INVASI SULTAN AGUNG MATARAM TERHADAP KADIPATEN TUBAN TAHUN 1619 M
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)
pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)
Oleh :
Frinda Rachmadya Nurhayati NIM: A92213151
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619”. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini meliputi, (1) bagaimana kondisi politik Tuban sebelum abad 17 Masehi ? (2) bagaimana politik invasi Sultan Agung Mataram (1614-1645) ? (3) apa saja dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa invasi Sultan Agung ke Tuban tahun 1619 ?
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian sejarah, yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan politikologis dan pendekatan ekonomi. Teori yang digunakan adalah teori Challenge and Response oleh Arnold Joseph Toynbe (1889-1975) dan teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci (1891-1937). Teori Challenge and Response menggambarkan tentang hubungan sebab akibat yang dimunculkan oleh suatu kejadian. Sedangkan teori Hegemoni menjelaskan bagaimana ide-ide atau ideologi menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan pada kelompok penguasa, legitimasi untuk berkuasa.
Abstract
This thesis entitled “Invation of Sultan Agung Mataram toward Tuban
City on 1619”. The problem of this thesis consist of, (1) how the politic condition
at Tuban before 17th century ? (2) how the politic invation of Sultan Agung Mataram (1614-1645) ? (3) what are the effects of invation Sultan Agung toward Tuban on 1619 ?
The method of this thesis is observation of history method that consist of, heuristic, verification, interpretation, and historiography. The approach of this thesis is politicologic and economic approach. The theories are challenge and response theory by Arnold Joseph Toynbe (1889-1975), and hegemony theory by Antonio Gramsci (1891-1937). Challenge and response theory describes about reason-consequence relation that caused by an incident. Meanwhile, hegemony theory explain how the ideas and ideology become a domination instrument which give to government, legitimation to power.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... ix
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Kegunaan Penelitian ... 9
E. Penelitian Terdahulu ... 10
F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 11
G. Metode Penelitian ... 15
H. Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II KONDISI POLITIK TUBAN SEBELUM ABAD KE-17 M A. Letak Geografis Tuban ... 21
1. Majapahit ... 25
2. Demak ... 28
3. Pajang menuju Mataram Islam ... 31
C. Tuban sebagai Jalur Perdagangan antar Negara ... 35
BAB III POLITIK INVASI SULTAN AGUNG MATARAM (1614-1645) A. Kondisi Kerajaan Mataram Islam Ketika Sultan Agung Berkuasa ... 42
B. Kebijakan Politik Invasi Sultan Agung ... 46
C. Invasi Mataram Islam ke Tuban 1619 ... 49
1. Latar Belakang Terjadinya Konflik Mataram-Tuban ... 49
2. Proses Invasi hingga Takluknya Tuban terhadap Mataram Islam ... 55
3. Respon Kadipaten Tuban terhadap Invasi Mataram ... 61
BAB IV DAMPAK INVASI MATARAM ISLAM TERHADAP TUBAN A. Dampak Sosial-Politik ... 64
B. Dampak Sosial-Ekonomi ... 66
C. Dampak Sosial-Budaya ... 67
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 70
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Invasi adalah sebuah istilah politik yang berarti usaha penyerangan
suatu bangsa dengan pergerakan militer atau angkatan bersenjata yang
dimilikinya, dengan tujuan penguasaan daerah atau mengubah pemerintahan
yang berkuasa sebelumnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), invasi merupakan hal atau perbuatan memasuki wilayah negara lain
dengan mengerahkan angkatan bersenjata, dengan maksud menyerang atau
menguasai negara tersebut.1 Salah satu peristiwa invasi yang pernah terjadi dalam dunia perpolitikan adalah peristiwa invasi yang dilakukan oleh
Mataram Islam terhadap daerah-daerah pesisir pada pertengahan abad 17
Masehi.
Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan Islam yang pernah ada
di Indonesia. Beberapa abad sebelum kerajaan ini didirikan, lokasinya
merupakan sebuah hutan yang penuh dengan tumbuhan tropis di atas
puing-puing istana tua Mataram Hindu.2 Dalam Sejarah Nasional Indonesia
dikatakan bahwa Mataram merupakan daerah yang subur yang terletak
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1989),337.
2
2
antara Kali Opak dan Kali Praga yang mengalir ke Samudera Hindia.3 Kerajaan yang berdiri pada abad ke-16 ini, mencapai puncak kejayaannya
pada masa pemerintahan Raden Mas Jatmiko4 atau Raden Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama besar Sultan Agung Hanyakrakusuma.5
Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung memiliki misi untuk
memperluas wilayah kekuasaannya melalui invasi atau penyerangan ke
daerah-daerah sekitar Mataram, khususnya ke wilayah-wilayah yang dikenal
memiliki armada laut yang kuat. Salah satu wilayah yang menjadi sasaran
penaklukan Mataram Islam adalah Tuban.
Kadipaten Tuban merupakan salah satu kota tua yang berada pada
jalur pantai utara. Luas wilayah kadipaten Tuban ± 183.994.561 Ha, dengan
dilengkapi wilayah laut seluas ± 22.068 km2. Posisi Tuban berada pada koordinat 111º 30' - 112º 35' BT dan 6º 40' - 7º 18' LS. Panjang wilayah
pantainya 65 km. Secara administratif, kadipaten Tuban termasuk dalam
wilayah propinsi Jawa Timur. Secara geografis, posisi kadipaten Tuban
dapat dijelaskan melalui keterangan berikut ini:
Sebelah utara berbatasan dengan : Laut Jawa
Sebelah timur berbatasan dengan : Lamongan
Sebelah selatan berbatasan dengan : Bojonegoro
3
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), 55.
4
Ibid., 57.
5
3
Sebelah barat berbatasan dengan : Rembang (Propinsi Jawa Tengah)6
Sejak abad ke-11 (masa pemerintahan Raja Airlangga, dari kerajaan
Kahuripan) hingga 15 (masa pemerintahan Raden Patah, dari kerajaan
Demak), Tuban dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan utama utara Jawa
dengan nama Kambang Putih.7 Selain itu Tuban juga dijadikan sebagai pusat pertahanan militer untuk menghadapi serangan-serangan dari luar. Ia
menjadi pendaratan pertama tentara Tartar (Pasukan Cina-Mongolia) pada
tahun 1292 yang ketika itu hendak menyerang Jawa bagian timur (kejadian
yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit).8 Tom Pires (1468-1540) menyebutkan bahwa pada abad 16, ada tiga pelabuhan yang dikuasai oleh
Raja Jawa, diantaranya:
1. Pelabuhan orang-orang Moor, maksudnya adalah Tuban yang ketika itu
menjadi wilayah kekuasaan Daria Tima de Raja9,seorang Moor yang menjadi bawahan dari Raja Jawa
2. Pelabuhan orang-orang pagan, maksudnya adalah Blambangan yang
dikuasai oleh Pate Pimtor10 yang kala itu menjadi kesatria yang ditakuti dan sangat dihormati di Jawa, terutama oleh para tuan negeri pagan
6
Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 2015), 5.
7
Edi Sedyawati et al., Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 7-8.
8
Ibid., 39.
9
Gelar ini merujuk pada nama Arya Tedja, penguasa Tuban kala itu yang merupakan kalangan bangsa Moor, ia merupakan seorang ulama keturunan Arab yang berhasil meyakinkan raja Tuban sebelumnya (mertuanya), Arya Dikara, untuk masuk Islam. Dengan demikian, Arya Dikara merupakan penguasa Tuban pertama yang beragama Islam. Nama Arya Tedja semakna dengan bahasa Arab “Abdurrahman”. Tom Pires, Suma Oriental (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 235 dan Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali, 41.
10
4
3. Pelabuhan milik putra Guste Pate11, maksudnya adalah Gamda (wilayah sekitar Pasuruan) yang dikuasai oleh putra Guste Pate.
Tuban adalah salah satu bandar kuna yang telah memainkan
peranannya sejak berabad-abad lampau, dengan memposisikan dirinya
sebagai jalur perdagangan laut dunia bagi kapal-kapal dagang yang
melintasi laut Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan.12 Prasasti Kambangputih merupakan prasasti yang memuat sejarah Tuban sebagai
kota pelabuhan, diduga berasal dari tahun 1050 Masehi13, kini terletak di belakang Museum Kambang Putih.
Tuban merupakan salah satu kota dagang tertua di Jawa, yang catatan
perdagangan luar negerinya dimulai sejak abad ke-11. Tuban juga
merupakan kota dimana ekspedisi Cina berlabuh pada akhir abad ke-13
dalam upaya mereka yang sia-sia untuk menaklukan Jawa. Kebijakan
Majapahit mengenai ekspansi luar negeri menjadikan Tuban sebagai
pelabuhan keberangkatan bagi semua pelayaran ke Kepulauan Maluku –
bahkan nama-nama tempat di Maluku banyak mengadopsi nama Tuban.
Sejumlah upeti yang diperoleh dari negeri-negeri bawahan pasti mencapai
ibu kota Majapahit melalui pelabuhan tersebut, hal ini berdampak pada
kekayaan dan kemakmuran yang besar bagi Tuban dan penguasanya. Oleh
sebab itu, bahkan setelah para penguasa Bumiputera Tuban memeluk Islam,
yang terjadi antara sebelum atau pertengahan abad ke-15, hubungan yang
11
Sebutan bagi wakil raja Jawa dan kapten tertingginya. Ibid., 229
12
Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 2.
13
5
terjalin akrab dengan kerajaan-kerajaan Hindu tetap terpelihara. Agama
Islam yang dianut oleh penguasa Tuban bersifat tidak ortodoks, bahkan
diketahui sebagian bawahan penguasa Tuban tetaplah kafir. Tidak heran
Tom Pires menyebut orang Tuban dengan “tidak ada penganut agama
Muhammad yang taat”.14
Sejak awal pemerintahannya, Tuban memang memposisikan dirinya
sebagai wilayah bawahan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.15 Salah satu kerajaan besar yang pernah menguasai wilayah Tuban adalah kerajaan
Mataram Islam.
Ketika Pangeran Dalem (adipati Tuban ke XVII) berkuasa, ia
memindahkan rumah kadipaten ke kampung Dagan (kota Tuban). Di
samping itu, Pangeran Dalem juga membangun masjid dan benteng di luar
kota sebagai daerah pertahanan. Benteng yang dibangun pada masa
pemerintahan Pangeran Dalem tersebut terletak di Gua Akbar dengan posisi
membujur dari timur ke barat. Pengeran Dalem menunjuk Kiai Muhammad
Asngari untuk bertugas membangun benteng pertahanan tersebut. Benteng
tersebut oleh Pangeran Dalem diberi nama benteng Kumbakarna.16 Pada saat itu, Tuban berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram Islam yang
14
M. A. P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara antara 1500 dan sekitar 1630 (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 156.
15
De Graaf, Kerajaan Islam Pertama: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2001), 148.
16
6
mulai diakui kekuasaannya oleh adipati-adipati dari beberapa daerah di
Jawa, seperti Cirebon, Sumedang, Madura, dan Tuban, sejak tahun 1601.17
Kondisi awal Tuban sebagai pelabuhan penting pada masa itu
disebabkan oleh kondisi geografisnya yang memadai. Teluk Tuban dinilai
aman dan baik untuk transportasi laut karena kedalamannya yang ideal bagi
perahu-perahu besar yang datang. Di sisi lain, kondisi Tuban sebagai daerah
rawan karena merupakan pintu gerbang masuknya kekuatan-kekuatan luar
yang hendak menembus ke wilayah pusat kekuasaan di pedalaman, juga
dikenal sebagai benteng terdepan untuk menghambat serangan lawan
menjadikan Tuban sebagai salah satu incaran kerajaan-kerajaan di
Nusantara untuk memperkuat dan melebarkan wilayah kekuasaannya.18
Mengenai kelompok-kelompok sosial yang tinggal di Tuban tidak
disebutkan secara rinci, namun sumber dari kitab Ying-Yai Sheng-Lan
menyebutkan ada tiga kelompok sosial yang tinggal di wilayah ini,
diantaranya adalah golongan muslim, pedagang Cina, dan penduduk
pribumi.19 Memasuki abad ke-16, kelompok-kelompok sosial di Tuban nampaknya masih belum mengalami perubahan yang berarti. Jadi masih
serupa dengan pengelompokkam sosial yang terjadi sejak akhir abad ke-13
sebagaimana dicatat dalam berita Cina tersebut. Seperti telah diketahui
bahwa kelompok sosial yang paling tinggi statusnya adalah golongan
17
R. Soeparmo, Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 1983), 31.
18
Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 8-9.
19
7
muslim. Kemudian diikuti oleh orang-orang Cina dan terakhir orang-orang
pribumi.20
Pada awal abad 17 setelah benteng Kumbakarna dibangun, Sultan
Mataram saat itu, Sultan Agung Hanyakrakusuma mendengar berita bahwa
bupati Tuban, Pangeran Dalem berniat akan memerdekakan diri dari
pengaruh Mataram. Bukti dari niat Pangeran Dalem ini dipicu alasan bahwa
banyak bupati dari Jawa Timut, diantaranya Bupati dari Surabaya, Lasem,
dan Tuban tidak bersedia mengakui kedaulatan Sultan Agung dari Mataram
karena dianggap jahat sehingga ketiga wilayah ini bersepakat untuk
bertempur bersama-sama untuk melawan tentara kerajaan.21 Pembangunan benteng Kumbakarna ini diharapkan mampu menjadi pendukung
tercapainya niat tersebut.
Namun niat ini segera di ketahui oleh Sultan Agung. Beliau mengirim
seorang mata-mata bernama Kyai Randu Watang. Setibanya di Tuban,
Randu Watang menanam dua batang pohon randu alas sebagai tanda bahwa
ia telah sampai di Tuban. Setelah diselidiki lebih lanjut, Kiai Randu Watang
mengetahui kebenaran berita tersebut kemudian melaporkannya langsung ke
Mataram.22 Segera setelah laporan Kyai Randu Watang ke Mataram, Sultan Agung mengerahkan pasukannya untuk menginvasi Tuban. Dua pasukan
dikerahkan oleh Sultan Agung dengan memerintahkan Martalaya dan Jaya
20
Ibid., 36.
21
Soeparmo, Catatan Sejarah, 32.
22
8
Suponta sebagai pemimpin invasi tersebut.23 Peristiwa ini berakhir dengan takluknya Tuban, yang menjadi salah satu unsur terpenting dari persekutuan
Surabaya untuk menghancurkan Mataram, pada tahun 1619.24
Dengan dilatar belakangi oleh fakta sejarah di atas, maka peneliti
termotivasi untuk mendeskripsikan lebih lanjut dan mendalam mengenai
peristiwa penaklukan Tuban oleh kerajaan Mataram Islam pada 1619 dan
apa saja dampak yang diperoleh Tuban akibat peristiwa tersebut. Untuk itu,
dalam penelitian yang dilaksanakan secara individu ini, peneliti mengambil
judul: “Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619: Berdasarkan Berita Tradisi”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi politik Tuban sebelum abad 17 Masehi ?
2. Bagaimana politik invasi Sultan Agung Mataram (1614-1645) ?
3. Apa saja dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa invasi Sultan Agung
ke Tuban tahun 1619 ?
23
H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Yogyakarta. Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), 58.
24
9
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kondisi dan sejarah politik Tuban sebelum penaklukan
Sultan Agung Mataram
2. Untuk mengetahui karakter politik invasi Sultan Agung Mataram ke
Tuban
3. Untuk mengetahui dampak-dampak yang terjadi di Tuban akibat
peristiwa invasi Sultan Agung Mataram tahun 1619.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat positif bagi masyarakat
baik dari sisi keilmuan akademis maupun sisi praktis. Berikut diantaranya
manfaat yang bisa didapatkan dari penelitian ini:
1. Sisi Keilmuan Akademik
a. Hasil penelitian ini bisa dijadikan sumber informasi bagi penelitian
pada bidang yang sama
b. Memberikan kontribusi wacana bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya pada bidang sejarah
2. Sisi Praktis
a. Bagi Penulis, penelitian ini bermanfaat dalam rangka memenuhi
tugas akhir jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab
10
b. Untuk memperkaya kajian sejarah Indonesia khususnya sejarah
politik mengenai peristiwa invasi Mataram Islam terhadap
kadipaten Tuban tahun 1619.
E. Penelitian Terdahulu
Merujuk pada judul penelitian yang penulis kemukakan di atas,
peneliti hanya menemukan satu judul penelitian terdahulu yang serupa
dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Berikut akan dikemukakan
penelitian tersebut beserta penjelasannya sebagai bahan perbandingan,
sehingga mampu menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan ini bukan
merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian yang telah ada
sebelumnya :
1. Ahmad Saiful Ali, “Ekspansi Mataram terhadap Surabaya Abad ke-17
(Tinjauan Historis tentang Kasus Penaklukan Surabaya oleh Mataram
Abad ke-17 M)”, Surabaya: Skripsi Fakultas Adab IAIN Sunan
Ampel, 1994. Membahas tentang usaha ekspansi Mataram Islam ke
wilayah Surabaya beserta dampak yang ditimbulkan akibat ekspansi
tersebut.
2. Ummu Salamah, “Konflik Kesultanan Mataram Islam dengan
Kesultanan Banten pada Pertengahan Abad 17 M”, Yogyakarta:
11
Membahas tentang kronologi konflik yang terjadi antara kesultanan
Mataram Islam dan kesultanan Banten.
3. Wakidi Febri dan Syaiful M, “Tinjauan Historis Perjuangan Sultan
Agung dalam Perluasan Kekuasaan Mataram tahun 1613-1645”,
Bandar Lampung: Jurnal Pendidikan FKIP UNILA, 2016. Membahas
tentang analisa sejarah mengenai perjuangan Sultan Agung dalam
usaha perluasan wilayah Mataram.
4. Laila Mufidah, “Ambisi Mataram Islam untuk Menguasai
Blambangan: Masa Sultan Agung dan Amangkurat I Abad ke-17”,
Surabaya: Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel,
2016. Membahas tentang motivasi Sultan Agung dan Amangkurat I
dalam menguasai Blambangan.
Penelitian ini memiliki target pembahasan berbeda dari penelitian
sebelumnya, karena fokus penelitian ini tertuju pada proses invasi Sultan
Agung Mataram ke Tuban yang terjadi pada tahun 1619. Oleh karena itu,
pembahasan penelitian ini akan difokuskan pada “Invasi Sultan Agung
Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619”
F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Sesuai dengan judul penelitian ini, penulis menggunakan metode
12
menggunakan perhitungan angka.25 Sedangkan penelitian kualitatif menurut Sukmadinata adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan
dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan,
persepsi, dan pemikiran orang baik secara individu maupun kelompok.26
Jenis penelitian ini adalah sejarah non-naratif. Penelitian sejarah jenis
ini tidak menyusun cerita, tetapi lebih menekankan pada masalah ( problem-oriented).27 Dalam penelitian ini, penulis berupaya mengungkap sejarah mengenai Tuban, baik itu kondisi geografis, kondisi Tuban ketika berada
dalam dinamika politik tiga kerajaan besar Nusantara ketika itu (Majapahit,
Demak, dan Mataram Islam), juga profil Tuban (dahulu lebih dikenal
dengan wilayah Kambang Putih) sebagai pusat perdagangan internasional
khususnya pada masa Raja Airlangga sekitar abad 11 Masehi.28 Pada bab selanjutnya, penulis berupaya memaparkan karakter dan politik ekspansi
Sultan Agung Mataram terhadap wilayah-wilayah yang ia invasi, salah
satunya adalah Tuban. Bab terakhir penulisan sejarah ini menekankan pada
dampak-dampak yang ditimbulkan oleh Sultan Agung Mataram setelah
berhasil menginvasi Tuban pada tahun 1619.
Penelitian ini disusun dengan menggunakan pendekatan politikologis
dan pendekatan ekonomi. Pendekatan politikologis menyoroti struktur
kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan kekuasaan,
25
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 2.
26
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 60.
27
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 9.
28
13
dan lain sebagainya.29 Pendekatan politikologis digunakan untuk mendeskripsikan kondisi tata pemerintahan kadipaten Tuban pada pra,
masa, dan pasca invasi Sultan Agung Mataram beserta kondisi kerajaan
Mataram Islam pada masa kepemimpinan Sultan Agung. Sedangkan
pendekatan ekonomi digunakan untuk memaparkan kondisi ekonomi
kadipaten Tuban sebelum hingga sesudah invasi Sultan Agung Mataram
terjadi.
Adapun kerangka teori yang digunakan oleh peneliti adalah teori
Challenge and Response oleh Arnold Joseph Toynbe (1889-1975) dan teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci (1891-1937). Teori Challenge and
Response menggambarkan tentang hubungan sebab akibat yang
dimunculkan oleh suatu kejadian. Penerapan teori ini mengacu pada posisi
Tuban yang setelah lepas dari pengaruh Demak menjadi wilayah kedudukan
Mataram, berusaha ingin melepaskan diri dari pengaruh Mataram.
Keinginan ini disebabkan penguasa Mataram saat itu, Sultan Agung
Hanyakrakusuma, dianggap suka bertindak sewenang-wenang terhadap
wilayah bawahannya. Salah satu contoh kesewenangannya adalah
menempatkan kaki tangannya yang berasal dari Mataram untuk menjadi pemimpin di wilayah bawahannya, seperti yang dilakukan di wilayah Tuban
dan Surabaya, sehingga wilayah tersebut tidak memiliki kewenangan
apapun terhadap pemerintahannya seperti sebelumnya (maksudnya ketika
Tuban masih diduduki oleh kerajaan Majapahit dan Demak). Oleh karena
29
14
itu, pada abad 17, wilayah seperti Tuban, Surabaya, Lasem, dan Pasuruan
membentuk sebuah persekongkolan untuk melawan Mataram. Namun
kenyataannya Mataram mengetahui niat tersebut, dan sebelum mereka
(Tuban dan wilayah lain yang disebutkan sebelumnya) bertindak lebih jauh,
Sultan Agung melakukan penyerangan terlebih dahulu. Di Tuban, meskipun
persiapan benteng yang dilakukan Tuban sudah matang, di tambah dengan
adanya meriam yang mereka dapat dari Portugis, nyatanya tidak sanggup
menahan serangan Mataram yang sangat kuat sehingga berakhir dengan
takluknya Tuban atas Mataram. Hal ini kemungkinan disebabkan juga
dengan kenyataan bahwa kekuatan pasukan darat Mataram lebih kuat dari
Tuban (kekuatan Tuban hanya terpaku pada sistim maritimnya).
Sedangkan teori Hegemoni menjelaskan bagaimana ide-ide atau
ideologi menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan pada
kelompok penguasa, legitimasi untuk berkuasa.30 Penggunaan teori ini didasarkan pada ambisi Sultan Agung yang memang sejak pengangkatannya
menjadi penguasa di Mataram memiliki tujuan ekspansi atas
wilayah-wilayah lain di sekitar Mataram. Ambisi ini memang sejak awal dimiliki
Sultan Agung diilhami oleh Panembahan Senopati (Ayah Sultan
Agung/Raden Mas Rangsang) yang dahulunya juga memiliki misi yang
sama. Kedudukan Sultan Agung sebagai penguasa kerajaan besar ketika itu
memungkinkannya untuk memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan
misi ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Ambisi untuk menguasai
30 Saptono, “Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer”, dalam
15
daerah tersebut menjadi semakin kuat ketika Sultan Agung mengetahui
bahwa wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya berkeinginan untuk
mengadakan koalisi untuk memberontak terhadapnya. Oleh karena itu,
Sultan Agung kemudian melakukan invasi kepada wilayah-wilayah Bang Wetan untuk melancarkan misi invasi tersebut dengan tujuan menundukkan wilayah-wilayah tersebut di bawah kekuasaan Sultan Agung Mataram.
G. Metode Penelitian
Untuk memudahkan penulisan sejarah (historiografi) sebagai hasil
dari penelitian ini, maka penulis menggunakan metode penelitian sejarah
yang terbagi dalam empat tahap31, yaitu:
1. Heuristik (Mencari dan Menemukan Sumber Data)
Heuristik (mencari dan menemukan sumber data) merupakan suatu proses yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan
sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah yang diperlukan.32 Sumber sejarah merupakan segala sesuatu yang berlangsung atau tidak
langsung menceritakan tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia
pada masa lampau.33 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka memperoleh sumber data.
Heuristik merupakan pengetahuan yang bertugas menyelidiki
31
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), 38.
32
A. M. Sadirman, Memahami Sejarah (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2004), 102.
33
16
sumber sejarah.34 Penelitian ini menggunakan sumber yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu:
a. Sumber Primer
Penulisan skripsi ini merupakan studi pustaka dengan
menggunakan beberapa sumber primer, diantaranya:
1) Serat Babad Thuban (sebagai acuan pembahasan mengenai kondisi Tuban pada masa invasi Mataram) karangan Than
Khoen Swie
2) Babad Sultan Agung (sebagai acuan pembahasan mengenai
pribadi Sultan Agung) yang diterbitkan oleh Balai
Penelitian Bahasa Yogyakarta, dan
3) Suma Oriental (sebagai acuan pembahasan mengenai
kondisi Tuban sebelum abad 17) karangan Tom Pires.
b. Sumber Sekunder
Selain menggunakan sumber primer, penulis juga
menggunakan sumber-sumber sekunder diantaranya sebagai
berikut:
1) Puncak Kekuasaan Mataram karangan H. J. De Graaf 2) Kerajaan Islam Pertama di Jawa karangan H. J. De Graaf 3) Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia karangan Dr. Ahwan
Mukarrom
34
17
4) Sejarah Islam Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
karangan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto
5) Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara antara 1500 dan sekitar 1630 karangan M. A. P. Meilink Roelofsz
6) Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban karangan R. Soeparmo 7) Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera yang merupakan
hasil penelitian Edi Sedyawati dkk.
8) Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten Tuban
9) Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II: Kehidupan Ekonomi Masa Lampau Berdasarkan Data Arkeologi yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
2. Verifikasi (Kritik Sumber)
Verifikasi (kritik sumber) merupakan suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan
apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber
tersebut autentik atau tidak. Kritik sumber itu ada dua, yakni kritik intern dan kritik ekstern.35 Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut
35
18
kredibel atau tidak. Sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan
sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik
ataukah tidak.
3. Interpretasi (Penafsiran)
Interpretasi (penafsiran) merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk menafsirkan data-data yang diperoleh dari
sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan. Pada tahap ini, penulis
berusaha membandingkan antara data-data yang diperoleh sehingga
akhirnya ditemukan sebuah titik temu yang bisa menafsirkan makna
dari fakta yang diperoleh untuk menemukan jawaban dari
permasalahan yang ada. Langkah awal pada tahap ini diawali dengan
menyusun dan mendaftar semua sumber yang didapat. Selanjutnya
penulis menganalisa sumber-sumber tersebut untuk mencari
fakta-fakta yang dibutuhkan sesuai judul penelitian.
4. Historiografi (Penulisan Sejarah)
Historiografi (penulisan sejarah) merupakan cara untuk merekonstruksi suatu gambaran masa lampau berdasarkan data yang
diperoleh.36 Setelah didapatkan fakta-fakta yang diperlukan, proses terakhir adalah menuliskan hasil dari penafsiran data-data sejarah
tersebut ke dalam bentuk tulisan deskriptif dengan menggunakan
susunan bahasa dan format penulisan yang baik dan benar.
36
19
H. Sistematika Pembahasan
Secara garis besar, sistematika pembahasan ini disusun dalam
rangka mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini. Pemaparan bab
demi bab bukan merupakan ringkasan dari keseluruhan bab yang ada dalam
tulisan hasil penelitian ini, melainkan suatu deskripsi mengenai hubungan
pasal demi pasal atau bab demi bab dalam pembahasan ini.
Adapun sistematika penulisan hasil penelitian ini secara umum
terdiri dari pendahuluan, isi, dan penutup. Di bawah ini akan dipaparkan
secara lebih jelas uraian pembahasannya:
Bab I merupakan pendahuluan berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan. Melalui bab ini diharapkan dapat memberikan
gambaran umum tentang seluruh rangkaian penulisan penelitian sebagai
dasar atau pijakan untuk pembahasan pada bab selanjutnya.
Bab II menjelaskan tentangkondisi politik Tuban sebelum abad
ke-17 Masehi, yaitu ketika Tuban berada dalam penguasaan kerajaan-kerajaan
besar Nusantara, hingga peran Tuban sebagai jalur perdagangan antar
negara
Bab III menjelaskan tentang politik invasi Sultan Agung Mataram
20
Bab IV menjelaskan tentang dampak peristiwa invasi Sultan Agung
Mataram, diantaranya berupa dampak sosial-politik, sosial-budaya, dan
sosial-ekonomi
Bab V akan diuraikan kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi ini
dari bab satu sampai bab empat, di samping kesimpulan, dalam bab ini juga
BAB II
KONDISI POLITIK TUBAN SEBELUM ABAD KE-17 M
A. Letak Geografis Tuban
Kadipaten Tuban merupakan salah satu kota tua di Jawa yang
berada pada jalur pantai utara. Luas wilayah kadipaten Tuban ±
183.994.561 Ha, dilengkapi dengan wilayah laut seluas ± 22.068 km2. Posisi Tuban berada pada titik koordinat 111º 30' - 112º 35' BT dan 6º 40' -
7º 18' LS. Panjang wilayah pantainya 65 km. Secara administratif,
kadipaten Tuban termasuk dalam wilayah propinsi Jawa Timur. Secara
geografis, posisi kadipaten Tuban dapat dijelaskan melalui keterangan
berikut ini:
Sebelah utara berbatasan dengan : Laut Jawa
Sebelah timur berbatasan dengan : Lamongan
Sebelah selatan berbatasan dengan : Bojonegoro
Sebelah barat berbatasan dengan : Rembang (Propinsi Jawa Tengah)1
Sejak awal, Tuban memang dikenal sebagai daerah pelabuhan
untuk perniagaan, yang merupakan jalur perhubungan antar negara bahkan
sejak masa Raja Airlangga (1019-1041), raja pertama kerajaan Kahuripan.
1
22
Pada masa itu, Tuban lebih dikenal dengan sebutan Kambangputih.2 Dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan pada masa Airlangga
(kemungkinan yang dimaksud adalah prasasti Kambang Putih)
menyebutkan bahwa kerajaan Kahuripan memiliki pelabuhan niaga, yaitu
Hujung Galuh dan Kambangputih. Pelabuhan Hujung Galuh diperkirakan
terletak di dekat Mojokerto, yang merupakan tempat bagi barang-barang
niaga dari pulau-pulau lain di Nusantara diperdagangkan. Sebelum
kapal-kapal kembali ke pulau masing-masing, ke dalam kapal-kapal mereka dimuatkan
hasil-hasil bumi setempat. Di sisi lain, pelabuhan Kambangputih
digunakan untuk perdagangan antar negara.3
Posisi Tuban yang termasuk dalam jalur perdagangan yang
menghubungkan ujung barat Eropa dengan ujung timur Asia, menjadikan
Tuban dikategorikan sebagai Jalur Sutera. Dalam buku Tuban: Pelabuhan di Jalan Sutera dijelaskan bahwa jalan sutera atau jalur sutera yang dimaksud merujuk pada konseptualisasi dari gejala adanya perdagangan
antar wilayah di dunia ini dengan melampaui jarak-jarak geografis yang
amat jauh, seperti antara Eropa dan Cina, demi antara lain perdagangan
sutera dari Cina ke Eropa.4 Sebenarnya perdagangan antara kawasan dunia
“barat” dan “timur” sudah terjadi sejak lama. Sutera dan rempah-rempah
merupakan daya tarik utama bagi orang Eropa yang dimiliki dunia Timur.
2
R. Soeparmo, Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 1983), 19.
3
Edi Sedyawati et al., Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 7.
4
23
Berbagai cara mereka tempuh untuk menghubungkan kedua bagian dunia
tersebut, diantaranya menggunakan jalur darat dan jalur laut. Jalan darat
melintasi Asia biasanya ditempuh dengan kuda atau unta, sedangkan jika
melewati jalur laut melalui Laut Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina
Selatan ditempuh dengan menggunakan kapal. Mengenai konsep jalur
sutera, istilah tersebut bukan berarti hanya merujuk pada kedua ujung
perjalanan perdagangan yang bersangkutan, melainkan negeri-negeri yang
dilewati sepanjang perjalanan dagang tersebut terlibat secara aktif dalam
proses perdagangan. Dalam jalur perdagangan melalui laut ini, Tuban
memainkan peranannya.5 Berita dari Tionghwa yang diuraikan Ma Huan, pengikut Laksmana Cheng Ho dalam ekspedisi ketiganya di Jawa pada
tahun 1413-1415, dalam buku Ying Yai Sheng Lan menyebutkan bahwa jika orang pergi ke Jawa (untuk berdagang atau sekedar berkunjung),
kapal-kapal lebih dahulu sampai di Tuban.6
Jika dianalisis lebih lanjut, peran Tuban sebagai jalur perniagaan
sejak abad 11 M memungkinkan ia menjadi pusat pertahanan militer untuk
menghadapi serangan-serangan dari luar.7 Keadaan ini menjadi sangat mungkin karena menurut catatan Pires pada abad 16, wilayah Tuban
dikelilingi oleh tembok bata yang kokoh dengan ketebalan ± 2 jengkal
sedangkan tingginya 15 kaki. Di bagian luar tembok tersebut terdapat
danau berisi air, sedangkan didaratannya terdapat tanaman lokal besar
5
Ibid., 2.
6
Kutipan buku Ying Yai Sheng Lan. Soeparmo, Catatan Sejarah, 21.
7
24
berduri, yang Pires biasa menyebutnya dengan carapeteiros karena tumbuhan tersebut memiliki kemiripan dengan sebuah pohon kecil berduri
di Portugal, merayap di tembok besarnya. Tembok tersebut juga
dilengkapi dengan lubang-lubang besar maupun kecil, sedangkan bagian
dalamnya terdapat mimbar kayu tinggi di sepanjang tembok.8 Peranan ini semakin nampak pada masa kerajaan Majapahit hingga masa-masa
sesudahnya.
B. Tuban Dibawah Kekuasaan Kerajaan-kerajaan Besar Nusantara
Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa sejak
awal pemerintahannya, kadipaten Tuban merupakan sebuah wilayah yang
selalu memposisikan dirinya sebagai wilayah bawahan kerajaan-kerajaan
besar Nusantara. Kerajaan-kerajaan yang membawahinya dimulai dari
kerajaan Kahuripan, kemudian kerajaan Kediri (Daha), Kerajaan Singasari,
kerajaan Majapahit, kerajaan Demak, kerajaan Pajang, hingga kerajaan
Mataram Islam. Keadaan ini dikarenakan memang sejak awal
pemerintahannya, kadipaten Tuban merupakan cakupan wilayah
Majapahit. Ketika Majapahit berhasil didirikan menjadi kerajaan oleh
Raden Wijaya, wilayah Tuban ini dihadiahkan kepada Ranggalawe untuk
dikuasai dengan tetap menjadi salah satu punggawa kerajaan Majapahit.9 Penjelasan lebih detail adalah sebagai berikut.
8
Tom Pires, Suma Oriental (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 247.
9
25
1. Majapahit
Kadipaten Tuban sejak masa Airlangga memang dikenal
sebagai pelabuhan penting antar negara selain pelabuhan Hujung
Galuh yang dijadikan sebagai pelabuhan utama perniagaan antar
pulau.10 Keadaan ini berlanjut bahkan hingga kerajaan Majapahit berdiri.
Peranan Tuban sebagai wilayah yang pelabuhan, memang
sangat berpengaruh pada masa itu. Pelabuhan Tuban merupakan
tempat yang pertama kali disinggahi oleh pasukan Tartar utusan
Kaisar Kubilai dari Cina pada tahun 1292, ketika ia menyanggupi
permintaan dari Wiraraja untuk membantunya dalam usahanya
memerangi Daha dengan imbalan dua orang puteri bangsawan dari
Tumapel.11 Namun pada dasarnya, tentara Cina utusan Kaisar Kubilai tersebut memang akan menyerbu Jawa. Mereka akan menghukum raja
Kertanegara dari Singasari, yang pernah menghina utusan Kaisar Cina
bernama Meng Ki ketika ia memaksa raja Kertanegara beserta
Singasari tunduk kepadanya. Peristiwa inilah yang akhirnya
membantu Majapahit berdiri sebagai kerajaan yang berkuasa setelah
penaklukan raja Jayakatwang yang memerintah sebelumnya.12
10
Soeparmo, Catatan Sejarah, 19
11
Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Pararaton (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), 20.
12
26
Peran Tuban yang lain sebagai kawasan pelabuhan penting di
Jawa diuraikan Ma Huan, muslim Tionghoa yang mengiringi
Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya yang ketiga tahun 1413
hingga 1415 ke daerah-daerah lautan selatan. Ma Huan menguraikan
di dalam bukunya, Ying Yai Sheng Lan, tentang keadaan kota Majapahit beserta rakyatnya. Ia menyebutkan bahwa ketika ada orang
pergi berkunjung ke Jawa, kapal-kapal mereka akan terlebih dahulu
berlabuh di Tuban.13
Dalam buku Tuban: Kota pelabuhan di Jalan Sutera
disebutkan bahwa pada masa Majapahit, pelabuhan Tuban sebagai
pusat perdagangan berkembang peranannya menjadi entreport, yakni sebagai pusat kegiatan ekspor-impor barang-barang dari berbagai
negeri, setelah sebelumnya sudah berperan aktif menjadi pusat
pertemuan pedagang dari berbagai negeri. Selain itu, Tuban juga
menjadi salah satu dari empat kota penting Majapahit selain Gresik,
Surabaya, dan Majapahit sebagai ibukota kerajaan. Pada abad ke-16
posisi Tuban masih lebih unggul dari Gresik. Bahkan hingga masa
akhir kerajaan Majapahit, Tuban masih merupakan pelabuhan utama.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila oleh elit Majapahit di
pedalaman, Tuban dianggap sebagai penyokong kesejahteraan, baik
secara ekonomi maupun sosial. Salah satu bukti menyebutkan, bahwa
di sekitar daerah Tuban dan di dasar pantai pelabuhan Tuban banyak
13
27
ditemukan keramik dari masa Majapahit yang berasal dari Cina.
Penemuan yang sezaman juga ditemukan di situs yang diduga
merupakan bekas ibukota Majapahit.14 Peran penting lain yang dimiliki Tuban sebagai kota penting Majapahit adalah bahwa ketika
perang, Tuban dapat mengirim enam sampai tujuh ribu tentara untuk
memenuhi kebutuhan Majapahit.15
Raffles dalam bukunya The History of Java menyebutkan bahwa antara tahun 1520 atau 1521 pada masa kerajaan Majapahit,
Antonio de Britto dengan enam kapal berlayar ke Maluku dengan
terlebih dahulu berlabuh di Tuban.16 Keterangan ini didukung juga dengan sebuah berita bahwa Tuban mengadakan hubungan dagang
secara intensif dengan daerah-daerah di Maluku. Sehingga penguasa
Tuban pada abad ke-16 yang kebetulan lancar berbahasa Portugis,
pernah menawarkan kepada bangsa Portugis ketika berlabuh di Tuban
saat itu. Ketika orang Portugis tersebut sedang mencari pemandu
setempat untuk mengantarkan mereka ke Maluku, penguasa Tuban
ketika itu memberi penawaran supaya tidak perlu ke Maluku untuk
berburu rempah-rempah dan diminta untuk menunggu di Tuban saja.
Sebab menurut kabar, tiga bulan setelahnya, akan datang lebih dari 40
jung dari Maluku dengan membawa cengkih, pala, dan bunga pala.17
14
Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 38-39.
15
Ibid., 42.
16
Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Terj. Eko Prasetyaningrum et.al (Yogyakarta: Narasi, 2014), xvii.
17
28
2. Demak
Kerajaan Majapahit berkurang eksistensinya ditandai dengan
terbunuhnya Prabu Brawijaya Kertabhumi oleh penguasa setelahnya,
Wangsa Girindrawardhana, pada tahun 1478 M atau 1400 tahun
Saka.18 Kemudian kedudukannya digantikan oleh Demak yang resmi mendedikasikan dirinya sebagai sebuah kerajaan merdeka setelah
menginvasi Majapahit pada 1527 M.19 Namun diketahui Tuban telah menjadi bagian dari wilayah Demak sejak tahun 1478, bahkan ketika
Demak belum mendeklarasikan dirinya sebagai kerajaan merdeka.20
Pada tahun 1527 M, tahun yang sama ketika Demak berhasil
menyerang Majapahit, ia sekaligus menaklukkan Tuban yang masih
setia kepada Majapahit, meskipun penguasa Tuban ketika itu sudah
memeluk agama Islam.21 Ketika itu memang diketahui bahwa wilayah Tuban, Grsik, Surabaya, Madura, dan beberapa kota di pantai utara
Jawa termasuk wilayah kerajaan Kediri22. Dengan begitu, jelas sekali bahwa setelah Kediri berhasil ditaklukkan oleh Demak, Tuban beserta
jajaran wilayah kota di pantai utara Jawa menjadi bagian dari kerajaan
18
Ahwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Penerbit Jauhar, 2010), 31.
19
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LkiS, 2009), 192.
20
Soeparmo, Catatan Sejarah, 28.
21
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2011), 56.
22
29
Demak.23 Di samping itu, salah satu alasan Demak ingin menguasai Tuban adalah karena ketidaksukaan Demak terhadap penguasa Tuban
yang saat itu menjalin hubungan baik dengan Portugis, musuh Demak.
Hubungan ini begitu penting bagi Portugis, sebab hal ini
mempermudah akses Portugis memasuki Kediri, karena memang
melalui pelabuhan Tuban akses ke Kediri menjadi semakin cepat.
Keadaan ini membuat Demak merasa tidak nyaman karena ia
khawatir, aliansi Portugis dengan Tuban mematikan aksesnya
memasuki Kediri.
Dalam buku Suma Oriental disebutkan bahwa Tuban merupakan akses terdekat ke Kediri lewat pelabuhannya. Guste Pate
yang disebut oleh Pires bertempat di Kediri saat itu, beraliansi dengan
Tuban yang membuat kesepakatan bahwa Guste Pate tersebut akan
memberikan bantuan sebanyak 10 atau 20 prajurit pada saat musuh
datang menyerang Tuban.24
Peranan Tuban ketika kerajaan Demak berkuasa sebenarnya
hampir tidak berubah sejak pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu
menjadi daerah pertahanan dan daerah industri. Buku Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera menyebutkan bahwa Tuban merupakan salah satu pusat industri kapal untuk kebutuhan militer yang terkenal
di Asia Tenggara pada abad ke-16. Keahlian dalam membuat kapal ini
23
Ibid., 316.
24
30
sebenarnya telah lama dikuasai oleh orang-orang Jawa. Orang-orang
Belanda yang pertama-tama datang ke Indonesia mengabarkan bahwa
Lasem, Tuban, Jepara, dan yang dekat dengan hutan jati Rembang
merupakan pusat industri galangan kapal terkenal tersebut. Keadaan
tersebut secara tidak langsung menjadi faktor penting bagi kemajuan
Demak. Hal ini dikarenakan, pada saat itu, ketiga wilayah tersebut
menjadi wilayah kekuasaan Demak.25
Industri kapal yang salah satunya berada di Tuban tersebut
sangat membantu dalam mengelola dan memajukan perekonomian
kerajaan Demak. Kerajaan Demak akhirnya memiliki kapal-kapal
pengangkut yang mengangkut hasil pertanian daerah pedalamannya
(terutama beras) untuk dijual di wilayah lain di Nusantara. Selain itu,
industri kapal ini juga sangat memungkinkan Demak mengerahkan
sejumlah kapal untuk ekspedisi laut dengan tujuan menjalin hubungan
persahabatan dengan negara lain, maupun untuk tujuan perang.
Kapal-kapal tersebut juga menjadi bahan ekspor yang penting bagi kemajuan
perekonomian Demak. Sumber berita dari Belanda menyebutkan
bahwa dalam waktu singkat, penguasa Tuban mampu mengerahkan
sekurang-kurangnya 32.000 sampai 33.000 prajurit infanteri dan 500
prajurit berkuda. Keadaan Tuban seperti itu mengindikasikan bahwa
25
31
Tuban merupakan pusat kekuatan militer yang potensial bagi kerajaan
yang menaunginya.26
3. Pajang menuju Mataram Islam
Kekuasaan Demak runtuh pada tahun 1568, karena perebutan
kekuasaan antar kerabat kerajaan. Setelah itu, kekuasaan Demak
beralih pada kerajaan Pajang yang muncul eksistensinya setelah
peristiwa penaklukan Arya Penangsang oleh Jaka Tingkir (Sultan
Hadiwijaya), dengan bantuan Ki Ageng Pemanahan.27 Jaka Tingkir merupakan menantu Sultan Demak, Sultan Trenggana. Pada masa
Sultan Hadiwijaya, Tuban yang awalnya menjadi bawahan kerajaan
Demak, menyatukan diri dengan Pajang. Hal ini dikarenakan
Pangeran Aria Pamalad, penguasa Tuban, menjadi menantu Sultan
Pajang.28
Peranan Tuban sebagai daerah bawahan Pajang, tidak terlalu
disebutkan secara rinci. Namun perlu diketahui bahwa Tuban ikut
berperan dalam pertempuran melawan Mataram muda yang dipimpin
oleh Panembahan Senopati yang berkhianat pada kerajaan Pajang
pada 1587 – diketahui bahwa Sultan Hadiwijaya adalah ayah angkat
26
Ibid., 44.
27
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), 55.
28
32
dari Senopati.29 Usaha adipati Tuban dalam memberikan dukungan moral kepada Sultan Pajang berakhir sia-sia. Peristiwa ini berakhir
dengan kekalahan Sultan Pajang di tangan anak angkatnya sendiri
pada tahun yang sama.
Setelah Sultan Pajang meninggal, bersama adipati Demak,
Arya Pangiri, yang sama-sama menjadi menantu Sultan Pajang,
adipati Tuban ikut berperan dalam mempertahankan hak atas tahta
bagi putera Sultan yang masih muda, Pangeran Benowo, dari
pengaruh Panembahan Senopati yang ketika itu menjadi penguasa
Mataram.30 Sunan Kudus – melalui permintaan dari adipati Tuban – berusaha menengahi perselisihan tersebut. Akhirnya Sunan Kudus
memberikan keputusan bahwa kerajaan Pajang untuk sementara di
ambil alih oleh adipati Demak, sedangkan Pangeran Benowo yang
masih muda akan berkedudukan di kerajaan Jipang yang sudah tua.31 Keputusan itu menimbulkan rasa kecewa dalam diri Pangeran
Benowo, meskipun pada dasarnya, adipati Tuban yang awalnya
meminta saran pada Sunan Kudus tersebut hanya berniat untuk
melindungi Pangeran Benowo. Ikatan kuat yang terjalin antara Tuban
dengan keluarga raja Demak, Jipang, dan Pajang, berusaha untuk
29
De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (Jakarta: PT Pustaka Grafiti Press, 1987), 83
30
Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali, 43.
31
33
menentang perluasan pengaruh raja Mataram yang tidak mempunyai
hubungan dengan mereka.32
Setelah Pangeran Aria Pamalad wafat, kekuasaan Tuban
diambil alih oleh puteranya, Pangeran Dalem. Serat Babad Thuban
menyebutkan, ketika kepemimpinan Tuban berada di tangan Pangeran
Dalem, pusat kekuasaan Tuban dipindahkan ke kampung Dagan yang
terletak di sebelah selatan Watu Tiban (kota Tuban sekarang). Pada tahun selanjutnya, Pangeran Dalem membangun masjid besar dan
bangunan pertahanan yang terletak di Gua Ghabar (Gua Akbar
sekarang) membujur dari timur ke barat. Pembangunan benteng
pertahanan ini oleh adipati Pangeran Dalem diserahkan oleh Kiai
Muhammad Asngari dari Majagung. Diceritakan dalam Babad Thuban bahwa benteng tersebut dibangun dengan sedemikian megah oleh Kiai Asngari, dan diberi nama oleh adipati Tuban, benteng
Kumbakarna.33
Bangunan pertahanan tersebut ternyata memiliki pengaruh
besar di kadipaten Tuban. De Graaf menuturkan dalam bukunya
bahwa pertahanan Tuban melalui benteng ini bahkan mampu
mematahkan serangan satuan-satuan tentara Mataram yang dikirim
oleh Panembahan Senopati pada tahun 1598 dan 1599.34 Namun Serat
32
De Graaf, Kerajaan Islam Pertama: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2001), 152.
33
Swie, Serat Babad, 9.
34
34
Babad Thuban menyebutkan hal lain, bahwa benteng Kumbakarna ini dibangun ketika Mataram sudah berada dalam kekuasaan Sultan
Agung.35
Antara dua kali serangan Mataram ke Tuban, pada bulan
Januari 1599, Tuban disinggahi oleh kapal-kapal Belanda di bawah
komando Laksamana Muda Van Warwijk.36 Anthony Reid menyebut dalam bukunya berdasarkan sebuah keterangan dalam sketsa yang
dibuat pada Januari 1599, bahwa setibanya di Tuban, Van Warwijk
bersama pengikutnya menyaksikan pertandingan tombak di atas kuda
yang diadakan di Tuban. Acara pertarungan tersebut biasanya
diadakan pada hari Sabtu atau Senin sehingga disebut dengan
Senenan, dan diadakan di sebelah utara istana kerajaan.37
Setelah Senopati meninggal pada 1601, usaha Mataram dalam
menaklukan Tuban, akhirnya diteruskan oleh penerusnya,
Panembahan Hanyakrawati, atau yang lebih dikenal dengan
Panembahan Seda ing Krapyak.38 Pada dasarnya, penyerangan Hanyakrawati atas Tuban ditujukan untuk melemahkan posisi
Surabaya. Sebuah dokumen VOC pada waktu itu telah
menggambarkan Surabaya sebagai negara yang kuat dan kaya, yang
35
Swie, Serat Babad, 9
36
Graaf, Kerajaan Islam, 152.
37
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 216.
38
35
telah berhasil meluaskan ekonomi perniagaannya, meliputi wilayah
Pulau Bawean, Sukadana (Kalimantan Barat), Banjarmasin, Gresik,
Lamongan, Tuban, dan Demak. Perluasan ekonomi yang dilakukan
oleh Surabaya sangat merugikan kerajaan Mataram, sebab secara tidak
langsung kejadian tersebut telah menutup jalur perdagangan Mataram
di daerah pesisir. Tidak mengherankan jika ketika itu, Panembahan
Hanyakrawati mengalami kesulitan dalam menaklukan Surabaya.
Oleh karena itu, ia menyusun strategi untuk terlebih dahulu
menundukan wilayah jalur perdagangan Surabaya, yang salah satunya
merupakan kadipaten Tuban tersebut.39 Kadipaten Tuban akhirnya berhasil ditaklukan oleh Mataram pada 1613 setelah Panembahan
Hanyakrawati melancarkan serangannya ke Gresik, yang sejak
permulaan abad ke-17 pelabuhannya berkembang menjadi lebih kuat
daripada pelabuhan Tuban. Hal ini menjadikan kadipaten Surabaya
mengalami penurunan ekonomi secara drastis.40
C. Tuban sebagai Jalur Perdagangan antar Negara
Sejak masa pemerintahan Airlangga, raja Medang Kamulan pada
abad ke-11, Tuban dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan utama pesisir
utara Jawa yang dikenal dengan nama Kambang Putih.41 Pada masa ini, pelabuhan Tuban dijadikan sebagai pelabuhan antar negara. Dalam
prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga menyebutkan
39
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram (Yogyakarta: Saufa, 2015), 51.
40
Ibid., 52.
41
36
bahwa pedagang-pedagang asing yang berasal dari India Utara, India
Selatan, Sailan, Burina, Kamboja, dan Campa berlabuh di pelabuhan
Tuban untuk melakukan perniagaan.
Peran aktif pelabuhan Tuban sebagai jalur perdagangan antar
negara bahkan masih dirasakan ketika kerajaan Majapahit menampakkan
eksistensinya di Jawa sejak akhir abad ke-13. Ia merupakan pelabuhan
yang disebut Tom Pires sebagai pelabuhan yang dikuasai oleh Raja Jawa,
selain pelabuhan di wilayah Blambangan dan Pasuruan.42 Pelabuhan Tuban dikenal sebagai salah satu bandar kuna yang telah memainkan
peranannya sejak lama dengan memposisikan dirinya sebagai jalur
perdagangan laut dunia bagi kapal-kapal dagang yang melintasi laut
Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan.43 Meilink Roelofsz menyebutkan dalam bukunya, bahwa Tuban merupakan salah satu kota
dagang tertua di Jawa yang catatan perdagangan luar negerinya dimulai
sejak abad ke-11. Kemakmuran dagang yang dialami oleh kota ini
merupakan dampak dari kebijakan Majapahit mengenai ekspansi luar
negeri yang menjadikan Tuban sebagai pelabuhan keberangkatan bagi
semua pelayaran ke Kepulauan Maluku. Tidak mengherankan jika banyak
tempat di kepulauan Maluku yang mengadopsi nama Tuban.44 Catatan Pires dalam Suma Oriental-nya menerangkan bahwa Tuban merupakan negeri yang rindang dan menghasilkan beras dalam jumlah yang besar dari
42
Pires, Suma Oriental, 235.
43
Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 2.
44
37
pedalaman. Ia menghasilkan berbagai jenis kayu, anggur, ikan, dan air
berkualitas. Negeri Tuban menurut catatan Pires juga menghasilkan
banyak asam dan cabe jawa. Ia juga memiliki daging sapi, daging babi,
daging kambing muda dan tua, daging rusa, ayam dan buah-buahan yang
tak terhitung lagi.45 Namun dalam hal ini, Pires tidak memberi keterangan bahwa sumber daya alam yang sedemikian melimpah ini, dimanfaatkan
oleh Tuban sebagai hasil ekspor yang mampu menghasilkan pemasukan
bagi Tuban.
Tuban merupakan jalur perhubungan bagi upeti-upeti dari negeri
bawahan untuk mencapai kerajaan Majapahit. Penyebabnya karena pada
waktu itu pelabuhan Tuban dijadikan pelabuhan transit utama Majapahit,
baik untuk menyalurkan upeti kerajaan atau bagi negara-negara lain yang
akan berkunjung ke negara Majapahit atau ke Maluku dengan tujuan
berdagang. Keadaan ini tentunya mempengaruhi perkembangan ekonomi
dan menambah kemakmuran Tuban dan penguasanya. Oleh sebab itu,
hubungan yang terjalin antara Tuban dengan kerajaan-kerajaan Hindu
tetap terpelihara dengan baik, bahkan setelah para penguasa bumiputera
Tuban memeluk Islam (kemungkinan terjadi antara sebelum atau
pertengahan abad ke-15, dan kemungkinan akibat dari pengaruh Arab).
Fenomena tersebut sangat mungkin terjadi, sebab Islam yang dianut oleh
penguasa Tuban sifatnya tidak ortodoks.46 Pires bahkan menuturkan bahwa Pate Vira yang ketika itu ditemuinya di Tuban merupakan seorang
45
Pires, Suma Oriental, 248.
46
38
penguasa Tuban yang telah memeluk Islam, kakeknya (maksud dari Pires
kemungkinan besar adalah adipati Arya Dikara) adalah seorang pagan
yang kemudian memeluk agama Muhammad. Namun Pires menambahkan
bahwa Pate Vira meskipun telah memeluk agama Muhammad, tidak
tampak baginya seperti penganut yang benar-benar yakin terhadap agama
Muhammad.47
Meilink Roelofsz memaparkan dalam bukunya bahwa meskipun
Tuban dikenal sebagai kota pelabuhan penting, Tuban tidak digambarkan
sebagai kota dagang (dalam arti yang sebenarnya) baik dalam catatan Pires
yang ditulis pada awal abad ke-16 atau dalam catatan-catatan para
navigator Belanda yang ditulis hampir seabad kemudian. Tuban bahkan
dikatakan tidak memiliki pelabuhan yang layak untuk digunakan sebagai
tempat berlabuhnya kapal-kapal bermuatan besar, yang ada hanya sebuah
pangkalan laut terbuka yang jaraknya cukup jauh dari kota. Roelofsz
menambahkan bahwa Pires memang sangat kagum atas semangat
ketentaraan orang-orang Tuban.48 Kekaguman Pires pada pria-pria Tuban memang ditunjukan secara jelas dalam Suma Oriental-nya, ia mengatakan
“pria-pria Tuban adalah para kesatria – lebih berani dibandingkan orang
Jawa lainnya”.49
Namun yang menjadi catatan disini adalah kenyataan
bahwa Pires tidak mengatakan apapun mengenai kegiatan perdagangan
47
Pires, Suma Oriental, 249.
48
Roelofsz, Perdagangan Asia, 157.
49
39
dan aset-aset pelayaran Tuban.50 Fenomena ini kemudian dijelaskan oleh De Graaf bahwa memang pada abad ke-15 dan 16 kapal-kapal dagang
yang sedikit besar (yang biasanya selalu berlabuh di Tuban) sudah
terpaksa membuang sauh (jangkar) di laut yang cukup jauh dari kota.51 Keterangan De Graaf tersebut menjadi jawaban yang masuk akal
mengingat Tom Pires dan rombongan Portugis memasuki Tuban pada
abad ke-16. Sehingga Pires hanya mengetahui bahwa keadaan Tuban
sudah tidak produktif lagi sebagai pelabuhan.
Di sisi lain, dalam buku Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera
menjelaskan bahwa Tuban. yang dikenal pada masa Airlangga dengan
sebutan Kambang Putih itu, sejak awal memang sudah berperan sebagai
pusat dagang yang penting sekaligus merupakan pelabuhan internasional.
Pusat perdagangan yang dimaksud disini bukan tentang Tuban yang
memiliki hasil komoditas ekspor, melainkan ia hanya sebagai collecting center, yang menampung berbagai jenis komoditi dari sejumlah pemasok barang dari wilayah pedalaman. Kemudian ketika Majapahit berkuasa, dan
Tuban dijadikan salah satu wilayah pentingnya, pelabuhan Tuban
berkembang menjadi entreport yang tidak hanya menjadi pusat pertemuan pedagang dari berbagai negeri, tetapi juga mengimpor dan mengekspor
barang-barang yang berasal dari berbagai negeri.
50
Roelofsz, Perdagangan Asia, 157.
51
40
Pada masyarakat pra industri, transportasi jarak jauh memerlukan
biaya yang tinggi. Oleh karena itu komoditi perdagangan yang
menjangkau wilayah jauh akan memperdagangkan barang-barang bernilai
tinggi dan tentunya tahan lama, misalnya berbagai jenis batu mulia, kain
sutera, dan barang-barang lain yang hanya dapat diproduksi di
wilayah-wilayah tertentu. Barang-barang tersebut pada umumnya memang
digunakan oleh para elit kerajaan, hal tersebut menjadikan peranan Tuban,
yang ketika itu menjadi bagian dari kerajaan Kediri, adalah sebagai
penyokong golongan elit. Melalui kegiatan perniagaan barang-barang
mewah tersebut, Tuban melayani kaum elit untuk menciptakan dan
menaikkan status sosial bangsawan di pedalaman. Peranan tersebut bahkan
berlanjut hingga masa Majapahit.52
Catatan dari Raffles menyebutkan bahwa antara tahun 1520 atau
1521 pada masa kerajaan Majapahit, Antonio de Britto dengan enam kapal
berlayar ke Maluku dengan terlebih dahulu berlabuh di Tuban.53 Tuban melakukan hubungan dagang dengan daerah-daerah Maluku dibuktikan
dengan berita bahwa ada seorang pedagang Portugis yang menemui
penguasa Tuban pada akhir abad ke-16 dalam usahanya mencari pemandu
untuk mengantarnya ke Maluku. Adipati Tuban yang ketika itu sudah
lancar berbahasa Portugis menyarankan pedagang Portugis tersebut tidak
perlu ke Maluku dan cukup menunggu di Tuban. Karena menurut
52
Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 38.
53
41
informasi, sekitar tiga bulan kemudian akan datang lebih dari 40 jung dari
Maluku dengan membawa serta cengkeh, pala, dan bunga pala.54
Pada abad ke-16, Tuban termasuk salah satu pusat industri kapal
untuk keperluan militer yang terkenal di Asia Tenggara. Kemahiran
membuat kapal pada dasarnya telah lama dikuasai oleh orang-orang Jawa.
Kapal-kapal yang dibuat pada dasarnya terbatas pada kapal-kapal kecil
yang bisa berlayar cepat dan digunakan dalam peperangan. Selain itu,
industri ini juga memproduksi kapal muatan dengan tonnase kecil. Orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia memberitakan bahwa
Lasem, Tuban, Jepara, dan daerah yang dekat dengan hutan jati Rembang
merupakan pusat dari industri galangan kapal tersebut. Keadaan ini
berlangsung pada masa kerajaan Demak, sehingga memberikan
keuntungan yang besar bagi Demak mengingat daerah-daerah yang
termasuk pusat industri galangan kapal tersebut merupakan daerah
bawahannya. Sejak saat itu, Demak memiliki kapal-kapal yang mampu
mengangkut hasil pertanian (tertutama beras) daerah pedalamannya untuk
kemudian menjualnya di wilayah lain di Nusantara.55
54
Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 23.
55
BAB III
POLITIK INVASI SULTAN AGUNG MATARAM (1614-1645)
A. Kondisi Kerajaan Mataram Islam Ketika Sultan Agung Berkuasa
Mataram Islam merupakan kerajaan Islam yang ada di Nusantara
yang berdiri pada abad ke-16 M. Wilayah kerajaan ini awalnya merupakan
sebuah hutan yang penuh dengan tumbuhan tropis di atas puing-puing
istana tua Mataram Hindu, beberapa abad sebelum kerajaan ini berdiri.1 Wilayah ini sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Pajang.
Namun setelah Ki Ageng Pemanahan yang ketika itu menjadi Panglima
perang kerajaan Pajang bersama puteranya, Sutawijaya (Danang
Sutawijaya)2, ikut membantu Sultan Hadiwijaya dalam usahanya menumpas adipati Arya Penangsang dari Jipang Panolan, Sultan Pajang
tersebut menganugerahkan wilayah hutan yang awalnya dikenal sebagai
hutan (alas) Mentaok tersebut.3 Berawal dari inilah kerajaan Mataram (yang awalnya bercorak Hindu) bangkit kembali, namun dengan ruh yang berbeda (menjadi bercorak Islam).
1
Ahwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Penerbit Jauhar, 2010), 39.
2
Dalam Babad Tanah Jawi namanya dikenal sebagai Raden Bagus. Namun pada waktu lain ia juga disebut sebagai Raden Ngabehi Loring Pasar. Ia merupakan putera kedua Ki Ageng Pemanahan yang diangkat anak oleh Sultan Pajang yang ketika itu belum memiliki putera. Sultan Pajang berharap Raden Bagus tersebut bisa dijadikan tuntunan agar ia segera berputera. W. L. Olthof, Babad Tanah Jawi (Yogyakarta: Narasi, 2011), 93.
3
43
Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya di bawah
kepemimpinan Raden Mas Rangsang atau lebih dikenal sebagai Sultan
Agung Hanyakrakusuma (1613-1646).4 Setelah dinobatkan sebagai penguasa Mataram, putera dari Raden Mas Jolang atau Panembahan
Hanyakrawati5 atau Panembahan Seda ing Krapyak ini, bergelar Sultan Agung Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman.6 Ketika pemerintahan Sultan Agung, ibukota kerajaan Mataram dipindahkan dari Kotagede ke wilayah
Kerto yang jaraknya sekitar 5 km di sebelah selatan Kotagede. Pada masa
ini bidang kenegaraan, pemerintahan, serta kemiliteran Mataram
berkembang pesat. Mataram melatih pasukan angkatan lautnya serta
membuat kolam telaga yang lebar dan luas yang disebut Segarayasa.7
Mengenai kepribadian Sultan Agung, dilukiskan oleh De Graaf
dalam bukunya bahwa kesan orang Eropa ketika pertama kali melihat
Sultan Agung adalah ia “tidak dapat dianggap remeh”. Menurut pengakuan
salah satu dari mereka, Sultan Agung memiliki wajah yang kejam, bahkan
beserta dewan penasihatnya juga memerintah dengan keras sebagaimana
sebuah negara besar. Lebih jauh, Dokter H. De Haen menuturkan bahwa
Pangeran Ingalaga ini merupakan seorang yang kasar dalam bahasa,
namun lamban ketika berbicara, ia berwajah tenang dan bulat, dan tampak
cerdas. Dokter Haen juga mengatakan bahwa Sultan Agung biasa
4
Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam, 43.
5
Olthof, Babad Tanah Jawi, 238.
6
Ibid., 248.
7
44
memandang sekelilingnya seperti singa.8 Watak pemarah dan kejam namun bijaksana Sultan Agung juga disinggung oleh De Graaf. Dalam
bukunya, ia mengatakan bahwa Sultan Agung pernah memerintahkan
untuk memenggal kuda-kuda empat orang pembesarnya, yang ketika itu
dianggap telah bermain curang ketika mereka memainkan permainan
mirobolani9, dan mengancam