• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akulturasi antara Islam dan budaya lokal dalam tradisi bulan Sya’ban (nisfu Sya’ban) di Desa Sendangduwur Paciran Lamongan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akulturasi antara Islam dan budaya lokal dalam tradisi bulan Sya’ban (nisfu Sya’ban) di Desa Sendangduwur Paciran Lamongan."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI BULAN SYA’BAN (NIS}FU SYA’BAN) DI DESA SENDANGDUWUR – PACIRAN –

LAMONGAN

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Filsafat Agama

Oleh:

Laili Kalimatul Hidayah NIM: F11212137

PROGRAM STUDI FILSAFAT AGAMA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABTRAKSI

Tesis ini berjudul “Akulturasi Antara Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Bulan Sya’ban (Nis{fu Sya’ban) di Desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan” penelitian oleh Laili Kalimatul Hidayah, NIM F11.212.137

Kata Kunci: Akulturasi, Budaya Lokal, Tradisi, Ritual, Bulan Sya’ban (Nis}fu Sya’ban).

Akulturasi atau acculturation atau culture contact adalah konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan tertentu atau budaya baru, sehingga unsur-unsur kebudayaan baru itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Ketika ajaran masuk dalam komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama dan kepentingan budaya akhirnya tidak menghalangi akan adanya kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Masalah yang menjadi sasaran penelitian ini adalah (1) Siapa penyebar Islam awal di desa Sendangduwur?, (2) Bagaimana proses akulturasi dan asimilasi budaya Hindu, Islam dan Modern di desa Sendangduwur?, (3) Bagaimana hasil akulturasi Islam dan budaya lokal yang terkandung dalam tradisi bulan sya’ban dan nis}fu sya’ban, pada masyarakat desa Sendangduwur?

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang dikategorikan kepada penelitian kualitatif memaparkan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam peristilahannya, yaitu merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu data-data yang diperoleh dari informan terkait, kemudian data-data tesebut dijelaskan kata-kata, kalimat dalam tulisan dengan tujuan berusaha menjelaskan keadaaan masyarakat desa Sendangduwur yang terkait akulturasi antara Islam dengan budaya lokal dalam bulan sya’ban (nis}fu sya’ban).

(7)

(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN TIM PENGUJI

TRANSLITERASI ... i

HALAMAN MOTTO ... iii

ABSTRAKSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 8

G. Metode Penelitian ... 12

1. Jenis Penelitian ... 12

(9)

2.1.Jenis dan Sumber Data... 14

2.2.Teknik Pengambilan Data ... 15

3. Teknik Analisis Data ... 18

H. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II : KAJIAN TEORETIS A. Pengertian Tradisi, Ritual dan Budaya ... 21

B. Kedudukan Bulan Sya’ban (Nis}fu Sya’ban) dalam Dunia Islam ... 32

C. Tradisi Nis}fu Sya’ban Pada Masyarakat Jawa ... 43

BAB III : DESA SENDANGDUWUR – PACIRAN – LAMONGAN A. Letak Geografis dan Karakteristik Desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan ... 52

B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Desa Sendangduwur– Paciran – Lamongan ... 59

C. Islamisasi Masyarakat Desa Sendangduwur ... 76

BAB IV : AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL TRADISI BULAN SYA’BAN (NIS}FU SYA’BAN) DI MASYARAKAT DESA SENDANGDUWUR A. Makna Filosofis dan Simbolis yang Tertuang dalam Tradisi, Berbagai Peringatan dan Ritual Pada Masyarakat Jawa ... 84

(10)

Sya’ban (Nis}fu Sya’ban) dalam Kehidupan Masyarakat

Desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan ... 97 BAB V:PENUTUP

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama universal, karenanya ajaran-ajarannya diharapkan mampu mengakomodasi setiap kultur kehidupan, di manapun dan kapanpun.Islam yang tumbuh dan berkembang di jazirah Arab, tidak bisa terlepas dari kebudayaan masyarakat setempat. Maka tidak jarang perilaku keberagamaan yang ditampilkan pemeluknya lebih bernuansa Arab.

(12)

2

mencoba bersanding dengan tradisi atau sosio-kultural masyarakat Irak) saat itu.1

Fenomena ini pula yang memicu gagasan pribumisasi Islam yang akomodatif terhadap budaya lokal. Meski sebenarnya, kita juga dituntut bersikap kritis terhadap gagasan ini, agar jangan sampai terjebak dalam pribumisasi yang justru menjadikan berantakan—merusak nilai-nilai Islam. Seharusnya penilaian bukan diarahkan pada tentatifnya, akan tetapi pada esensi acara tersebut. Selama esensinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai universalisme Islam, maka perbedaan selera dan cara pandang dalam

1

Di Irak, Ibnu Mas’ud (28 SH.-32 H./596 M.-654 M.) muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hijaz atau Hedzjaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di Irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hijaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di tempuh Umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil Umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas’ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra’yu (akal)(Ahlulhadits dan Ahlurra’yi). Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SB-45 H./611-665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota ini-lah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi

munculnya ahlulhadits. Ibnu Mas’ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha’i (w.76 H.), Alqamah bin Qais an-an-Nakha’i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.), d.l.l . Lihat http://m.facebook.com>notes>pengertian atau

http://surgaditelapakibu.blogspot.com/2011/05/pengertian-fiqh-dan-sejarah.html , (12 Juni 2016). Lihat juga Muh. Zuhri, hukum Islam dalam Lintasan Sejarah , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 65-70. Lihat juga Fathurrahman, Djamail, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 90. Atau lihat Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991) h. 71.

(13)

3

perilaku keberagamaan harus disikapi sebagai dinamika yang tidak sampai menyeret umat ke dalam perpecahan.

Bagi masyarakat Jawa yang memeluk agama Islam (Muslim) dan itu pasti berlaku untuk keseluruhan umat Islam di penjuru dunia, bulan puasa atau ramadhan merupakan bulan yang suci dan sakral, dalam sebulan penuh melakukan kewajiban berpuasa—(rukun Islam yang ke-empat) dan ibadah-ibadah lainnya, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, karena anggapan suci dan sakralnya bulan puasa itu, jauh hari mereka mempersiapkan sebaik-baiknya kondisi fisik dan kondisi rohani.2

Sebelum tiba atau memasuki suasana bulan ramadhan tentu terlebih dahulu melalui bulan sya’ban. Sya’ban adalah salah satu nama dari pada bulan Islam menurut kalender Hijriah. Bulan sya’ban bertepatan dengan bulan ruwah didalam nama urutan bulan Jawa. Kebanyakan masyarakat Jawa Muslim di desa Sendangduwur, sebagaimana di kota lain, mulai mempersiapkan diri, baik jasmani maupun rohani, fisik maupun spiritual, setiap menyongsong datangnya bulan ramadan.

Terkait hal tersebut ada beberapa tradisi sosial-keagamaan yang dilakukan pada bulan sya’ban (nis}fu sya’ban) oleh masyarakat desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan – Jawa Timur, acara tersebut adalah

2

Agus Widodo, “Kearifan Tradisi Jawa atas Puasa”, Harian Suara Merdeka, (03 September 2008). Lihat juga Agus Widodo, “Falsafah Nyadran”, Harian Sinar Merdeka, (31 Agustus 2008)., lihat juga Suci Handayani Harjono, “ Tradisi Jawa yang Dilakukan Jelang Puasa Ramadhan”, Kompasiana, (04 Juni 2016), h. 5., lihat juga https://stellarciyne.wordpress.com/2011/06/03nilai-ibadah-puasa-

(14)

4

acara ruwahan.3 Ruwahan adalah salah satu hasil cipta kejeniusan orang-orang Jawa pada umumnya, dan pada masyarakat desa Sendangduwur pada khususnya. Tradisi yang sudah ada pada masa lalu, sebagai hasil penafsiran akulturasi, asimilasi4budaya agama sebelum Islam yang diadopsi juga menjadi kebiasaan atau tradisi orang Muslim Jawa, walaupun sudah melalui proses enkulturasiajaran Islam.5 Tradisi ruwahan masih ada dalam konteks realitas sosial sehingga masyarakat merespons dengan baik dan masih tetap berlangsung hingga saat ini.

Kegiatan ruwahan dilakukan kelompok warga atau individu dengan mengundang tokoh masyarakat dan tetangga sekitarnya. Kata ruwahan berasal dari kata ruwah, istilah bulan Jawa atau nama bulan Jawa urutan ke-8, berbarengan atau bertepatan dengan bulan sya’ban yang juga bertepatan urutan bulan ke-8 pada tahun Hijriyah.6 Kata ruwah memiliki akar kata arwah atau ruh leluhur dan nenek moyang.7 Konon dari arti kata arwah inilah bulan ruwah dijadikan sebagai bulan mengenang leluhur. Ada

3Kebiasaan turun-temurun. lihat. Pius A. Partanto, (dkk),

Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 756.

4

Proses percampuran dua kebudaan atau lebih danPenyesuaian, penyelarasan, pemanduan, penyamaan .Lihat Pius A., Kamus Ilmiah Populer, h. 18 dan h. 50.

5

Penyerapan kebudayaan; proses dimana orang sadar maupun tidak mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat , Lihat Pius A., Kamus Ilmiah Populer, h. 151.

6

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 1114.

7

Iqbal Nugraha, “Mistik Kejawen Sebagai Filsafat Orang Jawa”, dalam

iqbalnugraha.blogspot.co.id/2015/01/mistik-kejawen-sebagai-filsafat-orang.html?m=1, (13 Juni 2016).

(15)

5

pula yang mempunyai persepsi bahwa pada bulan sya’ban (nisfu sya’ban) turun ketentuan pisahnya ruh dengan jasad manusia.8

Menurut orang jawa, melestarikan tradisi bertujuan untuk mengingatkan manusia agar tidak lupa dengan asal-usulnya. Ketika manusia semakin jauh melangkahkan kaki dari asalnya, maka semakin rentan baginya untuk melupakan tradisi yang dibentuk oleh leluhurnya.9 B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan deskripsi atau uraian dalam latar belakang permasalahan yang sudah dikemukakan diatas, maka identifikasi masalah penelitian ini adalah tentang akulturasi Islam dan budaya lokal yang terangkum dalam tradisi masyarakat desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan selama bulan sya’ban, khususnya pada nis{fu sya’ban. Lebih lanjut lagi, kajian ini bermaksud menelaah dan mengetahui proses akulturasi dan asimilasi antara budaya Hindu, Islam dan Modern (dari sebelum Islam dikenal, agama Islam belum familiar oleh masyarakat desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan, hingga Islam dikenal, kemudian berkembang dan menjadi familiar oleh masyarakat desa Sendangduwur).

8

Suci Handayani Harjono, “Tradisi Jawa yang Dilakukan Jelang Puasa Ramadhan”, Kompasiana, 04 Juni 2016 dalam .kompasiana.com/sucilistiraludin/tradisi-jawa-yang-dilakukan-jelang-bulan-puasa_575283eef17a610d12814b3 . Lihat. juga https://id.m.wikipedia.org/wiki/hari-hari-penting (13 Juni2016).

9

Iqbal Nugraha, “Mistik Kejawen Sebagai Filsafat Orang Jawa”, dalam

iqbalnugraha.blogspot.co.id/2015/01/mistik-kejawen-sebagai-filsafat-orang.html?m=1, (13 Juni 2016).

(16)

6

C. Rumusan Masalah

Beberapa pertanyaan yang akan diajukan untuk dijawab dalam kajian, penelitian dan verifikasi (menarik kesimpulan) ini maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Siapa penyebar Islam awal di desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan?

2. Bagaimana proses akulturasi dan asimilasi budaya Hindu, Islam dan Modern di desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan?

3. Bagaimanahasil akulturasi Islam dan budaya lokal yang terkandung dalam tradisi bulan sya’ban dan nis}fu sya’ban,pada masyarakat desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan dan menganalisisproses awal mula agama Islam masuk di desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis proses akulturasi dan asimilasi budaya Hindu, Islam, dan modern di masyarakat Sendangduwur – Paciran – Lamongan.

(17)

7

E. Kegunaan Penelitian

Penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat antara lain yaitu:

1. Menambah wawasan, dari khasanah ilmu ke-Islaman universalism dalam wacana agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alami}n dan menjadi bahan tambahan wacana pertimbangan bagi umat Islam dalam menyikapi segala perbedaan—keanekaragaman tradisi dan budaya yang sudah ada dalam lingkup lokal dan luas—Islam nusantara (Indonesia) dan universalism (masyarakat dunia) khususnya dalam sisi fakta dan realitas sosial, baik lokal atau lingkup luas— dunia dan menyikapi dengan bijak pemikiran dalam dunia Islam khususnya tentang tradisi dan budaya dari semua kalangan termasuk kalangan tekstualis, kontekstualis, maupun aliran pemikiran yang lain.

(18)

8

yang universal, dan saling menghargai, saling menyayangi sesuai harkat dan martabat manusia itu sendiri.

3. Tidak terjadi ketimpangan—kesenjangan dalam menjalani kehidupan yang sangat diharapkan membahagiakan, rukun—equilibrium10untuk kelangsungan kesejahteraan dalam menuju Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alami}n untuk semua penganut agama Islam (muslim) yang mempunyai latar belakang—backround asal asul, suku, budaya dan interaksi sosial yang beraneka ragam di pulau Jawa—Indonesia khususnya dan dalam ranah Internasional—universal.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian dan kajian yang berkaitan dengan perpaduan—penyerapan kebudayaan yang terinternalisasi dalam nilai sosial dalam kebiasaan— tradisi yang terjadi pada bulan sya’ban (nis}fu sya’ban) adalah hal yang tidak baru lagi—tidak asing lagi didalam ranah non akademik maupun dunia akademik, dan pembahasan tentang nilaireligius, norma adat, kebiasaan—tradisi yang terjadi pada bulan sya’ban (nis}fu sya’ban) ataupun pembahasan yang berkaitan dengan bulan sya’ban (nis}fu sya’ban) juga sudah pernah dikaji oleh lintas bidang studi, karena pembahasan nilai, norma adat yang terangkum dalam kebiasaan—tradisi yang ada hubungannya dengan bulan sya’ban (nis}fu sya’ban) memang dapat dikaji dari berbagai sudut pandang—berbagai sisi. Adapun penelitian terdahulu

10

Keseimbangan atau keadaan yang seimbang, Lihat Pius A., Kamus Ilmiah Populer, h. lihat jugaJohn MEchol, M. (dkk), Kamus Inggis Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 217.

(19)

9

yang berkenaan dengan bulan sya’ban (nis}fu sya’ban) diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, saudara Muhammad Yusuf dalam artikelnya dengan judul Studi Kritis Terhadap Hadits Nis{fu Sya’ban,yang ditulis pada tahun 1999, artikel ini membahas tentang ritual ibadah yang dilakukan orang sekarang, yang berhubungan dengan nis{fu sya'ban telah menjadi kebiasaan yang mereka anggap sebagai kewajiban. Ini adalah masalah yang terpisah di kalangan umat Islam, terutama ketika mereka menggunakan argumen dari kata-kata Nabi (Hadis) sebagai landasan untuk melakukan ritual ini tidak jelas tentang keasliannya. Untuk menemukan keaslian sebuah hadits, studi kritis terhadap hadits yang berkaitan dengan nis{fu sya'ban, baik dari segi matan dan sanad hadits, sehingga orang-orang ini tidak jatuh ke hal-hal sesat yang akan menyesatkan mereka.

Kedua, saudara André Möller yang menulis buku dengan judul Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar, yang ditulis pada tahun 2005. Pada buku ini dijelaskan tentang sebuah kebiasaan yang terjadi menjelang bulan ramadhan tiba yaitu ruwahan. Ruwahan inilah sejumlah ritus digelar guna menyambut ramadhan: dari acara nis{fu syaban, arak-arakan keliling kota, bersih desa yang diiringi slametan kecil lalu kenduren di malam harinya, kemudian esok paginya ziarah kubur, hingga berakhir pada acara padusan tepat di penghujung hari menjelang Puasa.

(20)

10

Kitab Fadhail al Awqa>d Karya Imam Baihaqi yang ditulis pada tahun 2010. Dalam kesimpulan skripsi dari saudari Dwi Aprinita Lestari ini bahwasannya hadits-hadits tentang keutamaan malam nis{fu sya’ban yang terdapat dalam kitab Fadhail al Awqa>d karya Imam Baihaqi ini semuanya bisa dipertanggung jawabkan, dan dari 2 (dua) hadits yang saudari Dwi Aprinita Lestari teliti berkualitas sah}ih.

Keempat, saudara Fahmi Hamdi yang menulis artikel dengan judul Kedudukan Fikih dan Tradisi Masyarakat yang ditulis pada tahun 2011. Dalam salah satu hadits diriwayatkan Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik.Hadits tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).

(21)

11

amalan yang tidak ada tuntunan. Setiap amalan yang tidak ada tuntunan termasuk kesesatan.

Begitu pula tidak ada dalil yang menunjukkan anjuran berpuasa pada tanggal 15 sya’ban atau pada hari nis}fusya’ban. Tidak ada dalil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan untuk melakukan puasa pada hari tersebut. Jadi jika mengistimewakan puasa pada hari tersebut, maka jelas adalah suatu yang tidak ada tuntunannya. Karena amalan yang tidak ada tuntunan adalah yang tidak memiliki dalil dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dianggap oleh orang yang melakukannya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala. Karena sekali lagi ibadah adalah tauqifiyah yang harus didukung oleh dalil syar’i.

Keenam, saudara Muhammad Abduh Tuasikal yang menulis opini dengan judul Malam Nis}fu Syaban dan Amalan Nis}fu Syaban, yang ditulis pada tahun 2015. Malam nis}fu Sya’ban (malam 15 Sya’ban) adalah malam mulia menurut sebagian kalangan. Sehingga mereka pun mengkhususkan amalan-amalan tertentu pada bulan tersebut. Sebagaimana kata guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi. Hadits yang membicarakan tentang keutamaan malam nis}fu sya’ban menuai kritikan dari para ulama. Ada ulama yang menghasankannya dan ada yang mendhoifkannya.

(22)

12

terintegrasi secara akomodasif dalam identitas budaya lokal Jawa. Secara formulatif, tradisi acara yang dilaksnakan pada bulan sya’ban dan pertengahan sya’ban (nis}fu sya’ban) yang ada di desa Sendangduwur tersebut dapat dimaknai secara fragmentasi pluralitas bagian dari tradisi juga ritus agama yang melalui proses assosiatif-akulturatif .

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

(23)

13

gambaran secara lengkap suatu suatu kejadian dalam maasyarakat, metode dalam pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-fenomenologi lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, kedua metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, ketiga metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak pentajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.11

2. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, sebab tanpa adanya data maka penulisan suatu karya tidak bisa dikatakan ilmiah. Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematik dan merupakan standarisasi penulisan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam proses dan penyelesaian penulisan ini. Peneliti melakukan penelitian dengan berangkat dari data yang telah ada, atau suatu cara yang terkonsep secara keseluruhan untuk mengungkapkan rahasia tertantu atau suatu permasalahan tertentu dengan melakukan penghimpunan data-data dengan mempergunakan cara kerja yang sistematik, terarah dan dapat dipertanggung jawabkan, sehingga tidak kehilangan sifat ilmiahnya atau serangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi, aspek atau bidang tertentu pada objeknya.

11Lexy J. Moleong,

(24)

14

2.1.Jenis dan Sumber Data

Data-data ini dikumpulkan dari berbagai macam sumber, jenis dan sumber data diantaranya berupa buku, dokumen pribadi juru kunci pesarehan—komplek kepurbakalaan sunan Sendang, data dokumentasi isian dan potensi desa Sendangduwur, tulisan dari buku-buku bahkan media massa (baik cetak maupun media elektronik— internet) dan lain-lain yang bisa mendukung kelengkapan data dan informasi dalam penulisan, atau sumber tulisan lain baik data primer ataupun sekunder yang relevan dengan topik pembahasan ataupun yang sejenis. Adapun jenis dan sumber data adalah dokumen pribadi dari pihak juru kunci pesarehan atau juru kunci dari komplek kepurbakalaan masjid sunan Sendang. Selain buku, yaitu jenis dan sumber data lisan atau berupa informasi yang berkaitan dengan judul dalam penulisan tesis ini. Informasi yang diperoleh dalam penulisan ini kebanyakan didapatkan melalui informan atau subjek dalam penelitian ini adalah para peserta dalam acara nis}fu sya’ban, tokoh masyarakat setempat, dan masyarakat luas yang tinggal atau berdomisili di desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan.

(25)

15

informasi tempat, kegiatan atau kejadian—peristiwa,dan semua hal yang diperlukandan berkaitan dengan tema—judul penulisan tesis inisebagai bahan pelengkap dan penyempurna acuan jenis dan sumber data yang relevan dengan topik pembahasanyang ada dalam penulisan tesis ini.

Untuk memperoleh masukan dan data yang akurat, dalam kegiatan penelitian ini, peneliti akan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapangan melalui serangkaian kegiatan wawancara mendalam (deepth interview) terhadap subjek atau informan penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen dari dokumentasi seperti dari pemberitaan atau informasi dari media massa, internet bahkan televisi. Dari data sekunder maupun primer yang diperoleh tersebut, akan disajikan secara deskriptip dan kemudian dianalisis secara kualitatif. Hal ini dilakukan untuk mempertajam pembacaan data, baik itu data-data lapangan maupun data-data dokumentasi, sahingga tidak hanya sekedar membaca ‘data permukaan’ saja, tetapi berusaha untuk mengorek lebih lanjut dari data primer yang di dapat di lapangan. 2.2. Tehnik Pengambilan Data

(26)

16

Pertama, Observasi lapangan atau tempat, dalam observasi ini,peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke lapangan, di mana kegiatan pelaksanaan masyarakat desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan pada acara nis}fu sya’ban yang biasa dilaksanakan pada pertengahan bulan sya’ban atau ruwah. Dengan langkah awal ini, diharapkan, peneliti akan mengetahui kondisi realitas empiris yang ada. Peneliti minimal mengetahui medan dan tempat, dimana acara tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengamatan (observasi) adalah peneliti harus mengetahui situasi dan kondisi tempat yang akan dijadikan objek penelitian, selain itu juga peneliti telah nenentukan apa yang akan diamati.12

Kedua adalah wawancara. Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung (face to face).Wawancara bertujuan untuk memperoleh keterangan dan data individu-individu tertentu untuk keperluan berbagai macam informasi.13 Wawancara ini digunakan untuk melengkapi data-data yang berkaitan dengan judul tesis ini, wawancara juga digunakan sebagai media untuk melakukan konfirmasi terhadap pandangan suatu peristiwa atau kejadian. Cara

12

Bruce A. Chadwick, dkk., Metode Penelitian Sosial. Terj: Sulistia, ML, dkk., (Semarang:IKIP Semarang Press), h. 96.

13Husaini Usman,

(27)

17

ini dilakukan sekaligus untuk konfirmasi agar tidak terjadi kesalahpahaman antara peneliti dan subyek penelitian.14

Peneliti akan melakukan wawancara secara langsung terhadap objek yang akan diteliti (informan) seperti contoh, wawancara atau interview dan juga wawancara mendalam (deept interview) dengan masyarakat atau penduduk desa setempat, para sesepuh desa, orang-orang yang mempunyai peran penting dalam desa tersebut dan masyarakat desa Sendangduwur itu sendiri. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang utuh dari ‘mulut-mulut’, sehingga akan dapat diperoleh kevalidan informasi dan data yang layak dari informan.

Peneliti akan berusaha untuk menjalin hubungan komunikaasi yang setara dengan para informan, peneliti lebih banyak mendengar, sedangkan informan diberi kebebasan untuk mengungkapkan dan mengekspresikan pengalamannya. Metode wawancara yang akan dilakukan peneliti terhadap infoman yaitu dengan banyak mendengar. Dalam arti, peneliti meminta informan untuk bercerita kapan dan bagaimana tradisi nis}fu sya’ban dilakukan. Dalam wawancara yang dilakukan peneliti mencoba mengembangkan dengan tidak hanya bertaya dan informan menjawab, tetapi dibiarkan berjalan secara alamiah.

14

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 107.

(28)

18

Menurut Spradley penentuan informan didasarkan atas pertimbangan; Pertama, mereka menguasai dan memahami seluk beluk informasi yang dibutuhkan oleh penulis. Kedua, mereka (informan) mereka tergolong masih berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang tengah diteliti. Ketiga, mereka yang mempunyai kesempatan atau waktu yang memadai untuk dimintai informasi. Keempat, mereka tidak cenderung menyampaikan informasi hasil kemasannya sendiri. Kelima, mereka pada mulanya tergolong cukup asing akan peneliti sehingga lebih mengarahkan untuk dijadikan semacam guru atau nara sumber.15

3. Teknik Analisis Data

Dalam suatu penelitian, sejumlah data yang terkumpul tidak akan berarti apa-apa bila tidak dilakukan analisa. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan cara memperoleh data dari informan (data yang diperoleh merupakan keseluruhan informasi pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh peneliti dari informan). Dengan purposive sampling (sampel bertujuan) merupakan pengambilan informan berdasarkan pertimbangan tertentu, yang peneliti anggap paling tahu, mengerti dan faham tentang informasi yang diharapkan oleh peneliti. Peneliti juga memakai cara memperoleh data dengan memilih informan untuk memperoleh data berdasarkan rekomendasi informan sebelumnya

15

Dikutip dari Sanapiah Faisal. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, (Malang: Yayasan Asih, Asah dan Asuh, 1990), h. 44-45.

(29)

19

guna memperoleh informasi yang dibutuhkan peneliti berpedoman pada kerangka pemikiran yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari masalah yang diteliti, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing.16

Data-data yang didapatkan oleh peneliti dari hasil observasi lapangan, wawancara informan di lapangan, diolah sedemikian rupa kemudian dideskripsikan oleh peneliti data-data yang bersumber dari data lapangan tersebut dalam bab tiga dan empat.

Data-data yang ada selanjutnya disusun ke dalam pola tertentu, kategori tertentu, tema tertentu atau pokok permasalahan tertentu. Dan untuk memperkaya dan mempertajam analisa tersebut, dilengkapi dengan pendapat praktisi yang berkompeten atau yang banyak mengamati masalah yang diteliti dengan pendapat para pakar atau praktisi yang berkompeten atau yang banyak mengamati masalah yang diteliti.

Menurut Bogdan dan Bikin (1982) dalam Moleong (1987), analisis data adalah proses dan mengatur secara sistematis transkrip interview, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang ditemukan di lapangan. Kesemuanya itu dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu fenomena dan membantu untuk mempresentasikan temuan penelitian kepada orang lain. Secara subtansial, pendapat ini menunjukkan bahwa dalam analisis data terkandung muatan pengumpulan dan interpretasi data. Inilah yang menjadi ciri utama dari penelitian kualitatif.

16Sanapiah Faisal.

(30)

20

Berdasarkan teknik pengumpulan data di atas, maka peneliti akan berusaha untuk mengetahui dan memahami apa yang terjadi dan menelaah segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan pembahasan yang ada dalam penelitian ini, mengenai pendapat, pandangan, pemikiran tentang akulturasi Islam dan budaya lokal tradisi bulan sya’ban (nis}fu sya’ban) di masyarakat desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan. Selanjutnya pemaknaan penelitian dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keajegan pandangan subjek penelitan.

H. Sistematika Pembahasan

Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab, adapun sistematika penulisannya adalah sebagai betikut:

Bab pertama adalah pendahuluan, yang merupakan bagian awal dari penelitian yang dapat dijadikan sebagai awalan dan gambaran dalam memahami keseluruhan isi pembahasan. Bab ini berisi beberapa sub bagian meliputi; latar belakang permasalahan, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

(31)

21

Bab ketiga adalah mengenai desa Sendangduwur, letak geografis desa Sendangduwur, kondisi sosial budaya masyarakat desa Sendangduwur, mata pencaharian masyarakat desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan.

Bab keempat berisikan tentang tradisi nis}fu sya’ban sebagai budaya lokal agama Islam di desa Sendangduwur. Pembahasan ini khususnya berkenaan tentang pemikiran makna filosofis dan simbolis dalam tradisi nis}fu sya’ban pada masyarakat Jawa, pelaksanaan tradisi buln sya’ban (nis}fu sya’ban) serta akulturasi antara Islam dan budaya dalam tradisi bulan sya’ban (nis}fu sya’ban) dalam kehidupan masyarakat desa Sendangduwur – Paciran – Lamongan.

(32)

22

BAB II

KAJIAN TEORETIS A. PengertianTradisi, Ritual dan Budaya

Kata ‘tradisi’ dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar.1Kata tradisi berasal dari bahasa Latin adalah traditio yang mempunyai arti diteruskan atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan memjadi bagian dari kehidupan suatu kelompojk masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar darai tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,2 karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.3

Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang dikutip oleh Muhaimin tentang istilah tradisi di maknai sebagai pengatahuan, doktrin, kebiasaan,

1

Lihat juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia-Kamus Versi Online/ Daring (Dalam Jaringan)http://kbbi.web.id/tradisi (\10 Agustus 2016), (dalam hal. 1069) , lihat juga, Pius A. Partanto (dk), Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola Surabaya, 1994), h. 756.

2

Tradisi lisan merupakan salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat yang proses pewarisan yang dilakukan secara lisan. Tradisi lisan muncul dilingkungan kebudayaan lisan dari suatu masyarakat yang belum megenal tulisan (prasejarah) maka proses pewarisan budaya dilakukan secara lisan dengan bahasa. Hal ini kemudian menghasilkan suatu budaya yaitu tradisi lisan walaupun ketika manusia telah mengenal tulisan proses pewarisan budaya aada sebagian yang belum dalam bentuk tulisan. Tradisi lisan mempunyai suatu pesan tersendiri bagi

keberlangsungan kehidupan sosial budaya dalam kelompok masyarakat. Dalam tradisi lisan mengandung unsur-unsur kejadian sejarah, nilai-nilai moral, nilai-nilai keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayalan, peribahasa, nyanyian, serta mantra-mantra suatu masyarakat.

3

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi ( dicari pada 26 Desember 2016).

(33)

23

praktek dan lain-lain yang dipahami sebagai pengatahuan yang telah diwariskan secara turun-temurun termasuk cara penyampai doktrin dan praktek tersebut. 4 Lebih lanjut lagi Muhaimin mengatakan tradisi terkadang disamakan dengan kata-kata adat yang dalam pandangan masyarakat awam di pahami sebagai struktur yang sama.

Menurut Hanafi, tradisi lahir dari dan dipengaruhi oleh masyarakat, kemudian masyarakat muncul, dan dipengaruhi oleh kebiasaan. Tradisi pada mulanya merupakan musabab, namun akhirnya menjadi konklusi dan premis, isi dan bentuk, efek dan aksi pengaruh dan mempengaruhi.5Namun tidak bisa dipungkiri tradisi sebenarnya juga memberikan manfaat yang bagus demi berlangsungnya tatanan dan nilai ritual yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Robert Redfield mempunyai pandangan soal tradisi seperti yang dikutip oleh Bambang Pranowo, dia mengatakan bahwa konsep tradisi itu dibagi dua yaitu tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Konsep ini banyak sekali yang dipakai dalam studi terhadap masyarakat beragama, tak luput juga seorang Geertz dalam menelitian Islam jawa yang menghasilkan karya The Raligion of Jawa juga konsep great tradition dan little tradition.6

4

Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret Dari Cerebon, Terj. Suganda (Ciputat: PT. Logos wacana ilmu, 2001), h. 11.

5

Hasan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi (Yogyakarta: Sarikat, 2003), h. 2.

6

Bambang Pranowo, Islam Factual Antara Tradisi Dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), h. 3.

(34)

24

Konsep yang disampaikan Robert Redfield di atas ini menggambarkan bahwa dalam suatu peradaban manusia pasti terdapat dua macam tradisi yang dikategorikan sebagai great tradition dan little tradition. Great tradition adalah suatu tradisi dari mereka sendiri yang suka berpikir dan dengan sendirinya mencangkup jumlah orang yang relatif sedikit (the reflective few). Sedangkan little tradition adalah suatu tradisi yang berasal dari mayoritas orang yang tidak pernah memikirkan secara mendalam pada tradisi yang telah mereka miliki. Tradisi yang ada pada filosof, ulama, dan kaum terpelajar adalah sebuah tradisi yang ditanamkan dengan penuh kesadaran, sementara tradisi dari kebanyakanorang adalah tradisi yang diterima dari dahulu dengan apa adanya (taken for granted) dan tidak pernah diteliti atau disaring pengembangannya.7

Bambang Pranowo mempunyai pendapat bahwa keragaman yang ada tidak akan bisa dipahami dengan baik dengan menggunakan dikotomi, apakah dikotomi santri-abangan ataupun dikotomi ‘tradisi besar’ dan tradisi kecil tapi dengan istilah tradisi yang baru, tradisi khas, yang terletak diantara tradisi besar dan tradisi kecil tersebut para kyai dan kelompoknya-kelompok perantara lainnya sebagai pencipta tradisi mereka sendiri. Islam, sebagaimana agama-agama besar lainnya, diwarnai oleh bermacam tradisi beragama.8

Dalam hukum Islam tradisi dikenal dengan kata urf yaitu secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal 7

Bambang Pranowo, Islam Factual Antara Tradisi Dan Relasi Kuasa, h.4.

8

Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011),h. 18-19.

(35)

25

sehat”.Al-urf (adat istiadat) yaitu sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal mereka.9Secara terminology menurut Abdul-Karim Zaidan, Istilah urf berarti :

...Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan...10

Menurut ulama ‘usuliyyin’ urf adalah “Apa yang bisa dimengerti oleh manusia (sekelompok manusia) dan mereka jalankan, baik berupa perbuatan, perkataan, atau meninggalkan”.11 Al-Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya; baik ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan, dan disebut juga adat, menurut istilah ahli syara‟,tidak ada perbedaan antara al-urf dan adat istiadat.12

Menurut orang Jawa, melestarikan tradisi bertujuan untuk mengingatkan manusia agar tidak lupa dengan asal-usulnya. Ketika manusia semakin jauh melangkahkan kaki dari asalnya, maka semakin rentan baginya untuk melupakan tradisi yang di bentuk oleh leluhurnya.13Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berahklak dan budi pekerti seseorang manusia dalam berbuat akan melihat realitas yang ada di lingkungan sekitar sebagai upaya dari sebuah adaptasi 9

Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasryi (Jakarta: Grafindo Persada, 2009), h. 167.

10

Satria Efendi, et al. Ushul Fiqh (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), h.153.

11

Masykur Anhari, Ushul Fiqh (Surabaya: CV Smart, 2008), h. 110.

12

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah Hukum Islam ”Ilmu ushulul figh” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 133.

13

http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/12/kebudayaan-nyadran-618632.html, (Diunduh pada tanggal 27 Oktober 2016pukul 16.57).

(36)

26

walaupun sebenarnya orang tersebut telah mempunyai motivasi berperilaku pada diri sendiri.14

Kata ‘ritual’ yang juga dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan ritus; hal ihwal ritus15 dan menurut kamus ilmiah populer kata ritual mempunya arti menurut upacara agama,16sedangkan ritus mempunyai makna tata cara dalam upacara agama; upacara suci (keagamaan).17Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan.18

Dalam buku ‘Islam Pesisir’ oleh Nur Syam dikatakan bahwa banyak dikemukakan oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu yang berbeda-beda, bahwa pengertian kata ‘ritual’ adalah:

a. Seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama atau magic, yang dimantapkan melalui tradisi.

b. Upacara yang terbatas, tetapisecara simbolis lebih kompleks karena menyangkut urusan sosial dan psikologis yang lebih dalam.19 c. Aktivitas yang di dalamnya sangat kental nuansa simbolnya.20

14

Bey Arifin, Hidup Setelah Mati (Jakarta: PT dunia pustaka, 1984),h. 80.

15

Lihat juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia-Kamus Versi Online/ Daring (Dalam Jaringan)http://kbbi.web.id/tradisi( 10 Agustus 2016).

16

Pius A. Partanto (dk), Kamus Ilmiah Populer, h. 680.

17

Lihat juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia-Kamus Versi Online/ Daring (Dalam Jaringan) http://kbbi.web.id/tradisi( diakses 10 Agustus 2016), lihat juga, Pius A. Partanto (dk), Kamus Ilmiah Populer, h. 680.

18

Dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ritual (10 Agustus 2016)

19

Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 18.

(37)

27

Ritual pada umumnya lebih mengacu pada sifat dan tujuan mistis serta ritual dilihat sebagai perwujudan esensial dari kebudayaan. Ritual merupakan seperangkat aktivitas yang melibatkan agama atau magis yang dimantabkan melalui tradisi. Biasanya berupa kegiatan-kegiatan upacara yang didalamnya terdapat simbol tersendiri. Adapun ritual-ritual yang ada dan sudah dilakukan secara turun-temurun dari masa kemasa contoh diantara adalah: upacara keselamatan yang biasanya bertujuan mencari keselamatan dan memohon berkah hidup, pemberian sesaji yang bertujuan menghindarkan diri dan keluarga dari kekuatan gaib yang jahat, upacara arak-arakan, upacara keagamaan, seperti grebeg, maulid, atau yang bertujuan untuk memperingati hari-hari besar Islam dan lain-lain.21

Adanya berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan secara Islami oleh umat Islam telah memperkokoh eksistensi ajaran Islam ditengah masyarakat Indonesia. Ajaran Islam justru menjadi kuat ketika ajaran tersebut telah mentradisi dan membudaya di tengah kehidupan masyarakat, dimana esensi ajarannya sudah memasuki atau include ke dalam tradisi masyarakat setempat.

Budaya sebagai suatu turunan dari kata majemuk ‘budidaya’ yang artinya daya dari budi, budaya merupakan segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah kehidapan sosial

20

Ridin Sofwan, (dkk), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Semarang: Gama Media, 2004), h. 184.

21

R.P Suyono, Dunia Roh, Ritual, Benda Magis, (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 132.

(38)

28

manusia.22Menurut kamus besar Bahasa Indonesia budaya adalah pikiran; akal budi; adat-istiadat.23Istilah budaya dalam bahasa Inggris adalah culture yang berasal dari bahasa Latin yaitu colere yang mempunyai arti mengumpulkan atau membudayakan.24

Koentjaraningrat menyebukan bahwa kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sansekerta buddhayyah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal, dengan demikian kebudayaan bisa diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.25Dari kata budi ini dikembangkan kata-kata sebagai berikut:

a. Budi daya : usaha yang bermanfaat dan memberi hasil b. Budaya : pikiran dan hasil

c. Kebudayaan : hal-hal yang berkaitan dengan budaya, pikiran dan batin.26

Budaya adalah konsep yang menumbuh kembangkan perhatian suatu objek lingkungan dalam sistem sosial. Budaya bisa diartikan sebagai berikut:

a. Budaya adalah tatanan kemampuan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu peranan konteks ruang, pandangan hidup mengenai dunia dan alam semesta.

22

Sri Muhammad Kusumantoro, (dkk), Sosiologi Kelas X Semester 1, (Klaten: Intan Pariwara ,2015), h. 4.

23

Lihat juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia-Kamus Versi Online/ Daring (Dalam Jaringan)http://kbbi.web.id/tradisi(diakses 10 Agustus 2016).

24

Alex. H. Rumondor, (dkk), Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: UT, 1995), h. 95.

25

Idianto Muin, Sosiologi Standar KTSP 2006, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006) Cet-18, h. 133.

26

Alex. H. Rumondor, (dkk), Komunikasi Antar Budaya,h. 97.

(39)

29

b. Budaya termasuk milik yang diperoleh sekelompok besar manusia dari generasi ke generasi melalui usaha individu atau kelompok tertentu.

c. Budaya juga merupakan pengetahuan. Sifat-sifat perilakunya berupa kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan atau kebiasaan lain, yang diperoleh dari anggota masyarakat.27

Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, pranata, objek-objek materi dan milik yang diperoleh individu atau kelompok. Budaya berkesinambungan hadir di mana-mana; budaya meliputi semua pengetahuan perilaku yang diterima selama satu periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan stuktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang.28Menurut E.B Tylor, kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. sedangkan kata ‘lokal’ mempunyai arti setempat; lingkup daerah; kedaerahan; ruang atau kamar (luas).29

Budaya lokal bisa diartikan sebagai kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah kehidupan sosial manusia setempat dari hasil olah daya pikir, pikiran—akal dan budi dari manusia itu sendiri, sehingga

27

Alex. H. Rumondor, (dkk), Komunikasi Antar Budaya,h. 48.

28

Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 18.

29

Pius A. Partanto (dk), Kamus Ilmiah Populer, h. 418.

(40)

30

menghasilkan kreatifitas yang diakui oleh manusia-manusia setempat dan sekitarnya. Budaya tersebut dapat diamati melalui adat atau kebiasaan masyarakat, mata pencaharian, hasil kesenian, ilmu pengetahuan dan bahasa masyarakat setempat.30

Seiring perkembangan zaman dan sistem sosial budaya, dewasa ini budaya lokal dimaknai sebagai pengetahuan bersama yang dimiliki sejumlah orang. Budaya lokal meliputi berbagai kebiasaan dan nilai bersama yang dianut masyarakat tertentu. Pengertian budaya lokal sering dihubungkan dengan kebudayaan suku bangsa. Konsep suku bangsa sendiri sering dipersamakan dengan konsep kelompok etnik.

Menurut J. J. Hoenigman wujud kebudayaan adalah sebagai berikut:

• Gagasan

Gagasan merupakan wujud ideal kebudayaan yang berupa kumpulan ide, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya. Sifatnya abstrak tidak bisa diraba, dan disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam fikiran warga masyarakat tersebut.

• Aktivitas

Aktivitas merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kegiatan serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud yang kedua ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini tediri dari ativitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak,

30

Joan Hesti Gita Purwasih, (dkk), Sosiologi Kelas X Semester 1 Sesuai Kurikulum 2013 yang Disempurnakan, (Klaten: Intan Pariwara ,2016), h. 44. Lihat juga Indianto Muin, Sosiologi SMA/MA untuk kelas X KTSP 2006, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, Cet-18), h.133-136.

(41)

31

serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat dan kelakukan. Sifatnya konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diamati, difoto, dan didokumentasikan

• Artefak

Artefak merupakan wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Wujud artefak dapat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifat artefak paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan lainnya sehingga paling mudah dilihat dan diindentifikasi dalam kehidupan sehari-hari.31Dalam kenyataan kehidupanbermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dengan wujud kebudayaan yang lain. Wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia.32

Kluckhohn mendefinisikan budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, eksplisit dan implisit, dan pola tingkah laku itu diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok-kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia. Inti utama budaya terdiri dari ide-ide tradisional, terutama nilai-nilai yang melekatnya.33

Koentjaraningrat, dengan mengacu juga pada pendapat Kluckhohn, menggolongkan unsur-unsur pokok yang ada pada tiap kebudayaan dunia

31

Idianto Muin, Sosiologi Kurikulum 2013, (Jakarta: Penerbi Erlangga, 2013) Cet-17, h. 136.

32

Indianto Muin, Sosiologi SMA/MA untuk kelas X KTSP 2006, h. 135.

33

Abu Bakar M. Luddin, Dasar-Dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktik, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), h. 102.

(42)

32

adalah sebagai berikut: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian. 34 Kebudayaan terbentuk karena setiap manusia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang membutuhkan pemecahan dan penyelesaian. Dalam rangka berjuang mengatasi persoalan hidup manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga melakukan berbagai cara untuk memenuhinya. Hal-hal yang dilakukan manusia inilah yang disebut ‘kebudayaan’. Kebudyaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa disebut sebagai alat atau cara untuk hidup, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.

Tiap-tiap benda kebudayaan atau seni adalah pencerminan cara berfikir, merasa, dan cipta dari masyarakat pendukungnya, dan dengan demikian peninggalan-peninggalan di suatu daerah juga merupakan pencerminan cara merasa, cara berfikir, dan cara mencipta bangsa Indonesia pada zaman permulaan Islam hingga saat ini.

B. KedudukanBulanSya’ban (Nis}fuSya’ban) dalam Dunia Islam

Nama sya’ban adalah salah satu nama bulan dari 12 bulan Arab lainnya yaitu satu bulan sebelum bulan ramadhan. Sedangkan yang dimaksud nis}fu (pertengahan) sya’ban yaitu tanggal 15 bulan sya’ban, sedangkan malam nis}fu sya’ban yaitu mulai waktu maghrib pada tanggal 14 sya’ban. Sya’ban adalah istilah bahasa Arab yang berasal dari

34

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2002),h. 180.

(43)

33

kata syi’ab yang artinya jalan di atas gunung, banyak umat Islam kemudian memanfaatkan bulan sya’ban sebagai waktu untuk menemukan banyak jalan, demi mencapai kebaikan.35

Menurut Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i menukilkan ucapan Ibnu Duraid bahwa bulan ini dinamakan dengan “sya’ban” (berpencar) karena berpencarnya orang-orang Arab pagan (para penyembah berhala) dahulu, yaitu mereka berpencar dan berpisah pada bulan ini untuk mencari air. Dan ada yang mengatakan karena pada bulan tersebut orang-orang Arab berpencar dalam penyerangan dan penyerbuan.36 Ada pula yang mengatakan “sya’ban” juga berarti nampak atau lahir karena bulan ini nampak atau lahir diantara bulan ramadhan dan rajab.37

Bulan sya’ban adalah bulan yang berada persis sebelum bulan ramadhan, sehingga setiap umat Islam hendaknya mempersiapkan diri dengan memperbanyak ibadah, baik shalat sunat, membaca Al-Qur’an maupun puasa, untuk melatih diri agar dapat memanfaatkan bulan ramadhan dengan ibadah sebaik mungkin. Di dalam Islam telah dikenal adanya hari-hari, bulan-bulan yang di muliakan oleh Allah SWT, umpamanya hari jum’at, bulan ramadhan, bulan haji dan lain sebagainya. Bulan sya’ban adalah bulan yang cukup dikenal di kalangan kaum muslimin

35

Ade Priono, “Keistimewaan dan Do’a Bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan” dalam

https://adeapri89.wordpress.com/2011/06/07/keistimewaan-bulan-rajab-sya%E2%80%99ban-dan-ramadhan/ ( diakses pada 28 Januari 2016)

36

Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i, at-Taudhih (t.t:, t.p, t.th, juz 13) h. 445

37

Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi, “Amalan-amalan pada bulan Sya’ban”

dalamhttp://www.darussalaf.or.id/fiqih/amalan-amalan-pada-bulan-syaban/ diakses pada (28 Januari 2016)

(44)

34

karena banyak riwayat hadith yang mengemukakan pendapat tentang bulan sya’ban tersebut.

Jika masuk bulan rajab maka kita bisa berdo’a sebagai berikut sebagai harapan supaya kita bisa dipertemukan dengan bulan ramadhan.

نﺎﻀ ر ﺎﻨْﻐﱢ و نﺎ ْﻌﺷو ﺟر ﻰﻓ ﺎﻨ ْكرﺎ ﱠ ﮭﱠ ا

Artinya:

Ya Allah...berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban, serta perjumpakanlah kami dengan bulan ramadhan.38

Bulan sya’ban terletak di antara bulan rajab dan bulan ramadhan. Karena letaknya yang mendekati bulan ramadhan, bulan sya’ban memiliki berbagai hal yang dapat memperkuat keimanan. Dalam bulan sya’ban terdapat berbagai keutamaan yang menyangkut peningkatan kualitas kehidupan umat Islam. Umat Islam dapat mulai mempersiapkan diri menjemput datangnya bulan termulia dengan penuh suka cita dan pengharapan anugerah dari Allah SWT karena telah mulai merasakan suasana kemuliaan ramadhan baik sebagai individu maupun dalam lingkup kemasyarakatan.

Abu Bakar Al-Balkhi berkata:

Bulan rajab adalah bulan menanam, bulan sya’ban adalah bulan menyirami tanaman, dan bulan ramadhan adalah bulan memanen hasil tanaman. Bulan rajab itu bagaikan angin, bulan sya’ban itu bagaikan awan, dan bulan ramadhan itu bagaikan hujan. Barangsiapa tidak menanam benih

38

Dalam http://rumaysho.com/amalan/shahihkah-doa-qallahumma-baarik-laana-fii-rojab-q-1099 (23 Januari 2017)

(45)

35

amal shalih di bulan rajab dan tidak menyirami tanaman tersebut di bulan sya’ban, bagaimana mungkin ia akan memanen buah takwa di bulan ramadhan? Bersegera menuju ampunan Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya adalah hal yang harus segera kita lakukan sebelum bulan suci ramadhan benar-benar datang.39

Bulan sya’ban merupakan bulan latihan, pembinaan dan persiapan diri agar menjadi orang yang sukses beramal shalih di bulan ramadhan. Untuk mengisi bulan sya’ban dan sekaligus sebagai persiapan menyambut bulan suci ramadhan, Menurut Abu Bakar Al-Balkhi, bisa diambil manfaat dari penjelasan kalimat diatas, ada beberapa hal yang selayaknya dikerjakan oleh setiap muslim, di antaranya adalah:

1. Persiapan iman, meliputi:

Segera bertaubat dari semua dosa dengan menyesali dosa-dosa yang telah lalu, meninggalkan perbuatan dosa tersebut saat ini juga, dan bertekad bulat untuk tidak akan mengulanginya kembali pada masa yang akan datang.

Memperbanyak doa agar diberi umur panjang sehingga bisa menjumpai bulan ramadhan.

Memperbanyak puasa sunnah di bulan sya’ban agar terbiasa secara jasmani dan rohani. Ada beberapa cara puasa sunah yang dianjurkan

39

See more at: https://www.arrahmah.com/read/2014/05/30/14083-syaban-ala-rasulullah-amalan-sunah-dan-tarbiyah-imaniyah-di-bulan-syaban.html#sthash.GiNLLkDq.dpuf

https://www.arrahmah.com/read/2014/05/30/14083-syaban-ala-rasulullah-amalan-sunah-dan-tarbiyah-imaniyah-di-bulan-syaban.html (17 Januari 2017)

(46)

36

di bulan sya’ban, yaitu: puasa hari senin-kamis setiap pekan ditambah puasa ayyamul bidh (tanggal 13,14 dan 15 sya’ban), atau puasa daud, atau mengganti puasa yang belum terlaksana dan puasa lebih bayak dari itu dari tanggal 1-28 sya’ban.

Mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an dengan cara membaca lebih dari satu juz per hari, ditambah membaca buku-buku tafsir dan melakukan tadabbur Al-Qur’an.

Meresapi kelezatan shalat malam dengan melakukan minimal dua rakaat tahajud dan satu rekaat witir di akhir malam.

Meresapi kelezatan dzikir dengan menjaga dzikir setelah shalat, dzikir pagi dan petang, dan dzikir-dzikir rutin lainnya.

2. Persiapan mental, diantaranya menyiapkan tekad yang kuat dan sungguh-sungguh untuk:

Membuka lembaran hidup baru dengan Allah SWT, sebuah lembaran putih yang penuh dengan amal ketaatan dan berisi sedikit amal-amal keburukan

Membuat hari-hari kita di bulan ramadhan tidak seperti hari-hari kebiasaan kita di bulan lain yang penuh dengan kelalaian dan kemaksiatan

(47)

37

untuk mendapatkan shaf awal, menunggu kedatangan imam dengan shalat sunnah dan niat i’tikaf, dan seterusnya.

Membersihkan puasa dari hal-hal yang merusak pahalanya, seperti bertengkar, sendau gurau dan perbuatan-perbuatan iseng yang sekedar untuk mengisi waktu tanpa membawa manfaat.

Menjaga dan membiasakan sikap lapang dada dan pemaaf

Beramal shalih di bulan ramadhan dan memulai banyak niat dari bulan sya’ban, seperti; niat bertaubat, niat membuka lembaran hidup baru dengan Allah, niat memperbaiki akhlak, niat berpuasa ikhlas karena Allah semata, niat mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari sekali, niat shalat tarawih dan witir, niat memperbanyak amalan sunah, niat mencari ilmu, niat dakwah, niat membantu menolong dan menyantuni sesama muslim yang membutuhkan, niat memperjuangkan agama Allah, niat umrah, niat jihad dengan harta, niat I’tikaf, dan seterusnya.

3. Persiapan jihad melawan hawa nafsu

Mengekang hawa nafsu dari kebiasaan-kebiasaan buruk dan keinginan hidup mewah, boros dan kikir.

(48)

38

Mencegah hawa nafsu dari keinginan untuk melampiaskan kemarahan, kesombongan, penyimpangan, kemaksiatan dan kezaliman.

Membiasakan diri untuk hidup sederhana, ulet, sabar, dan berusaha sanggup memikul beban-beban dakwah dan jihad di jalan Allah SWT. Melakukan muhasabah (introspeksi) harian dengan membandingkan antara program-program persiapan di atas dan tingkat keberhasilan pelaksanaannya.

4. Persiapan keluarga, meliputi:

Menyiapkan diri dan keluarga bagi kepala keluarga (anak-anak dan istri untuk menyambut kedatangan ramadhan dengan mengenalkan kepada mereka persiapan-persiapan yang telah disebutkan di atas). Membiasakan mereka untuk menjaga shalat lima waktu, shalat sunnah rawatib, shalat dhuha, shalat malam (tahajud dan witir), dan membaca Al-Qur’an.

Memberikan taushiyah atau kultum harian jika memungkinkan. Meminimalkan hal-hal yang melalaikan mereka dari amal shalih di bulan sya’ban dan ramadhan yang tidak membawa manfaat di akhirat.

Menyisihkan sebagian pendapatan untuk sedekah di bulan ini dan bulan ramadhan.40

40

https://www.arrahmah.com/read/2014/05/30/14083-syaban-ala-rasulullah-amalan-sunah-dan-tarbiyah-imaniyah-di-bulan-syaban.html (12 Januari 2017)

(49)

39

Bulan sya’ban adalah bulan yang penuh kebaikan, sebab setelah bulan sya’ban merupakan bulan ramadhan (dalam kepercayaan masyarakat Muslim bulan ramadhan adalah bulan yang penuh berkah). Mengenai bulan sya’ban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﺴﱃِﺐ ُلﺎﺴﺸﺴﺸﻷﺒ ِ ِ ُﺴﺸﺮُـ ٌﺮﺸﻬﺴ ﺴﻮُﺴو ﺴنﺎﺴﻀﺴﺴﺜﺴو ﺳ ﺴ ﺴﺜ ﺴﺸﲔﺴـ ُﺸﺴ ُسﺎ ﺒ ُ ُﺸﻐﺴـ ٌﺮﺸﻬﺴ ﺴ ِﺴﺛ

ٌِﺋﺎﺴ ﺎﺴﺴأﺴو ِﺴﺴ ﺴﺴﺸﺮُـ ﺸنﺴأ ُِﺄﺴ ﺴﲔِﺴﺎﺴﺸﺒ ﱢبﺴﺜ

Artinya:

Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.41 (HR. An Nasa’i no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Karena bulan sya’ban juga amat dekat dengan bulan ramadhan, sehingga bagi yang masih memiliki utang puasa, maka ia punya kewajiban untuk segera melunasinya. Jangan sampai ditunda kelewat bulan ramadhan berikutnya.Amalan yang disunnahkan di bulan sya’ban adalah banyak-banyak berpuasa, apalagi untuk yang masih banyak-banyak hutang di bulan ramadhan tahun lalu.

41

Ah}mad bin Shu’aib Abu> ‘Abd Al-Rah}ma>n Al-Nasa>i>, Al-Mujtaba> min Al-Sunan, (H{alb: Maktab Al-Mat}bu>’a>t Al-Isla>miyyah, 1986), cet. 2, Jil. 4, h. 201.

(50)

Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.42(HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156).

Menurut pendapat Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi. Hadits yang membicarakan tentang keutamaan malam nis}fu sya’ban menuai kritikan dari para ulama. Ada ulama yang menghasankannya dan ada yang mendhoifkannya.

Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i mengatakan bahwa: agar jangan sampai orang menyangka bahwasanya puasa pada bulan sya’ban tersebut hukumnya adalah wajib. Namun yang perlu kita ingat dalam hal ini adalah tidak boleh mengkhususkan untuk berpuasa pada hari-hari tertentu di bulan sya’ban apakah di awal bulan, pertengahan bulan (nis}fu sya’ban) atau akhir bulan, dikarenakan Rasulullah tidak pernah mengkhususkannya, memang Rasulullah SAW sendiri rajin berpuasa.43

42

Muh}ammad bin Isma>’i>l bin Ibra>hi>m bin Al-Mughi>rah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukha>ri>y, Al-Ja>mi’ Al-Musnad Al-S{ah}i>h}Al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lullah SAW Wa Sunanuhu> Wa Ayya>muhu>, (t.tmp, Da>r T{auq Al-Naja>h, 1422), Jil. 3, hal. 38.

43

Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i ,at-Taudhih, (t.t:t.p, t. th, juz 13), h. 443

(51)

41

Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menguraikan hikmah dari banyaknya puasa Rasulullah pada bulan sya’ban, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Ada yang mengatakan karena Rasulullah SAW. sering melakukan safar (bepergian) atau keperluan lainnya sehingga terhalang dari melakukan puasa sunnah 3 hari tiap bulannya, maka beliau menggabungkan jumlah puasa sunnah 3 hari tiap bulan yang ditinggalkan dan ditunaikannya pada bulan sya’ban.

2. Karena dalam rangka mengagungkan bulan ramadhan.

3. Istri-istri beliau mengqadha (membayar) puasa yang ditinggalkan pada bulan ramadhan sebelumnya pada bulan sya’ban maka beliau pun ikut menemani puasa bersama mereka.

4. Karena bulan sya’ban adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia. Padahal dalam bulan tersebut terdapat suatu keutamaan yaitu amalan-amalan yang dilakukan pada bulan tersebut akan diangkat kepada Allah, dan Rasulullah ingin agar amalannya diangkat dalam keadaan sedang berpuasa.44

Di antara yang beliau maksud adalah hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, hadits inilah yang masih dikritisi para ulama:

ﺸوﺴأ ﺳكِﺮﺸ ُِ ِﺐ ِِﺸﺴﺧ ِ ِﺴِﳉ ُﺮِﺸﻐﺴـﺴـ ﺴنﺎﺴﺸﺴ ﺸ ِ ِ ﺸ ﱢﺒ ِﺔﺴﺸـﺴ ِﰱ ُِﻄﺴﺴ ﺴ ﺒ نِﺐ

ﺳ ِ ﺎﺴ ُ

44

Al-Imam asy-Syaukani ,Nailul Authar, (t.t: t.p, t.th, juz 4) h. 331

(52)

42

Artinya:

Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam nishfu sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.45 (HR. Ibnu Majah no. 1390).

Mengenai shalat malam di malam nis}fu sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi saw dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in dalam Lathoif Al Ma’arif, halaman 248 para ulama negeri Syam menghidupkan malam nis}fu sya’ban dengan shalat.46

Menurut Said Yai Ardiansyah, amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW. dan para as-salafush-shalih pada bulan sya’ban yaitu: 1. Memperbanyak puasa, 2. Membaca Al-Qur’a>n, 3. Mengerjakan amalan-amalan shalih, 4. Menjauhi perbuatan syirik dan permusuhan di antara kaum muslimin dan 5. Amalan atau perbuatan yang mempunyai dampak positif guna mempersiapkan diri menyongsong bulan suci ramadhan.47

Ibadah dan berdo’a pada malam nis}fu sya’ban walau pun bermacam-macam tapi makna dan intinya sama yakni memohon kepada Allah SWTuntuk kebaikan dan kebahagiaan didunia dan akhirat. Ada yang shalat taubah, sholat hajat dan sholat sunnah lainnya. Jika seorang hamba Allah bertawassul kepada-Nya sungguhlah bahwa tawassul yang dilakukannya itu adalah amalan shalih yang semata-mata diniatkan untuk dan karena Allah SWT.

45

Muh}ammad bin Yazi>d Abu> ‘Abdulla>h Al-Quzwi>ni>, Sunan Ibnu Ma>jah, (Beirut: Da>r Al-Fikr, t.th), jil. 1, hal. 445.

46

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, ‘Amalan Keliru di Bulan Sya’ban’

dalamhttp://rumaysho.com/1851-amalan-keliru-di-bulan-syaban.html-Jul 08, 2011 (diakses 21 Januari 2017).

47

Said Yai Ardiansyah, “Amalan-Amalan pada Bulan Sya’ban”, dalam Artikel Muslim.Or.id diakses pada (28 Januari 2016).

(53)

43

Cara ibadah lainnya yaitu berdo’a dengan tawassul membaca surat ya>sin pada malam nis}fu sya’ban, setiap setelah baca ya>sin sekali langsung disambung dengan do’a, dan hal yang sama ini diulangi sampai tiga kali. Bacaan pertama, dengan niat agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT, bacaan yang kedua, dengan niat agar Allah SWT menjauhkan dari berbagai kesusahan dan bacaan yang ketiga, dengan niat agar Allah SWT menjauhkan dari semua kejelekan yang ada di dunia fana ini, atau do’a-do’a baik lainnya sesuai dengan keinginan dari manusia yang bersangkutan. Ini semua tidak lain merupakan tawassul kepada Allah SWT dengan ayat-ayatkitab suci-Nya, dengan firman-Nya dan dengan kesucian sifat-sifat-Nya. Apabila bertawassul dengan amal kebaikan dibolehkan, secara logika apalagi tawassul dengan firman Allah SWT yaitu membaca surah ya>sin sebelum berdoa kepada Allah SWT, insha Allah cukup besar lagi kemungkinan harapan dan do’a kita dikabulkan oleh Allah SWT.

C. TradisiNis}fu Sya’ban Pada Masyarakat Jawa

Tradisi dan budaya dalam Islam Jawa menjadi sangat menentukan kelangsungan syiar Islam, ketika tradisi dan budaya itu kemudian menyatu dengan esensi ajaran Islam. Inilah hubungan sinergi yang terjadi antara Islam dan Jawa, dan kemudian membentuk gugusan budaya Islam Jawa.48Manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, sebagaimana yang sering diungkapkan bahwa manusia merupakan kebudayaan. Hanya semua tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan

48

Muhammad Solikin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 14.

(54)

44

merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian persentasenya sangat kecil. Kebudayaan Islam adalah hasil akal, budi, cipta atau karya, rasa, karsa manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai tauhid.49Islam sebagai agama sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang.

Dalam perkembangannya kebudayaan perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani dan setan, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Disini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau berperadaban Islam.50

Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar. Terdapat beberapa proses belajar kebudayaan yaitu proses sosialisasi (suatu proses pengenalan—pembentukan sikap atau perilaku seseorang anak atau individu sesuai dengan perilaku nilai dan norma-norma dalam kelompok, keluarga atau masyarakat), internalisasi (pendalaman; penghayatan; peresapan), dan enkulturasi (penyerapan kebudayaan; proses dimana orang secara sadar maupun tidak mempelajari seluruh kebudayaan maasyarakat).51Selanjutnya hubungan antara manusia dan kebudayaan juga dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan, yaitu:

1). sebagai penganut kebudayaan.

49

Sidi Ghazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka Antara, 1998), h. 76.

50

Ahmad Wahyudin, (dkk), Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta: Grafindo, 2009), h.119.

51

Pius A. Partanto (dk), Kamus Ilmiah Populer, h. 151-152, 267, dan 718.

(55)

45

2). pembawa kebudayaan. 3). manipulator kebudayaan. 4). dan pencipta kebudayaan.52

Pada hakikatnya budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan, dan dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial kemasyarakatan. Pelaksanaan nilai-nilai budaya merupakan manifestasi (pengumuman; pembuktian; pernyataan; penjelmaan; perwujudan), dan legitimasi (pembenaran; pengakuan menurut hukum ‘perundang-undangn yang berlaku); hak kekuasaan; bukti sah jati diri seseorang) masyarakat terhadap budaya. Eksistensi53(kebenaran; wujud ‘yang tampak’; adanya; sesuatu yang membedakan antara suatu benda dengan benda lain) sesuatu yang membedakan antara suatu yang membeda budaya dan keragaman nilai-nilai luhur kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan sarana dalam membangun karakter warga negara, baik yang berhubungan dengan karakter privat maupun karakter publik.54

Menurut Geertz (1992:5) kebudayaan adalah “pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan

52

Idianto Muin, Sosiologi Kurikulum2013, h. 138.

53

Pius A. Partanto (dk), Kamus Ilmiah Populer, h. 133, 404, 435.

54

Rasid Yunus, Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris Tentang Huyula, (Yogyakarta: Deepublish, 2014, Cet-1), h.1-2.

(56)

46

mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan”. Geertz menekankan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang dapat mengembangkan sikap mereka terhadap kehidupan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses komunikasi dan belajar agar generasi yang diwariskan memiliki karakter yang tangguh dalam menjalankan kehidupan.55

Budaya lokal yang tertuang dalam tradisi Islam lokal. Islam lokal bisa didefinisikan sebagai seperangkat teks tertulis, tradisi oral atau ritual yang kehadirannya tidak dikenal di daerah asal turunnya Islam (Saudi Arabia). Menurut Woodward, naskah-naskah atau tradisi mistik kejawen merupakan contoh paling jelas adanya Islam jenis ini serta merupakan implikasi logis sebagai hasil interaksi antara kebudayaan lokal dan received Islam. Signifikansi H{adi>th di Indonesia dan kenyataan bahwa sebagian elemen-elemen penting budaya Jawa berasal dari sumber-sumber historis pra-Islam merupakan bukti kuat adanya interaksi kebudayaan lokal dengan Islam universalis dan esensialis.

Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia para penyiar Islam mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh para wali di tanah Jawa, karena kehebatannya para wali dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga

55

Rasid Yunus, Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius), h.1-2.

Gambar

Tabel 3. A. 1
Tabel 3. A. 2
Tabel 3. A. 3
Gambar 3. A. 1
+7

Referensi

Dokumen terkait