• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Percut (Dusun Bagan) Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Percut (Dusun Bagan) Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nelayan

2.1.1 Pengertian Nelayan

Menurut Imron dalam Mulyadi (2005: 7) Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.

Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Revisi Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1 angka 10 mendefinisikan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sedangkan nelayan kecil (pasal 1 angka 11 UU No. 45 Tahun 2009, menyebutkan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan paling besar berukuran 5GT (gross ton).

(2)

Ensiklopedi Indonesia mendefenisikan Nelayan yaitu orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti penebar dan pemakai jaring) maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nahkoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan), sebagai mata pencaharian. Merujuk pada pengertian tersebut, rumah tangga yang kegiatan utamanya bukan menangkap ikan, tetapi menggunakan ikan sebagai bahan proses produksi bukan dikategorikan sebagai rumah tangga nelayan. Demikian para pedagang ikan sekalipun hidup di tepi pantai juga tidak tergolong dalam kategori nelayan. Nelayan berbeda dengan petani tambak. Perbedaan yang mendasar adalah nelayan memanfaatkan wilayah pesisir sebagai tempat bekerja, sedangkan petani tambak menelola daerah rawa, sungai, sawah, dan sejenisnya untuk mengelola ikan dan produk perikanan lainnya. (Mulyadi 2005: 171)

2.1.2 Klasifikasi Nelayan

Nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok.

1. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain.

b. Nelayan juragan, adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain.

(3)

2. Ditjen Perikanan (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan dalam melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan, yaitu:

a. Nelayan/Petani ikan penuh, yaitu nelayan/petani ikan yang seluruh waktu pekerjaannya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya ditanaman air. b. Nelayan/petani ikan sambilan utama, yaitu nelayan/petani ikan yang

sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman air.

c. Nelayan/ petani ikan sambilan tambahan yaitu nelayan atau petani ikan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunkan untuk melakukan pekerjaan penangkapan/ pemeliharaan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman air. (satria, 2015: 27).

3. Berdasarkan kepemilikan sarana penangkapan ikan, nelayan diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Nelayan Penggarap : Nelayan penggarap adalah orang yang sebagai kesatuan menyediakan tenaganya turut serta dalam usaha penangkapan ikan laut, bekerja dengan sarana penangkapan ikan milik orang lain. b. Juragan/Pemilik : orang atau badan hukum yang dengan hak apapun

(4)

juragan/pengusaha. Jika pemilik sekaligus bekerja melaut menangkap ikan maka dapat disebut sebagai nelayan yang sekaligus pemilik kapal. 4. Penggolongan nelayan dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan

armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi, yaitu:

a. peasant-fisher atau nelayan tradisional yang bersifat sub-sistem, alokasi

hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan) bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. (Satria, 2001)

b. post-peasant fisher, nelayan yang telah menggunakan teknologi

penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor, beroperasi di wilayah pesisir, dan mulai berorientasi pasar. ABK tidak bergantung pada tenaga kerja keluarga.

c. Commercial fisher (nelayan komersil), nelayan yang telah berorientasi

pada peningkatan keuntungan, teknologi penangkapan modern dan membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengoperasikannya, dan

d. Industrial fisher, nelayan industri dengan ciri-ciri menurut Pollnac (1988)

mengorganisasikan sisten agribisnis yang modern, relatif padat modal, kontribusi pendapatan yang lebih tinggi kepada pemilik dan awak, daripada yang didapat oleh nelayan tradisional, dan memproduksi ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. (Satria, 2015: 29)

5. Berdasarkan perahu/kapal kapal penangkap yang digunakan nelayan dapat dibedakan menjadi:

(5)

2. Nelayan perahu papan (kecil, sedang, dan besar) b. Nelayan berperahu motor tempel

c. Nelayan berkapal motor, menurut GT (Gross Ton) terdiri dari: 1. Kurang dari 5 GT

2. 5-10 GT 3. 10-20 GT 4. 20-30 GT 5. 30-50 GT 6. 50-100 GT 7. 100-200 GT 8. 200-500 GT 9. Diatas 500 GT

2.2 Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir

Karakteristik masyarakat pesisir dapat diuraikan secara singkat dari berbagai aspek, yaitu:

1. Sistem Pengetahuan

(6)

mengenal enam buah rasi bintang yang muncul secara bergantian sepanjang tahun, yakni: Lintang Lumbung, Lintang Waluku, lintang Wuluh, Lintang Gubuh, dan lintang Lanjar.

Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual mereka yang hingga kini terus dipertahankan. Dalam beberapa literatur ekonomi sumber daya, indigenous knowledge tersebut sebagai tempat sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan, seperti dalam metode RAPFISH (Rapid

Appraisal for Fisheries). (Satria, 2015: 16-17)

2. Sistem Kepercayaan

Secara teologis, nelayan masih memiliki kepercayaan cukup kuat bahwa laut memiliki kekuatan magis, sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Seperti tradisi sowan ke suhu atau dukun-dukun dalam rangka mendapatkan keselamatan saat melaut dan memperoleh hasil tangkapan yang baik (along). Suhu menganjurkan sebelum menangkap ikan ABK (anak buah kapal) harus menyalakan dupo atau menyan (wewangian) di sekitar kapal. Pada saat menebar jaring ke laut nelayan harus menebarkan bunga-bunga disekitar jaring. Mereka yakin suhu berkontribusi bagi kesuksesan mereka menangkap ikan, tanpa sowan ke suhu mereka seolah-olah kurang percaya diri untuk melaut. Sebagai penghargaan pada suhu mereka memberi biasanya satu bagian pada suhu.

(7)

1. Badan perahu dan palka di dalamnya dibersihkan, dan lumut-lumut yang menempel digodok dengan sabut kelapa atau pasir hingga bersih;

2. Perahu dicuci dengan air cucian beras atau banyu leri yang direndami daun pinang (areca cathecu), alang-alang (Impererata cylindrica), dan klayu, daun galing (Vitis trifolia), abu merang padi ketan hitam, dan berlian; 3. Badan perahu dilumuri dengan sambetan, yaitu rampan rempah-rempah

yang terbuat dari lempuyang, kunir adas pulasari, dan jahe. Air cucian beras dan sambetan ini didapatkan dari dukun;

4. Pemilik perahu mengadakan selamatan kecil di perahu dengan sesajian dan kemenyan disertai doa agar perahunya membawa rezeki yang besar dan terlindung dari bahaya.

Sistem kepercayaan tersebut hingga kini masih mencirikan kebudayaan nelayan. namun seiring perkembangan teologis berkat meningkatnya tingkat pendidikan atau intensitas pendalaman terhadap nilai-nilai agama, upacara-upacara tersebut bagi sebagian kelompok nelayan hanyalah sebuah ritualisme. Maksudnya suatu tradisi yang terus dipertahankan meskipun telah kehilangan makna yang sesungguhnya. Jadi, tradisi tersebut dijalankan hanya sebagai salah satu instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan. (Satria, 2015: 18-19)

3. Peran Perempuan

(8)

faktor penting dalam menstabilkan ekonomi pada beberapa masyarakat penangkap ikan karena pria mungkin menangkap ikan hanya kadang-kadang sementara perempuan bekerja sepanjang tahun. Sejalan dengan hasil penelitian Andriati dalam Kusnadi (2000), mengungkapkan salah satu stategi adaptasi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan dalam mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga adalah dengan mendorong istri mereka untuk ikut mencari nafkah. Yang lebih menarik lagi istri nelayan dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari. (Satria, 2015: 21)

4. Posisi Sosial Nelayan

Posisi sosial nelayan menarik untuk dicermati baik secara kultural maupun struktusal. Disebabkan di kebanyakan masyarakat nelayan memiliki status yang relatif rendah. Di India, nelayan tergolong berkasta rendah Pollnac dalam (Satria, 2015: 22). Di Jepang posisi nelayan mengalami degradasi status sehingga mengalami problem regenerasi nelayan.

Rendahnya posisi sosial nelayan diakibatkan keterasingan nelayan. Keterasingan tersebut menyebabkan masyarakat nonnelayan tidak mengetahui lebih jauh bagaimana dunia nelayan serta sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Diakibatkan banyaknya alokasi waktu nelayan untuk kegiatan penangkapan ikan dari pada untuk bersosialisi dengan masyarakat nonnelayan yang secara geografis relatif jauh dari pantai.

(9)

nelayan. semakin besar penguasaan kapital, maka semakin besar kekuasaan untuk memengaruhi proses politik. Kekuatan ekonomi atau kapital mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan kehidupan politik, hukum dan sosial.

Selain tidak bisa berbuat banyak terhadap produk kebijakan yang diambil pemerintah, secara empiris nelayan juga tidak mampu berbuat banyak menghadapi praktik-praktik perikanan dan non perikanan di wilayah pesisir yang ternyata sangat mengganggu aktivitas mereka. Beberapa contoh praktik yang hingga saat ini masih terus mengganggu antara lain, praktik trawl, praktik kapal asing, dan penambangan pasir. Di Indonesia dengan mayoritas nelayan yang masih tradisional, praktik trawl masih sulit diterima, kecuali pada wilayah-wilayah tertentu yang fomasi sosialnya sudah modern, seperti di Pekalongan dan Pesisir Jawa lainnya. Terbukti dengan berkembangya cothok atau arad yang hingga saat ini relatif tak bermasalah. Berbeda dengan di Jawa, diluar Jawa (khususnya di wilayah kepulauan) kehadiran trawl sangat merugikan nelayan tradisional. Penghasilan nelayan secara signifikan menurun seiring berkembangnya mini trawl dan sejenisnya. Namun nelayan tersebut tidak mampu menolah kehadiran trawl karena lemahnya posisi sosial mereka. (Satria, 2015: 25)

2.3 Sosial Ekonomi

(10)

adanya bantuan dari orang lain, sehingga arti sosial sering diartikan sebagai hal yang berkenaan dengan masyarakat. Ekonomi barasal dari bahasa Yunani yaitu oikos yang berarti keluarga atau rumah tangga dan nomos yang berarti peraturan.

Ada beberapa faktor yang dapat menentukan tinggi rendahnya keadaan sosial ekonomi seseorang dalam masyarakat yaitu :

1. Tingkat pendidikan. 2. Jenis pekerjaan. 3. Tingkat pendapatan. 4. Keadaan rumah tangga. 5. Tempat tinggal.

6. Kepemilikan kekayaan. 7. Jabatan dalam Organisasi.

8. Aktivitas ekonomi ( anonim, 2017: 1)

2.3.1 Permukiman Nelayan

(11)

merupakan susunan sifat berbeda dari hubungan faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman (Djemabut dalam Lukman, 2008: 27)

Menurut Imron (2003) dalam menempati wilayahnya, masyarakat pesisir tidak berbeda dengan masyarakat yang hidup dalam kosentrasi lingkungan yang lain, yang akan menuntut tiga kebutuhan utama, yaitu sebagai berikut:

1. Suatu tempat untuk hidup, yang dapat terlindungi dari gangguan alam sekitar.

2. Tempat untuk melaksanakan kegiatan kerjanya untuk mencari nafkah guna menjamin eksistensi kelangsungan hidupnya.

3. Tempat yang dapat dipenuhi kebutuhan kehidupannya sehari hari.

Penelitian tentang permukiman nelayan pernah dilakukan oleh Poedjiastoe dan Karmilah (2007) di kawasan permukiman nelayan Bandengan Kabupaten Kendal. Hasil penelitian rnenunjukkan bahwa pemenuhan terhadap sarana sanitasi dasar tergolong masih buruk. Hal ini dapat dilihat dari kondisi rumah yang belum memenuhi kriteria rumah sehat, kebiasaan masyarakat dalam buang air besar masih di sungai atau laut karena tidak memiliki jamban, pengelolaan limbah cair belum dilakukan dengan baik karena masih banyak penggenangan air limbah dari rumah tangga di pekarangan rumah dan saluran drainase permanen tertutup sampah, sampah rumah tangga juga belum dikelola dengan baik, karena sampah masih dibuang di sembarang tempat, di selokan, di pekarangan rumah dan di sungai. (Lukman, 2008:29)

(12)

karakteristik permukiman berhubungan secara signifikan dengan kondisi sosial ekonomi penduduk dan kondisi fisik lingkungan permukiman, dimana semakin tinggi kondisi sosial ekonomi semakin baik tipe permukimannya. (Lukman, 2008: 30)

2.3.2 Pendapatan Nelayan

Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan ataupun tahunan.

Menurut teori Milton Friedman bahwa pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pendapatan permanen dan pendapatan sementara. Pendapatan permanen diartikan sebagai pendapatan yang selalu diterima pada periode tertentu dan dapat diperkirakan sebelumnya, sebagai contoh adalah pendapatan dan upah, gaji.

Pendapatan merupakan variabel yang secara langsung mempengaruhi apakah seseorang atau sekelompok orang akan mampu atau tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat hidup secara layak sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Anggapan tersebut mudah dipahami bahkan diterima, mengingat pendapatan dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan agar seseorang atau sekelompok orang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. (Siagian, 2012:69)

(13)

tangganya. Hampir 70% nelayan tradisional mempunyai utang kepada tengkulak/toke. (Mulyadi, 2007: 155)

2.3.3 Pendidikan Nelayan

Nelayan tradisional adalah salah satu kelompok masyarakat pesisir yang memiliki kerentanan ekonomi dan secara relatif paling tertinggal. Seperti penduduk desa pantai yang lain, hampir semua nelayan tradisional umumnnya kurang berpendidikan. (Dahuri, dalam Suyanto, 2013)

Pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut melaut, sehingga mereka jarang yang sekolah. Pendidikan orang tua yang rendah akan mempengaruhi pendidikan anak, khususnya pada warga pesisir. Pendidikan yang dimiliki anak nelayan pada umumnya rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh pendidikan dan persepsi orangtua terhadap pendidikan tinggi tidak ada. Nelayan menganggap pendidikan bukanlah merupakan kebutuhan yang paling utama. Sebagai seorang nelayan yang dibutuhkan hanya keterampilan dan kerja keras, bagaimana cara memperoleh jumlah tangkapan yang melimpah, serta menjualnya dengan harga tinggi. Padahal sesungguhnya, pendidikan sangat diperlukan nelayan sebagai contoh di saat melaut seorang nelayan harus mengetahui arah angin, proses jual beli ikan, dan mengawetkan ikan. Bagi nelayan, berlatih dan belajar dari kebiasaan orangtua, dianggap sudah cukup untuk berlayar (Ono, 2015:29).

2.3.4 Interaksi Sosial

(14)

manusia, maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial di mulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa syarat untuk melakukan interaksi adalah: adanya kontak sosial (social-contact) dan komunikasi. Dimana kontak sosial dalam bahasa latin yaitu : con atau cum yang artinya bersama-sama dan tango yang artinya menyentuh. Jadi kontak sosial dapat diartikan sebagai bersama-sama menyentuh. Sedangkan komunikasi merupakan pembicaraan, gerak-gerah badaniah atau sikap, perasaan-perasaan apa yang ingin di sampaikan oleh orang tersebut. (Soekanto dalam Monica, 2016:25)

2.4 Kemiskinan Nelayan

Menurut (Cambers 1983) Dalam kondisi kemiskinan nelayan, komunitas nelayan sendiri tidak memiliki sumber daya akibat kurangnya apresiasi terhadap eksistensi hak dan kelembagaan lokal mereka. Dalam berbagai program pemberdayaan, nelayan hanya merasa menjadi objek suatu kegiatan, berakhirnya sebuah kegiatan maka berakhir juga partisipasi nelayan sehingga kondisinya tetap miskin.

(15)

patron-klient di masyarakat pesisir menyebabkan kebanyakan nelayan terjerat ke dalam sistem kelembagaan tradisional tersebut.

Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat nelayan Indonesia (Kusnadi, Wiber, 2009) disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Susasana alam yang keras menyebabkan timbulnya ketidakpastian bagi nelayan dalam menjalankan aktivitas sosial ekonomi yang terus-menerus dalam menjaga konsistensi produksi hasil tangkapan.

2. Kualitas sumber daya manusia nelayan yang rendah yaitu rendahnya tingkatan pendidikan, rendahnya budaya kewirausahaan, kurangnya partisipasi dalam usaha produktif, pola kehidupan yang konsumtif, dan gaya hidup yang dipandang boros.

3. Keterbatasan modal usaha menyulitkan nelayan untuk meningkan kegiatan ekonominya. Nelayan sulit mendapatkan permodalan usaha mereka. Lembaga keuangan seperti lembaga perbankan sangat tidak tertarik dalam membantu pemberian kredit untukmodal usaha mereka. Hal tersebut disebabkan selain tidak memiliki jaminan kebendaan yang merupakan persyaratan mutlak bagi lembaga perbankan dalam pemberian kredit, juga usaha mereka menangkap ikan dianggap sebagai bukan usaha yang layak dibiayai sehingga nelayan kesulitan dalam melakukan diversifikasi usaha perikanan.

(16)

5. Program pemerintah yang belum memihak nelayan. Sejauh ini program pemerintah hanya menjadikan masyarakat nelayan sebagai objek, bukan subjek sehingga akan meningkatkan pola kebergantungan masyarakat nelayan itu sendiri.

Menurut kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan (Basuki, Pedum PEMP 2008), penyebab kemiskinan nelayan dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu:

1. Terbatasnya akses teknologi dan informasi, 2. Terbatasnya akses permodalan,

3. Terabaikannya institusi dan hak tradisional masyarakat akan jaminan profesi kenelayanan, serta

4. Kuatnya peran institusi tradisional yang mendominasi permodalan dan permodalan hasil perikanan.

2.5 Akar Kemiskinan Nelayan

(17)

jumlah pemanfaat sumber daya perikanan, sehingga dibutuhkan sarana yang mampu menjangkau wilayah penangkapan ikan.

Pemerintah melalui program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) menyediakan bantuan permodalan permodalan (berasal dari program pengurangan dana subsidi BBM) dengan sistem bergulir. Namun program tersebut tidak menjamin persoalan permodalan komunitas nelayan teratasi; mentalitas nelayan dan pemerintah lokal masih dominan menganggap program ini hanya peluang mencari keutungan. (Basuki, Bogar dalam Andi dkk 2013: 79).

Menurut (Cambers 1983) Dalam kondisi kemiskinan nelayan, komunitas nelayan sendiri tidak memiliki sumber daya akibat kurangnya apresiasi terhadap eksistensi hak dan kelembagaan lokal mereka. Dalam berbagai program pemberdayaan, nelayan hanya merasa menjadi objek suatu kegiatan, berakhirnya sebuah kegiatan maka berakhir juga partisipasi nelayan sehingga kondisinya tetap miskin.

Peran aspek sosial juga turut menentukan derajat kesejahteraan nelayan. Di masyarakat pesisir, stratifikasi sosial sangat menentukan akses dan kontrol terhadap sumber daya (Allisaon dan Ellis 2001). Makin rendah kelas sosial seorang nelayan, makin sedikit akses dan kontrol yang dimilikinya terhadap suatu sumber daya. Di sisi lain, kuatnya peran institusi tradisional ekonomi seperti

patron-klient di masyarakat pesisir menyebabkan kebanyakan nelayan terjerat ke

(18)

2.6 Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multidimensional. Disebut cair karena kemiskinan bisa bermakna subjektif, tetapi sekaligus juga bermakna objektif. Secara objektif bisa saja masyarakat tidak dapat dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada di atas batas garis kemiskinan, yang oleh ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi apa yang tampak secara objektif tidak miskin itu, bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya atau bahkan dengan membandingkan dengan kondisi yang dialami oleh orang lain, yang pendapatannya lebih tinggi darinya. Imron dalam (Mulyadi 2005:47)

Terdapat beberapa pendapat mengenai batasan-batasan dalam memahami kemiskinan, sebagai berikut:

1. Mercher (dalam Matias 2012:5) kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak.

(19)

ekosistem, sehingga pada gilirannya berdampak negatif terhadap kehidupan manusia.

3. Departemen Pertanian mendefinisikan kemiskinan yang ditujukan kepada petani atau nelayan kecil yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan, yaitu dibawah 320 kg setara dengan beras per tahun per kapita. Sayogyo, dalam Iskandar 2012: 2

4. Departemen Sosial mendefenisikan keluarga miskin sebagai keluarga yang tidak memiliki mata pencaharian, atau penghasilan rendah, penghasilan sangat rendah, kondisi rumah dan lingkungan tidak memenuhi syarat kesehata, serta pendidikan terbatas.

5. Suparlan (2004: 315) kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.

(20)

2.7 Indikator Kemiskinan

Untuk dapat hidup secara layak, manusia berhadapan dengan kebutuhan minimum yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, jika seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum tersebut maka mereka dikategorikan sebagai miskin. Sebaliknya jika seseorang atau sekelompok orang tersebut mampu memenuhi kebutuhan minimum, akan dikategorikan sebagai tidak miskin.

Jika dikaji secara mendalam, indikator kemiskinan yang beraneka ragam dihasilkan melalui tiga pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Pendapatan

Berdasarkan pendekatan pendapatan, kemiskinan dapat diukur dari besaran jumlah nominal angka pendapatan atau nominal uang yang dihabiskan sebagai alat pemenuhan kebutuhan. Sajogyo dalam (Siagian, 2012: 69) menjelaskan indikator kemiskinan didasarkan pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan minimum yang dapat diukur dari pendapatan.

Indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik dalam bentuk pendapatan rata-rata secara nasional untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp 233.174,-/bulan per orang. sementara pemeritah Vietnam pada tahun 2010 telah menetapkan indikator kemiskinan dengan hasil jika dikonvensikan ke dalam nilai rupiah adalah sebesar Rp 450.000,-/bulan per orang. BPS dalam Kristanto, (dalam Siagian, 2012: 72).

(21)

2. Pendekatan Konsumsi

Dalam pendekatan konsumsi hal utama yang menjadi pokok pengukuran adalah jumlah asupan kalori yang dapat dipenuhi. Menurut BPS (dalam Siagian, 2012: 73) manusia hanya akan dapat hidup layak jika mengonsumsi makanan dan minuman dengan kandungan minimal 2.100 kalori perkapita perhari.

Sedangkan menurut PBB yang membidangi makanan dan pertanian (FAO) memperkirakan kebutuhan minimum jumlah kalori yang diperlukan tubuh dalam cakupan kelayakan adalah sebesar 2.150 kalori perhari. (The World Bank, dalam Siagian, 2012: 73). Penetapan FAO ternyata lebih besar dibandingkan dengan penetapan BPS.

Hasil penelitian Dandekar dan Rath (India) menetapkan kebutuhan minimal kalori per orang adalah 2.250 kalori. Sedamgkam Sukhame (India) menyimpulkan kebutuhan kalori per orang mencapai 2.350 kalori per hari. Hasil dari kedua penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kebutuhan yang diperlukan lebih besar dari standarisasi BPS dan PBB. (Siagian, 2012: 73).

3. Pendekatan Multi Aspek

Tidak mampunya mengukur kemisikinan melalui satu indikator kemiskinan dalam merepresentasikan kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh merupakan alasan penggunaan pendekatan multi aspek. Terdapat berbagai komponen yang melandasi seseorang atau keluarga itu miskin.

(22)

1. Penghasilan rendah atau berada dalam kategori sangat miskin yang diukur dari tingkat pengeluaran perbulan berdasarkan standat BPS per wilayah Provinsi dan kabupaten/kota.

2. Ketergantungan akan bantuan dari program pemerintah maupun non pemerintah sangat tinggi.

3. Keterbatasan pemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga pertahun (hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap peroeang per tahun). 4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga

yang sakit.

5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar sembilan tahun bagi anak-anaknya.

6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kalibatas garis sangat miskin.

7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40 tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.

8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun keatas yang buta huruf. 9. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.

10.Luas rumah kurang dari empat meter persegi. 11.Kesulitan air bersih.

(23)

2.8 Konsep Penelitian

Nelayan bukan hanya orang yang menggantungkan hidup dari menangkap ikan di laut, melainkan juga orang yang terlibat dalam proses penangkapan ikan di laut. Nelayan tradisional merupakan nelayan menggunakan perahu dan peralatan sederhana dalam melaut seperti perahu dayung dengan alat tangkap jala/ jaring, bubu/nama lain untuk nelayan yang menggunakan perahu dayung untuk menangkap kepiting dengan menggunakan perangkap/ranjau, dan pencari kerang yang menggunakan tangan.

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari kondisi permukiman nelayan, pendapatan nelayan dan tingkat pendidikan nelayan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup manusia. Tingkat pendidikan yang rendah akan membatasi seseorang untuk masuk kedalam akses sumber daya ekonomi yang lebih baik sehingga cenderung mengakibatkan kemiskinan dan ketertinggalan. Terdapat faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat pendidikan anak nelayan yaitu umur kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, umur ibu, tingkat pendidikan ibu, jumlah tanggungan, pendapatan keluarga, status usaha kepala keluarga, jenis kelamin anak dan lain sebagainya.

(24)

Nelayan juga kesulitan mendapatkan akses kredit karena sebagian besar bank beranggapan bahwa pinjaman bagi nelayan berisiko tinggi.

Kesenjangan antara kehidupan nelayan yang miskin ditengah kekayaan laut Indonesia merupakan suatu ironi bagi masyarakat Indonesia. Tingkat pendidikan nelayan, permukiman nelayan dan pendapatan nelayan dapat menggambarkan kehidupan sosial ekonomi nelayan. Demikian halnya dengan kemiskinan yang dialami nelayan, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan kondisi tersebut. Bagan alur fikir akan dipaparkan sebagai berikut:

Bagan Alur Fikir:

Kehidupan Sosial Ekonomi

1. Permukiman

Kondisi tempat tinggal nelayan 2. Tingkat Pendidikan

Kondisi pendidikan anak nelayan 3. Pendapatan

Aktivitas perekonomian yang dilakukan keluarga nelayan 4. Interaksi sosial

Interaksi sosial keluarga nelayan Nelayan

(25)

2.9 Defenisi Konsep

Konsep adalah suatu makna yang berada di alam fikiran atau di dunia kepahaman manusia yang dinyatakan kembali dengan sarana lambang perkataan atau kata-kata. Dengan demikian, konsep bukanlah objek gejalanya itu sendiri, konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang memang merujuk ke gejala nyata ke alam empiris. Konsep adalah sarana merujuk ke dunia empiris bahkan konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri. ( Suyanto, Sutinah, 2005: 49).

Memahami pengertian mengenai konsep-konsep yang akan digunakan maka peneliti membatasi konsep sesuai dengan penelitian ini antara lain:

1. Nelayan adalah orang yang kegiatan sehari-harinya menangkap ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehidupan nelayan tergantung langsung pada penghasilan yang diperoleh melalui penangkapan ikan. Nelayan dalam hal ini adalah nelayan tradisional seperti: nelayan dengan perahu dayung, nelayan bubu/penangkap kepiting dan nelayan penangkap kerang.

2. Kehidupan Sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, tingkat pendidikan serta pendapatan. Dalam hal ini, kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan nelayan, pendapatan nelayan, dan perumahan nelayan.

(26)

terhadap kemampuan/ potensi individu dalam pengembangan dirinya maupun keluarga.

4. Tingkat Pendidikan nelayan sangat mempengaruhi cara pandang dan pola fikir untuk memandang kehidupannya sebagai kondisi yang dapat diperbaiki. Tingkat pendidikan yang rendah maka wawasan nelayan juga terbatas untuk menyadari kondisi kehidupan sosial ekonominya sebagai sesuatu yang dapat dan harus ditingkatkan, sedangkan nelayan yang menyadari pentingnya pedsidikan akan memiliki kesadaran kondisi kehidupan ekonominya sebagai sesuatu yang dapat di tingkatkan.

5. Permukiman diartikan sebagai kelompok bangunan hunian dengan seluruh infrastruktur dan fasilitas pelayanan lingkungan. Untuk melangsungkan hidup, manusia berada dan tinggal dalam permukiman pada hampir seluruh waktu yang di jalani. Melalui gambaran kondisi pemukiman dapat menjadi tolak ukur untuk menilai kondisi kehidupan sosial ekonomi nelayan. 6. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis,

menyangkut hubungan antar orang-orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia. Interaksi sosial keluarga nelayan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi nelayan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pengaruh Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dengan Model Pembelajaran ARCS ( Attention, Revance, Confidence,

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara kontrol orang tua, pengaruh teman sebaya dan media massa terhadap perilaku seksual remaja Penelitian

Sendi-sendi Pokok Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil.. Soekartawi, A., Soeharjo,

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pembentukan MAWAS DBD (Remaja Waspada DBD) terhadap Angka Bebas Jentik di RW II Desa Karanggondang Kecamatan

[r]

20/2017 - Objeto: Aquisição parcelada de pneus, câmaras e protetores, de forma montada (retirado, substituído e recolocado).. Edital disponível no setor de licitação

Membaca surat-surat Al Qur’an 1.3 Membaca QS.Al-Alaq VI Siswa dapat membaca surat Al Alaq 1-5 dengan lancar. 8 10.Melakukan dzikir dan doa 10.1 Melakukan dzikir

PREFEITURA MUNICIPAL DE PORTEIRINHA/MG - Aviso de Licitação - Pregão Presencial para Registro de Preços nº.. Advá Mendes Silva