• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksplorasi Potensi Tumbuhan Beracun Sebagai Bahan Biopestisida di Cagar Alam Dolok Saut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksplorasi Potensi Tumbuhan Beracun Sebagai Bahan Biopestisida di Cagar Alam Dolok Saut"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuhan Beracun

A.1. Definisi Tumbuhan Beracun

Racun adalah zat atau senyawa yang dapat masuk ke dalam tubuh dengan

berbagai cara yang menghambat respon pada sistem biologis sehingga dapat

menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Umumnya

berbagai bahan kimia yang mempunyai sifat berbahaya atau bersifat racun, telah

diketahui. Namun tidak demikian halnya dengan beberapa jenis hewan dan

tumbuhan, termasuk beberapa jenis tanaman pangan yang ternyata dapat

mengandung racun alami, walaupun dengan kadar yang sangat rendah. Tanaman

pangan seperti sayuran dan buah-buahan memiliki kandungan nutrien, vitamin,

dan mineral yang berguna bagi kesehatan manusia serta merupakan komponen

penting untuk diet sehat. Meskipun demikian, beberapa jenis sayuran dan

buah-buahan dapat mengandung racun alami yang berpotensi membahayakan kesehatan

manusia. Racun alami adalah zat yang secara alami terdapat pada tumbuhan, dan

sebenarnya merupakan salah satu mekanisme dari tumbuhan tersebut untuk

melawan serangan jamur, serangga, serta predator (BPOM, 2012).

Foray (1954) mendefinisikan tumbuhan beracun sebagai tumbuhan yang

menyebabkan kesehatan normal terganggu apabila bagian-bagian tertentu darinya

digunakan oleh manusia atau hewan yang dapat menerima dampaknya. Syahputra

(2001) pernah meneliti lebih kurang 700 spesies tumbuhan yang beracun dan

(2)

tumbuhan beracun terdiri daripada kumpulan rumpair, kulat, paku-pakis dan

tumbuhan tinggi

Tumbuh-tumbuhan yang ada di alam sangat banyak jenisnya. Dari

berbagai jenis tumbuhan tersebut ada sebagian besarnya dimanfaatkan oleh

manusia. Namun ada beberapa yang jarang bahkan tidak dimanfaatkan oleh

manusia karena berbahaya terutama bagi kesehatan manusia. Mungkin saja

tanaman yang dibeli ataupun didapat dari teman-teman merupakan tanaman yang

beracun. Keracunan yang ditimbulkan oleh tanaman-tanaman ini, umumnya

belum ada penawar. Jadi sebaiknya diusahakan jangan sampai terpapar racun

tumbuhan-tumbuhan tersebut (Seran, 2011).

Terdapatnya racun atau anti nutrisi pada tumbuhan pada umumnya terjadi

karena faktor dalam (faktor intrinsik) yaitu suatu keadaan dimana tumbuhan

tersebut secara genetik mempunyai atau mampu memproduksi anti nutrisi tersebut

dalam organ tubuhnya. Zat-zat anti nutrisi alkaloid, asam amino toksik, saponin

dan lain-lain adalah beberapa contohnya. Faktor lainnya adalah faktor luar (faktor

lingkungan) yaitu keadaan dimana secara genetik tumbuhan tidak mengandung

unsur anti nutrisi tersebut, tetapi karena pengaruh luar yang berlebihan

ataumendesak, zat yang tidak diinginkan mungkin masuk dalam organ tubuhnya.

Contohnya adalah terdapatnya Se (Selenium) berlebihan pada tanaman yang

mengakumulasi Se dalam protein misalnya pada Astralagus sp. Juga unsur

radioaktif yang masuk dalam rantai metabolik unsur yang kemudian terdeposit

sebagai unsur-unsur berbahaya (Widodo, 2005).

Beberapa ciri tumbuhan beracun sebagai berikut :

(3)

2. Memiliki rambut atau bulu yang sangat lebat di bagian daun atau batang.

3. Memiliki getah yang pahit.

4. Memiliki bunga atau buah berwarna kuat atau gelap.

5. Beraroma tidak enak atau menyengat dan berasa pahit

6. Daun terlihat utuh, tidak ada bekas-bekas serangan serangga.

(Ardianto, 2013).

A.2. Komponen Senyawa Beracun dalam Tumbuhan

Racun dapat diidentifikasi pada tumbuhan beracun dan kemungkinan

dapat disebabkan oleh hasil metabolisme sekunder yang terkandung di dalam

tumbuhan beracun tersebut. Setiap jenis tumbuhan beracun pada umumnya

mengandung zat-zat atau senyawa kimia yang berbeda-beda. Senyawa racun yang

bersifat alami dalam tumbuhan beracun belum sepenuhnya diketahui dan belum

semuanya dimanfaatkan secara aplikatif. Beberapa jenis tumbuhan beracun

mengandung dua atau lebih senyawa racun yang berbeda komponen kimianya

satu dengan lainnya. Hanenson (1980) menyatakan bahwa komponen-komponen

kimia yang dihasilkan tumbuhan beracun melalui metabolit sekunder terbagi atas

beberapa macam seperti alkoloid, glikosida, tanin, saponin, asam oksalat,

phytotoxin, resin, polipeptida dan asam amino serta mineral lainnya.

A.2.1. Alkaloid

Kandungan alkaloid dalam setiap tumbuhan 5-10% dan efek yang

ditimbulkan hanya dalam dosis kecil. Kadar alkaloid pada tumbuhan

berbeda-beda sesuai kondisi lingkungannya, dan alkaloid tersebar di seluruh bagian

(4)

panas dan memerah, jantung berdenyut kencang, penglihatan menjadi gelap dan

menyebabkan susah buang air.

A.2.2. Polipeptida dan asam amino

Hanya sebagian polipeptida dan asam amino yang bersifat racun. Bila

terkontaminasi polipeptida, hypoglycin, akan menyebabkan reaksi hypoglycemic.

A.2.3. Glikosida

Glikosida adalah salah satu komponen yang dihasilkan melalui proses

hidrolisis, yang biasa disebut aglikon. Glikosida adalah senyawa yang paling

banyak terdapat pada tumbuhan daripada alkaloid. Gejala yang ditimbulkan

apabila terkontaminasi glikosida adalah iritasi pada mulut dan perut, diare hingga

menyebabkan overdosis.

A.2.4. Asam Oksalat

Kadar asam oksalat pada tumbuhan tergantung dari tempat tumbuh dan

iklim, yang paling banyak adalah saat akhir musim panas dan musim gugur.

Karena oksalat dihasilkan oleh tumbuhan pada akhir produksi, yang terakumulasi

dan bertambah selama tumbuhan hidup. Gejala yang ditimbulkan adalah mulut

dan kerongkongan terasa terbakar, lidah membengkak hingga menyebabkan

kehilangan suara selama dua hari, dan hingga menyebabkan kematian jika

terhirup.

A.2.5. Resin

Resin dan resinoid termasuk ke dalam kelompok asam polycyclic dan

penol, alkohol dan zat-zat netral lainnya yang mempunyai karakteristik fisis

(5)

Termasuk juga gejala muntah-muntah. Apabila terkontaminasi dengan air

buahnya menyebabkan bengkak dan kulit melepuh.

A.2.6. Phytotoxin

Phytotoxin adalah protein kompleks terbesar yang dihasilkan oleh

sebagian kecil tumbuhan dan memiliki tingkat keracunan yang tinggi. Akibat

terkontaminasi adalah iritasi hingga menyebabkan luka berdarah dan

pembengkakan organ tubuh setelah terhirup.

A.2.6. Saponin

Saponin adalah glikosida tanaman yang ditandai dengan munculnya busa

dipermukaan air bila dicampurkan atau diaduk, yang telah dikenal serta diakui

sebagai sabun alami dan telah menyebabkan beberapa tanaman seperti soapwort

(Saponaria officinalis) umum digunakan sebagai sabun untuk waktu yang lama.

Saponin ketika dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar dari pada yang

diizinkan, senyawa ini menjadi tergolong beracun. Gejala yang ditimbulkan bagi

manusia apabila dikonsumsi secara berlebihan adalah dapat menyebabkan

kerusakan pada mukosa pencernaan sehingga menderita muntah-muntah, sakit

perut, perdarahan, pusing, maag dan begitu terkontaminasi ke sistem peredaran

darah, senyawa ini dapat merusak ginjal dan hati serta mempengaruhi sistem saraf

bahkan dapat mengakibatkan serangan jantung.

A.2.7. Tanin

Tanin adalah senyawa polifenol yang bersifat terhidrolisa dan kental.

Senyawa ini telah dikembangkan oleh tanaman sebagai bentuk pertahanan

terhadap seranga eksternal dari predator yang memiliki rasa pahit atau kelat. Jika

(6)

seperti diare, sakit perut, urin bercampur darah, sakit kepala, kurang napsu makan

dan lain-lain.

B. Pestisida

Tarumingkeng (2008) menyatakan bahwa pembasmi hama atau pestisida

adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak, memikat, atau

membasmi organisme penggangu. Pestisida seringkali disebut racun dalam

bahasa sehari-hari. Nama ini berasal dari pest (hama) dan memiliki akhiran – cide

(pembasmi).

Sasaran pestisida bermacam-macam seperti serangga, tikus, gulma,

burung, mamalia, ikan atau mikroba yang dianggap menggangu. Pestisida

digolongkan berdasarkan sasarannya dapat berupa akarisida/ mitesida (tungau

atau kutu), alvisida (burung), bakterisida (bakteri), fungisida (jamur atau

cendawan), herbisida (gulma), insektisida (serangga), larvasida (ulat atau larva),

molluksisida (siput), nematisida (nematoda yaitu semacam cacing yang hidup di

akar), ovisida (telur), pedukulisida (kutu atau tuma), piscisida (ikan), rodentisida (

binatang pengerat seperti tikus) dan termisida (rayap) (Tarumingkeng, 2008).

Pestisida yang digolongkan berdasarkan cara penggunaannya dapat berupa

Atraktan (zat kimia pembau sebagai penarik serangga dan menangkapnya dengan

perangkap), komosterilan (zat yang berfungsi untuk mensterilkan serangga serta

hewan bertulang belakang), defoliant (zat yang dipergunakan untuk

menggugurkan daun supaya memudahkan panen pada tanaman kapas dan

kedelai), desiccant (zat yang digunakan untuk mengeringkan daun atau bagian

tanaman lainnya), desinfektan (zat yang digunakan untuk membasmi

(7)

mempercepat pertumbuhan tanaman), Repellent (zat yang berfungsi sebagai

penolak atau penghalau serangga atau hama yang lainnnya; contohnya kamper

untuk penolak kutu, minyak sereb untuk penolak nyamuk), sterilan tanah (zat

yang berfungsi untuk mensterilkan tanah dari jasad renik atau biji gulma),

pengawet kayu (biasanya digunakan pentaclilorophenol/PCP), Stiker (zat yang

berguna sebagai perekat pestisida supaya tahan terhadap angin dan hujan),

Surfaktan/agen penyebar (zat untuk meratakan pestisida pada permukaan daun),

Inhibitor (zat unuk menekan pertumbuhan batang dan tunas) dan Stimulan

tanaman (zat yang berfungsi untuk menguatkan pertumbuhan dan memastikan

terjadinya buah) (Martono, 2004).

Untung (2001) menyatakan bahwa prinsip penggunaan pestisida adalah

harus kompatibel dengan komponen pengendalian lain seperti komponen hayati,

efesien untuk mengendalikan hama tertentu, harus minim residu, tidak

persitent/harus mudah terurai, dalam perdagangan (transport, penyimpanan,

pengepakan, labelin) harus memenuhi persyaratan keamanan yang maksimum,

harus tersedia antidote untuk pestisida tersebut, sebisa mungkin aman bagi

lingkungan fisik dan biota, relatif aman bagi pemakai (LD 50 dermal dan oral

relatif tinggi) dan harga terjangkau bagi petani.

C. Biopestisida

Biopestisida adalah bahan yang berasal dari alam, seperti

tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan Organisme Pengganggu

Tanaman atau juga disebut dengan pestisida hayati. Biopestisida merupakan salah

satu solusi ramah lingkungan dalam rangka menekan dampak negatif akibat

(8)

banyak dikembangkan di masyarakat khususnya para petani. Namun belum

banyak petani yang menjadikan biopestisida sebagai penangkal dan pengedali

hama penyakit untuk tujuan mempertahankan produksi, (Anonim, 2007).

Menurut Sutanto (2002) mengatakan bahwa sesungguhnya penggunaan

biopestisida ini telah lama dikenal dan diterapkan oleh nenek moyang kita sebagai

salah satu kearifan lokal. Sangat disayangkan bahwa kearifan lokal ini sudah

banyak dilupakan oleh masyarakat kita, padahal keuntungan dari penerapannya

dapat dirasakan dalam jangka panjang. Bahan-bahan pembuatannya pun mudah

dan relatif murah, bahkan terkadang melimpah di alam. Dalam kaitannya dengan

program penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan pun, biopestisida merupakan

salah satu komponen teknologi yang direkomendasikan oleh banyak ahli.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan biopestisida berasal dari Bahan-bahan hidup

seperti tumbuh-tumbuhan (empon-empon, jarak, jengkol, biji srikaya, tembakau,

nimbi, dll) dan mikroba (cendawan, bakteri, virus dan protozoa). Berdasarkan

penelitian, sebagian tumbuhan mengandung bahan kimia yang dapat membunuh,

menarik dan menolak serangga, sebagian juga menghasilkan racun, mengganggu

siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan atau mengubah perilaku

serangga.

Cakupan biopestisida sangat luas, yaitu mencakup semua organisme hidup

yang dapat difungsikan sebagai agen pengendali hayati organisme penganggu

tanaman. Sementara jenis dan macamnya disesuaikan dengan sasaran target

organisme penganggu. Misalnya untuk hama serangga disebut bioinsektisida,

untuk jamur atau fungi disebut biofungisida, dan untuk gulma disebut dengan

(9)

D. Kondisi Umum Cagar Alam Dolok Saut

Cagar Alam Dolok Saut ditetapkan menjadi cagar alam berdasarkan GB.

Nomor 36 Tanggal 4 Februari 1922 seluas 39 Ha dan direncanakan sebagai hutan

tutupan (lindung) berdasarkan Surat Nomor 637/70 tanggal 28 Juli 1922.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Sumatera Utara tahun 2003-2018,

kawasan hutan Dolok Saut tetap dipertahankan sebagai kawasan suaka alam. Dan

berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 44 tahun 2005 tentang

Penunjukan Luas Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, Cagar Aalam Dolok

Saut juga tetap dipertahankan sebagai kawasan suaka alam.

Kawasan Cagar Alam Dolok Saut berbatasan langsung dengan kawasan

hutan lindung Dolok Saut register 17. Pada bagian barat batas cagar alam dengan

hutan lindung Aek Raut. Letak geografis Cagar Alam Dolok Saut berada di

koordinat 99o11’10” Bujur Timur dan 01o54’45” Lintang Utara dan pada

ketinggian 1.280 s/d 1.360 mdpl. Secara administrasi pemerintah Cagar Alam

Dolok Saut terletak di Desa Pansur Natolu, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten

Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara.

Penataan batas cagar alam dolok saut berdasarkan hasil pengukuran

langsung di lapangan adalah sepanjan 1,4 km. Berdasarkan informasi dari balai

pemantapan kawasan hutan wilayah I medan dan dari dokumen yang ada di

kawasan ini belum dilakukan penataan batas. Berdasarkan data yang diperoleh

dari dinas kehutanan tapanuli utara bahwa proses verbal tentang pengumuman

batas-batas hutan yang telah dibuat diatur berdasaekan kebulatan mufakat pada

tangal 25 oktober 1935 dengan catatan bahwa terdapat 5 buah pal yaitu NM. 5,

Referensi

Dokumen terkait

power tungkai dan fleksibilitas panggul dengan kecepatan panjat tebing memberikan kontribusi sebesar 54,1%Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat hubungan

Balance sheet account are translated at the current spot exchange rate if they are carried on the books at their current value!. Items that are carried on the books

[r]

Local government may be less inclined to expropriate assets from a variety of countries all at once. Finance projects with

When markets are imperfect, international financing can lower the firm’s cost of capital... One way to achieve this is to internationalize the firm’s ownership structure... !

Berdasarkan hasil evaluasi atas 27 (dua puluh tujuh) proposal Bantuan Fasilitasi Kerja Sama Internasional (BFKSI) Tahun Anggaran 2017 yang dilakukan Direktorat Pembinaan

Dalam skripsi ini akan diuraikan bagaimana pengawasan perbankan di Indonesia, bagaimana pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan di Indonesia, dan bagaimana penentuan

Sistem Radio frequency identification (RFID) adalah sebuah teknologi yang menggunakan komunikasi via gelombang elektromagnetik untuk merubah data antara terminal dengan suatu