajin tersebut adalah berasal dari istri migran.

Suaminya sendiri sampai saat ini masih tetap mengirimi uang secara rutin setiap bulan, sejumlah 5-6 juta rupiah. Namun terkadang hasilnya dibagi dengan mertua yang selalu meminta bagian dengan jumlah yang banyak. Selain itu perlakuan yang tidak ramah dari mertuanya sering didapatkan, seperti melarang ibu sumiati ikut berkumpul dengan para ibu-ibu pengrajin anyaman lainnya, atau sekedar pergi mengikuti kegiatan Desa. Hal ini membuat ibu sumiati merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut.

Istri Keluarga Tidak Sejahtera

No Gambaran Umum Perempuan Keluarga Migran

1. Ibu Mariani ditinggal oleh suaminya merantau menjadi TKI di Malaysia sebagai Kuli bangunan sejak delapan tahun yang lalu. Selama kurun waktu tersebut suaminya telah dua kali pulang ke rumah. Hasil yang diperoleh suaminya sebagai seorang TKI dibelikan sebuah rumah dan sebidang tanah lahan batu apung seluas 10 are. Sebelum menjadi TKI ibu Mariani bersama suaminya tinggal di rumah mertua (orang tua suaminya). Suaminyatergolong rutin dalam mengirim uang, sekitar 1-2 juta pertiga bulan. Namun jumlah tersebut masih kurang sehingga ibu mariani ini bekerja menggali batu apung yang di ambil dari tanahnya sendiri.

(18)

sehari ia bisa memperoleh Rp 15.000 – Rp 20.000. uang itu digunakan untuk mencukupi keperluan sehari-hari.

2. Ibu Mustiari ditinggal suaminya merantau ke Malaysia untuk bekerja sebagai TKI sejak lima tahun yang lalu, dan hanya pernah pulang sekali selama kurun waktu tersebut. Ibu mustiari menjelaskan kemungkinan ini adalah periode terakhir suaminya bekerja di Malaysia karena usia yang sudah cukup tua. Ibu Mustiari tinggal bersama Anak ke empatnya yang masih sekolah di sekolah menegah pertama, dan juga seorang cucunya yg masih kecil yang merupakan anak dari anaknya yang ke dua.

Suaminya rutin mengirimi uang selama tiga bulan sekali sejumlah tiga juta rupiah. Dari kiriman suaminya tersebut, Ia dapat merenovasi rumahnya yang dahulu belum permanen (rumah bedek), dan sekarang rumahnya sudah permanen. Disisi lain anaknya yang menjadi TKI pun pernah mengirimi uang kepadanya, namun waktunya sangat tidak tentu, pernah dikirimi oleh kedua anaknya yang ada di Malaysia sejumlah empat juta rupiah, namun itu hanya sesekali saja. Oleh karenanya Ibu Mustiari merasa kiriman dari Suaminya dan juga anaknya tidak cukup, maka Ia pun bekerja menggali batu apung di lahan milik orang lain. Sehari Ia bisa mendapatkan lima karung batu apung, dimana harga sekarungnya di jual ke pemborong seharga Rp 4000,-. Namun Ibu Mustiari harus memberikan bagian ke pemilik lahan sejumlah RP 1000,- dari setiap karung yang dijualnya. Sehingga total pengahsilan bersih perhari Ibu Mustiari adalah sekitar Rp 15.000,-. Uang itulah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

3. Ibu Nuriah memiliki dua anak. Anak pertamnya adalah laki-laki seorang mantan TKI dan kini bekerja di salah satu perkebunan sawit di Kalimantan. Anaknya yang kedua masih berusia 13 tahun. Kini Ibu Nuriah hanya tinggal berdua dengan anaknya yang kedua. Ditinggal suaminya sejak lima tahun yang lalu. Suami Ibu Nuriah tergolong tidak rutin dalam mengirimi uang, kadang tiga bulan sekali atau bahakn lebih dari tiga bulan. Sekali mengirimi uang jumlahnya sekitar 2-3 juta rupiah. Menurut Ibu Nuriah uang kiriman dari suaminya tidak bisa terlalu diandalkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka ia bekerja sebagai buruh tani di lahan persawahan atau pun kebun milik orang lain. Namun sebagai buruh tani, tentu penghasilannya sangat tidak rutin dan menentu, karena pekerjaan tersebut tergantung dari panggilan atau permintaan dari pemilik lahan. Jika di bekerja di kebun seharian, Ia bisa memperoleh bayaran sampai Rp 40.000,- sedangkan jika bekerja di sawah seharian Ia bisa memperoleh bayaran sekitar Rp 25.000,- . tidak tentu dalam sepekan Ia bisa bekerja berapa hari, karena tergantung permintaan dari pemilik lahan.

4. Ibu Hartini ditinggal suaminya sejak empat tahun yang lalu merantau menjadi TKI bekerja di salah satu perkebunan di Malaysia. Selama bekerja menjadi TKI, hasil yang diperoleh adalah sebuah rumah dan seekor sapi. Dulu Ibu Hartini dan suaminya masih tinggal bersama orang tuanya, namun kini sudah memiliki rumah sendiri sebagai hasil dari kerja suaminya menjadi TKI di Malaysia.

(19)

sekali pengiriman adalah 2-3 juta rupiah. Suaminya pernah mengirimi uang lebih dari tiga juta rupiah, yakni ketika suaminya menang arisan di Malaysia namun itu hanya sesekali saja. Karena menurut Ibu Hartini uang yang dikirimi suaminya dirasa belum cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari, maka Ia bekerja sebagai buruh tani. Sama halnya dengan Ibu Nuriah, sistem kerja Ibu Hartini sebagai buruh tani sangat tergantung panggilan pemilik lahan, dan mengenai upah yang diperoleh pun sama halnya dengan Ibu Nuriah.

Sumber : Data Primer, 2016

Secara praksis dapat diamati bahwa etos kerja yang tinggi berada pada kelompok perempuan keluarga migran yang tidak sejahtera. Terlihat dari jenis pekerjaan yang digeluti perempuan keluarga migran tidak sejahtera rata-rata berpenghasilan harian. Hal ini di dorong adanya kebutuhan sehari-hari yang belum bisa dipenuhi. Selain itu tidak banyaknya sektor pertanian yang mampu menampung mereka kemudian menempatkan mereka pada sektor pekerja non pertanian, salah satunya dengan pemecah batu. Secara rasional pekerjaan ini dinilai lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan dari pada harus menunggu remitan dari suami. Seperti dalam wawancara dengan Ibu Mariani (35), sebagai berikut :

“Saya punya 2 anak dan masih usia sekolah semua. Sedangkan uang kiriman suami saya sekitar 1-2juta, itupun pertiga bulan. Itu tidak cukup,karena mertua juga minta jatah makanya saya bekerja untuk menggali batu apung dan saya jual batunya. Penghasilannya lumayan lah karena itu tanah sendiri juga” Kata Ibu Mariani (Wawancara Januari,2016).

Sama halnya dengan Ibu Nuriah (47), seorang buruh tani yang merasa bahwa remitan suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sehingga membuatnya harus bekerja lagi. Seperti yang dipaparkan sebagai berikut :

“Anak saya 2, yang satu sudah bekerja. Disini kan saya tinggal berdua sama Lia anak saya usianya baru 13 tahun. Suami kalau kasih kiriman ya nggak mesti kadang tiga bulan sekali kadang lebih dari itu. Jadi tidak bisa diandalkan, itu sebabnya saya cari kerja lagi untuk menutup kebutuhan sehari-hari jadi buruh tani.” Ibu Nuriah (Wawancara November,2015).

(20)

terlihat saat observasi wilayah dimana masyarakatnya begitu menjunjung tinggi nilai-nilai islam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

III.3 Mengelola Aset, Membangun Kesejahteraan Keluarga

Pengelolaan dan pemeliharaan aset yang dimiliki oleh perempuan (istri) yang baik dapat ‘memperpanjang daur hidup’ keluarganya. Perempuan memiliki kapasitas dalam pengelolaan ‘sumber aset’ keluarga termasuk finansial (dana). Perempuan melalui berbagai upaya aktivitas produktif baik dengan bekerja mencari nafkah tambahan bagi keluarga juga bergabung dengan kegiatan sosial seperti kelompok pengajian (mualimat) yang memungkinkan perempuan mempererat relasi sosial. Dalam hal ini, ada mekanisme lain yang sebenarnya menjadi solusi ekonomi bagi keluarga migran adalah adanya arisan yang diikuti oleh suami di lokasi bekerja. Seperti yang dialami oleh Ibu Hartini (50) sebagai berikut:

“Suami saya tidak rutin kalau mengirim. Kadang 2 atau 3 bulan sekali sebanyak 2-3 juta. Itupun tidak pasti karena juga untuk hidup suami disana. Kadang terbantu dengan uang arisan suami. Karena suami ikut arisan di lokasi dan kalau pernah kirim lebih dari 3 juta” Tutur Ibu Hartini (Wawancara Januari, 2015).

(21)

Tabel 3. Pemilikan Modal/Aset Keluarga Migran

Modal Fisik (Physical Capital) ▪ Fasilitas penyaluran air bersih rumah tangga oleh desa

▪ Jalan aspal sepanjang 1,9 km oleh desa

▪ Jumlah gedung sekolah (TK-SMA) : 15 unit

▪ Fasilitas kesehatan: Poskesdes dan Polindes

▪ Pasar tradisional di desa sejumlah 1 unit

▪ Jumlah Musholla di desa ada 20 unit dan Masjid sejumlah 6

Modal Sosial (Social Capital) ▪ Kelompok pengrajin

▪ Kelompok pengajian ibu-ibu

Dari tabel di atas memberikan gambaran umum tentang kepemilikan modal/aset yang dimiliki oleh perempuan (istri) keluarga migran. Perbedaan mendasar ada pada kepemilikan modal natural (SDA), modal manusia dan finansial. Adanya keterbatasan ketiga modal ini pada kategori keluarga tidak sejahtera menjadikan perempuan ini melakukan beragam strategi mendayagunakan modal dan akses terbatas ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan di luar sektor pertanian dan mengandalkan tenaga fisik dengan bayaran murah tetap menjadi pilihan atau alternatif bagi perempuan ini sehingga mampu ‘menyelamatkan dapur’ keluarga.

(22)

Rutinitas kiriman dan jumlah yang dikirim sangat memengaruhi perubahan kualitas hidup dan etos kerja para istri keluarga migran yang berada di daerah asal. Perubahan kualitas hidup terlihat dari hasil yang diperoleh, misalnya Ibu Marni dan Sumiati. Ibu Marni dalam waktu empat tahun suaminya bekerja menjadi BMI, dengan kiriman yang rutin di setiap bulannya Ia mampu mendirikan sebuah toko pakaian dan sembako sebagai usahanya. Sedangkan Ibu Sumiati dalam waktu sembilan tahun suaminya bekerja dengan kiriman yang rutin di setiap bulannya, Ia bisa membeli rumah, beberapa lahan persawahan dan juga tanah. Dari hasil yang diperoleh tersebut, mereka cukup mengolah dan mengembangkan usaha yang ada, sehingga jika suatu waktu suami mereka berhenti menjadi BMI, mereka tetap bisa mendapatkan pendapatan untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Lain halnya dengan mereka para istri BMI yang kiriman uangnya tidak rutin atau jenjang waktu pengirimannya cukup lama dari suami. Kiriman yang datangnya sekali dalam tiga bulan, membuat para istri harus bekerja produktif untuk mengisi kekosongan pendapatan sampai kiriman dari suami datang. Karena tingkat pendidikan para istri migran yang rendah, akhirnya sektor pekerjaan yang bisa mereka dapatkan sangat terbatas, seperti buruh tani atau pun penggali batu apung.

IV. KESIMPULAN

Keterlibatan perempuan dalam pencarian nafkah bagi keluarga sebenarnya merupakan salah satu bentuk ‘tekanan’ dari adanya peran domestik perempuan berupa tanggung jawab untuk mengelola ‘sumber daya keluarga’ yang berimplikasi pada kesejahteraan keluarga. Meskipun suami secara normatif di beri beban mencari nafkah atau sumber nafkah utama bagi keluarga, perempuan secara praktik dalam keluarga memegang tanggung jawab penuh atas terpenuhinya kebutuhan sehari-hari keluarga termasuk upaya perempuan dalam ‘penyelamatan’ dari kondisi kemiskinan.

(23)

tidak sejahtera. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah penerimaan remitan dan juga kebutuhan hidup. Perempuan keluarga migran sejahtera cenderung mengeloa aset yang dimiliki seperti toko dan sawah. Sedangkan bagi perempuan keluarga tidak sejahtera memiliki pekerjaan sampingan di sektor jasa yakni penggali batu apung dan buruh tani untuk menutup kebutuhan hidup.

Strategi penghidupan yang dimunculkan oleh para perempuan (istri) yang ditinggalkan oleh suami mereka menjadi BMI merupakan konsekuensi dari pilihan pengambilan keputusan dalam keluarga. Harapan akan penghasilan keluarga yang memadai khususnya bagi keluarga migran kategori tidak sejahtera menjadi sebuah ‘janji surga’ yang menjadikan perempuan (istri) mendayagunakan sumber daya atau aset dan akses yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kondisi sama juga terjadi pada kategori keluarga sejahtera tetapi pada bentuk aktivitas berbeda yaitu mereka bekerja atau melakukan aktivitas produktif dalam rangka memelihara dan meningkatkan aset keluarga. Dengan demikian, kepemilikan aset dan penghidupan keluarga migran tersebut dapat mempengaruhi strategi perempuan dalam menjawab permasalahan keluarga khususnya kebutuhan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah dan Baiquni.Strategi Penghidupan Masyarakat Pasca Bencana Alam Gempa Bumi 30September 2009 di Kota Padang (Studi Kasus Kelurahan Kampung Pondok dan Kelurahan Purus, Kecamatan Padang Barat).diunduh melalui www.lib.geo.ugm.ac.id

Agustus 2014.

Elisa, Siti Nur.2015. Etos Kerja dan Kontribusi Ekonomi Perempuan Penambang Pasir di Kaligarang Semarang. diunduh melalui www.lib.unnes.ac.id April 2016.

Haris, Abdul. 2002. Memburu Ringgit, Membagi Kemiskinan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Mubyarto,dkk.1991.Etos Kerja dan Kohesi Sosial.Yogyakarta: Penerbit Aditya Media.

Mahmud, Muh Arba’in.2015. Gender dan Kehutanan Masyarakat (Kajian Implementasi Pengarus-Utamaan Gender di Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan).Yogyakarta : Deepublish.

(24)

Permana,Estya.2014.Pengaruh Keberadaan Taman Nasional Gunung Merapi terhadap Strategi Nafkah Masyarakat Desa Hargobinangun.Makalah kolokium.

Puspitasari, Dewi Cahyani,dkk.2014.Strategi Penghidupan Berkelanjutan (Studi Pada Masyarakat di Lokasi Rawan Bencana Gunung Merapi). Laporan Penelitian, FISIPOL,UGM.

Widiyanto.2010. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Kasus Komunitas Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing Sindoro.Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.

Artikel Berita “Sepanjang 2014 BNP2TKI Mencatat Penempatan TKI 429.872 Orang”. 16 januari 2015. Diakses dari situs http://www.bnp2tki.go.id/readfull/9801/Sepanjang-2014-BNP2TKI-Mencatat-Penempatan-TKI-429.872-Orang (29/08/2015).

Sumber Lain

Data Wawancara Penelitian tahun 2015.

Dokumentasi Pergulatan Dari Kancah: Kisah Advokasi Buruh Migran Nusa Tenggara Barat, Plan International Program Unit Dompu.

Arsip Desa Jenggik Utara tahun 2015.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Strategi Penghidupan
Gambar 2. Konseptualisasi Penelitian
Tabel 1. Tingkat Pendidikan TKI Desa Jenggik Utara 2016
Tabel 1. Profil Informan
+2

Referensi

Dokumen terkait

penggunaan waktu, gerak, cara memotivasi siswa, teknik bertanya, teknik penguasaan kelas, penggunaan media, dan bentuk dan cara evalusi. Sedangkan perilaku siswa

Adalah Nabi Ibrahim, sang kekasih Tuhan (khalilullah), yang salah satu keistimewaan yang oleh Tuhan diberikan kepadanya ialah ke-mustajab-an dalam doa. Nabi Ibrahim

Menyediakan rancangan pelajaran untuk tempoh setahun / harian bagi mata pelajaran yang diajar dalam Buku Rekod Mengajar.. Menjalankan proses Pengajaran dan Pembelajaran yang

Ciri khas yang ingin ditunjukan adalah warna- warna natural seperti coklat dan hijau dengan menggunakan kayu dan elemen tanaman, dengan memberikan konsep rustic yang menunjukan

Penyelenggara akan melakukan berbagai tindakan untuk melindungi pengunjung serta menjamin segala fasilitas pameran dalam kondisi baik, antara lain dengan menempatkan

Sistem Pengoperasian Rangkaian sesama pelanggan (peer-to-peer) membenarkan pengguna berkongsi sumber-sumber dan fail-fail yang terdapat pada komputer peribadi masing-masing

Sekilas pengetahuan saya tentang kegiatan ini Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah suatu kegiatan pengabdian diri mahasiswa kepada masyarakat yang harus tinggal di sebuah desa dalam

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan selama 6 minggu dan mengahasilkan data-data yang diperlukan sebagai bahan analisis menggunakan rumus-rumus statistika sehingga