TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PEMBIAYAAN MULTIJASA JANGKA PANJANG
DI BPRS JABAL NUR SURABAYA
SKRIPSI
Oleh :
Danang Sutantiyo NIM. C72213110
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya? Kedua, bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya?
Metode yang digunakan untuk menganalisa pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, maksudnya pembahasan dimulai dengan menjabarkan data-data dari lapangan tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya. Selanjutnya data tersebut dianalisis dari perspektif hukum Islam dengan pola pikir deduktif, yaitu meletakkan norma hukum Islam yang berkaitan dengan akad, ija>rah, mura>bah}ah, dan Fatwa DSN-MUI No: 44/DSNDSN-MUI/VIII/2004 ketentuan dari Pembiayaan Multijasa untuk menganalisis yang berkenaan dengan praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian, data yang terkumpul melalui editing, organizing dan analyzing
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, pertama, praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya tidak menggunakan akad ija>rah melainkan menggunakan akad mura>bah}ah. Penggunaan akad mura>bah}ah ini membuat jangka waktu pembayaran pelunasan lebih lama daripada dengan menggunakan akad ija>rah. Penerapan akad mura>bah}ah pada pembiayaan multijasa jangka panjang ini telah merubah inti objek transaksi pembiayaan multijasa yang seharusnya jasa menjadi barang. Kedua, Tinjauan hukum Islam terhadap praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya berkenaan dengan penggunaan akad mura>bah}ah jika dikaitkan dengan norma hukum Islam, maka akad mura>bah}ah pada pembiayaan multijasa jangka panjang ini boleh dilakukan karena adanya unsur tolong menolong dan kemaslahatan di dalam praktiknya, serta penggunaan akad mura>bah}ah untuk pembiayaan multijasa jangka panjang yang dilakukan oleh BPRS Jabal Nur Surabaya ini tidak menggunakan anjuran tentang ketentuan pembiayaan multijasa berdasarkan Fatwa DSN-MUI No: 44/DSN-MUI/VIII/2004 bahwa bank dapat melakukan dan diperbolehkan melakukan pembiayaan multijasa dengan menggunakan akad ija>rah.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM i
PERNYATAAN KEASLIAN ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
PENGESAHAN iv
MOTTO v
PERSEMBAHAN vi
ABSTRAK vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TRANSLITERASI xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah 5
C. Rumusan Masalah 6
D. Kajian Pustaka 6
E. Tujuan Penelitian 11
F. Kegunaan Penelitian 11
G. Definisi Operasional 12
H. Metode Penelitian 13
I. Sistematika Pembahasan 18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD, IJA>RAH
DAN MURA>BAH{AH 21
A. Akad 21
1. Definisi Akad 21
2. Unsur-unsur Akad 22
3. Rukun Akad 23
4. Syarat-syarat Akad 24
B. Ija>rah 29
1. Definisi Ija>rah 29
2. Landasan Hukum Ija>rah 31
3. Rukun Ija>rah 33
4. Syarat-Syarat Ija>rah 33
5. Berakhirnya Akad Ija>rah 39
6. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia Tentang Ija>rah 40
C. Mura>bah{ah 41
1. Definisi Mura>bah{ah 41
2. Landasan Hukum Mura>bah{ah 42
3. Rukun dan Syarat-syarat Mura>bah{ah 44 4. Penggunaan Akad Mura>bah{ah di Perbankan
Syariah 45
BAB III PRAKTIK PEMBIAYAAN MULTIJASA JANGKA
PANJANG DI BPRS JABAL NUR SURABAYA 47
A. Gambaran Singkat Tentang BPRS Jabal Nur
Surabaya 47
1. Sejarah Berdirinya 47
2. Tujuan BPRS 48
3. Visi dan Misi 48
4. Struktur Organisasi Kantor Pusat BPRS Jabal Nur
Surabaya 49
5. Job Description BPRS Jabal Nur Surabaya 50 6. Produk dan Aplikasi Akad pada BPRS Jabal Nur
Surabaya 54
B. Proses Pembiayaan di BPRS Jabal Nur Surabaya 58
1. Permohonan Pembiayaan 58
2. Syarat-syarat Calon Nasabah Pembiayaan 59
C. Praktik Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang 62 1. Latar Belakang Pembiayaan Multijasa 62 2. Penerapan Akad Mur>abah{ah pada Pembiayaan
Multijasa Jangka Panjang 62
3. Nasabah Yang Melakukan Pembiayaan Multijasa
Jangka Panjang 65
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBIAYAAN MULTIJASA JANGKA PANJANG DI BPRS JABAL NUR
SURABAYA
A. Praktik Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS
Jabal Nur Surabaya 68
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya 73
BAB V PENUTUP 78
A. Kesimpulan 78
B. Saran 79
DAFTAR PUSTAKA 80
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk yang lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat.1 Lembaga keuangan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, baik untuk menyimpan dana dalam bentuk deposito maupun
meminjam dana dalam bentuk kredit atau pembiayaan.2 Keberadaan bank di
Indonesia ada dua, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Bank konvensional
menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional. Sedangkan Bank Syariah
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.3
Bukti semakin kuatnya struktur kelembagaan keuangan syariah atau bank
syariah di Indonesia, yaitu tumbuh dan berkembangnya badan usaha lain yang
menerapkan prinsip syariah. Salah satunya adalah BPRS (Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah). Adapun yang dimaksud dengan BPRS adalah Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah, terutama
bagi hasil dan dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.4 BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
1 Pasal 1 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
2 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta:Kencana, 2011),30.
3Pasal 1 ayat (4 dan 7) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
4
2
berdasarkan prinsip Syariah dengan izin Direksi Bank Indonesia. Suatu BPRS
bisa berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau perusahaan daerah.5
Dengan hadirnya BPRS di tengah masyarakat. Masyarakat memiliki
banyak pilihan untuk menyimpan dananya atau meminjam dana untuk
menunjang kegiatan usahanya serta pemenuhan kebutuhan masyarakat itu
sendiri. Ada beragam kegiatan usaha yang bisa dilakukan suatu BPRS, yaitu:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, meliputi
(a) tabungan berdasarkan prinsip wadi>’ah atau mud{a>rabah, (b)
deposito berjangka berdasarkan prinsip mud{a>rabah, dan (c) bentuk
lain berdasarkan berdasarkan prinsip wadi>’ah atau mud{a>rabah.
2. Melakukan penyaluran dana melalui (1) transaksi jual beli
berdasarkan prinsip mura>bah{ah, istishna’, ija>rah, salam, jual beli
lainnya, (b) pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mud{a>rabah,
musha>rakah, dan6 bagi hasil lainnya, dan (c) pembiayaan lainnya
berdasarkan prinsip rahn dan qard{.
3. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang
disetujui Dewan Syariah Nasional.7
Saat ini tingkat kebutuhan masyarakat semakin hari semakin bertambah.
Hal ini berpengaruh ketika pendapatan masyarakat kurang mencukupi maka
semakin berat beban yang harus ditanggung masyarakat. Selain itu adanya
biaya-biaya yang tidak terduga juga mempengaruhi kondisi keuangan mereka. Keadaan
3
seperti inilah yang juga mempengaruhi pemenuhan kebutuhan masyarakat
khususnya dalam pemenuhan biaya pendidikan.
Dari sinilah peranan Bank Syariah khususnya BPRS menawarkan untuk
mengatasi masalah masyarakat yang membutuhkan biaya dalam biaya
pendidikan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah al-ma>idah ayat 2:
.
“Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan
pelanggaran.”8
Sistem yang diterapkan dalam BPRS adalah bukan sistem bunga karena
hal inilah masyarakatpun tertarik untuk melakukan pembiayaan di BPRS. Saat
ini banyak Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik bank ataupun non bank
berdiri di Indonesia yang saling bersaing dalam membuat produk dan juga
memberikan layanan kepada masyarakat. Banyak produk yang telah diciptakan
antara lain produk pembiayaan, penghimpunan dana ataupun produk jasa. Semua
produk tersebut ditujukan untuk melayani masyarakat.
Penyaluran dana yang dilakukan bank syariah khususnya BPRS dikenal
dengan pembiayaan. Pembiayaan menggunakan berbagai macam akad, antara
lain akad jual beli mura>bah}ah, akad kerja sama musha>rakah dan akad ija>rah untuk
pembiayaan multijasa. Salah satu pembiayaan yang dilakukan oleh BPRS Jabal
Nur Surabaya adalah pembiayaan multijasa merupakan fasilitas pembiayaan yang
diberikan Bank kepada nasabah untuk tujuan membiayai kebutuhan nasabah
8Kementerian Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (al-Madinah al-
4
dalam rangka memperoleh manfaat atas suatu jasa yang tidak bertentangan
dengan syariah seperti biaya pendidikan, kesehatan, dan jasa lainnya. Ketentuan
tentang pembiayaan multijasa tersebut mulai berlaku setelah terbentuknya
Undang-Undang tentang Perbankan Syariah dan juga fatwa yang dikeluarkan
oleh Dewan Syariah Nasional No: 44/DSN-MUI/VII/2004 Tentang Pembiayaan
Multijasa serta PBI No. 10/16/PBI/2008.
Setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik Bank ataupun non Bank
berbeda-beda dalam menfasilitasi pembiayaan untuk keperluan pendidikan.
Sebagaimana ditetapkan di BPRS Jabal Nur Surabaya fasilitas yang ditawarkan
hampir sama dengan lembaga keuangan syariah lainnya namun dalam praktiknya
akad yang digunakan berbeda. PT. BPRS Jabal Nur Surabaya dalam praktiknya
menggunakan akad mura>bah}ah untuk pemenuhan pembiayaan multijasa.
Menurut teori yang ada, Pembiayaan yang menggunakan akad mura>bah}ah
adalah pembiayaan guna membelikan nasabah barang yang mereka inginkan,
dengan akad jual beli dan keuntungan yang disepakati. Sedangkan pembiayaan
multijasa adalah pembiayaan guna membiayai objek berupa jasa, dengan
menggunakan akad ija>rah. Salah satu alasan bagi pihak BPRS Jabal Nur
melakukan pembiayaan multijasa dengan akad mura>bah}ah, yaitu membuat jangka
waktu angsuran pembiayaan menjadi lebih lama dibandingkan menggunakan
akad ija>rah. Oleh karena itu, pihak BPRS Jabal Nur menamakan pembiayaan
5
menggunakan akad mura>bah}ah pada pembiayaan multijasa jangka panjang untuk
kebutuhan membayar jasa mereka.9
Berdasarkan adanya permasalahan diatas, hal ini menjadi menarik untuk
diteliti dan akan dibahas pada bab selanjutnya tentang bagaimana hukum Islam
memandang adanya penggunaan akad mura>bah}ah pada pembiayaan multijasa
jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya. Oleh karena itu, disusunlah
penelitian ini dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembiayaan
Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas terdapat beberapa masalah
dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasikan
sebagai berikut:
1. Produk Pembiayaan BPRS Jabal Nur Surabaya.
2. Faktor yang mempengaruhi pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS
Jabal Nur Surabaya.
3. Akad yang digunakan dalam pembiayaan multijasa di BPRS Jabal Nur
Surabaya.
4. Pandangan nasabah terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS
Jabal Nur Surabaya.
5. Praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.
6
6. Tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di
BPRS Jabal Nur Surabaya.
Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, perlu dijelaskan batasan dan
ruang lingkup persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini agar terfokus dan
terarah. Maka penulis akan membatasi masalah yang akan dikaji sebagai berikut:
1. Praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di
BPRS Jabal Nur Surabaya.
C. Rumusan Masalah
Melalui batasan masalah tersebut maka peneliti merumuskan masalah
yang akan peneliti bahas dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur
Surabaya?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa jangka
panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada intinya adalah untuk mendapatkan gambaran
hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya10 menuntun peneliti dalam menuju arah dan
7
pembentukan teoritis dan mengklarifikasi ide penelitian yang akan dilakukan.11
Dengan tujuan agar tidak ada duplikasi/plagiasi dalam penelitian yang akan
dilakukan.
Adapun penelitian yang telah dilakukan antara lain :
1. Skripsi yang disusun oleh Yuyun Setia Wahyuni dengan judul: “Analisis
Hukum Islam terhadap Pembiayaan Talangan Haji Dengan Menggunakan
Akad Ija>rah Multijasa di BNI Syariah Cabang Surabaya”. Prodi Hukum
Ekonomi Syariah Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
2010. Skripsi ini menyatakan bahwa aplikasi pembiayaan talangan haji di
BNI Syariah Cabang Surabaya menggunakan akad ija>rah multijasa.
Objeknya adalah nomor seat porsi haji. Dimana nasabah membuat
permohonan pembiayaan talangan haji dan mengikuti
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Dalam prespektif hukum Islam, akad
pembiayaan talangan haji di BM Syariah Cabang Surabaya tidak sesuai
dengan hukum Islam. Letak ketidaksesuaiannya adalah akad yang digunakan
dalam pembiayaan talangan haji karena akad yang digunakan dalam
pembiyaan talangan haji ini semestinya adalah akad hutang piutang (qard)
dan bukan akad ija>rah namun pada praktiknya bank menggunakan akad
ija>rah multijasa. Fatwa MUI menyebutkan bahwa apabila diperlukan,
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat membantu menalangi pembayaran
BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip qard sesuai dengan Fatwa
DSN-MUI nomor 19/DSN-DSN-MUI/1V/2001. Apalagi ada ujrah Yang dibebankan
11 Restu Kartiko Widi, Asas Metodologi Penelitian-Sebuah Pengenalan dan Penuntun Langkah
8
kepada nasabah yang dimana ujrah tersebut didasarkan pada jumlah talangan
yang telah diberikan oleh bank kepada nasabah. Ujrah tersebut bisa
dikategorikan riba karena adanya tambahan prosentase dari ujrah jika
nasabah belum mampu membayar angsuran talangan pada waktu yang telah
ditentukan.12
2. Skripsi yang disusun oleh Moch. Rifai dengan judul: “Studi Analisis Hukum
Islam terhadap Pembiayaan Multijasa di BPRS Al-Hidayah Pasuruan”. Prodi
Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Ampel
Surabaya 2011. Skripsi ini menyatakan bahwa aplikasi pembiayaan multijasa
di BPRS Al-Hidayah Pasuruan menggunakan akad ija>rah dalam arti sewa
menyewa dan pembiayaan multijasa ini lebih ditekankan kepada nasabah
tetap BPRS Al-Hidayah. Namun dalam pelaksanaannya adanya
ketidaksesuaian dengan ketentuan Fatwa DSN-MUI No. 44/DSN
MUI/VII/2004 tentang pembiayaan multijasa, baik dari segi objek maupun
akad kepemilikan barang pada akhirnya, apakah barang tersebut diperjual
belikan ataukah dihibahkan. Dalam kaidah hukum Islamnya mengenai
pelaksanaan multijasa dengan menggunakan akad ija>rah di BPRS Al Hidayah
Beji Pasuruan adalah kurang tepat. Sebab pihak musta'jir (penerima upah,
yakni pihak BPRS Al-Hidayah) tidak melakukan pekerjaan tertentu atas
12 Yuyun Setia Wahyuni, “Analisis Hukum Islam terhadap Pembiayaan Talangan Haji Dengan
9
permintaan mu'ajjir sehingga pihak BPRS Al-Hidayah tidak berhak (pemberi
upah, nasabah) mendapatkan upah (ujra>h/fee).13
3. Tugas Akhir yang disusun oleh Fitri Handayani dengan judul: “Analisis
Pembiayaan Ija>rah Multijasa pada BPRS Artha Amanat Ummat Unggaran”.
Prodi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam STAIN
Salatiga 2014. Tugas Akhir ini menyatakan bahwa pembiayaan ijarah
multijasa di BPRS Artha Amanah Ummat, akad perjanjian yang digunakan
adalah akad ija>rah yang mana pihak bank dapat memperoleh ujrah atau
imbalan atas manfaat jasa yang diberikan, serta menggunakan akad
wakalahsebagaiakad pelengkap. Pada prakteknya untuk pembiayaan ija>rah
multijasa di BPRS Artha Amanah Ummat sudah sesuai dengan syariah yang
mengacu kepada fatwa yang ditetapkan oleh MUI No. 09 tahun 2000 tentang
ijarah dan fatwa MUI No. 44 tahun 2004 tentang pembiayaan multijasa.
Pembiayaan ini menggunakan ija>rah sebagai akadnya, yang mana pada fatwa
DSN MUI tentang pembiayaan multijasa, hukumnya jaiz atau boleh
menggunakan akad ija>rah.14
4. Skripsi yang disusun oleh Tuthi’ul Muthi’ah dengan judul: “Tinjauan
Hukum Islam terhadap penetapan ujrah dalam pembiayaan multijasa akad
Ija>rah di Koperasi BMT MUDA Jawa Timur Kantor Cabang Bungah
Gresik”. Prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah & Hukum UIN
Sunan Ampel Surabaya 2016. Skripsi ini menyatakan bahwa penetapan
13Moch. Rifai, “
Studi Analisis Hukum Islam terhadap Pembiayaan Multijasa di BPRS Al-Hidayah Pasuruan”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011).
14 Fitri Handayani,“Analisis Pembiayaan Ijarah Multijasa pada BPRS Artha Amanat Ummat
10
ujrah dalam pembiayaan multijasa akad ijarah di Koperasi BMT MUDA
JAWA TIMUR Kantor Cabang Bungah Gresik yang penetapannya
berdasarkan prosentase persen mengandung ketidak jelasan atas manfaat
jasa karena pada prinsipnya ujrah dalam pembiayaan ini dibayarkan karena
suatu layanan bantuan dana dalampembiayaan bukan karena pekerjaan
(manfaat jasa), Sedangkan dalam Islam ujrah yang dibayarkan atas
manfaat jasa itu harus jelas. Selain itu penentapan ujrah yang
ditetapkan berdasarkan prosentase persen ini tidak sesuai dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional No.44/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Pembiayaan
Multijasa, karena penetapan ujrah ditentukan dalam bentuk prosentase
persen, sedangkan dalam fatwa tersebut penentapan ujrah harus
berdasarkan nominal. penetapan ujrah dengan prosentase persen pada
akhirnya menjadikan besar atau rendahnya ujrah ditentukan atau tergantung
pada jumlah nominal yang dipinjam.15
Berdasarkan pemaparan beberapa skripsi diatas telah jelas bahwa
penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian terdahulu. Dalam
penelitian yang akan ditulis ini lebih fokus pada pembiayaan multijasa jangka
panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.
15Tuthi’ul Muthi’ah, “
11
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang dirumuskan, penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk:
1. Untuk mengetahui praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS
Jabal Nur Surabaya.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa
jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.
F. Kegunaan Penelitian
Pengkajian dari permasalahan ini diharapkan mempunyai nilai tambah
baik bagi pembaca terlebih lagi bagi penulis sendiri, baik secara teoritis maupun
secara praktis. Adapun kegunaan dan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih informasi dan
perbendaharaan khazanah keilmuan dalam bermuamalah, khususnya
tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa
jangka panjang BPRS Jabal Nur Surabaya.
b. Menambah perbendaharaan karya ilmiah untuk pengembangan hukum
Islam dalam bidang Muamalah.
2. Praktis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan perbandingan
bagi peneliti berikutnya yang memiliki minat yang pada tema yang sama
12
kepada peneliti yang berkaitan pelaksanaan pembiayaan yang tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
b. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat dan BPRS dalam
kegiatan pembiayaan.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari munculnya salah pengertian terhadap judul penelitian
skripsi ini, yaitu “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka
Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya”. Maka perlu dijelaskan beberapa istilah
yang berkenaan dengan judul di atas.
Hukum Islam : Seperangkat aturan yang bersumber dari
al-Qur’an, Hadis dan pendapat ahli hukum Islam
mengenai akad, ija>rah, mura<bah}ah dan fatwa
Dewan Syariah Nasional No:
44/DSN-MUI/VII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa.
Pembiayaan Multijasa : Pembiayaan yang dilakukan BPRS Jabal Nur
Surabaya yaitu pembiayaan kepada nasabah
dalam rangka memperoleh manfaat atas suatu
jasa dengan pemberian imbalan kepada pihak
Bank.
Jangka Panjang : Jangka waktu pelunasan pembiayaan yang
lebih lama dengan menggunakan akad
13
H. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan metode sebagai
berikut
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni penelitian
yang dilakukan dalam kontek lapangan yang benar-benar terjadi terhadap
praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di Kantor Pusat BPRS Jabal
Nur Surabaya di Jalan Raya Merr Pandugo 2A.16 Selanjutnya, untuk dapat
memberikan deskripsi yang baik, dibutuhkan serangkaian langkah yang
sistematis. Langkah-langkah tersebut terdiri atas: data yang dikumpulkan,
sumber data, teknik analisis data, dan sistematika pembahasan.
2. Data Yang Dikumpulkan
Berdasarkan rumusan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka data
yang akan dikumpulkan dalam periode penelitian selama 30 hari adalah
sebagai berikut:
a. Data tentang profil pembiayaan multijasa jangka panjang.
b. Data tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang.
c. Data nasabah BPRS Jabal Nur Surabaya.
3. Sumber Data
Data-data penelitian ini dapat diperoleh dari beberapa sumber data sebagai
berikut:
14
a. Sumber Primer, data yang didapatkan peneliti langsung dari objek yang
diteliti.17 Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini
adalah:
1. Data-data yang didapatkan peneliti dari BPRS Jabal Nur Surabaya
dan hasil wawancara dengan pihak BPRS yang mengetahui praktik
pembiayaan multijasa jangka panjang, yakni:
a. Oki Rahmawan Cahyadi, ST selaku Manajemen Operasional
b. Eny Rohimatul Fauziyah, SE selaku Kasie. Operasional
2. Data yang didapatkan dari hasil wawancara dengan nasabah yang
melakukan praktik pembiayaan multijasa jangka panjang, yakni:
a. Pak Tulus
b. Pak Prapto
c. Pak Syahrir
b. Sumber Sekunder, yaitu informasi yang telah dikumpulkan pihak lain.18
Dalam penelitian ini, merupakan data yang bersumber dari buku-buku dan
catatan-catatan atau dokumen tentang apa saja yang berhubungan dengan
masalah hukum Islam tentang praktik pembiayaan multijasa jangka
panjang :
1. Kitab suci Al-Qur’an
17 Soewadji Yusuf, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media,
2012), 147.
18 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian-Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT.
15
2. Terjemah Kitab Al-Qur’an, oleh Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an Kementrian Agama Republik
Indonesia, diketuai oleh Muhammad R.H.A. Soenarjo
3. Kitab Hadis :
a. Sunan Ibnu Majah, karya Ibnu Majah.
b. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
4. Terjemah Kitab Hadis :
a. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud, diterjemahkan oleh
Abd. Mufid Ihsan.
b. Bulughul Maram, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani diterjemahkan
Irfan Maulana Hakim.
5. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq
6. Fiqih Islami Wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily,
diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani.
7. Fiqh Muamalah, karya Nasrun Haroen.
8. Hukum Perjanjian Syariah, karya Syamsul Anwar.
9. Fiqh Muamalah, karya Rahmat Syafei.
10. Fiqh Muamalat, karya Ahmad Wardi Muslich.
4. Teknik Pengumpulan Data
Terdapat beberapa macam teknik pengumpulan data, salah satunya adalah
teknik dokumentasi, dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
16
a. Observasi, pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data
penelitian melalui pengamatan dan pengindraan.19 Teknik pengumpulan
data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan untuk mengamati dan
mendengar dalam rangka memahami hal-hal yang berkaitan dengan
ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan
dan perasaan.20 Teknik ini digunakan untuk mengamati dan mengetahui
secara langsung proses pengajuan pembiayaan oleh nasabah dalam praktik
pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.
b. Interview (wawancara), metode wawancara atau interview yaitu metode
ilmiah yang dalam pengumpulan datanya dengan jalan berbicara atau
berdialog langsung dengan sumber obyek penelitian.21 Wawancara
sebagai alat pengumpul data dengan jalan tanya jawab sepihak yang
dikerjakan dengan sistematis dan berlandasaskan pada tujuan penelitian.
Wawancara yang peneliti lakukan, yaitu dengan:
1) Pimpinan atau pihak yang bertanggung jawab terhadap praktik
pembiayaan multijasa jangka panjang.
2) Nasabah yang melakukan pembiayaan multijasa jangka panjang.
c. Dokumentasi
Dalam teknik dokumentasi, peneliti menyelidiki benda tertulis,
seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan dan
19 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (komunikasi, ekonomi, kebijakan public dan ilmu
social lainnya), (Jakarta: Kencana, 2011), 118.
20 M. Djuanidi dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta: ar-Ruz
Media, 2013), 165.
21 Lexy J.Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
17
nya.22 Dari hasil pengumpulan dokumentasi yang telah diperoleh peneliti
dapat memperoleh praktik tentang pembiayaan multijasa jangka panjang
di BPRS Jabal Nur Surabaya.
5. Teknik Pengelolahan Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penggalian terhadap sumber-sumber data
akan diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data-data yang diperoleh dengan
memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi
kesesuaian keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta
relevansinya dengan permasalahan.23 Teknik ini digunakan penulis untuk
memeriksa kelengkapan data-data yang sudah penulis dapatkan, dan akan
digunakan sebagai sumber-sumber studi dokumentasi.
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi
sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai
dengan rumusan masalah, serta mengelompokan data yang diperoleh.24
Dengan teknik ini diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran
tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur
Surabaya.
c. Analyzing, yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil
editing dan organizing data yang telah diperoleh dari sumber-sumber
22 Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 158.
18
penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya, sehingga
diperoleh kesimpulan.25
6. Teknik Analisis Data
Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif
analitis, maksudnya pembahasan dimulai dengan menjabarkan data-data dari
lapangan tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS
Jabal Nur Surabaya.
Kemudian untuk tinjauan hukum Islamnya menggunakan analisis
kualitatif dengan menggunakan pola pikir deduktif dengan meletakkan norma
hukum Islam yang berkaitan dengan akad, ija>rah, mura>bah}ah untuk
menganalisis berkenaan dengan praktik pembiayaan multijasa di BPRS Jabal
Nur Surabaya.
I. Sistematika Pembahasan
Hasil penelitian ini akan dituangkan dalam laporan berbentuk karya ilmiah
skripsi yang sistematika pembahasannya terdiri dari lima bab, sebagaimana
berikut :
Bab pertama memuat hal-hal yang berkenaan dengan rencana pelaksanaan
penelitian. Hal-hal tersebut dituangkan dalam beberapa sub bab yaitu: latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
19
metode penelitian dan sistematika pembahasan tentang pembiayaan multijasa
jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.
Dalam bab kedua ini berisi tinjauan umum tentang akad, ija>rah dan
mura>bah}ah menurut hukum yang merupakan pijakan dalam penulisan skripsi
dipilah menjadi tiga sub bab. Sub bab pertama berisi tentang pengertian akad,
unsur-unsur akad, rukun akad, syarat-syarat akad, batal dan berakhirnya akad.
Sub bab kedua berisi uraian tentang pengertian dan dasar hukum ija>rah, serta
rukun dan syarat dan berakhirnya akad ija>rah, fatwa-fatwa DSN-MUI tentang
ija>rah. Sub bab ketiga menyajikan uraian tentang pengertian dan dasar hukum
mura>bah}ah, rukun dan syarat, serta aplikasi akad mura>bah}ah di perbankan
syariah.
Bab ketiga menyajikan deskripsi hasil penelitian dengan tajuk
“Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya” deskripsi
dimulai dengan sub bab pertama yang memuat gambaran tentang BPRS Jabal
Nur Surabaya dari aspek sejarah singkat, tujuan, visi dan misi, struktur organisasi
job description, produk dan aplikasi akad. Sub bab kedua memuat proses
pembiayaan BPRS Jabal Nur Surabaya dari permohonan pembiayaan,
syarat-syarat calon nasabah pembiayaan, dan tata cara proses pembiayaan. Sub bab
ketiga memuat deskripsi tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di
BPRS Jabal Nur Surabaya.
Selanjutnya, pada bab keempat hasil praktik pembiayaan multijasa jangka
panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya yang telah dideskripsikan tersebut akan
20
Islam Terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur
Surabaya” ini dibagi uraian analisisnya dalam dua sub bab, yaitu sub bab tentang
“Praktik Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya”
dan “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di
BPRS Jabal Nur Surabaya”.
Sebagai penutup, pada bab kelima yang merupakan bagian akhir disajikan
kesimpulan dan saran kepada seluruh pihak yang berkaitan dengan hasil
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD, IJA>RAH DAN MURA>BAH}AH
A. Akad
1. Definisi Akad
Kata Akad berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung
atau menghubungkan.1 Menurut para ulama fiqh, kata akad didefinisikan sebagai
hubungan antara Ija>b dan qabu>l sesuai kehendak syariat yang menetapkan
adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Akad ini diwujudkan pertama,
dalam ija>b dan qabu>l. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya
akibat hukum pada objek perikatan.2
Ija>b adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang
diinginkan, sedang qabu>l adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimannya.
Ija>b dan qabu>l itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya sukarela
timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang
bersangkutan.3 Dari pengertian tersebut, akad terjadi antara dua pihak dengan
sukarela, dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbal balik.
Dalam istilah fikih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad
seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf,
1 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 68. 2 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), 71.
22
talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa,
wakalah, dan gadai. Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ija>b
(penyataan penawaran/pemindahan pemilikan) dan qabu>l (pernyataan
kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh sesuatu.4
Definisi-definisi tersebut mengisyaratkan bahwa, pertama, akad
merupakan keterkaitan atau pertemuan ija>b dan qabu>l yang berpengaruh
terhadap munculnya akibat hukum baru. Kedua, akan merupakan tindakan
hukum dari kedua belah pihak. Ketiga, dilihat dari tujuan dilangsungkannya
akad, ia bertujuan untuk melahirkan akibat hukum baru.5 Dalam Islam tidak
semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad,
terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syari’at Islam.6
2. Unsur-unsur Akad
a. Pertalian Ija>b dan qabu>l
Ija>b adalah pernyataan suatu kehendak oleh pihak pertama untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul> adalah pernyataan menerima
atau menyetujui kehendak tersebut oleh pihak kedua. Ija>b dan qabu>l ini
harus ada dalam melakukan suatu perikatan.
b. Dibenarkan oleh syarak.
4 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), 35.
5M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah,
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 33.
6Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5, (Jakarta : Gema Insani,
23
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan aturan syariat baik
dalam al-Qur’an maupun hadis. Pelaksanaan akad, objek akad, maupun
tujuan akad tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Karena jika
bertentangan, akan mengakibatkan akad tersebut tidak sah. Misalnya jual
beli dengan objek barang haram atau suatu perikatan yang mengandung riba.
c. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya.
Akad merupakan tindakan hukum (tas}arruf). Adanya akad memberikan
konsekuensi hak kewajiban yang mengikat bagi para pelakunya dan
menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan.7
3. Rukun Akad
Rukun adalah bagian-bagian yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu
itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuk. Rumah
misalnya terbentuk karena adanya unsur-unsur yang membentuknya yaitu
fondasi, tiang, atap, dan lantai. Menurut para ulama kontemporer, sebagaimana
yang dikemukakan al-Zarqa’, rukun yang membentuk akad ada empat, yaitu:
a. Para pihak yang berakad (al-‘a<qida>n),
b. Pernyataan kehendak para pihak (s}higatul-‘aqd),
c. Objek akad (mahallul-‘aqd), dan
d. Tujuan akad (maud}u>-‘aqd).8
7 Gemala Dewi et al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 53.
24
Bagi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad hanyalah Ija>b dan
qabu>l. Bagi ulama Hanafi, yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur
pokok yang membentuk akad. Sedangkan akad adalah pertemuan kehendak para
pihak dan kehendak itu diungkapkan melalui pernyataan kehendak yang berupa
ucapan atau bentuk ungkapan lain dari masing-masing pihak. Oleh karena itu
unsur pokok yang membentuk akad itu hanyalah pernyataan kehendak
masing-masing pihak berupa Ija>b dan qabu>l. Adapun para pihak dan objek akad adalah
suatu unsur luar, bukan merupakan esensi akad, sehingga tidak termasuk rukun
akad.
Namun ulama Hanafiyah mengakui bahwa para pihak dan objek harus ada
dalam pembentukan akad. Hanya saja pihak dan objek akad ini berada di luar
akad, sehingga tidak dinamakan rukun. Rukun hanyalah substansi-substansi
internal yang membentuk akad, yaitu Ija>b dan qabu>l saja. Para fukaha selain
ulama Hanafiyah dan al-Zarqa’ berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun,
yaitu orang yang berakad (‘a>qid), sesuatu yang diakadkan (ma‘qu>d ‘alaih), dan
s}ighat.9
4. Syarat-syarat Akad
Ada beberapa macam syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad, syarat
sah, syarat keabsahan akad, dan syarat berlakunya akibat hukum sebagai berikut:
25
a. Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyariatkan untuk
terjadinya akad secara syarak. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad
menjadi batal. Syarat ini terbagi dua, yaitu:
1. Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap akad.
2. Syarat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam
sebagian akad, syarat khusus ini juga disebut sebagai tambahan yang
harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya
saksi dalam pernikahan.10
b. Syarat Keabsahan Akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk
menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah
mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli,
yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur
kemudharatan, dan syarat-syarat jual beli rusak (fasid).11\
c. Syarat Berlakunya Akibat Hukum
Suatu akad dinyatakan sah adalah akad yang telah memenuhi rukun,
syarat terbentuknya, dan syarat keabsahannya. Akad yang sah dapat dibeda-
10 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), 35.
26
kan menjadi dua yaitu:
1) Akad mawqu>f, akad yang sah tetapi belum dapat dilaksanakan akibat
hukumnya karena belum memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.
2) Akad na>fidh, akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya
karena telah memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.
Supaya akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya, maka
akad sudah sah itu harus memenuhi dua syarat berlakunya akibat hukum,
yaitu:
1) Adanya kewenangan sempurna atas objek akad.
2) Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan.12
5. Batal dan Berakhirnya Akad
Suatu akad menjadi sah apabila rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut
dipenuhi, dan tidak sah apabila rukun dan syarat yang dimaksud tidak terpenuhi.
Akan tetapi, oleh karena syarat-syarat akad itu beragam jenisnya dan sejauh
mana rukun dan syarat dapat terpenuhi, maka kebatalan dan keabsahannya akad
itu dibedakan menjadi beberapa tingkatan menurut Madzab Hanafi yaitu dari
urutan akad yang paling tidak sah sampai dengan yang paling tinggi
keabsahannya yaitu:
27
a) Akad batil
Ahli-ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil secara singkat sebagai
akad yang secara syarak tidak sah pokok dan sifatnya. Yang dimaksud akad
batil yang pokoknya tidak memenuhi rukun dan syarat terbentuknya akad.
Akad batil tidak melahirkan hukum apapun.13
b) Akad fasid
Mayoritas ahli hukum Islam, Maliki, Syafi’i dan Hambali, tidak membedakan
antara akad batil dan akad fasid. Hal membuat hukum keduanya sama-sama
merupakan akad yang tidak ada wujudnya dan tidak sah, karena tidak
menimbulkan akibat hukum apapun. Menurut ahli-ahli hukum Hanafi, akad
fasid adalah akad yang menurut syara’ sah pokoknya, tetapi tidak sah
sifatnya. Yang dimaksud dengan pokok di sini adalah rukun-rukun dan
syarat-syarat terbentuknya akad, dan yang dimaksud dengan sifat adalah
syarat-syarat keabsahan akad. 14
c) Akad mawqu>f
Akad yang sah karena sudah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya
maupun syarat keabsahannya, namun akibat hukumnya belum dapat
dilaksanakan.15
13 Ibid., 246. 14 Ibid., 248-249.
28
d) Akad na>fidh ghair lazim
Akad na>fidh adalah akad yang sudah dapat diberlakukan atau dilaksanakan
akibat hukumnya. Akad ini adalah lawan dari akad maukuf yang akibat
hukumnya terhenti dan belum dapat dilaksanakan karena para pihak yang
membuatnya tidak memenuhi salah satu syarat dalam berlakunya akibat
hukum secara langsung, yaitu memiliki kewenangan atas tindakan dan atas
obyek akad. Apabila kedua syarat ini telah penuhi, maka akadnya menjadi
akad na>fidh. Akad na>fidh ghair lazim adalah akad yang tidak mengikat penuh
dalam arti masing-masing pihak atau salah satu mempunyai hak untuk
men-fasakh (membatalkan) akad secara sepihak.16
Madzab-madzab yang lain tidak membedakan akad batal dan akad fasid,
bagi mereka keduanya adalah sama, yaitu sama-sama merupakan akad yang batal
dan tidak ada wujudnya sehingga tidak memberikan akibat hukum apapun.17
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya, selain
itu akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan). Sebab-sebab
terjadinya fasakh sebagai berikut:
a. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syariat,
akad yang fasid (rusak),
b. Dengan sebab adanya khiya>r syarat, khiya>r ‘aib, atau kiya>r ru’yah.
29
c. Salah satu pihak denga persetujuan pihak lain membatlkan karena merasa
menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh ini disebut iqa>lah.
d. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi
pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Karena habis waktunya, seperti akad sewa menyewa berjangka waktu
tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
f. Karena tidak dapat izin dari pihak yang berwenang.
g. Karena kematian.18
B. Ija>rah
1. Definisi Ija>rah
Lafal al-ija>rah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau
imbalan.19 Secara etimologi ija>rah berasal dari kata ajru yang berarti
al-iwadhu / pengantian, dari sebab itulah ath-thawa>b dalam konteks pahala dinamai
juga al-ajru / upah.20 Ija>rah juga dapat diartikan menjual manfaat,21 yaitu akad
atas suatu kemanfaatan yang kemudian mendapat imbalan. Al-ija>rah merupakan
salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup
30
manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan
lain-lain.22
Secara terminologi, ada beberapa definisi al-ija>rah yang dikemukakan
para ulama fiqh. Menurut ulama Hanafiyah mengatakan bahwa ija>rah adalah
akad atas manfaat disertai imbalan.23 Ulama Hanafiyah berpendapat
sebagaimana ta’li>q menggantungkan dalam jual beli maka ta’li>q dalam ija>rah
juga tidak sah.24
Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan ija>rah ialah sebagai
akad atas suatu manfaat mengandung maksud tertentu, mubah, serta dapat
didermakan dan kebolehan dengan pengganti tertentu.25 Ulama Malikiyah
mendefinisikan ija>rah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah
dalam masa tertentu dengan pengganti.26 Menurut ulama Hanabilah, ija>rah
adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ija>rah dan kara’ dan
semacamnya.27
Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat di kemukakan bahwa pada
dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip diantara para ulama dalam
mengartikan ija>rah. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ija>rah
22 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah…, 228. 23 Ibid.
24Abdul Hayyie al-Kattani,
Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5…, 387.
25Ibid.
26 Syafei Rahmat, Fiqh Muamalah…, 122.
31
adalah akad atas suatu manfaat dalam masa tertentu dengan adanya
imbalan/pengganti.
2. Landasan HukumIja>rah
Hampir semua ulama’ fikih sepakat bahwa ija>rah disyariatkan dalam
Islam. Adapun golongan yang tidak menyepakati di antaranya seperti, Abu
Bakar al-Asham, Ismail bin Ulayyah, Hassan Basri, al-Qasyani, an-Nahrawani,
dan Ibnu Kaisan. Mereka berpendapat bahwa ija>rah adalah menjual manfaat,
padahal manfaat-manfaat tersebut tidak pernah ada saat melakukan akad, hanya
dengan berjalannya waktu akan terpenuhi sedikit demi sedikit. Sesuatu yang
tidak ada, tidak dapat dikategorikan jual beli.28 Para ulama fiqh mengatakan
bahwa yang menjadi dibolehkannya akad al-ija>rah berdasarkan al-Quran, Hadis,
dan Ijma’.
a. Al-Qur’an
1) Surah al-Baqarah (1) ayat 233
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.”29
32
2) Surah ath-Thalaq (65) ayat 6
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya”30
b. Hadis
1) Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3391:
اَنك
ۤ
رْكن
ۤ
ۤض ْ ْْا
ۤ
ا ب
ۤ
لع
ۤ
يقاوَسلا
ۤ
ْۤنم
ۤ
ۤع ْ َزلا
ۤ
ام
ۤ
ۤعس
ۤ
ۤءا ْلاب
ۤ
ا ْنم
ۤ
انا نف
ۤ
ۤ
31
ۤۤ ةَ فْۤۤ أۤۤ به بۤا يرْكنْۤۤ أۤانرمأ ۤۤكل ْۤۤنعۤۤمَلس ۤۤهْيلعَّۤۤۤ َلصَّۤۤۤۤ وس
“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang
tumbuh. Lalu Rasulullah Saw melarang kami dengan cara itudan
memerintahkan kami agar membayarnya dengan upah emas atau
perak.”32
2) Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2443:
Dari Ibnu ‘Umar R.A., ia berkata, Nabi Muhammad Saw bersabda:
33
ۤهقرعۤ َفجيْۤ أۤلْبقۤ رْجأۤرْيجْْاۤاوطْعأ
“Berilah upah kepada para pekerja sebelum mengering keringatnya.”34c. Ijma’
30 Ibid., 946.
31 Abu Dawud Sulaiman ibnu Al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), 380. 32 Abd. Mufid Ihsan, Terjemah Sunan Abu Dawud Jilid 2, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2006), 309. 33 Ibnu Majah, Sunan Ibn Ma>jah Juz II, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 817.
34Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Terjemah Irfan Maulana Hakim, Cet. I, (Surabaya: Sinar
33
Umat Islam pada masa sahabat telah sepakat membolehkan akad ija>rah
sebelum keberadaan Asham, Ibnu Ulayyah, dan lainnya. Hal itu didasarkan
pada kebutuhan masyarakat terhadap manfaat ija>rah sebagaimana kebutuhan
mereka terhadap barang yang rill. Dan, selama akad jual beli barang
dìperbolehkan juga.35
3. Rukun Ija>rah
Rukun ija>rah menurut Hanafiyah adalah Ija>b dan qabul, yaitu dengan lafal
ija>rah, isti’jar, iktiraa’ dan ikraa’.36 Ulama Hanafiyah menayatakan bahwa orang
yang berakad, sewa / imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ija>rah,
bukan rukunnya.37 Sedangkan ija>rah menurut mayoritas ulama ada empat, yaitu:
a. Dua pelaku akad (pemilik sewa dan penyewa)
b. Sighat yaitu (Ija>b dan qabul)
c. Uang sewa atau imbalan (ujrah)
d. Manfaat, manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan tenaga
dari orang yang bekerja.38
4. Syarat-syarat Ija>rah
Dalam akad ija>rah ada empat macam syarat sebagaimana dalam akad jual beli, yaitu syarat wujud (syart al-inqa>d), syarat berlaku (syart an-nafadz), syarat
sah , dan syarat kelaziman.39
35 Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5…, 386. 36 Ibid.,387.
34
1. Syarat Wujud (syart al-inqa>d)
Syarat wujud yang juga biasa disebut syarat terjadinya akad. Ada tiga
macam syarat wujud berkaitan dengan aqid, akad sendiri, dan tempat akad.
Syarat yang berkaitan dengan, aqid (pelaku akad) disyaratkan harus berakal.
Menurut ulama Hanafiyah, disyaratkan harus berakal dan mumayyiz, serta
tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, akad ija>rah anak mumayyiz,
dipandang sah apabila telah diizinkan walinya. Ulama Malikiyah berpendapat
bahwa mencapai usia mumayyiz adalah syarat ija>rah dan jual beli, sedangkan
baligh adalah syarat berlaku (syart an-nafadz). Jika ada anak yang mumayyiz
menyewakan diri atau hartanya, maka hukumnya sah dan akad itu
digantungkan pada kerelaan walinya. Adapun ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa syarat taklif (pembebanan kewajiban syariat),
yaitu baligh dan berakal, adalah syarat wujud akad ija>rah.40
2. Syarat Berlaku (syart an-nafadz)
Syarat berlakunya akad ija>rah adalah adanya hak kepemilikan atau kekuasaan
(al-wilaayah) yang dimiliki oleh aqid. Dengan demikian, ija>rah al-fud{u>l atau
ija>rah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak
diizinkan oleh pemiliknya tidak dapat menjadikan adanya ija>rah. Menurut
Hanafiyah dan Malikiyah, akad ini digantungkan pada persetujuan dari
35
pemilik sebagaimana berlaku dalam jual beli. Hal ini berbeda dengan
pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.41
3. Syarat Sah
Syarat sah ija>rah berkaitan dengan aqid (orang yang akad), mauqud alaih
(objek), sewa atau upah (ujrah) dan zat akad. Syarat-syarat sah akad ija>rah
adalah sebagai berikut:
a) Kerelaan kedua pelaku akad
Syarat ini diterapkan sebagaimana dalam akad jual beli. Allah berfirman,
dalam surah An-Nisa (4) ayat 29 :
. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu”.42
b) Objek akad yaitu manfaat harus jelas dan diketahui. Adanya kejelasan
ma’qud alaih (barang yang menjadi objek akad) menghilangkan
perselisihan di antara aqid.43 Apabila objek akad (manfaat tidak jelas,
sehingga menimbulkan perselisihan, maka akad ija>rah tidak sah, karena
dengan demikian, manfaat tersebut tidak bisa diserahkan, dan tujuan akad
41 Ibid.
36
tidak tercapai.44 Kejelasan tentang objek akad ija>rah bisa dilakukan
dengan menjelaskan:
1. Objek manfaat, penjelasan objek manfaat dilakukan agar benda yang
disewakan benar-benar jelas dan diketahui.45
2. Masa manfaat, penjelasan masa waktu manfaat adalah hal yang
sangat penting dalam penyewaan kontrak rumah, toko, apartemen
tinggal beberapa bulan, tahun. Hal itu karena objek akad menjadi
tidak jelas kadarnya kecuali dengan penentuan waktu tersebut.46
3. Jenis pekerjaan, penjelasan tentang jenis pekerjaan atau objek kerja
sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja
sehingga tidak terjadi kesalahan atau petentangan dan mengakibatkan
rusaknya akad.47
c) Objek akad dapat diserahkan serta dipenuhi, baik secara nyata (hakiki)
dan syara’. Menurut kesepakatan fuqaha, akad Ija>rah tidak dibolehkan
terhadap sesuatu yang tidak dapat diserahkan, seperti menyewakan unta
yang lepas.48 Menurut Abu Hanifah, Zufar, dan ulama Hanabilah
berpendapat tidak dibolehkan menyewakan sesuatu yang dimiliki
bersama selain kepada mitranya, seperti menyewakan bagian seseorang
44Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah…, 324. 45 Syafei Rahmat, Fiqh Muamalah…, 126.
46Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5…, 391. 47 Syafei Rahmat, Fiqh Muamalah…, 126.
37
dari rumah milik bersama kepada bukan mitra karena benda milik
bersama tidak bisa diberikan tanpa persetujuan semua pemilik.49 Akan
tetapi, menurut mayoritas ahli fiqih, ija>rah atas kepemilikan bersama
dibolehkan secara mutlak, baik untuk mitra maupun orang lain. Karena
barang tersebut memiliki manfaat dan penyerahannya dapat dilakukan
dengan penyesuaian denagn cara dibagi antara pemilik yang satu dengan
pemilik yang lain, sebagaimana dibolehkan dalam jual beli, dan ija>rah
adalah salah satu jenis jual beli.50
d) Manfaat yang menjadi objek Ija>rah dibolehkan secara syara’. Maka tidak
sah Ija>rah dalam hal maksiat, karena maksiat wajib ditinggalkan.
Misalnya orang yang menyewa seseorang untuk membunuh seseorang
secara aniaya, atau menyewakan rumahnya kepada orang yang menjual
khamar, pelacuran atau digunakan judi.51
e) Pekerjaan yang ditugaskan bukan kewajiban bagi penyewa sebelum akad
ija>rah . Tidak sah ija>rah dari mengerjakan kewajiban karena seseorang
melakukan kewajibannya tidak berhak mendapat upad dari pekerjaan itu,
seperti orang yang membayar hutangnya. Sehinggaa tidak sah melakukan
ija>rah untuk amalan ibadah, shalat puasa haji, menjadi imam adzan dan
mengajarkan al-quran, karena itu adalah menyewa dalam amalan wajib.
49Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah…, 324.
38
Akan tetapi, menurut ulama Imam Malik dan Syafi’i, dibolehkan
melakukan ija>rah dalam mengajarkan Al-Quran karena objek kerjanya
jelas dan upahnya juga jelas.52
f) Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya.
Jika ia mengambil manfaat, maka tidak dibolehkan. Tidak sah ija>rah
untuk ketaatan karena ia mengerjakan untuk kepentingan sendiri.
Sebagaimana tidak sah menyewa seorang yang menggiling gandum
dengan upah sebagian dari tepung hasil gilingan itu, atau memeras biji
simsim dengan upah sebagian minyak simsim hasil perasan . Dengan
demikian, tidak sah Ija>rah atas perbuatan taat karena manfaatnya untuk
orang yang mengerjakan sendiri.53
g) Manfaat dari akad itu harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad
Ija>rah , yang biasa berlaku umum. Apabila manfaat tersebut tidak sesuai
dengan tujuan dilakukannya akad ija>rah maka akad ija>rah h menjadi
tidak sah. Dalam contoh tidak dibolehkan menyewakan pohon untuk
menjemur pakaian dan untuk berteduh karena manfaat itu dimaksudkan
dari kegunaan pohon tersebut.54
52Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5…, 398. 53 Ibid.,399.
39
4. Syarat Kelaziman
Disyaratkan dua hal dalam akad ija>rah agar akad ini menjadi lazim
(mengikat) yaitu sebagai berikut:
1) Terbebasnya barang yang disewakan dari cacat yang merusak
pemanfaatannya. Apabila terdapat suatu cacat, maka penyewa memiliki
hak khiyar (hak pilih) antara meneruskan ija>rah atau membatalakannya,
seperti kuda yang disewa sakit atau pincang, atau hancurnya sebagian
bangunan rumah.
2) Tidak terjadi alasan yang dapat membatalkan akad Ija>rah . Misalnya
terjadi sesuatu terhadap salah satu pihak atau barang yang disewakan,
maka setiap pihak boleh membatalkan akad. Ija>rah dapat dapat
dibatalkan dengan sebab ada alasan (udzur) menurut ulama Hanafiyah.
Sedangkan mayoritas ulama, berpendapat akad ija>rah adalah akad lazim
(mengikat) seperti jual beli, maka tidak dapat dibatalkan seperti seluruh
akad-akad lazim lainnya oleh pelaku akad tanpa ada alasan yang
mewajibkan, seperti adanya cacat, hilangnya objek manfaat.
5. Berakhirnya Akad Ija>rah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ija>rah akan berakhir, yaitu:
a. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad
al-ija>rah, maka ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya.
40
diwariskan dan al-ija>rah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah
pihak.55
b. Hilang, rusak dan musnahnya barang/obyek yang disewakan, seperti rumah
dan binatang yang menjadi ain’.56
c. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti
rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka
al-ija>rah batal.
d. Terjadi aib pada barang sewaan yang kejadiannya di tangan penyewa atau
terlihat aib lama padanya.57
e. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ija>rah telah berakhir, atau
selesainya pekerjaan dan masanya, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah
fasakh.58
6. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia Tentang Ija>rah
Ada beberapa fatwa DSN-MUI berkenaan dengan akad Ija>rah . Beberapa
diantaranya yaitu:
a. Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ija>rah
yang berisi tentang rukun dan syarat ija>rah , ketentuan objek ija>rah ,
kewajiban LKS dan nasabah dalam pembiayaan ija>rah , penyelesaian
perselisihan pembiayaan ija>rah .
55 Syafei Rahmat, Fiqh Muamalah…, 137. 56Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Terjemah…, 34. 57 Ibid., 34.
41
b. Fatwa DSN-MUI No. 44/DSN-MUI/VII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa
yang berisi ketentuan pembiayaan multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan
menggunakan akad ija>rah atau kafalah. Dalam pelaksanaan, jika LKS
menggunakan akad ija>rah , maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada
dalam fatwa ija>rah . LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee
yang besarnya harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal
bukan dalam bentuk prosentase.
C. Mura>bah}ah
1. Definisi Mura>bah}ah
Pengertian mura>bah}ah secara lafdzi berasal dari masdar ribhun
(keuntungan). Mura>bah}ah adalah masdar dari Rabaha – Yurabihu - Murabahatan
(memberi keuntungan).59
Secara istilah, adapun menurut ulama Hanafiyah, mura>bah}ah adalah
memindahkan hak milik sesuai dengan transaksi dan harga pertama (pembelian),
ditambah keuntungan tertentu. Sementara menurut ulama Syafi’iah dan
Hanabilah, mura>bah}ah adalah menjual barang sesuai dengan modal yang
dikeluarkan oleh penjual ditambah keuntungan dengan syarat sepengetahuan
kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli.60
59 M. Quraishi Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 493.
42
Dalam ilmu fiqih, akad mura>bah}ah ini pada mulanya digunakan untuk
bertransaksi dengan anak kecil atau dengan orang yang kurang akalnya. Hal ini
dilakukan untuk menghindari penipuan.61 Dewasa ini, akad mura>bah}ah pun
digunakan dalam praktek perbankan syariah, mura>bah}ah adalah akad jual beli
barang sesuai dengan harga pembelian, dengan menambahkan keuntungan
tertentu. Dalam hal ini, penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.62
Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat diambil intisari bahwa
mura>bah}ah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan
keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
2. Landasan HukumMura>bah}ah
Jual beli dengan akad mura>bah}ah termasuk transaksi yang diperbolehkan
oleh syariat. Mayoritas ulama dari kalangan para sahahat, tabi’in, dan para Imam
mazhab, juga memperbolehkan jual beli jenis ini. Hanya saja, menurut ulama
Malikiyah, jual beli ini hukumnya khilaaful awIa.63 Dalil-dalil yang
membolehkan jual beli dengan akad mura>bah}ah berdasarkan al-Quran,
As-Sunnah, dan Ijma’ adalah sebagai berikut :
a. Al-Quran
1) Surah Al-Baqarah (2) ayat 275
61Adi Warman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006), 73.
62 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001),
101.
43 … ۤ ۤ ۤ ۤ ۤ …
“…Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”64
2) Surah an-Nisaa’ (4) ayat 29
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
ۤ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu s