• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

i

UNIVERSITAS GUNADARMA

FAKULTAS PSIKOLOGI

HUBUNGAN ANTARA

BURNOUT

DENGAN

MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS

PADA MAHASISWA YANG

BEKERJA

Disusun Oleh :

Nama : Ramon Diaz

N.P.M : 10599179

N.I.R.M : 9931373800500339

Pembimbing : Anita Zulkaida, S.Psi., M.Psi.

Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat

Dalam mencapai Gelar Sarjana Satu (S1)

DEPOK

(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Komisi Pembimbing

No Nama Kedudukan

1. Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi Ketua

2. Hendro Prabowo, S.Psi Anggota

3. Praesti Sedjo, S.Psi, M.Si Anggota

Panitia Ujian

No Nama Kedudukan

1. DR. Ravi Ahmad Salim Ketua

2. Prof. DR. Wahyudi Priyono Sekretaris 3. Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi Anggota

4. Hendro Prabowo, S.Psi Anggota

5. Praesti Sedjo, S.Psi, M.Si Anggota

Tanggal Lulus : 24 Maret 2007

Mengetahui

Depok, ……….

Pembimbing Bagian Sidang Ujian

(3)

iii

HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI

AKADEMIS

PADA MAHASISWA YANG BEKERJA

Ramon Diaz

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. Burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tak mendukung serta idealisme yang tak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu yang menyebabkan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Motivasi berprestasi adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis. Motivasi berprestasi memiliki lima karakteristik yaitu resiko pemilihan tugas, membutuhkan umpan balik, ketekunan, tanggung jawab dan inovatif. Penelitian ini bersifat korelasional yang dilakukan terhadap 98 mahasiswa yang bekerja dari lima lembaga perguruan tinggi di Jakarta dan di Depok, dengan karakteristik antara lain berusia minimal 20 tahun, belum menikah, mengambil Strata Satu dari berbagai jurusan.

Uji asumsi dalam penelitian ini yaitu uji normalitas dan uji linearitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolgomorov Smirnov dan Shapiro-Wilk Test. Untuk nilai signifikan pada burnout adalah 0,000 (p<0,05). Skor signifikan pada motivasi berprestasi adalah 0,000 (p<0,05). Hasil uji normalitas menunjukan bahwa sebaran skor kedua variabel penelitian yaitu burnout dan motivasi berprestasi adalah tidak normal.

Hasil uji linearitas burnout dengan motivasi berprestasi menunjukkan hasil yang linear dimana skor F sebesar 168,194 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Untuk selanjutnya data penelitian akan dianalisis dengan menggunakan perhitungan statistik non parametrik.

Dengan menggunakan uji korelasi Karl Pearson, didapat koefesien korelasi (r) sebesar -0,798 dengan taraf signifikasi 0,000 (p<0,05). Hasil uji korelai tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara burnout dengan motivasi berprestasi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hipotesis penelitian ini diterima dan hal ini berarti terdapat hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi.

(4)

iv

Kupersembahkan Hasil Kerja Keras Ini Untuk Bapa yang di Sorga,

Orang Tuaku tercinta, Gerry & Diaphenia kedua adikku tersayang, Priskila kekasihku, Sahabat-sahabat baikku,

(5)

v

Cerek air walaupun sesak dengan air panas sampai ke lehernya, Ia tetap bernyanyi

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat anugerah-Nya penulisan skripsi dengan judul: HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS PADA MAHASISWA YANG

BEKERJA, dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, meskipun penulis telah berusaha sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada.

Penulis juga menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Ibu Prof. Dr. E. S. Margianti SE., MM., selaku Rektor Universitas Gunadarma.

2. Ibu Anita Zulkaida, S.Psi., M.Psi, selaku Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar dan penuh pengertian memberikan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi. “Makasih ya Bu….”

3. Kedua Orang tuaku, Gerry, dan Peni “Terima kasih buat semuanya ... aku sayang kalian ...”

4. Priskila Agustini yang selalu setia mendoakan, memberi semangat serta dukungan juga mendengarkan keluhan-keluhan penulis selama ini. “Thanks my dear …!!”

5. Keluarga Bapak Luhut Panggabean, seisi Pastori serta Jemaat GPI Cibubur.

“Makasih buat doa dan dukungannya…”

6. Aldie & Nain, Pendukung paling setia “Makasih buat pertolongannya…aku doain sukses ya!

7. Keluarga Bapak Philipus yang selalu mendoakan dan mendukung selama ini.

“ Makasih Pak dan Umi

(7)

vii

9. Bro Silvanus Makalew, Admin Server Danamon Bank, Jawa Barat. “Thanks Bro …Ini Orang Danamon kan?!”.

10. Direktur PT. TM, Nopa Echo Raymond. “Thanks for some thinking…and the night shift ...!!!

11. M. Oscar S. Petualang PRO-XL. “Thanks for your pray … when is the next trip?”

12. G. I. Fellowship, Natan, Yosia, Budi dan kawan-kawan seperjuangan.

“Thanks for always encourage me …”

13. Mahasiswa-mahasiswi UI, UP, Gunadarma, STMIK Nusa Mandiri, dan Yarsi.

“Thanks dah ngisi angket, selamat belajar dan bekerja.!!”

Serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi yang tidak disebutkan satu persatu. Akhir kata penulis berharap, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para rekan mahasiswa maupun semua pihak yang terkait.

Jakarta, 24 Maret 2007

Penulis

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAKSI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 5

C. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II :TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Motivasi Berprestasi Akademis ... 6

1. Pengertian Motivasi Berprestasi Akademis ... 6

2. Karakteristik Motivasi Berprestasi Akademis ... 10

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Berprestasi Akademis ... 13

B. Burnout ... 14

1. Pengertian Burnout ... 14

2. Dimensi Burnout ... 19

3.Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout ... 20

C. Mahasiswa ... 27

1. Pengertian Mahasiswa... 27

(9)

ix

D. Hubungan Burnout dengan Motivasi Berprestasi Akademis Pada

Mahasiswa yang bekerja ... 29

E. Hipotesis ... 31

BAB III :METODE PENELITIAN ... 32

A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian ... 32

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 32

C. Subjek Penelitian ... 33

D. Teknik Pengumpulan Data ... 33

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data ... 36

F. Teknik Analisa Data ... 37

BAB IV : PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 38

A. Pelaksanaan Penelitian ... 38

B. Hasil Penelitian ... 39

1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala ... 39

2. Uji Asumsi ... 41

3. Hasil Analisia Data ... 43

4. Deskripsi Subjek ... 44

C. Pembahasan ... 46

BAB V :PENUTUP ... 54

A. Simpulan ... 54

B. Saran ... 55

(10)

x

LAMPIRAN

LAMPIRAN A

Identitas dan jumlah Subjek Penelitian

Data deskriptif Motivasi Berprestasi Akademis

Data deskriptif Burnout

Pie Chart data deskriptif

LAMPIRAN B

Hasil Uji Validitas & Reliabilitas Skala Motivasi Berprestasi

Akademis

Data Valid Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis

Hasil Uji Validitas & Reliabilitas Burnout

Data Valid Item Skala Burnout

LAMPIRAN C

UJI ASUMSI

1. Uji Normalitas

2. Uji Linearitas

LAMPIRAN D

Hasil Korelasi

LAMPIRAN E

Gambar

LAMPIRAN F

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Penilaian pada Skala Motivasi Berprestasi Akademis ... 34

Tabel 2 : Tabel Sebaran Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis ... 34

Tabel 3 : Penilaian pada Skala Burnout ... 35

Tabel 4 : Tabel Sebaran Item Skala Burnout ... 35

Tabel 5 : Tabel Distribusi Item Valid pada Skala Motivasi Berprestasi Akademis ... 40

Tabel 6 : Tabel Distribusi Item Valid pada Skala Burnout ... 41

Tabel 7 : Perhitungan Korelasi Karl Pearson dengan SPSS 12.00 for Windows... 43

Tabel 8 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Usia... 44

Tabel 9 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin ... 45

Tabel 10 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Status Tempat Tinggal ... 45

Tabel 11 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Motivasi Mengambil Kuliah ... 45

Tabel 12 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Waktu Khusus Belajar... 46

Tabel 13 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Mengatasi Kesulitan Belajar... 46

(12)

xii

Tabel 15 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Prioritas ... 49 Tabel 16 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Hal-hal Yang Kurang

Memuaskan di Tempat Kerja ... 51 Tabel 17 : Tabel Deskripsi Rerata Dimensi Burnout... 52 Tabel 18 : Tabel Deskripsi Rerata Aspek-aspek

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1: Hasil analisa grafik Scatter pada variabel Motivasi Berprestasi

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Memasuki akhir tahun 1970 laju informasi-komunikasi, ekonomi dan teknologi mulai berkembang dengan cepat. Begitu banyak alat dan media yang dihasilkan dari berbagai inovasi yang bertujuan memajukan industri dalam berbagai bidang. Pada saat itu industri informasi-komunikasi, ekonomi dalam hal ini perbankan serta teknologi alat-alat rumah tangga hingga pabrik besar mulai mengalami perubahan serta perkembangan yang luar biasa.

Perkembangan begitu terasa, dalam bidang informasi komunikasi terlihat dengan semakin berkembangnya industri surat kabar, radio serta pertelevisian. Dalam bidang ekonomi, pada saat itu perekonomian dunia semakin membaik terutama sektor perbankan dimana inovasi alat serta layanan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas untuk mulai menabung. Terlebih lagi di bidang teknologi, berbagai alat tercipta untuk berbagai keperluan, mulai dari peralatan rumah tangga, peralatan kantor, peralatan pendidikan, peralatan kesehatan hingga peralatan industri besar seperti pabrik. Dalam bidang pendidikan, banyak perguruan tinggi yang berpartisipasi untuk melakukan berbagai penelitian demi kemajuan industri. Kemajuan dan perkembangan tersebut terus berlanjut hingga memasuki tahun 1990 dimana laju informasi-komunikasi, ekonomi dan teknologi mengalami transformasi ke era komputerisasi yang lebih dikenal industri global (Wikipedia, 2005).

(15)

penempatan karyawan dan salah satu standar tersebut adalah tingkat pendidikan. Hal ini tentunya demi kemajuan serta eksistensi perusahaan dalam industri global.

Standar tingkat pendidikan tersebut menyebabkan terjadi persaingan diantara karyawan selaku tenaga kerja dalam mempertahankan posisinya dari calon tenaga kerja baru dan juga meraih posisi atau jabatan yang lebih baik dalam perusahaan selain memiliki prestasi yang baik dalam pekerjaan. Oleh sebab persaingan yang semakin meningkat diantara para karyawan maupun tenaga kerja baru maka diawal tahun 1980-an banyak karyawan yang mulai memikirkan bahkan kembali menduduki bangku kuliah di perguruan tinggi.

Fenomena baru muncul, yaitu mahasiswa yang bekerja. Lulusan sekolah menengah atas dan setingkat yang tak mampu kuliah, memilih bekerja lebih dahulu, kemudian kuliah dengan hasil atau gaji yang didapatkan. Ada banyak individu yang adalah mahasiswa karena banyak hal kemudian bekerja untuk mencukupi biaya kuliah. Terlepas dari semua itu individu tersebut adalah mahasiswa yang berkewajiban untuk meraih prestasi akademis (Orsgaz dkk., 2001).

(16)

Kondisi tersebut menyebabkan banyak perguruan tinggi berusaha meningkatkan, motivasi mahasiswa untuk meraih prestasi akademis yang tinggi, antara lain dengan memberikan reward, seperti nilai tambah kehadiran, beasiswa kuliah, penghargaan, mengikutsertakan pada perlombaan ilmiah mahasiswa dan lainnya. Ini membuktikan betapa pentingnya motivasi berprestasi dalam mencapai prestasi akademis yang tinggi.

Mahasiswa yang bekerja biasanya mengambil jam kuliah pada sore sampai malam hari, karena di pagi harinya mereka harus bekerja. Dapat dikatakan mahasiswa yang bekerja, sebagai individu memiliki status lain yaitu pegawai atau karyawan di suatu lembaga usaha (Sarwono, 1981). Dalam hal ini mahasiswa yang bekerja tentunya memiliki waktu yang sedikit dibanding mahasiswa yang tidak bekerja. Mahasiswa yang bekerja, harus mengelola waktu belajar dalam waktu yang sempit. Seringkali dalam kondisi lelah setelah pulang kantor, harus mengikuti kuliah, mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan dengan terburu-buru, bahkan bila terlalu lelah, banyak mahasiswa yang memutuskan untuk tidak mengikuti perkuliahan malam itu.

Masalah lainnya, adalah berbagai problematika yang terjadi di tempat kerja dapat memberi dampak terhadap proses belajar mahasiswa yang bekerja. Masalah-masalah yang sering dihadapi di tempat kerja antara lain, rutinitas pekerjaan yang monoton, konflik dan hubungan yang tak harmonis sesama pegawai atau dengan atasan, persaingan yang ketat, tuntutan kerja yang makin bertambah, perkerjaan yang bertumpuk, serta gaji yang tak sesuai. Masalah tersebut adalah sedikit hal yang menyebabkan kelelahan baik emosi dan fisik pada karyawan (Dwivedi, 1981)

Salah satu yang dihadapi oleh dunia kerja hari-hari ini adalah burnout

(17)

dkk., 2001) menjelaskan bahwa burnout adalah kelelahan yang amat sangat dimana membuat kinerja individu terhambat bahkan berhenti.

Saat ini burnout menjadi masalah krusial di dunia kerja, karena seringkali menghambat laju kinerja para karyawan yang akhirnya merugikan perusahaan.

Burnout seringkali muncul di dunia kerja dikarenakan rutinitas serta tekanan yang tinggi dalam kesehariaannya (Cooper dkk., 2001). Sebab itu banyak perusahaan mencari cara untuk membantu setiap karyawan yang ada untuk menanggulangi

burnout di tempat kerja.

Mohan (dalam Dwivedi, 1981) menjelaskan bahwa kelelahan yang disebabkan burnout di tempat kerja memberi dampak pada aktivitas lain dalam hidup karyawan. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya perhatian pada sekitar, menurunnya kemampuan persepsi dan berpikir, menurunnya motivasi terhadap kegiatan lain, dan menurunnya kegiatan secara fisik dan mental di luar jam kerja.

Narayan dan Shanmugam (dalam Dwivedi, 1981) sejak tahun 1971 sampai dengan 1973 melakukan penelitian terhadap kelelahan di kalangan karyawan dengan menggunakan berbagai alat ukur yang bertujuan mengukur tingkat kewaspadaan, konsentrasi, hubungan interpersonal serta istirahat kerja. Hasilnya menunjukan adanya penurunan motivasi, menurunnya kinerja inteligensi, bertambahnya tingkat kecelakaan kerja serta penurunan dalam seksualitas.

Penelitian yang dilakukan Grenberger & Steinberg (dalam Santrock, 1990) menunjukkan adanya dampak yang dialami oleh mahasiswa yang bekerja, yaitu mereka sulit menyeimbangkan tuntutan di dunia kerja, pendidikan, keluarga dan teman-teman mereka. Sementara itu Steinberg (1993) menjelaskan bahwa 20 jam kerja perminggu akan memberi pengaruh yang kurang baik terhadap prestasi akademis maupun terhadap kondisi psikologis bagi mahasiswa yang bekerja.

(18)

mahasiswa yang bekerja. Pada mahasiswa yang bekerja masalah yang dihadapi di tempat kerja amat berpengaruh pada tingkat konsentrasi dan penalaran terhadap perkuliahan, serta stamina untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Uraian tersebut memberi gambaran bahwa kondisi di tempat kerja sangat berdampak pada kegiatan perkuliahan mahasiswa yang bekerja.

Dengan uraian di atas maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara burnout di tempat kerja dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara burnout

di tempat kerja dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut ini : 1. Praktis :

Menambah informasi bagi para mahasiswa khususnya yang bekerja terutama tentang hubungan antara burnout dan motivasi berprestasi, sehingga dapat membantu para mahasiswa dalam mengcoping / menyikapi keadaan tersebut.

2. Teoritis :

(19)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Motivasi Berprestasi Akademis

1. Pengertian Motivasi Berprestasi Akademis

Seorang gadis yang ingin menjadi dokter. Seorang lelaki yang berjuang untuk memiliki kekuasaan politik. Seseorang yang mengalami penderitaan yang hebat menginginkan kelegaan. Seseorang yang sangat kelaparan dan hanya berpikir tentang makanan. Seorang anak yang kesepian dan berharap memiliki teman. Seorang pria melakukan pembunuhan dan polisi mengatakan bahwa motif pembunuhan tersebut adalah balas dendam. Seorang wanita yang bekerja keras untuk mencapai rasa sukses dan mampu. Hal-hal tersebut adalah beberapa motif yang berperan dalam perilaku manusia. Motif menggerakkan secara keseluruhan mulai dari keinginan dasar, seperti lapar dan seks, sampai kepada hal yang rumit, yaitu motif-motif jangka panjang, seperti ambisi politik, keinginan untuk melayani kemanusiaan, atau kebutuhan untuk menguasai lingkungan sekitarnya (Morgan dkk., 1986).

Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa perilaku itu didorong dan diarahkan pada tujuan.Contoh-contoh tersebut juga menunjukan bahwa perilaku yang mengarah pada suatu tujuan cenderung untuk menetap. Suatu istilah yang menunjuk kepada dorongan dan kekuatan yang menentukan keberhasilan perilaku yang yang tetap pada tujuan tertentu. Istilah itu adalah motivasi (Morgan dkk., 1986).

Banyak sekali orang yang tertarik dengan kata motivasi, bahkan melakukan penyelidikan terhadap alasan mengapa seseorang melalukan suatu tindakan yang tidak biasanya (Hollyforde & Whiddet, 2003).

(20)

perilaku yang memiliki tujuan). Seiring dengan pernyataan tersebut Robertson dan Smith (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003), menyatakan motivasi adalah suatu konsep psikologis yang terkait dengan kekuatan dan arah dari perilaku manusia.

Atkinson (1964) memandang motivasi sebagai suatu disposisi latent yang berusaha kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Sepanjang disposisi tersebut belum terpenuhi maka ia akan selalu muncul kepermukaan. Heckhansen (dalam Asnawi, 2002) memberi pandangan tentang motivasi yaitu sesuatu yang potensial dalam diri manusia yang merupakan keadaan normal tetapi juga sangat menentukan bagaimana suatu situasi menjadi memuaskan.

Teevan dan Smith memandangan motivasi sebagai suatu konstruksi yang mengaktifkan perilaku (dalam Asnawi, 2002). Terry dan Leslie (dalam Asnawi, 2002) menyatakan motivasi membuat orang bekerja lebih berprestasi. Dengan demikian motivasi dipandangnya sebagai suatu daya dorong untuk berbuat sesuatu dalam kapasitas dan produktivitas optimal atau maksimal.

Asnawi (2002) berpendapat motivasi adalah konstruksi dan proses interaksi antara harapan dan kenyataan masa yang akan datang baik dalam jangka pendek, sedang atau panjang.

McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) merupakan salah satu tokoh penganut teori konten, yaitu menekankan pada faktor “apa” yang ada dalam diri manusia yang menyebabkan manusia tersebut berperilaku tertentu. McClelland mengatakan bahwa seseorang memiliki kebutuhan yang menyebabkan mereka terdorong untuk berperilaku untuk mengurangi atau memenuhinya. Sebab itu seseorang akan berperilaku dengan cara tertentu yang mengarah pada pemuasan dari kebutuhan mereka.

(21)

contohnya motif seseorang dapat berubah saat seseorang sakit dan sembuh atau mengalami jatuh cinta.

Menurut McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) pada saat itu, motivasi adalah pengungkapan kembali (tujuan) oleh isyarat perubahan dalam situasi affektif. Pengungkapan kembali tersebut terjadi sebagai hasil dari pengalaman sebelumnya, seperti contoh seorang yang sakit dan akhirnya sembuh. Motif dapat muncul dan dipelajari karena adanya perubahan suasana hati yang timbul karena adanya perbedaan harapan dan kenyataan yang diamati.

McClelland (dalam McCelland dkk, 1953), mengungkapkan dalam mendefinisikan motif harus dibedakan jenis harapan yang terlibat didalamnya, kemudian dasar tindakkan, yaitu sampai dimana harapan-harapan tersebut dapat menjadi suatu tujuan yang dapat dicapai. McClelland (dalam McCelland dkk., 1953), mengemukakan ada beberapa jenis motivasi yang cenderung ditampilkan dalam perilaku sehari-hari. Motif-motif tersebut disebut juga motif sosial, yaitu:

1) Motivasi Berprestasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang dengan menitik beratkan kepada pencapaian prestasi tertentu.

2) Motivasi Berafiliasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang dalam berhubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan.

3) Motivasi Berkuasa, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang untuk mencapai kepuasan dengan menguasai dan mempengaruhi orang lain.

(22)

mengerjakan yang lebih baik maka dapat dikatakan mempunyai motivasi berprestasi tinggi.

Asnawi (2002) menjelaskan Motivasi berprestasi berhubungan dengan kemampuan untuk mengatasi rintangan dan memelihara semangat kerja yang tinggi, bersaing melalui usaha keras, untuk mengungguli orang lain. McClelland dan Burnham (dalam Asnawi, 2002) menjelaskan motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengerjakan sesuatu menjadi lebih baik atau lebih efesien dari sebelumnya. Sedangkan Dwivedi dan Herbert (Dwivedi, 1981) mengartikan motivasi berprestasi sebagai dorongan untuk sukses dalam situasi kompetisi yang didasarkan pada ukuran keunggulan dibanding standarnya sendiri maupun orang lain. Menurut Davis (Hollyforde dan Whiddet, 2003), motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengatasi rintangan dan mencapai keberhasilan, sehingga menyebabkan individu bekerja lebih baik lagi.

Gage dan Berliner (1992) berpendapat bahwa motivasi berprestasi adalah motivasi untuk sukses, untuk menjadi yang terbaik dalam sesuatu hal. Hollyforde dan Whiddet (2003) menyatakan basis dari motivasi berprestasi adalah kekuatan untuk mencapai kesuksesan. Tentunya setiap individu memiliki definisi tentang kesuksesan pada diri mereka masing. Semakin sukses seseorang mencapai tujuannya, semakin seseorang tersebut memiliki kepuasan dan pengalaman dalam pencapaiannya, sebab itu mereka akan berjuang untuk melakukan dan mendapatkan hal tersebut di masa yang akan datang.

Atkinson (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai sebuah kemampuan untuk mengalami kebanggaan dalam penyelesaian tugas demi tugas. Semakin seseorang berhasil dalam suatu tugas yang sama semakin berkurang dorongan pencapaian yang maksimal untuk menyelesaikannya. Hal ini disebabkan adanya suatu asumsi semakin besar rasa pencapaian tugas apabila seseorang diberikan kesempatan menyelesaikan tugas yang lebih sulit dari pada tugas sebelumnya atau tugas yang lebih mudah.

(23)

rintangan-rintangan, atau berusaha melaksanakan secepat dan sebaik mungkin pekerjaan-pekerjaan yang sulit.

Istilah akademis sangat terkait hubungannya dengan aktivitas keilmuan dan lembaganya seperti sekolah dan perguruan tinggi dimana terjadi proses belajar mengajar. Winkel (1991) menjelaskan bahwa dalam rangka aktivitas belajar di sekolah, motivasi berprestasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak dalam diri siswa untuk mencapai taraf prestasi belajar yang maksimal demi penghargaan terhadap diri sendiri. Taraf prestasi belajar yang maksimal yang dimaksud adalah penentuan dari siswa itu sendiri, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Berdasarkan seluruh uraian di atas serta definisi-definisi tentang motivasi dan motivasi berprestasi dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi akademis adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis.

2. Karakteristik Motivasi Berprestasi Akademis

Tingkat dimana orang dengan motivasi berprestasi yang kuat dapat menunjukan perilaku yang berorientasi ke prestasi tergantung banyak faktor (Morgan dalam Riyanti & Prabowo, 1998). Salah satu faktor itu adalah -takut akan kegagalan- yang dikatakan menghambat pemunculan perilaku berprestasi (Atkinson; Atkinson & Birch; Morgan dalam Riyanti & Prabowo, 1996). Untuk orang yang takut gagal biasanya kebutuhan berprestasinya relatif rendah, motivasi berprestasi mengekspresikan dirinya dengan berbagai cara (McClelland & Winter; Hoyenga & Hoyenga; Morgan dalam Riyanti & Prabowo, 1998).

a. Resiko Pemilihan Tugas

(24)

melakukan pekerjaan yang mudah, dimana tidak ada tantangan sehingga tidak ada kepuasan untuk kebutuhan berprestasinya, mereka juga tidak suka melakukan pekerjaan yang sulit dimana kemungkinan untuk suksesnya kecil. Jadi orang dengan motivasi berprestasi tinggi adalah orang yang realistis dalam memilih tugas, pekerjaan, dan lapangan kerja, yaitu mereka lebih suka mencocokkan antara kemampuan mereka dan apa yang dituntut dari tugas atau pekerjaan itu.

Dalam konteks akademis maka tugas-tugas yang dimaksud adalah tugas yang didapat dalam perkuliahan, yaitu tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, contohnya laporan praktikum, makalah, presentasi dan lainnya.

b. Membutuhkan Umpan balik

Orang dengan motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas dimana prestasi mereka dapat dibandingkan dengan prestasi orang lain; mereka menyukai umpan balik “bagaimana mereka melakukannya”. Umpan balik dibutuhkan agar dapat meningkatkan efektivitas dari apa yang dilakukan untuk dapat mencapai apa yang diinginkan (dalam Amir, 1995).

Orang dengan motivasi berprestasi rendah cenderung tidak menyukai umpan balik terutama karena mereka tidak suka jika kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya diketahui oleh orang lain. Umpan balik dalam konteks akademis yang dimaksud, dapat berupa saling membandingkan nilai hasil belajar antara lain seperti hasil ujian dan indeks prestasi.

c. Ketekunan

Orang dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung tetap mempertahankan pekerjaan yang sudah mereka capai yang berhubungan dengan karir atau merefleksikan ciri pribadi mereka (misalnya kecerdasan) yang dilibatkan untuk mencapai puncak.

(25)

siswa atau mahasiswa dengan hasrat berprestasi tinggi menpunyai keuletan. Sebaliknya orang yang memiliki motivasi rendah cenderung cepat menyerah apabila berhadapan dengan tugas yang semakin sulit.

d. Tanggung Jawab

Bila orang dengan motivasi berprestasi tinggi sukses, mereka cenderung menaikkan tingkat aspirasi mereka dalam cara yang realistis sehingga mereka akan terus bergerak ke tugas-tugas yang lebih menantang dan sulit.

Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi merasa dirinya bertanggung jawab atas tugas yang dikerjakan. Mereka akan berusaha untuk menyelesaikannya dan tidak akan meninggalakan tugas tersebut walau semakin sulit sebelum mereka menyelesaikannya (McClelland, 1961).

e. Inovatif

Orang dengan motivasi berprestasi tinggi senang bekerja dalam situasi dimana dia dapat mengontrol hasilnya, mereka bukan penjudi. McClelland (1961) menjelaskan orang dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung bertindak kreatif dengan mencari cara untuk menyelesaikan tugas seefesien dan seefektif mungkin.

Menurut Hollyforde dan Whiddett (2003) karakteristik seseorang dengan motivasi berprestasi tinggi yaitu:

a. Individu tersebut bertanggung jawab atas hasil yang akan dicapai

b. Individu tersebut menghendaki berbagai umpan balik terhadap hasil yang dicapai.

c. Individu tersebut memiliki kriteria dari tingkat kesukaran jenis tugas yang diambil

Asnawi (2002) menjelaskan manifestasi dari motivasi berprestasi akan terlihat pada beberapa cirri perilaku seperti:

(26)

c. Memilih resiko yang moderat atau sedang dalam perbuatannya d. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif

Dengan demikian secara garis besar dapat disimpulkan bahwa uraian beberapa tokoh diatas memiliki beberapa kesamaan tentang karakteristik orang dengan motivasi berprestasi tinggi, yaitu: Ketekunan, Tanggung Jawab, Membutuhkan Umpan Balik, Resiko Pemilihan Tugas, dan Inovatif.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Berprestasi Akademis

Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain (Asnawi, 2002):

a. Tingkah laku dan karakteristik yang ditiru anak oleh anak melalui

observational learning. Anak-anak belajar dengan mengamati dan meniru orang tua serta orang lain yang dijadikan model.

b. Harapan orang tua terhadap anak, dorongan orang tua agar anak mencapai prestasi yang maksimal

c. Lingkungan

d. Penekanan kemandirian

Juvonen (2003) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu:

a. Pola asuh terhadap anak, penanaman nilai serta cita-cita dari orang tua b. Lingkungan Sekitar, norma sosial serta harapan masyarakat disekitarnya c. Proses pembelajaran oleh anak itu sendiri

Tokoh lainnya Hollyforde dan Whiddett (2003) mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah:

a. Pola asuh anak, dalam hal ini penanaman nilai serta harapan orang tua menjadi dorongan terkuat untuk berprestasi dengan maksimal

b. Lingkungan, dimana asumsi dan nilai sosial yang ada memberi masukan serta perbandingan terhadap tujuan pencapaian.

(27)

B. Burnout

1. Pengertian Burnout

Istilah burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologis klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi profesional pada tahun 1973 yang disebut sebagai sindrom burnout (Farber, 1991). Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang terkena burnout, dari luar segalanya masih nampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh masalah seperti gedung yang terbakar tadi.

Freudenberger menggunakan istilah yang pada awalnya digunakan pada tahun 1960-an untuk merujuk pada efek-efek penyalahgunaan obat-obat terlarang yang kronis (Freudenberger & Richelson dalam Farber, 1991). Deskripsi awal Freudenberger mengenai seseorang yang menderita karena sindrom burnout

sebenarnya diawali pada dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa:

" ….dan anda menempatkan sebagian besar diri anda di dalam pekerjaan. Anda secara gradual terbentuk di dalam lingkungan sekitar anda dan di dalam diri anda sendiri ada perasaan bahwa mereka membutuhkan anda. Anda merasakan sense of commitment yang utuh" (Farber, 1991).

(28)

Gambaran tersebut menjelaskan, bahwa terdapat pemahaman awal mengenai burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan karena seseorang bekerja terlalu rutin, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama serta memandang kebutuhan dan keinginan mereka sebagai hal kedua. Hal tersebut menyebabkan mereka merasakan adanya tekanan-tekanan untuk memberi lebih banyak. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri mereka sendiri, dari klien/siswa yang amat membutuhkan, dan dari kepungan para administrator (penilik/pengawas dan sebagainya).

Dengan adanya tekanan-tekanan ini, maka dapat menimbulkan rasa bersalah, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menambah energi dengan lebih besar. Ketika realitas yang ada tidak mendukung idealisme mereka, maka mereka tetap berupaya mencapai idealisme tersebut sampai akhirnya sumber diri mereka terkuras, sehingga mereka mengalami kelelahan atau frustrasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian harapan (Freudenberger dalam Farber, 1991)

Penelitian tentang burnout sendiri sebenarnya telah berlangsung selama 20 tahun (Schaufeli dkk., 1993) sehingga menghasilkan berbagai ragam pengertian. Maslach dan Jackson dalam penelitiannya tersebut tentang burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain seperti bidang kesehatan mental, bidang pelayanan kesehatan, bidang pelayanan sosial, bidang penegakan hukum, maupun bidang pendidikan, dalam perkembangannya telah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam memahami burnout. Mereka menemukan bahwa burnout merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout

merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, maupun penurunan pencapaian prestasi pribadi (Schaufeli dkk., 1993).

Kemudian Pines dan Aronson (1989) mendefinisikan burnout sebagai kelelahan secara fisik, emosional dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh tuntutan emosional. Menurut mereka burnout

(29)

yang adekuat terhadap kinerja pemberi layanan. Situasi menghadapi tuntutan dari penerima layanan menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional. Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan, karena ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi yang minimal. Gambaran dari ketiga dimensi tersebut menurut Pines dan Aronson (dalam Wally & Huby, 2000) adalah:

a. Kelelahan fisik, yaitu suatu kelelahan yang bersifat sakit fisik dan energi fisik. Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung, rasa ngilu, rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan. Energi fisik dicirikan seperti energi yang rendah, rasa letih yang kronis, dan lemah.

b. Kelelahan emosional, yaitu suatu kelelahan pada individu yang berhubungan dengan perasaan pribadi yang ditandai dengan rasa tidak berdaya dan depresi. Kelelahan emosi ini dicirikan antara lain rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, perasaan tidak menolong, ratapan yang tiada henti, tidak dapat dikontrol, suka marah, gelisah, tidak peduli terhadap tujuan, tidak peduli dengan peserta didik orang lain, merasa tidak memilki apa-apa untuk diberikan, sia-sia, putus asa, sedih, tertekan, dan tidak berdaya (Sutjipto, 2001).

(30)

Cherniss (1980) menyatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dengan klien maupun bersikap sinis dengan mereka, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja yang kuat. Pandangan Cherniss ini nampak sejalan dengan pandangan Freuddenberger bahwa seseorang memiliki sikap antusias dan tujuan yang hendak mereka capai pada awal bekerja. Ia merasa terpanggil untuk bekerja, sehingga idealisme mereka pun tinggi. Namun, stres yang dialami secara kronis menyebabkan mereka mengalami perubahan motivasi, mereka mengalami burnout (Greenberg & Baron, 1993).

Baron, McKnight & Glass, Parker & Kulik (dalam Sarafino, 1998) memberi definisi bahwa burnout sebagai suatu kondisi kelelahan fisik dan psikososial yang kronis, timbul sebagai akibat derajat stress yang tinggi karena pengendalian diri yang kurang kuat. Sedangkan Taylor (1999) menjelaskan bahwa

burnout merupakan resiko yang terjadi pada individu yang bekerja dalam menghadapi orang-orang yang kekurangan.

Kreitner dan Kinicki (2000) mendefinisikan burnout sebagai kondisi kelelahan emosional dan sikap-sikap negative dari waktu ke waktu. Kreitner dan Kinicki menjelaskan sikap-sikap negatif tersebut antara lain adalah fatalisme, kebosananan, ketidaksenangan, sinisme, ketidakcukupan, kegagalan, kerja berlebihan, kekasaran, ketidak puasan dan melarikan diri.

(31)

2. Dimensi Burnout

Maslach menjelaskan bahwa pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain dapat membentuk hubungan yang bersifat "asimetris" antara pemberi dan penerima pelayanan. Seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan memberikan perhatian, pelayanan, bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa, atau pasien. Hubungan yang tidak seimbang tersebut dapat menimbulkan ketegangan emosional yang berujung dengan terkurasnya sumber-sumber emosional. Maslach (Schaufeli dkk., 1993) mengemukakan bahwa burnout

merupakan sindrom yang memiliki tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.

a. Kelelahan Emosional

Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis yang maksimal (Maslach, 2001).

b. Depersonalisasi

Depersonalisasi, menurut Maslach (Schaufeli dkk., 1993) merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Ia menjelaskan depersonalisasi adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan emosional. Perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan orang lain disekitarnya sebagai objek.

(32)

kontak dengan sekitarnya, berhubungan seperlunya saja, berpendapat negatif dan bersikap sinis terhadap sekitarnya (Maslach, 2001).

Secara konkret seseorang yang sedang depersonalisasi cenderung meremehkan, memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani, dan bersikap kasar. Adapun rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan bahkan kehidupan, serta merasa bahwa ia belum pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat (Pines & Aronson, 1988). Hal ini mengacu pada penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri dalam pekerjaan.

c. Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi

Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menyatakan bahwa penurunan pencapaian prestasi pribadi disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan orang lain di sekitarnya secara negatif. Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang yang berkualitas buruk terhadap orang lain di sekitarnya, misalnya tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Padahal seorang pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif, misalnya penyabar, penuh perhatian, hangat, humoris, dan yang paling penting adalah mempunyai rasa empati.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, nampak bahwa penekanan burnout terletak pada karakteristik individu dan wujud dari sindrom itu tampak pada interaksinya terhadap lingkungan kerja. Menurut beberapa tokoh seperti Caputo, Farber, Cherniss, kedua hal ini secara umum merupakan sumber

(33)

mencari faktor di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima pelayanan. Selain itu, analisis juga perlu untuk mengkaji faktor individu yang ada pada pemberi pelayanan yang turut memberi sumbangan terhadap timbulnya burnout.

Dengan demikian faktor timbulnya burnout disebabkan oleh adanya: (1) karakteristik individu, (2) lingkungan kerja, dan (3) keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan.

a. Karakteristik Individu

Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan timbulnya burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian (Schaufeli dkk., 1993).

1) Faktor demografik

Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis kelamin antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Orang berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau secara emosional lebih mampu menangani tekanan yang besar. Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menemukan bahwa pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional.

(34)

terhadap berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan emosional.

Terhadap latar belakang etnis, hasil penelitian Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat burnout yang cukup signifikan antara masyarakat keturunan Afrika dengan masyarakat Caucasian, pada para pekerja pelayanan sosial. Masyarakat keturunan Afrika cederung memiliki burnout yang lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat Caucasian. Hal ini bisa terjadi karena mayarakat keturunan Afrika berasal dari ligkungan masyarakat yang menekankan pada hubungan kekeluargaan dan persahabatan. Oleh karenanya, mereka sudah terbiasa dengan hubungan yang melibatkan emosi, misalnya menghadapi konflik, menghadapi harapan yang tidak realistis. Di samping itu, kondisi masyarakat keturunan Afrika di Amerika Serikat telah terbiasa mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan karena adanya diskriminasi dan kemiskinan. Dengan latar belakang kehidupan seperti itu, maka akan mendorong individu lebih siap mental dalam menghadapi masalah dan kejadian yang menyakitkan yang dapat menimbulkan burnout.

Pada sisi usia, Farber (1991) menyatakan bahwa guru-guru di bawah usia empat puluh tahun paling berisiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan burnout. Demikian halnya dengan hasil penelitian Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993), bahwa burnout paling banyak dijumpai pada individu yang berusia muda. Hal ini wajar, sebab para pekerja pemberi pelayanan di usia muda dipenuhi dengan harapan yang tidak realistik, jika dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih tua. Seiring dengan pertambahan usia pada umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang lebih realistis.

Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout. Profesional yang berstatus lajang lebih banyak yang mengalami burnout

(35)

yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat burnout yang lebih rendah. Alasannya adalah: Pertama, Seseorang yang telah berkeluarga pada umumnya cenderung berusia lebih tua, stabil, dan matang secara psikologis; Kedua, keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional; Ketiga, kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan; Keempat, seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis (Schaufeli dkk., 1993).

Profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan terhadap burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi (Schaufeli dkk., 1993). Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout. Sebaliknya, bagi profesional yang tidak berpendidikan tinggi, mereka cenderung kurang memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubungan antara status profesional dengan burnout. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih berisiko terhadap burnout jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh waktu. Smith (dalam Caputo, 1991) dalam penelitiannya pada pegawai perpustakaan menemukan bahwa individu yang mengalami burnout lebih banyak ditemukan pada mereka yang bekerja secara penuh.

2) Faktor Kepribadian

(36)

(dalam Farber, 1991) menunjukkan bahwa guru-guru yang obsesional, penuh kasih, idealis, dan berdedikasi cenderung lebih rentan mengalami "sindrom guru yang terpukul". Suatu gangguan yang dipaparkan Bloch dengan cara yang hampir sama dengan yang dipaparkan orang lain mengenai burnout. Individu-individu ini, karena memiliki komitmen yang berlebihan, dan melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal dan berdampak pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri.

Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri rendah rentan terhadap burnout. Ia menggambarkan bahwa karakteristik individu yang memiliki konsep diri rendah yaitu tidak percaya diri dan memiliki penghargaan diri yang rendah. Mereka pada umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap pasrah. Dalam bekerja, mereka tidak yakin sehingga menjadi beban kerja berlebihan yang berdampak pada terkurasnya sumber diri. Penilaian diri yang negatif ini menyebabkan individu lebih menitikberatkan perhatian pada kegagalan dalam setiap hal sehingga menyebabkan perasaan tidak berdaya dan apatis (Cherniss, 1980).

Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perfeksionis, yaitu individu yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna sehingga akan sangat mudah merasa frustrasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai. Karenanya, menurut Caputo (1991) individu yang perfeksionis rentan terhadap burnout.

(37)

Menurut Kahn (dalam Cherniss, 1980) individu yang introvert akan mengalami ketegangan emosional yang lebih besar saat menghadapi konflik karena mereka cenderung menarik diri dari kerja, dan hal ini akan menghambat efektivitas penyelesaian konflik.

Meehling (dalam Farber, 1991) menyatakan bahwa kepribadian seperti locus of control sebagai prediktor yang signifikan terhadap burnout guru. Rotter (dalam Cherniss,1980) menjelaskan bahwa individu dengan locus of control eksternal meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan yang dialami disebabkan oleh kekuatan di luar diri. Mereka meyakini bahwa dirinya tidak berdaya terhadap situasi sehingga mudah menyerah dan bila berlanjut mereka bersikap apatis terhadap pekerjaan. Tuntutan emosional seringkali disebabkan oleh kombinasi antara harapan yang sangat tinggi dengan situasi stres yang kronis.

b. Lingkungan Kerja

Beberapa tokoh seperti Cherniss, Pines dan Aronson berpendapat masalah beban kerja yang berlebihan adalah salah satu faktor dari pekerjaan yang berdampak pada timbulnya burnout (Schaufeli dkk., 1993). Beban kerja yang berlebihan bisa meliputi jam kerja, jumlah individu yang harus dilayani (kelas padat misalnya), tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang bukan rutin, dan pekerjaan administrasi lainnya yang melampaui kapasitas dan kemampuan individu. Di samping itu, beban kerja yang berlebihan dapat mencakup segi kuantitatif yang berupa jumlah pekerjaan dan kualitatif yaitu tingkat kesulitan pekerjaan tersebut yang harus ditangani. Beban kerja yang berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya ketegangan emosional saat melayani klien sehingga dapat mengarahkan perilaku pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari diri untuk terlibat dengan klien (Schaufeli dkk., 1993).

Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan

(38)

yaitu mereka merupakan sumber emosional bagi individu saat menghadapi masalah dengan klien (Schaufeli dkk., 1993). Individu yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa nyaman, diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang lain. Sisi negatif dari rekan kerja yang dapat menimbulkan burnout

adalah terjadinya hubungan antar rekan kerja yang buruk. Hal tersebut bisa terjadi apabila hubungan antar mereka diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya, mencurigai dan saling bermusuhan.

Cherniss (1980) mengungkapkan sejumlah kondisi yang potensial terhadap timbulnya konflik antar rekan kerja, yaitu: (1) perbedaan nilai pribadi, (2) perbedaan pendekatan dalam melihat permasalahan, dan (3) mengutamakan kepentingan pribadi dalam berkompetisi. Di samping dukungan sosial dari rekan kerja tersebut, dukungan sosial yang tidak ada dari atasan juga dapat menjadi sumber stres emosional yang berpotensi menimbulkan burnout (Cherniss; Pines & Aronson; Maslach dalam Sutjipto, 2002). Kondisi atasan yang tidak responsif akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak akan bermakna.

Kahn (dalam Cherniss, 1980) mengemukakan bahwa adanya konflik peran merupakan faktor yang potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran ini muncul karena adanya tuntutan yang tidak sejalan atau bertentangan. Contohnya: (1) seorang guru diharapkan untuk menerapkan disiplin kepada siswa namun di sisi lain ia harus memperlihatkan perasaan kasih sayang, perhatian, rasa humor agar suasana pembelajaran dapat tercipta secara baik, (2) guru-guru ingin agar siswa yang hiperaktif tetap dipertahankan di sekolah namun pihak yayasan sekolah meminta agar siswa yang berkelakuan seperti itu harus dikeluarkan dari sekolah, dan (3) sebagai pekerja sosial ia harus melakukan kerja lembur namun sebagai seorang ibu ia juga harus memperhatikan kebutuhan keluarga pula.

(39)

sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi, dan gaji yang tidak memadai merupakan beberapa faktor lingkungan sosial yang turut berperan menimbulkan

burnout.

c. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan

Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustrasi, ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger dalam Farber, 1991). Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antarmereka dapat memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya.

Para pekerja di bidang sosial sering menerima umpan balik yang negatif (Maslach; Caputo; Cherniss dalam Sutjipto, 2002). Hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat terhadap pelayanan sehingga individu kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Demikian halnya jika pemberi pelayanan dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada umumnya tidak memberi pujian, sebab mereka menganggap bahwa memang seharusnya seperti itu. Hal lain yang turut menyebabkan rendahnya penghargaan adalah bahwa penerima pelayanan tidak mampu memberikan umpan balik positif karena keterbatasan mereka, misalnya siswa dengan keterbelakangan mental. Dengan keadaan yang selalu menerima umpan balik yang negatif ini, maka pada diri pemberi pelayanan/guru akan terbentuk sikap yang negatif terhadap penerima pelayanan.

(40)

dan perasaan tidak enak lainnya. Apalagi bila ditambah oleh perilaku klien yang tidak memberikan umpan balik yang positif, maka akan turut menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan.

C. Mahasiswa

1. Pengertian Mahasiswa

Mahasiswa adalah sekelompok manusia yang berkecimpung dalam lembaga pendidikan dan dibina dengan etika ilmiah (Usman, 2001). Kehidupan mahasiswa tidak terlepas dari pendidikan dan penelitian. Mahasiswa umumnya masih relatif muda baik dalam usia maupun kematangan berpikir, artinya masih membutuhkan bimbingan orang tua atau dosen dalam setiap gerak dan tindakannya (Usman, 2001).

Mahasiswa secara menyeluruh termasuk kategori tahap perkembangan dewasa awal (Hurlock, 1973). Menurut Hurlock (1973) mahasiswa berada dalam usia antara 19 tahun sampai dengan 26 tahun, mengalami transisi dari masa perkembangan remaja akhir ke pada tahapan berikutnya yaitu masa perkembangan dewasa awal.

Penetapan usia ditahap masa perkembangan dewasa awal berbeda-beda diantara para ahli. Santrock (1990) menetapkan usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun sebagai tahap perkembangan dewasa awal. Sedangkan Papalia (dalam Papalia & Olds, 1992) menjelaskan rentang usia 20 tahun sampai dengan 40 tahun sebagai tahap masa perkembangan dewasa awal. Walaupun demikian terdapat kesepakatan bahwa pada masa perkembangan dewasa awal, individu mulai menguji ide-ide mengenai diri dan dunia disekitarnya secara umum.

(41)

Sternberg (2000), dalam periode ini, dipandang dari sudut psikologis mempunyai ciri yang serupa yakni dalam segi transisi biologis, transisi kognitif serta transisi sosial seperti berikut:

a. Transisi biologis. Merujuk pada perubahan dalam penamilan fisik serta kemampuan reproduksi.

b. Transisi kognitif. Dalam hal ini mahasiswa sudah mencapai kemantapan dalam taraf berpikir formal operasional yang ditandai dengan kemampuan berpikir secara hipotesis dan abstrak.

c. Transisi sosial. Perubahan dari status remaja menuju status dewasa. Konsekuensinya mahasiswa diharapkan oleh lingkungannya untuk dapat berpikir dan bertindak sebagai orang dewasa.

Secara umum pengertian-pengertian di atas menunjukakan suatu kesamaan yaitu, menyebutkan bahwa mahasiswa adalah sekelompok manusia yang berkecimpung dalam lembaga pendidikan dan dibina dalam etika ilmiah serta menjalani tahapan masa perkembangan dewasa awal.

2. Mahasiswa yang bekerja

Fenomena mahasiswa yang bekerja sudah lama muncul dikalangan mahasiswa. Bass (dalam Stella, 2004) mengemukakan, mahasiswa bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, mengaktualisasikan diri, serta mencari pengalaman dan relasi.

(42)

Spickard (2001) menjelaskan mengapa mahasiswa tersebut bekerja, salah satunya adalah untuk menguji kemampuan serta intelektualitas yang mereka asah di bangku perkuliahan dalam kondisi nyata yaitu di lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang mereka ambil. Mahasiswa yang bekerja biasanya menggunakan waktu luang mereka untuk melakukan pekerjaan.

Bagi mahasiswa yang bekerja, mereka memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri (Spickard, 2001). Salah satu keuntungannya mereka telah melakukan penjajakan lebih awal terhadap karir yang mereka akan tempuh, hal ini memberi informasi melalui apa yang mereka alami di lapangan kerja. Kerugiannya, tidak sedikit mahasiswa yang bekerja mengalami permasalahan dalam pembagian waktu dan penyelesaian tugas dibangku kuliah berkaitan dengan pekerjaan mereka.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa bekerja adalah mahasiswa yang memberikan sebagian waktunya bukan hanya pada bangku perkuliahan, tetapi juga pada dunia kerja.

D. Hubungan antara Burnout dengan Motivasi Berprestasi Akademis pada

Mahasiswa yang bekerja

(43)

Bagi mahasiswa yang bekerja permasalahan yang mereka hadapi bukan hanya masalah belajar, akan tetapi bertambah dengan adanya tanggung jawab dan kewajiban mereka sebagai karyawan. Spickard (2001) dalam hasil penelitiannya sejak tahun 1997 terhadap para mahasiswa kedokteran yang mengalami penurunan prestasi belajar di Vanderbilt University Medical Center, Nashville, mengemukakan salah satu masalah yang dihadapi oleh mahasiswa adalah faktor pekerjaan yang diambil diwaktu luang mereka.

Spickard menjelaskan masalah kerja yang berlebihan membuat para mahasiswa kedokteran tersebut mengalami tekanan yang berat terus menerus yang menghabiskan energi psikis mereka. Hal tersebut bukan hanya berdampak pada pekerjaan para mahasiswa tersebut, akan tetapi sisi kehidupan mereka yang lain seperti kehidupan sosial dan kehidupan pendidikan (Spickard, 2001).

Penelitian yang dilakukan Shin, Rossario dan Morch (dalam Brian, 1999) terhadap 141 pekerja sosial dengan rentang usia 23 tahun sampai dengan 65 tahun mengenai coping terhadap burnout, menunjukkan bahwa pada rentang dibawah 25 tahun dengan status lajang dan menjalani studi mengalami kesulitan dalam melakukan coping. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pekerja dengan rentang dibawah 25 tahun yang masih studi mengalami kesulitan dalam membagi waktu dan prioritas kegiatan. Hal ini membuat mereka lebih cepat mengalami sindrom burnout, akibatnya konsentrasi kerja menurun, sikap yang kurang ramah terhadap penerima layanan, sering mengalami gangguan kesehatan ringan dan berat serta penurunan prestasi kerja maupun studi.

(44)

kepuasan kerja. Hasilnya, banyak mahasiswa yang bekerja tersebut mengalami penurunan prestasi akademis oleh karena sering izin sakit, membolos, lupa mengumpulkan tugas dan gagal ujian. Brewer (1996) mengemukakan bahwa ketidak puasan kerja yang berakibat turunnya prestasi akademis para mahasiswa yang bekerja disebabkan kondisi menurunnya motivasi berprestasi para mahasiswa yang bekerja terhadap tugas-tugas kerja serta tugas-tugas akademis.

Dalam sebuah artikel berjudul “Burnout in Medical College Students” pada sebuah situs internet yang dipublikasikan oleh Patient Information Publications (1997), mengulas bahwa banyak mahasiswa kedokteran yang mengambil praktek kerja di rumah sakit terkena sindrom burnout, mengalami turunnya pencapaian prestasi pribadi yang berdampak pada motivasi berprestasi akademis para mahasiswa kedokteran di kampus. Akibatnya prestasi akademis para mahasiswa kedokteran tersebut menurun.

Permasalahan ditempat kerja berdampak serius pada diri mahasiswa tersebut apabila tidak ditangani dengan baik. Hal tersebut memberi dampak pada sisi kehidupan akademis mereka. Turunnya motivasi untuk berprestasi dalam perkuliahan adalah salah satu hasilnya.

E. Hipotesis

Dari uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah, ada hubungan negatif antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis dimana semakin tinggi skor burnout maka semakin rendah skor motivasi berprestasi akademis, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor burnout

(45)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variabel yang akan dikaji adalah : 1. Prediktor : Burnout

2. Kriterium : Motivasi Berprestasi Akademis

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah : 1. Burnout

Burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung serta idealisme yang tidak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini

burnout diungkap melalui dimensi yang dikemukakan Maslach (2001) yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.

2. Motivasi Berprestasi Akademis

(46)

Dari karakteristik yang telah dikemukakan di atas disusun skala motivasi berprestasi akademis yang dapat digunakan untuk mengukur variabel motivasi berprestasi akademis.

C. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa S1 yang bekerja minimal selama 1,5 tahun atau lebih dengan rentang usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi universitas di Jakarta dan sekitarnya.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah angket yang terdiri dari skala motivasi berprestasi akademis dan skala

burnout sebagai berikut:

1. Skala Motivasi Berprestasi Akademis

(47)

Tabel 1

Penilaian pada Skala Motivasi Berprestasi Akademis

Pilihan Favorabel Unfavorabel

SS 4 1

S 3 2

TS 2 3

STS 1 4

Distribusi item pada skala ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2

Sebaran Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis

Nomor Item No Karakteristik

Favorabel Unfavorabel Total

(48)

2. Skala Burnout

Dalam penelitian ini burnout diukur dengan skala burnout yang disusun berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Maslach yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Bentuk skala yang digunakan adalah skala Likert dengan pilihan sebagai berikut: Tp (Tidak pernah), Jr (Jarang), Kd (Kadang), Sr (Sering), Sl (Selalu). Pernyataan pada skala burnout hanya terdiri dari pernyataan favorabel dengan penilaian sebagai berikut:

Tabel 3

Penilaian pada Skala Burnout

Pilihan Tp Jr Kd Sr Sl

Favorabel 1 2 3 4 5

Distribusi item pada skala ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4

Sebaran Item Skala Burnout

Nomor Item 3 Penurunan Pencapaian

Prestasi Pribadi

3, 6, 9, 12, 15, 18, 21,

24, 27, 30 10

(49)

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data

Validitas berkaitan dengan kesesuaian antara suatu konsep dengan indikator yang digunakan untuk mengukurnya (Prasetyo & Jannah, 2005). Azwar (1996) mengemukakan validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu instrimen pengukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, validitas menurut Chaplin (1999) yaitu bahwa alat-alat tersebut bisa mengukur menurut kenyataannya seperti yang dikehendaki untuk diukur.

Reliabelitas berkaitan dengan keterandalan suatu indikator. Informasi yang ada pada indikator ini tidak berubah-ubah dengan kata lain konsisten (Prasetyo & Jannah, 2005). Menurut Azwar (1996) reliabelitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Artinya bila suatu pengamatan dilakukan dengan perangkat ukur yang sama lebih dari satu kali, hasil pengamatan itu sama. Bila tidak sama, maka perangkat ukur tersebut tidak reliabel (Prasetyo & Jannah, 2005).

Pada penelitian ini, skala motivasi berprestasi akademis dibuat berdasarkan karakteristik sebagai berikut: tanggung jawab, membutuhkan umpan balik, inovatif, resiko pemilihan tugas dan ketekunan. Karakteristik tersebut digunakan untuk membuat serta menyusun item-item yang kuat untuk dijadikan sebuah alat tes yang berbentuk skala. Pada skala burnout, item-item dibuat dan disusun berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Maslach yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.

(50)

dibentuk dalam angket dengan penampilan yang layak agar memberikan kemudahan serta menarik minat dalam pengisian alat tes.

Kemudian pengujian validitas item untuk skala burnout dan motivasi berprestasi akademis menggunakan total item correlation dengan mengkorelasikan skor setiap item dengan total item yang dihitung dengan menggunakan formulasi korelasi product moment Karl Pearson yang dibantu dengan program SPSS ver 12.0 for windows.

Pengujian reliabilitas item menggunakan formula Alpha Cronbach yang dibantu dengan program SPSS ver 12.0 for windows.

F. Teknik Analisis Data

(51)

38

BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode try out terpakai. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 dan 14 November 2006 di beberapa perguruan tinggi. Pada hari Jumat, tanggal 10 November 2006 penyebaran kuesioner dilakukan di 3 perguruan tinggi yaitu Univesitas Gunadarma, Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila. Pada hari itu di masing-masing universitas disebarkan kuesioner sebanyak 50 eksemplar. Pembagian ditujukan hanya pada mahasiswa yang bekerja dengan menanyakan apakah mahasiwa tersebut bekerja atau tidak bekerja. Kuesioner yang kembali untuk Universitas Gunadarma sebanyak 50 Eksemplar, Universitas Indonesia sebanyak 21 Eksemplar, Universitas Pancasila 15 Eksemplar. Penyebaran di Universitas Gunadarma dilakukan antara pukul 19.40 Wib sampai dengan pukul 21.38 Wib di depan kampus D, Margonda Raya. Di Universitas Indonesia, penyebaran dilakukan di luar gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat dari pukul 18.40 Wib sampai dengan pukul 20.58 Wib. Penyebaran di Universitas Pancasila dilakukan dari pkl. 20.18 sampai 21.22 Wib di depan gerbang pintu masuk kampus.

(52)

kebanyakan subjek penelitian menganggap bahwa angket itu alat tes psikologi yang dipakai untuk evaluasi kerja dimana angket itu dapat dipelajari untuk mempersiapkan diri menghadapi evaluasi kinerja dari kantor. Sehingga banyak angket yang tidak kembali. Beberapa subjek penelitian pada saat mengembalikan angket ada juga yang sempat menanyakan apakah angket tersebut bisa mereka pinjam untuk di photocopy dan berapakah hasil skor angketnya.

Total kuesioner yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 107 eksemplar. Berdasarkan kriteria usia, lama bekerja serta status pernikahan subjek, dilakukan seleksi dan hasilnya terdapat 9 eksemplar yang tidak memenuhi kriteria, maka kuesioner yang dapat digunakan adalah sebanyak 98 eksemplar.

B. Hasil Penelitian

1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala

Hasil uji validitas dan reliabilitas pada skala motivasi berprestasi dan skala

burnout adalah sebagai berikut: a. Skala Motivasi Berprestasi

Pada penelitian ini untuk menguji skala motivasi berprestasi digunakan

Pearson Product Moment Corelation Coeffecient dengan bantuan aplikasi program SPSS Ver. 12.00 for Windows.

(53)

Tabel 5. Distribusi Item Valid pada Skala Motivasi Berprestasi

Akademis

Nomor Item yang Valid No Karakteristik

Favorabel Unfavorabel Jumlah

1 Tanggung Jawab 1, 31, 51 6, 21, 26, 36, 41, 56 9

2 Membutuhkan

Umpan Balik 2, 12, 17, 32, 47 7, 22, 27, 37, 42, 57 11

3 Inovatif 3, 13, 33, 48, 53 8, 23, 28, 43, 58 10

4 Resiko Pemilihan

Tugas 4, 14, 49, 54 9, 24, 29, 39, 44, 59 10 5 Ketekunan 5, 15, 20, 35, 50 10, 25, 30, 40, 60 10

Total 22 28 50

a. Skala Burnout

Pada penelitian ini untuk menguji skala burnout digunakan Pearson Product Moment Corelation Coeffecient dengan bantuan aplikasi program SPSS Ver. 12.00 for Windows.

Pada skala burnout terdapat 28 item yang dinyatakan valid dan 2 item yang dinyatakan gugur dari 30 item yang diujikan. Korelasi item-item yang valid bergerak antara 0,303 sampai dengan 0,705. Sedangkan hasil uji reliabilitasnya adalah sebesar 0,934 (Lampiran). Adapun perincian item yang valid pada skala

(54)

Tabel 6. Distribusi Item yang Valid pada Skala Burnout

3 Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi

3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27,

30 10

Total 28

2. Uji Asumsi

Uji asumsi adalah langkah selanjutnya sebelum melakukan analisis korelasi. Uji asumsi bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai normalitas sebaran skor dan uji linearitas.

Uji asumsi dilakukan dengan menggunakan bantuan aplikasi program

SPSS 12.00 for Windows. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolgomorov Smirnov Tes dan Shapiro-Wilk Tes.

Pada skala motivasi berprestasi diperoleh nilai Z sebesar 3,340 dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Untuk Skala burnout diperoleh nilai Z sebesar 1,378 dan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa sebaran skor kedua variabel penelitian yaitu motivasi berprestasi dan

burnout adalah tidak normal. Tetapi menurut Reksoatmodjo (2007) estimasi suatu kecenderungan atau gejala dan pengujian hipotesis pada tingkat kepercayaan tertentu dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran sampel. Apabila ukuran sampel N > 30 (sampel besar) digunakan distribusi normal.

(55)

menunjukkan hasil yang linear, dimana skor F tes sebesar 168,194 dan nilai signifikasi 0,000 (p<0,05). Selanjutnya data penelitian dianalisis dengan menggunakan perhitungan statistik parametrik dimana hasil uji asumsi dapat dilihat pada hal lampiran.

Gambaran secara linear antara item variabel burnout dengan item variabel motivasi berprestasi akademis dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 1. Hasil analisa grafik Scatter pada variabel Motivasi Berprestasi

dan variabel Burnout dengan SPSS 12.00 for Windows

40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

Burnout 80.00

100.00 120.00 140.00 160.00 180.00

(56)

3. Hasil Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik teknik korelasi Karl Pearson dan diperoleh hasil seperti tertera dalam tabel hasil perhitungan SPSS 12.00 for Windows di bawah ini:

Tabel 7. Perhitungan Korelasi Karl Pearson dengan SPSS 12.00 for Windows

Motivasi

Berprestasi Burnout Motivasi Berprestasi Korelasi Pearson 1 -0,798(**)

Sig. (1-tailed) . 0,000

N (Jumlah Subjek) 98 98

Burnout Korelasi Pearson -0,798(**) 1

Sig. (1-tailed) 0,000 .

N (Jumlah Subjek) 98 98

** signifikansi korelasi pada tingkat 0,01 (1-tailed).

Gambar

 Gambar
Tabel 17 : Tabel Deskripsi Rerata  Dimensi Burnout ....................................
Gambar 1: Hasil analisa grafik Scatter pada variabel Motivasi Berprestasi
Tabel 2 Sebaran Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi, serta mengetahui tingkat konsep diri dan motivasi berprestasi

Orang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan memiliki inisiatif, kreatif dan inovasi yaitu mempunyai ide untuk menciptakan produk atau metode baru yang lebih baik mutu

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara regulasi emosi dengan motivasi berprestasi pemain basket di ums.Subjek penelitian ini berjumlah 60 orang atlit yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kemampuan mengajar dengan motivasi berprestasi. Hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan positif

hubungan antara kemampuan mengajar dengan motivasi berprestasi guru. Mengetahui hubungan antara kemampuan guru mengajar

Motivasi berprestasi timbul karena adanya faktor- faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi adalah kepercayaan diri. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hardiness dan motivasi berprestasi dengan burnout, hubungan hardiness dengan burnout, dan hubungan motivasi

Karyawan yang memiliki motivasi berprestasi yang cenderung tinggi akan lebih realistis dalam karir mereka sehingga mereka akan bekerja lebih keras dari pada rekan mereka yang