• Tidak ada hasil yang ditemukan

Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619 M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619 M."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

INVASI SULTAN AGUNG MATARAM TERHADAP KADIPATEN TUBAN TAHUN 1619 M

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)

pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)

Oleh :

Frinda Rachmadya Nurhayati NIM: A92213151

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619”. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini meliputi, (1) bagaimana kondisi politik Tuban sebelum abad 17 Masehi ? (2) bagaimana politik invasi Sultan Agung Mataram (1614-1645) ? (3) apa saja dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa invasi Sultan Agung ke Tuban tahun 1619 ?

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian sejarah, yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan politikologis dan pendekatan ekonomi. Teori yang digunakan adalah teori Challenge and Response oleh Arnold Joseph Toynbe (1889-1975) dan teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci (1891-1937). Teori Challenge and Response menggambarkan tentang hubungan sebab akibat yang dimunculkan oleh suatu kejadian. Sedangkan teori Hegemoni menjelaskan bagaimana ide-ide atau ideologi menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan pada kelompok penguasa, legitimasi untuk berkuasa.

(7)

Abstract

This thesis entitled “Invation of Sultan Agung Mataram toward Tuban

City on 1619”. The problem of this thesis consist of, (1) how the politic condition

at Tuban before 17th century ? (2) how the politic invation of Sultan Agung Mataram (1614-1645) ? (3) what are the effects of invation Sultan Agung toward Tuban on 1619 ?

The method of this thesis is observation of history method that consist of, heuristic, verification, interpretation, and historiography. The approach of this thesis is politicologic and economic approach. The theories are challenge and response theory by Arnold Joseph Toynbe (1889-1975), and hegemony theory by Antonio Gramsci (1891-1937). Challenge and response theory describes about reason-consequence relation that caused by an incident. Meanwhile, hegemony theory explain how the ideas and ideology become a domination instrument which give to government, legitimation to power.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

E. Penelitian Terdahulu ... 10

F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 11

G. Metode Penelitian ... 15

H. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II KONDISI POLITIK TUBAN SEBELUM ABAD KE-17 M A. Letak Geografis Tuban ... 21

(9)

1. Majapahit ... 25

2. Demak ... 28

3. Pajang menuju Mataram Islam ... 31

C. Tuban sebagai Jalur Perdagangan antar Negara ... 35

BAB III POLITIK INVASI SULTAN AGUNG MATARAM (1614-1645) A. Kondisi Kerajaan Mataram Islam Ketika Sultan Agung Berkuasa ... 42

B. Kebijakan Politik Invasi Sultan Agung ... 46

C. Invasi Mataram Islam ke Tuban 1619 ... 49

1. Latar Belakang Terjadinya Konflik Mataram-Tuban ... 49

2. Proses Invasi hingga Takluknya Tuban terhadap Mataram Islam ... 55

3. Respon Kadipaten Tuban terhadap Invasi Mataram ... 61

BAB IV DAMPAK INVASI MATARAM ISLAM TERHADAP TUBAN A. Dampak Sosial-Politik ... 64

B. Dampak Sosial-Ekonomi ... 66

C. Dampak Sosial-Budaya ... 67

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 70

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Invasi adalah sebuah istilah politik yang berarti usaha penyerangan

suatu bangsa dengan pergerakan militer atau angkatan bersenjata yang

dimilikinya, dengan tujuan penguasaan daerah atau mengubah pemerintahan

yang berkuasa sebelumnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), invasi merupakan hal atau perbuatan memasuki wilayah negara lain

dengan mengerahkan angkatan bersenjata, dengan maksud menyerang atau

menguasai negara tersebut.1 Salah satu peristiwa invasi yang pernah terjadi dalam dunia perpolitikan adalah peristiwa invasi yang dilakukan oleh

Mataram Islam terhadap daerah-daerah pesisir pada pertengahan abad 17

Masehi.

Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan Islam yang pernah ada

di Indonesia. Beberapa abad sebelum kerajaan ini didirikan, lokasinya

merupakan sebuah hutan yang penuh dengan tumbuhan tropis di atas

puing-puing istana tua Mataram Hindu.2 Dalam Sejarah Nasional Indonesia

dikatakan bahwa Mataram merupakan daerah yang subur yang terletak

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1989),337.

2

(11)

2

antara Kali Opak dan Kali Praga yang mengalir ke Samudera Hindia.3 Kerajaan yang berdiri pada abad ke-16 ini, mencapai puncak kejayaannya

pada masa pemerintahan Raden Mas Jatmiko4 atau Raden Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama besar Sultan Agung Hanyakrakusuma.5

Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung memiliki misi untuk

memperluas wilayah kekuasaannya melalui invasi atau penyerangan ke

daerah-daerah sekitar Mataram, khususnya ke wilayah-wilayah yang dikenal

memiliki armada laut yang kuat. Salah satu wilayah yang menjadi sasaran

penaklukan Mataram Islam adalah Tuban.

Kadipaten Tuban merupakan salah satu kota tua yang berada pada

jalur pantai utara. Luas wilayah kadipaten Tuban ± 183.994.561 Ha, dengan

dilengkapi wilayah laut seluas ± 22.068 km2. Posisi Tuban berada pada koordinat 111º 30' - 112º 35' BT dan 6º 40' - 7º 18' LS. Panjang wilayah

pantainya 65 km. Secara administratif, kadipaten Tuban termasuk dalam

wilayah propinsi Jawa Timur. Secara geografis, posisi kadipaten Tuban

dapat dijelaskan melalui keterangan berikut ini:

Sebelah utara berbatasan dengan : Laut Jawa

Sebelah timur berbatasan dengan : Lamongan

Sebelah selatan berbatasan dengan : Bojonegoro

3

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), 55.

4

Ibid., 57.

5

(12)

3

Sebelah barat berbatasan dengan : Rembang (Propinsi Jawa Tengah)6

Sejak abad ke-11 (masa pemerintahan Raja Airlangga, dari kerajaan

Kahuripan) hingga 15 (masa pemerintahan Raden Patah, dari kerajaan

Demak), Tuban dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan utama utara Jawa

dengan nama Kambang Putih.7 Selain itu Tuban juga dijadikan sebagai pusat pertahanan militer untuk menghadapi serangan-serangan dari luar. Ia

menjadi pendaratan pertama tentara Tartar (Pasukan Cina-Mongolia) pada

tahun 1292 yang ketika itu hendak menyerang Jawa bagian timur (kejadian

yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit).8 Tom Pires (1468-1540) menyebutkan bahwa pada abad 16, ada tiga pelabuhan yang dikuasai oleh

Raja Jawa, diantaranya:

1. Pelabuhan orang-orang Moor, maksudnya adalah Tuban yang ketika itu

menjadi wilayah kekuasaan Daria Tima de Raja9,seorang Moor yang menjadi bawahan dari Raja Jawa

2. Pelabuhan orang-orang pagan, maksudnya adalah Blambangan yang

dikuasai oleh Pate Pimtor10 yang kala itu menjadi kesatria yang ditakuti dan sangat dihormati di Jawa, terutama oleh para tuan negeri pagan

6

Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 2015), 5.

7

Edi Sedyawati et al., Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 7-8.

8

Ibid., 39.

9

Gelar ini merujuk pada nama Arya Tedja, penguasa Tuban kala itu yang merupakan kalangan bangsa Moor, ia merupakan seorang ulama keturunan Arab yang berhasil meyakinkan raja Tuban sebelumnya (mertuanya), Arya Dikara, untuk masuk Islam. Dengan demikian, Arya Dikara merupakan penguasa Tuban pertama yang beragama Islam. Nama Arya Tedja semakna dengan bahasa Arab “Abdurrahman”. Tom Pires, Suma Oriental (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 235 dan Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali, 41.

10

(13)

4

3. Pelabuhan milik putra Guste Pate11, maksudnya adalah Gamda (wilayah sekitar Pasuruan) yang dikuasai oleh putra Guste Pate.

Tuban adalah salah satu bandar kuna yang telah memainkan

peranannya sejak berabad-abad lampau, dengan memposisikan dirinya

sebagai jalur perdagangan laut dunia bagi kapal-kapal dagang yang

melintasi laut Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan.12 Prasasti Kambangputih merupakan prasasti yang memuat sejarah Tuban sebagai

kota pelabuhan, diduga berasal dari tahun 1050 Masehi13, kini terletak di belakang Museum Kambang Putih.

Tuban merupakan salah satu kota dagang tertua di Jawa, yang catatan

perdagangan luar negerinya dimulai sejak abad ke-11. Tuban juga

merupakan kota dimana ekspedisi Cina berlabuh pada akhir abad ke-13

dalam upaya mereka yang sia-sia untuk menaklukan Jawa. Kebijakan

Majapahit mengenai ekspansi luar negeri menjadikan Tuban sebagai

pelabuhan keberangkatan bagi semua pelayaran ke Kepulauan Maluku –

bahkan nama-nama tempat di Maluku banyak mengadopsi nama Tuban.

Sejumlah upeti yang diperoleh dari negeri-negeri bawahan pasti mencapai

ibu kota Majapahit melalui pelabuhan tersebut, hal ini berdampak pada

kekayaan dan kemakmuran yang besar bagi Tuban dan penguasanya. Oleh

sebab itu, bahkan setelah para penguasa Bumiputera Tuban memeluk Islam,

yang terjadi antara sebelum atau pertengahan abad ke-15, hubungan yang

11

Sebutan bagi wakil raja Jawa dan kapten tertingginya. Ibid., 229

12

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 2.

13

(14)

5

terjalin akrab dengan kerajaan-kerajaan Hindu tetap terpelihara. Agama

Islam yang dianut oleh penguasa Tuban bersifat tidak ortodoks, bahkan

diketahui sebagian bawahan penguasa Tuban tetaplah kafir. Tidak heran

Tom Pires menyebut orang Tuban dengan “tidak ada penganut agama

Muhammad yang taat”.14

Sejak awal pemerintahannya, Tuban memang memposisikan dirinya

sebagai wilayah bawahan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.15 Salah satu kerajaan besar yang pernah menguasai wilayah Tuban adalah kerajaan

Mataram Islam.

Ketika Pangeran Dalem (adipati Tuban ke XVII) berkuasa, ia

memindahkan rumah kadipaten ke kampung Dagan (kota Tuban). Di

samping itu, Pangeran Dalem juga membangun masjid dan benteng di luar

kota sebagai daerah pertahanan. Benteng yang dibangun pada masa

pemerintahan Pangeran Dalem tersebut terletak di Gua Akbar dengan posisi

membujur dari timur ke barat. Pengeran Dalem menunjuk Kiai Muhammad

Asngari untuk bertugas membangun benteng pertahanan tersebut. Benteng

tersebut oleh Pangeran Dalem diberi nama benteng Kumbakarna.16 Pada saat itu, Tuban berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram Islam yang

14

M. A. P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara antara 1500 dan sekitar 1630 (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 156.

15

De Graaf, Kerajaan Islam Pertama: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2001), 148.

16

(15)

6

mulai diakui kekuasaannya oleh adipati-adipati dari beberapa daerah di

Jawa, seperti Cirebon, Sumedang, Madura, dan Tuban, sejak tahun 1601.17

Kondisi awal Tuban sebagai pelabuhan penting pada masa itu

disebabkan oleh kondisi geografisnya yang memadai. Teluk Tuban dinilai

aman dan baik untuk transportasi laut karena kedalamannya yang ideal bagi

perahu-perahu besar yang datang. Di sisi lain, kondisi Tuban sebagai daerah

rawan karena merupakan pintu gerbang masuknya kekuatan-kekuatan luar

yang hendak menembus ke wilayah pusat kekuasaan di pedalaman, juga

dikenal sebagai benteng terdepan untuk menghambat serangan lawan

menjadikan Tuban sebagai salah satu incaran kerajaan-kerajaan di

Nusantara untuk memperkuat dan melebarkan wilayah kekuasaannya.18

Mengenai kelompok-kelompok sosial yang tinggal di Tuban tidak

disebutkan secara rinci, namun sumber dari kitab Ying-Yai Sheng-Lan

menyebutkan ada tiga kelompok sosial yang tinggal di wilayah ini,

diantaranya adalah golongan muslim, pedagang Cina, dan penduduk

pribumi.19 Memasuki abad ke-16, kelompok-kelompok sosial di Tuban nampaknya masih belum mengalami perubahan yang berarti. Jadi masih

serupa dengan pengelompokkam sosial yang terjadi sejak akhir abad ke-13

sebagaimana dicatat dalam berita Cina tersebut. Seperti telah diketahui

bahwa kelompok sosial yang paling tinggi statusnya adalah golongan

17

R. Soeparmo, Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 1983), 31.

18

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 8-9.

19

(16)

7

muslim. Kemudian diikuti oleh orang-orang Cina dan terakhir orang-orang

pribumi.20

Pada awal abad 17 setelah benteng Kumbakarna dibangun, Sultan

Mataram saat itu, Sultan Agung Hanyakrakusuma mendengar berita bahwa

bupati Tuban, Pangeran Dalem berniat akan memerdekakan diri dari

pengaruh Mataram. Bukti dari niat Pangeran Dalem ini dipicu alasan bahwa

banyak bupati dari Jawa Timut, diantaranya Bupati dari Surabaya, Lasem,

dan Tuban tidak bersedia mengakui kedaulatan Sultan Agung dari Mataram

karena dianggap jahat sehingga ketiga wilayah ini bersepakat untuk

bertempur bersama-sama untuk melawan tentara kerajaan.21 Pembangunan benteng Kumbakarna ini diharapkan mampu menjadi pendukung

tercapainya niat tersebut.

Namun niat ini segera di ketahui oleh Sultan Agung. Beliau mengirim

seorang mata-mata bernama Kyai Randu Watang. Setibanya di Tuban,

Randu Watang menanam dua batang pohon randu alas sebagai tanda bahwa

ia telah sampai di Tuban. Setelah diselidiki lebih lanjut, Kiai Randu Watang

mengetahui kebenaran berita tersebut kemudian melaporkannya langsung ke

Mataram.22 Segera setelah laporan Kyai Randu Watang ke Mataram, Sultan Agung mengerahkan pasukannya untuk menginvasi Tuban. Dua pasukan

dikerahkan oleh Sultan Agung dengan memerintahkan Martalaya dan Jaya

20

Ibid., 36.

21

Soeparmo, Catatan Sejarah, 32.

22

(17)

8

Suponta sebagai pemimpin invasi tersebut.23 Peristiwa ini berakhir dengan takluknya Tuban, yang menjadi salah satu unsur terpenting dari persekutuan

Surabaya untuk menghancurkan Mataram, pada tahun 1619.24

Dengan dilatar belakangi oleh fakta sejarah di atas, maka peneliti

termotivasi untuk mendeskripsikan lebih lanjut dan mendalam mengenai

peristiwa penaklukan Tuban oleh kerajaan Mataram Islam pada 1619 dan

apa saja dampak yang diperoleh Tuban akibat peristiwa tersebut. Untuk itu,

dalam penelitian yang dilaksanakan secara individu ini, peneliti mengambil

judul: “Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619: Berdasarkan Berita Tradisi”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi politik Tuban sebelum abad 17 Masehi ?

2. Bagaimana politik invasi Sultan Agung Mataram (1614-1645) ?

3. Apa saja dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa invasi Sultan Agung

ke Tuban tahun 1619 ?

23

H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Yogyakarta. Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), 58.

24

(18)

9

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kondisi dan sejarah politik Tuban sebelum penaklukan

Sultan Agung Mataram

2. Untuk mengetahui karakter politik invasi Sultan Agung Mataram ke

Tuban

3. Untuk mengetahui dampak-dampak yang terjadi di Tuban akibat

peristiwa invasi Sultan Agung Mataram tahun 1619.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat positif bagi masyarakat

baik dari sisi keilmuan akademis maupun sisi praktis. Berikut diantaranya

manfaat yang bisa didapatkan dari penelitian ini:

1. Sisi Keilmuan Akademik

a. Hasil penelitian ini bisa dijadikan sumber informasi bagi penelitian

pada bidang yang sama

b. Memberikan kontribusi wacana bagi perkembangan ilmu

pengetahuan khususnya pada bidang sejarah

2. Sisi Praktis

a. Bagi Penulis, penelitian ini bermanfaat dalam rangka memenuhi

tugas akhir jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab

(19)

10

b. Untuk memperkaya kajian sejarah Indonesia khususnya sejarah

politik mengenai peristiwa invasi Mataram Islam terhadap

kadipaten Tuban tahun 1619.

E. Penelitian Terdahulu

Merujuk pada judul penelitian yang penulis kemukakan di atas,

peneliti hanya menemukan satu judul penelitian terdahulu yang serupa

dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Berikut akan dikemukakan

penelitian tersebut beserta penjelasannya sebagai bahan perbandingan,

sehingga mampu menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan ini bukan

merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian yang telah ada

sebelumnya :

1. Ahmad Saiful Ali, “Ekspansi Mataram terhadap Surabaya Abad ke-17

(Tinjauan Historis tentang Kasus Penaklukan Surabaya oleh Mataram

Abad ke-17 M)”, Surabaya: Skripsi Fakultas Adab IAIN Sunan

Ampel, 1994. Membahas tentang usaha ekspansi Mataram Islam ke

wilayah Surabaya beserta dampak yang ditimbulkan akibat ekspansi

tersebut.

2. Ummu Salamah, “Konflik Kesultanan Mataram Islam dengan

Kesultanan Banten pada Pertengahan Abad 17 M”, Yogyakarta:

(20)

11

Membahas tentang kronologi konflik yang terjadi antara kesultanan

Mataram Islam dan kesultanan Banten.

3. Wakidi Febri dan Syaiful M, “Tinjauan Historis Perjuangan Sultan

Agung dalam Perluasan Kekuasaan Mataram tahun 1613-1645”,

Bandar Lampung: Jurnal Pendidikan FKIP UNILA, 2016. Membahas

tentang analisa sejarah mengenai perjuangan Sultan Agung dalam

usaha perluasan wilayah Mataram.

4. Laila Mufidah, “Ambisi Mataram Islam untuk Menguasai

Blambangan: Masa Sultan Agung dan Amangkurat I Abad ke-17”,

Surabaya: Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel,

2016. Membahas tentang motivasi Sultan Agung dan Amangkurat I

dalam menguasai Blambangan.

Penelitian ini memiliki target pembahasan berbeda dari penelitian

sebelumnya, karena fokus penelitian ini tertuju pada proses invasi Sultan

Agung Mataram ke Tuban yang terjadi pada tahun 1619. Oleh karena itu,

pembahasan penelitian ini akan difokuskan pada “Invasi Sultan Agung

Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619”

F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Sesuai dengan judul penelitian ini, penulis menggunakan metode

(21)

12

menggunakan perhitungan angka.25 Sedangkan penelitian kualitatif menurut Sukmadinata adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan

dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan,

persepsi, dan pemikiran orang baik secara individu maupun kelompok.26

Jenis penelitian ini adalah sejarah non-naratif. Penelitian sejarah jenis

ini tidak menyusun cerita, tetapi lebih menekankan pada masalah ( problem-oriented).27 Dalam penelitian ini, penulis berupaya mengungkap sejarah mengenai Tuban, baik itu kondisi geografis, kondisi Tuban ketika berada

dalam dinamika politik tiga kerajaan besar Nusantara ketika itu (Majapahit,

Demak, dan Mataram Islam), juga profil Tuban (dahulu lebih dikenal

dengan wilayah Kambang Putih) sebagai pusat perdagangan internasional

khususnya pada masa Raja Airlangga sekitar abad 11 Masehi.28 Pada bab selanjutnya, penulis berupaya memaparkan karakter dan politik ekspansi

Sultan Agung Mataram terhadap wilayah-wilayah yang ia invasi, salah

satunya adalah Tuban. Bab terakhir penulisan sejarah ini menekankan pada

dampak-dampak yang ditimbulkan oleh Sultan Agung Mataram setelah

berhasil menginvasi Tuban pada tahun 1619.

Penelitian ini disusun dengan menggunakan pendekatan politikologis

dan pendekatan ekonomi. Pendekatan politikologis menyoroti struktur

kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan kekuasaan,

25

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 2.

26

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 60.

27

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 9.

28

(22)

13

dan lain sebagainya.29 Pendekatan politikologis digunakan untuk mendeskripsikan kondisi tata pemerintahan kadipaten Tuban pada pra,

masa, dan pasca invasi Sultan Agung Mataram beserta kondisi kerajaan

Mataram Islam pada masa kepemimpinan Sultan Agung. Sedangkan

pendekatan ekonomi digunakan untuk memaparkan kondisi ekonomi

kadipaten Tuban sebelum hingga sesudah invasi Sultan Agung Mataram

terjadi.

Adapun kerangka teori yang digunakan oleh peneliti adalah teori

Challenge and Response oleh Arnold Joseph Toynbe (1889-1975) dan teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci (1891-1937). Teori Challenge and

Response menggambarkan tentang hubungan sebab akibat yang

dimunculkan oleh suatu kejadian. Penerapan teori ini mengacu pada posisi

Tuban yang setelah lepas dari pengaruh Demak menjadi wilayah kedudukan

Mataram, berusaha ingin melepaskan diri dari pengaruh Mataram.

Keinginan ini disebabkan penguasa Mataram saat itu, Sultan Agung

Hanyakrakusuma, dianggap suka bertindak sewenang-wenang terhadap

wilayah bawahannya. Salah satu contoh kesewenangannya adalah

menempatkan kaki tangannya yang berasal dari Mataram untuk menjadi pemimpin di wilayah bawahannya, seperti yang dilakukan di wilayah Tuban

dan Surabaya, sehingga wilayah tersebut tidak memiliki kewenangan

apapun terhadap pemerintahannya seperti sebelumnya (maksudnya ketika

Tuban masih diduduki oleh kerajaan Majapahit dan Demak). Oleh karena

29

(23)

14

itu, pada abad 17, wilayah seperti Tuban, Surabaya, Lasem, dan Pasuruan

membentuk sebuah persekongkolan untuk melawan Mataram. Namun

kenyataannya Mataram mengetahui niat tersebut, dan sebelum mereka

(Tuban dan wilayah lain yang disebutkan sebelumnya) bertindak lebih jauh,

Sultan Agung melakukan penyerangan terlebih dahulu. Di Tuban, meskipun

persiapan benteng yang dilakukan Tuban sudah matang, di tambah dengan

adanya meriam yang mereka dapat dari Portugis, nyatanya tidak sanggup

menahan serangan Mataram yang sangat kuat sehingga berakhir dengan

takluknya Tuban atas Mataram. Hal ini kemungkinan disebabkan juga

dengan kenyataan bahwa kekuatan pasukan darat Mataram lebih kuat dari

Tuban (kekuatan Tuban hanya terpaku pada sistim maritimnya).

Sedangkan teori Hegemoni menjelaskan bagaimana ide-ide atau

ideologi menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan pada

kelompok penguasa, legitimasi untuk berkuasa.30 Penggunaan teori ini didasarkan pada ambisi Sultan Agung yang memang sejak pengangkatannya

menjadi penguasa di Mataram memiliki tujuan ekspansi atas

wilayah-wilayah lain di sekitar Mataram. Ambisi ini memang sejak awal dimiliki

Sultan Agung diilhami oleh Panembahan Senopati (Ayah Sultan

Agung/Raden Mas Rangsang) yang dahulunya juga memiliki misi yang

sama. Kedudukan Sultan Agung sebagai penguasa kerajaan besar ketika itu

memungkinkannya untuk memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan

misi ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Ambisi untuk menguasai

30 Saptono, “Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer”, dalam

(24)

15

daerah tersebut menjadi semakin kuat ketika Sultan Agung mengetahui

bahwa wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya berkeinginan untuk

mengadakan koalisi untuk memberontak terhadapnya. Oleh karena itu,

Sultan Agung kemudian melakukan invasi kepada wilayah-wilayah Bang Wetan untuk melancarkan misi invasi tersebut dengan tujuan menundukkan wilayah-wilayah tersebut di bawah kekuasaan Sultan Agung Mataram.

G. Metode Penelitian

Untuk memudahkan penulisan sejarah (historiografi) sebagai hasil

dari penelitian ini, maka penulis menggunakan metode penelitian sejarah

yang terbagi dalam empat tahap31, yaitu:

1. Heuristik (Mencari dan Menemukan Sumber Data)

Heuristik (mencari dan menemukan sumber data) merupakan suatu proses yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan

sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah yang diperlukan.32 Sumber sejarah merupakan segala sesuatu yang berlangsung atau tidak

langsung menceritakan tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia

pada masa lampau.33 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka memperoleh sumber data.

Heuristik merupakan pengetahuan yang bertugas menyelidiki

31

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), 38.

32

A. M. Sadirman, Memahami Sejarah (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2004), 102.

33

(25)

16

sumber sejarah.34 Penelitian ini menggunakan sumber yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu:

a. Sumber Primer

Penulisan skripsi ini merupakan studi pustaka dengan

menggunakan beberapa sumber primer, diantaranya:

1) Serat Babad Thuban (sebagai acuan pembahasan mengenai kondisi Tuban pada masa invasi Mataram) karangan Than

Khoen Swie

2) Babad Sultan Agung (sebagai acuan pembahasan mengenai

pribadi Sultan Agung) yang diterbitkan oleh Balai

Penelitian Bahasa Yogyakarta, dan

3) Suma Oriental (sebagai acuan pembahasan mengenai

kondisi Tuban sebelum abad 17) karangan Tom Pires.

b. Sumber Sekunder

Selain menggunakan sumber primer, penulis juga

menggunakan sumber-sumber sekunder diantaranya sebagai

berikut:

1) Puncak Kekuasaan Mataram karangan H. J. De Graaf 2) Kerajaan Islam Pertama di Jawa karangan H. J. De Graaf 3) Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia karangan Dr. Ahwan

Mukarrom

34

(26)

17

4) Sejarah Islam Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia

karangan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho

Notosusanto

5) Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara antara 1500 dan sekitar 1630 karangan M. A. P. Meilink Roelofsz

6) Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban karangan R. Soeparmo 7) Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera yang merupakan

hasil penelitian Edi Sedyawati dkk.

8) Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten Tuban

9) Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II: Kehidupan Ekonomi Masa Lampau Berdasarkan Data Arkeologi yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

2. Verifikasi (Kritik Sumber)

Verifikasi (kritik sumber) merupakan suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan

apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber

tersebut autentik atau tidak. Kritik sumber itu ada dua, yakni kritik intern dan kritik ekstern.35 Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut

35

(27)

18

kredibel atau tidak. Sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan

sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik

ataukah tidak.

3. Interpretasi (Penafsiran)

Interpretasi (penafsiran) merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk menafsirkan data-data yang diperoleh dari

sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan. Pada tahap ini, penulis

berusaha membandingkan antara data-data yang diperoleh sehingga

akhirnya ditemukan sebuah titik temu yang bisa menafsirkan makna

dari fakta yang diperoleh untuk menemukan jawaban dari

permasalahan yang ada. Langkah awal pada tahap ini diawali dengan

menyusun dan mendaftar semua sumber yang didapat. Selanjutnya

penulis menganalisa sumber-sumber tersebut untuk mencari

fakta-fakta yang dibutuhkan sesuai judul penelitian.

4. Historiografi (Penulisan Sejarah)

Historiografi (penulisan sejarah) merupakan cara untuk merekonstruksi suatu gambaran masa lampau berdasarkan data yang

diperoleh.36 Setelah didapatkan fakta-fakta yang diperlukan, proses terakhir adalah menuliskan hasil dari penafsiran data-data sejarah

tersebut ke dalam bentuk tulisan deskriptif dengan menggunakan

susunan bahasa dan format penulisan yang baik dan benar.

36

(28)

19

H. Sistematika Pembahasan

Secara garis besar, sistematika pembahasan ini disusun dalam

rangka mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini. Pemaparan bab

demi bab bukan merupakan ringkasan dari keseluruhan bab yang ada dalam

tulisan hasil penelitian ini, melainkan suatu deskripsi mengenai hubungan

pasal demi pasal atau bab demi bab dalam pembahasan ini.

Adapun sistematika penulisan hasil penelitian ini secara umum

terdiri dari pendahuluan, isi, dan penutup. Di bawah ini akan dipaparkan

secara lebih jelas uraian pembahasannya:

Bab I merupakan pendahuluan berisi tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan

sistematika pembahasan. Melalui bab ini diharapkan dapat memberikan

gambaran umum tentang seluruh rangkaian penulisan penelitian sebagai

dasar atau pijakan untuk pembahasan pada bab selanjutnya.

Bab II menjelaskan tentangkondisi politik Tuban sebelum abad

ke-17 Masehi, yaitu ketika Tuban berada dalam penguasaan kerajaan-kerajaan

besar Nusantara, hingga peran Tuban sebagai jalur perdagangan antar

negara

Bab III menjelaskan tentang politik invasi Sultan Agung Mataram

(29)

20

Bab IV menjelaskan tentang dampak peristiwa invasi Sultan Agung

Mataram, diantaranya berupa dampak sosial-politik, sosial-budaya, dan

sosial-ekonomi

Bab V akan diuraikan kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi ini

dari bab satu sampai bab empat, di samping kesimpulan, dalam bab ini juga

(30)

BAB II

KONDISI POLITIK TUBAN SEBELUM ABAD KE-17 M

A. Letak Geografis Tuban

Kadipaten Tuban merupakan salah satu kota tua di Jawa yang

berada pada jalur pantai utara. Luas wilayah kadipaten Tuban ±

183.994.561 Ha, dilengkapi dengan wilayah laut seluas ± 22.068 km2. Posisi Tuban berada pada titik koordinat 111º 30' - 112º 35' BT dan 6º 40' -

7º 18' LS. Panjang wilayah pantainya 65 km. Secara administratif,

kadipaten Tuban termasuk dalam wilayah propinsi Jawa Timur. Secara

geografis, posisi kadipaten Tuban dapat dijelaskan melalui keterangan

berikut ini:

Sebelah utara berbatasan dengan : Laut Jawa

Sebelah timur berbatasan dengan : Lamongan

Sebelah selatan berbatasan dengan : Bojonegoro

Sebelah barat berbatasan dengan : Rembang (Propinsi Jawa Tengah)1

Sejak awal, Tuban memang dikenal sebagai daerah pelabuhan

untuk perniagaan, yang merupakan jalur perhubungan antar negara bahkan

sejak masa Raja Airlangga (1019-1041), raja pertama kerajaan Kahuripan.

1

(31)

22

Pada masa itu, Tuban lebih dikenal dengan sebutan Kambangputih.2 Dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan pada masa Airlangga

(kemungkinan yang dimaksud adalah prasasti Kambang Putih)

menyebutkan bahwa kerajaan Kahuripan memiliki pelabuhan niaga, yaitu

Hujung Galuh dan Kambangputih. Pelabuhan Hujung Galuh diperkirakan

terletak di dekat Mojokerto, yang merupakan tempat bagi barang-barang

niaga dari pulau-pulau lain di Nusantara diperdagangkan. Sebelum

kapal-kapal kembali ke pulau masing-masing, ke dalam kapal-kapal mereka dimuatkan

hasil-hasil bumi setempat. Di sisi lain, pelabuhan Kambangputih

digunakan untuk perdagangan antar negara.3

Posisi Tuban yang termasuk dalam jalur perdagangan yang

menghubungkan ujung barat Eropa dengan ujung timur Asia, menjadikan

Tuban dikategorikan sebagai Jalur Sutera. Dalam buku Tuban: Pelabuhan di Jalan Sutera dijelaskan bahwa jalan sutera atau jalur sutera yang dimaksud merujuk pada konseptualisasi dari gejala adanya perdagangan

antar wilayah di dunia ini dengan melampaui jarak-jarak geografis yang

amat jauh, seperti antara Eropa dan Cina, demi antara lain perdagangan

sutera dari Cina ke Eropa.4 Sebenarnya perdagangan antara kawasan dunia

“barat” dan “timur” sudah terjadi sejak lama. Sutera dan rempah-rempah

merupakan daya tarik utama bagi orang Eropa yang dimiliki dunia Timur.

2

R. Soeparmo, Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 1983), 19.

3

Edi Sedyawati et al., Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 7.

4

(32)

23

Berbagai cara mereka tempuh untuk menghubungkan kedua bagian dunia

tersebut, diantaranya menggunakan jalur darat dan jalur laut. Jalan darat

melintasi Asia biasanya ditempuh dengan kuda atau unta, sedangkan jika

melewati jalur laut melalui Laut Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina

Selatan ditempuh dengan menggunakan kapal. Mengenai konsep jalur

sutera, istilah tersebut bukan berarti hanya merujuk pada kedua ujung

perjalanan perdagangan yang bersangkutan, melainkan negeri-negeri yang

dilewati sepanjang perjalanan dagang tersebut terlibat secara aktif dalam

proses perdagangan. Dalam jalur perdagangan melalui laut ini, Tuban

memainkan peranannya.5 Berita dari Tionghwa yang diuraikan Ma Huan, pengikut Laksmana Cheng Ho dalam ekspedisi ketiganya di Jawa pada

tahun 1413-1415, dalam buku Ying Yai Sheng Lan menyebutkan bahwa jika orang pergi ke Jawa (untuk berdagang atau sekedar berkunjung),

kapal-kapal lebih dahulu sampai di Tuban.6

Jika dianalisis lebih lanjut, peran Tuban sebagai jalur perniagaan

sejak abad 11 M memungkinkan ia menjadi pusat pertahanan militer untuk

menghadapi serangan-serangan dari luar.7 Keadaan ini menjadi sangat mungkin karena menurut catatan Pires pada abad 16, wilayah Tuban

dikelilingi oleh tembok bata yang kokoh dengan ketebalan ± 2 jengkal

sedangkan tingginya 15 kaki. Di bagian luar tembok tersebut terdapat

danau berisi air, sedangkan didaratannya terdapat tanaman lokal besar

5

Ibid., 2.

6

Kutipan buku Ying Yai Sheng Lan. Soeparmo, Catatan Sejarah, 21.

7

(33)

24

berduri, yang Pires biasa menyebutnya dengan carapeteiros karena tumbuhan tersebut memiliki kemiripan dengan sebuah pohon kecil berduri

di Portugal, merayap di tembok besarnya. Tembok tersebut juga

dilengkapi dengan lubang-lubang besar maupun kecil, sedangkan bagian

dalamnya terdapat mimbar kayu tinggi di sepanjang tembok.8 Peranan ini semakin nampak pada masa kerajaan Majapahit hingga masa-masa

sesudahnya.

B. Tuban Dibawah Kekuasaan Kerajaan-kerajaan Besar Nusantara

Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa sejak

awal pemerintahannya, kadipaten Tuban merupakan sebuah wilayah yang

selalu memposisikan dirinya sebagai wilayah bawahan kerajaan-kerajaan

besar Nusantara. Kerajaan-kerajaan yang membawahinya dimulai dari

kerajaan Kahuripan, kemudian kerajaan Kediri (Daha), Kerajaan Singasari,

kerajaan Majapahit, kerajaan Demak, kerajaan Pajang, hingga kerajaan

Mataram Islam. Keadaan ini dikarenakan memang sejak awal

pemerintahannya, kadipaten Tuban merupakan cakupan wilayah

Majapahit. Ketika Majapahit berhasil didirikan menjadi kerajaan oleh

Raden Wijaya, wilayah Tuban ini dihadiahkan kepada Ranggalawe untuk

dikuasai dengan tetap menjadi salah satu punggawa kerajaan Majapahit.9 Penjelasan lebih detail adalah sebagai berikut.

8

Tom Pires, Suma Oriental (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 247.

9

(34)

25

1. Majapahit

Kadipaten Tuban sejak masa Airlangga memang dikenal

sebagai pelabuhan penting antar negara selain pelabuhan Hujung

Galuh yang dijadikan sebagai pelabuhan utama perniagaan antar

pulau.10 Keadaan ini berlanjut bahkan hingga kerajaan Majapahit berdiri.

Peranan Tuban sebagai wilayah yang pelabuhan, memang

sangat berpengaruh pada masa itu. Pelabuhan Tuban merupakan

tempat yang pertama kali disinggahi oleh pasukan Tartar utusan

Kaisar Kubilai dari Cina pada tahun 1292, ketika ia menyanggupi

permintaan dari Wiraraja untuk membantunya dalam usahanya

memerangi Daha dengan imbalan dua orang puteri bangsawan dari

Tumapel.11 Namun pada dasarnya, tentara Cina utusan Kaisar Kubilai tersebut memang akan menyerbu Jawa. Mereka akan menghukum raja

Kertanegara dari Singasari, yang pernah menghina utusan Kaisar Cina

bernama Meng Ki ketika ia memaksa raja Kertanegara beserta

Singasari tunduk kepadanya. Peristiwa inilah yang akhirnya

membantu Majapahit berdiri sebagai kerajaan yang berkuasa setelah

penaklukan raja Jayakatwang yang memerintah sebelumnya.12

10

Soeparmo, Catatan Sejarah, 19

11

Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Pararaton (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), 20.

12

(35)

26

Peran Tuban yang lain sebagai kawasan pelabuhan penting di

Jawa diuraikan Ma Huan, muslim Tionghoa yang mengiringi

Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya yang ketiga tahun 1413

hingga 1415 ke daerah-daerah lautan selatan. Ma Huan menguraikan

di dalam bukunya, Ying Yai Sheng Lan, tentang keadaan kota Majapahit beserta rakyatnya. Ia menyebutkan bahwa ketika ada orang

pergi berkunjung ke Jawa, kapal-kapal mereka akan terlebih dahulu

berlabuh di Tuban.13

Dalam buku Tuban: Kota pelabuhan di Jalan Sutera

disebutkan bahwa pada masa Majapahit, pelabuhan Tuban sebagai

pusat perdagangan berkembang peranannya menjadi entreport, yakni sebagai pusat kegiatan ekspor-impor barang-barang dari berbagai

negeri, setelah sebelumnya sudah berperan aktif menjadi pusat

pertemuan pedagang dari berbagai negeri. Selain itu, Tuban juga

menjadi salah satu dari empat kota penting Majapahit selain Gresik,

Surabaya, dan Majapahit sebagai ibukota kerajaan. Pada abad ke-16

posisi Tuban masih lebih unggul dari Gresik. Bahkan hingga masa

akhir kerajaan Majapahit, Tuban masih merupakan pelabuhan utama.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila oleh elit Majapahit di

pedalaman, Tuban dianggap sebagai penyokong kesejahteraan, baik

secara ekonomi maupun sosial. Salah satu bukti menyebutkan, bahwa

di sekitar daerah Tuban dan di dasar pantai pelabuhan Tuban banyak

13

(36)

27

ditemukan keramik dari masa Majapahit yang berasal dari Cina.

Penemuan yang sezaman juga ditemukan di situs yang diduga

merupakan bekas ibukota Majapahit.14 Peran penting lain yang dimiliki Tuban sebagai kota penting Majapahit adalah bahwa ketika

perang, Tuban dapat mengirim enam sampai tujuh ribu tentara untuk

memenuhi kebutuhan Majapahit.15

Raffles dalam bukunya The History of Java menyebutkan bahwa antara tahun 1520 atau 1521 pada masa kerajaan Majapahit,

Antonio de Britto dengan enam kapal berlayar ke Maluku dengan

terlebih dahulu berlabuh di Tuban.16 Keterangan ini didukung juga dengan sebuah berita bahwa Tuban mengadakan hubungan dagang

secara intensif dengan daerah-daerah di Maluku. Sehingga penguasa

Tuban pada abad ke-16 yang kebetulan lancar berbahasa Portugis,

pernah menawarkan kepada bangsa Portugis ketika berlabuh di Tuban

saat itu. Ketika orang Portugis tersebut sedang mencari pemandu

setempat untuk mengantarkan mereka ke Maluku, penguasa Tuban

ketika itu memberi penawaran supaya tidak perlu ke Maluku untuk

berburu rempah-rempah dan diminta untuk menunggu di Tuban saja.

Sebab menurut kabar, tiga bulan setelahnya, akan datang lebih dari 40

jung dari Maluku dengan membawa cengkih, pala, dan bunga pala.17

14

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 38-39.

15

Ibid., 42.

16

Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Terj. Eko Prasetyaningrum et.al (Yogyakarta: Narasi, 2014), xvii.

17

(37)

28

2. Demak

Kerajaan Majapahit berkurang eksistensinya ditandai dengan

terbunuhnya Prabu Brawijaya Kertabhumi oleh penguasa setelahnya,

Wangsa Girindrawardhana, pada tahun 1478 M atau 1400 tahun

Saka.18 Kemudian kedudukannya digantikan oleh Demak yang resmi mendedikasikan dirinya sebagai sebuah kerajaan merdeka setelah

menginvasi Majapahit pada 1527 M.19 Namun diketahui Tuban telah menjadi bagian dari wilayah Demak sejak tahun 1478, bahkan ketika

Demak belum mendeklarasikan dirinya sebagai kerajaan merdeka.20

Pada tahun 1527 M, tahun yang sama ketika Demak berhasil

menyerang Majapahit, ia sekaligus menaklukkan Tuban yang masih

setia kepada Majapahit, meskipun penguasa Tuban ketika itu sudah

memeluk agama Islam.21 Ketika itu memang diketahui bahwa wilayah Tuban, Grsik, Surabaya, Madura, dan beberapa kota di pantai utara

Jawa termasuk wilayah kerajaan Kediri22. Dengan begitu, jelas sekali bahwa setelah Kediri berhasil ditaklukkan oleh Demak, Tuban beserta

jajaran wilayah kota di pantai utara Jawa menjadi bagian dari kerajaan

18

Ahwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Penerbit Jauhar, 2010), 31.

19

Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LkiS, 2009), 192.

20

Soeparmo, Catatan Sejarah, 28.

21

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2011), 56.

22

(38)

29

Demak.23 Di samping itu, salah satu alasan Demak ingin menguasai Tuban adalah karena ketidaksukaan Demak terhadap penguasa Tuban

yang saat itu menjalin hubungan baik dengan Portugis, musuh Demak.

Hubungan ini begitu penting bagi Portugis, sebab hal ini

mempermudah akses Portugis memasuki Kediri, karena memang

melalui pelabuhan Tuban akses ke Kediri menjadi semakin cepat.

Keadaan ini membuat Demak merasa tidak nyaman karena ia

khawatir, aliansi Portugis dengan Tuban mematikan aksesnya

memasuki Kediri.

Dalam buku Suma Oriental disebutkan bahwa Tuban merupakan akses terdekat ke Kediri lewat pelabuhannya. Guste Pate

yang disebut oleh Pires bertempat di Kediri saat itu, beraliansi dengan

Tuban yang membuat kesepakatan bahwa Guste Pate tersebut akan

memberikan bantuan sebanyak 10 atau 20 prajurit pada saat musuh

datang menyerang Tuban.24

Peranan Tuban ketika kerajaan Demak berkuasa sebenarnya

hampir tidak berubah sejak pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu

menjadi daerah pertahanan dan daerah industri. Buku Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera menyebutkan bahwa Tuban merupakan salah satu pusat industri kapal untuk kebutuhan militer yang terkenal

di Asia Tenggara pada abad ke-16. Keahlian dalam membuat kapal ini

23

Ibid., 316.

24

(39)

30

sebenarnya telah lama dikuasai oleh orang-orang Jawa. Orang-orang

Belanda yang pertama-tama datang ke Indonesia mengabarkan bahwa

Lasem, Tuban, Jepara, dan yang dekat dengan hutan jati Rembang

merupakan pusat industri galangan kapal terkenal tersebut. Keadaan

tersebut secara tidak langsung menjadi faktor penting bagi kemajuan

Demak. Hal ini dikarenakan, pada saat itu, ketiga wilayah tersebut

menjadi wilayah kekuasaan Demak.25

Industri kapal yang salah satunya berada di Tuban tersebut

sangat membantu dalam mengelola dan memajukan perekonomian

kerajaan Demak. Kerajaan Demak akhirnya memiliki kapal-kapal

pengangkut yang mengangkut hasil pertanian daerah pedalamannya

(terutama beras) untuk dijual di wilayah lain di Nusantara. Selain itu,

industri kapal ini juga sangat memungkinkan Demak mengerahkan

sejumlah kapal untuk ekspedisi laut dengan tujuan menjalin hubungan

persahabatan dengan negara lain, maupun untuk tujuan perang.

Kapal-kapal tersebut juga menjadi bahan ekspor yang penting bagi kemajuan

perekonomian Demak. Sumber berita dari Belanda menyebutkan

bahwa dalam waktu singkat, penguasa Tuban mampu mengerahkan

sekurang-kurangnya 32.000 sampai 33.000 prajurit infanteri dan 500

prajurit berkuda. Keadaan Tuban seperti itu mengindikasikan bahwa

25

(40)

31

Tuban merupakan pusat kekuatan militer yang potensial bagi kerajaan

yang menaunginya.26

3. Pajang menuju Mataram Islam

Kekuasaan Demak runtuh pada tahun 1568, karena perebutan

kekuasaan antar kerabat kerajaan. Setelah itu, kekuasaan Demak

beralih pada kerajaan Pajang yang muncul eksistensinya setelah

peristiwa penaklukan Arya Penangsang oleh Jaka Tingkir (Sultan

Hadiwijaya), dengan bantuan Ki Ageng Pemanahan.27 Jaka Tingkir merupakan menantu Sultan Demak, Sultan Trenggana. Pada masa

Sultan Hadiwijaya, Tuban yang awalnya menjadi bawahan kerajaan

Demak, menyatukan diri dengan Pajang. Hal ini dikarenakan

Pangeran Aria Pamalad, penguasa Tuban, menjadi menantu Sultan

Pajang.28

Peranan Tuban sebagai daerah bawahan Pajang, tidak terlalu

disebutkan secara rinci. Namun perlu diketahui bahwa Tuban ikut

berperan dalam pertempuran melawan Mataram muda yang dipimpin

oleh Panembahan Senopati yang berkhianat pada kerajaan Pajang

pada 1587 – diketahui bahwa Sultan Hadiwijaya adalah ayah angkat

26

Ibid., 44.

27

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), 55.

28

(41)

32

dari Senopati.29 Usaha adipati Tuban dalam memberikan dukungan moral kepada Sultan Pajang berakhir sia-sia. Peristiwa ini berakhir

dengan kekalahan Sultan Pajang di tangan anak angkatnya sendiri

pada tahun yang sama.

Setelah Sultan Pajang meninggal, bersama adipati Demak,

Arya Pangiri, yang sama-sama menjadi menantu Sultan Pajang,

adipati Tuban ikut berperan dalam mempertahankan hak atas tahta

bagi putera Sultan yang masih muda, Pangeran Benowo, dari

pengaruh Panembahan Senopati yang ketika itu menjadi penguasa

Mataram.30 Sunan Kudus – melalui permintaan dari adipati Tuban – berusaha menengahi perselisihan tersebut. Akhirnya Sunan Kudus

memberikan keputusan bahwa kerajaan Pajang untuk sementara di

ambil alih oleh adipati Demak, sedangkan Pangeran Benowo yang

masih muda akan berkedudukan di kerajaan Jipang yang sudah tua.31 Keputusan itu menimbulkan rasa kecewa dalam diri Pangeran

Benowo, meskipun pada dasarnya, adipati Tuban yang awalnya

meminta saran pada Sunan Kudus tersebut hanya berniat untuk

melindungi Pangeran Benowo. Ikatan kuat yang terjalin antara Tuban

dengan keluarga raja Demak, Jipang, dan Pajang, berusaha untuk

29

De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (Jakarta: PT Pustaka Grafiti Press, 1987), 83

30

Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali, 43.

31

(42)

33

menentang perluasan pengaruh raja Mataram yang tidak mempunyai

hubungan dengan mereka.32

Setelah Pangeran Aria Pamalad wafat, kekuasaan Tuban

diambil alih oleh puteranya, Pangeran Dalem. Serat Babad Thuban

menyebutkan, ketika kepemimpinan Tuban berada di tangan Pangeran

Dalem, pusat kekuasaan Tuban dipindahkan ke kampung Dagan yang

terletak di sebelah selatan Watu Tiban (kota Tuban sekarang). Pada tahun selanjutnya, Pangeran Dalem membangun masjid besar dan

bangunan pertahanan yang terletak di Gua Ghabar (Gua Akbar

sekarang) membujur dari timur ke barat. Pembangunan benteng

pertahanan ini oleh adipati Pangeran Dalem diserahkan oleh Kiai

Muhammad Asngari dari Majagung. Diceritakan dalam Babad Thuban bahwa benteng tersebut dibangun dengan sedemikian megah oleh Kiai Asngari, dan diberi nama oleh adipati Tuban, benteng

Kumbakarna.33

Bangunan pertahanan tersebut ternyata memiliki pengaruh

besar di kadipaten Tuban. De Graaf menuturkan dalam bukunya

bahwa pertahanan Tuban melalui benteng ini bahkan mampu

mematahkan serangan satuan-satuan tentara Mataram yang dikirim

oleh Panembahan Senopati pada tahun 1598 dan 1599.34 Namun Serat

32

De Graaf, Kerajaan Islam Pertama: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2001), 152.

33

Swie, Serat Babad, 9.

34

(43)

34

Babad Thuban menyebutkan hal lain, bahwa benteng Kumbakarna ini dibangun ketika Mataram sudah berada dalam kekuasaan Sultan

Agung.35

Antara dua kali serangan Mataram ke Tuban, pada bulan

Januari 1599, Tuban disinggahi oleh kapal-kapal Belanda di bawah

komando Laksamana Muda Van Warwijk.36 Anthony Reid menyebut dalam bukunya berdasarkan sebuah keterangan dalam sketsa yang

dibuat pada Januari 1599, bahwa setibanya di Tuban, Van Warwijk

bersama pengikutnya menyaksikan pertandingan tombak di atas kuda

yang diadakan di Tuban. Acara pertarungan tersebut biasanya

diadakan pada hari Sabtu atau Senin sehingga disebut dengan

Senenan, dan diadakan di sebelah utara istana kerajaan.37

Setelah Senopati meninggal pada 1601, usaha Mataram dalam

menaklukan Tuban, akhirnya diteruskan oleh penerusnya,

Panembahan Hanyakrawati, atau yang lebih dikenal dengan

Panembahan Seda ing Krapyak.38 Pada dasarnya, penyerangan Hanyakrawati atas Tuban ditujukan untuk melemahkan posisi

Surabaya. Sebuah dokumen VOC pada waktu itu telah

menggambarkan Surabaya sebagai negara yang kuat dan kaya, yang

35

Swie, Serat Babad, 9

36

Graaf, Kerajaan Islam, 152.

37

Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 216.

38

(44)

35

telah berhasil meluaskan ekonomi perniagaannya, meliputi wilayah

Pulau Bawean, Sukadana (Kalimantan Barat), Banjarmasin, Gresik,

Lamongan, Tuban, dan Demak. Perluasan ekonomi yang dilakukan

oleh Surabaya sangat merugikan kerajaan Mataram, sebab secara tidak

langsung kejadian tersebut telah menutup jalur perdagangan Mataram

di daerah pesisir. Tidak mengherankan jika ketika itu, Panembahan

Hanyakrawati mengalami kesulitan dalam menaklukan Surabaya.

Oleh karena itu, ia menyusun strategi untuk terlebih dahulu

menundukan wilayah jalur perdagangan Surabaya, yang salah satunya

merupakan kadipaten Tuban tersebut.39 Kadipaten Tuban akhirnya berhasil ditaklukan oleh Mataram pada 1613 setelah Panembahan

Hanyakrawati melancarkan serangannya ke Gresik, yang sejak

permulaan abad ke-17 pelabuhannya berkembang menjadi lebih kuat

daripada pelabuhan Tuban. Hal ini menjadikan kadipaten Surabaya

mengalami penurunan ekonomi secara drastis.40

C. Tuban sebagai Jalur Perdagangan antar Negara

Sejak masa pemerintahan Airlangga, raja Medang Kamulan pada

abad ke-11, Tuban dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan utama pesisir

utara Jawa yang dikenal dengan nama Kambang Putih.41 Pada masa ini, pelabuhan Tuban dijadikan sebagai pelabuhan antar negara. Dalam

prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga menyebutkan

39

Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram (Yogyakarta: Saufa, 2015), 51.

40

Ibid., 52.

41

(45)

36

bahwa pedagang-pedagang asing yang berasal dari India Utara, India

Selatan, Sailan, Burina, Kamboja, dan Campa berlabuh di pelabuhan

Tuban untuk melakukan perniagaan.

Peran aktif pelabuhan Tuban sebagai jalur perdagangan antar

negara bahkan masih dirasakan ketika kerajaan Majapahit menampakkan

eksistensinya di Jawa sejak akhir abad ke-13. Ia merupakan pelabuhan

yang disebut Tom Pires sebagai pelabuhan yang dikuasai oleh Raja Jawa,

selain pelabuhan di wilayah Blambangan dan Pasuruan.42 Pelabuhan Tuban dikenal sebagai salah satu bandar kuna yang telah memainkan

peranannya sejak lama dengan memposisikan dirinya sebagai jalur

perdagangan laut dunia bagi kapal-kapal dagang yang melintasi laut

Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan.43 Meilink Roelofsz menyebutkan dalam bukunya, bahwa Tuban merupakan salah satu kota

dagang tertua di Jawa yang catatan perdagangan luar negerinya dimulai

sejak abad ke-11. Kemakmuran dagang yang dialami oleh kota ini

merupakan dampak dari kebijakan Majapahit mengenai ekspansi luar

negeri yang menjadikan Tuban sebagai pelabuhan keberangkatan bagi

semua pelayaran ke Kepulauan Maluku. Tidak mengherankan jika banyak

tempat di kepulauan Maluku yang mengadopsi nama Tuban.44 Catatan Pires dalam Suma Oriental-nya menerangkan bahwa Tuban merupakan negeri yang rindang dan menghasilkan beras dalam jumlah yang besar dari

42

Pires, Suma Oriental, 235.

43

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 2.

44

(46)

37

pedalaman. Ia menghasilkan berbagai jenis kayu, anggur, ikan, dan air

berkualitas. Negeri Tuban menurut catatan Pires juga menghasilkan

banyak asam dan cabe jawa. Ia juga memiliki daging sapi, daging babi,

daging kambing muda dan tua, daging rusa, ayam dan buah-buahan yang

tak terhitung lagi.45 Namun dalam hal ini, Pires tidak memberi keterangan bahwa sumber daya alam yang sedemikian melimpah ini, dimanfaatkan

oleh Tuban sebagai hasil ekspor yang mampu menghasilkan pemasukan

bagi Tuban.

Tuban merupakan jalur perhubungan bagi upeti-upeti dari negeri

bawahan untuk mencapai kerajaan Majapahit. Penyebabnya karena pada

waktu itu pelabuhan Tuban dijadikan pelabuhan transit utama Majapahit,

baik untuk menyalurkan upeti kerajaan atau bagi negara-negara lain yang

akan berkunjung ke negara Majapahit atau ke Maluku dengan tujuan

berdagang. Keadaan ini tentunya mempengaruhi perkembangan ekonomi

dan menambah kemakmuran Tuban dan penguasanya. Oleh sebab itu,

hubungan yang terjalin antara Tuban dengan kerajaan-kerajaan Hindu

tetap terpelihara dengan baik, bahkan setelah para penguasa bumiputera

Tuban memeluk Islam (kemungkinan terjadi antara sebelum atau

pertengahan abad ke-15, dan kemungkinan akibat dari pengaruh Arab).

Fenomena tersebut sangat mungkin terjadi, sebab Islam yang dianut oleh

penguasa Tuban sifatnya tidak ortodoks.46 Pires bahkan menuturkan bahwa Pate Vira yang ketika itu ditemuinya di Tuban merupakan seorang

45

Pires, Suma Oriental, 248.

46

(47)

38

penguasa Tuban yang telah memeluk Islam, kakeknya (maksud dari Pires

kemungkinan besar adalah adipati Arya Dikara) adalah seorang pagan

yang kemudian memeluk agama Muhammad. Namun Pires menambahkan

bahwa Pate Vira meskipun telah memeluk agama Muhammad, tidak

tampak baginya seperti penganut yang benar-benar yakin terhadap agama

Muhammad.47

Meilink Roelofsz memaparkan dalam bukunya bahwa meskipun

Tuban dikenal sebagai kota pelabuhan penting, Tuban tidak digambarkan

sebagai kota dagang (dalam arti yang sebenarnya) baik dalam catatan Pires

yang ditulis pada awal abad ke-16 atau dalam catatan-catatan para

navigator Belanda yang ditulis hampir seabad kemudian. Tuban bahkan

dikatakan tidak memiliki pelabuhan yang layak untuk digunakan sebagai

tempat berlabuhnya kapal-kapal bermuatan besar, yang ada hanya sebuah

pangkalan laut terbuka yang jaraknya cukup jauh dari kota. Roelofsz

menambahkan bahwa Pires memang sangat kagum atas semangat

ketentaraan orang-orang Tuban.48 Kekaguman Pires pada pria-pria Tuban memang ditunjukan secara jelas dalam Suma Oriental-nya, ia mengatakan

“pria-pria Tuban adalah para kesatria – lebih berani dibandingkan orang

Jawa lainnya”.49

Namun yang menjadi catatan disini adalah kenyataan

bahwa Pires tidak mengatakan apapun mengenai kegiatan perdagangan

47

Pires, Suma Oriental, 249.

48

Roelofsz, Perdagangan Asia, 157.

49

(48)

39

dan aset-aset pelayaran Tuban.50 Fenomena ini kemudian dijelaskan oleh De Graaf bahwa memang pada abad ke-15 dan 16 kapal-kapal dagang

yang sedikit besar (yang biasanya selalu berlabuh di Tuban) sudah

terpaksa membuang sauh (jangkar) di laut yang cukup jauh dari kota.51 Keterangan De Graaf tersebut menjadi jawaban yang masuk akal

mengingat Tom Pires dan rombongan Portugis memasuki Tuban pada

abad ke-16. Sehingga Pires hanya mengetahui bahwa keadaan Tuban

sudah tidak produktif lagi sebagai pelabuhan.

Di sisi lain, dalam buku Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera

menjelaskan bahwa Tuban. yang dikenal pada masa Airlangga dengan

sebutan Kambang Putih itu, sejak awal memang sudah berperan sebagai

pusat dagang yang penting sekaligus merupakan pelabuhan internasional.

Pusat perdagangan yang dimaksud disini bukan tentang Tuban yang

memiliki hasil komoditas ekspor, melainkan ia hanya sebagai collecting center, yang menampung berbagai jenis komoditi dari sejumlah pemasok barang dari wilayah pedalaman. Kemudian ketika Majapahit berkuasa, dan

Tuban dijadikan salah satu wilayah pentingnya, pelabuhan Tuban

berkembang menjadi entreport yang tidak hanya menjadi pusat pertemuan pedagang dari berbagai negeri, tetapi juga mengimpor dan mengekspor

barang-barang yang berasal dari berbagai negeri.

50

Roelofsz, Perdagangan Asia, 157.

51

(49)

40

Pada masyarakat pra industri, transportasi jarak jauh memerlukan

biaya yang tinggi. Oleh karena itu komoditi perdagangan yang

menjangkau wilayah jauh akan memperdagangkan barang-barang bernilai

tinggi dan tentunya tahan lama, misalnya berbagai jenis batu mulia, kain

sutera, dan barang-barang lain yang hanya dapat diproduksi di

wilayah-wilayah tertentu. Barang-barang tersebut pada umumnya memang

digunakan oleh para elit kerajaan, hal tersebut menjadikan peranan Tuban,

yang ketika itu menjadi bagian dari kerajaan Kediri, adalah sebagai

penyokong golongan elit. Melalui kegiatan perniagaan barang-barang

mewah tersebut, Tuban melayani kaum elit untuk menciptakan dan

menaikkan status sosial bangsawan di pedalaman. Peranan tersebut bahkan

berlanjut hingga masa Majapahit.52

Catatan dari Raffles menyebutkan bahwa antara tahun 1520 atau

1521 pada masa kerajaan Majapahit, Antonio de Britto dengan enam kapal

berlayar ke Maluku dengan terlebih dahulu berlabuh di Tuban.53 Tuban melakukan hubungan dagang dengan daerah-daerah Maluku dibuktikan

dengan berita bahwa ada seorang pedagang Portugis yang menemui

penguasa Tuban pada akhir abad ke-16 dalam usahanya mencari pemandu

untuk mengantarnya ke Maluku. Adipati Tuban yang ketika itu sudah

lancar berbahasa Portugis menyarankan pedagang Portugis tersebut tidak

perlu ke Maluku dan cukup menunggu di Tuban. Karena menurut

52

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 38.

53

(50)

41

informasi, sekitar tiga bulan kemudian akan datang lebih dari 40 jung dari

Maluku dengan membawa serta cengkeh, pala, dan bunga pala.54

Pada abad ke-16, Tuban termasuk salah satu pusat industri kapal

untuk keperluan militer yang terkenal di Asia Tenggara. Kemahiran

membuat kapal pada dasarnya telah lama dikuasai oleh orang-orang Jawa.

Kapal-kapal yang dibuat pada dasarnya terbatas pada kapal-kapal kecil

yang bisa berlayar cepat dan digunakan dalam peperangan. Selain itu,

industri ini juga memproduksi kapal muatan dengan tonnase kecil. Orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia memberitakan bahwa

Lasem, Tuban, Jepara, dan daerah yang dekat dengan hutan jati Rembang

merupakan pusat dari industri galangan kapal tersebut. Keadaan ini

berlangsung pada masa kerajaan Demak, sehingga memberikan

keuntungan yang besar bagi Demak mengingat daerah-daerah yang

termasuk pusat industri galangan kapal tersebut merupakan daerah

bawahannya. Sejak saat itu, Demak memiliki kapal-kapal yang mampu

mengangkut hasil pertanian (tertutama beras) daerah pedalamannya untuk

kemudian menjualnya di wilayah lain di Nusantara.55

54

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 23.

55

(51)

BAB III

POLITIK INVASI SULTAN AGUNG MATARAM (1614-1645)

A. Kondisi Kerajaan Mataram Islam Ketika Sultan Agung Berkuasa

Mataram Islam merupakan kerajaan Islam yang ada di Nusantara

yang berdiri pada abad ke-16 M. Wilayah kerajaan ini awalnya merupakan

sebuah hutan yang penuh dengan tumbuhan tropis di atas puing-puing

istana tua Mataram Hindu, beberapa abad sebelum kerajaan ini berdiri.1 Wilayah ini sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Pajang.

Namun setelah Ki Ageng Pemanahan yang ketika itu menjadi Panglima

perang kerajaan Pajang bersama puteranya, Sutawijaya (Danang

Sutawijaya)2, ikut membantu Sultan Hadiwijaya dalam usahanya menumpas adipati Arya Penangsang dari Jipang Panolan, Sultan Pajang

tersebut menganugerahkan wilayah hutan yang awalnya dikenal sebagai

hutan (alas) Mentaok tersebut.3 Berawal dari inilah kerajaan Mataram (yang awalnya bercorak Hindu) bangkit kembali, namun dengan ruh yang berbeda (menjadi bercorak Islam).

1

Ahwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Penerbit Jauhar, 2010), 39.

2

Dalam Babad Tanah Jawi namanya dikenal sebagai Raden Bagus. Namun pada waktu lain ia juga disebut sebagai Raden Ngabehi Loring Pasar. Ia merupakan putera kedua Ki Ageng Pemanahan yang diangkat anak oleh Sultan Pajang yang ketika itu belum memiliki putera. Sultan Pajang berharap Raden Bagus tersebut bisa dijadikan tuntunan agar ia segera berputera. W. L. Olthof, Babad Tanah Jawi (Yogyakarta: Narasi, 2011), 93.

3

(52)

43

Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya di bawah

kepemimpinan Raden Mas Rangsang atau lebih dikenal sebagai Sultan

Agung Hanyakrakusuma (1613-1646).4 Setelah dinobatkan sebagai penguasa Mataram, putera dari Raden Mas Jolang atau Panembahan

Hanyakrawati5 atau Panembahan Seda ing Krapyak ini, bergelar Sultan Agung Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman.6 Ketika pemerintahan Sultan Agung, ibukota kerajaan Mataram dipindahkan dari Kotagede ke wilayah

Kerto yang jaraknya sekitar 5 km di sebelah selatan Kotagede. Pada masa

ini bidang kenegaraan, pemerintahan, serta kemiliteran Mataram

berkembang pesat. Mataram melatih pasukan angkatan lautnya serta

membuat kolam telaga yang lebar dan luas yang disebut Segarayasa.7

Mengenai kepribadian Sultan Agung, dilukiskan oleh De Graaf

dalam bukunya bahwa kesan orang Eropa ketika pertama kali melihat

Sultan Agung adalah ia “tidak dapat dianggap remeh”. Menurut pengakuan

salah satu dari mereka, Sultan Agung memiliki wajah yang kejam, bahkan

beserta dewan penasihatnya juga memerintah dengan keras sebagaimana

sebuah negara besar. Lebih jauh, Dokter H. De Haen menuturkan bahwa

Pangeran Ingalaga ini merupakan seorang yang kasar dalam bahasa,

namun lamban ketika berbicara, ia berwajah tenang dan bulat, dan tampak

cerdas. Dokter Haen juga mengatakan bahwa Sultan Agung biasa

4

Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam, 43.

5

Olthof, Babad Tanah Jawi, 238.

6

Ibid., 248.

7

(53)

44

memandang sekelilingnya seperti singa.8 Watak pemarah dan kejam namun bijaksana Sultan Agung juga disinggung oleh De Graaf. Dalam

bukunya, ia mengatakan bahwa Sultan Agung pernah memerintahkan

untuk memenggal kuda-kuda empat orang pembesarnya, yang ketika itu

dianggap telah bermain curang ketika mereka memainkan permainan

mirobolani9, dan mengancam

Referensi

Dokumen terkait

(iv) Untuk mengimplementasikan hal tersebut, akan dibentuk kelompok kerja selambat-lambatnya dalam 2 bulan yang akan melakukan analiss data dan informasi

dan bahasa Arab sebagai alat untuk fakultas Syariah, Tarbiyah jurusan PAI, dll. Dari sini, dibuatlah rencana pengembangan dan pengajaran bahasa Arab selanjutnya. Ini

Sumber data informasi yang menjadi acuan dalam perencanaan penghapusan sarana pendidikan di Kantor Kementerian Agama kota Palangka Raya dengan cara inventarisasi

a) Jumlah kredit macet adalah jumlah kredit atau pinjaman yang mengalami masalah dalam pengembalian sesuai dengan jadwal yang telah disepakati yang dialami oleh nasabah Koperasi

Negosiasi antara kedua belah pihak tersebut akhirnya menghasilkan kespakatan Public Private Partnership (P3) atau Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) untuk

Pengecualian dari instrumen ekuitas AFS, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara obyektif dengan sebuah

Penelit ian ini m enggunakan m odel pem belaj aran learning cycle 7E pada kelas eksperim en dan m odel pem belaj aran learning cycle 5E pada kelas kont rol, agar

lalu seperti kitab Sabil Al-Muhtadin dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk memperkaya penilaian visi dan pengembangan politik hukum dewasa ini hingga masa