• Tidak ada hasil yang ditemukan

GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN NILAI PROGRAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN NILAI PROGRAM"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN NILAI

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)

Mata Kuliah Globalisasi Dan Standarisasi Pendidikan

Dosen Pengampu: Dr. H. Purwadi, M.Pd

Oleh:

Pedi Ahmad Hambali

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

PROGRAM PASCA SARJANA

(2)

GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN NILAI

Meskipun tidak selalu disebutkan secara eksplisit pernyataan bahwa globalisasi mempunyai implikasi atau bahkan dampak atas berbagai Negara atau berbagai bangsa tampaknya didasarkan atas dua asumsi. Pertama, sekurang-kurangnya sampai tarap tertentu, pelaku atau subjek globalisasi adalah Negara-negara industry maju. Dengan kata lain globalisasi sampai tarap tertentu merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan Negara industry maju. Kedua, kehawatiran, kecemasan atau bahkan ketakutan akan pengaruh atau dampak globalisasi terutama yang bersifat negative umumnya dirasakan terutama oleh Negara berkembang.

A. Globalisasi dan Negara-Bangsa

Globalisasi bukan hanya abad ke 20 atau 21, prosesi tu sudah mulai berabad-abad yang lalu ketika manusia berhasil mengelilingi dunia oleh para pionir seperti Marcopolo, Magelan dan Colombus. Jadi globalisasi berawal dri trasfortasi dan komunikasi tetapi dampaknya segera terasa dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang mungkin pada awalnya memang menjadi tujuan utama komunikasi dan trasfortasi global. Apa yang membuat globalisasi sebagai suatu kecenderungan yang mencolok sejak akhir abad yang lalu, dan yang membedakannya secara tajam dari proses globalisasi dengan abad-abad yang lalu adalah factor kecepatan. Ini dikarenakan oleh kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi khuusnya dalam bentuk computer dan internet, maupun kemajuan pesat dalam bidang trasfortasi khususnya penerbangan antarbenua.

(3)

(floating) nilai mata uang mereka pada dollar. Itu berlangsung sampai sekarang, inilah yang menyebabkan ketergantungan nilai mata uang dunia kepada US dollar.

Didukung oleh kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, kecenderungan itu membantu mempercepat arus modal pada tingkat global, meningkatkan perdagangan internasional dan perdagangan modal asing. Pada gilirannya, hal itu memicu kelahiran dan perkembangan perusahaan-perusahaan multinasional (multinasional corporate) dan lembaga-lembaga moneter dan finansial internasional yang kuat seperti internasional monetary fund (IMF) dan world bank. Inilah actor-aktor atau pelaku non Negara-bangsa (non-state actors) dalam politik internasional yang didukung oleh Negara besar industry maju khususnya USA, jepang dan Negara eropa barat. Actor-aktor baru inilah yang skala kegiatannya bersifat transnasional dan global, telah menembus batas-batas Negara bangsa, yang seringkali dikatakan semakin lama semakin tidak penting. Dunia menjadi “tanpa batas”. Inilah akhir dari Negara bangsa.

Hal itu bukanlah isu yang sama sekali baru. Sejak perang dunia 2, sejak lahirnya pesawat pembom dan terutama diciptakannya bom atom, orang sudah berpikir demikian tentang Negara bangsa. Sebenarnya pembuatan pesawat pembom sebagai hasil kemajuan dari teknologi komunikasi dan transfortasi—dan sebagai delivery system lebih penting daripada kelahiran bom atom itu sendiri bagi dampak atas batas Negara bangsa.

B. Implikasi Sosial Budaya

Globalisasi telah menciptakan dunia yang semakin terbuka dan saling ketergantungan antar Negara dan antar bangsa. Negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia kini bukan saja saling terbuka terhadap satu sama lain, tetapi juga saling tergantung, kalaupun saling ketergantungan (interdependensi) itu akan senantiasa bersifat asimetris, artinya satu Negara lebih tergantung pada Negara lain daripada sebaliknya. Karena saling ketergantungan dan saling keterbukaan ini, semua Negara pada pronsifnya akan terbuka pada pengaruh globalisasi.

(4)

yang disebutkan di atas, lebih bertindak sebagai pelaku atau subjek sedangkan kelompok Negara berkembang lebih sebagai sasaran atau obek globalisasi.

Kadar ketahanan (recillience) yang rendah dari Negara-negara berkembang dan dengan demikian kadar yang tinggi pengaruh globalisasi atas Negara-negara ini dalam bentuk krisis moneter, finansial, dan ekonomi tergantung bukan hanya pada kualitas SDM, tetapi juga pada kelemahan fungsi lembaga-lembaga social, politik, ekonomi, dan finansial serta pola dan kebiasaan budaya bangsa di Negara berkembang. Misalnya dalam hal etos kerja. Dalam kasus Indonesia, krisis yang berlangsung telah begitu parah terutama disebabkan oleh tidak berfungsinya system politik secara efektif. Sebab itu, tidak mengherankan kalau krisis moneter telah segera diikuti oleh krisis politik yang berkepanjangan (dari tahun 1998 sampai sekarang) yang ditandai oleh gejolak social yang kelihatan tidak kunjung berakhir. Dan keragaman bangsa, bukan saja dalam hal penduduknya dengan berbagai latarbelakang keagamaan, suku, orientasi budaya, tetapi juga dalam arti geografis karena Indonesia merupakan negarra kepulauan paling besar di dunia, telah membuat krisis itu menjadi krisis multidimensional.

Tidak kalah pentingnya adalah kenyataan bahwa globalisasi menyebabkan arus yang begitu cepat dan tidak dapat dibendung dari begitu banyak dan beragam informasi. Dan arus informasi ini membawa kita tidak hannya pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan diantaranya nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing bagi banyak bangsa di Negara berkembang. Apakah nilai-nilai itu bersifat negative atau positif, dapat diterima atau tidak, akan bergantung sebgaian pada nilai-nilai budaya dan tradisional yang telah berlaku dan dihayati di berbagai Negara berkembang. Mungkin semakin berkembangnya kebiasaan yang mengglobal dalam hal gaya hidup, seperti pola berpakaian, kebiasaan makan, dan kegiatan rekreasi yang semakin seragam khususnya di kalangan kaum muda di banyak Negara berkembang tidak banyak merugikan, kecuali mungkin yang menyangkut implikasi social dan ekonomi Negara-negara bersangkutan.

(5)

saja diikuti oleh kaum muda, tetapi juga oleh keluarga untuk mengunjungi rumah makan seperti itu dapat membantu menonjolkan kesenjangan social ekonomi. Disini apa yang pada permukaan kelihatan harmless itu dapat mempunyai implikasi moral yang negative.

Yang dapat lebih serius implikasi dan pengaruhnya adalah arus dan semakin menyebarnya nilai-nilai tertentu seperti materialism, konsumerisme dan hedonism, penggunaaan kekerasan dan narkoba yang jelas dapat merusak moral masyarakat dan kehidupan Negara bangsa di Negara berkembang, terutama generasi mudanya yang lebih vulnerable dan impressionable. Negara berkembang dalam hal ini menghadapi dilemma. Pola atau gaya hidup baru dan berbagai nilai itu terbawa oleh arus globalisasi dengan arus informasi yang tidak bisa dibendung melalui kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti media masa, tv dan internet. Dalam teori memang bisa Negara berkembang dapat menghadang dan mencegah arus informasi melalui peralatan teknologi modern seperti itu, tetapi masalahnya ekonomi Negara berkembang juga semakin terintegrasikan dengan perekonomian dunia dalam bentuk impestasi yang menghadirkan MNC dan badan moneter dunia seperti IMF dan world bank. Melarang penggunaan kemajuan teknologi dalam bidang-bidang itu Negara berkembang akan ketinggalan. Sebaliknya sarana itu mempunyai resiko dan harga yang mahal tidak semata dalam arti finansial, tetapi dalam arti social budaya dan moral. Karena arus nilao yang menyertaninya tidak dapat disaring. Itlah harga yang harus dibayar bagi kemajuan dan kemakmuran.

Sebab itu masalah yang dihadapi Negara berkembang bukanlah bagaimana melawan globalisasi karena hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa harga dan resiko yang tinggi pula. Begitu pula kita tidak dapat bersikap apriori menolak apa saja yang dating bersama globalisasi itu, misalnya dengan dalih itu semua adalah budaya dan nilai-nilai barat yang serta merta dinilai sebagai bertentangan dengan tradisi dan nilai-nilai budaya kita. Sebagian dari nilai-nilai yang dibawanya juga bersifat positif sehingga jika pperlu kita mengubah budaya kita, tidak semuanya harus sesuai dengan budaya dan kepribadian bangsa yang juga tidak semuanya positif. Budaya dan kepribadian bersifat dinamis, kontinusly in the making tidak statis.

(6)

yang sama kita tetap bersikap terbuka terhadap kemungkinan masuknya pikiran-pikiran dan nilai-nilai baru yang positif dan menguntungkan kemajuan social politik ekonomi maupun budaya kita sendiri. sebaliknya kita harus bersikap selektif dan berusaha untuk menyaring nilai-nilai dan sekaligus menanamkan nilai-nilai-nilai-nilai moral pada generasi muda kita untuk mempersipkan dalam menghadapi tantangan globalisasi, yang sudah dihadapi dan sedang dialami dan akan terus dialami. Disinilai arti bagi pendidikan nilai untuk generasi muda. Tanpa usaha itu, untuk mempersiapkan mereka menghadapi masa depannya kita akan mengalami krisis nilai karena masuknya nilai-nilai baru dapat mengacaukan system nilai. Krisis nilai itu sebenarnya sudah lama kita rasakan tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

C. Pendidikan Nilai

Pendidikan nilai ditujukan pertama pada penanaman nilai-nilai untuk menangkis pengaruh nilai-nilai negative atau yang cenderung mendorong nilai-nilai negative dalam artian moral yang meupakan akibat arus globalisasi. Untuk memerangi kecenderungan materialism, konsumerisme dan hedonism, misalnya yang dapat dibawa atau sekurang-kurangnya didorong oleh arus globalisasi kita menanamkan nilai kesederhanaan dan cintakasih kepada sesame. Kita juga menanamkan pemahaman dan penghayatan nilai keadilan karena kecenderungan materialism konsumerisme dan hedonism sebenarnya dapat dianggap sebagai cermin egoism, kurang cinta kasih dan kurang kepedulian terhadap orang lain. Kecenderungan-kecenderungan itu juga dapat menonjolkan kesenjangan social. Sebaliknya, untuk dapat bersikap akomodatif terhadap nilai yang positif khususnya HAM dan nilai-nilai demokrasi kita tanamkan pada generasi muda pemahaman tentang ham dan nilai demokrasi.

Kesulitan dalam Negara berkembang seperti Indonesia yang beragam atau majemuk dalam pengertian etnis, rasial, dan keagamaan adalah menemukan dan mengambangkan nilai-nilai moral yang universal yang merupakan nilan bersama (common), kendati perbedaan latarbelakang keagamaan atau perbedaan adat istiadat karena latarbelakang rasial atau etnik. Ini bukan masalah yang mudah tetapi pendidikan nilia-nilai moral yang universal merupakan proses belajar terus menerus bagi semua orang dan semua golongan.

(7)

dari pengajaran agama. Misalnya pendidikan agama islam, harus membuat orang islam menjalankan agamanya dengan baik. Di sekolah, pendidikan agama islam sebagai basis nilai hanya sebatas ilmu dan pengetahuan saja.

UU no 20 tahun 2003 mengenai system pendidikan nasional mengarahkan pada pembentukan manusia yang memiliki penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang utuh. Terlebih, kurikulum tahun 2013 mengarahkan setiap insan untuk membentuk karakter keindonesiaan yang siap dalam menghadapi tantangan era pasar bebas yang hanya tinggal menghitung hari. Namun, rancunya dalam ruang kelas, pengajaran masih bersifat kognitif dan lebih cenderung berfokus pada pengajaran mata pelajaran yang sebenarnya belum sampai ke arah pendidikan karakter.

Harus ada perubahan paradigma agar apa yang menjadi tujuan pendidikan bisa tercapai. Perubahan paradigma dalam dalam pemahaman dan metode senafas dengan gerakan humanism yang memberi penghargaan pada pribadi manusia sebagai subjek dan agen perubahan. Dalam hal ini, proses pembelajaran yang transpormatif dan partisipatif berupaya menjadikan peserta didik dan situasi hidup mereka sebagai starting pint proses pembelajaran. Hal ini dikatakan Johnston bahwa tindakan, aktivitas, kehidupan, berbuat (doing) merupakan kondisi esensial untuk pembelajaran. Dari ungkapan tersebut menjadi jelas bahwa pendidikan dan penanaman nilai-nilai bukan hanya persoalan knowledge, tetapi persoalan bagaimana pengetahuan tentang nilai tersebut dapat dibatinkan dan dijadikan milik pribadi yang bersangkutan yang tentunya akan memengaruhi cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak seseorang (mengubah habitus). Oleh karena itu proses pembelajaran tidak cukup hanya dengan menggunakan cara tradisional-skolastik. Untuk bisa melampaui cara belajar tradisional tersebut ada beberapa cara yang bisa digunakan:

Learning by doing and exposure (kuliah lapangan, kunjungan museum, kunjungan sosial). Melalui kegiatan tersebut para peserta didik diajak untuk melihat sendiri secara langsung di lapangan, mengamati dan mendengar apa yang sesungguhnya terjadi. Kemudian mereka membuat refleksi tentang nilai-nilai apa yang mereka dapat pelajari melalui exposure tersebut. Perasaan yang muncul pada saat mreka melihat realitas dan berinteraksi dengan orang-orang dan situasi?

(8)

mengalami dan merasakan perjumpaan dengan orang yang berbeda keyakinan agama dan kepercayaannya.

Learning by exploring and appreciating (film dan karya seni lain). Melalui media film, nilai-nilai apa yang dapat dipejari dan reaksi apa yahg muncul pada saat mereka melihat situasi yang ditayangkan dalam film. Pada saat peserta didik melihat adegan kekerasan yang dilakukan terhadap orang yang tak bersalah apakah dalam diri mereka muncul kemarahan moral atau bersikaf indeferent? Rasa kemanusiaan dan bela rasa dapat dipupuk dan dipertajam mellui analisis atas film-film bermutu. Bagaimana mereka dapat menghubungkan apa yang disampaikan dalam film dengan kenyataan hidup sehari-hari.

Learning by living in, peserrta didik diajak tinggal untuk beberapa lama di suatu daerah atau lingkungan untuk mengamati, mengalami dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Nilai-nilai apa yang mereka pelajari dari pengalaman tersebut? Apakah ada sesuatu yang menggetarkan kesadaran dan nurani mereka pada saat mereka tinggal dan berinteraksi dengan dunia luar?

Problem solving method, sebagaimana dikembangkan oleh John Dewey. Di dalam metode problem solving ini, peserta didik dilatih untuk menyadari bahwa ada persoalan, lalu mengidentifikasi dan memahami persoalan tersebut, menganalisisnya dengan tujuan untk menggali akar penyebabnya, membuat hipotesis atas jalan keluar yang ditawarkan dan mengujinya di dalam praksis, apakah jalan keluar yang diantisipasi sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Melalui metode pemecahan masalah, para peserta didik dipicu daya kreasi dan imajinasinya untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya. Metode pembelajaran ini mensyaratkan kemauan dan kemampuan untuk terus belajar.

Case study method, melalui metode study kasus peserta didik dilatih untuk melihat persoalan-persoalan hidup dari pelbagai sudut pandang. Melalui metode ini perserta didik diajak untuk bekerja sama dan berinteraksi dalam upaya mencari pemecahan atas pelbagai persoalan yang dihadapi. Dengan demikian para peserta didik bukan hanyamengetahui dan memahami pelbagai teori, tetapi juga mahir dalam menerapkan teori dan prinsip-prinsip ke dalam praksis hidup yang konkrit.

(9)

didik harus diberi ruang kebebasan berekspresi dan berkreasi guna memunculkan inovasi-inovasi baru. Dengan demikian, pemikiran originalitas peserta didik sungguh digali dan dieksplorasi.

Metode pendidikan yang berorientasi pada problem solving berusaha mengembangkan kemampuan orang untuk memahami cara mereka berada secara kritis, mereka melihat dunia bukan sebagai realitas statis, melainkan dunia yang senantiasa bergerak dalam proses perubahan, dinamis. Konsep pendidikan ini diarahkan pada upaya membangkitkan kesadaran kritis dan memberdayakan para peserta didik sehingga mereka mampu mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi. Di samping itu, konsep pendidikan tersebut memampukan peserta didik untuk berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungannya, membongkar kepalsuan dan kebohongan ideologis yang telah membodohkan dan menyengsarakan kaum tertindas dan lemah. Dengan konsep pendidikan yang berorientasi pada pemecahan masalah, seorang guru dalam tugasnya sebagai pendidik harus menghargai pola pikir dan perspektif peserta didik. Dalam konteks ini, guru memiliki peran sebagai fasilitator, guide dan stimulator.

Pendidikan yang transformative dan partisipatif mensyaratkan adanya perubahan metode pembelajaran dari pembelajaran yang terisolir dari realitas hidup menuju pembelajaran yang terlibat dalam pergumulan hidup masyarakat dan lingkungan. Hal ini berkaitan dengan materi pembelajaran. Apakah materi diajarkan di sekolah berkaitan dengan prsoalan-persoalan kehidupan konkrit atau malah mengawang-awang, tidak membumi. Sebagai contoh berkaitan dengan soal pemberantasan korupsi; bagaimana moral social ini juga sungguh disentuh dalam kurikulum sekolah sehingga membentuk habitus baru dalam diri peserta didik untuk menghidupi rasa keadilan dan tanggungjawab social serta membentuk kesadaran moral yang baik. Persoalan kerusakan ekologis juga seharusnya dimasukan ke dalam kurikulum sehingga para peserta didik sejak awal diberi wawasan ekologis dan ditumbuhkan kesadaran dan kepekaannya melalui proses pembelajaran bagaimana para peserta didik dipertajam kemampuannya untuk mengagumi keindahan ciptaan dan memuji penciptanya. Dalam konteks ini, nilai-nilai etis, estetis dan religious dihayati dalam diri peseta didik.

(10)

langkah-langkah dan prosedur yang harus dijalani sebelum sampai pada hasil akhir. Melalui proses inilah para peserta didik dilatih untuk mencerap dan menghayati nilai-nilai yang akan memengaruhi cara berpikir dan bertindak.

Perubahan dari pendidikan yang mendominasi dan menindas menuju pendidikan yang membebaskan dan menyadarkan. Pendidikan yang membebaskan menuntut adanya perubahan sikap guru yang mulanya indoktrinatif menuju sikap pemberdayaan dan penyadaran para peserta didik. Proses pemberdayaan dan penyadaran ini difasilitasi oleh guru dan akan membangkitkan ketertarikan peserta didik pada nilai-nilai yang ditemukan melalui proses pembelajaran. Ketertarikan pada nilai ini akan mendorong peserta didik untuk menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan konkrit atas dasar prinsif kebebasan, bukannya paksaan.

D. Simpulan

Dalam pendidikan moral, metode naratif dapat digunakan sebagai sarana penanaman nilai-nilai moral yang dihayati dan dipraktikan oleh tokoh-tokoh dalam yang diceritakan dalam sebuah cerita. Dalam konteks ini peran guru dalam menstimulasi daya kreasi dan imajinasi peserta didik untuk memahami dan berempati menjadi sangat penting. Disanalah salahsatu penekanan dalam pendidikan nilai, dimana peserta didik diharapkan bisa merasakan, terlibat, timbul rasa empati, dan memiliki asas kemanusiaan dalam menyikapi hidup.

Nilai-nilai moral, spiritual dan kemanusiaan, bukan hanya untuk diketahui tapi harus diinternalisasikan dan dihayati dalam diri setiap orang yang ikut dalam proses pembelajaran. Sehingga nilai-nilai moral tersebut dapat terintegrasi dalam kepribadian dan memengaruhi cara pandang dan cara pikir serta cara menanggapi persoalan sepanjang hidup. Dengan demikian metode pembelajaran nilai-nilai harus menekankan dimensi eksperensial: learning by doing, learning by experiencing, learning by living in, learning by exploring, dan learning by problem solving.

(11)

Rujukan bacaan

Humanism Dan Humaniora. Bambang Sugiharto. Jalasutra Kaledioskop Pendidikan. Kompas. H.R. Tilaar

Referensi

Dokumen terkait

Jika sanksi hukum maupun sanksi sosial tidak juga mampu mencegah orang dari perbuatan melanggar aturan, ada satu jenis sanksi lain, yakni sanksi psikologis. Sanksi psikologis

apabila tingkat kehadiran pada diktum satu atau tingkat ketuntasan pekerjaan pada diktum dua kurang dari 75%,

Elaboration Likehood Theory merupakan teori persuasi yang populer dan dikemukakan oleh Richard Petty & John Cacioppo (1986) yang berasumsi bahwa orang

Misalnya, hubungan guru dan murid dan aktivitas belajarnya tidak lagi bergantung pada satu sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekolah, akan tetapi juga mau tidak mau

Dalam definisi ini ada tiga ide pikiran penting yaitu proses transformasi nilai-nilai, ditumbuh-kembangkan dalam kepribadian dan menjadi satu dalam perilaku.7 Sementara itu,

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan penelitian

Solusi terbaiknya adalah disimpan pada toko buah dan sayuran yang menyediakan sistem pendinginan yang komplit seperti yang ada di mall-mall kota besar, sedangkan

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu