• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Wakalah, Hawalah, dan Kafalah dalam Kegiatan Jasa Perusahaan Pembiayaan Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Wakalah, Hawalah, dan Kafalah dalam Kegiatan Jasa Perusahaan Pembiayaan Syariah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

V OL. 2 4 N O. 2 / DES EM B ER 2 0 1 7

DATA NASKAH M asuk: 3 Agustus 2017 Diterim a: 21 Novem ber 2017 Terbit: 1 Desem ber 2017 KORESPONDEN PENULIS: Fakultas Hukum Universitas Gadjah M ada, Jl. Sosio Justicia No. 1, Bulaksum ur, Yog yakarta. (0274) 512781

destri.budi@m ail.ug m .ac.id

Analisis Fat w a Dew an Syariah Nasional

Tent ang

Wakalah

,

Haw alah

, dan

Kaf alah

Dalam Kegiat an Jasa Perusahaan

Pem biayaan Syariah

Destri Budi Nugraheni

DOI: 10.18196/ jmh.2017.0088.124- 136

ABSTRACT

The objective of this research is to analyze the Fatwa of Dewan Syariah nasional (Syariah National Board) concerning Wakalah, Hawalah, and Kafalah

so that whether it can be applied in the activities of islamic finance company. This is a juridical normative research and focused on analyzing secondary data, specifically in 2 (two) types of Legal material, Primary and Secondary Legal Materials. Furthermore, all data will be analyzed and presented descriptevely. This research shows that, regarding Wakalah, the Fatwa about Wakalah and

Wakalah bil Ujrah are in conformity with activities by Islamic Finance Com-pany Service. Wakalah was used as Complementary Agreement in Murabahah Financing with Islamic Finance Company as Principal. In the other side, Fatwa concering Wakalah bil Ujrah used when Islamic Finance Company take a posi-tion as Grantee. Even though Financial Service Authority’s Regulaposi-tion specify that service activities may use Hawalah and Kafalah Agreement, but based on this research’s analysis about Fatwa and Fikih, only Hawalah bil Ujrah and

Kafalah bil Ujrah that may be used by Islamic Finance Company.

KEYWORDS: Wakalah, hawalah, kafalah, Finance, Syariah

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang wakalah, hawalah, dan kafalah sehingga apakah dapat diterapkan dalam kegiatan jasa perusahaan pembiayaan syariah. Penelitian ini bersifat yuridis normatif, dengan mendasarkan pada data sekunder. yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Data selanjutnya diolah dan disajikan secara deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terkait dengan wakalah, fatwa tentang wakalah dan

(2)

syariah. Wakalah digunakan sebagai akad pelengkap dalam pembiayaan murabahah, dengan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi kuasa, sedangkan fatwa

wa ka la h bil ujra h digunakan ketika perusahaan pembiayaan syariah berkedudukan sebagai penerima kuasa. Walaupun dalam Peraturan OJK menentukan bahwa dalam kegiatan jasa dapat menggunakan akad

hawalah dan kafalah, namun berdasarkan analisis terha-dap fatwa dan fikih, yang dimungkinkan digunakan oleh perusahaan pembiayaan syariah dalam kegiatan jasa adalah akad hawalah bil ujrah dan kafalah bil ujrah.

KATA KU NC I: wa k a la h, ha wa la h, k a fa la h, pembiayaan, syariah

I.

PENDAHULUAN

Pemerintah dalam rangka mew ujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, telah menetapkan banyak regulasi dibidang lembaga jasa keuangan. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nom or 2 1 Tahun 2 011 t entang Ot oritas Jasa Keuang an, terdapat beberapa penyempurnaan pengaturan yang terkait dengan pelaksanaan sistem pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap lembaga jasa keuangan, termasuk lembaga jasa keuangan dengan prinsip syariah. Salah satu peraturan yang telah ditetapkan OJK adalah Peraturan Oto-rit as Jasa Keuang an Nomor 3 1/POJK.05/2014 tent ang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/ 2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah telah mengubah jenis kegiatan usaha dan akad yang digu-nakan perusahaan pembiayaan syariah. Awalnya perusahaan pembiayaan syariah diatur melalui Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Per-03/BL/2007 dan Nomor Per-04/BL/2007 (selanjutnya disebut Perat uran Ketua BAPEPAM dan LK) tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Apabila dibandingkan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyeleng-garaan Usaha Pembiayaan Syariah, maka kegiatan usaha perusahaan syariah lebih luas dan tidak terbatas pada sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen.

Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan syariah adalah pembiayaan jual beli, pembiayaan investasi, dan pembiayaan jasa (Vide, Pasal 3 POJK No. 31/ POJK.05/2014).Pembiayaan jual beli masih menggunakan akad murabahah, salam, dan istishna, sebagaimana diatur sebelumnya dalam Peraturan Ketua Bapepam LK. Namun, perbedaan yang nam pak adalah pad a pem biayaan jasa, seb uah klasif ikasi keg iatan usaha baru bagi perusahaan pembiayaan syariah. Dalam Peraturan OJK dijelaskan bahwa akad yang digunakan dalam pembiayaan jasa adalah:

a. Ijarah;

b. Ijarah M untahiyah Bittamlik; c. Haw alah atau Haw alah bil ujrah; d. Wakalah atau Wakalah bil ujrah; e. Kafalah atau Kafalah bil ujrah; f. Ju’alah; dan/atau

g. Qardh.

Akad ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik sebelumnya digunakan untuk kegiatan sewa guna usaha, akad wakalah bil ujrah digunakan untuk keg iatan usaha anjak piut ang, sed angkan akad kafalah dan qardh ad alah akad yang digunakan dalam pembiayaan kartu kredit yang merupakan kegiatan usaha perusahaan pembiayaan syariah menurut Peraturan Ketua BAPEPAM dan LK. Yang menarik adalah dimunculkannya akad hawalah, wakalah, dan kafalah baik dengan maupun tanpa ujrah.

Perat uran OJK m en yeb u t kan b ahw a Perusah aan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya melakukan pembiayaan syariah. Yan g d im aksud d eng an p em b iayaan syariah ad alah penyaluran pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah dimaknai sebagai ketentuan hukum Islam berdasarkan fatw a dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional M ajelis Ulama Indone-sia (Vide Pasal 1 POJK No. 31/POJK.05/2014). Oleh karena itu, seluruh usaha perusahaan pembiayaan dengan prinsip syariah, harus senantiasa memenuhi prinsip syariah Islam, termasuk fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional M ajelis Ulama Indonesia.

Berdasarkan penelusuran penulis, fatw a terkait akad

w akalah, haw alah, dan kafalah antara lain adalah sebagai berikut:

(3)

a. Fatw a Nomor 10/DSN-M UI/IV/2000 tentang wakalah; b. Fatwa Nomor: 12/DSN-M UI/IV/2000 tentang Hawalah; c. Fatw a Nomor 11/DSN-M UI/VI/2000 tentang Kafalah; d. Fatwa Nomor 52/DSN-M UI/III/2006 tentang Wakalahbil

ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah; e. Fat w a Nomor 57/DSN-M UI/V/2 007 tentang Letter of

Credit (L/C) dengan Akad Kafalahbil ujrah;

f. Fatwa Nomor 58/DSN-M UI/V/2007 tentang Hawalahbil ujrah;

g. Fatwa Nomor 74/DSN-M UI/I/2009 tentang Penjaminan Syariah.

Fat w a tentang w akalah bil ujrah dan kaf alah b il ujrah

secara spesifik m enegaskan peruntukan fat w a t erseb ut, sehingga belum ada fat w a yang secara umum dap at dipergunakan untuk perusahaan pembiayaan syariah dalam pelaksanaan kegiatan jasa. Cont oh lain, f atw a tent ang

haw alah bil ujrah menyebutkan bahw a haw alah muqay-yadah adalah haw alah di m ana muhil adalah orang yang berutang kepada muhal sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No.12/DSN-M UI/ IV/2000 tentang hawalah, sedangkan hawalah muthlaqah

adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ’alaih. Fatwa terkait

haw alah tersebut masih p erlu dikaji lebih lanjut apakah dimungkinkan diterapkan dalam kegiatan jasa perusahaan pem biayaan syariah. Dalam akad haw alahmuqayyadah, ketika muhil disebut kan adalah orang yang b erhut ang sekaligus berpiutang, sedangkan perusahaan bukanlah or-ang dan perusahaan pembiayaan hanya dapat memberikan pembiayaan namun bukanlah pihak yang berhutang kepada pihak lain, maka bagaimana kedudukan perusahaan pembia-yaan syariah dalam akad hawalah muqayyadah apabila fatwa t erseb ut d iterap kan d alam keg iatan jasa perusahaan pembiayaan syariah?

Analisis terhadap Fatwa DSN tentang wakalah, hawalah, dan kafalah penting untuk dilakukan dengan mencermati karakteristik dari masing-masing substansi akad dalam Fatwa untuk selanjutnya dianalisis, apakah dimungkinkan untuk dapat diterapkan pada kegiatan jasa perusahaan pembiayaan syariah. Apabila suatu akad sebagaimana ketentuan Fatwa dapat diterapkan, maka akan dapat dijelaskan kedudukan p ara pihak dalam akad p em biayaan jasa p erusahaan

pembiayaan syariah.

II.

RUM USAN M ASALAH

Berdasarkan Pendahuluan di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah Fatw a Dew an Syariah Nasional tentang Wakalah, Haw alah, dan

Kafalah dapat diterapkan dalam Kegiatan Jasa Perusahaan Pembiayaan Syariah?

III.

M ETODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelit ian hukum normatif dengan mengkaji Fatw a Dew an Syariah Nasional tentang

hawalah, wakalah dan kafalah baik dengan atau tanpa ujrah

pada kegiatan jasa perusahaan pembiayaan syariah. Analisis yang dimaksudkan adalah dengan menganalisis apakah fatwa DSN dapat langsung diterapkan dalam kegiatan jasa ataukah perlu dikonstruksikan kembali untuk dapat diterapkan dalam kegiatan pembiayaan jasa perusahaan pembiayaan syariah. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara diskriptif.

IV.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A.

Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional

tentang

Wakalah

dan

Wakalah bil ujrah

1. Ujrah d alam Aka d Wakalah

Usaha perusahaan pembiayaan dengan prinsip syariah, harus senantiasa memenuhi prinsip syariah Islam, termasuk fatw a-fatwa yang ditetapkan oleh Dew an Syariah Nasional M ajelis Ulama Indonesia. Wakalah dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 /POJK.05/201 4 tent ang Penye-lenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah didefinisikan sebagai pem berian kuasa dari pemberi kuasa (muw akkil) kep ada penerima kuasa (w akil) dalam hal yang boleh diwakilkan, dimana penerima kuasa (w akil) tidak menang gung risiko terhadap apa yang diwakilkan, kecuali karena kecerobohan atau w anprestasi sedangkan wakalahbil ujrah didefinisikan seb agai w akalah dengan peng enaan imb al jasa (ujrah).

Wakalah ad alah salah sat u akad yang dig unakan dalam kegiatan pembiayaan jasa perusahaan pembiayaan syariah. Pasal 1 angka 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha

(4)

Pem-biayaan Syariah m enyeb utkan bahw a pem Pem-biayaan jasa adalah p emberian/p enyed iaan jasa baik dalam bentuk pemberian manfaat atas suatu barang, pemberian pinjaman (dana talangan) dan/atau pemberian pelayanan dengan dan/ atau tanpa pembayaran im bal jasa (ujrah) sesuai dengan perjanjian pem biayaan syariah yang disepakati oleh para pihak.

Fatw a DSN M UI Nomor 10/DSN-M UI/IV/2000 tentang Wakalah menyebutkan sebagai berikut:

1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk m enunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

2) Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

3) Syarat-syarat muw akkil (yang mewakilkan)

a) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diw akilkan.

b) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.

4) Syarat-syarat wakil (yang mewakili) a) Cakap hukum,

b) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya, c) Wakil adalah orang yang diberi amanat.

5) Hal-hal yang diwakilkan

a) Diketahui dengan jelas oleh orang yang mew akili, b) Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, c) Dapat diw akilkan menurut syari’ah Islam.

Dalam fatw a di atas, disebutkan bahwa wakalah dapat dengan imbalan atau ujrah dan sifatnya mengikat. Terdapat perbedaan pandangan dikalangan ulama tentang pengertian dan rukun akad w akalah. Dew an Syariah Nasional M ajelis Ulama Indonesia (selanjutnya disebut DSN M UI) mengambil jalan tengah dengan menetapkan fatw a tentang w akalah

melalui Fatw a Nomor 10/DSN-M UI/IV/2000. Dasar hukum yang dipakai oleh DSN M UI adalah dasar hukum dalam Al Quran dan hadits yang bersifat umum, namun dapat dipakai seb agai acuan keb olehan akad w akalah. Dasar hukum tersebut adalah:

1. Firman Allah QS. al-Kahfi [18]: 19 “ Dan demikianlah

Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang di antara mereka: “ Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?” M ereka menjawab: “ Kita sudah berada (di sini) satu atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi): “ Tuhan kamu lebih menge-tahui berapa lama kamu berada (di sini). M aka suruhlah salah seorang kam u pergi ke kota dengan memb aw a uang perakmu ini, dan hend aklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.”

2. Firman Allah dalam QS. Yusuf [12]: 55 tentang ucapan Yusuf kepada raja: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (M esir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.”

3. Firman Allah QS. al-Baq arah [2]: 283:” … M aka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendak-lah yang dip ercayai it u menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah …”

4. Firman Allah QS. alM a’ id ah [5]: 2: “ Dan tolong -menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.”

5. Had is-h ad is Nab i, ant ara lain: “ Rasu lullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk m eng aw in kan (q ab u l p erkaw in an Nab i d en g an) M aimunah r.a.” (HR. M alik dalam al-M uw aththa’). 6. Hadits Nabi

Seorang laki-laki d atang kepada Nabi SAW unt uk menagih hutang kepada beliau d engan cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk “ menanganinya” . Beliau bersabda, ‘Biarkan ia, sebab pemilik hak berhak unt uk b erbicara;’ lalu sab danya, ‘Berikanlah (bayar-kanlah) kepad a orang ini unta um ur setahun seperti untanya (yang dihutang itu)’. M ereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua.’ Rasulullah kemudian bersabda: ‘Berikanlah kepada-nya. Sesungguh-nya orang yang paling baik di antara kalian adalah or-ang yor-ang paling baik di dalam membayar.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

(5)

a. Pendapat Ibnu Qudamah, b ahw a umat (ulam a) telah sepakat bahwa secara garis besar wakalah itu hukumnya b oleh; d an karen a hajat (keb u t uhan) orang p un mendorong untuk melakukan wakalah. Tidak setiap or-ang bisa melakukan lor-angsung apa yor-ang ia b utuhkan. Dengan d emikian, ada kebutuhan terhadap w akalah

tersebut.

b. Pendapat Ibnu Qudamah bahw a akad taukil (wakalah) boleh dilakukan, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Hal itu karena Nabi shallallahu ‘alaihi w a alihi w a sallam pernah m ew akilkan kepad a Unais untuk melaksanakan hukuman, kepada Urwah untuk membeli kambing, dan kepada Abu Rafi’ untuk melakukan qabul nikah, (semuanya) tanp a memberikan imbalan. Nabi pernah juga mengutus para pegaw ainya untuk memu-ngut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka.”

c. Pendapat Imam Syaukani:. “ Hadis Busr bin Sa’id tersebut menunjukkan pula bahwa orang yang melakukan sesuatu dengan niat tabarru’ boleh menerima imbalan.” . d. Pendapat Tim Penyusun Ensiklopedi Fiqh Islam Kuw ait

bahwa Wakalah dengan upah (imbalan) hukumnya sama dengan hukum ijarah. Wakil berhak mendapatkan upah dengan m enyerahkan obyek yang diw akilkan kep ada yang mew akilkan jika obyek tersebut b isa diserah-terimakan, maka ia berhak mendapatkan upah.

Berdasarkan dasar hukum di atas, perusahaan pembia-yaan syariah dapat menerima pendapatan yang diperoleh melalui akad wakalah atau disebut dengan akad pembiayaan

wakalah bil ujrah. Apabila dicermati dari Fatw a-Fatw a DSN M UI, wakalah adalah akad yang paling banyak digunakan dalam produk-produk pad a lembaga keuangan syariah. Produk-produk tersebut antara lain:

1. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) 2. Program Pensiun dengan prinsip syariah

3. Akad antara perusahaan dan peserta asuransi syariah 4. Letter of Credit Ekspor Syariah

5. Letter of Credit Impor Syariah 6. Keperantaraan dalam bisnis properti 7. Jaminan sosial kesehatan syariah 8. Anjak piutang syariah

9. Syariah card

10. Pembiayaan rekening koran syariah 11. Pembiayaan yang disertai rahn 12. Investasi reksa dana syariah

13. Penjualan langsung berjenjang syariah jasa perjalanan umrah

Setiap p roduk yang m engg unakan akad w akalah, senantiasa mengacu pada ketentuan wakalah dalam Fatwa Nomor 10/DSN-M UI/IV/2000 dengan penambahan secara spesifik sesuai p roduk yang difatw akan. M ayoritas akad

wakalah yang digunakan dalam kegiatan lembaga keuangan syariah adalah akad wakalah bil ujrah. Penulis hanya mene-mukan akad w akalah (tanpa ujrah) dalam fat w a tentang

murabahah. Dalam fatw a tentang w akalah disebut kan bahw a pemberi kuasa disyaratkan pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diw akilkan serta orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang b erm anfaat b aginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.

Sesuai dengan pengertian w akalah dalam Pasal 1 angka 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/ 2 0 1 4 , m aka p eru sahaan p em b iayaan syariah d ap at berkedudukan sebagai pemberi kuasa (muw akkil) maupun seb agai p enerim a kuasa (w akil). Apab ila perusahaan pembiayaan syariah berkedudukan sebagai pemberi kuasa maka konsumen yang berkedudukan sebagai penerima kuasa dan demikian sebaliknya. Kedudukan para pihak akan menentukan hak dan kew ajiban masing-masing. Contoh implementasi akad wakalah dengan perusahaan pembiayaan syariah sebag ai pemberi kuasa adalah pada pembiayaan dengan akad murabahah. M urabahah adalah jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih (margin) sebagai laba sesuai dengan kesepakatan para pihak. Dalam fatwa tentang murabahah disebutkan bahwa lem baga keuangan syariah dapat m enguasakan kep ada nasabah untuk membeli barang yang dibutuhkan dengan akad wakalah. Ketika hal ini dibenturkan dengan fatwa yang mensyaratkan bahwa pemberi kuasa adalah pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan, menjadi

(6)

kurang t ep at karena d alam pemb iayaan murab ahah, lem baga keuangan syariah b elum menjadi pemilik d ari barang. Hal tersebut menurut penulis juga berbeda dengan fatwa tentang murabahah sendiri yang menyebutkan bahwa akad pem biayaan m urabahah d apat dilaksanakan atau ditandatangani setelah barang secara prinsip sudah dimiliki oleh lembaga keuangan syariah melalui akad w akalah. Artinya dalam akad wakalah, bank syariah atau perusahaan pembiayaan syariah sebagai pemberi kuasa belum menjadi pemilik sah dari barang yang akan dijual kepada konsumen melalui akad pemb iayaan murabahah. Oleh karenanya menurut penulis, seharusnya syarat pemberi kuasa adalah cukup dapat bertindak terhadap hal yang akan diw akilkan atau dalam hal yang b ermanfaat baginya. Seperti akad pem biayan murabahah, ketika perusahaan pembiayaan syariah harus mew akilkan p em b elian b arang kep ad a konsumen, maka hal itu dilakukan untuk lebih memberikan m anf aat b ag i p eru sahaan p em b iayaan syariah d an konsumen. Konsumen dapat langsung mengecek barang dari penyedia atau sup plier dan mend apatkan inform asi tentang standar manual prosedur barang serta kartu garansi. Di sisi lain, perusahaan pembiayaan syariah diuntungkan dap at m emberikan service yang lebih meyakinkan untuk konsumen serta lebih efisien dalam tehnis pembiayaan. Pada saat perusahaan pembiayaan syariah berkedudukan sebagai pem beri kuasa seb agaim ana pengg unaan akad w akalah

dalam pembiayaan murabahah, maka ujrah tidak seharusnya dikenakan. Hal tersebut selain d ikarenakan karena tidak ad anya jasa yang dib erikan, juga d ikarenakan bahw a perusahaan pembiayaan telah mendapatkan keuntungan melalui akad pembiayaan murabahah sebagai akad pokok.

2. Wakil at au p e n erim a ku asa

Fat w a DSN menetukan bahw a penerim a kuasa harus mam pu melaksanakan apa yang diw akilkan kepadanya. Apabila perusahaan pemb iayaan syariah berkedudukan sebagai penerima kuasa maka haruslah mampu melaksa-nakan apa yang dikuasakan oleh nasabah atau konsumen. Kemampuan yang dimaksudkan tentunya terkait dengan core bisnis perusahaan pembiayaan syariah yaitu menyangkut pem biayaan atau p engurusan dokumen-dokum en yang mem ang d apat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan

syariah . Pro d u k-p rod uk lem b ag a keuan g an syariah seb agaim ana p enulis seb uatkan di atas, menempat kan lemb aga keuangan syariah sebagai penerima kuasa atau w akil. Seperti dalam fatw a tentang asuransi syariah yang menempatkan perusahaan asuransi syariah sebagai wakil dari p esert a asuransi d alam meng elola dana p rem i sert a pengurusan dokumen saat ada klaim dari peserta asuransi yang terkena musibah. Karena wakil telah melakukan sesuatu untuk kepentingan pemberi kuasa/nasabah/konsumen maka ia berhak mendapatkan ujrah atau imbalan. Pada praktik anjak piutang yang menggunakan akad wakalah, perusahaan pembiayaan syariah berkedudukan sebagai penerima kuasa. Selaku w akil atau penerima kuasa, hak d an kew ajiban Perusahaan Pembiayaan antara lain:

1) menagih piutang pengalih piutang (muw akkil) kepada pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih);

2) dap at m emperoleh upah (ujrah) atas jasa p enagihan p iu t ang p eng alih p iut ang (m uw akkil) d alam h al diperjanjikan;

3) meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (with recourse) atau tidak mem inta jaminan d ari p engalih piutang (muwakkil) (w ithout recourse); dan

4) membayar atau melunasi hutang pihak yang berhutang (muw akkal ’alaih) kepada pengalih piutang (muw akkil), sed ang kan hak d an kew ajib an p eng alih p iu t ang

(muwakkil) antara lain:

a. m em p eroleh p elunasan p iut ang d ari Perusah aan Pembiayaan selaku w akil;

b. membayar upah (ujrah) atas jasa pemindahan piutang sesuai yang diperjanjikan;

c. d ap at m enyed iakan jam inan kep ad a Perusah aan Pembiayaan selaku w akil dalam hal diperjanjikan; dan d. m em b erit ah ukan kep ad a p ih ak yang b erh ut an g

(muw akkal ’alaih) m engenai transaksi pemindahan piutang kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil. M encermati hak dan kew ajiban dalam transaksi anjak piut ang di atas, apabila disand ingkan dengan salah satu kew ajiban yang dit egaskan d alam Perat uran OJK yang m en yat akan b ah w a p en erim a ku asa (w ak il) t id ak menanggung risiko terhadap apa yang diw akilkan, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi dari penerima kuasa, menjadi kurang sesuai ketika jaminan dijadikan sebagai syarat

(7)

d it erim anya t ransaksi anjak p iutang oleh p erusahaan pembiayaan syariah. Namun di sisi lain, jaminan sebenarnya dip erlukan oleh p erusahaan pemb iayaan syariah ket ika

muwakkal ‘alaih tidak membayar hutangnya. Terkait risiko, dalam fatwa terkait asuransi syariah ditegaskan bahwa akad

w akalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan t an g g u n g an (yad d h am an) seh in g g a w ak i l t i d ak menangg ung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi f ee yang telah d iterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi. Transaksi lain seperti dalam asuransi syariah, penerbitan SBSN, LC, dan keperantaraan pada bisnis property juga menunjukkan hal yang sama yaitu kedudukan lembaga keuangan syariah sebagai penerima kuasa (wakil) serta wakalah yang dilaksanakan adalah wakalah

yang disertai ujrah. Ketika sudah ditegaskan bahwa w akil tidak menanggung risiko maka jaminan diperlukan sebagai bentuk kehati-hatian ketika pemberi kuasa wanprestasi.

3. Hal-h al yan g d iw akilkan

Akad wakalah atau wakalah bil ujrah dibuat dalam rangka mew akilkan atau menguasakan suatu perbuatan kepada pihak lain, baik dengan adanya imbalan (ujrah) maupun tanpa imbalan. Hal-hal yang diw akilkan dalam Fatw a DSN tentang wakalah dipersyaratkan harus diketahui dengan jelas oleh orang yang mew akili, tidak bertent angan dengan syari’ah Islam, serta dapat diw akilkan menurut syari’ah Is-lam.

Apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bahwa suatu akad tidak sah apabila bertentangan dengan (Vide, Pasal 26 KHES):

1) syariat Islam

2) peraturan perundang-undangan 3) ketertiban umum dan/atau 4) kesusilaan.

maka hal-hal yang diwakilkan pun harus memperhatikan larangan di atas.

Fatwa-fatwa tentang produk lembaga keuangan syariah sep ert i an jak p iut ang , SBSN, asu ran si syariah yang menggunakan akad w akalah, m emang leb ih m engatur penggunaan akad wakalah terkait bidang muamalah dalam arti sempit, namun akad wakalah dapat dipergunakan pula dalam bidang muamalah dalam arti luas. Contoh hal-hal

yang dapat diw akilkan dalam bidang muamalah adalah: a. p em b erian ku asa u nt u k m em b eli su at u b aran g

sebagaimana akad wakalah yang digunakan dalam akad pembiayaan murabah;

b. pemberian kuasa untuk mengelola dana, sebagaimana penggunaan akad w akalah dalam praktik operasional asuransi syariah dengan unsur tabungan at au tanpa tabungan;

c. pemberian kuasa untuk menjualkan barang, sebagaimana peng gunaan akad Wakalah b il ujrah dalam b isnis keperantaraan property.

Sesuai dengan peraturan OJK bahwa salah satu kegiatan perusahaan pembiayaan syariah adalah pembiayaan jasa dalam bentuk pemb erian manf aat atas suatu barang, pemberian pinjaman (dana talangan) dan/atau pemberian pelayanan, maka menurut penulis akad wakalah tidak dapat digunakan dalam hal pemberian manfaat atas suatu barang. Hal ini dikarenakan karena akad wakalah adalah pemberian kuasa atau mewakilkan sesuatu, sehingga apabila perusahaan pembiayaan syariah memiliki suatu barang kemudian konsumen diberikan kuasa untuk memanfaatkan b arang tersebut maka tidak tepat. Akad pemanfaatan suatu barang adalah akad ijarah atau ijarah muntahiya bittam lik. Akad

wakalah lebih tepat digunakan dalam kegiatan pembiayaan jasa pemberian pinjaman dan/atau pemberian pelayanan.

B.

Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional

tentang

Hawalah

dan

Hawalah

bil ujrah

Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepad a pihak lain yang w ajib menanggung pemb ayarannya, sedangkan haw alah bil ujrah adalah

Hawalah dengan pengenaan imbal jasa (ujrah) (Vide, Pasal 1 angka 20 dan 21 POJK No. 31/POJK.05/2014). Ketentuan tentang haw alah dalam Fatw a Dew an Syariah Nasional adalah sebagai berikut:

1. Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni or-ang berpiutor-ang kepada muhil, muhal ‘ alaih, yakni or-ang yor-ang berutor-ang kepada muhil dan w ajib membayar utang kepada m uhtal, muhal b ih, yakni utang muhil kepada muhtal, dan shighat (ijab-qabul).

(8)

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk m enunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.

4. Haw alah dilakukan harus deng an p erset ujuan muhil,

muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.

5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.

6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih. sed angkan terkait dengan haw alah bil ujrah, secara spesifik Fatwa DSN menjelaskan (Vide, Fatwa DSN M UI No. 58/DSN-M UI/V/2007):

a. Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain, terdiri atas haw alah muqayyadah dan haw alah muthlaqah.

b. Haw alah muqayyadah adalah haw alah di mana muhil

adalah orang yang berutang kepad a muhal sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah.

c. Haw alah mut hlaqah ad alah haw alah di mana muhil

adalah orang yang berut ang tetap i tid ak berpiut ang kepada muhal ’alaih;

d. Haw alah bil ujrah adalah haw alah dengan pengenaan

ujrah/fee.

e. Haw alah b il ujrah hanya berlaku pada haw alah muth-laqah.

f. Dalam h aw alah m u t h laqah, m u hal ’ alaih b oleh menerima ujrah/fee atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.

g. Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak. h. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk m enunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

i. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern;

j. Haw alah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang terkait.

k. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan

dalam akad secara tegas.

l. Jika transaksi haw alah telah dilakukan, hak penagihan

muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.

m. LKS yang melakukan akad Haw alah bil ujrah boleh memberikan sebagian fee hawalah kepada shahibul mal. Pad a beb erapa literatur penyebutan haw alah adalah

hiw alah, sehing ga dalam kitab fikih, biasa d igunakan

kata hiwalah seb agai pemindahan kew ajiban melunasi

hutang kepada orang lain. Berdasarkan Fatw a di atas, DSN membagi bahwa terdapat dua jenis hawalah, yaitu hawalah mut laqah dan haw alahmuqayyadah dengan ketent uan bahw a haw alahbil ujrah hanya berlaku kepad a haw alah muthlaqah. Jenis-jenis haw alah dalam pandangan ulama, antara lain adalah sebagai berikut (Mustafa Dib, 2003: 187):

1. Hiw alah Mu th laq o h

Hiw alah M uthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalih-kan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang p ertama. Atau dengan kata lain, seseorang memindahkan hutangnya kepa-da orang lain kepa-dan tikepa-dak mengaitkan dengan hutang yang ada pada orang itu. M enurut ketiga mazhab lain kalau muhal ‘alaih tidak punya hutang kapada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridhaan tiga pihak. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepad a C, sementara C tidak punya hub ungan hut ang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut M uthlaqoh.

2. Hiw alah Mu q o yyad ah

Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika M uhil mengalihkan hak penagihan M uhal kepada M uhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah

haw alah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahw a hanya m embolehkan haw alah muqayyadah d an mensyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahnya, maka sahlah hiw alahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.

3. Hiw alah Haq

(9)

kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai M uhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Imam Syafi’i lebih berpendapat bahwa hawalah hanyalah sat u, yaitu haw alahmuqayyadah, sedang kan ulama d ari mad zab Hanafi membolehkan haw alah mut laqah d an

muqayyadah sebagaimana fatwa DSN M UI tentang hawalah bil ujrah. Fatw a juga menegaskan bahw a terdapat pihak-pihak dalam akad hawalah dan diperlukan kerelaan dari para pihak.

Terkait dengan hutang yang dialihkan tidak disebutkan secara tegas dalam Fatwa DSN, namun Sayyid Sabiq dalam fikihnya menentkan bahw a syarat hutang yang dialihkan adalah (Sayid Sabiq, 1987:13):

a. jumlah hutang yang jelas dalam nominal;

b. Samanya ked ua hal, b aik jenis m aupun kad arnya, penyelesaian tempo waktu, mutu baik dan buruk. Karena

hawalah

tidak akan sah apabila  hutang berbentuk emas

dan di hiw alahkan agar ia m engam bil p erak sebagai pengg ant inya. Demikian p ula,sekiranya hutang itu sekarang dan dihiw alahkan untuk dibayar kemud ian (ditangg uhkan) atau seb aliknya. Dan t idak sah p ula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.

 

Bank Indonesia pada tahun 2008 mengeluarkan Surat Edaran tentang teknis penerapan akad hiw alah sebagai produk perbankan syariah dibidang jasa, yaitu SEBI No. 10/ 14/DPbS tangg al 17 M aret 20 08. SEBI ini memberikan ketentuan bagi hiw alah mutlaqah maupun hiw alah muqay-yadah. Dalam SEBI ditegaskan pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad Hiwalah Mutlaqah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:

a. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ktiga

b. Bank w ajib menjelaskan kepad a nasabah mengenai karakteristik pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hiwalah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagai-mana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data

pribadi nasabah

c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa pengaliah ut ang atas d asar akad hiw alah b agi nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter dan aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan prospek usaha (condition).

d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertuliis berupa akad pengalihan utang atas dasar hiwalah

e. Nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal f. Bank menyediakan dana talangan (Qardh) sebesar nilai

pengalihan utang nasabah kepada pihak ketiga

g. Bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas kewajaran kepada nasabah

h. Bank dapat mengenakan biaya administrasi dalam batas kewajaran kepada nasabah.

Kemudian dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk akad Hiwalah M uqayyadah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:

a. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya bank memiliki utang kepada nasabah b. Jumlah utang nasabah kepada pihak ket iga yang bisa

diambil alih oleh bank, paling besar sebanyak nilai utang bank kepada nasabah.

Dengan mendasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional serta ketentuan lainnya, maka dapat dikonstruksikan akad

hawalah dan hawalahbil ujrah dalam pembiayaan jasa pada perusahaan pembiayaan syariah, adalah sebagai berikut:

1. Tu ju an Akad

Akad haw alah ditujukan untuk kegiat an pengalihan hut ang d ari konsumen kepada perusahaan pembiayaan syariah. Sesuai dengan pengertian pembiayaan jasa dalam Peraturan OJK maka perusahaan pembiayaan syariah dapat menyediakan d ana talangan/p injam an untuk melunasi hutang konsumen. Terhadap dana pinjaman tersebut maka akad yang digunakan adalah qardh, dan perusahaan pembia-yaan tidak d iperbolehkan m emperoleh keuntung an d ari pemberian dana talangan tersebut.

(10)

h aw alah m u t laq ah yan g m em u n cu lkan u jrah b ag i perusahaan p embiayaan syariah melalui t alang an atau pengalihan hutang konsumen. Ap abila akad Haw alah muqayyadah digunakan, maka ada pihak ketiga yang terkait dan terd apat hutang perusahaan pem biayaan syariah ke konsumen. Sesuatu yang menimbulkan pertanyaan lebih lanjut apakah dim ung kinkan p erusahaan pembiayaan bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang at as ut ang konsum en kep ad a p ihak ket ig a, d im ana sebelumnya perusahaan pembiayaan syariah memiliki utang kepada konsumen.

2. Ked u d u ka n Pa ra Pih ak

Dalam akad haw alah m ut laqah, m aka kedudukan perusahaan pembiayaan syariah adalah sebagai muhal’alaih. Konsumen sebagai m uhil, pihak yang memiliki hut ang kepada muhal atau pihak ketiga yang berpiutang. Apabila dikonstruksikan adalah sebagai berikut:

a. Terjadi hubungan hutang piutang antara muhil dan muhal atau konsumen dengan pihak ketiga, atau apabila dalam jual beli, dimungkinkan muhil adalah pembeli, sedangkan muhal adalah penyuplai barang. Pembeli memiliki hutang yaitu sesuai harg a barang yang dibeli dari penyuplai/ muhal.

b. Pem b eli/m uhil/konsu m en/p ihak yang m em p un yai hutang, mengalihkan hutangnya kepada perusahaan pembiayaan syariah, sehingga perusahaan yang selanjut-nya m em b ayar hut an g konsum en/p em b eli/m uh il tersebut kepada pihak ketiga/penyuplai/muhal. c. Dana yang dipergunakan oleh perusahaan pembiayaan

syariah dap at b erasal dari skema pendanaan yang diperolehnya.

d. Dana pinjaman untuk menalang i hut ang konsum en/ p em beli/muhil m eng gunakan akad qardh (p injam meminjam uang) dengan nilai qardh sama dengan hutang konsumen/pembeli/muhil.

e. Terhadap pengalihan hutang t ersebut , p erusahaan pembiayaan syariah dapat memperoleh ujrah/fee. f. Sesuai d en g an akad haw alah an t ara p erusah aan

pembiayaan syariah sebagai muhal alaih dengan konsu-men sebagai muhil, maka perusahaan pembiayaan syariah berkew ajiban untuk melunasi hutang muhil kep ada

muhal. Di sisi lain, perusahaan pembiayaan syariah memiliki hak untuk mendapatkan ujrah dari jasa yang telah ia berikan serta berhak menagih pembayaran hutang dari muhil sesuai akad qardh yang sudah ditandatangi. g. Konsumen selaku muhil berkewajiban untuk memberikan ujrah kepada perusahaan pembiayaan syariah serta membayar hutangnya berdasarkan akad qardh. Pengalihan hutang tersebut tentunya mengandung risiko, sehingga perusahaan pembiayaan syariah harus benar-benar menganalisis kondisi dari muhil supaya hutang nya yang telah dibayarkan dapat dibayar pula oleh muhil di kemudian hari. Dalam p rakt ik haw alah t ersebut, t entunya yang diuntungkan adalah muhal/p enyup lai/pihak ketiga yang berpiutang dari konsumen. Namun demikian akad yang terjadi adalah antara perusahaan pembiayaan syariah sebagai

muhal ala’ih dengan muhil, sehingga perusahaan pembia-yaan syariah tidak diperkenankan untuk meminta ujrah atau fee dari muhal. Walaupun dasar hukum diperbolehkannya akad haw alahbil ujrah, lebih kepada sudut pandang dari sisi m uhal yaitu, hadits Rasulullah “ m enunda-nunda pem bayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedzaliman. M aka, jika seorang diantara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya pada pihak yang mampu maka terimalah” . Pada hadit s tersebut , Rasulullah m em-beritahukan kepada orang yang menghutangkan, jika or-ang yor-ang berhutor-ang menghawalahkan kepada orang yang mam pu, hendaklah ia menerim a haw alah terseb ut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihaw alahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama sepakat mem bolehkan akad haw alah dengan cat atan, haw alah

dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang bukan pemindahan benda.

Berdasarkan analisis tentang akad hawalah di atas, maka ked udukan perusahaan pembiayaan syariah akan dapat dijelaskan dalam konstruksi akad hawalah mutlaqah, namun tidak demikian halnya apabila menggunakan akad hawalah muqayyadah. Penulis berpendapat bahw a akad haw alah muqayyadah sulit untuk diterapkan dalam kegiat an jasa perusahaan pembiayaan syariah karena konstruksi tiga pihak dengan perusahaan pembiayaan syariah bertindak sebagai p ihak yang m enerim a p eng alihan ut ang at as ut ang

(11)

konsum en kepad a p ihak ketig a, d im ana seb elum nya perusahaan p embiayaan syariah memiliki utang kep ada nasabah, tidak dimungkinkan terjadi.

3. An alisis Fatw a Dewan Syariah Nasio n al ten tan g Kafalah d a n Kafalahbil ujrah

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 11/DSN-M UI/IV/ 2000 tentang Kafalah menyebutkan sebagai berikut: a. Ketentuan Umum Kafalah

1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

2) Dalam akad kafalah, p enjam in dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.

3) Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

b. Rukun dan Syarat Kafalah

1) Pihak Penjamin (Kafiil)

a) Baligh (dewasa) dan berakal sehat.

b) Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.

2) Pihak Orang yang berutang (Ashiil, M akfuul ‘anhu) a) Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang)

kepada penjamin. b) Dikenal oleh penjamin.

3) Pihak Orang yang Berpiutang (M akfuul Lahu) a) Diketahui identitasnya.

b) Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.

c) Berakal sehat.

4) Obyek Penjaminan (M akful)

a) M erup akan t an g g ung an p ih ak/orang yang berutang , baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.

b) Bisa dilaksanakan oleh penjamin.

c) Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.

d) Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya. e) Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).

Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak

ked ua at au yang d itang g ung (m akfuul ‘ anhu, ashil), sed ang kan Kaf alah b il ujrah ad alah Kaf alah d eng an pengenaan imbal jasa (Vide Pasal 1 angka 24 dan 25 POJK No. 31/POJK.05/2014). Salah satu hadits yang mendasari terkait penjaminan adalah hadits riw ayat Al-Bukhari dari Salamah bin al-Akw a’ yaitu:

“Telah dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab, ‘Tida k’. Maka , belia u mensala tka nnya . K emudia n dihadap-kan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tida k mau mensa la tka nnya ). Abu Q ata da h berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.”

Sebagaimana pembahasan tentang hawalah yang telah dikemukakan di atas, para ulama ada yang menyamakan

hawalahmutlaqah dengan kafalah. Apabila dicermati dalam Fatwa DSN di atas, maka perbedaan pertama antara hawalah mutlaqah dan kafalah adalah pada obyeknya. Obyek hawalah

adalah hutang muhil yang dialihkan, sedangkan kafalah, obyeknya tidak hanya hutang namun bisa leb ih luas. Inti dari hawalah adalah pengalihan hutang, sedangkan kafalah

adalah penjaminan.

Kafalah diartikan m enang gung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jaw ab t erhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang). Pada asalnya, kafalah adalah p ad anan d ari d ham m an, yan g b erart i p enjam in an seb agaim ana t ersebut d i atas. Namun d alam perkem-bangannya, kafalah identik dengan kafalah al-w ajhi (per-sonal guarantee,jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah

adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua sehubungan deng an adanya hak dan kew ajib an pihak kedua tersebut kepadapihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda

(12)

dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, nam un barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih mem bolehkan kedua jenis kafalah

tersebut, baik diri maupun barang. Secara teknis akad kafalah

merupakan perjanjian antara seseorang yang memberikan penjaminan (penjamin) kepada seorang yang memberikan utang kepada seorang, dimana utang akan dilunasi oleh penjamin apabila ia tidak membayar utangnya. Contoh akad

kafalah garansi bank (bank guarantee), Letter of Credit, dan

kafalah dalam syariah card (Sri Nurhayati, 2011 ). Dalam praktik bank garansi sebagaimana diatur dalam SE Dir BI Nom or: 2 3/7/UKU, tangg al 1 8 M aret 19 91 m erupakan pernyataan tertulis dari bank untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan apabila di kemudian hari pihak terjamin tidak memenuhi kew ajibannya kepada penerima jaminan sesuai dengan jangka w aktu d an syarat-syarat yang telah ditentukan.

Dalam fatwa tentang kafalah di atas, sudah tersirat bahwa

kafalah dimungkinkan disertai dengan ujrah terhad ap p enjam inan yang d ib erikan. Ked ud ukan p erusahaan pem biayaan syariah dalam akad kafalah ad alah sebagai penjamin terhadap hutang konsum en at au kew ajiban konsumen terhadap pihak ketiga. Dalam contoh pelaksanaan kartu kredit syariah, maka perusahaan pembiayaan syariah adalah penjamin dari hutang yang harus dibayar oleh konsumen terhadap barang-barang yang dibeli dari merchant atau toko. Artinya kew ajiban dari perusahaan pembiayaan syariah baru akan dilaksanakan setelah konsum en atau

makful anhu tidak memenuhi kewajibannya terhadap makful lahu. Kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan syariah sebagaimana rumusan pembiayaan jasa sebagai salah satu kegiatan perusahaan pembiayaan syariah adalah memberikan pelayanan. Pelayanan ini dapat dimaknai memb erikan jaminan t erhad ap kew ajiban yang harus ditunaikan oleh konsumen kepada pihak ketiga. Terhadap penjaminan tersebut fatw a DSN tentang kafalah, membo-lehkan perusahaan pembiayaan syariah apabila meminta ujrah dari konsumen. Namun, berbeda dengan akad wakalah bil ujrah yang jelas dapat dianalisis bahw a w akalah tanpa ujrah adalah ket ika kedudukan perusahaan pem biayaan syariah sebagai pemberi kuasa dan w akalah dengan ujrah adalah saat perusahaan pembiayaan syariah sebagai penerima

kuasa, dalam imp lementasi akad kafalah, p enulis belum m en em u kan keg iat an jasa p en jam in an yan g t id ak memunculkan ujrah, karena seluruh f at w a DSN yang mengatur produk lembaga keuangan syariah dengan akad

kafalah, m emunculkan ujrah d alam pelaksanaan akad tersebut.

Dew an Syariah Nasional juga telah mengeluarkan fatwa Nomor 74/DSN-M UI/I/2009 t entang Penjaminan Syariah yang menent ukan b ahw a Penjam inan Syariah adalah penjaminan antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah. Dalam fatwa ditentukan bahw a:

1) Imbal Jasa Kafalah adalah fee atas penggunaan fasilitas penjaminan untuk penjaminan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah (kafalah bil ujrah).

2) Ta’ w idh adalah g anti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak penerima jaminan akibat keterlam-batan pihak terjam in dalam mem bayar kew ajibannya yang telah jatuh tempo.

3) Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.

Berdasarkan fatwa tersebut, semakin menguatkan bahwa

kafalah yang dilaksanakan oleh perusahaan pembiayaan syariah dalam kegiatan jasa adalah kafalah bil ujrah.

V.

KESIM PULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa terkait dengan wakalah, fatwa tentang wakalah dan wakalah bil ujrah dapat digunakan untuk kegiatan jasa perusahaan pembiayaan syariah. Wakalah digunakan ketika perusahaan pembiayaan syariah berkedudukan sebagai pemberi kuasa yang meminta nasabah untuk mew akili terhadap sesuatu hal dan biasanya digunakan sebagai akad pelengkap dari akad pembiayaan murabahah, sedangkan fatwa wakalah bil ujrah digunakan ketika perusahaan p embiayaan syariah berkedudukan sebagai penerima kuasa dan dapat diterapkan sebagai akad pokok yang digunakan dalam kegiatan pembia-yaan jasa. Walaupun dalam Peraturan OJK menentukan bahw a dalam kegiatan jasa dapat meng gunakan akad

hawalah dan kafalah, namun berdasarkan analisis terhadap fat w a, yang d imung kinkan digunakan oleh perusahaan pembiayaan syariah dalam kegiatan jasa adalah akad hawalah

(13)

bil ujrah dan kafalah bil ujrah. Akad hawalah yang digunakan ad alah h aw alah m ut laq ah yang m em b erikan ujrah dikarenakan t id ak dimungkinkan adanya hut ang dari perusahaan pembiayaan syariah kepada konsumen dan akad

kafalahbil ujrah karena penjaminan dalam semua kegiatan lembaga keuangan syariah senantiasa memunculkan ujrah.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku

Al – Bugha, Musthafa Dib, 2003, Buku Pintar Transaksi Syariah, Hikmah, Bandung

Nurhayati, Sri, 2011, Wasilah Akuntansi Syariah di Indo-nesia, Salemba Empat, Jakarta

Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah, Al Ma’arif, Bandung Peraturan dan lain-lain

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/ 2014 tentang Penyelenggaraan U saha Pembiayaan Syariah;

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 74/DSN-MUI/ I/2009 tentang Penjaminan Syariah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 12/DSN-MUI/ IV/2000 tentang Hawalah;

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 11/DSN-MUI/ VI/2000 tentang Kafalah;

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indone-sia Nomor 95/DSN-MU I/VII/2014 tentang Surat Berharga Syariah Nasional Wakalah

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 82/DSN-MUI/ VIII/2 011 tent ang Perdagangan Komoditi berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 52/DSN-MUI/

III/2006 tentang Wakalah bil ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah

Referensi

Dokumen terkait

- Siswa 24 mencari banyak soal yang harus dikerjakan serta banyak pilihan soal dengan 2 soal wajib dikerjakan. - Siswa 24 menghitung banyak pilihan yang mungkin diambil jika

Pada triwulan II 2017, perekonomian Sulawesi Tenggara diperkirakan mengalami peningkatan dan tumbuh pada kisaran 6,2% - 6,6% (yoy). Percepatan tersebut searah dengan

Kepadatan populasi mamalia darat karnivora di Camp Leakey, Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Kalimantan Tengah dari yang tertinggi ke terendah bertutut-turut adalah kucing

Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan mengatakan bahwa di Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur, yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap tiga informan bahwa

V3 beradaptasi secara spesifik pada lingkungan tumbuh yang sama dengan lokasi penanaman kencur di Cileungsi, Cijeruk dan lokasi asalnya di Sumedang dengan rata-rata produksi

Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan ( maximum social benefit ), terutama ditinjau dari

Kesulitan/hambatan yang ditemui Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi dalam pemeriksaan

Kegiatan pada sesi keenam yaitu pemberian materi dan pelatihan mengenai keterampilan merangkum. Pertemuan keenam dimulai dengan membangun rapport, mereview kembali materi yang pernah