• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum islam terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum islam terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

PEMBIAYAAN MULTIJASA JANGKA PANJANG

DI BPRS JABAL NUR SURABAYA

SKRIPSI

Oleh :

Danang Sutantiyo NIM. C72213110

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya? Kedua, bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya?

Metode yang digunakan untuk menganalisa pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, maksudnya pembahasan dimulai dengan menjabarkan data-data dari lapangan tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya. Selanjutnya data tersebut dianalisis dari perspektif hukum Islam dengan pola pikir deduktif, yaitu meletakkan norma hukum Islam yang berkaitan dengan akad, ija>rah, mura>bah}ah, dan Fatwa DSN-MUI No: 44/DSNDSN-MUI/VIII/2004 ketentuan dari Pembiayaan Multijasa untuk menganalisis yang berkenaan dengan praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian, data yang terkumpul melalui editing, organizing dan analyzing

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, pertama, praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya tidak menggunakan akad ija>rah melainkan menggunakan akad mura>bah}ah. Penggunaan akad mura>bah}ah ini membuat jangka waktu pembayaran pelunasan lebih lama daripada dengan menggunakan akad ija>rah. Penerapan akad mura>bah}ah pada pembiayaan multijasa jangka panjang ini telah merubah inti objek transaksi pembiayaan multijasa yang seharusnya jasa menjadi barang. Kedua, Tinjauan hukum Islam terhadap praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya berkenaan dengan penggunaan akad mura>bah}ah jika dikaitkan dengan norma hukum Islam, maka akad mura>bah}ah pada pembiayaan multijasa jangka panjang ini boleh dilakukan karena adanya unsur tolong menolong dan kemaslahatan di dalam praktiknya, serta penggunaan akad mura>bah}ah untuk pembiayaan multijasa jangka panjang yang dilakukan oleh BPRS Jabal Nur Surabaya ini tidak menggunakan anjuran tentang ketentuan pembiayaan multijasa berdasarkan Fatwa DSN-MUI No: 44/DSN-MUI/VIII/2004 bahwa bank dapat melakukan dan diperbolehkan melakukan pembiayaan multijasa dengan menggunakan akad ija>rah.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM i

PERNYATAAN KEASLIAN ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING iii

PENGESAHAN iv

MOTTO v

PERSEMBAHAN vi

ABSTRAK vii

KATA PENGANTAR viii

DAFTAR ISI x

DAFTAR TRANSLITERASI xiii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah 5

C. Rumusan Masalah 6

D. Kajian Pustaka 6

E. Tujuan Penelitian 11

F. Kegunaan Penelitian 11

G. Definisi Operasional 12

H. Metode Penelitian 13

I. Sistematika Pembahasan 18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD, IJA>RAH

DAN MURA>BAH{AH 21

A. Akad 21

1. Definisi Akad 21

2. Unsur-unsur Akad 22

3. Rukun Akad 23

4. Syarat-syarat Akad 24

(8)

B. Ija>rah 29

1. Definisi Ija>rah 29

2. Landasan Hukum Ija>rah 31

3. Rukun Ija>rah 33

4. Syarat-Syarat Ija>rah 33

5. Berakhirnya Akad Ija>rah 39

6. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama

Indonesia Tentang Ija>rah 40

C. Mura>bah{ah 41

1. Definisi Mura>bah{ah 41

2. Landasan Hukum Mura>bah{ah 42

3. Rukun dan Syarat-syarat Mura>bah{ah 44 4. Penggunaan Akad Mura>bah{ah di Perbankan

Syariah 45

BAB III PRAKTIK PEMBIAYAAN MULTIJASA JANGKA

PANJANG DI BPRS JABAL NUR SURABAYA 47

A. Gambaran Singkat Tentang BPRS Jabal Nur

Surabaya 47

1. Sejarah Berdirinya 47

2. Tujuan BPRS 48

3. Visi dan Misi 48

4. Struktur Organisasi Kantor Pusat BPRS Jabal Nur

Surabaya 49

5. Job Description BPRS Jabal Nur Surabaya 50 6. Produk dan Aplikasi Akad pada BPRS Jabal Nur

Surabaya 54

B. Proses Pembiayaan di BPRS Jabal Nur Surabaya 58

1. Permohonan Pembiayaan 58

2. Syarat-syarat Calon Nasabah Pembiayaan 59

(9)

C. Praktik Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang 62 1. Latar Belakang Pembiayaan Multijasa 62 2. Penerapan Akad Mur>abah{ah pada Pembiayaan

Multijasa Jangka Panjang 62

3. Nasabah Yang Melakukan Pembiayaan Multijasa

Jangka Panjang 65

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBIAYAAN MULTIJASA JANGKA PANJANG DI BPRS JABAL NUR

SURABAYA

A. Praktik Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS

Jabal Nur Surabaya 68

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya 73

BAB V PENUTUP 78

A. Kesimpulan 78

B. Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 80

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit

dan atau bentuk-bentuk yang lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup

rakyat.1 Lembaga keuangan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh

masyarakat, baik untuk menyimpan dana dalam bentuk deposito maupun

meminjam dana dalam bentuk kredit atau pembiayaan.2 Keberadaan bank di

Indonesia ada dua, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Bank konvensional

menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional. Sedangkan Bank Syariah

menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.3

Bukti semakin kuatnya struktur kelembagaan keuangan syariah atau bank

syariah di Indonesia, yaitu tumbuh dan berkembangnya badan usaha lain yang

menerapkan prinsip syariah. Salah satunya adalah BPRS (Bank Pembiayaan

Rakyat Syariah). Adapun yang dimaksud dengan BPRS adalah Bank yang

melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah, terutama

bagi hasil dan dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran.4 BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha

1 Pasal 1 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan

2 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta:Kencana, 2011),30.

3Pasal 1 ayat (4 dan 7) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.

4

(11)

2

berdasarkan prinsip Syariah dengan izin Direksi Bank Indonesia. Suatu BPRS

bisa berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau perusahaan daerah.5

Dengan hadirnya BPRS di tengah masyarakat. Masyarakat memiliki

banyak pilihan untuk menyimpan dananya atau meminjam dana untuk

menunjang kegiatan usahanya serta pemenuhan kebutuhan masyarakat itu

sendiri. Ada beragam kegiatan usaha yang bisa dilakukan suatu BPRS, yaitu:

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, meliputi

(a) tabungan berdasarkan prinsip wadi>’ah atau mud{a>rabah, (b)

deposito berjangka berdasarkan prinsip mud{a>rabah, dan (c) bentuk

lain berdasarkan berdasarkan prinsip wadi>’ah atau mud{a>rabah.

2. Melakukan penyaluran dana melalui (1) transaksi jual beli

berdasarkan prinsip mura>bah{ah, istishna’, ija>rah, salam, jual beli

lainnya, (b) pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mud{a>rabah,

musha>rakah, dan6 bagi hasil lainnya, dan (c) pembiayaan lainnya

berdasarkan prinsip rahn dan qard{.

3. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang

disetujui Dewan Syariah Nasional.7

Saat ini tingkat kebutuhan masyarakat semakin hari semakin bertambah.

Hal ini berpengaruh ketika pendapatan masyarakat kurang mencukupi maka

semakin berat beban yang harus ditanggung masyarakat. Selain itu adanya

biaya-biaya yang tidak terduga juga mempengaruhi kondisi keuangan mereka. Keadaan

(12)

3

seperti inilah yang juga mempengaruhi pemenuhan kebutuhan masyarakat

khususnya dalam pemenuhan biaya pendidikan.

Dari sinilah peranan Bank Syariah khususnya BPRS menawarkan untuk

mengatasi masalah masyarakat yang membutuhkan biaya dalam biaya

pendidikan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah al-ma>idah ayat 2:















.

“Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan

pelanggaran.”8

Sistem yang diterapkan dalam BPRS adalah bukan sistem bunga karena

hal inilah masyarakatpun tertarik untuk melakukan pembiayaan di BPRS. Saat

ini banyak Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik bank ataupun non bank

berdiri di Indonesia yang saling bersaing dalam membuat produk dan juga

memberikan layanan kepada masyarakat. Banyak produk yang telah diciptakan

antara lain produk pembiayaan, penghimpunan dana ataupun produk jasa. Semua

produk tersebut ditujukan untuk melayani masyarakat.

Penyaluran dana yang dilakukan bank syariah khususnya BPRS dikenal

dengan pembiayaan. Pembiayaan menggunakan berbagai macam akad, antara

lain akad jual beli mura>bah}ah, akad kerja sama musha>rakah dan akad ija>rah untuk

pembiayaan multijasa. Salah satu pembiayaan yang dilakukan oleh BPRS Jabal

Nur Surabaya adalah pembiayaan multijasa merupakan fasilitas pembiayaan yang

diberikan Bank kepada nasabah untuk tujuan membiayai kebutuhan nasabah

8Kementerian Agama Republik Indonesia,

Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (al-Madinah al-

(13)

4

dalam rangka memperoleh manfaat atas suatu jasa yang tidak bertentangan

dengan syariah seperti biaya pendidikan, kesehatan, dan jasa lainnya. Ketentuan

tentang pembiayaan multijasa tersebut mulai berlaku setelah terbentuknya

Undang-Undang tentang Perbankan Syariah dan juga fatwa yang dikeluarkan

oleh Dewan Syariah Nasional No: 44/DSN-MUI/VII/2004 Tentang Pembiayaan

Multijasa serta PBI No. 10/16/PBI/2008.

Setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik Bank ataupun non Bank

berbeda-beda dalam menfasilitasi pembiayaan untuk keperluan pendidikan.

Sebagaimana ditetapkan di BPRS Jabal Nur Surabaya fasilitas yang ditawarkan

hampir sama dengan lembaga keuangan syariah lainnya namun dalam praktiknya

akad yang digunakan berbeda. PT. BPRS Jabal Nur Surabaya dalam praktiknya

menggunakan akad mura>bah}ah untuk pemenuhan pembiayaan multijasa.

Menurut teori yang ada, Pembiayaan yang menggunakan akad mura>bah}ah

adalah pembiayaan guna membelikan nasabah barang yang mereka inginkan,

dengan akad jual beli dan keuntungan yang disepakati. Sedangkan pembiayaan

multijasa adalah pembiayaan guna membiayai objek berupa jasa, dengan

menggunakan akad ija>rah. Salah satu alasan bagi pihak BPRS Jabal Nur

melakukan pembiayaan multijasa dengan akad mura>bah}ah, yaitu membuat jangka

waktu angsuran pembiayaan menjadi lebih lama dibandingkan menggunakan

akad ija>rah. Oleh karena itu, pihak BPRS Jabal Nur menamakan pembiayaan

(14)

5

menggunakan akad mura>bah}ah pada pembiayaan multijasa jangka panjang untuk

kebutuhan membayar jasa mereka.9

Berdasarkan adanya permasalahan diatas, hal ini menjadi menarik untuk

diteliti dan akan dibahas pada bab selanjutnya tentang bagaimana hukum Islam

memandang adanya penggunaan akad mura>bah}ah pada pembiayaan multijasa

jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya. Oleh karena itu, disusunlah

penelitian ini dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembiayaan

Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas terdapat beberapa masalah

dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasikan

sebagai berikut:

1. Produk Pembiayaan BPRS Jabal Nur Surabaya.

2. Faktor yang mempengaruhi pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS

Jabal Nur Surabaya.

3. Akad yang digunakan dalam pembiayaan multijasa di BPRS Jabal Nur

Surabaya.

4. Pandangan nasabah terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS

Jabal Nur Surabaya.

5. Praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.

(15)

6

6. Tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di

BPRS Jabal Nur Surabaya.

Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, perlu dijelaskan batasan dan

ruang lingkup persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini agar terfokus dan

terarah. Maka penulis akan membatasi masalah yang akan dikaji sebagai berikut:

1. Praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.

2. Tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa jangka panjang di

BPRS Jabal Nur Surabaya.

C. Rumusan Masalah

Melalui batasan masalah tersebut maka peneliti merumuskan masalah

yang akan peneliti bahas dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur

Surabaya?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa jangka

panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada intinya adalah untuk mendapatkan gambaran

hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah

dilakukan oleh peneliti sebelumnya10 menuntun peneliti dalam menuju arah dan

(16)

7

pembentukan teoritis dan mengklarifikasi ide penelitian yang akan dilakukan.11

Dengan tujuan agar tidak ada duplikasi/plagiasi dalam penelitian yang akan

dilakukan.

Adapun penelitian yang telah dilakukan antara lain :

1. Skripsi yang disusun oleh Yuyun Setia Wahyuni dengan judul: “Analisis

Hukum Islam terhadap Pembiayaan Talangan Haji Dengan Menggunakan

Akad Ija>rah Multijasa di BNI Syariah Cabang Surabaya”. Prodi Hukum

Ekonomi Syariah Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

2010. Skripsi ini menyatakan bahwa aplikasi pembiayaan talangan haji di

BNI Syariah Cabang Surabaya menggunakan akad ija>rah multijasa.

Objeknya adalah nomor seat porsi haji. Dimana nasabah membuat

permohonan pembiayaan talangan haji dan mengikuti

persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Dalam prespektif hukum Islam, akad

pembiayaan talangan haji di BM Syariah Cabang Surabaya tidak sesuai

dengan hukum Islam. Letak ketidaksesuaiannya adalah akad yang digunakan

dalam pembiayaan talangan haji karena akad yang digunakan dalam

pembiyaan talangan haji ini semestinya adalah akad hutang piutang (qard)

dan bukan akad ija>rah namun pada praktiknya bank menggunakan akad

ija>rah multijasa. Fatwa MUI menyebutkan bahwa apabila diperlukan,

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat membantu menalangi pembayaran

BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip qard sesuai dengan Fatwa

DSN-MUI nomor 19/DSN-DSN-MUI/1V/2001. Apalagi ada ujrah Yang dibebankan

11 Restu Kartiko Widi, Asas Metodologi Penelitian-Sebuah Pengenalan dan Penuntun Langkah

(17)

8

kepada nasabah yang dimana ujrah tersebut didasarkan pada jumlah talangan

yang telah diberikan oleh bank kepada nasabah. Ujrah tersebut bisa

dikategorikan riba karena adanya tambahan prosentase dari ujrah jika

nasabah belum mampu membayar angsuran talangan pada waktu yang telah

ditentukan.12

2. Skripsi yang disusun oleh Moch. Rifai dengan judul: “Studi Analisis Hukum

Islam terhadap Pembiayaan Multijasa di BPRS Al-Hidayah Pasuruan”. Prodi

Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Ampel

Surabaya 2011. Skripsi ini menyatakan bahwa aplikasi pembiayaan multijasa

di BPRS Al-Hidayah Pasuruan menggunakan akad ija>rah dalam arti sewa

menyewa dan pembiayaan multijasa ini lebih ditekankan kepada nasabah

tetap BPRS Al-Hidayah. Namun dalam pelaksanaannya adanya

ketidaksesuaian dengan ketentuan Fatwa DSN-MUI No. 44/DSN

MUI/VII/2004 tentang pembiayaan multijasa, baik dari segi objek maupun

akad kepemilikan barang pada akhirnya, apakah barang tersebut diperjual

belikan ataukah dihibahkan. Dalam kaidah hukum Islamnya mengenai

pelaksanaan multijasa dengan menggunakan akad ija>rah di BPRS Al Hidayah

Beji Pasuruan adalah kurang tepat. Sebab pihak musta'jir (penerima upah,

yakni pihak BPRS Al-Hidayah) tidak melakukan pekerjaan tertentu atas

12 Yuyun Setia Wahyuni, “Analisis Hukum Islam terhadap Pembiayaan Talangan Haji Dengan

(18)

9

permintaan mu'ajjir sehingga pihak BPRS Al-Hidayah tidak berhak (pemberi

upah, nasabah) mendapatkan upah (ujra>h/fee).13

3. Tugas Akhir yang disusun oleh Fitri Handayani dengan judul: “Analisis

Pembiayaan Ija>rah Multijasa pada BPRS Artha Amanat Ummat Unggaran”.

Prodi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam STAIN

Salatiga 2014. Tugas Akhir ini menyatakan bahwa pembiayaan ijarah

multijasa di BPRS Artha Amanah Ummat, akad perjanjian yang digunakan

adalah akad ija>rah yang mana pihak bank dapat memperoleh ujrah atau

imbalan atas manfaat jasa yang diberikan, serta menggunakan akad

wakalahsebagaiakad pelengkap. Pada prakteknya untuk pembiayaan ija>rah

multijasa di BPRS Artha Amanah Ummat sudah sesuai dengan syariah yang

mengacu kepada fatwa yang ditetapkan oleh MUI No. 09 tahun 2000 tentang

ijarah dan fatwa MUI No. 44 tahun 2004 tentang pembiayaan multijasa.

Pembiayaan ini menggunakan ija>rah sebagai akadnya, yang mana pada fatwa

DSN MUI tentang pembiayaan multijasa, hukumnya jaiz atau boleh

menggunakan akad ija>rah.14

4. Skripsi yang disusun oleh Tuthi’ul Muthi’ah dengan judul: “Tinjauan

Hukum Islam terhadap penetapan ujrah dalam pembiayaan multijasa akad

Ija>rah di Koperasi BMT MUDA Jawa Timur Kantor Cabang Bungah

Gresik”. Prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah & Hukum UIN

Sunan Ampel Surabaya 2016. Skripsi ini menyatakan bahwa penetapan

13Moch. Rifai, “

Studi Analisis Hukum Islam terhadap Pembiayaan Multijasa di BPRS Al-Hidayah Pasuruan”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011).

14 Fitri Handayani,“Analisis Pembiayaan Ijarah Multijasa pada BPRS Artha Amanat Ummat

(19)

10

ujrah dalam pembiayaan multijasa akad ijarah di Koperasi BMT MUDA

JAWA TIMUR Kantor Cabang Bungah Gresik yang penetapannya

berdasarkan prosentase persen mengandung ketidak jelasan atas manfaat

jasa karena pada prinsipnya ujrah dalam pembiayaan ini dibayarkan karena

suatu layanan bantuan dana dalampembiayaan bukan karena pekerjaan

(manfaat jasa), Sedangkan dalam Islam ujrah yang dibayarkan atas

manfaat jasa itu harus jelas. Selain itu penentapan ujrah yang

ditetapkan berdasarkan prosentase persen ini tidak sesuai dengan Fatwa

Dewan Syariah Nasional No.44/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Pembiayaan

Multijasa, karena penetapan ujrah ditentukan dalam bentuk prosentase

persen, sedangkan dalam fatwa tersebut penentapan ujrah harus

berdasarkan nominal. penetapan ujrah dengan prosentase persen pada

akhirnya menjadikan besar atau rendahnya ujrah ditentukan atau tergantung

pada jumlah nominal yang dipinjam.15

Berdasarkan pemaparan beberapa skripsi diatas telah jelas bahwa

penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian terdahulu. Dalam

penelitian yang akan ditulis ini lebih fokus pada pembiayaan multijasa jangka

panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.

15Tuthi’ul Muthi’ah, “

(20)

11

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang dirumuskan, penelitian ini dilakukan dengan

tujuan untuk:

1. Untuk mengetahui praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS

Jabal Nur Surabaya.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa

jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.

F. Kegunaan Penelitian

Pengkajian dari permasalahan ini diharapkan mempunyai nilai tambah

baik bagi pembaca terlebih lagi bagi penulis sendiri, baik secara teoritis maupun

secara praktis. Adapun kegunaan dan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih informasi dan

perbendaharaan khazanah keilmuan dalam bermuamalah, khususnya

tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pembiayaan multijasa

jangka panjang BPRS Jabal Nur Surabaya.

b. Menambah perbendaharaan karya ilmiah untuk pengembangan hukum

Islam dalam bidang Muamalah.

2. Praktis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan perbandingan

bagi peneliti berikutnya yang memiliki minat yang pada tema yang sama

(21)

12

kepada peneliti yang berkaitan pelaksanaan pembiayaan yang tidak

bertentangan dengan syariat Islam.

b. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat dan BPRS dalam

kegiatan pembiayaan.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari munculnya salah pengertian terhadap judul penelitian

skripsi ini, yaitu “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka

Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya”. Maka perlu dijelaskan beberapa istilah

yang berkenaan dengan judul di atas.

Hukum Islam : Seperangkat aturan yang bersumber dari

al-Qur’an, Hadis dan pendapat ahli hukum Islam

mengenai akad, ija>rah, mura<bah}ah dan fatwa

Dewan Syariah Nasional No:

44/DSN-MUI/VII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa.

Pembiayaan Multijasa : Pembiayaan yang dilakukan BPRS Jabal Nur

Surabaya yaitu pembiayaan kepada nasabah

dalam rangka memperoleh manfaat atas suatu

jasa dengan pemberian imbalan kepada pihak

Bank.

Jangka Panjang : Jangka waktu pelunasan pembiayaan yang

lebih lama dengan menggunakan akad

(22)

13

H. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan metode sebagai

berikut

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni penelitian

yang dilakukan dalam kontek lapangan yang benar-benar terjadi terhadap

praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di Kantor Pusat BPRS Jabal

Nur Surabaya di Jalan Raya Merr Pandugo 2A.16 Selanjutnya, untuk dapat

memberikan deskripsi yang baik, dibutuhkan serangkaian langkah yang

sistematis. Langkah-langkah tersebut terdiri atas: data yang dikumpulkan,

sumber data, teknik analisis data, dan sistematika pembahasan.

2. Data Yang Dikumpulkan

Berdasarkan rumusan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka data

yang akan dikumpulkan dalam periode penelitian selama 30 hari adalah

sebagai berikut:

a. Data tentang profil pembiayaan multijasa jangka panjang.

b. Data tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang.

c. Data nasabah BPRS Jabal Nur Surabaya.

3. Sumber Data

Data-data penelitian ini dapat diperoleh dari beberapa sumber data sebagai

berikut:

(23)

14

a. Sumber Primer, data yang didapatkan peneliti langsung dari objek yang

diteliti.17 Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini

adalah:

1. Data-data yang didapatkan peneliti dari BPRS Jabal Nur Surabaya

dan hasil wawancara dengan pihak BPRS yang mengetahui praktik

pembiayaan multijasa jangka panjang, yakni:

a. Oki Rahmawan Cahyadi, ST selaku Manajemen Operasional

b. Eny Rohimatul Fauziyah, SE selaku Kasie. Operasional

2. Data yang didapatkan dari hasil wawancara dengan nasabah yang

melakukan praktik pembiayaan multijasa jangka panjang, yakni:

a. Pak Tulus

b. Pak Prapto

c. Pak Syahrir

b. Sumber Sekunder, yaitu informasi yang telah dikumpulkan pihak lain.18

Dalam penelitian ini, merupakan data yang bersumber dari buku-buku dan

catatan-catatan atau dokumen tentang apa saja yang berhubungan dengan

masalah hukum Islam tentang praktik pembiayaan multijasa jangka

panjang :

1. Kitab suci Al-Qur’an

17 Soewadji Yusuf, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media,

2012), 147.

18 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian-Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT.

(24)

15

2. Terjemah Kitab Al-Qur’an, oleh Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an Kementrian Agama Republik

Indonesia, diketuai oleh Muhammad R.H.A. Soenarjo

3. Kitab Hadis :

a. Sunan Ibnu Majah, karya Ibnu Majah.

b. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.

4. Terjemah Kitab Hadis :

a. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud, diterjemahkan oleh

Abd. Mufid Ihsan.

b. Bulughul Maram, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani diterjemahkan

Irfan Maulana Hakim.

5. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq

6. Fiqih Islami Wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily,

diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani.

7. Fiqh Muamalah, karya Nasrun Haroen.

8. Hukum Perjanjian Syariah, karya Syamsul Anwar.

9. Fiqh Muamalah, karya Rahmat Syafei.

10. Fiqh Muamalat, karya Ahmad Wardi Muslich.

4. Teknik Pengumpulan Data

Terdapat beberapa macam teknik pengumpulan data, salah satunya adalah

teknik dokumentasi, dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

(25)

16

a. Observasi, pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data

penelitian melalui pengamatan dan pengindraan.19 Teknik pengumpulan

data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan untuk mengamati dan

mendengar dalam rangka memahami hal-hal yang berkaitan dengan

ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan

dan perasaan.20 Teknik ini digunakan untuk mengamati dan mengetahui

secara langsung proses pengajuan pembiayaan oleh nasabah dalam praktik

pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.

b. Interview (wawancara), metode wawancara atau interview yaitu metode

ilmiah yang dalam pengumpulan datanya dengan jalan berbicara atau

berdialog langsung dengan sumber obyek penelitian.21 Wawancara

sebagai alat pengumpul data dengan jalan tanya jawab sepihak yang

dikerjakan dengan sistematis dan berlandasaskan pada tujuan penelitian.

Wawancara yang peneliti lakukan, yaitu dengan:

1) Pimpinan atau pihak yang bertanggung jawab terhadap praktik

pembiayaan multijasa jangka panjang.

2) Nasabah yang melakukan pembiayaan multijasa jangka panjang.

c. Dokumentasi

Dalam teknik dokumentasi, peneliti menyelidiki benda tertulis,

seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan dan

19 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (komunikasi, ekonomi, kebijakan public dan ilmu

social lainnya), (Jakarta: Kencana, 2011), 118.

20 M. Djuanidi dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta: ar-Ruz

Media, 2013), 165.

21 Lexy J.Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

(26)

17

nya.22 Dari hasil pengumpulan dokumentasi yang telah diperoleh peneliti

dapat memperoleh praktik tentang pembiayaan multijasa jangka panjang

di BPRS Jabal Nur Surabaya.

5. Teknik Pengelolahan Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penggalian terhadap sumber-sumber data

akan diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data-data yang diperoleh dengan

memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi

kesesuaian keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta

relevansinya dengan permasalahan.23 Teknik ini digunakan penulis untuk

memeriksa kelengkapan data-data yang sudah penulis dapatkan, dan akan

digunakan sebagai sumber-sumber studi dokumentasi.

b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi

sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai

dengan rumusan masalah, serta mengelompokan data yang diperoleh.24

Dengan teknik ini diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran

tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS Jabal Nur

Surabaya.

c. Analyzing, yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil

editing dan organizing data yang telah diperoleh dari sumber-sumber

22 Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 158.

(27)

18

penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya, sehingga

diperoleh kesimpulan.25

6. Teknik Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif

analitis, maksudnya pembahasan dimulai dengan menjabarkan data-data dari

lapangan tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di BPRS

Jabal Nur Surabaya.

Kemudian untuk tinjauan hukum Islamnya menggunakan analisis

kualitatif dengan menggunakan pola pikir deduktif dengan meletakkan norma

hukum Islam yang berkaitan dengan akad, ija>rah, mura>bah}ah untuk

menganalisis berkenaan dengan praktik pembiayaan multijasa di BPRS Jabal

Nur Surabaya.

I. Sistematika Pembahasan

Hasil penelitian ini akan dituangkan dalam laporan berbentuk karya ilmiah

skripsi yang sistematika pembahasannya terdiri dari lima bab, sebagaimana

berikut :

Bab pertama memuat hal-hal yang berkenaan dengan rencana pelaksanaan

penelitian. Hal-hal tersebut dituangkan dalam beberapa sub bab yaitu: latar

belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,

(28)

19

metode penelitian dan sistematika pembahasan tentang pembiayaan multijasa

jangka panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya.

Dalam bab kedua ini berisi tinjauan umum tentang akad, ija>rah dan

mura>bah}ah menurut hukum yang merupakan pijakan dalam penulisan skripsi

dipilah menjadi tiga sub bab. Sub bab pertama berisi tentang pengertian akad,

unsur-unsur akad, rukun akad, syarat-syarat akad, batal dan berakhirnya akad.

Sub bab kedua berisi uraian tentang pengertian dan dasar hukum ija>rah, serta

rukun dan syarat dan berakhirnya akad ija>rah, fatwa-fatwa DSN-MUI tentang

ija>rah. Sub bab ketiga menyajikan uraian tentang pengertian dan dasar hukum

mura>bah}ah, rukun dan syarat, serta aplikasi akad mura>bah}ah di perbankan

syariah.

Bab ketiga menyajikan deskripsi hasil penelitian dengan tajuk

“Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya” deskripsi

dimulai dengan sub bab pertama yang memuat gambaran tentang BPRS Jabal

Nur Surabaya dari aspek sejarah singkat, tujuan, visi dan misi, struktur organisasi

job description, produk dan aplikasi akad. Sub bab kedua memuat proses

pembiayaan BPRS Jabal Nur Surabaya dari permohonan pembiayaan,

syarat-syarat calon nasabah pembiayaan, dan tata cara proses pembiayaan. Sub bab

ketiga memuat deskripsi tentang praktik pembiayaan multijasa jangka panjang di

BPRS Jabal Nur Surabaya.

Selanjutnya, pada bab keempat hasil praktik pembiayaan multijasa jangka

panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya yang telah dideskripsikan tersebut akan

(29)

20

Islam Terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur

Surabaya” ini dibagi uraian analisisnya dalam dua sub bab, yaitu sub bab tentang

“Praktik Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di BPRS Jabal Nur Surabaya”

dan “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembiayaan Multijasa Jangka Panjang di

BPRS Jabal Nur Surabaya”.

Sebagai penutup, pada bab kelima yang merupakan bagian akhir disajikan

kesimpulan dan saran kepada seluruh pihak yang berkaitan dengan hasil

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD, IJA>RAH DAN MURA>BAH}AH

A. Akad

1. Definisi Akad

Kata Akad berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung

atau menghubungkan.1 Menurut para ulama fiqh, kata akad didefinisikan sebagai

hubungan antara Ija>b dan qabu>l sesuai kehendak syariat yang menetapkan

adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Akad ini diwujudkan pertama,

dalam ija>b dan qabu>l. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya

akibat hukum pada objek perikatan.2

Ija>b adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang

diinginkan, sedang qabu>l adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimannya.

Ija>b dan qabu>l itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya sukarela

timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang

bersangkutan.3 Dari pengertian tersebut, akad terjadi antara dua pihak dengan

sukarela, dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbal balik.

Dalam istilah fikih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad

seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf,

1 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 68. 2 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), 71.

(31)

22

talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa,

wakalah, dan gadai. Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ija>b

(penyataan penawaran/pemindahan pemilikan) dan qabu>l (pernyataan

kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh sesuatu.4

Definisi-definisi tersebut mengisyaratkan bahwa, pertama, akad

merupakan keterkaitan atau pertemuan ija>b dan qabu>l yang berpengaruh

terhadap munculnya akibat hukum baru. Kedua, akan merupakan tindakan

hukum dari kedua belah pihak. Ketiga, dilihat dari tujuan dilangsungkannya

akad, ia bertujuan untuk melahirkan akibat hukum baru.5 Dalam Islam tidak

semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad,

terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syari’at Islam.6

2. Unsur-unsur Akad

a. Pertalian Ija>b dan qabu>l

Ija>b adalah pernyataan suatu kehendak oleh pihak pertama untuk melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul> adalah pernyataan menerima

atau menyetujui kehendak tersebut oleh pihak kedua. Ija>b dan qabu>l ini

harus ada dalam melakukan suatu perikatan.

b. Dibenarkan oleh syarak.

4 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), 35.

5M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah,

(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 33.

6Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5, (Jakarta : Gema Insani,

(32)

23

Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan aturan syariat baik

dalam al-Qur’an maupun hadis. Pelaksanaan akad, objek akad, maupun

tujuan akad tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Karena jika

bertentangan, akan mengakibatkan akad tersebut tidak sah. Misalnya jual

beli dengan objek barang haram atau suatu perikatan yang mengandung riba.

c. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya.

Akad merupakan tindakan hukum (tas}arruf). Adanya akad memberikan

konsekuensi hak kewajiban yang mengikat bagi para pelakunya dan

menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan.7

3. Rukun Akad

Rukun adalah bagian-bagian yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu

itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuk. Rumah

misalnya terbentuk karena adanya unsur-unsur yang membentuknya yaitu

fondasi, tiang, atap, dan lantai. Menurut para ulama kontemporer, sebagaimana

yang dikemukakan al-Zarqa’, rukun yang membentuk akad ada empat, yaitu:

a. Para pihak yang berakad (al-‘a<qida>n),

b. Pernyataan kehendak para pihak (s}higatul-‘aqd),

c. Objek akad (mahallul-‘aqd), dan

d. Tujuan akad (maud}u>-‘aqd).8

7 Gemala Dewi et al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 53.

(33)

24

Bagi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad hanyalah Ija>b dan

qabu>l. Bagi ulama Hanafi, yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur

pokok yang membentuk akad. Sedangkan akad adalah pertemuan kehendak para

pihak dan kehendak itu diungkapkan melalui pernyataan kehendak yang berupa

ucapan atau bentuk ungkapan lain dari masing-masing pihak. Oleh karena itu

unsur pokok yang membentuk akad itu hanyalah pernyataan kehendak

masing-masing pihak berupa Ija>b dan qabu>l. Adapun para pihak dan objek akad adalah

suatu unsur luar, bukan merupakan esensi akad, sehingga tidak termasuk rukun

akad.

Namun ulama Hanafiyah mengakui bahwa para pihak dan objek harus ada

dalam pembentukan akad. Hanya saja pihak dan objek akad ini berada di luar

akad, sehingga tidak dinamakan rukun. Rukun hanyalah substansi-substansi

internal yang membentuk akad, yaitu Ija>b dan qabu>l saja. Para fukaha selain

ulama Hanafiyah dan al-Zarqa’ berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun,

yaitu orang yang berakad (‘a>qid), sesuatu yang diakadkan (ma‘qu>d ‘alaih), dan

s}ighat.9

4. Syarat-syarat Akad

Ada beberapa macam syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad, syarat

sah, syarat keabsahan akad, dan syarat berlakunya akibat hukum sebagai berikut:

(34)

25

a. Syarat Terjadinya Akad

Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyariatkan untuk

terjadinya akad secara syarak. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad

menjadi batal. Syarat ini terbagi dua, yaitu:

1. Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap akad.

2. Syarat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam

sebagian akad, syarat khusus ini juga disebut sebagai tambahan yang

harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya

saksi dalam pernikahan.10

b. Syarat Keabsahan Akad

Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk

menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.

Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah

mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli,

yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur

kemudharatan, dan syarat-syarat jual beli rusak (fasid).11\

c. Syarat Berlakunya Akibat Hukum

Suatu akad dinyatakan sah adalah akad yang telah memenuhi rukun,

syarat terbentuknya, dan syarat keabsahannya. Akad yang sah dapat dibeda-

10 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), 35.

(35)

26

kan menjadi dua yaitu:

1) Akad mawqu>f, akad yang sah tetapi belum dapat dilaksanakan akibat

hukumnya karena belum memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.

2) Akad na>fidh, akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya

karena telah memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.

Supaya akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya, maka

akad sudah sah itu harus memenuhi dua syarat berlakunya akibat hukum,

yaitu:

1) Adanya kewenangan sempurna atas objek akad.

2) Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan.12

5. Batal dan Berakhirnya Akad

Suatu akad menjadi sah apabila rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut

dipenuhi, dan tidak sah apabila rukun dan syarat yang dimaksud tidak terpenuhi.

Akan tetapi, oleh karena syarat-syarat akad itu beragam jenisnya dan sejauh

mana rukun dan syarat dapat terpenuhi, maka kebatalan dan keabsahannya akad

itu dibedakan menjadi beberapa tingkatan menurut Madzab Hanafi yaitu dari

urutan akad yang paling tidak sah sampai dengan yang paling tinggi

keabsahannya yaitu:

(36)

27

a) Akad batil

Ahli-ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil secara singkat sebagai

akad yang secara syarak tidak sah pokok dan sifatnya. Yang dimaksud akad

batil yang pokoknya tidak memenuhi rukun dan syarat terbentuknya akad.

Akad batil tidak melahirkan hukum apapun.13

b) Akad fasid

Mayoritas ahli hukum Islam, Maliki, Syafi’i dan Hambali, tidak membedakan

antara akad batil dan akad fasid. Hal membuat hukum keduanya sama-sama

merupakan akad yang tidak ada wujudnya dan tidak sah, karena tidak

menimbulkan akibat hukum apapun. Menurut ahli-ahli hukum Hanafi, akad

fasid adalah akad yang menurut syara’ sah pokoknya, tetapi tidak sah

sifatnya. Yang dimaksud dengan pokok di sini adalah rukun-rukun dan

syarat-syarat terbentuknya akad, dan yang dimaksud dengan sifat adalah

syarat-syarat keabsahan akad. 14

c) Akad mawqu>f

Akad yang sah karena sudah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya

maupun syarat keabsahannya, namun akibat hukumnya belum dapat

dilaksanakan.15

13 Ibid., 246. 14 Ibid., 248-249.

(37)

28

d) Akad na>fidh ghair lazim

Akad na>fidh adalah akad yang sudah dapat diberlakukan atau dilaksanakan

akibat hukumnya. Akad ini adalah lawan dari akad maukuf yang akibat

hukumnya terhenti dan belum dapat dilaksanakan karena para pihak yang

membuatnya tidak memenuhi salah satu syarat dalam berlakunya akibat

hukum secara langsung, yaitu memiliki kewenangan atas tindakan dan atas

obyek akad. Apabila kedua syarat ini telah penuhi, maka akadnya menjadi

akad na>fidh. Akad na>fidh ghair lazim adalah akad yang tidak mengikat penuh

dalam arti masing-masing pihak atau salah satu mempunyai hak untuk

men-fasakh (membatalkan) akad secara sepihak.16

Madzab-madzab yang lain tidak membedakan akad batal dan akad fasid,

bagi mereka keduanya adalah sama, yaitu sama-sama merupakan akad yang batal

dan tidak ada wujudnya sehingga tidak memberikan akibat hukum apapun.17

Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya, selain

itu akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan). Sebab-sebab

terjadinya fasakh sebagai berikut:

a. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syariat,

akad yang fasid (rusak),

b. Dengan sebab adanya khiya>r syarat, khiya>r ‘aib, atau kiya>r ru’yah.

(38)

29

c. Salah satu pihak denga persetujuan pihak lain membatlkan karena merasa

menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh ini disebut iqa>lah.

d. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi

pihak-pihak yang bersangkutan.

e. Karena habis waktunya, seperti akad sewa menyewa berjangka waktu

tertentu dan tidak dapat diperpanjang.

f. Karena tidak dapat izin dari pihak yang berwenang.

g. Karena kematian.18

B. Ija>rah

1. Definisi Ija>rah

Lafal al-ija>rah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau

imbalan.19 Secara etimologi ija>rah berasal dari kata ajru yang berarti

al-iwadhu / pengantian, dari sebab itulah ath-thawa>b dalam konteks pahala dinamai

juga al-ajru / upah.20 Ija>rah juga dapat diartikan menjual manfaat,21 yaitu akad

atas suatu kemanfaatan yang kemudian mendapat imbalan. Al-ija>rah merupakan

salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup

(39)

30

manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan

lain-lain.22

Secara terminologi, ada beberapa definisi al-ija>rah yang dikemukakan

para ulama fiqh. Menurut ulama Hanafiyah mengatakan bahwa ija>rah adalah

akad atas manfaat disertai imbalan.23 Ulama Hanafiyah berpendapat

sebagaimana ta’li>q menggantungkan dalam jual beli maka ta’li>q dalam ija>rah

juga tidak sah.24

Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan ija>rah ialah sebagai

akad atas suatu manfaat mengandung maksud tertentu, mubah, serta dapat

didermakan dan kebolehan dengan pengganti tertentu.25 Ulama Malikiyah

mendefinisikan ija>rah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah

dalam masa tertentu dengan pengganti.26 Menurut ulama Hanabilah, ija>rah

adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ija>rah dan kara’ dan

semacamnya.27

Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat di kemukakan bahwa pada

dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip diantara para ulama dalam

mengartikan ija>rah. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ija>rah

22 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah…, 228. 23 Ibid.

24Abdul Hayyie al-Kattani,

Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5…, 387.

25Ibid.

26 Syafei Rahmat, Fiqh Muamalah, 122.

(40)

31

adalah akad atas suatu manfaat dalam masa tertentu dengan adanya

imbalan/pengganti.

2. Landasan HukumIja>rah

Hampir semua ulama’ fikih sepakat bahwa ija>rah disyariatkan dalam

Islam. Adapun golongan yang tidak menyepakati di antaranya seperti, Abu

Bakar al-Asham, Ismail bin Ulayyah, Hassan Basri, al-Qasyani, an-Nahrawani,

dan Ibnu Kaisan. Mereka berpendapat bahwa ija>rah adalah menjual manfaat,

padahal manfaat-manfaat tersebut tidak pernah ada saat melakukan akad, hanya

dengan berjalannya waktu akan terpenuhi sedikit demi sedikit. Sesuatu yang

tidak ada, tidak dapat dikategorikan jual beli.28 Para ulama fiqh mengatakan

bahwa yang menjadi dibolehkannya akad al-ija>rah berdasarkan al-Quran, Hadis,

dan Ijma’.

a. Al-Qur’an

1) Surah al-Baqarah (1) ayat 233

                                      

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha

melihat apa yang kamu kerjakan.”29

(41)

32

2) Surah ath-Thalaq (65) ayat 6

           

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka

berikanlah kepada mereka upahnya”30

b. Hadis

1) Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3391:

اَنك

ۤ

رْكن

ۤ

ۤض ْ ْْا

ۤ

ا ب

ۤ

لع

ۤ

يقاوَسلا

ۤ

ْۤنم

ۤ

ۤع ْ َزلا

ۤ

ام

ۤ

ۤعس

ۤ

ۤءا ْلاب

ۤ

ا ْنم

ۤ

انا نف

ۤ

ۤ

31

ۤۤ ةَ فْۤۤ أۤۤ به بۤا يرْكنْۤۤ أۤانرمأ ۤۤكل ْۤۤنعۤۤمَلس ۤۤهْيلعَّۤۤۤ َلصَّۤۤۤۤ وس

“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang

tumbuh. Lalu Rasulullah Saw melarang kami dengan cara itudan

memerintahkan kami agar membayarnya dengan upah emas atau

perak.”32

2) Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2443:

Dari Ibnu ‘Umar R.A., ia berkata, Nabi Muhammad Saw bersabda:

33

ۤهقرعۤ َفجيْۤ أۤلْبقۤ رْجأۤرْيجْْاۤاوطْعأ

“Berilah upah kepada para pekerja sebelum mengering keringatnya.”34

c. Ijma’

30 Ibid., 946.

31 Abu Dawud Sulaiman ibnu Al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), 380. 32 Abd. Mufid Ihsan, Terjemah Sunan Abu Dawud Jilid 2, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2006), 309. 33 Ibnu Majah, Sunan Ibn Ma>jah Juz II, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 817.

34Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Terjemah Irfan Maulana Hakim, Cet. I, (Surabaya: Sinar

(42)

33

Umat Islam pada masa sahabat telah sepakat membolehkan akad ija>rah

sebelum keberadaan Asham, Ibnu Ulayyah, dan lainnya. Hal itu didasarkan

pada kebutuhan masyarakat terhadap manfaat ija>rah sebagaimana kebutuhan

mereka terhadap barang yang rill. Dan, selama akad jual beli barang

dìperbolehkan juga.35

3. Rukun Ija>rah

Rukun ija>rah menurut Hanafiyah adalah Ija>b dan qabul, yaitu dengan lafal

ija>rah, isti’jar, iktiraa’ dan ikraa’.36 Ulama Hanafiyah menayatakan bahwa orang

yang berakad, sewa / imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ija>rah,

bukan rukunnya.37 Sedangkan ija>rah menurut mayoritas ulama ada empat, yaitu:

a. Dua pelaku akad (pemilik sewa dan penyewa)

b. Sighat yaitu (Ija>b dan qabul)

c. Uang sewa atau imbalan (ujrah)

d. Manfaat, manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan tenaga

dari orang yang bekerja.38

4. Syarat-syarat Ija>rah

Dalam akad ija>rah ada empat macam syarat sebagaimana dalam akad jual beli, yaitu syarat wujud (syart al-inqa>d), syarat berlaku (syart an-nafadz), syarat

sah , dan syarat kelaziman.39

35 Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5, 386. 36 Ibid.,387.

(43)

34

1. Syarat Wujud (syart al-inqa>d)

Syarat wujud yang juga biasa disebut syarat terjadinya akad. Ada tiga

macam syarat wujud berkaitan dengan aqid, akad sendiri, dan tempat akad.

Syarat yang berkaitan dengan, aqid (pelaku akad) disyaratkan harus berakal.

Menurut ulama Hanafiyah, disyaratkan harus berakal dan mumayyiz, serta

tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, akad ija>rah anak mumayyiz,

dipandang sah apabila telah diizinkan walinya. Ulama Malikiyah berpendapat

bahwa mencapai usia mumayyiz adalah syarat ija>rah dan jual beli, sedangkan

baligh adalah syarat berlaku (syart an-nafadz). Jika ada anak yang mumayyiz

menyewakan diri atau hartanya, maka hukumnya sah dan akad itu

digantungkan pada kerelaan walinya. Adapun ulama Syafi’iyah dan

Hanabilah berpendapat bahwa syarat taklif (pembebanan kewajiban syariat),

yaitu baligh dan berakal, adalah syarat wujud akad ija>rah.40

2. Syarat Berlaku (syart an-nafadz)

Syarat berlakunya akad ija>rah adalah adanya hak kepemilikan atau kekuasaan

(al-wilaayah) yang dimiliki oleh aqid. Dengan demikian, ija>rah al-fud{u>l atau

ija>rah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak

diizinkan oleh pemiliknya tidak dapat menjadikan adanya ija>rah. Menurut

Hanafiyah dan Malikiyah, akad ini digantungkan pada persetujuan dari

(44)

35

pemilik sebagaimana berlaku dalam jual beli. Hal ini berbeda dengan

pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.41

3. Syarat Sah

Syarat sah ija>rah berkaitan dengan aqid (orang yang akad), mauqud alaih

(objek), sewa atau upah (ujrah) dan zat akad. Syarat-syarat sah akad ija>rah

adalah sebagai berikut:

a) Kerelaan kedua pelaku akad

Syarat ini diterapkan sebagaimana dalam akad jual beli. Allah berfirman,

dalam surah An-Nisa (4) ayat 29 :

                                           . “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu”.42

b) Objek akad yaitu manfaat harus jelas dan diketahui. Adanya kejelasan

ma’qud alaih (barang yang menjadi objek akad) menghilangkan

perselisihan di antara aqid.43 Apabila objek akad (manfaat tidak jelas,

sehingga menimbulkan perselisihan, maka akad ija>rah tidak sah, karena

dengan demikian, manfaat tersebut tidak bisa diserahkan, dan tujuan akad

41 Ibid.

(45)

36

tidak tercapai.44 Kejelasan tentang objek akad ija>rah bisa dilakukan

dengan menjelaskan:

1. Objek manfaat, penjelasan objek manfaat dilakukan agar benda yang

disewakan benar-benar jelas dan diketahui.45

2. Masa manfaat, penjelasan masa waktu manfaat adalah hal yang

sangat penting dalam penyewaan kontrak rumah, toko, apartemen

tinggal beberapa bulan, tahun. Hal itu karena objek akad menjadi

tidak jelas kadarnya kecuali dengan penentuan waktu tersebut.46

3. Jenis pekerjaan, penjelasan tentang jenis pekerjaan atau objek kerja

sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja

sehingga tidak terjadi kesalahan atau petentangan dan mengakibatkan

rusaknya akad.47

c) Objek akad dapat diserahkan serta dipenuhi, baik secara nyata (hakiki)

dan syara’. Menurut kesepakatan fuqaha, akad Ija>rah tidak dibolehkan

terhadap sesuatu yang tidak dapat diserahkan, seperti menyewakan unta

yang lepas.48 Menurut Abu Hanifah, Zufar, dan ulama Hanabilah

berpendapat tidak dibolehkan menyewakan sesuatu yang dimiliki

bersama selain kepada mitranya, seperti menyewakan bagian seseorang

44Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah…, 324. 45 Syafei Rahmat, Fiqh Muamalah…, 126.

46Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5, 391. 47 Syafei Rahmat, Fiqh Muamalah, 126.

(46)

37

dari rumah milik bersama kepada bukan mitra karena benda milik

bersama tidak bisa diberikan tanpa persetujuan semua pemilik.49 Akan

tetapi, menurut mayoritas ahli fiqih, ija>rah atas kepemilikan bersama

dibolehkan secara mutlak, baik untuk mitra maupun orang lain. Karena

barang tersebut memiliki manfaat dan penyerahannya dapat dilakukan

dengan penyesuaian denagn cara dibagi antara pemilik yang satu dengan

pemilik yang lain, sebagaimana dibolehkan dalam jual beli, dan ija>rah

adalah salah satu jenis jual beli.50

d) Manfaat yang menjadi objek Ija>rah dibolehkan secara syara’. Maka tidak

sah Ija>rah dalam hal maksiat, karena maksiat wajib ditinggalkan.

Misalnya orang yang menyewa seseorang untuk membunuh seseorang

secara aniaya, atau menyewakan rumahnya kepada orang yang menjual

khamar, pelacuran atau digunakan judi.51

e) Pekerjaan yang ditugaskan bukan kewajiban bagi penyewa sebelum akad

ija>rah . Tidak sah ija>rah dari mengerjakan kewajiban karena seseorang

melakukan kewajibannya tidak berhak mendapat upad dari pekerjaan itu,

seperti orang yang membayar hutangnya. Sehinggaa tidak sah melakukan

ija>rah untuk amalan ibadah, shalat puasa haji, menjadi imam adzan dan

mengajarkan al-quran, karena itu adalah menyewa dalam amalan wajib.

49Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah…, 324.

(47)

38

Akan tetapi, menurut ulama Imam Malik dan Syafi’i, dibolehkan

melakukan ija>rah dalam mengajarkan Al-Quran karena objek kerjanya

jelas dan upahnya juga jelas.52

f) Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya.

Jika ia mengambil manfaat, maka tidak dibolehkan. Tidak sah ija>rah

untuk ketaatan karena ia mengerjakan untuk kepentingan sendiri.

Sebagaimana tidak sah menyewa seorang yang menggiling gandum

dengan upah sebagian dari tepung hasil gilingan itu, atau memeras biji

simsim dengan upah sebagian minyak simsim hasil perasan . Dengan

demikian, tidak sah Ija>rah atas perbuatan taat karena manfaatnya untuk

orang yang mengerjakan sendiri.53

g) Manfaat dari akad itu harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad

Ija>rah , yang biasa berlaku umum. Apabila manfaat tersebut tidak sesuai

dengan tujuan dilakukannya akad ija>rah maka akad ija>rah h menjadi

tidak sah. Dalam contoh tidak dibolehkan menyewakan pohon untuk

menjemur pakaian dan untuk berteduh karena manfaat itu dimaksudkan

dari kegunaan pohon tersebut.54

52Abdul Hayyie al-Kattani, Terjemah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 5, 398. 53 Ibid.,399.

(48)

39

4. Syarat Kelaziman

Disyaratkan dua hal dalam akad ija>rah agar akad ini menjadi lazim

(mengikat) yaitu sebagai berikut:

1) Terbebasnya barang yang disewakan dari cacat yang merusak

pemanfaatannya. Apabila terdapat suatu cacat, maka penyewa memiliki

hak khiyar (hak pilih) antara meneruskan ija>rah atau membatalakannya,

seperti kuda yang disewa sakit atau pincang, atau hancurnya sebagian

bangunan rumah.

2) Tidak terjadi alasan yang dapat membatalkan akad Ija>rah . Misalnya

terjadi sesuatu terhadap salah satu pihak atau barang yang disewakan,

maka setiap pihak boleh membatalkan akad. Ija>rah dapat dapat

dibatalkan dengan sebab ada alasan (udzur) menurut ulama Hanafiyah.

Sedangkan mayoritas ulama, berpendapat akad ija>rah adalah akad lazim

(mengikat) seperti jual beli, maka tidak dapat dibatalkan seperti seluruh

akad-akad lazim lainnya oleh pelaku akad tanpa ada alasan yang

mewajibkan, seperti adanya cacat, hilangnya objek manfaat.

5. Berakhirnya Akad Ija>rah

Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ija>rah akan berakhir, yaitu:

a. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad

al-ija>rah, maka ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya.

(49)

40

diwariskan dan al-ija>rah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah

pihak.55

b. Hilang, rusak dan musnahnya barang/obyek yang disewakan, seperti rumah

dan binatang yang menjadi ain’.56

c. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti

rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka

al-ija>rah batal.

d. Terjadi aib pada barang sewaan yang kejadiannya di tangan penyewa atau

terlihat aib lama padanya.57

e. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ija>rah telah berakhir, atau

selesainya pekerjaan dan masanya, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah

fasakh.58

6. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia Tentang Ija>rah

Ada beberapa fatwa DSN-MUI berkenaan dengan akad Ija>rah . Beberapa

diantaranya yaitu:

a. Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ija>rah

yang berisi tentang rukun dan syarat ija>rah , ketentuan objek ija>rah ,

kewajiban LKS dan nasabah dalam pembiayaan ija>rah , penyelesaian

perselisihan pembiayaan ija>rah .

55 Syafei Rahmat, Fiqh Muamalah…, 137. 56Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Terjemah…, 34. 57 Ibid., 34.

(50)

41

b. Fatwa DSN-MUI No. 44/DSN-MUI/VII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa

yang berisi ketentuan pembiayaan multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan

menggunakan akad ija>rah atau kafalah. Dalam pelaksanaan, jika LKS

menggunakan akad ija>rah , maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada

dalam fatwa ija>rah . LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee

yang besarnya harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal

bukan dalam bentuk prosentase.

C. Mura>bah}ah

1. Definisi Mura>bah}ah

Pengertian mura>bah}ah secara lafdzi berasal dari masdar ribhun

(keuntungan). Mura>bah}ah adalah masdar dari Rabaha – Yurabihu - Murabahatan

(memberi keuntungan).59

Secara istilah, adapun menurut ulama Hanafiyah, mura>bah}ah adalah

memindahkan hak milik sesuai dengan transaksi dan harga pertama (pembelian),

ditambah keuntungan tertentu. Sementara menurut ulama Syafi’iah dan

Hanabilah, mura>bah}ah adalah menjual barang sesuai dengan modal yang

dikeluarkan oleh penjual ditambah keuntungan dengan syarat sepengetahuan

kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli.60

59 M. Quraishi Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 493.

(51)

42

Dalam ilmu fiqih, akad mura>bah}ah ini pada mulanya digunakan untuk

bertransaksi dengan anak kecil atau dengan orang yang kurang akalnya. Hal ini

dilakukan untuk menghindari penipuan.61 Dewasa ini, akad mura>bah}ah pun

digunakan dalam praktek perbankan syariah, mura>bah}ah adalah akad jual beli

barang sesuai dengan harga pembelian, dengan menambahkan keuntungan

tertentu. Dalam hal ini, penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan

menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.62

Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat diambil intisari bahwa

mura>bah}ah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan

keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.

2. Landasan HukumMura>bah}ah

Jual beli dengan akad mura>bah}ah termasuk transaksi yang diperbolehkan

oleh syariat. Mayoritas ulama dari kalangan para sahahat, tabi’in, dan para Imam

mazhab, juga memperbolehkan jual beli jenis ini. Hanya saja, menurut ulama

Malikiyah, jual beli ini hukumnya khilaaful awIa.63 Dalil-dalil yang

membolehkan jual beli dengan akad mura>bah}ah berdasarkan al-Quran,

As-Sunnah, dan Ijma’ adalah sebagai berikut :

a. Al-Quran

1) Surah Al-Baqarah (2) ayat 275

61Adi Warman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2006), 73.

62 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001),

101.

(52)

43  … ۤ   ۤ   ۤ   ۤ   ۤ …

“…Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”64

2) Surah an-Nisaa’ (4) ayat 29



ۤ

 

ۤ

 

ۤ

 

ۤ

 

ۤ



ۤ



ۤ

 

ۤ

 

ۤ



ۤ

 

ۤ

 

ۤ



ۤ

 

ۤ

 

ۤ

ۤ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu s

Referensi

Dokumen terkait

Aspek tersebut antara lain mewujudkan tertib hukum di wilayah Kabupaten Tabanan; menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat untuk taat terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan

Penelitian ini termasuk penelitian diskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah bagian akademik dan semua guru yang mengajar di SMK Tarbiyatunnasyi’in Paculgowang

Napas aktif pertama menghasilkan rangkaian peristiwa tanpa gangguan (1) dapat membantu perubahan sirkulasi janin menjadi sirkulasi dewasa, (2) mengosongkan paru

Hal ini juga didukung oleh penelitian Astuti (2012) bahwa pelaksanaan supervisi akademik dalam mengembangkan profesi guru oleh Kepala sekolah sangat efektif. Dari beberapa

Dampak positif terhadap sosial ekonomi yaitu : pengembangan pariwisata memberikan dampak terhadap sosial ekonomi masyarakat yaitu pertama pendidikan

Secara garis besar, komoditas hortikultura terdiri dari kelompok tanaman sayuran (vegetables), buah (fruits), tanaman berkhasiat obat (medicinal plants), tanaman hias (ornamental

No. Artinya terjadi perbaikan nilai dari Siklus I sebesar 3,70% menjadi 33,33% pada Siklus II. Berdasarkan Tabel 4.14, pada siklus ini, 4 dari 7 pemasalahan pokok berhasil diatasi

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa ada tiga dimensi persepsi estetika yaitu mengusung nilai-nilai religius Islami, memiliki kekhasan yang menampilkan ciri musik metal,