i
Peran Sosial Politik Pendeta Menurut Kode Etik Pendeta GMIM
OLEH
FIKITHA PITALOKA SIRAP
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Fakultas Teologi guna memenuhi
sebagian dari persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang
Teologi (S.Si Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WCANA SALATIGA
vi
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur yang penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan anugerah yang berlimpah dalam kehidupan ini sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul Peran Sosial Politik Pendeta Menurut Kode Etik Pendeta GMIM. Tugas Akhir ini disusun sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Sarjana Fakultas Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana. Selama penyusunan Tugas Akhir ini, penulis menerima banyak saran, kritik,dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat berjasa bagi penulis. Penulis sadar bahwa penyusunan Tugas Akhir ini tidak akan berjalan lancar dan selesai jika tidak ada pihak-pihak tersebut. Oleh sebab itu, dengan rendah hati penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Pdt. Dr. Tony Tampake. selaku dosen pembimbing 1 yang telah meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk membimbing pada saat proses penulisan Tugas Akhir penulis. Terima kasih karena selalu bersedia menerima penulis yang sedikit malas dan memberikan masukan dan kritik yang sangat membangun.
2. Pdt. Rudiyanto, M. Th. selaku dosen pembimbing 2 yang mengiyakan permohonan penulis untuk menjadi dosen pembimbing walaupun tugas dan kewajiban beliau harus berpindah-pindah tempat dikarenakan pekerjaan yang sangat banyak.
3. Seluruh dosen dan pegawai Tata Usaha Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana yang telah banyak berjasa memberikan pengetahuan dan menambah wawasan baru bagi penulis, bahkan membantu penulis dalam pengurusan berbagai administrasi perkuliahan dari awal perkuliahan hingga akhir proses penyusunan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.
4. Kepada pihak Sinode GMIM khususnya Wakil Ketua Bidang APP (Ajaran, Pembinaan, dan Penggembalaan) Sinode GMIM Pdt. Arthur Rumengan, M.Teol dan Pdt. Dan Sompe, M.Teol,MPdk selaku Sekertaris Departemen Ajaran Bidang APP Sinode GMIM yang sangat membantu penulis untuk melakukan penelitian ketika melakukan wawancara. Terimakasih atas waktu yang telah diluangkan.
vii
5. Papa, Mama, Kakak dan semua keluarga penulis, yang selalu berdoa dan memberikan banyak bantuan selama manjalani proses perkuliahan. Terimakasih atas kesabaran serta ketabahan dan dorongan semangat yang tidak ada habisnya. 6. Henoch Darryl Steward Dicapriano Nayoan yang selalu memberikan semangat dan
mengingatkan penulis untuk tetap bertahan melewati setiap pencobaan bahkan ketika mengerjakan Tugas Akhir. Terimakasih untuk setiap “baku fals” yang telah dilewati bersama penulis.
7. Teman-teman angkatan 2012 fakultas Teologi yang telah banyak membantu penulis selama proses perkuliahan. Khususnya Kristian Haryanto, Dimas Krisnadi, Hendrik Raco, Rafael Salakory, Giovanna, Novita Todaga, dan lain-lain terimakasih telah menemani selama di Salatiga semoga ada saatnya kita dapat berjumpa kembali. 8. Teman-teman Kos Unyil Kemiri II No 23B yang telah menjadi keluarga selama
kurang lebih 4 tahun. Khususnya Kak Deva yang sangat membantu penulis dalam keadaan melarat dan bahagia, penulis sangat bersyukur bisa berbagi suka duka canda tawa bersama.
Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan Tugas Akhir. Akhir kata, semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi para pembaca dan mahasiswa yang akan menulis dengan tema Peran Sosial Politik Pendeta terkhusus untuk Sinode GMIM yang terlibat dalam penulisan Tugas Akhir ini.
Salatiga, 21 Mei 2018
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
ABSTRAK ... ix
1. Pendahuluan ... 1
2. Kode Etik dan Peran Sosial Politik Pendeta ... 4
2.1. Kode Etik dan Fungsinya ... 4
2.2. Peran Sosial Politik Pendeta ... 6
2.2.1. Siapa Pendeta ? ... 6
2.2.2. Pelayanan Seorang Pendeta di Bidang Sosial Politik ... 8
3. Kode Etik Pendeta GMIM ... 11
4. Tinjauan Sosio Teologis ... 18
5. Penutup : Kesimpulan dan Saran ... 22
ix
Peran Sosial Politik Pendeta Menurut Kode Etik Pendeta GMIM
Abstrak
Peran pendeta berhubungan dengan tugas pelayanan dan tanggungjawabnya tidak hanya sebatas pada organisasi di dalam gereja, pelaksanaan ibadah, pelayanan sakramen, perkunjungan orang sakit ataupun pastoral. Cakupan pelayanan seorang pendeta juga tidak hanya untuk jemaat tetapi dalam kelompok yang lebih besar yaitu masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pelayan, pendeta juga diperlengkapi dengan kode etik sebagai pedoman dan tatanan hidup dalam berkarya sesuai dengan tugas dan panggilannya pada cakupan pelayanan yang sangat luas. Berdasarkan banyaknya masalah sosial dalam masyarakat khususnya sosial politik, peran pendeta mulai dipertanyakan. Peran sosial poilitk seperti apa yang harusnya dilakukan oleh seorang pendeta GMIM di tengah masyarakat berdasarkan kode etik pendeta GMIM yang diterbitkan oleh Sinode GMIM.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran sosial politik pendeta menurut kode etik pendeta GMIM?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peran sosial politik seperti apa yang diatur oleh Sinode GMIM sendiri selaku representatif dari kode etik pendeta GMIM. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara mendalam dengan cara mengumpulkan informasi dari narasumber terkait yaitu Sinode GMIM khususnya Wakil Ketua Bidang APP (Ajaran, Pembinaan, dan Penggembalaan) Sinode GMIM dan Sekertaris Departmen Ajaran Bidang APP.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa fokus panggilan iman pelayanan seorang pendeta adalah untuk pengabdian kepada Allah dan memelihara kehidupan rohani umat yang dinyatakan dalam berbagai bentuk penggembalaan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan peran seorang pendeta dalam konteks sosial politik lebih kepada peran pastoral (penggembalaan) dan bukan pada peran politik praktis.
1
Peran Sosial Politik Pendeta Menurut Kode Etik Pendeta GMIM
1. Pendahulan
Pendeta adalah seorang pemimpin jemaat yang selalu menjadi panutan atau teladan bagi warga jemaatnya. Seorang Pendeta harus memenuhi panggilannya sebagai pengajar umum dalam jemaat yang terdapat sebuah persekutuan yang belajar-mengajar. Perlu dipahami juga bahwa Gereja (baik sebagai umat atau lembaga/organisasi) pada hakekatnya hadir di dunia dengan mengemban tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan kabar baik, kabar keselamatan, kabar tentang damai bagi umat manusia. Gereja juga dipahami sebagai komunitas iman kepada Yesus Kristus atau bisa disebut juga komunitas iman politis.1 Walaupun disebut sebagai komunitas iman politis, Gereja harus mempunyai sifat terbuka, dinamis, dialogis pada situasi perkembangan di masyarakat dengan sikap positif, kritis, kreatif dan realistis.2 Hal yang sama berlaku untuk seorang Pendeta. Sebagai pemimpin umat/jemaat yang mempunyai berbagai macam tugas dan tanggung jawab, Pendeta juga harus dapat menyatakan panggilannya dalam setiap kehidupan bermasyarakat. Tugas dan panggilan seorang Pendeta sebagai pelayan bukan sebatas pada satu jemaat, tetapi juga mencakup masyarakat umum. Mengingat cakupan tanggung jawab Pendeta yang sangat luas, maka Pendeta memerlukan panduan dalam melaksanakan tugasnya.
Dewasa ini GMIM berkembang dengan pesat dan merupakan salah satu gereja Kristen terbesar di Indonesia. Anggota GMIM saat ini berjumlah 845.274 orang, terbagi dalam 939 Jemaat dan 111 klasis/wilayah pelayanan. Jumlah pendeta 2.157 orang dan jumlah pelayan lainnya 14.649 penatua, dan 10.118 syamas/diaken. Data diatas menunjukkan luasnya cakupan pelayanan GMIM dalam mengutus pekerja gereja seperti seorang pendeta dan guru agama. Sangat wajar juga dengan jumlah anggota jemaat yang mencapai ratusan ribu orang, GMIM lebih khususnya pendeta, menemukan berbagai macam masalah bahkan pergumulan setiap anggota jemaat dan juga pemahaman yang berbeda-beda antara satu dan lainnya.3
1
Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004).
2 Robert P. Borrong, Etika Politik Kristen Serba-Serbi Politik Praktis, (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2006).
3
2
Polemik mengenai politisasi gereja, oportunisme, bahkan tawar menawar jabatan oleh pekerja-pekerja gereja (GMIM) dalam hal ini Pendeta, membuat kedudukannya dipertanyakan. Hal-hal apa saja yang baik dilakukan pendeta dan hal-hal apa yang harus dihindari seorang pendeta, menjadi pembahasan hangat bagi jemaat dan masyarakat ketika hal tersebut dianggap sarat akan kekuasaan. Sebagai seorang pelayan Kristus serta teladan bagi jemaat dan masyarakat, peran dan fungsi seorang Pendeta tidak hanya dalam organisasi gereja dalam jemaat, pelaksanaan berbagai ibadah, ataupun perkunjungan orang sakit dan pastoral, tetapi juga menyangkut masyarakat umum. Berbagai masalah yang terjadi dalam masyarakat, membuat peran seorang Pendeta dibutuhkan untuk memposisikan diri sebagai penengah, pemberi nasihat, pemberi arahan, bahkan pertolongan yang dibutuhkan dalam berbagai keadaan serta situasi dan kondisi masyarakat sosial. Berdasarkan hal tersebut, maka peran sosial politik Pendeta menjadi hal penting untuk diketahui dan dipahami bersama. Jemaat maupun masyarakat tidak serta-merta menilai seorang Pendeta secara kasat mata, tetapi jemaat dan masyarakat mempunyai pemahaman bersama yang jelas mengenai peran-peran Pendeta baik dalam jemaat maupun masyarakat sosial pada umumnya.Untuk mendapatkan pemahaman bersama bahkan penilaian yang adil, maka dalam tugas dan pelayanan seorang pendeta dibutuhkan suatu pedoman yang berbentuk Kode Etik. Pedoman inilah yang dapat menjadi suatu pegangan dan acuan baik bagi seorang pendeta dalam tugas dan pelayanannya, maupun bagi jemaat dan masyarakat dalam menilai kinerja pelayanan yang dilakukan pendeta tersebut.
Dalam perkembangan zaman pelayanan GMIM, terjadi pergeseran baik dalam pembentukan secara akademik di kampus Teologi, maupun masa vikariat dan tuntutan nyata pelayanan gereja masa kini. Oleh karena itu, sesuai keputusan Sidang Majelis Sinode Tahunan (SMST) di Teling tahun 2010, Langowan tahun 2011 dan Ratatotok tahun 2012 maka perlu dibuat Kode Etik Pendeta GMIM.
Pembuatan Kode Etik Pendeta GMIM telah ditetapkan melalui Sidang Tahunan Majelis Sinode ke-23 tahun 2010 dan langkah pertama, yaitu menyusun draft Kode Etik oleh Tim Kerja yang anggotanya terdiri dari Pendeta senior, Pendeta junior, pakar hukum, dokter dan psikolog. Adapun draft ini disusun dan didiskusikan dalam empat kali pertemuan yang dihadiri oleh pendeta-pendeta GMIM, yaitu pada tanggal 16 Januari 2012 di Jemaat “Betania” Singkil, tanggal 24 Januari 2012 di Jemaat “Getsemani” Paal IV, tanggal 6 Februari 2012 di Kantor Sinode dan tanggal 19 April 2012 di Jemaat “Tumou Tou” Kendis. Selanjutnya draft ini disampaikan dalam
3
“Workshop Kode Etik Pendeta dan Guru Agama” yang dilaksanakan di 4 (empat) rayon: di Jemaat “Sion” Madidir Bitung pada tanggal 2 Oktober 2012, di Jemaat “Sentrum” Manado pada tanggal 3 Oktober 2012, di Jemaat “Sentrum” Tondano pada tanggal 3 Oktober 2012, dan di Jemaat “Alfa Omega” Tumpaan pada tanggal 6 Oktober 2012. Hasil workshop diolah kembali oleh Tim Kerja berdasarkan usulan dari pertemuan-pertemuan di atas untuk perbaikan draft kemudian diserahkan kepada Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) dan setelah dikaji dan digumuli dalam rapat BPMS dan setelah dibahas dan ditetapkan dalam Sidang Majelis Sinode Tahunan di Ratatotok tanggal 6-9 November 2012 maka rumusan Kode Etik Pendeta GMIM ini diterbitkan.4
Kode Etik Pendeta GMIM yang diterbitkan oleh Sinode GMIM pada tahun 2013 juga mempunyai fungsi dan perannya sendiri dalam tugas dan pelayanan Pendeta GMIM. Pelayanan yang dimaksudkan bukan hanya dalam suatu jemaat saja, tetapi mencakup masyarakat pada umumnya. Bahkan dalam buku Kode Etik tersebut dijelaskan bagaimana harusnya Pendeta GMIM menjalin relasi antar sesama Pendeta, Pendeta dan masyarakat, Pendeta dan keluarga, bahkan Pendeta dan diri sendiri. Dengan demikian sangat jelas bahwa Kode Etik Pendeta GMIM mempunyai tujuan untuk mengarahkan Pendeta GMIM dalam tugas dan pelayanannya. Selain tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin umat/jemaat, peran sosial-politik Pendeta dalam jemaat dan masyarakat juga perlu diperhatikan. Sehubungan dengan Kode Etik Pendeta GMIM, penelitian ini akan memperlihatkan kemana arah Kode Etik mengatur peran sosial politik Pendeta dalam jemaat dan masyarakat, serta fungsi seperti apa yang sekiranya dapat dilaksanakan Pendeta dalam perannya tersebut.
Artikel ini akan memperlihatkan bagaimana peran sosial politik pendeta menurut kode etik pendeta GMIM. Hal ini dianggap penting sebab pekerjaan seorang pendeta dalam tugas tanggung jawab pelayanan membutuhkan suatu pedoman yang dapat membantu fungsi dari berbagai pekerjaan pendeta di segala bidang kehidupan dalam masyarakat. Oleh karenanya sangat penting bagi warga jemaat dan masyarakat untuk mengetahui dan memahami hal-hal apa saja yang dimuat dalam kode etik pendeta GMIM sehubungan dengan peran sosial politik yang dimaksud. Penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan
4
4
fenomena yang diteliti.5 Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara mendalam dengan cara mengumpulkan informasi, serta mengumpulkan tanggapan dan pendapat dari beberapa narasumber terkait yaitu Sinode GMIM, khususnya Bidang APP (Ajaran, Pembinaan, dan Pengembalaan) Sinode GMIM dan Sekertaris Departemen Ajaran Bidang APP (Ajaran, Pembinaan, dan Penggembalaan).
Artikel ini juga berusaha menjawab pertanyaan penelitian bagaimana peran sosial politik pendeta menurut kode etik pendeta GMIM dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Sinode GMIM. Dengan teori-teori seputar kode etik yang di dalamnya juga membahas fungsi kode etik bagi sebuah profesi dalam hal ini pendeta dan pelayanan seorang pendeta di bidang sosial politik. Penulis berpendapat bahwa dengan penelitian yang jelas tentang bagaimana peran sosial politik pendeta menurut kode etik pendeta GMIM diatur, akan membawa pada satu titik pemahaman bersama antara masyarakat, pendeta, bahkan Sinode GMIM yang dalam hal ini adalah representatif dari kode etik pendeta tersebut.
2. Kode Etik dan Peran Sosial Politik Pendeta 2.1. Kode Etik dan Fungsinya
Kode Etik Pendeta adalah tuntunan moral pendeta dan bukan peraturan gereja mengenai keberadaan dan tugas-tugas pendeta. Peraturan gereja mengenai pendeta mengatur norma hukum, seperti peraturan mengenai perekrutan pendeta, penahbisan pendeta, penempatan pendeta, dan pemberhentian pendeta, serta semua hak dan kewajiban yang melekat pada seorang pendeta, termasuk sanksi yang harus diberlakukan pada seorang pendeta. Kode Etik Pendeta lebih berfungsi selaku pedoman moral dalam menjalankan kehidupan seorang pendeta dan khususnya menolong pendeta mengoptimalkan fungsinya.6
Tugas seorang pendeta selaku pemimpin rohani di jemaat adalah memberikan pengajaran mengenai kehidupan rohani dan moral yang bertujuan membuat warganya mengalami kehidupan yang baik, sejahtera jasmani dan rohani. Warga jemaat diharapkan mematuhi sejumlah norma moral dan agama yang dianjurkan dalam Alkitab sehingga hidup mereka benar-benar dipenuhi kedamaian dan kesejahteraan jasmani dan rohaninya. Harapan bahwa pengajaran yang diberikan
5 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010).
6
5
seorang pendeta bukanlah menjadi satu-satunya hal yang paling utama, tetapi teladan dan contoh yang baik juga menjadi sesuatu hal yang tidak bisa disepelekan. Memang benar bahwa pendeta juga manusia tetapi karena pekerjaan mereka sebagai pemimpin rohani maka keteladanan dituntut dari hidup para pendeta (dan keluarganya).7
Pelayanan seorang pendeta adalah pelayanan rohani dan terkait dengan moral, maka tentu saja tuntutan dan harapan dari setiap pendeta adalah teladan rohani dan moral. Jika dilihat secara sepintas tugas dan panggilan pendeta, ternyata tuntutan-tuntutan di dalamnya adalah tuntutan integritas, yakni : harus mempunyai integritas rohani, integritas moral, dan integritas intelektual. Dari tiga integritas itu, seorang pendeta secara khusus harus memperhatikan enam aspek intgritas pendeta, yaitu: integritas sebagai kesetiaan kepada Tuhan, integritas sebagai kompetensi dalam pelaksanaan tugas, integritas sebagai ketaatan pada firman Tuhan yang diajarkan, integritas sebagai wibawa terhadap warga jemaat, dan integritas sebagai seorang yang konsisten pada janji, serta integritas sebagai seorang yang terus mengembangkan diri. Dari semua tuntutan integritas tersebut maka jelas bahwa pekerjaan pendeta bukanlah sekadar panggilan tradisional melainkan sekaligus sebagai profesi dan harus dilaksanakan secara profesional. Guna menjalankan tugas pekerjaan pendeta sebagai seorang profesional maka diperlukan adanya tuntunan moral dalam bentuk kode etik.8
Archibald Hart dari Fuller Seminary menyimpulkan bahwa masalah dasarnya bukanlah terutama kurangnya moralitas sebagai kurangnya pedoman etis menyeluruh untuk menata praktik pelayanan. Ada tiga fungsi pedoman (kode etik) untuk pelayan. Pertama, pedoman itu mengartikulasikan standar etis pribadi yang penting. Standar demikian berhubungan dengan tanggung jawab keuangan dan keluarga serta ihwal pengelolaan pekerjaan klasik, seperti jadwal kerja, kebiasaan belajar, liburan, dan cuti. Kedua, pedoman menata pengharapan menyangkut perilaku pelayan dalam kaitan dengan rekan sejawat, jemaat, dan masyarakat. Ketiga, pedoman menunjukkan nilai-nilai luhur pelayan gereja. Seperti contoh terbaik dari kode etik profesional, norma-norma pelayan harus berupa standar tingkah laku yang lebih tinggi daripada yang kini dipraktikkan.9
Selaku jabatan khusus, terlebih jabatan yang terkait dengan kerohanian dan pelayanan di bidang kehidupan moral, maka pelayanan selaku pendeta sangat membutuhkan kaidah-kaidah
7 Borrong, “Signifikasi Kode Etik Pendeta,” 81. 8
Borrong, “Signifikansi Kode Etik Pendeta,” 83. 9
6
moral untuk menjalankan fungsi itu agar mencapai tujuannya, yaitu membawa umat hidup dalam persekutuan dengan Allah. Selaku pelayan Allah, pendeta harus berkenan kepada Allah. Selaku pelayan rohani, pendeta harus memperlihatkan kehidupan rohani yang baik. Selaku pemberita firman, pendeta harus dapat menampakkan kehidupan yang sesuai dengan firman yang diberitakannya. Guna mewujudkan semua itu, maka pendeta memerlukan kode etik. Kode etik adalah sejumlah pokok etos yang seharusnya ditaati para pendeta terkait dengan panggilannya. Menurut Joe E. Trull dan James E. Carter, tidak ada panggilan yang secara etis menuntut sebagaimana halnya pelayanan Kristen. Tidak ada pekerja profesional yang begitu diharapkan akan meneladankan moralitas seperti halnya seorang pelayan, yaitu pendeta. Jelaslah bahwa kode etik pendeta sangat diharapkan menjadi penuntun dan panduan para pendeta dalam menjalankan tugasnya yang mulia.10
Pada dasarnya Kode Etik memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi Pendeta. Fungsi ini mementingkan Kode Etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas profesional Pendeta dan pedoman bagi masyarakat, khususnya umat yang dilayani dalam memberikan penilaian kinerja Pendeta sebagai seorang profesional. Pada kenyataannya belum semua Pendeta memahami secara baik norma-norma moral yang harus menjadi patokan berperilaku dan patokan berkarya di tengah gereja dan masyarakat yang terus berubah, walaupun ia tahu banyak norma yang harus ditaatinya sebagai seorang Pendeta.11
2.2. Peran Sosial Politik Pendeta 2.2.1. Siapa Pendeta ?
Istilah pendeta dalam Bahasa Indonesia umumnya digunakan untuk menyebut pemimpin gereja-gereja Protestan. Nama pendeta berasal dari bahasa Sansekerta pandita yang berakar dalam tradisi agama Hindu. Kata Pandit dalam Hinduisme merupakan gelar anggota kasta Brahmana yang melakukan fungsi imamat tetapi memiliki spesialisasi dalam mempelajari dan menafsirkan Kitab Suci dan teks-teks hukum, serta filsafat kuno. Jadi kata pandit umumnya digunakan sebagai gelar seorang terpelajar atau seorang imam. Tidak jelas kapan kata ini digunakan untuk menyebut rohaniwan Kristen, khususnya rohaniwan Protestan di Indonesia. Menurut Alexander Strauch, kemungkinan penggunaan istilah pendeta untuk rohaniwan
10
Borrong, “Signifikansi Kode Etik Pendeta,” 86. 11
7
Protestan adalah untuk membedakan dari Gereja Katolik. Gereja Katolik telah lebih dahulu mempopulerkan kata pastor atau imam untuk menyebut gelar rohaniwan Katolik. Gelar pendeta sama sekali tidak terdapat dalam Alkitab dan sangat asing dalam tradisi gereja. Penggunaan kata ini dapat dipandang sebagai salah satu usaha kontekstualisasi tugas imamat atau penggembalaan yang lebih lazim dikenal dalam Alkitab atau tradisi Kristen.12
Pendeta adalah orang yang mendapat panggilan khusus dari Tuhan dan diutus oleh jemaat, dan karena itu, tugas pokoknya adalah memelihara kesatuan umat tetapi pendeta bukan manusia suci. Dalam lingkup Gereja-gereja Protestan, diyakini bahwa karena adanya struktur institusional pelayanan khusus ini maka pendeta tidak dihadirkan oleh institusi ilahi, walaupun ia dipanggil oleh Tuhan. Adapun dalam Gereja Katolik, Anglikan, dan Ortodoks para rohaniawan disebut sebagai imam (priest) yang ditandai adanya suatu perbedaan fungsi dan wewenang antara rohaniawan dengan kaum awam. Dalam semua gereja itu perbedaan rohaniawan dengan kaum awam ditandai dengan tahbisan (ordination), dan dengan itu seolah-olah ada pengakuan bahwa tahbisan memberikan jabatan yang lebih tinggi bagi para rohaniawan dibandingkan dengan warga jemaat biasa atau yang tadi disebut kaum awam. Ketiga gereja tersebut (Katolik, Anglikan, dan Ortodoks) percaya bahwa tahbisan suci termasuk dalam tatanan ilahi, dan memberikan wewenang kepada yang menerima tahbisan untuk menjadi wakil Kristus dalam pelayanan-pelayanan tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak ditahbiskan.13
Dalam Gereja Protestan, tahbisan tidak dianggap sakramen dan tidak dianggap sebagai institusi ilahi. Namun demikian tahbisan pendeta menjadi sesuatu yang penting yang membedakan pendeta dari pelayan yang lain, walaupun dalam praktiknya tugas pendeta sama dengan tugas penatua dan diaken, kecuali dalam pelayanan Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus. Walaupun tahbisan seorang pendeta Protestan tidak dianggap sebagai sakramen, namun tahbisan itu mempunyai makna yang sangat mendalam karena tahbisan itu melibatkan pendeta dalam panggilan dan kehidupan ilahi.14
Keilahian tugas pendeta sangat penting digarisbawahi karena sekarang ini lebih sering tugas pendeta disorot dari aspek-aspek yang lebih praktis dan teknis. Juga kewibawaan pendeta dinilai berdasarkan kecakapan manajerialnya dan bukan lagi pada kewibawaan ilahinya. Hal ini
12 Borrong, “Signifikansi Kode Etik Pendeta,” 75-76. 13
Borrong, “Signifikansi Kode Etik Pendeta,” 75. 14
8
bisa dipahami karena banyak gereja melihat tugas pendeta yang utama ada kaitannya dengan pengelolaan dan penataan pelayanan gereja sebagai institusi, padahal tugas pokok pendeta adalah memelihara kehidupan rohani umat yang dinyatakan dalam berbagai bentuk penggembalaan. Itu sebabnya pendeta sering juga disebut sebagai pastor atau gembala.15
2.2.2. Pelayanan Seorang Pendeta di Bidang Sosial Politik
Dalam teologi kosmologis Luther, terdapat pandangan tentang dua kerajaan, yaitu kerajaan surga dan kerajaan di dunia. Konsep panggilan iman yang disuguhkan Luther berkaitan dengan etika dua kerajaan tersebut yaitu iman berhubungan dengan Kerajaan Kristus dan selanjutnya juga segala sesuatu yang berhubungan secara vertikal dengan Tuhan, termasuk doa, sakramen, iman, dan keselamatan pribadi. Dalam pemikiran Luther, kerajaan dunia adalah untuk sesama dan berlaku di dunia ini. Panggilan iman mempunyai tempat dalam perspektif Kristen tentang kerajaan dunia. Cinta kasih terhadap sesama dan pangilan iman merupakan aktualisasi dari cinta kasih ini. Upaya lain dalam menjalankan panggilan iman (kewajiban, tujuan, dan tanggung jawab) manusia terjalin dalam hubungan sosial seperti suami dan istri, orang tua dan anak-anak, tuan dan hamba, pemerintah dan rakyat, dan begitu sebaliknya.16
Selanjutnya Luther berargumentasi bahwa tanggung jawab orang Kristen untuk menguasai dunia ini terwujud melalui tugas panggilan iman. Tuhan Allah memanggil manusia untuk memerintah atas ciptaan-Nya. Melarikan diri dari tanggung jawab ini merupakan bentuk pengingkaran atas panggilan iman. Pada prinsipnya Tuhan terus memelihara ciptaan-Nya dan manusia berpartisipasi dalam memelihara tugas, jabatan yang diberikan oleh Tuhan. Tugas panggilan iman itu adalah bentuk partisipasi orang percaya dalam memelihara dan mengelola ciptaan Tuhan dan untuk mengasihi sesama. Iman dan kasih dalam teologis Luther tidak dipertentangkan satu dengan lainnya dalam lembaga-lembaga manusia seperti pernikahan, pemerintah, bisnis, dan kerja. Seperti halnya dengan lembaga manusia dalam tugas di bidang politik ketika melakukannya sesuai dengan kehendak Tuhan itu pun terhitung sebagai panggilan iman. Politik bukanlah bidang yang kotor tetapi tempat dalam mana orang-orang Kristen membagikan kebenaran Injil di dunia. Oleh karena itu, kekacauan sosial dan anarkisme berasal dari penyimpangan dan misinterpretasi kebebasan Kristen yang tidak menghormati hirearki
15 Borrong, “Signifikansi Kode Etik Pendeta,” 76-77. 16
Pdt. H.W.B. Sumakul, Panggilan Iman Dalam Teologi Luther dan Calvin (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 50.
9
sosial dan mengacaukan definisi panggilan iman di bidang politik. Jika memang ada ketegangan dalam mewujudkan aspirasi Injil dalam bidang kekuasaan demi Injil Kristus, itu adalah risiko dari panggilan iman dalam bidang politik. Namun, ajaran Injil tidak pernah memotivasi orang apalagi menghasut orang untuk menyampaikan kebenaran Injil dengan kekerasan, ancaman, dan bentuk yang jelas-jelas merupakan kejahatan sosial. Tindakan ini tentu merupakan pengkhianatan terhadap Injil dan panggilan iman orang Kristen.17
Luther mengklaim bahwa perbuatan baik mestilah mengisi kehidupan orang Kristen; hal itu merupakan condition sine qua non dari praktik beriman, sebagai buah iman dari orang-orang Kristen yang telah dibenarkan. Panggilan iman adalah perilaku dan penampilan luar yang dipertontonkan dari orang-orang Kristen yang telah dibenarkan. Menurut Luther, panggilan iman mempunyai arti yang lebih luas dan mencakup kerja dalam rumah tangga, pernikahan, aktivitas ekonomi (bekerja), dan tatanan politik. Semua tindakan tersebut merupakan peran serta orang Kristen dalam Kerajaan Allah di dunia ini. Menjalankan panggilan iman Kristen mencakup pengalaman pemeliharaan Tuhan dan disiplin rohani seperti doa, kesabaran, disiplin yang ketat yang dituntun oleh roh, dan bukan oleh daging.18
Berbeda dengan Luther yang dipengaruhi lingkungan praktik biara dan tantangan kerja orang-orang bukan imam, Calvin yang lebih dinamis dan fleksibel mengkritik konsep monastik yang tidak menghargai dunia sekarang ini. Gereja Katolik Roma di abad pertengahan terlalu menekankan dunia seberang dan melalaikan tugas dan tanggung jawab di dunia sekarang ini. Namun, dalam tulisan-tulisannya Calvin secara akurat mengajak orang Kristen untuk memandang dunia sekarang ini secara apresiatif. Dunia ini bukanlah jahat. Allah menciptakan baik adanya. Masalahnya bukan dunia itu sendiri, melainkan sikap manusia terhadapnya. Orang Kristen percaya bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemilik segala sesuatu dalam ciptaan ini. Konsekuensinya adalah orang Kristen diminta untuk menghargai kehidupan ini sebagai karunia Tuhan, tetapi orang percaya tidak membiasakan diri dengan godaan kehidupan di dunia sekarang ini, dan tidak juga membenci kehidupan di dunia ini atau tidak hormat kepada Tuhan. Karena kehidupan di dunia ini biarpun penuh kesengsaraan yang tidak terhitung, tetapi pantas diperhitungkan karena mempunyai keuntungan ilahi yang tidak boleh diremehkan.19
17 Sumakul, Panggilan Iman Dalam Teologi Luther dan Calvin, 52-53. 18
Sumakul, Panggilan Iman Dalam Teologi Luther dan Calvin, 60. 19
10
Karena itu, Calvin mengutarakan moderasi sebagai prinsip etis yang menuntun orang percaya hidup di dunia ini. Seseorang menghargai dan menikmati ciptaan Tuhan, orang lain mengelola dan mengembangkannya, tetapi adalah juga merupakan tanggung jawab orang percaya untuk tidak terlalu dibebani oleh kebutuhan-kebutuhan di dunia. Dunia sekarang ini janganlah menjadi akhir dan tujuan aktualisasi iman. Dunia dapat menjadi tempat mendemonstrasikan nilai-nilai surgawi. Oleh karena itu, nilai iman adalah dasar dan dorongan tindakan setiap aktivitas di dalam dunia ini dan merupakan perjuangan riil dan berkesinambungan setiap orang Kristen. 20
Secara meyakinkan dan konsisten dengan konsepnya tentang panggilan iman dalam institusi sosial, Calvin mengklaim bahwa setiap orang Kristen terpanggil untuk melaksanakan tanggung jawab politisnya, terlibat dalam tugas-tugas politik termasuk beban untuk tunduk pada pemerintahan sipil. Sebagai musafir di dunia fana ini, orang Kristen haruslah menaati hukum-hukum yang berlaku di masyarakat. Karena tugas pemerintahan sipil adalah “menghargai dan menopang pelaksanaan ibadah secara eksternal, menjaga doktrin murni agama, membela konstitusi Gereja, mengatur kehidupan anggota Gereja sesuai dengan tabiat yang diminta oleh masyarakat, membentuk perilaku yang mendatangkan keadilan sosial, mempromosikan keselarasan satu sama lain, serta menghadirkan perdamaian dan ketenangan di tengah masyarakat” (Inst. IV.20.2).21
Hak independensi lembaga-lembaga keagamaan yang diungkapkan J. Phillip Wogaman dalam salah satu tipe hubungan negara dan agama, ada pada setiap individu dan masyarakat sebagai bagian dari hak-hak asasinya. Hak ini bukan pemberian negara, walaupun negara seharusnya menjamin hak-hak individu dan masyarakat untuk bersikap sesuai dengan hati nurani dan keyakinannya, selama itu tidak menimbulkan anarki. Dalam arti negara harus menjamin kebebasan beragama. Tetapi dijamin atau tidak oleh negara, gereja wajib untuk mewujudkan kebebasannya itu, dan jika perlu bersedia menderita demi suara hati nurani dan keyakinannya.22
Menurut Wogaman, pada tipe ini gereja dimungkinkan untuk melaksanakan fungsinya dengan baik karena tidak adanya tekanan dari negara. Oleh karena itu gereja harus ikut berupaya menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam suatu masyarakat. Gereja juga harus berupaya
20
Sumakul, Panggilan Iman Dalam Teologi Luther dan Calvin, 133. 21 Sumakul, Panggilan Iman Dalam Teologi Luther dan Calvin, 183. 22
J. Philip Wogaman, Christian Perspective On Politics, (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 252.
11
mencegah segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara, dengan ikut berupaya menciptakan negara hukum, serta menolak segala bentuk kekuasaan negara yang otoriter dan totaliter. Kekuasaan negara harus tunduk terhadap hukum, dan hukum harus menjamin dan mengatur pemisahan yang jelas antara kewenangan otonomi yang ada pada individu, masyarakat, dan negara.23
Sementara itu menurut Donald Jay Losher, secara umum pandangan mengenai hubungan antara Gereja dan Negara dibagi menjadi tiga kategori yaitu pemisahan ketat, asimilasi dan interaksi. Pemisahan ketat tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Negara, karena kaum kristen memilih sendiri untuk tidak berperan di bidang politik atau sosial. Asimilasi juga tidak mampu karena kaum beragama telah dikuasai oleh pemerintah dan ideologinya, sehingga hanya mampu menerima segala kebijakan secara pasif. Baik asimilasi maupun pemisahan ketat tidak mampu memegang peranan aktif dalam perubahan sosial dan politik. Sikap interaksilah yang mampu bertahan lama dalam periode kontemporer, karena transformasi dan pembebasan memegang peranan jauh lebih aktif dan positif, meskipun juga dengan resiko yang lebih besar namun memegang peranan paling aktif, kritikal dan positif terhadap Negara dan masyarakat.24
3. Kode Etik Pendeta GMIM
Sebagai gereja yang mengemban tugas dan panggilan ilahi, sudah barang tentu GMIM memperlengkapi diri dengan kelengkapan-kelengkapan yang menolong GMIM untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kelengkapan yang dimaksud adalah komponen-komponen pelayanan, seperti manusianya dan peraturan-peraturan yang mendukung. Tidak mudah bagi GMIM untuk menyiapkan kelengkapan-kelengkapan pelayanan. Tetapi sejak berdiri tanggal 30 September tahun 1934, GMIM ternyata dapat menyiapkan kebutuhan pelayanan walaupun dalam perjalanannya terjadi perubahan-perubahan seiring tuntutan dan kebutuhan zaman.
Dalam perkembangan zaman pelayanan GMIM, terjadi pergeseran baik dalam pembentukan secara akademik di kampus Teologi, maupun masa vikariat dan tuntutan nyata pelayanan gereja masa kini. Oleh karena itu, sesuai keputusan Sidang Majelis Sinode Tahunan (SMST) di Teling tahun 2010, Langowan tahun 2011 dan Ratatotok tahun 2012 maka perlu dibuat Kode Etik Pendeta GMIM.
23 Wogaman, Christian Perspective On Politics, 252. 24
Weinata Sairin dan J.M. Pattiasina, Hubungan Gereja dan Negeara dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996,) 105.
12
Pembuatan Kode Etik Pendeta GMIM telah ditetapkan melalui Sidang Tahunan Majelis Sinode ke-23 tahun 2010 dan langkah pertama, yaitu menyusun draft Kode Etik oleh Tim Kerja yang anggotanya terdiri dari Pendeta senior, Pendeta junior, pakar hukum, dokter dan psikolog. Adapun draft ini disusun dan didiskusikan dalam empat kali pertemuan yang dihadiri oleh pendeta-pendeta GMIM, yaitu pada tanggal 16 Januari 2012 di Jemaat “Betania” Singkil, tanggal 24 Januari 2012 di Jemaat “Getsemani” Paal IV, tanggal 6 Februari 2012 di Kantor Sinode dan tanggal 19 April 2012 di Jemaat “Tumou Tou” Kendis. Selanjutnya draft ini disampaikan dalam “Workshop Kode Etik Pendeta dan Guru Agama” yang dilaksanakan di 4 (empat) rayon: di Jemaat “Sion” Madidir Bitung pada tanggal 2 Oktober 2012, di Jemaat “Sentrum” Manado pada tanggal 3 Oktober 2012, di Jemaat “Sentrum” Tondano pada tanggal 3 Oktober 2012, dan di Jemaat “Alfa Omega” Tumpaan pada tanggal 6 Oktober 2012. Hasil workshop diolah kembali oleh Tim Kerja berdasarkan usulan dari pertemuan-pertemuan di atas untuk perbaikan draft kemudian diserahkan kepada Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) dan setelah dikaji dan digumuli dalam rapat BPMS dan setelah dibahas dan ditetapkan dalam Sidang Majelis Sinode Tahunan di Ratatotok tanggal 6-9 November 2012 maka rumusan Kode Etik Pendeta GMIM ini diterbitkan.
Selain adanya alasan historis dari perumusan kode etik tersebut, Sinode GMIM yang merupakan representatif dari kode etik pendeta GMIM juga mempunyai alasan teologis yang sangat mendukung munculnya kode etik pendeta GMIM. Sesuai dengan salah satu Visi GMIM yaitu GMIM yang Rasuli, dalam Injil Markus 16:15 “..pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk”. Artinya GMIM sendiri bersifat kerasulan. Kata Rasul dalam bahasa Yunani disebut apostolus(utusan). Kata apostolos, berasal dari kata kerja apostello, yang berarti : mengutus dengan tujuan khusus. Dengan demikian dipahami bahwa Gereja atau pendeta di utus ke dalam dunia untuk tugas khusus memberitakan tentang keselamatan di dalam Kristus. Gereja mengemban tugas-tugas kerasulan (apostolat) yaitu untuk mewartakan Injil kepada semua makhluk, sambil terus memperjuangkan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi banyak orang. Sehubungan dengan hal tersebut, standar kehidupan seorang pendeta adalah kehidupan Yesus Kristus sendiri. Selaku pelaksana mandat Yesus Kristus, tentu saja para pendeta harus menjadikan kehidupan Yesus Kristus sendiri sebagai standar etika dalam kehidupan mereka, khususnya dalam pelayanan mereka. Tentu saja standar Yesus Kristus harus diterjemahkan dalam berbagai aspek yang lebih operasional. Yesus Kristus yang dalam
13
perjalanan kehidupan-Nya selalu memberitakan Firman Allah, memberikan pengajaran yang baik, selalu menjadi panutan dan teladan hidup bagi banyak orang, menjadikan tugas panggilan serta tanggung jawab Gereja atau pendeta sebagai “wakil Allah” di dunia ini sangat besar. Bukan hal yang mudah untuk menjadi selaras dengan kehidupan seperti yang di contohkan oleh Yesus Kristus. Walaupun dengan masa vikariat sebelum di tahbiskan menjadi seorang pendeta dan mungkin berbagai macam pelatihan yang diikuti, tidak akan menjamin bahwa pendeta tersebut berhasil dan jalannya akan selalu mulus. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dan juga landasan teologis dari kode etik pendeta GMIM. Guna menunjang fungsi tugas pelayanan seorang pendeta dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat, maka kode etik pendeta GMIM ini dirumuskan.
Kode etik pendeta GMIM yang diterbitkan oleh Sinode GMIM pada tahun 2013 ini bukan sebagai bentuk pengekangan terhadap fungsi dan bahkan peran pendeta-pendeta GMIM dalam tugas dan tanggung jawab pelayanannya. Tetapi, kode etik ini bermaksud untuk menjadi pedoman tata hidup yang sekiranya dapat menjadi barometer kehidupan seorang pelayan di tengah masyarakat luas. Jika di telusuri lebih dalam, sebelum kode etik ini dirumuskan bahkan sampai pada tahap-tahap proses penyusunan, pendeta-pendeta GMIM memiliki kebebasan masuk dalam lembaga-lembaga lain. Memiliki kebebasan yang dimaksud disini bukan berarti tanpa sepengetahuan atau persetujuan Sinode, tetapi dalam teknisnya belum ada sesuatu yang dapat menjadi batasan atau patokan dalam fungsi pendeta ketika berada di lembaga lain diluar Sinode GMIM.
Kesadaran bahwa kode etik pendeta GMIM hadir bukan untuk membatasi ruang gerak pendeta-pendeta GMIM menjadi hal yang harus di perhatikan. Bahkan pihak Sinode GMIM masih melihat hal-hal terkait dengan fungsi pendeta di segala bidang dalam masyarakat sebagai hak yang dimiliki semua orang termasuk pendeta. Untuk itu, dalam hubungannya dengan peran sosial politik pendeta, Sinode GMIM yang merupakan representatif dari kode etik pendeta GMIM memberikan kebebasan kepada pendeta-pendeta GMIM dalam bidang sosial politik tentu saja dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang ada di dalam kode etik pendeta GMIM.25
Salah satu tujuan kode etik pendeta GMIM adalah untuk memberikan pemahaman lebih baik kepada pendeta mengenai norma-norma moral yang harus menjadi patokan berperilaku dan patokan berkarya di tengah gereja dan masyarakat yang terus berubah. Pendeta juga banyak yang
25
14
lalai melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sesuai tuntutan moral karena terlalu banyak menonjolkan sisi kemanusiaannya sebagai pembelaan perilakunya. Selain itu, kode etik pendeta GMIM juga diperlukan oleh warga jemaat dalam menilai dan mengevaluasi perilaku dan kinerja pendeta secara objektif. Hal ini mengingat bahwa pada kenyataannya, tidak sedikit warga jemaat atau masyarakat menilai pendeta hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak jelas. Berbagai pendapat yang dikeluarkan mengenai pendeta tersebut tidak sesuai dengan kinerja pekerjaan pelayanan dalam masyarakat yang ditunjukkan. Akibatnya sering muncul konflik di antara pendeta dan warga jemaat. Konflik seperti itu akan sulit diatasi oleh pemimpin gereja jika acuan tertulis seperti kode etik pendeta tidak ada.26
Selain itu, kemunculan kode etik pendeta juga seharusnya disadari oleh warga jemaat dan masyarakat untuk dipahami bersama. Karena pada kenyataannya, dalam pekerjaan yang dilakukan seorang pendeta, khususnya ketika pendeta tersebut melakukan hal-hal buruk, misalnya: malas melaksanakan tugas, melakukan perselingkuhan, dan menyalahgunakan kekuasaan terhadap warga jemaat, kelakuan buruk tersebut menjadi seolah-olah benar. Untuk itu, keberadaan kode etik harus dipahami bersama untuk mencegah hal-hal seperti itu terjadi. Membenarkan kelakuan buruk pendeta hanya karena tidak ada “larangan” atau “kewajiban” tertulis yang harus ditaati oleh seorang pendeta.
Dalam kode etik pendeta GMIM, hal-hal yang diatur tentu saja bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan bagi profesi pendeta sendiri. Tetapi meyangkut hal-hal diluar kehidupan pribadi pendeta. Hal-hal itu menerangkan bahwa seorang pendeta harus menunjukkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan panggilannya sebagai seorang pelayan Kristus bersama dengan keluarga, rekan sekerja, dan diri sendiri. Hal-hal yang diatur dalam kode etik pendeta GMIM antara lain :
Pendeta dan Diri Sendiri
Hidup yang mencerminkan pemberitaan Firman yang ia sampaikan (ada integritas, kejujuran, keselarasan antara apa yang diucapkan dan yang diperbuat). Seorang pendeta juga wajib mengembangkan intelligensi dan sikap intelektual melalui belajar, membaca, dan mengikuti berbagai forum pembinaan yang dilaksanakan guna memperluas pengetahuannya. Selain itu seorang pendeta juga harus melaksanakan disiplin rohani setiap saat sebagai wujud memelihara
26
15
kasih karunia Allah melalui doa dan perenungan Firman Tuhan secara pribadi. Menjaga keseimbangan antara tugas pelayanan gerejawi dan hidup berkeluarga, memiliki etos kerja pelayanan yang tinggi (kapanpun dan di manapun baik dalam pelayanan territorial maupun fungsional dalam wilayah pelayanan GMIM), menatalayani keuangan dengan bijaksana dan bertanggung jawab (menghindari sikap dan perilaku materialistis, hedonistis, konsumeristis praktek suap-menyuap dan korupsi), tidak berperilaku seksual menyimpang, dan juga tidak pandang bulu (diskriminasi) dalam pelayanan.27
Pendeta dan Keluarga
Menghargai keluarga dalam kebersamaan sebagai wujud kasih karunia Allah dan menghadirkan keluarga Kristiani yang harmonis dan menjauhkan diri dari praktek kekerasan dalam runah tangga, sehingga keluarga pendeta menjadi panutan dalam hidup berjemaat. Saling membimbing masing-masing anggota keluarga dalam mengelola berkat Tuhan dan memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarga sesuai kemampuan masing-masing keluarga dalam mewujudkan pola hidup sederhana. Seorang pendeta tidak boleh menceraikan suami atau istri (Markus 10:9 ; Matius 19:6), dan harus menjaga kekudusan pernikahan dengan tidak berzinah. Sebagai orang tua, seorang pendeta harus memberikan pendidikan iman yang maksimal pada anak-anak serta menjauhkan anak-anak dari pergaulan bebas.28
Pendeta dan Syamas, Penatua, Serta Guru Agama
Seorang pendeta harus menjaga hubungan baik dengan sesama pelayan khusus, saling mendoakan, menghormati, dan menghindarkan diri dari sikap dan tindakan destruktif (menghancurkan) dan diskriminatif (pilih kasih) dalam pelayanan. Pendeta juga harus bekerja sebagai tim bersama pelayan khusus lainnya tanpa memandang siapa atasan atau bawahan.29
Pendeta dan Anggota-Anggota Jemaat
Menjaga citra pendeta dan menjadi panutan di mata jemaat dengan melaksanakan perkunjungan penggembalaan kepada setiap anggota jemaat dan keluarga jemaat. Seorang pendeta juga harus memiliki komitmen yang tinggi dalam memajukan peningkatan iman anggota jemaat supaya
27 Bidang Ajaran dan Pembinaan dan Penggembalaan Sinode GMIM, Kode Etik Pendeta, Tomohon 2013, 3. 28
Bidang APP, Kode Etik Pendeta GMIM, 6. 29
16
berbuah dalam setiap ranah kehidupan. Kemudian dalam menangani konflik, seorang pendeta harus bersikap arif, tidak memihak, dan melayani jemaat dengan penuh tanggung jawab.30
Pendeta dan Institusi Gereja
Menaati Tata Gereja GMIM dan keputusan-keputusan Sidang Gerejawi serta menjadi panutan dalam disiplin berorganisasi gereja. Dalam konteks jabatan struktural pendeta harus loyal terhadap atasan, serta mengemban dan merealisasikan tugas struktural secara objektif dan tidak diskriminatif untuk peningkatan pelayanan teritorial dan fungsional Gereja GMIM sebagai organisasi. Seorang pendeta harus berkomitmen terhadap pernyataan kesediaan untuk ditempatkan di mana saja sesuai keputusan Sinode GMIM dan memperoleh hak sesuai ketentuan (gaji, tunjangan, cuti). Institusi berhak memberikan izin terhadap pendeta dalam melaksanakan tugas atau urusan keluarga di luar jemaat, luar daerah atau luar negeri.31
Pendeta dan Masyarakat
Seorang pendeta harus memiliki kepekaan terhadap kebutuhan dan masalah sosial dan budaya di tengah masyarakat dan memiliki komitmen dalam meningkatkan peradaban religius kristiani di tengah masyarakat. Pendeta harus menjadi teladan dalam menaati hukum yang berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat, serta menjalin kemitraan dengan pemerintah, lembaga sosial, agama-agama untuk keamanan, ketertiban, kesehatan yang kondusif. Pendeta tidak dapat menggunakan jabatan gerejawi pendeta dan fasilitas gereja (gedung gereja) untuk politik praktis dan berbisnis untuk kepentingan profit/keuntungan pribadi.32
Pendeta dan Sesama Pendeta
Membina dan menjalin hubungan kerja yang baik, saling membantu dan saling menopang dalam tugas pelayanan. Menghindarkan diri dari perilaku yang cenderung merusak citra seorang pendeta dan sesama pendeta, serta menghormati dan menghargai batas-batas teritorial pelayanan.
30 Bidang APP, Kode Etik Pendeta GMIM, 9. 31
Bidang APP, Kode Etik Pendeta GMIM, 10. 32
17
Selalu mengkonsultasikan permintaan pelayanan pendeta dari luar teritorial pelayanan kepada pendeta ketua BPMJ (Badan Pekerja Majelis Jemaat) setempat.33
Pendeta dan Sangsi
Pelaksanaan sangsi sesuai Tata Gereja GMIM yang berlaku dengan bentuk penjabaran sangsi sesuai tahapan penggembalaan, penilikan dan disiplin yang dilakukan oleh komite komisi kode etik pendeta bersama BPMS (Badan Pekerja Majelis Sinode) GMIM. Setelah menjalani proses pemeriksaan dan didapati bahwa pendeta yang bersangkutan melakukan pelanggaran yang fatal, maka pemberhentian dengan tidak hormat akan dilakukan (ditandai dengan penanggalan jubah).34
Berbicara tentang organisasi atau kelembagaan seperti Sinode GMIM, sangat tidak mungkin jika tidak menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan tata dasar itu sendiri. Perihal fungsi sosial politik pendeta GMIM, Pdt. Dan Sompe selaku Sekertaris Departemen Bidang APP (Ajaran, Pembinaan, dan Penggembalaan) mengatakan bahwa sangat jarang mendapati posisi atau kedudukan seorang pendeta di pandang sebelah mata. Justru dalam kenyataan di lapangan pelayanan, seorang pendeta hampir selalu menjadi sumber terpercaya dalam pengambilan keputusan bahkan pilihan untuk mempertimbangkan segala sesuatu. Untuk itu, pendeta juga harus dibekali dengan wawasan yang luas khususnya dalam bidang politik. Bukan berarti pendeta harus terjun langsung dalam dunia politik. Tetapi yang dimaksud adalah cara berpikir dan bertindak bahkan sampai pada tahap memberi masukan, kritik, dan sanggahan seorang pendeta dalam konteks tersebut harus disesuaikan. Jangan karena tidak ingin terlibat dalam dunia politik lalu menjauh, atau pun sebaliknya berpihak pada organisasi atau partai-partai politik yang ada. Menurut beliau, walaupun Sinode GMIM memberikan ijin terhadap pendeta yang ingin terjun langsung dalam dunia politik, Tata Gereja dan kode etik pendeta tidak boleh disalahgunakan. Sinode GMIM juga mempertimbangkan posisi pendeta-pendeta lain yang pada kenyataannya dituntut untuk serba bisa dalam setiap bidang kehidupan yang ada, khususnya politik. Keleluasan yang diberikan Sinode GMIM mengenai keterlibatan pendeta dalam politik, tidak serta merta mengiyakan segala tindakan seorang pendeta khususnya dalam fungsi sosial politiknya menjadi hal yang selalu dianggap benar. Fungsi dan peran pendeta pun harus
33
Bidang APP, Kode Etik Pendeta GMIM, 12. 34
18
disesuaikan dengan kebutuhan dalam masyarakat, dengan bertitik tolak pada kode etik pendeta yang dimuat dalam Tata Gereja GMIM.35
4. Tinjauan Sosio Teologis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, ditemukan bahwa standar kesempurnaan moral pelayan adalah integritasnya, hidup yang secara etis utuh dan secara moral dewasa. Integritas pelayan gereja tidaklah sederhana atau otomatis tercipta. Terdapat prasyarat dasar pelayanan yang etis yaitu pemahaman yang jelas tentang panggilan pelayan.
Panggilan pelayanan seorang pendeta pada umumnya memiliki tujuan utama untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah. Tetapi pada kenyataannya, dalam tugas tanggung jawab seorang pendeta, pengabdian kepada Allah ini sama sekali tidak boleh menjadi dalih untuk menghindari tugas-tugas lain dalam pelayanan untuk menjangkau masalah sosial dalam jemaat atau masyarakat. Tugas-tugas tersebut dalam garis besar dapat berupa pelayanan pastoral karena mencakup sebagian besar proses pelayanan bagi seorang pendeta. Untuk itu dalam pelayanan pastoral panggilan pelayan harus selalu dikonkretkan dalam suatu komunitas, yang biasanya berupa jemaat lokal. Hal ini sangat jelas karena seseorang tidak bisa melayani Kristus tanpa melayani orang lain, sebab melayani orang lain berarti melayani Kristus (Mat. 25:31-46).36
Sebagaimana yang ditekankan Luther dan Calvin, semua orang Kristen dipanggil untuk melayani Allah dalam dan melalui panggilan mereka masing-masing. Pelayan berada di antara konsep panggilan yang berlaku umum untuk semua orang Kristen dan karier tertentu. Seorang pelayan memenuhi panggilan bukan hanya sekedar memilih karier atau bidang pekerjaan yang terkenal. Tetapi terdapat hal lain yaitu adanya segi-segi panggilan pelayan yang unik dan didalamnya terdapat kewajiban dan tanggung yang tidak lazim.
Melalui teori yang telah penulis paparkan sebelumnya, tanggung jawab orang Kristen untuk menguasai dunia ini terwujud melalui panggilan iman. Melarikan diri dari tanggung jawab ini merupakan bentuk pengingkaran atas panggilan iman. Artinya seorang pelayan yang pada dasarnya mempunyai tugas tanggung jawab seperti ini tidak bisa memungkiri pekerjaannya dalam memaksimalkan perannya di tengah masyarakat dan juga warga jemaat layanannya. Memang pada kenyataannya saat ini, cakupan tanggung jawab pelayanan seorang pendeta tidak hanya berpusat dalam pelayanan pastoral. Keterampilan pelayanan seorang pendeta juga dilihat
35
Wawancara dengan Pdt. Dan Sompe M.Teol, MPdK, Tomohon, 14 Januari 2018, Pukul 16.00 WITA. 36
19
dari penguasaan administrasi niaga dan hubungan masyarakat atau pekerjaan yang kompetensi teknisnya tidak dimiliki pelayan. Berdasarkan hal ini, banyak calon-calon pelayan dibekali dengan disiplin ilmu teologi yang terspesialisasi guna mempersiapkan seorang pendeta yang mempunyai dasar keterampilan yang dapat menunjang pekerjaan pelayanannya.
Panggilan iman pelayanan pendeta GMIM adalah untuk menyampaikan pemberitaan Firman Tuhan melalui khotbah dan melayankan sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus). Pendeta juga melaksanakan tugas pengajaran kepada warga jemaat melalui sekolah minggu, katekisasi, dan pembinaan kategorial. Tugas pengajaran juga dilakukan melalui pemahaman Alkitab dan retreat anggota jemaat, baik bersama maupun secara khusus kategorial. Dalam fungsi khususnya, pendeta juga melakukan fungsi khusus penggembalaan (pastoral) kepada warga jemaat, baik secara rutin maupun secara khusus.
Dalam kode etik pendeta GMIM tentunya telah mengatur berbagai hal terkait dengan tugas tanggung jawab pelayanan pendeta. Memang dalam kode etik tersebut tidak dijelaskan secara mendalam mengenai hal-hal baik dan tidak baik seperti apa yang harusnya ditunjukkan oleh pendeta. Tetapi yang ditekankan didalamnya adalah sikap etis moral dalam kehidupan pribadi bersama keluarga maupun dengan jemaat dan rekan pelayanan. Dengan demikian patokan dari segala perbuatan baik yang harusnya ditunjukkan seorang pendeta dalam kode etik pendeta GMIM adalah integritas dan sikap etis moral dalam kehidupannya.
Jika dilihat dari pengaturan yang berhubungan dengan peran sosial politik pendeta GMIM dalam kode etiknya, aturan tersebut hanya sebatas pada larangan untuk tidak menggunakan jabatan gerejawi pendeta dan fasilitas gereja (gedung gereja) untuk politik praktis. Artinya, dalam melaksanakan pekerjaannya seorang pendeta tidak bisa terlibat dalam politik praktis atau dengan kata lain sebisa mungkin untuk tidak berhubungan langsung dengan politik dengan menggunakan jabatan kependetaannya. Hal ini belum memperlihatkan kejelasan mengenai peran sosial politik seperti apa yang ingin dibentuk Sinode GMIM dalam mengarahkan pendeta-pendetanya. Dapat disimpulkan bahwa pendeta GMIM tetap bisa berpolitik praktis dengan tidak membawa jabatan gerejawinya. Kesimpulan ini di dukung dengan pernyataan dari Pdt. Arthur Rumengan M.Teol yang mengatakan bahwa Sinode GMIM tidak melarang pendetanya untuk terlibat dalam politik praktis. Tetapi pendeta yang bersangkutan harus mengajukan surat permohonan kepada BPMS (Badan Pekerja Majelis Sinode) GMIM dengan menjelaskan alasan dan pertimbangan memilih mengabdi di luar kelembagaan GMIM. Dengan
20
demikian, BPMS akan mengeluarkan surat keputusan memberi ijin maksimal 5 (lima) tahun dan memberlakukan ketentuan peraturan tentang pekerja GMIM Bab V Pasal 12 Ayat 2a yaitu pendeta tidak menerima biaya hidup, tidak diperhitungkan masa kerjanya (cuti di luar tanggungan gereja), tidak diberikan tugas/jabatan struktural GMIM, tidak diberikan kenaikan berkala dan perpindahan ruang/golongan, dan tetap menyetor iuran/dana pensiun dan dana sehat.
Peraturan tersebut mungkin dilakukan Sinode GMIM untuk memberi batasan dan memisahkan antara pekerjaan seorang pendeta yang berhubungan dangan jabatan kerohanian dan jabatan politik yang seringkali dipandang tidak sesuai dengan pelayanan seorang pendeta. Jika demikian, berkaitan dengan teori yang dipakai penulis dimana dalam teori tersebut memfokuskan pekerjaan dan pelayanan seorang pendeta terdapat pada panggilan iman pelayanannya menunjukkan keselarasan dengan aturan dan pemisahan yang dilakukan Sinode GMIM. Calvin mengatakan bahwa dunia ini tidak jahat, Allah menciptakan baik adanya. Masalahnya bukan dunia itu sendiri, melainkan sikap manusia terhadapnya. Hal ini selaras dengan sikap yang diambil oleh Sinode GMIM dengan memberikan batasan, tetapi juga tidak menutup diri dengan memberikan larangan. Artinya Sinode GMIM sendiri masih memaknai bahwa politik itu tidak selalu berhubungan dengan hal negatif seperti yang banyak dibicarakan orang dan masih melihat hal tersebut sebagai salah satu hak yang dimiliki oleh seorang pendeta. Namun, pada saat yang sama pula dengan mempertimbangkan warna dan corak yang berbeda antara sifat pelayanan gereja dan tujuan politik, Sinode GMIM berdiri di tengah sebagai pengawas untuk menilai hal-hal yang berkaitan dengan dua hal-hal tersebut masih berjalan sesuai dengan peraturan petunjuk pelaksanaan GMIM, secara khusus kode etik yang berlaku.
Pada umumnya, pemberian batasan dan pemisahan antara pekerjaan seorang pendeta dalam hubungannya di bidang kerohanian dengan politik praktis memang baik adanya. Tetapi yang menjadi kekurangan adalah dalam kode etik yang dicetak dan di sebar luaskan, peraturan tersebut terlalu singkat dan sempit untuk dipahami. Tidak ada penjelasan seperti dalam petunjuk pelaksanaan pendeta GMIM, dimana dalam juklak/petunjuk pelaksanaan pendeta GMIM terdapat panduan dan penjelasan tentang pendeta GMIM sendiri, disiplin gerejawi, pensiun dan penjenjangan jabatan gerejawi. Hal ini dikarenakan juklak/petunjuk pelaksanaan pendeta GMIM sendiri masih dalam bentuk format, belum ditetapkan di sidang BPMS dan masih dalam bentuk draft.
21
Adanya batasan dan pemisahan yang dilakukan oleh Sinode GMIM ini berangkat dari kenyataan yang terjadi dalam lapangan pelayanan pendeta GMIM sendiri. Berbagai tanggapan, diskusi-diskusi umum yang dilakukan gereja-gereja dalam pembahasan mengenai pekerjaan pendeta satu-satunya sebagai pelayan dan menyangkut pemberian diri. Hal ini berkaitan dengan pekerjaan sampingan pendeta yang dapat dimaklumi seperti berbisnis atau berkebun. Pekerjaan itu masih bisa diimbangi dengan pekerjaan utama seorang pendeta sebagai pelayan. Tetapi, menyangkut politik dengan sifat, tujuan, dan cara kerja sangat berbeda. Alasan yang paling kuat adalah ketika menempatkan kembali pendeta yang sebelumnya berkiprah di politik praktis ke tengah-tengah jemaat. Dalam banyak kasus, pendeta dan beberapa tokoh dalam jemaat atau masyarakat tersebut mempunyai basis partai yang berbeda sehingga menimbulkan benturan. Benturan yang ditimbulkan akhirnya menciptakan perpecahan dalam jemaat, dan pada akhirnya terjadi masalah yang mengakibatkan jemaat tersebut terpecah menjadi dua kelompok. Masalah seperti ini yang sangat sering muncul dan diajukan kepada Sinode GMIM untuk mendapatkan jalan keluar.
Tentu saja masalah seperti ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus terjadi karena akan berdampak buruk bagi seluruh bentuk pelayanan yang dilakukan oleh Sinode GMIM. Berdasarkan analisa yang dilakukan penulis, kedudukan kode etik pun kadang kala disalahgunakan oleh pendeta-pendeta GMIM. Hal ini dikarenakan maraknya tawaran untuk menjadi calon anggota legislatif terhadap pendeta berdasarkan jabatan rohaninya. Tetapi tidak sedikit juga yang menjadikan kode etik sebagai landasan untuk bersikap dan berperilaku etis sesuai dengan pelayanannya.
Pada dasarnya masalah mengenai pendeta dalan peran sosial politiknya bukan terletak pada masalah doktrin jabatan menyangkut salah atau benar melainkan masalah etika, boleh atau tidak boleh. Pendeta yang berpolitik atau dalam keadaan memihak, akan cenderung mengarahkan warga jemaat atau masyarakat pada kepentingan partai yang sama dengan pendeta tersebut. Bahkan dapat menjadikan mimbar gereja untuk kampanye, dan bukan untuk pemberitaan Injil. Intinya yang perlu dilihat dengan seksama adalah motivasi. Ada pendeta yang bekerja dengan integritas, visi, dan komitmen. Tetapi banyak pula yang tidak mengindahkan sikap dan perilaku etis tersebut.
Berdasarkan teori yang telah penulis paparkan sebelumnya bahwa fokus pekerjaan dari pendeta adalah pada panggilan iman pelayanannya. Dimana panggilan iman berfokus pada
22
pelayanan pengabdian kepada Allah dan memelihara kehidupan rohani umat yang dinyatakan dalam berbagai bentuk penggembalaan (pastoral).
Menurut hemat penulis, bentuk penggembalaan inilah yang harusnya diterapkan dalam peran sosial politik pendeta. Artinya peran seorang pendeta dalam konteks sosial politik lebih kepada peran pastoral atau penggembalaan, bukan pada peran politik praktis. Hal ini juga mengingat bahwa konsep tentang panggilan iman dalam institusi sosial bahwa setiap orang Kristen terpanggil untuk melaksanakan tanggung jawab politisnya, terlibat dalam tugas-tugas politik termasuk beban untuk tunduk pada pemerintahan. Bagi seorang pendeta, dalam melaksanakan tanggung jawab politis sesuai dengan perannya dalam lingkup jemaat layanan bahkan masyarakat luas adalah dengan peran pastoral. Karena dalam pelayanan pastoral, mencakup pendidikan dan pendampingan moral dimana melalui peran penggembalaan ini, seorang pendeta dapat melakukan pendidikan dan sosialisasi politik secara bertahap dan terus menerus agar masyarakat memiliki kesadaran untuk melakukan hak dan kewajiban secara bertanggung jawab. Dalam peran penggembalaannya pun, seorang pendeta dapat menjadi media untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat.
5. Penutup: Kesimpulan dan Saran
Pada dasarnya persoalan mengenai peran sosial politik pendeta GMIM membutuhkan kesadaran bukan semata-mata dari pendeta, tetapi juga kesadaran dari warga jemaat layanan bahkan masyarakat luas. Kesadaran yang dimaksud guna menunjang pekerjaan dan tanggungjawab pendeta khususnya dalam kaitan dengan peran sosial politik pendeta GMIM di tengah masyarakat.
Dalam upaya untuk menumbuhkan kesadaran tersebut, terlebih dahulu pendeta harus menanamkan model penggembalaan untuk menjangkau masyarakat sehubungan dengan peran sosial politiknya. Hal ini harus dilakukan mengingat fokus panggilan iman pelayanan seorang pendeta adalah untuk Allah dan jemaat layanannya. Untuk itu peran seorang pendeta dalam konteks sosial politik lebih kepada peran pastoral (penggembalaan) dan bukan pada peran politik praktis.
Selain kesadaran dari seorang pendeta, kesadaran dari Sinode GMIM juga sangat diperlukan untuk keberhasilan dan penunjang peran pastoral pendeta dalam kaitannya dengan sosial politik. Artinya kode etik pendeta GMIM yang merupakan representasi dari Sinode GMIM
23
haruslah menunjukkan keterlibatan yang sama, sehingga dalam pelaksanaan dari Sinode bahkan sampai pada jemaat-jemaat akan sejalan.
Pada akhirnya segala upaya yang dilakukan guna memperjelas dan mengarahkan kembali peran sosial politik pendeta akan mendapat perhatian yang baru. Bukan saja usaha pribadi atau satu orang saja, tetapi usaha ini dilakukan bersama sehingga mendapatkan hasil yang optimal bagi Sinode GMIM, pendeta dan bahkan warga jemaat atau masyarakat. Memang sampai saat ini, sudah banyak program-program penggembalaan (pastoral) yang dilakukan oleh Sinode GMIM, tetapi alangkah baiknya jika peran pastoral pendeta berkaitan dengan sosial politik di pertimbangkan kembali guna mendapat keselarasan untuk tujuan dan kepentingan bersama.
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan adanya bidang hubungan pastoral khusus yang fokus pada hubungan sosial politik yang mana program-programnya pun menunjang pekerjaan dan tanggungjawab pendeta terkait hal tersebut dalam masyarakat. Hal ini pun harus ditunjukkan dengan juklak/petunjuk pelaksanaan pendeta GMIM diterbitkan, sehingga jemaat dan masyarakat serta pendeta pun mempunyai landasan yang sama. Sebab hingga saat ini, fokus terhadap peran sosial politik pendeta hanya berdasarkan kode etik yang memerlukan revisi dalam penjelasan mendalam, dan mengingat hal ini pun bukan masalah sederhana yang bisa diatasi secara instan, tetapi memerlukan waktu yang lama dan secara bertahap juga terus menerus harus disosialisasikan. Dalam hal ini perlu adanya kerjasama yang lebih sering dan mendalam bahkan secara khusus dalam upaya yang akan dilakukan oleh Sinode GMIM, sehingga peran pastoral pendeta berkaitan dengan sosial politik dalam masyarakat mendapat pembaharuan ke arah yang lebih baik.
24
DAFTAR PUSTAKA
Bidang Ajaran dan Pembinaan dan Penggembalaan. Kode Etik Pendeta GMIM. Tomohon: Sinode GMIM, 2013.
Borrong, Robert P. Etika Politik Kristen Serba-Serbi Politik Praktis. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2006.
Borrong, Robert P. Signifikansi Kode Etik Pendeta. Gema Teologi Vol.39, No.1 (April 2015).
Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-IlmuSosial. Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
Lugo, Gunche. Manifesto Politik Yesus. Yogyakarta: Andi 2009.
McGrath, Allister E. Chritianity’s Dangerous Idea. HarperOne: Reprint Edition, 2008. Meeter, Henry. The Basic Ideas of Calvinism. GrandRapids: Baker Book House, 1990.
Mojau, Julianus. Teologi Politik Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanius, 2009.
Ngelow, Zakaria J. Gereja dan Masyarakat Madani di Indonesia. Jurnal Teologi Persetia, 1999.
Noyce, Gaylord. Tanggung Jawab Etis Pelayan Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Rode, Carlton Clymer dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: PT Garafindo Persada, 2000.
Sairin, Winata dan Pattiasina, J.M. Hubungan Gereja dan Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Sejarah Gereja Masehi Injili di Minahasa
Singgih, Emanuel Gerrit. Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004.
Sumakul, H.W.B. Panggilan Iman Dalam Teologi Luther dan Calvin. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
25
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Suseno, Franz Magnis. Iman dan Hati Nurani. Jakarta: Obor, 2014.
Suseno, Franz Magnis. Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004.
Trull, Joe E. dan Carter, James E. Etika Pelayan Gereja (Peran Moral dan Tanggung Jawab Etis Pelayan Gereja). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Wogaman J. Phillip. Christian Perspective On Politics. Louisville Westerminster: John Knox Press, 2000.