BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1Paradigma Kajian
Salah satu dari banyak hal yang sangat memengaruhi dan membentuk ilmu
dan teori adalah paradigma (paradigm). Thomas Khun dikenal sebagai orang pertama yang mempopulerkan istilah paradigma ini.Paradigma atau dalam bidang
keilmuan sering disebut sebagai perspektif (perspective), terkadang disebut mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kaca mata atau cara pandang untuk memahami dunia
nyata. Dalam hal ini, Patton berpendapat bahwa:
“A paradigm is a world view, a generalperspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As such,paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners:paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are alsonormative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential orepistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes boththeir strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason foraction is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm” (Mulyana, 2002: 9).
Paradigma penelitian kualitatif adalah model penelitian ilmiah yang
meneliti kualitas-kualitas objek penelitian seperti misalnya; nilai, makna, emosi
manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah,
simbol-simbol atau artefak tertentu.Kualitas-kualitas itu harus dinilai atau diukur
berdasarkan pendekatan tertentu, misalnya menggunakan pendekatan
hermeneutika, semiotika, analitika bahasa, verstehen, dan metode lainnya yang sesuai dengan objek penelitian. Penelitian kualitatif menghindari metode
matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang muncul dari objek penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat spesifik dan selalu
mengandung meaning.
Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi teori, analisis
maupun tindak perilaku seseorang. Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada
objektiv, melainkan salah satu di antaranya sangat tergantung pada paradigma
yang digunakan. Karena menurut Thomas Khun (dalam Mulyana, 2002: 10)
paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak
ingin kita ketahui. Paradigma pula yang memengaruhi pandangan seseorang apa
yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang
yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, atau membaca ayat dari suatu
kitab suci yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan
perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan perbedaan
paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi persepsi dan tindak
komunikasi seseorang.
Oleh karena tidak adanya paradigma, model dan sudut pandang yang
diterima secara universal, semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering
tidak konsisten itu sama-sama absah. Keragaman paradigma berguna karena hal
itu memberikan berbagai perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode
disebut ilmiah, kita harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana
kesimpulan yang kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hampir semua metode
bersifat ilmiah bila peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya
secara sistematis dan teratur karena ada kejelasan panduan, antara lain
memperhatikan tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap
publik.
Bagi ilmu sosial, keistimewaannya justru terdapat pada keanekaragaman
perspektifnya. Objek ilmu – ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas)
memang berbeda dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa
dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya,
antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui
(dalam Mulyana, 2002: 17), disiplin komunikasi tidak punya grand theories, sejumlah teori parsial, dan banyak teori yang partikularistik, berdasarkan alasan
berikut.
a. Sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi.
b. Sifat komunikasi yang hadir di mana – mana membuat penjelasan
menjadi sulit.
d. Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan para digmatik.
e. Persaingan antara disiplin – disiplin yang berkaitan.
Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma
ilmu pengetahuan sosial dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu
pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Keempat paaradigma itu ialah:
positivisme, postpositivisme, konstruktivisme (constructivism) dan teori kritik (critical theory).
Perbedaan paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka memandang realitas
dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari tiga aspek
pertanyaan: ontologis(asumsi tentang realitas), asumsi epistemologis (asumsi
tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti), dan asumsi metodologis (asumsi
tentang cara/proses peneliti memperoleh pengetahuan).
Thomas Schwandt tentang pendekatan konstruktivis dan interpretivis
dalam Handbook of Qualitative Research, mengidentifikasi perbedaan dan aliran pemikiran utama yang ada dalam kedua pendekatan ini, yang dipersatukan oleh
penentangan keduanya terhadap positivisme dan komitmennya untuk mempelajari
dunia dari sudut pandang individu yang berinteraksi. Namun kedua perspektif ini,
seperti yang diyakini oleh Schwandt, lebih dibedakan oleh komitmennya pada
soal-soal tentang cara mengetahui ( epistemologi ) dan wujud ( ontologi ) daripada
oleh metodologi spesifiknya, yang pada dasarnya menegakkan pendekatan emik
dan idiografik terhadap penelitian(Denzin & Lincoln, 2009 : 124).
2.1.1 Paradigma Interpretivisme
Interpretivisme dibentuk oleh ide-ide yang muncul dari tradisi
hermeneutika intelektual Jerman dan tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik-kritik terhadap saintisme dan positivisme
dalam ilmu sosial yang dipengaruhi oleh tulisan para filsuf bahasa yang
mengkritik empirisisme logis (misalnya, Peter Winch, A.R. Louch, Isaiah Berlin).
Secara historis, paling tidak para interpretivis menegaskan kekhasan penelitian
manusia. Mereka menyatakan berbagai penolakan terhadap interpretasi
naturalistik atas ilmu sosial (yakni pandangan bahwa tujuan dan metode ilmu
sosial identik dengan tujuan dan metode ilmu alam). Mereka menyatakan bahwa
berbeda dengan ilmu alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu alam adalah untuk memberikan penjelasan ilmiah (Erklaren), sedangkan tujuan ilmu jiwa dan budaya adalah memahami atau mengetahui (Verstehen) “makna” fenomena sosial (Denzin & Lincoln, 2009: 148).
Kalangan interpretivis berupaya mempertahankan antagonisme antara
subjektivitas dan objektivitas, subjektivikasi (keterlibatan) dan objektivikasi
(internalisasi nilai-nilai). Mereka mempertahankan kelestarian dan signifikansi
dunia riil orang pertama, yakni pengalaman subjektif. Namun dalam gaya
Cartesian sejati, mereka berusaha melepaskan diri dari pengalaman tersebut dan mengobjektivikasikannya. Mereka berusaha menarik batas antara objek penelitian
dengan peneliti.Dengan demikian, paradoks terkait dengan bagaimana
membangun ilmu pengetahuan interpretif objektif mengenai pengalaman subjektif
manusia pun muncul. Perjuangan untuk mensintesiskan subjektivitas
fenomenologis dan objektivitas ilmiah tampak dalam upaya Wilhelm Dilthey
untuk menemukan dasar bagi penelitian ilmiah tentang makna, dalam usaha Max
Weber untuk menghubungkan interpretasi makna dengan penjelasan-penjelasan
kausal dan memisahkan fakta dengan nilai dalam penelitian sosial, dan dalam
analisis Alfred Schutz tentang mekanisme Verstehen (Denzin & Lincoln, 2009: 148).
Para penerus teoritis kontemporer dari para pendiri interpretivis ini telah
memusatkan perhatian mereka kepada paradoks tersebut dengan beberapa cara.
Hammersley merupakan wakil dari para kalangan pakar interpretivis yang
mengupayakan sintetis antara realisme dengan konstruktivisme sosial.LeCompte
dan Preissle (1993) serta Kirk dan Miller (1986) mengandalkan metode sebagai
strategi untuk mengeliminasi kekeliruan. John K. Smith menyebutnya dengan
metodologi “jalan tengah”. Para penganjur solusi ini berpendapat bahwa
meskipun ide-ide tentang objektivitas, penjarakan dan hambatan metodologis
sebagaimana yang didefinisikan oleh kaum empiris adalah sebuah fiksi, penelitian
interpretif harus dibuat lebih sistematisdan lebih menyeluruh (rigorous). Alasannya disini adalah bahwa meskipun metode tidak dapat menghilangkan
menjadi kriteria yang dapat digunakan untuk memutuskan bahwa sejumlah hasil
lebih objektif daripada yang lain (Bryman, 2008: 17).
Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya.
Jadi, fokus pendekatan interpretif ini terletak pada arti individu dan persepsi
manusia terhadap realitas, bukan pada realitas independen yang berada di luar
mereka. Menurut Alfred Schutz, manusia secara terus-menerus menciptakan
realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain. Tujuan
pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini
dan bagaimana realita sosial itu terbentuk. Untuk memahami sebuah lingkungan
sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para
pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal
terpenting, tetapi mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam,
maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin. Hal ini
memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian. Pendekatan interpretif mengajak untuk menggunakan logika reflektif
di samping logika induktif dan deduktif serta logika materil dan logika
probabilistik. Pendekatan interpretif tidak ingin menampilkan teori dan konsep
yang bersifat normatif atau imperatif, tetapi mengangkat makna etika dalam
berteori dan berkonsep (Sumaryono, 1999: 23).
Karena mereka memusatkan perhatian kepada makna sebagai sesuatu yang
primer, kalangan interpretivis menafsirkan dunia realitas sosial secara sangat
berbeda dengan kalangan pakar yang mendukung kerangka kerja ilmu sosial
empiris. Di mata kaum empiris, realitas sosial terdiri atas serangkaian fakta sosial
yang meliputi tindakan kasat mata (perilaku) para individu yang dapat dijelaskan
secara fisik atau institusional dan kepercayaan–kepercayaan, keadaan-keadaan
afektif dan seterusnya yang menjelaskan motivasi-motivasi tindakan. Kedua jenis
fakta ini dianggap sebagai data kasar, yakni data yang dapat diidentifikasi dan
diverifikasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi membutuhkan interpretasi.
Dengan cara ini, kaum empiris menjelaskan perilaku manusia sekaligus makna
Pandangan-pandangan interpretivis berpijak pada asumsi bahwa gambaran
realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu
makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan
dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang
membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan
interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang
menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna
tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau
proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia
(sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut Verstehen
atau pemahaman (Bryman, 2008: 16).
2.1.2 Analisis Resepsi
Menurut Stanley J. Baran (2003), analisis resepsi memfokuskan pada
perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas media texts dan bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Hadi, 2009: 3). Hal ini bisa diartikan
individu secara aktif menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan
makna atas pemahamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam sejarah riset audiens, reception studies mulai berkembang pada awal 1980-an di Eropa. Dalam kajian komunikasi, reception studies biasanya dipakai sebagai salah satu alternatif dalam riset audiens. Kemunculan reception studies bukan sebagai reaksi terhadap metode survey dalam riset audiens, melainkan lebih sebagai alternatif dari metode analisis teks dalam studi media.
Kedua metode tersebut sama-sama memakai pendekatan kualitatif dan sama-sama
berupaya menemukan makna pesan melalui penelitian. Perbedaannya adalah,
dalam analisis teks media, makna temuan penelitian dicapai melalui pemaknaan
atas teks oleh peneliti; sementara dalam reception studies, makna yang ditemukan merupakan hasil pemaknaan pesan atau teks media oleh audiens yang diteliti.
Mereka yang merintis metode ini dalam studinya beranggapan bahwa para
peneliti analisis teks media (termasuk pemakai semiotika) terlalu percaya akan
bahwa pemaknaan teks media yang dianggap penting untuk dipelajari adalah
pemaknaan teks media oleh audiens, dan bukan pemaknaan teks oleh peneliti
(Littlejohn & Foss, 2009: 65-67).
Reception analysis adalah metode yang merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (Hadi, 2007: 16).
Analisis resepsi mempertanyakan metodologi penelitian sosial ilmiah
empiris dan juga studi humanistik isi media karena keduanya tidak mampu atau
tidak mengindahkan kemampuan khalayak dalam memberikan makna pada pesan
-pesan media. Inti dari pendekatan resepsi ini terletak pada atribusi dan konstruksi
makna (yang didapat dari media) oleh khalayak. Pesan media senantiasa polisemi
dan harus ditafsirkan.
Pendekatan studi analisis resepsi digunakan karena pada dasarnya audiens
aktif meresepsi teks dan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada
taraf mengamati, meresepsi atau dalam membuat kesimpulan. Penelitian resepsi
mendasarkan pada kesadaran atau cara subyek dalam memahami obyek dan
peristiwa dengan pengalaman individu. Analisis resepsi dapat melihat mengapa
khalayak memaknai sesuatu secara berbeda, faktor-faktor psikologis dan sosial
apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial apa yang
muncul.
Pendekatan ini berasumsi bahwa makna media adalah sesuatu yang tidak
kaku. Konstruksi makna itu terjadi melalui interpretasi khalayak terhadap teks
media. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna
pada saat peristiwa penerimaan dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi
makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai
posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media
secara subjektif dikonstruksikan khalayak secara individual. Latar belakang yang
kehidupan individu khalayak dan pengalamannya bersama media. Dalam hal ini
dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang khalayak dengan
bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media (Croteau & Hoynes, 2000:
268).
Dalam studi khalayak seperti yang dikatakan Evans (Ferguson &
Goldings, 1997: 123–124) penelitian khalayak pada studi media
dikarakteristikkan oleh dua asumsi : (a) bahwa khalayak selalu aktif dan (b)
bahwa isi media selalu bersifat polisemi atau terbuka untuk diinterpretasi. Asumsi
di atas berarti bahwa mayoritas khalayak secara rutin memodifikasi atau merubah
berbagai ideologi dominan yang direfleksikan dalam isi media.
Dalam reception analysis makna teks media merupakan hasil konstruksi khalayak dan bukan buatan produsen media semata. Khalayak di sini adalah siapa
saja yang menggunakan segala bentuk media penyiaran, dalam keadaan apapun
serta memberikan pemaknaannya pada media tersebut. Frank Biocca menyatakan
bahwa ada lima karakteristik khalayak aktif (Littlejohn, 2002: 312), yaitu:
1. Selektif. Khalayak yang aktif dianggap selektif dalam memilih media yang
mereka gunakan.
2. Utilitarian. Khalayak yang aktif dikatakan menggunakan media untuk
memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu mereka.
3. Intensional. Khalayak yang aktif menggunakan isi media yang mereka
inginkan.
4. Involvement. Khalayak secara aktif berpikir dan menggunakan media. 5. Tidak secara mudah dipengaruhi oleh media.
Teori khalayak aktif menyatakan bahwa media tidak dapat membuat
individu harus berpikir atau berperilaku sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh
media karena khalayak bukanlah individu yang bodoh, naif dan mudah untuk
didominasi oleh indoktrinasi media. Khalayak aktif ditekankan pada kecerdasan
dan otonomi dari individu, serta khalayak memiliki kekuatan dalam menggunakan
media. Salah satu cara dasar khalayak media dapat dilihat sebagai khalayak aktif
yaitu melalui interpretasi produksi media oleh khalayak. Ada tiga cara yang
memperlihatkan aktifnya khalayak media massa (Croteau & Hoyness, 2000: 262),
1. Interpretasi
Makna dari pesan yang disampaikan oleh media massa dikonstruksikan
oleh khalayak. Aktivitas menginterpretasikan ini sangat penting dan
merupakan bagian dari proses pemaknaan. Interpretasi khalayak bisa sama
atau bahkan bertentangan dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan
oleh produsen media massa. Setiap individu bisa saja memiliki interpretasi
berbeda untuk sebuah pesan yang sama.
2. Konteks Sosial Interpretasi
Interpretasi khalayak tidak akan terlepas dari konteks sosial di sekitarnya.
Karena media massa merupakan bagian dari kehidupan sosial, interpretasi
terhadap isi media massa akan dipengaruhi oleh setting dan konteks sosial. 3. Aksi Kolektif
Khalayak terkadang melakukan aksi-aksi secara kolektif sehubungan
dengan isi media massa. Mereka bukanlah orang-orang yang pasif. Mereka
akan melakukan sesuatu bila menginginkan sesuatu dari produsen media
massa.
Peran aktif penonton dalam memaknai teks juga dapat terlihat pada model
encoding/decoding Stuart Hall, yaitu model yang menjelaskan bahwa sebuah pesan yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara. Model
ini fokus pada ide bahwa audiens memiliki respon yang bermacam-macam pada
sebuah pesan media karena pengaruh posisi sosial, gender, usia, etnis, pekerjaan,
pengalaman, keyakinan dan kemampuan mereka dalam menerima pesan. Hal
tersebut terlihat pada premis-premis dari model encoding/decoding Stuart Hall
yang merupakan dasar dari analisis resepsi (Narottama, 2008: 7):
1. Peristiwa yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu
cara.
2. Pesan selalu mengandung lebih dari satu potensi pembacaan. Tujuan pesan
dan arahan pembacaan memang ada, tetapi itu tidak akan bisa menutup
hanya menjadi satu pembacaan saja: mereka masih polisemi (secara
prinsip masih memungkinkan munculnya variasi interpretasi).
3. Memahami pesan juga merupakan praktek yang problematik,
secara satu arah akan selalu mungkin untuk diterima atau dipahami dengan
cara yang berbeda.
Objek dari model ini adalah makna dan pesan dalam bentuk tanda yang
diproses melalui pengoperasian kode dalam rantai wacana.Kebanyakan teori
komunikasi bersifat linear karena hanya berfokus pada pesan dan tidak
memperhatikan pada faktor-faktor penyusun pesan. Oleh Fiske, analisa ini
kemudian disempurnakan dengan memberikan perhatian pada kultur media dan
menganalisa hubungan yang kompleks antara teks, khalayak, industri media,
politik dan konteks sejarah sebagai sebuah kesatuan.
Melalui model encoding-decoding dapat diketahui bahwa struktur makna (meaning structure) satu dan struktur makna dua kemungkinan tidak sama. Kode
encoding dan decoding kemungkinan juga tidak sejajar. Derajat simetrisnya akan tergantung dari derajat simetri dan asimetri yang dibangun antara
decoder/receiver dan encoder/producer. Derajat asimetri disini adalah derajat pengertian dan salah pengertian dalam pertukaran komunikasi (Durham &
Kellner, 2002: 173).
Decoding adalah proses melalui mana audiens menggunakan pengetahuan mereka secara implisit tentang teks dan nilai-nilai budaya guna
menginterpretasikan teks media. Decoding berkaitan dengan kapasitas subyektif untuk menghubungkan tanda tersebut dengan tanda lainnya. Model ini
memberikan fokus pada hubungan antara pesan media yang di-encode oleh produser dan cara pesan tersebut diinterpretasikan atau di-decode oleh khalayak. Berdasarkan model ini, khalayak akan men-decode pesan suatu teks dengan menggunakan pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang mereka miliki serta
mengaitkannya dengan keadaan lingkungan secara menyeluruh. Namun apa yang
di-encode oleh pembuat teks tidak selalu simetri dengan apa yang di-decode oleh khalayaknya.
Namun demikian khalayak tidak bisa men-decode pesan semaunya karena teks media memiliki batasan intrpretasi, seperti yang dikatakan oleh Hall, (Hagen
pembacaan antara penulis teks dan pembaca serta bagaimana pesan itu dibaca di
antara keduanya (Durham & Kellner, 2002: 174-175).
1. Dominant-Hegemonic Position.
Yaitu, audience mengambil makna yang mengandung arti dari isi media dan meng-decode-nya sesuai dengan makna yang dimaksud (preferred reading) yang ditawarkan teks media. Audience sudah punya pemahaman yang sama, tidak akan ada pengulangan pesan, pandangan komunikator
dan komunikan sama, langsung menerima.
2. Negotiated Position.
Yaitu, mayoritas audience memahami hampir semua apa yang telah didefinisikan dan ditandakan dalam teks media. Audience bisa menolak bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain.
3. Oppositional Position.
Yaitu, audience memaknai pesan secara kritis dan menemukan adanya bias dalam penyampaian pesan dan berusaha untuk tidak menerimanya
secara mentah-mentah. Dalam hal ini audience berusaha untuk melakukan demitologisasi terhadap teks.
Teks dalam model encoding-decoding diartikan sebagai struktur penanda yang terdiri dari tanda dan kode yang penting bagi komunikasi.Struktur ini sangat
bervariasi bentuknya mulai dari pembicaraan, tulisan, film, pakaian, dekorasi
mobil, gestur, dan lain sebagainya. Maka film Cin(T)a dalam penelitian ini
disebut dengan teks.
Teks media dikatakan bersifat polisemi (Croteau & Hoynes, 2000: 266,
268) karena menurut John Fiske teks media mengandung berbagai makna.Media
dari sudut pandang ini memungkinkan terjadinya keragaman interpretasi; teks
terstruktur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pemaknaan yang
berlawanan dengan keinginan pembuat teks. Namun teks tidak terbuka begitu
saja, teks memang terbuka untuk dimaknai namun memiliki batasan interpretasi.
Batasan interpretasi itu dipengaruhi oleh keikutsertaan audiens dalam suatu
kelompok dan faktor-faktor seperti usia, etnis, kelas sosial, pekerjaan, status
perkawinan, ras, gender, latar belakang pendidikan dan keyakinan politik yang
teks. Beberapa makna akan lebih mudah untuk dikonstruksi karena nilai-nilainya
yang tersebar di masyarakat. Sebaliknya pemaknaan lain akan lebih sulit karena
jarang disosialisasikan kepada masyarakat.
2.2 Kajian Pustaka
Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah dan
meneliti kegiatan – kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup
(scope)-nya dan banyak dimensinya. Para mahasiswa selalu mengklasifikasikan aspek – aspek komunikasi ke dalam jenis – jenis yang satu sama lain berbeda
konteksnya (Effendy, 2006: 52).
2.2.1 Komunikasi
Setiap sendi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan
komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi dapat
diikhtisarkan sebagai berikut (Lubis, 2007: 11).
1. Komunikasi berasal dari bahasa latin, communis yang berarti ‘sama’. Maksudnya bila seseorang menyampaikan pesan komunikasi kepada orang
lain maka terlebih dahulu harus menyadarkan persamaan lambang dengan
orang yang dituju sebagai sasaran komunikasi.
2. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan komunikasi dari
seseorang atau sekelompok kepada seseorang atau sekelompok lainnya.
3. Kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen seperti sumber,
pesan, saluran, penerima, gangguan, proses penyampaian, arus balik dan
efek.
4. Kegiatan komunikasi meliputi komunikasi intra individu, antar individu,
kelompok kecil, public speaking komunikasi massa atau komunikasi antar kebudayaan.
Menurut Frey, Botan dan Kreps (2000), Communication is the process of managing messages for the purpose of creating meaning, bahwa komunikasi adalah suatu proses mengelola pesan dengan tujuan menciptakan makna. Pada
pengertian ini terdapat 3 kata kunci, diantaranya messages (pesan), managing
dinyatakan dalam kata-kata, sedangkan pesan nonverbal dinyatakan dalam simbol
yang berupa tindakan dan isyarat. Managing (mengelola) yaitu mengelola pesan dengan cara menerima pesan untuk direspon kemudian diolah untuk menjadi
pesan yang mungkin dijadikan pilihan yang dapat memengaruhi makna yang akan
ditimbulkan. Meaning (makna) yaitu penafsiran seseorang terhadap pesan yang telah diberikan kepadanya untuk kemudian dipahami (Griffin, 2006: 52).
Proses komunikasi berkaitan dengan bagaimana komunikasi itu
berlangsung. Menurut Daft (2006), ada dua elemen umum dalam setiap situasi
komunikasi, yaitu pengirim dan penerima. Pengirim (sender) adalah orang yang ingin menyampaikan ide atau konsep kepada orang lain, mencari informasi, atau
mengungkapkan pemikiran atau emosi. Penerima (receiver) adalah orang kepadasiapa pesan tersebut dikirimkan. Pengirim meng-enkode (encodes) ide dengan memilih simbol-simbol yang digunakan untuk menyusun sebuah pesan.
Pesan (message) adalah perumusan yang nyata dari ide yang dikirimkan untuk penerima.Pesan tersebut dikirim lewat sebuah saluran (channel). Saluran tersebut bisa berupa laporan formal, e-mail, pertemuan dengan berhadapan secara langsung, lagu bahkan film. Penerima pesan kemudian men-dekode (decodes) simbol-simbol untuk menginterpretasikan arti pesan tersebut.
Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan
sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi
kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati
bersama. Lambang mempunyai beberapa sifat seperti berikut ini.
Lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Apa saja
bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata (lisan
atau tulisan), isyarat anggota tubuh, makanan dan cara makan, tempat tinggal,
jabatan (pekerjaan), olahraga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat
(artefak), angka, bunyi, waktu dan sebagainya. Semua itu bisa dijadikan lambang.
Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna; kitalah yang memberi
makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak
pada lambang itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata
mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu
kata-kata itu. Persoalan akan timbul bila para peserta komunikasi tidak memberi
makna yang sama pada suatu kata.
Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lainnya, dari suatu
tempat ke tempat lainnya, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu lainnya.
Begitu juga makna yang diberikan kepada lambang tersebut. Kita hanya
memerlukan kesepakatan mengenai suatu lambang. Akan tetapi, makna yang
diberikan kepada suatu lambang boleh jadi berubah dalam perjalanan waktu,
meskipun perubahan makna itu berjalan lambat.
Menggunakan lambang, baik dalam penyandian ataupun penyandian-balik,
manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan, bukan hanya antara mereka
yang sama-sama hadir, bahkan juga antara mereka yang tinggal berjauhan dan
tidak pernah saling bertemu, atau antara pihak-pihak yang berbeda generasi. Kita
tidak hanya dapat menyampaikan pengetahuan dari orang ke orang, namun juga
gagasan dari satu generasi ke genarasi lainnya, meskipun generasi-generasi
tersebut dipisahkan oleh waktu ratusan tahun.
Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama
untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial
dengan orang disekitar kita dan untuk memperngaruhi orang lain untuk merasa,
berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan (Mulyana, 2007: 4).
Menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis
untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta
pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland diatas menunjukan bahwa
yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi,
melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai
pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi
adalah proses mengubah perilaku orang lain (Effendy, 2006: 10).
Komunikasi yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses
penyampaian dan penerimaan pesan dengan menggunakan simbol atau tanda
sebuah tanda yang dipertukarkan akan memerlukan makna-makna yang juga
dipertukarkan untuk membentuk sebuah komunikasi yang baik.
Hal tersebut diatas akan mengacu pada bagaimana cara menciptakan
makna. Ini yang akan memberikan penekanan yang berbeda dalam bidang
komunikasi, karena dalam model tersebut tidak dilihat pada proses transmisi
pesan atau proses penyampaian pesan, tetapi lebih menekankan pada relasi antar
unsur-unsur dalam menciptakan makna. Menyangkut hal ini, Fiske
mengklasifikasikannya dalam dua paradigma utama, yaitu:
“Paradigma pertama yang disebut juga paradigma ‘proses’ yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter mengunakan saluran dan media komunikasi. Ia tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Sedangkan paradigam kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna, yakni ia berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification) dan tidaak memandang kesalahpahaman sebagai bukti penting dari kegagalan komunikasi.” (Fiske, 2007: 8).
Dari pandangan diatas dapat diketahui pada dasarnya komunikasi
merupakan proses interaksi sosial melalui pesan. Pada paradigma pertama melihat
komunikasi sebagai proses penyampaian pesan (transmission of message). Hal ini berhubungan dengan bagaimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) menyampaikan serta menerima pesan. Disini komunikasi dimaknai sebagai suatu
proses dimana seseorang berusaha mempengaruhi tingkah laku atau pikiran orang
lain. Dengan kata lain, pandangan ini melihat interaksi sosial sebagai proses
hubungan seseorang dengan yang lain, atau proses mempengaruhi sikap, tingkah
laku dan respon emosional terhadap orang lain.
Pada paradigma kedua lebih melihat komunikasi sebagai suatu aktifitas
sosial dengan menyatakan individu sebagai bagian dari sebuah kebudayaan atau
masyarakat tertentu. Pandangan ini juga tidak mempertimbangkan
kesalahpahaman yang akan menyebabkan kegagalan komunikasi, karena ini
menyangkut perbedaan latar belakang budaya antara pengirim dan penerima
pesan. Oleh sebab itu, dalam paradigma ini lebih menekankan pada studi
komunikasi sebagai studi terhadap teks dan budaya.
Makna merupaka hakekat komunikasi. Bagaimana tidak, seseorang yang
terlibat dalam kondisi percakapan, ia dan lawan bicaranya terus menerus
memberikan makna pada berbagai pesan/informasi yang mereka sampaikan
maupun yang diterimanya. Pemaknaan yang dilakukan para pihak yang terlibat
dalam komunikasi, berada dalam koridor mencari kebenaran, melalui
langkah-langkah kreatif dalam memberi makna.
Dalam konteks komunikasi, makna dan interpretasi selalu muncul dalam
episode pembuatan pesan, penerimaan pesan dan proses yang berlangsung di
dalamnya. Pembuatan dan penerimaan pesan dapat dimaknai dan terdiri dari
berbagai perspektif termasuk individualis, sosialis interpretif dan kritik.
Pembuatan pesan berurusan dengan bagaimana pesan-pesan dihasilkan yang
bermuara pada produk pesan. Sementara itu penerimaan pesan berfokus pada
bagaimana pesan diterima. Baik pembuatan maupun penerimaan pesan, berkutat
di seputar bagaimana manusia memahami, mengorganisasikan dan menggunakan
informasi yang terkandung dalam pesan. Sebagaimana diketahui bahwa
komunikasi merupakan proses yang fokus pada pesan yang dibangun oleh
berbagai informasi.
Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses
berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999: 199). Makna
pesan media tidaklah permanen, melainkan dikonstruksi oleh khalayak melalui
komitmen dengan teks media dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya,
khalayak aktif dalam menginterpretasi dan memaknai teks media.
Gambar 2.1
Sumber : Journal of Communication, 1990, vol. 40 no. 1, Hal 73
Proses interpretasi terjadi setelah pesan diorganisir dan individu akan
mengenali bentuk dan makna dari rangsangan yang diterimanya. Dari rangsangan
yang diterima, ditarik kesimpulan dan menciptakan gambaran akhir mengenai
makna dari rangsangan di dalam pikiran individu. Dapat diibaratkan menafsirkan
suatu hal dari sudut pandang kita sendiri.
Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau
penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu
kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar,
angka atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul
sewaktu penafsir baik secara sadar maupun tidak, melakukan rujukan silang
terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan
pengetahuan yang lebih luas.
2.2.2 Pluralisme
Secara etimologi pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di
luar kelompok kita yang harus diakui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah
“ism” atau aliran tentang pluralitas.
Pluralisme dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang
kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk
menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari
konflik. Sementara itu, dalam pengertian yang lain, pluralisme dimaknai juga
sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu macam “kebenaran terakhir”
yang dipertentangkan dengan aliran “monoisme” atau “dualisme”. Monoisme
bahwa seluruh alam adalah benda, serta mental monoism atau idealisme yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau ide. Sedangkan pada
dualisme, segala sesuatu dilihat sebagai dua. Filsafat Zoroaster misalnya, melihat
dunia terbagi kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara
pikiran (mind) dan benda (matter) (Ka’bah, 2005: 68).
Dalam kamus bahasa Inggris, pluralisme mempunyai tiga pengertian.
Pertama, pengertian kegerejaan sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih
bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofi sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar
yang lebih dari satu. Ketiga, pengertian sosio-politis suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun
partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
karaktiristik diantara kelompok-kelompok. Bila digabungkan dari ketiganya,
pluralisme yaitu “Koeksistensi berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu
dengan tetap terpelihara perbedaan-perbedaan dan karesteristik
masing-masing”(Thoha, 2005: 11).
Namun demikian, menurut Nurcholis Madjid (Rachman, 2001: 31),
pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat
kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru
hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak
boleh dipahami sekedar kebaikan negatif, hanya ditilik dari kegunaannya untuk
menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of civility).
Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme Agama menyampaikan bagaimana sejarah awal kemunculan pluralisme di Eropa berkaitan dengan konflik yang
terjadi pada abad ke 18 diantara para pemeluk agama khususnya gereja. Dari
konflik yang didasarkan pada agama itu pada akhirnya muncul pemikiran modern
kala itu untuk membebaskan akal dari pengaruh agama atau sering muncul dengan
istilah Liberalisme.
disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern.Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana - wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama.Ditengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi diantara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja muncullah suatu faham yang disebut sebagai liberalisme, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.Oleh karena paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya termasuk gagasan pluralisme agama juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak heran jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam keemasan pluralisme politik yang merupakan produk dari liberalisme politik”(Thoha, 2005: 16).
Pluaralisme dianggap sebagai sebuah ekses dari lahirnya konflik etnis
yang terjadi pada sekitar abad 18 sampai 20.Bahkan konflik yang terjadi di Eropa
sudah sampai pada titik yang cukup klimaks yakni pertumpahan darah. Kejenuhan
konflik yang terjadi di Eropa melahirkan sebuah perkembangan pemikiran untuk
mengambil jalan keluar atas konflik yang terjadi. Pluralisme dianggap sebagai
sebuah pemikiran untuk membawa Eropa pada saat itu keluar dari konflik yang
tengah terjadi.
Thoha juga mengungkapkan bahwa munculnya paham liberalisme politik
di Eropa pada abad ke-18 sebagian besar didorong oleh kondisi masyarakat yang
carut marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran serta konflik-konflik etnis
dan sektarian, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah
antar sekte dan mazhab pada masa reformasi keagamaan.Hal ini membuktikan
bahwa paham liberalisme tidak lebih sebagai respon politis terhadap kondisi sosial
masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan
mazhab. Namun kondisi pluralistik semacam ini hanya terbatas dalam masyarakat
kristen Eropa untuk sekian lama baru kemudian pada abad ke-20 berkembang
hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Dalam wacana yang berkembang berikutnya, pluralisme tidak saja
menyentuh ranah filsafat dan sosiologi, akan tetapi pembahasannya juga turut
menyentuh wilayah teologi, bahkan yang terakhir lebih dominan dimaknai dari
gagasan pluralisme agama telah semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat
dan teologi barat.Tokoh yang tercatat dengan gigih mengedepankan gagasan ini
adalah seorang teolog Kristen liberal Ernest Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah
makalah berjudul posisi agama Kristen diantara agama-agama dunia, Troelsch
melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif bahwa dalam semua
agama, termasuk kristen selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu
agama pun yang memliki kebenaran mutlak, konsep ketuhanan dimuka bumi ini
beragam dan tidak hanya satu (Thoha, 2005: 17).
Pluralisme yang dimaknai dalam dimensi teologis secara awam kerap
dipahami sebagai “pembenaran atas seluruh agama dan kepercayaan yang ada”.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, pluralisme dalam pemahaman semacam ini
menganggap bahwa “semua agama benar”. Terlepas dari perdebatan di atas,
Pluralisme dalam ranah teologis ditengarai memiliki hubungan dengan pemikiran
filsafat yang menandai lahirnya zaman baru yang disebut post-modern di Barat. Kesadaran ini lahir dari kalangan gereja melalui Konsili Vatikan II tahun
1962-1965 yang berisikan pengakuan gereja bahwa kebenaran dan keselamatan dapat
juga ditemukan di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan).
Mencermati sejarah awal wacana pluralisme sebagaimana dikemukakan di
atas, dapat dipahami bahwa wacana ini muncul berkaitan dengan bagaimana sikap
keagamaan dalam memaknai kebenaran pada agama lain. John Hick, seorang
profesor teologi, dengan gamblang menerangkan tiga macam paradigma (cara
berpikir) dalam memandang dan menyikapi status agama lain (Knitter, 2004 : 44).
Paradigma eksklusivisme mengajarkan bahwa keselamatan akhirat hanya akan diberikan kepada pengikut agama tertentu saja. Bagi orang Nasrani, Jesus
Kristus diyakini sebagai jalan paling absah, unik, normatif dan hakiki bagi
keselamatan. Paradigma ini tampak pada sikap Gereja Katholik Roma yang
selama berabad-abad menempatkan dirinya sebagai pusat keselamatan dengan
semboyan masyhur “extra ecclesiam nulla salus” yang berarti tak ada keselamatan di luar gereja. Hal ini menyebabkan Gereja Katholik Roma bersikap
tertutup dan berpandangan negatif terhadap agama-agama lain.
mengakui keunikan Jesus Kristus. Inklusivisme menolak segala bentuk
konfrontasi antar agama lain dengan Kristen. Malah sebaliknya, inklusivisme
berusaha memadukan dua pengakuan teologis: adanya keselamatan agama-agama
lain dan keunikan anugerah tuhan dalam Jesus Kristus. Paradigma inilah yang
dianut oleh Gereja Katholik Roma sesudah Konsili Vatikan II yang menandai
perubahan dan keterbukaan baru terhadap agama-agama lain. Peranan dan
sumbangsih Karl Rahner, pakar teologi dari Jerman, dalam hal ini diketahui cukup
besar. Dialah yang mencetuskan istilah “anonymous Christian” (Kristen tanpa nama).
Pada akhirnya John Hick lebih mengedepankan ‘pluralisme’ sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma inklusivisme yang dianggapnya masih plin-plan. Ia menyatakan :
“Kalau kita berpendapat bahwa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama besar (selain Kristen), bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahwa ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan tuhan ? (Knitter, 2004: 44).
Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa
perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan
pada sang Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam
pelbagai bentuk dan cara. Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan
asas dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan.
Dalam pandangan John Hick, ada beberapa model pluralisme yang
mencuat ke permukaan (Legenhausen, 2002: 43). Pertama, pluralisme religius normatif. Pluralisme model ini adalah doktrin yang menunjukan bahwa secara
moral, umat beragama wajib untuk memberikan sikap tertentu pada pemeluk
agama lain. Kedua, pluralisme religius soteriologis, yakni ajaran bahwa umat non-Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Tesis pluralisme soteriologis
dikembangkan untuk mengefektifkan pluralisme normatif secaara psikologis. Hal
ini dipandang perlu untuk dikembangkan karena sulit membayangkan umat
Kristen untuk menghormati pemeluk agama selain Kristen jika mereka percaya
bahwa orang-orang non-Kristen itu tak bisa diselamatkan atau masuk neraka.
mantap atas keimanan mereka dibandingkan para penganut agama lain. Dengan
demikian pluralisme menjadi perdebatan filosofis. Hanya saja ini bukan berarti
menunjukan bahwa agama-agama memiliki kelemahan dalam mengemukakan
landasan rasionalnya. Tetapi akan lebih tepat jika pluralisme religius
epistemologis ini didefinisikan sebagai klaim bahwa semua umat beragama
memiliki keyakinan religius yang akan ditemukan dalam pengalaman religius.
Keempat, pluralisme religius aletis. Pluralisme aletis menegaskan bahwa kebenaran religius harus ditemukan dalam agama-agama selain Kristen dengan
derajat yang sama sebagaimana yang ditemukan dalam agama Kristen. Perbedaan
tentang klaim keselamatan (salvation claim), tentang benar dan salah semuanya akan memiliki derajat yang sama jika ditinjau dari kacamatanya masing-masing.
Kelima, pluralisme religius deontis. Pluralisme dalam model ini selalu tampil sebagai kehendak atau perintah Tuhan untuk mengikuti suatu kaidah atau
tradisi agama. Pluralisme ini berupaya memberikan pemahaman akan tanggung
jawab manusia di hadapan keragaman tradisi agama di dunia.
Pluralisme kemudian berkembang menjadi teori politik tentang bagaimana
mengurus urusan bersama dalam masyarakat yang bersifat pluralistik dari segi
kecenderungan politik, agama, kebudayaan, kepentingan dan lain-lain. Henry S.
Kariel menyebut 6 proposisi umum yang terintegrasi ke dalam teori politik
pluralisme. (1) Individu terwakili dalam unit-unit kecil pemerintahan yang
merupakan perwakilan satu-satunya; (2) Penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan yang tidak representatif menimbulkan kekacauan; (3) Masyarakat
terdiri dari berbagai asosiasi keagamaan, kebudayaan, pendidikan, profesi dan
ekonomi yang berdiri sendiri-sendiri; (4) Asosiasi ini bersifat suka rela dimana
tidak ada keharusan bahwa semua orang hanya berafiliasi dengan satu agama saja;
(5) Kebijakan umum yang diterima sebagai pengikat adalah hasil interaksi bebas
antara asosiasi-asosiasi ini; (6) Pemerintahan publik wajib mengakui dan
bertindak hanya berdasarkan common denominator kesepakatan kelompok (Ka’bah, 2005 : 68).
Alwi Shihab memberikan gambaran pluralisme dengan batasan-batasan
1. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya
dapat dijumpai dimana-mana. Tapi seseorang baru dapat dikatakan
menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam
lingkungan kemajemukan tersebut.
2. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme
menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup
berdampingan di suatu lokasi.
3. Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang
relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau
nilai-nilai, ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir
seseorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham ini, agama
apapun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”.
4. Pluralisme bukan sinkretisme. Dimana terdapat usaha untuk menciptakan
suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen
ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama
tersebut.
Di Indonesia, isu pluralisme dan dialog antarumat beragama menjadi
marak setelah diintrodusir oleh Nurcholish Madjid, Mukti Ali dan Djohan Efendi.
Kemudian pada tahun-tahun terakhir ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya
yaitu Budhy Munawar Rahman dan Ulil Abshar Abdalla dengan Jaringan Islam
Liberal (JIL)-nya.
Sementara itu bagi kelompok Islam radikal seperti Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI),
dengan tegas mereka menolak pluralisme agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
bahkan mengharamkan pluralisme karena menurut MUI, implikasi pemahaman
seperti ini akan mengubah aspek-aspek baku dari suatu ajaran dengan mengikuti
ajaran lain, yang demikian itu tidak dikehendaki oleh ajaran manapun.
2.2.3 Ideologi
Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi berasal
yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate Dictionary berarti
“something existing in the mind as the result of the formulation on an opinion, plan or like” (sesuatu yang ada dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti
science atau pengetahuan atau teori. Jadi ideologi menurut arti kata adalah pencakupan dari yang terlihat atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran
sebagai hasil dari pemikiran.
Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat
ditelusuri ke Perancis pada akhir abad ke – 18. Sejak saat itu ideologi menurut
definisi manapun menjadi perhatian utama para sejarahwan, filsuf, kritikus, sastra
ahli semiotika, ahli retorika yang dapat mewakili semua bidang ilmu humaniora
dan sosial (Lull, 1998: 2). Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat
oleh media massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara
persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya.
Dalam proses itu, konstelasi-konstelasi ide yang terpilih memperoleh arti penting
yang terus menerus meningkat, dengan memperkuat makna semula dan
memperluas dampak sosialnya (Lull, 1998: 4).
Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang
terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi
sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui
komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi.Ideologi
dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan dan tujuannya, meskipun sejarah
dan hubungan-hubungannya tidak pernah jelas seluruhnnya (Lull, 1998: 1).
Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Althusser.
Ideologi atau suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang
dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Salah
satu hal yang paling penting dalam teori Althusser adalah konsepnya mengenai
subjek dan ideologi. Pada intinya, seperti yang ditulis Hari Cahyadi (Eriyanto,
2001: 99), ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek dan
subjek memerlukan ideologi. Ideologi menempatkan seseorang bukan hanya
dalam posisi tertentu dalam relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan
Sementara itu, teori Antonio Gramsci tentang hegemoni membangun suatu
teori yang menekankan bagaimana penerimaan suatu kelompok yang didominasi
terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang
damai, tanpa tindakan kekerasan. Media menjadi sasaran dimana suatu kelompok
mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Seperti yang dikatakan
Raymond William (Eriyanto, 2001: 104), hegemoni bekerja melalui dua saluran:
ideologi dan budaya melalui bagaimana nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni,
ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat
ditukarkan.
Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari
sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah
suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang dikonstruksikan selayaknya
memiliki suatu kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka
berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat
realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Soedibyo, 2001: 12).
Dalam konsep Marx, ideologi adalah bentuk kesadaran palsu. Kesadaran
seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan
masyrakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat. Menurut Hall (Eriyanto,
2001: 94) ada tiga bentuk hubungan pembaca dan penulisan dan bagaimana pesan
itu dibaca oleh keduanya. Pertama posisi pembaca dominan. Terjadi ketika
penulis menggunakan kode-kode yang diterima oleh umum, sehingga akan
menafsirkan dan membaca pesan/tanda itu dengan pesan yang sudah diterima
umum tersebut. Tidak terjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca
disebabkan keduanya mempunyai ideologi yang sama.
Kedua, pembaca dinegoisasikan. Tidak ada pembaca dominan, yang
terjadi adalah kode apa yang disampaikan penulis ditafsirkan secara terus-menerus
diantara kedua belah pihak. Ketiga pembacaan oposisi. Pembaca akan
menandakan secara berkala atau membaca secara berseberangan dengan apa yang
disampaikan oleh khalayak tersebut, karena keduanya memiliki ideologi yang
berbeda.
Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga
kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Sebuah ideologi dipahami sebagai
sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu
sendiri. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang,
tetapi ditentukan oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian
kerja dan sebagainya.
Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini
ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur ketika
dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi adalah
seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang
berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang dominan menggunakan
kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ideologi
digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak
nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima
ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan melalui
berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa.
Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan
ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan
produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran
dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk
dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan
didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang
besar dalam kategori jumlahnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batasan ideologi ini adalah
sebuah sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh kelompok atau lapisan
masyarakat tertentu, termasuk proses-proses yang bersifat umum dalam produksi
makna dan gagasan.
Menurut Teun A. Van Dijk (Eriyanto, 2001: 13-14), ideologi terutama
dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota
suatu kelompok. Ideologi membuat anggota diri kelompok akan bertindak dalam
situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberinya
kontribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam
Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau
individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang di-share-kan tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam
bertindak dan bersikap. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan
secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu,
ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga
membentuk identitas diri kelompok, membedakan dengan kelompok lain. Ideologi
di sini bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi antar anggota kelompok
menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan
semacam ini, teks media lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan
berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap teks media selalu terkandung
ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.
Ada beberapa pendekatan dalam mengkaji ideologi.
1. Orang dapat melihat ideologi sebagai manifestasi populer filsafat atau
tradisi politik terutama suatu kumpulan, pandangan, ide-ide atau
dogma yang cukup koheren yang dianut oleh suatu kelompok.
2. Menelaah ideologi dengan menanyakan “apakah faktor-faktor
pentingnya?”. Apakah kelas, kedudukan sosial, atau afiliasi etnis atau
agama.
3. Pengujian ideologi dengan melihat kebutuhan-kebutuhan individu
maupun kebutuhan masyarakat yang dipenuhi.
4. Ideologi tidak hanya menghubungkan individu dengan masyarakat
secara prinsipil, tetapi juga penguasa dengan rakyat. Ideologi
merupakan bisnis legitimasi pemakaian kekuasaan yang sah.
Selain itu David D. Apter juga melukiskan ideologi itu berada pada
perpotongan antar prinsip atau tujuan filosofis, pilihan dan keyakinan individual
serta nilai-nilai umum dan khusus.
2.3 Model Teoritik
Untuk mengetahui keseluruhan teori dalam penelitian ini, maka dibawah
ini dapat dilihat bagaimana model teoritik dalam penelitian ini.
Model Teoritik
Ideologi dalam Film Cin(T)a
Interpretasi Penonton terhadap Pluralisme dalam Film Cin(T)a
Posisi Penonton •
Dominant-Hegemonic
• Negotiated