• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan Negeri Medan (Studi Terhadap Efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan Negeri Medan (Studi Terhadap Efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

bisa terhindar dari sengketa. Perbedaan pendapat maupun persepsi diantara

manusia yang menjadi pemicu timbulnya sengketa. Sengketa merupakan salah

satu hal yang dapat muncul kapan saja dan dimana saja. Sengketa bermula dari

suatu kondisi dimana salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak tertentu yang

dimana hal ini diawali oleh rasa tidak puas yang bersifat tertutup. Proses sengketa

terjadi karena tidak adanya titik temu antara para pihak yang bersengketa. Bentuk

sengketa bermacam-macam dimana setiap permasalahannya memiliki banyak

lika-liku. Terdapat beberapa pilihan dalam menyelesaikan sengketa hukum salah

satunya yang paling sering dipakai oleh masyarakat adalah penyelesaian sengketa

melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang tidak

memberikan penyelesaian sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak.

Penyelesaian dengan cara ini juga dikenal memakan waktu yang cukup lama dan

mengeluarkan biaya yang cukup mahal.

Dalam proses litigasi, pemeriksaan suatu perkara dianggap telah selesai

karena semua tingkat upaya hukum telah digunakan secara maksimal. Akibatnya

perkara tersebut akan dianggap tuntas dengan ditandai proses eksekusi. Namun

bila ditelaah, sebenarnya dengan berakhirnya proses litigasi bukan berarti

(2)

pihak yang kalah, justru sering menumbuhkan dendam yang berkepanjangan,

sehingga pihak yang kalah akan terus melakukan ronrongan kepada pemenangnya

agar ia tidak bisa menikmati hasil kemenangannya itu. Kondisi seperti itu justru

menjadi kontraproduktif dengan tujuan penyelesaian sengketa itu sendiri, karena

bukan hanya konfliknya tidak selesai secara tuntas, namun pihak yang nyata-nyata

telah dinyatakan menang oleh putusan pengadilan pun pada kenyataannya tidak

bisa menikmati kemenangan itu secara nyaman dan tentram.2

Berangkat dari kekurangan penyelesaian sengketa melalui litigasi ini,

kemudian berkembanglah berbagai pilihan penyelesaian sengketa atau disebut Penyelesaian dengan cara litigasi ini hanya digunakan untuk memuaskan

rasa emosional demi mencari kepuasan pribadi dengan keinginan agar pihak

lawan dinyatakan kalah oleh putusan pengadilan negeri dimana kebanyakan pihak

yang mengajukan tidak memperhitungkan apakah nilai yang disengketakan itu

sebanding atau tidak dengan pengorbanan yang telah dilakukan selama proses

persidangan yang begitu panjang. Proses litigasi memang lebih memberikan

kepastian hukum karena putusannya dapat dilaksanakan dengan kekuatan

eksekusi, namun pada kenyataannya eksekusi itu justru dianggap tidak bisa

memberi kenyamanan dalam menikmati hasil dari kemenangan itu, bahkan dalam

beberapa kasus eksekusi tidak dapat dijalankan. Kinerja institusi penegak hukum

masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan dalam

masyarakat dimana lembaga peradilan yang seharusnya menjadi jalan terakhir

untuk mendapatkan keadilan akan tetapi sering tidak mampu memberikan

keadilan yang diharapkan.

2

(3)

alternatif penyelesaian sengketa yang dianggap sebagai pengganti dari mekanisme

penyelesaian sengketa di pengadilan dimana penyelesaian sengketa ini dilakukan

diluar pengadilan atau non litigasi yang lebih menguntungkan para pencari

keadilan yang bertujuan untuk mengakomodir keinginan-keinginan para pihak

yang bersengketa. Adapun alternatif tersebut antara lain : Arbitrase, konsultasi,

negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Kesepakatan penyelesaian

sengketa di luar pengadilan ini dilakukan dengan cara mufakat oleh para pihak.

Penyelesaian sengketa dengan cara ini dilaksanakan berdasarkan prinsip

kesukarelaan yang pelaksanaannya tergantung pada ketaatan para pihak yang

bersengketa.

Mas Achmad Sentosa dalam makalahnya “Perkembangan ADR

Indonesia” mengemukakan sekurang-kurangnya ada 5 (lima) faktor utama yang

memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa alternatif

di Indonesia, yaitu :3

1. Sebagai upaya meningkatkan daya saing dalam mengundang penanaman

modal ke Indonesia.

2. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang

aefisien dan mampu memenuhi rasa keadilan.

3. Upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang

dibarengi dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan ( termasuk pengambilan keputusan terhadap urusan-urusan publik).

4. Menumbuhkan iklim persaingan sehat (peer pressive) bagi lembaga

peradilan.

5. Sebagai langkah antisipasif membendung derasnya arus perkara mengalir

ke pengadilan.

Alternatif penyelesaian sengketa menawarkan berbagai bentuk proses

penyelesaian yang fleksibel dengan menerapkan satu atau beberapa bentuk

mekanisme yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan

3

(4)

demikian sengketa diusahakan mencapai suatu penyelesaian final. Usaha ini

ditempuh melalui proses yang sifatnya informal dan sesuai bagi sengketa yang

kadang-kadang sangat pribadi atau melalui proses mekanisme yang disusun

bersama oleh para pihak secara kesepakatan agar dapat pula dimanfaatkan

dikemudian hari bagi sengketa yang lebih besar, teknis dan kompleks.4

Istilah alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa (LN Tahun 1999 No. 138). Istilah alternatif penyelesaian sengketa

merupakan terjemahan dari istilah Inggris alternative dispute resolution yang

lazim disingkat dengan sebutan ADR. Namun, sebagian kalangan akademik di

Indonesia menerjemahkan istilah alternative dispute resolution dengan istilah

“pilihan penyelesaian sengketa”.5

Bentuk Alternatif penyelesaian sengketa yang cukup pesat

perkembangannya salah satunya adalah mediasi. Mediasi pada dasarnya adalah

negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai Alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimana dalam pasal

1 angka 10 dijelaskan bahwa :

“Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa

atau beda pendapat melaui prosedur yang disepakati para pihak, yakni

penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi, atau penilaian ahli.”

4

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, ( Jakarta : Fikahati Aneska, 2002), hal.2.

5

(5)

prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk

mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses

tawar-menawar bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi. Mediator dalam mediasi,

berbeda halnya dengan arbiter atau hakim. Mediator tidak mempunyai kekuasaan

untuk memaksakan suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang bersengketa.6

Menurut Tolberg dan Taylor yang dimaksud dengan mediasi adalah

“Suatu proses dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang

secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari

alternatif dan dapat mempercaya penyelesaian yang dapat mengakomodasi

kebutuhan mereka.”7

6

Nurnaningsih Amriani, Mediasi : Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hal.28-29.

Mediasi sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa atau pilihan

penyelesaian sengketa dimana mediasi ini dilakukan dengan tujuan untuk

menyelesaikan sengketa antara para pihak yang dilakukan oleh pihak ketiga yang

bersifat netral dan imparsial. Dalam penyelesaian sengketa dengan cara mediasi

ini menempatkan kedua belah pihak yang berperkara dalam posisi yang sama,

tidak ada pihak yang menang ataupun pihak yang kalah. Dalam penyelesaian

sengketa dengan cara mediasi ini harus adanya keinginan dan itikad baik dari para

pihak yang juga akan dibantu oleh pihak ketiga dalam melaksanakan perdamaian

itu. Adapun pihak ketiga dalam mediasi tersebut disebut mediator yang bertugas

membantu para pihak dalam menyelesaikan masalahnya akan tetapi tidak

memiliki wewenang dalam mengambil keputusan.

7

(6)

Dalam proses mediasi terjadi permufakatan diantara para pihak dan

bantuan mediator dalam mediasi ini diharapkan mampu menemukan berbagai

pilihan solusi penyelesaian sengketa, yang akan dilakukan oleh para pihak yang

bersengketa. Hasil dari mediasi ini dituangkan dalam kesepakatan tertulis, yang

bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa agar dilaksanakan dengan

asas itikad baik. Adapun maksud dari “Itikad Baik” adalah dimana para pihak

yang bersengketa menyampaikan saran-saran melalui jalur yang bagaimana

sengketa akan diselesaikan oleh mediator, karena mereka sendiri tidak mampu

melakukannya. Melalui kebebasan ini dimungkinkan kepada mediator

memberikan penyelesaian yang inovatif melalui suatu bentuk penyelesaian yang

tidak dapat dilakukan oleh pengadilan, akan tetapi para pihak yang bersengketa

memperoleh manfaat yang saling menguntungkan.8

Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang memiliki

kelebihan-kelebihan sehingga menjadi pilihan yang tepat bagi para pihak yang

bersengketa. Adapun kelebihan mediasi adalah kerahasiaan dan ketertutupan yang Pendekatan mufakat dalam mediasi mengandung arti, bahwa segala

sesuatu yang dihasilkan merupakan hasil dari persetujuan bersama ataupun

kesepakatan para pihak. Penyelesaian itu dapat dicapai jika semua pihak yang

bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Mediator yang netral mengandung

arti bahwa mediator tidak memihak kepada para pihak, tidak memiliki

kepentingan dengan sengketa yang sedang terjadi, serta tidak diuntungkan

maupun dirugikan bila ternyata sengketa dapat diselesaikan maupun menemukan

jalan buntu.

8

(7)

menjadi daya tarik bagi kalangan tertentu, contohnya para pengusaha yang tidak

ingin masalah yang dihadapinya diketahui oleh publik. Mediasi juga dilakukan

secara cepat, dan menghasilkan kesepakatan secara komperehensif yang dimana

keputusan itu dapat diterima dengan baik oleh para pihak. Para pihak dalam

mediasi juga dapat memakai bahasa sehari-hari yang lazim mereka gunakan tanpa

perlu memakai istilah-istilah hukum yang lazim dipakai dalam proses beracara di

pengadilan. Meskipun mediasi memiliki banyak kekuatan, akan tetapi mediasi

juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu juga diketahui para pihak bahwa

mediasi hanya akan dapat dilaksanakan secara efektif jika para pihak benar-benar

memiliki keinginan untuk menyelesaiakan sengketa diantara mereka dengan cara

mediasi ini, karena jika hanya salah satu dari mereka yang ingin melakukannya

maka mediasi ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

Latar belakang lahirnya mediasi pada dasarnya adalah karena

pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi

salah satu instrumen yang mengatasi penumpukan perkara di pengadilan. Mediasi

merupakan salah satu proses yang lebih cepat dan murah serta memberikan

kesempatan para pihak yang bersengketa agar dapat memperoleh keadilan dan

rasa kepuasan atas hasil dari penyelesaian sengketa yang tengah mereka hadapi.

Perdamaian pada dasarnya telah ada dalam dasar negara Indonesia, yaitu

Pancasila dimana disiratkan bahwa asas penyelesaian sengketa adalah

musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian perkara di luar pengadilan telah dirintis

sejak lama oleh para ahli hukum sehingga Mahkamah Agung sebagai lembaga

tertinggi merasa bertanggung jawab untuk merealisasikan undang-undang tentang

(8)

Nasional yang menghasilkan SEMA No. 1 Tahun 2002 Tentang pemberdayaan

pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai. Pada Januari 2003

Mahkamah Agung mengadakan temu karya yang dimana hasil dari temu karya ini

menghasilkan Perma No. 2 Tahun 2003.

Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 ini menjadikan mediasi

sebagai salah satu proses beracara di pengadilan. Bahwa semua perkara perdata

yang diajukan pada pengadilan tingkat pertama harus terlebih dahulu diselesaikan

dengan upaya damai. Dalam perma ini hakim diwajibkan untuk menawarkan

mediasi kepada para pihak yang berperkara dimana sebelum dilakukannya

mediasi hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai

prosedur dan biaya mediasi. Pada tahun 2008 Mahkamah Agung

menyempurnakan prosedur mediasi ini dengan melahirkan Perma No. 1 Tahun

2008. Penyempurnaan tersebut dilakukan karena Perma No. 2 tahun 2003

mengalami masalah yang menyebabkan penerapannya tidak efektif di pengadilan.

Perma ini dikeluarkan untuk mempercepat, mempermudah proses penyelesaian

sengketa dimana kehadiran perma ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian,

ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak.

Perma No. 1 tahun 2008 yang dikeluarkan pada tanggal 31 Juli 2008 ini

membawa beberapa perubahan penting dimana memungkinkan para pihak

menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi. Sangat berbeda dengan

Perma No 2 tahun 2003 dimana mediasi hanya ditawarkan pada awal saja.

Lahirnya Perma No 1 tahun 2008 ini sebagai suatu hal positif yang membantu

para pihak untuk lebih memahami mediasi. Perma No. 1 Tahun 2008 ini

(9)

pengadilan. Peraturan ini mengarahkan para pihak yang berperkara agar

menempuh proses perdamaian secara detail. Mediasi wajib dilakukan dengan

hati-hati untuk menghindari penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beritikad baik.

Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak, tetapi juga bermanfaat bagi

pengadilan. Mediasi dapat mengurangi kemungkinan penumpukan jumlah perkara

yang diajukan ke pengadilan, sehingga jika banyak perkara yang berhasil melalui

proses mediasi ini akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan

lebih cepat.

Mengenai mediator dalam Perma No. 2 tahun 2003, mediator adalah pihak

ketiga yang menyelesaikan perkara para pihak. Dalam Perma No. 2 tahun 2003

dan juga UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian

sengketa sama sekali tidak menyebutkan tentang syarat-syarat ataupun kriteria

yang harus dipenuhi oleh seorang mediator. Dalam Pasal 1 angka 6 Perma No. 1

tahun 2008 menyebutkan bahwa :

“Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses

perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa

tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah

penyelesaian.”

Mediator tidak dibenarkan masuk kedalam proses mediasi tanpa

persetujuan tertulis dari pihak dalam sengketa yang akan dimediasikan. Sebelum

persetujuan diberikan, mediator harus menyampaikan kepada para pihak adanya

(10)

dan keadaan lainnya yang mungkin dapat mempengaruhi azas prasangka tidak

berpihak.9

1. Terbatasnya jumlah mediator dan jumlah hakim

Dalam pasal 14 Perma No.1 tahun 2008 disebutkan bahwa :

“Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.”

Dibentuknya Perma No. 1 tahun 2008 adalah dengan maksud mengatasi

kekurangan Perma No. 2 tahun 2003. Akan tetapi, pelaksanaan perma ini masih

juga memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanannya. Adapun faktor yang

menghambat pelaksanaan itu antara lain :

2. Itikad baik para pihak yang bersengketa

Dimana itikad baik sangat penting agar tercapainya keberhasilan dalam

mediasi. Apabila para pihak hanya mengejar keuntungan tanpa

memperhatikan kepentingan mereka, maka perdamaian dengan cara

mediasi akan sangat sulit tercapai.

3. Kurangnya dukungan para hakim

9

(11)

Perlunya penciptaan insentif yang jelas dan transparan bagi para hakim

yang sukses mendamaikan, sehingga para hakim dapat mendukung

sepenuhnya proses mediasi.

4. Ruangan Mediasi

Diperlukannya rehabilitasi gedung kantor pengadilan, dimana saat ini

masih banyaknya pengadilan yang kekurangan ruangan.

Hambatan pelaksanaan Perma No.1 Tahun 2008 menjadi alasan

dilahirkannya Perma No.1 Tahun 2016. Dimana Perma No.1 Tahun 2008

dianggap belum efektif pelaksanaannya. Ada beberapa poin penting dalam Perma

No.1 Tahun 2016 yang berbeda dengan Perma No. 1 Tahun 2008. Salah satunya,

Jangka waktu penyelesaian mediasi dalam Perma No.1 Tahun 2016 menjadi 30

hari, dimana sebelumnya dalam Perma No. 1 Tahun 2008 adalah 40 hari. Dalam

Perma No.1 Tahun 2016 diwajibkan bagi para pihak untuk hadir dengan atau

tanpa kuasa hukumnya, kecuali ada ada alasan yang sah seperti kondisi kesehatan

yang tidak baik, berdasarkan surat keterangan dokter, sedang menjalankan tugas

negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak mungkin ditinggalkan. Hal

yang terpenting adalah adanya itikad baik oleh para pihak dan sanksi bagi pihak

yang tidak memiliki itikad baik dalam proses mediasi.

Terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan proses mediasi

yakni tidak adanya itikad baik para pihak, peran advokat atau kuasa hukum para

pihak, dan penjelasan majelis yang memeriksa perkara belum optimal sehingga

mengakibatkan para pihak kurang memahami bagaimana proses mediasi. Dalam

Perma No.1 Tahun 2016 mewajibkan para pihak beritikad baik ketika melakukan

(12)

beritikad baik yaitu berdasarkan laporan mediator adanya putusan gugatan tidak

dapat diterima disertai hukuman membayar biaya mediasi dan biaya perkara.

Majelis hakim yang memeriksa perkara wajib menjelaskan prosedur mediasi

secara jelas kepada para pihak serta memberi penjelasan mengenai

dokumen-dokumen persetujuan melakukan mediasi dengan itikad baik yang harus

ditandatangani oleh para pihak.

Perma No. 1 Tahun 2016 diterbitkan dengan tujuan untuk meningkatkan

keberhasilan mediasi di pengadilan umum dan pengadilan agama. Perma yang

terbaru ini memiliki pengaturan mediasi yang cakupannya lebih luas dari Perma

sebelumnya. Dalam Perma No. 1 Tahun 2016 ini juga kembali menegaskan

peranan mediator independen agar berperan lebih aktif dalam penyelesaian

perkara di luar pengadilan dan lahirnya mediator-mediator handal dan yang

mampu menyelesaikan permasalahan di masyarakat dengan cara damai.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang di atas, penulis

tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “KEDUDUKAN

MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN

NEGERI MEDAN ( STUDI TERHADAP EFEKTIVITAS PERMA NOMOR

1 TAHUN 2016)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang di atas, maka

dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Kedudukan Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Di

(13)

2. Bagaimana efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016 di Pengadilan Negeri

Medan ?

3. Kendala-Kendala Apa Saja Yang Dialami Mediator Dalam Pelaksanaan

Mediasi Di Pengadilan Negeri Medan ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan

sebelumnya, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kedudukan mediator dalam penyelesaian sengketa di

Pengadilan Negeri Medan.

2. Untuk mengetahui efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016 di Pengadilan

Negeri Medan.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dialami mediator dalam

pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Medan.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dalam skripsi ini adalah :

1. Secara teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan sebagai acuan dalam perkembangan ilmu

hukum di Indonesia. Hal-hal yang tertuang dalam penulisan skripsi Ini

diharapkan menambah pengetahuan para mahasiswa hukum dan juga

masyarakat khususnya berkaitan tentang mediasi di pengadilan serta

kedudukan mediator dalam mediasi. Skripsi ini diharapkan dapat

(14)

pelaksanaan mediasi di pengadilan dengan diterapkannya Perma No. 1

Tahun 2016 Tentang prosedur mediasi di Pengadilan.

2. Secara praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa, praktisi

hukum khususnya bagi advokat dan para hakim, pemerintah, mediator

dalam mediasi, maupun masyarakat khususnya para pihak yang terlibat

dalam suatu sengketa sehingga penulisan skripsi ini dapat dijadikan acuan

dalam penyelesaian sengketa yang melalui proses mediasi.

E. Metode Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian kita tidak terlepas dengan penggunaan

metode. Setiap penelitian haruslah menggunakan metode guna menganalisa

permasalahan yang akan dibahas dalam suatu penelitian. Adapun metode yang

dipakai penulis adalah :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis

normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif adalah penelitian dengan

cara pengambilan bahan maupun data dari kepustakaan dimana penelitian

ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan norma-norma

hukum dalam masyarakat. Sedangkan penelitian yuridis empiris terdiri

atas penelitian terhadap identifikasi hukum, penelitian terhadap efektivitas

hukum yang meliputi (kaidah hukum, penegak hukum, sarana atau

(15)

perbandingan hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian psikologi

hukum.10

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif yang dimana

penelitian ini berusaha memberikan gambaran tentang sebagian ataupun

keseluruhan objek yang akan diteliti. Penelitian deskriptif bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala

atau kelompok tertentu, atau untu menentukan penyebaran suatu gejala,

atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan

gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini, kadang-kadang berawal dari

hipotesis, tetapi dapat juga tidak bertolak dari hipotesis, dapat membentuk

teori-teori baru atau memperkuat teori yang sudah ada, dan dapat

menggunakan data kualitatif atau kuantitatif.11

3. Sumber data

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data primer dan

data sekunder, yaitu :

a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung ke lapangan dengan

cara wawancara. Penulis melakukan wawancara dengan mediator

hakim yang melaksanakan mediasi di Pengadilan Negeri Medan.

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan meliputi

buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian, peraturan

10

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.30-46. 11

(16)

undangan, artikel hukum, pendapat para sarjana, dan bahan lainnya.

Data sekunder ini dapat dibagi menjadi :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri

peraturan peundang-undangan yang berkaitan dengan judul

penelitian yaitu Perma No.1 Tahun 2016 Tentang prosedur

mediasi di pengadilan.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan tentang hukum primer antara lain berupa buku-buku

ataupun tulisan ilmiah hukum yang berkaitan dengan judul

penelitian.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

tentang bahan hukum primer dan sekunder antara lain berupa

kamus, ensiklopedia, surat kabar, maupun artikel hukum dari

internet.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan (Data Sekunder)

Dilakukan dengan mempelajari berbagai sumber bacaan yang

berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini. Seperti :

Buku-buku hukum, surat kabar, majalah hukum, makalah hukum,

maupun artikel hukum dari internet, serta pendapat sarjana hukum dan

bahan-bahan lainnya.

b. Studi Lapangan (Data Primer)

Penelitian langsung ke lapangan yang dilakukan dengan wawancara

(17)

Pengadilan Negeri Medan. Wawancara yang dilakukan penulis terkait

mengenai efektivitas Perma No.1 Tahun 2016 di Pengadilan Negeri

Medan.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode

kualitatif ini digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala

yang ditelitinya.12

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2007), hal.21.

Penulisan skripsi dengan metode analisis kualitatif

dilakukan dengan menelaah bahan-bahan hukum baik dari buku-buku,

internet, serta peraturan perundang-undangan dan juga melakukan analisis

hukum tentang peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat

pada saat sekarang ini. Peneliti mencari tahu dan menggali sumber yang

berkaitan dengan peristiwa hukum yang dituangkan dalam penelitian ini.

F. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “ KEDUDUKAN MEDIATOR DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN (STUDI

TERHADAP EFEKTIVITAS PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016)”. Langkah

awal yang dilakukan penulis sebelumnya adalah melakukan penelusuran terhadap

judul skripsi yang ada pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sepengetahuan penulis materi yang dibahas dalam skripsi ini belum pernah

dijadikan judul ataupun pembahasan pada skripsi yang ada di Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sehingga penulis tertarik

(18)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan mempermudah penulisan dan penjabaran

penulisan skripsi dengan memberikan gambaran yang lebih jelas. Penelitian ini

dibagi menjadi lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang latar belakang, yaitu apa alasan yang

mendorong penulis untuk mengangkat judul ini dalam suatu

penelitian hukum. Permasalahan, yaitu hal-hal yang menjadi

permasalahan dalam penulisan skripsi ini yang nantinya akan dicari

solusi dari suatu permasalahan tersebut. Tujuan penulisan yaitu

maksud dari penulis melakukan penulisan skripsi ini. Manfaat

penulisan, yaitu apa manfaat yang ditimbulkan dengan adanya

skripsi ini baik manfaat bagi penulis sendiri maupun pembacanya.

Metode penelitian, yaitu metode yang penulis pakai dalam mengkaji

setiap permasalahan yang ada. Keaslian penulisan, yaitu penegasan

bahwa skripsi ini bukan merupakan plagiat dari penulisan orang lain

dan dapat dijamin keasliannya. Sistematika penulisan yaitu uraian

ringkas tentang skripsi ini.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PILIHAN PENYELESAIAN

SENGKETA

Bab ini menguraikan tentang pengertian umum dan penyebab

timbulnya sengketa, latar belakang lahirnya pilihan penyelesaian

sengketa, bentuk-bentuk dan pelaksanaan pilihan penyelesaian

(19)

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI DAN PROSEDUR

MEDIASI DI PENGADILAN

Bab ini membahas tentang latar belakang lahirnya prosedur

mediasi di Pengadilan, esensi mediasi dalam penyelesaian perkara

perdata di Pengadilan, pengertian mediator dan fungsi mediator di

Pengadilan.

BAB IV : KEDUDUKAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN (STUDI

TERHADAP EFEKTIVITAS PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016 )

Bab ini menjelaskan tentang bagaimana kedudukan mediator dalam

penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Medan, bagaimana

efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016 di Pengadilan Negeri

Medan, apa saja kendala-kendala yang dialami mediator dalam

pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Medan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini yang

berisikan kesimpulan dan saran dari bab-bab yang telah dibahas

Referensi

Dokumen terkait

a. Faktor horisontal: dipengaruhi oleh letak lintang geografis, jenis tanah, tingkat kelembaban dan curah hujannya. Di daerah iklim tropis flora dan fauna tersebar dalam jumlah

YA Admin Panel YA User Panel Index.php Movie Order.php Logout.php Index.php New Release.php Movie Order.php Tentang Kami.php Kontak.php Guest Panel Index.html New Release.htm

Secara keseluruhan aktivitas pembelajaran matematika melalui pendekatan metaphorical thinking menunjukkan hasil yang positif baik dilihat dari sikap siswa

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh enzim xylanase dalam penghematan pemakaian bahan kimia pada proses bleaching pulp dari hasil delignifikasi kulit

Perhitungan Dosis Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh merupakan perhitungan dosis yang lebih akurat ketimbang menggunakan rumus perhitungan dengan umur saja, atau dengan berat

Kerusakan ginjal yang terjadi pada pemberian ekstrak etanol 70% daun karamunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) sedikit berbeda dengan kerusakan yang

Puji syukur atas berkat rahmat yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa sehingga skripsi yang berjudul “Uji Efek Antipiretik Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Herba