• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Menggunakan Temperatur Termofilik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Menggunakan Temperatur Termofilik"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS)

Prospek perkembangan industri kelapa sawit saat ini sangat pesat, dimana terjadi peningkatan jumlah produksi kelapa sawit seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat. Hal ini terlihat dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah yaitu menjadi 10.956.231 hektar pada tahun 2014 dan terus meningkat pada tahun 2015. Berikut adalah tabel luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia [20]

Tabel 2.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

Tahun Luas Areal (Ha) Laju

Pertumbuhan (%)

PR PBN PBS Jumlah

2004 2.220.338 605.865 2.458.520 5.284.723

2005 2.356.895 529.854 2.567.068 5.453.817 3,20 2006 2.549.572 687.428 3.357.914 6.594.914 20,92 2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836 2,61 2008 2.881.898 602.963 3.878.986 7.363.847 8,82 2009 3.061.413 630.512 4.181.369 7.873.294 6,92 2010 3.387.257 631.520 4.366.617 8.385.394 6,50 2011 3.752.480 678.378 4.561.966 8.992.824 7,24 2012 4.137.620 683.227 4.751.868 9.572.715 6,45 2013 4.356.087 727.767 5.381.166 10.465.020 9,32 2014 4.551.854 748.772 5.656.105 10.956.231 4,69

Rata-Rata Laju Pertumbuhan 7,67

Dengan meningkatnya produksi kelapa sawit, maka tentu akan berdampak pada peningkatan jumlah limbah yang dihasilkan. Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak kelapa sawit adalah limbah cair, limbah padat dan limbah gas.

(2)

klarifikasi (60%), sterilisasi (36%) dan hidrosiklon (4%). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa dari produksi satu ton tandan buah segar dihasilkan hampir 0,5-0,75 ton LCPKS [2]. Karakteristik LCPKS dapat bervariasi dalam kualitas dan kuantitas untuk operasi yang berbeda setiap harinya dari pabrik-pabrik industri kelapa sawit, hal ini tergantung pada jenis dan usia panen kelapa sawit serta kondisi pengolahan dalam pabrik [21].

Jika LCPKS langsung dibuang ke perairan, maka sebagian limbah akan mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan, mengeluarkan bau yang tajam dan dapat merusak ekosistem perairan. Untuk itu LCPKS harus diolah terlebih dahulu sesuai dengan baku mutu limbah yang ditetapkan sebelum dibuang ke lingkungan [22]. LCPKS mentah memiliki kandungan senyawa organik yang sangat tinggi sehingga dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku pembuatan biogas [23].

2.2 BIOGAS

Biogas merupakan energi terbarukan yang dihasilkan melalui proses dekomposisi senyawa organik oleh bakteri dalam kondisi anaerob. Biogas dapat

dimanfaatkan sebagai bahan bakar maupun pembangkit tenaga listrik [24]. Menurut

Meynell dalam Erikson [25] pada biogas dengan kisaran normal yaitu 60-70% metana dan 30-40% karbon dioksida. Nilai volume biogas dinyatakan dengan “normal meter kubik” (Nm3) dimana kondisi volume gas pada oC dan tekanan atmosfer. Gas metana murni memiliki nilai energi 9,81 kWh/Nm3. Jika biogas terdiri dari 97% metana maka jumlah energi yang dihasilkan mendekati 9,67 kWh/Nm3. Kesetaraan biogas dengan sumber energi lainnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Kesetaraan biogas dengan sumber energi lain (1 Nm3 biogas) Sumber Energi Daya yang dihasilkan Kesetaraan

Gas Alam 1 Nm3 11,0 kWh 0,88 Nm3

Bensin 1 L 9,06 kWh 1,07 L

Minyak solar 1 L 9,8 kWh 0,98 L

E8 1 L 6,6 kWh 1,47 L

(3)

sebagai substrat dalam digestasi anaerobik untuk pembentukan biogas [27]. Tingkat produksi biogas bervariasi tergantung kondisi dan parameter seperti suhu, kecepatan pengadukan, konsentrasi umpan, katalis, dan sebagainya [28]

.

2.3 PROSES DIGESTASI ANAEROBIK DUA TAHAP

Proses digestasi anaerobik merupakan proses penguraian bahan organik oleh

aktivitas bakteri pada kondisi tanpa oksigen dan merubahnya dari bentuk

tersuspensi menjadi terlarut dan biogas [29]. Pengolahan anaerob mengkonsumsi lebih sedikit energi dan ruang dibandingkan dengan pengolahan aerobik yang umumnya memerlukan input energi yang tinggi untuk tujuan aerasi [30]. Proses biodegradasi senyawa organik terjadi dalam empat tahapan yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis [31].

Gambar 2.1 Tahapan Proses Digestasi Anaerobik [31] Asetogenesis

Hidrolisis

Asidogenesis

Oksidasi homoasetogenesis

Reduksi homoasetogenesis

Metanogenesis

Senyawa Partikel Organik : Karbohidrat, Protein dan Lemak

Asam Amino, Gula, Alkohol, Asam Lemak

Produk Intermediet :

Asam Asetat, Asam Propionat, Etanol, Asam Laktat

Asam Asetat H2

CO2

(4)

Hidrolisis merupakan tahap awal dimana protein, karbohidrat dan lemak diuraikan menjadi turunan sederhana melalui degradasi fisikokimia dan reaksi enzimatik. Tahap selanjutnya, asidogenesis dilaksanakan oleh mikroorganisme chemoorganotrophic yang memperoleh energi melalui fermentasi atau respirasi. Mikroba ini memanfaatkan asam amino, sakarida, LCFAs, gliserol atau spesies yang berbeda dari VFA sebagai donor elektron. Bakteri metanogen kemudian memanfaatkan asam asetat dan hidrogen sebagai donor elektron utama untuk produksi metana dan karbon dioksida. Pada proses digestasi anaerobik satu tahap, konsentrasi VFA yang tinggi dapat terakumulasi selama tahap asidogenesis akibat organic loading rate (OLR) yang tinggi atau hydraulic retention time (HRT) yang singkat. Akumulasi VFA akan menurunkan pH sistem, dan akhirnya menyebabkan kegagalan proses. Proses asidogenesis dan metanogenesis yang dilaksanakan dalam reaktor yang terpisah dapat mengatasi masalah ini [32]. Penggunaan digester dua tahap merupakan suatu strategi untuk meningkatkan kinerja proses secara

keseluruhan dalam hal stabilitas dan efisiensi degradasi tiap-tiap tahap baik tahap

asidogenesis maupun tahap metanogenesis. Pengendalian konversi VFA pada tahap

asidogenesis memungkinkan produksi bio-hidrogen yang lebih efisien, sehingga

meningkatkan proses metanogenesis [33].

Gambar 2.2 Digestasi Anaerobik Dua Tahap [32]

(5)

dan aktivitas mikroorgansme yang tinggi pada tahap pertama. [31]. Tujuan dari proses digestasi anaerobik dua tahap tidak hanya untuk lebih mendegradasi limbah, tetapi juga untuk mengekstrak energi yang lebih bersih dari sistem [33].

Penelitian Ventura et al, 2014 [34] membandingkan kinerja proses digestasi anaerobik satu tahap (SP) dan dua tahap menggunakan reaktor CSTR dengan bahan baku limbah minyak nabati (OW) dan kotoran babi (PM) yang dilakukan adalah dengan rasio OW/PM pakan yang berbeda (1:0, 1:1 dan 1: 3 v/v) dan pada tingkat beban organik berkisar 0,25-3,1 kg VS m-3 hari-1. Pencampuran OW dengan PM menetralkan efek negatif dari akumulasi lipid dan efisiensi penghilangan VS dalam sistem lebih tinggi (63 dan 71% dalam sistem satu tahap dan 69 dan 72% dalam sistem dua tahap, pada 1: 1 dan 1: 3 campuran OW/PM, masing-masing). Di bawah kondisi operasional yang sama, yield metan adalah 0,30 dan 0,22 m3 CH4 kg-1

penghilangan VS untuk digestasi anaerob satu tahap dan 0,30 dan 0,27 m3 CH4 kg-1

penghilangan VS untuk digestasi anaerob dua tahap. Diperoleh kesimpulan bahwa digestasi anaerob dua tahap lebih stabil dan memiliki kapasitas pengolahan yang lebih tinggi dibanding digestasi anaerob satu tahap.

Penelitian Kongjan et al, 2013 [35] mengkaji proses anaerobik dua tahap untuk memproduksi hidrogen dan metana secara kontinu dari desugared molasses menggunakan reaktor UASB yang dioperasikan pada kondisi termofilik. Reaktor pertama yang didominasi dengan bakteri yang memproduksi hidrogen dari

Thermoanaerobacterium thermosaccharolyticum dan Thermoanaerobacterium

aciditolerans menghasilkan tingkat produksi hidrogen 5600 mL H2/hari/L, sesuai

dengan yield 132 mL H2/g volatile solid (VS). Efluen dari reaktor hidrogen

selanjutnya dikonversi menjadi metana dalam reaktor kedua dengan tingkat produksi yang optimal dari 3380 mL CH4/hari/L, sesuai dengan yield 239 mL CH4/g VS.

Aceticlastic Methanosarcina mazei adalah metanogen yang dominan dalam tahap metanogenesis. Dari penelitian diperoleh campuran gas dengan kandungan volumetrik 16,5% H2, 38,7% CO2, dan 44,8% CH4. Penelitian ini menunjukkan

(6)

2.3.1 Hidrolisis

Pada tahap hidrolisis, senyawa organik kompleks tidak terlarut dengan berat molekul tinggi akan dihidrolisa menjadi senyawa organik lebih sederhana dengan melibatkan enzim ekstraseluler [36]. Pada tahap ini, bahan-bahan organik seperti lemak, karbohidrat dan protein didegradasi menjadi senyawa dengan rantai pendek, seperti asam lemak, gula sederhana, dan asam amino [37]. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut [38] :

a) Lemak enzimlipase→ asam lemak, gliserol

b) Polisakarida enzimselulosa,selobiase,xilanase,amilase→ monosakarida

c) Protein enzimprotease→ asam amino

Organisme yang aktif selama hidrolisis polisakarida termasuk berbagai kelompok bakteri dalam, misalnya, Bacteriodes genera, Clostridium, dan Acetivibrio. Organisme proteolitik dalam proses biogas antara lain, genera Clostridium, Peptostreptococcus, dan Bifidbacterium. Sedangkan mikroorganisme anaerobik yang menghasilkan lipase antara lain, genus Clostridium [39]

2.3.2 Asidogenesis

Asidogenesis adalah proses yang kompleks dimana mikroba anaerob mengurai senyawa organik menjadi asam organik molekul rendah [16]. Gula sederhana, asam amino dan asam lemak terdegradasi menjadi asetat, karbon dioksida dan hidrogen (70%) serta menjadi VFA (asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam laktat, dll) dan alkohol (30%) [38]. Senyawa yang akan terbentuk tergantung pada jenis substrat yang digunakan, kondisi lingkungan proses, serta jenis mikroorganisme yang ada. Meskipun berasal dari substrat yang sama, produk yang dihasilkan akan berbeda jika mikroorganisme yang bekerja berbeda [39].

(7)

misalnya Enterobacterium, Bacteriodes, Acetobacterium, Eubacterium, Clostridium, Ruminococcus, Butyribacterium, Propionibacterium, Lactobacillus, Streptococcus,

Pseudomonas, Desulfobacter, Micrococcus, Bacillus dan Escherichia [39].

2.3.3 Asetogenesis

Pada tahap asetogenesis, produk hasil asidogenesis diuraikan oleh bantuan bakteri asetogenik menjadi asam asetat, hidrogen dan karbondioksida. Asam asetat yang terbentuk sebagian besar berasal dari asam propionat dan asam butirat [41]. Berikut adalah reaksi pembentukan asam asetat dari asam propionat dan asam butirat [42]:

CH3CH2COOH CH3COOH + CO2 + 3 H2

(asam propionat) (asam asetat)

CH3CH2CH2COOH 2CH3COOH + 2 H2

(asam butirat) (asam asetat)

Beberapa genus mikroorganisme yang terlibat dalam proses asetogenesis ini adalah Syntrophomonas, Syntrophus, Clostridium, dan Syntrobacter yang mana mikroorganisme ini didapati bersintropi dengan mikroorganisme yang mengurai H2

[39].

2.3.4 Metanogenesis

Metanogenesis merupakan tahap akhir dari proses biogas dimana terjadi

pembentukan gas metan (CH4) dari tahapan sebelumnya. Terdapat dua kelompok

mikroba metanogen dalam produksi metana yaitu aceticlastic methanogens yang berfungsi untuk mengkonversi asetat menjadi gas metan dan karbondioksida, dan hydrogenotrophic methanogen yang menggunakan hidrogen sebagai donor elektron dan karbondioksida sebagai penerima elektron untuk menghasilkan gas metan [43]. Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut [44]:

CH3COOH Metanogenesis CH4 + CO2

CO2 + 4H2 Reduksi CH4 + 3H2O

(8)

gas hidrogen yaitu Methanobacterium, Methanococcus, Methanogenium dan Methanobrevibacter [39].

2.4 PARAMETER YANG PENTING DALAM PROSES DIGESTASI ANAEROBIK

Proses digestasi anaerobik harus dipantau untuk memastikan keberhasilan operasi [43]. Beberapa parameter yang penting dalam proses digestasi anaerobik yaitu:

2.4.1 pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Aktivitas bakteri akan maksimum pada kondisi pH optimum. Seiring dengan diproduksinya asam volatil, nilai pH akan mengalami penurunan dan akan meningkat dengan dikonsumsinya asam volatil oleh bakteri pembentuk metana [44]. Tingkat pH optimal untuk kelompok fungsional biokimia pada proses anaerob yaitu [45]:

1) Hidrolisis, optimal di atas pH 6 tetapi memungkinkan hingga pH 5.

2) Asidogenesis, optimal antara pH 5,5 dan 8, tetapi memungkinkan hingga pH 4. 3) Asetogenesis, optimal antara pH 6,5 dan 8 tetapi memungkinkan hingga pH 5. 4) Metanogenenesis, optimal antara pH 7 dan 8 tetapi memungkinkan hingga pH 6.

Nilai pH di dalam digester tergantung pada tekanan parsial CO2 dan konsentrasi

komponen alkali-asam dalam fasa cairannya. Nilai pH pada digester termofilik akan lebih tinggi dibanding digester mesofilik. Hal ini dikarenakan kelarutan CO2 di

dalam air akan menurun seiring dengan meningkatnya temperatur. Nilai pH juga akan meningkat dengan dihasilkannya ammonia dari degradasi protein atau melalui kehadiran ammonia di aliran umpan. Jika terjadi penurunan pH, ion ammonium akan dibentuk disertai pelepasan ion hidroksil. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut [38]:

NH3 + H2O ↔ NH4+ + OH-

NH3 + H+↔ NH4+

(9)

anaerobic solid waste reactor (ASWR). Pada penelitian ini tidak dilakukan penambahan inokulum. Pengaturan pH dilakukan dengan mengunakan pH controller yang diatur untuk deviasi positif dan negatif dari titik setnya yang mana menggunakan asam (HCl) atau basa (campuran NaOH dan KOH). Pengaturan VFA dilakukan dengan menggantikan cairan di dalam reaktor dengan umpan baru untuk menjaga kandungan VFA. Pada penelitian ini terbukti bahwa proses hidrolisis limbah padat organik sesuai dengan kinetika reaksi orde satu. Dari analisa statistik yang dilakukan, diperoleh bahwa konstanta laju hidrolisis tergantung pada pH tetapi konsentrasi VFA tidak tergantung pada pH.

2.4.2 Alkalinitas

Nilai alkalinitas menyatakan jumlah total asam yang dapat dinetralkan oleh basa yang ditambahkan ke dalam sistem. Alkalinitas membantu mempertahankan pH agar tidak mudah berubah yang disebabkan oleh penambahan asam [47]. Alkalinitas terutama terdiri dari ion bikarbonat yang berada dalam keseimbangan dengan karbon dioksida. Proses asidifikasi yang terlalu kuat akan diantisipasi oleh karbon dioksida/hidrogen karbonat/karbonat. Selama fermentasi, CO2 secara kontinu

dihasilkan dan dilepas ke udara. Pada kondisi pH yang semakin menurun, semakin banyak CO2 diserap ke dalam substrat sebagai molekul bebas. Jika nilai pH

meningkat, CO2 yang terlarut tersebut akan membentuk asam karbonat yang mana

akan terionisasi dan menghasilkan ion hidrogen. Adapun reaksinya adalah sebagai

berikut [48]:

CO2 + H2O ↔ H2CO3↔ HCO3- + H+↔ CO32- + 2H+

2.4.3 Temperatur

(10)

Temperatur operasi dipilih dengan mempertimbangkan bahan baku yang digunakan dan temperatur proses yang diperlukan dapat disediakan oleh ruangan atau menggunakan sistem pemanas pada digester [38]. Dalam penelitiannya, Moset et al (2015) [49] membandingkan produksi metana yang dihasilkan dari proses digestasi anaerobik dengan bahan baku kotoran ternak pada temperatur mesofilik dan termofilik. Diperoleh hasil bahwa pada temperatur termofilik, digestasi anaerobik menunjukkan degradasi bahan organik yang lebih tinggi, pH dan yield metana (CH4)

yang lebih tinggi, serta emisi CH4 yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi

mesofilik. Selain itu, keragaman mikroba yang lebih rendah ditemukan di reaktor termofilik, terutama untuk kelas Clostridia.

Umumnya, digestasi anaerobik berlangsung lebih cepat pada temperatur termofilik. Hal ini dikarenakan mikroorganisme lebih aktif pada temperatur yang lebih tinggi. Selain itu temperatur yang lebih tinggi juga dapat meningkatkan ketersediaan senyawa organik tertentu karena kelarutan umumnya meningkat dengan meningkatnya suhu. Sebagai akibat dari peningkatan kelarutan, viskositas bahan tertentu mungkin lebih rendah dalam kondisi termofilik. Keuntungan lain penggunaan temperatur termofilik adalah berkurangnya mikroorganisme patogen yang tidak diinginkan seperti Salmonella [39].

2.4.4 Pengadukan

Pengadukan merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai

keberhasilan digestasi anaerobik limbah cair organik. Pengadukan bertujuan untuk mendapatkan campuran substrat yang homogen dan temperatur yang merata. Dengan adanya pengadukan, intensitas kontak antara organisme-substrat akan semakin meningkat dan potensi material yang mengendap di dasar akan semakin kecil [34].

2.4.5 Kebutuhan Nutrisi

(11)

dalam lumpur tergantung pada banyak faktor seperti sifat mineral dan konstituen organik, pH dan sifat logam [50]. Penambahan nutrisi diperlukan ketika limbah organik yang diolah kekurangan unsur hara makro seperti nitrogen dan fosfor. Umumnya kebutuhan nutrisi untuk nitrogen, fosfor, dan sulfur masing-masing berada di kisaran 10-13; 2-2,6; dan 1-2 mg per 100 mg biomassa [51]

Nutrisi yang paling penting bagi mikroba adalah karbon dan nitrogen, namun dua elemen ini harus disediakan dalam rasio yang tepat. Jika rasio C/N sangat tinggi, nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh mikroba, sehingga produksi metan menjadi rendah. Namun sebaliknya, jika rasio C/N sangat rendah, maka akan terbentuk ammonia ketingkat yang dapat berakibat racun bagi mikroba yang ada [50].

2.4.6 Volatile Fatty Acid (VFA)

VFA merupakan senyawa intermediet yang dihasilkan selama tahap asidogenesis [52]. Akumulasi VFA menggambarkan kinetika hubungan antara produsen dan konsumen asam serta pengaruh overloading, variasi suhu tiba-tiba, adanya senyawa toksik atau penghambat dan beberapa faktor lainnya. Selama proses digestasi anaerobik, konsentrasi asam asetat dalam VFA biasanya relatif lebih tinggi [53]. Berikut ini adalah kandungan VFA yang umum terdapat pada proses digestasi anaerobik [54]:

Tabel 2.3 Kandungan VFA yang Umum terdapat pada Proses Digestasi Anaerobik

Asam Format

2.4.7 Beban Organik (Organic Loading Rate)

(12)

BR = m × c / VR (2.1)

Keterangan: BR = Beban organik (kg/hari·m3)

m = Massa substrat umpan per satuan waktu (kg/hari) c = Konsentrasi bahan organik (%)

VR = Volume digester (m3)

Beban organik yang tinggi akan mengurangi efisiensi penyisihan COD dalam sistem pengolahan air limbah, namun memberikan dampak positif pada produksi gas metan hingga tahap mikroba metanogenesis tidak dapat bekerja cukup cepat untuk mengkonversi asam asetat menjadi metana [54, 55].

2.4.8 Hydraulic Retention Time (HRT)

HRT adalah rata-rata interval waktu ketika substrat disimpan di dalam tangki digester. HRT berkorelasi dengan volume digester dan volume substrat umpan per satuan waktu, sesuai dengan persamaan:

HRT = VR / V (2.2)

Keterangan: HRT = Hydraulic Retention Time (hari)

VR = Volume digester (m3)

V = Volume substrat umpan per satuan waktu (m3/hari)

Berdasarkan persamaan diatas dapat dilihat bahwa peningkatan beban organik akan mengurangi HRT. HRT ini penting karena menentukan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme dan konversi senyawa organik

menjadi gas. Waktu HRT ini haruslah cukup lama untuk memastikan jumlah mikroorganisme yang terbuang bersama effluent lebih rendah dibanding mikroorganisme yang direproduksi. HRT yang rendah akan menyebabkan pembentukan gas yang rendah namun laju alir substrat yang baik. Oleh karena itu adalah sangat penting untuk mengaplikasikan HRT yang sesuai dengan laju penguraikan substrat yang digunakan [17, 18].

2.5 POTENSI EKONOMI

(13)

selanjutnya. Dari hasil analisa, dapat diketahui potensi ekonomi pemanfaatan LCPKS sebagai bahan baku biogas pada temperatur termofilik dalam skala industri. Beberapa penelitian yang berhasil menghitung volume pembentukan biogas dari VFA ditunjukkan pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Volume Pembentukan Biogas dari VFA yang Terbentuk [56, 57, 58] Peneliti Total VFA

Pada penelitian ini, pH terbaik yaitu 5, menghasilkan total pembentukan VFA sebesar 9.724 mg/L. Menurut A.K. Kivaisi et al [56], konversi VFA menjadi biogas adalah 100%. Melalui Tabel 2.4 dapat digambarkan grafik linear seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Konversi Total VFA menjadi Biogas [56, 57, 58]

(14)

Ekivalensi 1 m3 biogas terhadap Liquefied Petroleum Gas (LPG) sebesar 0,465 kg, sehingga

= 8,85 m

3 biogas 1 m3 LCPKS

x

0,465 kg LPG 1 m3 biogas

= 4,115 kg LPG/m3 LCPKS

Harga LPG industri adalah Rp 7.355/kg [59], sehingga untuk biogas yang dihasilkan pada proses pembuatan biogas dua tahap diperoleh keuntungan sebesar:

Keuntungan produksi biogas dua tahap = 4,115 kg LPG

1 m3 LCPKS

x

Rp 7.335 1kg LPG

Gambar

Tabel 2.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Gambar 2.1 Tahapan Proses Digestasi Anaerobik [31]
Gambar 2.2 Digestasi Anaerobik Dua Tahap [32]
Gambar 2.3 Konversi Total VFA menjadi Biogas [56, 57, 58]

Referensi

Dokumen terkait

(2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Radio Siaran Pemerintah Kabupaten Swara Murung Raya FM atau disingkat SMURA FM.. Pasal

atau selur uh mater ial yang disediakan oleh panitia, selama konfigur asi str uktur tidak ber ubah). Mater ial yang disediakan.. Lampiran 2- KJI XII Tahun 2016 34 panitia

Sejalan dengan hal tersebut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana

[r]

MEMUTUSKAN:.. Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA TENTANG PEDOMAN TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA DI KABUPATEN

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat

Apabila terdapat sivitas akademika yang terlibat dalam kegiatan tersebut, tidak diperbolehkan mengatasnamakan dan membawa properti/atribut perguruan tinggi, serta tidak

[r]