• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI “ROKAT PRAOH KESELLEM” DI PULAU MANDANGIN SAMPANG MADURA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NILAI-NILAI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI “ROKAT PRAOH KESELLEM” DI PULAU MANDANGIN SAMPANG MADURA."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM

TRADISI “

ROKAT P

RAOH KESELLEM”

DI PULAU

MANDANGIN SAMPANG MADURA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh:

Susilowati NIM A02211030

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Nilai-nilai Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Rokat Paraoh Kesellem di Pulau Mandangin Sampang Madura. Adapun fokus masalahnya adalah (1) Bagaimana Proses Pelaksanaan Rokat Paraoh Kesellem di Pulau Mandangin? (2) Bagaimana akulturasi nilai-nilai Islam dan budaya lokal dalam tradisi Rokat Paraoh Kesellem di Pulau Mandangin?.

Penelitian ini menggunakan metode etnografi, dalam arti peneliti terlibat langsung terhadap obyek yang diteliti, mengamati secara langsung prosesi rokat

paraoh Kesellem, dan melakukan field note (catatan lapangan) yaitu mencatat hasil

pengamatan obyek yang diteliti dan hasil wawancara dengan pelaku paraoh kesellem, dan masyarakat secara umum, untuk kemudian dilakukan analisis dan interpretasi.

Hasil penelitian skripsi ini menjelaskan bahwa: (1) Proses pelaksanaan

Tradisi Rokat Praoh Kesellem dimulai dengan pagelaran Ronnang atau ludruk,

(6)

ABSTRACT

Thesis entitled Islamic Values and Local Culture of Rokat Paraoh Kesellem Traditions in Mandangin Sampang Madura Island. The focus study (1) How is the implementation process of Rokat Paraoh Kesellem tradition in Mandangin Island (2) How is the acculturation of Islamic values and local culture in Rokat Paraoh Kesellem tradition at Mandangin Island.

This study used ethnographic methods, where researcher is involved directly against the object studied. The researcher observed the process of Rokat Paraoh Kesellem tradition directly. In addition taking field notes are recorded observations of the object under the study and interviewing the actors of rokat paraoh kesellem tradition, and society in general; this is for the analysis and interpretation.

The result of this study is that: (1) The process of implementation of Rokat

Praoh Kesellem Tradition begins with Ronnang or ludruk performances, recitals

(mauidah hasanah), followed by readings of remembrance together in tahlilan or

istighatha, and the last is releasing offerings, some fruit (bananas, apples, mango,

grapes, pineapple, etc.) which are collected in Bhitek (small boat containing offerings) and the release of the head of a cow or goat to the sea. Finally, when the

Bhitek sank into the sea, the rokat procession considered finished. (2) Acculturation

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G. Metode Penelitian... 11

H. Sistimatika Pembahasan ... 15

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT PULAU MANDANGIN .. 17

A. Geografis ... 17

B. Kondisi Sosial Agama ... 28

(8)

BAB III PROSES PELAKSANAAN ROKAT PRAOH KESELLEM DI PULAU MANDANGIN ... 35 A. Pengertian Rokat Praoh Kesellem dan Ritual Rokat Paraoh Kesellem di

Pulau Mandangin ... 35 B. Proses Pelaksanaan dan Tujuan Rokat Praoh Kesellem di Pulau

Mandangin ... 38

BAB 1V AKULTURASI TRADISI ROKAP PRAOH KESELLEM DENGAN NILAI NILAI ISLAM ... 47 A. Budaya Lokal dalam Tradisi Rokat Praoh Kesellem ... 47 B. Nilai-Nilai Islam dalam Tradisi Rokat Praoh Kesellem ... .. 52 C. Respon Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Tradisi Rokat Praoh

Kesellem di Pulau Mandangin ... 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 66

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang multikultural. Hal tersebut tak bisa dilepaskan dengan sejarah bangsa Indonesia yang amat panjang, selain masyarakat lokalnya sendiri, tanah Indonesia pernah disinggahi para pemburu rempah-rempah Portugis, para penjajah Belanda serta misionarisnya, hingga orang-orang Jepang pernah menginjakkan kaki di Indonesia sejenak sebelum proklamasi kemerdekaan. Keadaan tersebut berbanding lurus dengan keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, suku, ras, yang memungkinkan keramaian itu terjadi.

Islam mulai merambah Nusantara, menurut teori “Mekkah”-nya

Hamka, sejak abad ke-7 Masehi, dengan merujuk pada intensitas perdagangan laut yang terjadi membentang antara Laut Merah hingga Cina pada abad tersebut.1Tetapi Islam dalam arti sudah punya pengaruh struktur kekuasaan dan budaya di Indonesia terjadi pada abad ke 13 M.

Hasil pemikiran, cipta, rasa dan karsa manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat. Pikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi.2

1

Alwi Shihab, Islam Sufistik (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), 4-5. 2

(10)

2

sebuah kebudayaan lahir dengan menancapkan akar yang amat dalam pada kehidupan masyarakat. Kebudayaan akan selalu dijunjung tinggi, dan perubahan-perubahan terhadapnya sangatlah sulit untuk diusahakan.3

Islam tasawuf telah memudahkan penerimaan Islam oleh penduduk Indonesia. Islam tasawuf tampil secara elegan dan penuh toleransi terhadap tradisi-tradisi lokal yang terus berkembang di Indonesia. Kata

“tasawuf”, dalam bahasa Indonesia berarti “mistis”. Tak heran jika banyak

pakar kebudayaan dan agama yang menyebutkan bahwa Islam Indonesia bersifat mistis. Mistisisme ini sering kali tampak pada ritual-ritual keagamaan yang masih kental dengan kebiasaan Hindu-Budha. Keadaan ini tidak membuat nilai-nilai inti Islam tereduksi, melainkan ia tetap berjalan dengan mencoba terus berdialog dengan budaya lokal. Islam tetap pada nilai-nilai universalnya, ia menjadi inti atau isi dari sebuah wadah yang bernama budaya lokal.4Bagaimanapun budaya lokal atau wadah itu beragam, tidak berarti nilai-nilai Islam luntur. Munculnya Islam Bugis, Islam Sunda, Islam Jawa, Islam Madura, adalah Islam itu sendiri (yang memili nilai-nilai universal) yang memiliki wadah yang beragama.

3

Ibid,. 1.

4

(11)

3

Islam Jawa dalam pandangan banyak peneliti merupakan sebuah entitas budaya5 tersendiri di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari bahasa, bentuk kesenian, arsitektur, aneka ritual, tradisi, dan pandangan teologinya, yang secara signifikan berbeda dari suku atau komunitas lain di Indonesia.

Dalam sejarah, perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Kebudayaan sebagai cara merasa dan cara berpikir yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu.

Begitu halnya di Madura, Orang-orang luar memandang orang Madura sebagai orang yang sangat beriman, dalam hal penghayatan terhadap ajaran agama dan semangat penyebaran agama, daerah itu sering disejajarkan dengan Aceh.6 Agama Islam masuk dan diterima disana dengan cara damai tanpa kontak fisik sedikitpun.

5

E. B. Taylor, dalam bukunya “Primitive Culture”, Berbeda dengan R. Linton dalam bukunya:

The Cultural Background of personality”,. Sebagaimana dikutip Joko Tri Prasetya DKK, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 29.

6

(12)

4

Hubungan dialogis antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal ini terepresentasikan dalam beragam cara yang dipraktekkan dalam kehidupan keberagamaan masyarakat, salah satunya adalah TradisiRokat Praoh

Kesellem. Rokat ini merupakan salah satu tradisi yang berkembangan di

masyarakat lokal Madura, tepatnya di Pulau Mandangin Sampang, Kec. Sampang, Kab. Sampang. Rokat Praoh Kesellem termasuk dalam kebudayaan Islam Madura yang terkenal kental dan dipegang teguh oleh masyarakatnya. Kata rokat berasal dari bahasa Madura, yang berarti

slametan, atau upaya menolak bahaya. Untuk acara-acara sejenis

slametan, di Madura (dalam hal ini di Pulau Mandangin Sampang) disebut

dengan rokat, termasuk slametan Praoh Kesellem (perahu tenggelam). Sebagaimana rokat-rokat yang lain di Madura, Rokat Praoh

Kesellem memiliki tujuan keselamatan, menolak bahaya dan mengharap

kemaslahatan di dalam hidup. Secara lebih spesifik, Rokat Praoh Kesellem

dilakukan ketika masyarakat Pulau Mandangin mengalami hasil yang kurang baik dalam menangkap ikan atau nelayan. Konon, Rokat Praoh

Kesellem merupakan turunan dari kebudayaan Hindu-Budha yang telah

(13)

5

Tradisi rokat semacam ini tidak hanya ada di Madura, bisa saja ada di daerah-daerah di luar Madura, namun kebudayaan Madura yang merupakan salah satu kebudayaan tersendiri menjadi sangat menarik bila dikaji. Kajian semacam ini menemukan signifikasinya dalam konteks saat ini, di mana klaim kebenaran, arogansi takfir, dan kekerasan “membela

agama” sering kali mengemuka, khususnya dalam kehidupan masyarakat

Muslim Indonesia. Adalah perlu menunjukkan sisi-sisi budaya Islam yang positif, toleran dan akomodatif terhadap segala bentuk dinamika lokal dengan menyandarkan pada nilai-niai universal Islam.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Proses Pelaksanaan Rokat Praoh Kesellem di Pulau Mandangin?

2. Bagaimana akulturasi Tradisi Rokat Praoh Kesellem dengan nilai-nilai Islam?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini, bertujuan sebagai berikut:

1. Menggali tentang Tradisi Rokat Praoh Kesellem di Pulau Mandangin Sampang.

(14)

6

universal di Pulau Mandangin Sampang.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara Teoritik

Penelitian ini disamping sebagai salah satu upaya untuk memenuhi tugas akhir dalam Program Stara satu (S1) jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UINSA juga diharapkan mampu menambah keilmuan peneliti dalam bidang ilmu humaniora secara mendalam.

2. Secara Praktis

Sebagai konstribusi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai “Tradisi

Rokat Praoh kesellem di Pulau Mandangin” dan bahan pertimbangan bagi peneliti lainnya.

3. Secara Akademik

(15)

7

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Judul penelitian ini, menyiratkan adanya akulturasi Islam dan budaya lokal Madura, Peneliti menggunakan pendekatan antropologi budaya.7Pendekatan antropologi budaya akan berusaha mengungkap bentuk-bentuk atau wujud akulturasi Islam dan budaya lokal Madura dalam Tradisi Rokat Praoh Kesellem di Pulau Mandangin Sampang Kac. Sampang, Kab. Sampang yang terus berlangsung hingga sekarang. Dan pendekatan ini akan mencoba melacak tentang fungsi dari perwujudan akulturasi Islam dan budaya lokal Madura dalam Tradisi Rokat Praoh

Kesellem yang meliputi cara-cara yang digunakan, sudut pandang

masyarakat sebagai pelaku budaya terhadap tradisi tersebut, dan pengaruhnya dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Madura. Akulturasi agama dan budaya, tidak bisa dilepaskan dari teori yang menyatakan bahwa ajaran-ajaran agama merupakan salah satu elemen penting yang membentuk sistem nilai budaya. Dalam kerangka ini, maka memberikan sumbangsih yang tidak kecil terhadap sistem moral maupun sistem sosial masyarakat. Mengingat nilai-nilai menjadi pedoman dalam berbagai pola perilaku masyarakat, maka nilai-nilai agama tersebut pada gilirannya dikonstruk oleh masyarakat penganutnya menjadi nilai-nilai budaya, yang dipakai dan dipraktekkan oleh masyarakat dimaksud. Secara lebih eksplisit, Geertz menyebut agama sebagai sistem kebudayaan.

7

(16)

8

Sementara kebudayaan, dalam pandangan Geertz didefinisikan sebagai pola bagi kelakuan yang terdiri dari serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana, petunjuk-petunjuk, yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya.8 Dengan demikian, kebudayaan juga dilihat sebagai pengorganisasian pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-simbol yang berkaitan dengan ekspresi manusia. Karena itu, Geertz kemudian memahami agama tidak saja sebagai seperangkat nilai di luar manusia, tapi juga merupakan sistem pengetahuan dan sistem simbol yang memungkinkan terjadinya pemaknaan. Sebagai sistem pengetahuan, agama merupakan sistem keyakinan yang sarat dengan ajaran-ajaran moral dan petunjuk kehidupan yang harus dipelajari, dan kemudian dipraktekkan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam hal ini, agama memberikan petunjuk mengenai “yang baik dan buruk”. Nilai-nilai agama dapat membentuk dan mengkonstrukkan perilaku manusia dalam kesehariaanya. Sementara agama sebagai sistem simbol, dalam agama terdapat simbol-simbol tertentu untuk mengaktualisasikan ajaran agama yang diperlukannya. Baik simbol-simbol dimaksud berupa perbuatan, kata-kata, benda, sastra dan sebagainya. Sujud misalnya, merupakan bentuk simbolisasi atas kepasrahan dan penghambaan penganutnya pada pencipta. Sujud merupakan simbol totalitas kepasrahan hamba, dan pengakuan

8

(17)

9

secara sadar akan kemaha besaran Allah Swt. Dalam hal ini, sujud yang terdapat dalam salat merupakan bagian dari ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat beragama, dengan demikian dapat dipahami bahwa antara kebudayaan dan agama, masing-masing mempunyai simbol-simbol dan nilai tersendiri. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Allah Swt. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi agama tanpa kebudayaan sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.9

Penelitian ini Juga menggunakan teori fungsional sebagai pisau analisis: sebuah teori yang melihat kebudayaan sebagai sebuah pengetahuan terpadu dalam pengetahuan suatu kepercayaan dan nilai. Hal ini menentukan situasi dan kondisi kehidupan suatu masyarakat. Dalam hal ini, kebudayaan merupakan sistem makna-makna simbolis yang sebagian di antaranya menentukan realitas yang diyakini oleh masyarakat. Teori fungsional memandang sumbangan agama terhadap masyarakat Muslim dan kebudayaannya berdasarkan atas karakteristik pengalaman

9

(18)

10

sehari-hari dalam lingkungan alam. Teori ini memandang kebutuhan tersebut sebagai hasil dari tiga karakteristik dasar eksistensi manusia. Pertama, manusia hidup dalam ketidak pastian. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya, pada titik dasar tertentu, kondisi manusia ditandai oleh ketidak berdayaannya. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat dan suatu masyarakat merupakan keadaan yang teratur dari berbagai fungsi dan fasilitas.

F. Penelitian Terdahulu

Beberapa peneliti terdahulu yang pernah dilakukan sebelumnya, baik berupa buku, artikel dalam jurnal ilmiah dan lain-lain. Tujuan dari eksplorasi ini adalah untuk merekam jejak penelitian sejenis, sehingga bisa ditemukan di mana posisi atau distingsi penelitian ini, tidak banyak ditemukan penelitian tertang Rokat Praoh Kesellem secara spesifik, dalam hal pembahasan mengenai akulturasi budaya lokal dan nilai-nilai Islam di dalamnya.

(19)

11

Buku yang ditulis oleh Prof. Simuh Buku tersebut berjudul Islam

dan Pergumulan Budaya, 2003. Dalam buku ini, Prof. Simuh membahas

tiga nilai yang sejatinya terdapat dalam sebuah kebudayaan manusia, yaitu nilai agama, nilai seni dan nilai solidaritas.

G. Metode Penelitian

Sesuai dengan pendekatan yang dipilih, dalam penelitian ini peneliti mengunakan metode etnografi. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Adapun tujuan utama dari aktifitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Malinowski mengemukakan bahwa tujuan dari etnografi adalah memahami sudut pandang asli hubungannya dengan kehidupan untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya.

Dalam melakukan penelitian metode etnografi ini, peneliti memilih metode dengan pengamatan secara langsung atau terlibat.10Dengan mengamati secara langsung atau terlibat di lapangan, akan lebih baik dalam usaha mendapatkan data yang otentik, bisa dipercaya dan dapat dipertanggung-jawabkan (data primer). Penelitian terlibat ini tentu mengharuskan peneliti untuk turun langsung ke lapangan yakni Pulau Mandangin Sampang kac. Sampang, Kab. Sampang di mana Tradisi Rokat

Praoh Kesellem berlangsung. Dalam melaksanakan penelitian dengan

metode etnografi ini, peneliti menggunakan beberapa langkah:

10

(20)

12

pengumpulan data, pengamatan, deskripsi, interpretasi dan penyajian. Untuk itu perlu dijelaskan hal-hal sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data Langkah pertama yang mesti ditempuh dalam metode etnografi ini adalah mengumpulkan data sebagai proses menemukan sumber-sumber yang bisa dipergunakan bagi penelitian kebudayaan. Data-data yang dimaksud bisa berupa artefak, kelakuan, ide atau data lainnya yang didukung dengan data sejarah. Selain data-data yang dimaksud, data-data juga bisa berupa bacaan kepustakaan, baik buku, artikel dalam surat kabar, makalah, skripsi, atau data-data kepustakaan akademik lainnya. Pada bagian ini peneliti mesti mengumpulkan data apa saja yang sekiranya mendukung penelitian tentang Tradisi Rokat Praoh Kesellem di Pulau Mandangin, dengan tetap menyandarkannya pada pendekatan, kerangka teori dan metode pengamatan etnografi.

2. Pengamatan dan Wawancara

Pengamatan yang dimaksud berarti peneliti mengamati langsung

Tradisi Rokat Praoh Kesellem di Pulau Mandangin Sampang, dengan

mencatat apapun yang dilihat yang sekiranya dibutuhkan dalam penelitian ini. Catatan-catatan inilah yang kemudian disebut sebagai

field notes (catatan lapangan). Field notes ini ditulis apa adanya tanpa

(21)

13

dipahami oleh peneliti. Tidak menutup kemungkinan akan ada beberapa catatan dalam field notes yang sulit atau bahkan tidak dimengerti oleh peneliti walaupun peneliti adalah warga masyarakat Pulau Mandangin. Maka untuk mengatasi kesulitan tersebut, dibutuhkan langkah wawancara pada beberapa orang yang juga terlibat dalam tradisi tersebut yang sekiranya paham tentang beberapa hal yang dirasa sulit bagi peneliti. Bagaimanapun, dalam sebuah penelitian etnografi, objek penelitian bukanlah objek, melainkan menjadi subjek, dengan asumsi bahwa merekalah sebagai pelaku budaya yang paling tahu terhadap apa yang mereka lakukan.

3. Diskripsi

Penyajian tulisan atau pendeskripsi data dalam penelitin ini dilakukan dengan dua cara:

a. Informatif-deskriptif, menerangkan sebagaimana data yang ada seperti kutipan-kutipan ucapan langsung, baik dalam buku atau dalam wawancara atau menyajikan fakta sesuai dengan maksud pelaku budaya.

(22)

14

4. Interpretasi

Interpretasi merupakan sebuah kegiatan mengadakan penafsiran terhadap fakta dari pengolahan data. Data-data dari berbagai fakta mesti dirangkaikan dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis dan logis.11Suatu interpretasi bisa merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simblol spesifik. Informasi tersebut bisa berupa informasi lisan, tulisan, gambar atau berbagai bentuk bahasa lainnya yang dimengerti. Makna yang kompleks dapan timbul sewaktu penafsir baik secara sadar atau tidak melakukan rujukan terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Setelah itu peneliti melakukan penafsiran dan pemahaman dari sumber tertulis dan sumber lisan dengan berdasarkan pada aspek pembahasan tentang akulturasi Islam dan budaya lokal Madura, sebuah studi kasus pada Tradisi Rokat

Praoh Kesellem di Pulau Mandangin.

11

(23)

15

G. Sistematika Pembahasan

Secara global skripsi ini dibagi dalam lima pembahasan, yang satu sama lain saling terkait dan merupakan suatu sistem yang urut untuk mendapatkan suatu kesimpulan dalam mendapatkan suatu kebenaran ilmu. Langkah-langkah pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Bab ini bertujuan untuk mengantarkan secara sekilas, segala sesuatu yang berkaitan dengan penulisan, antara lain latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pendekatan dan kerangka teori, metode penelitian, penelitian terdahulu, sistematika pembahasan. Bab pertama ini merupakan pondasi bagi bab-bab selanjutnya, karena dalam bab-bab pertama inilah segala hal yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini diatur.

Bab II: Gambaran Umum Masyarakat Pulau Mandangin Sampang. Penulisan ini menggunakan masyarakat Pulau Mandangin dari Geografis, kondisi sosial agama dan kondisi sosial ekonomi.

Bab III: Proses Pelaksanaan Rokat Praoh Kesellem di Pulau Mandangin. Bab ini memberikan penjelasan tentang pengertian rokat praoh kesellem dan ritual Rokat Praoh Kesellem di Pulau Mandangin. Kemudian dibahas pula tentang proses pelaksanaan dan tujuan Rokat

Praoh Kesellem,

(24)

16

nilai Islam dalam Tradisi Rokat Praoh Kesellem, budaya lokal dalam

Tradisi Rokat Praoh Kesellem, dan juga respon Masyarakat terhadap

pelaksanaan Tradisi Rokat Praoh Kesellem di Pulau Mandangin.

(25)

17

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT PULAU MANDANGIN

A. Geografis

Pulau Mandangin adalah satu-satunya Pulau yang terletak di Kabupaten dan Kecamatan Sampang, dengan luas 90,04 Ha. Ukurannya memang tidak terlalu luas, terletak di bagian selat Madura. Namun di balik semua itu tersimpan sejarah perjalanan Pulau Mandangin yang sangat memukau Untuk bisa sampai ke Pulau ini dapat ditempuh dengan menggunakan perahu tradisonal melalui pelabuhan Tanglok selama kurang lebih 90 menit. Pulau ini dikelilingi pasir putih yang indah, Terumbu karang yang mengelilingi pulau Mandangin, serta kehidupan unik masyarakat pulau ini sebagai nelayan dan pengrajin perahu. 12

Ketinggian dari permukaan Air laut 4,60 Meter. Pulau Mandangin bukan daerah perairan, tetapi merupakan daerah kepulauan yang di kelilingi air laut dan bisa terjadi Abrasi laut. Macam iklim di Pulau ini ada dua: Kemarau mulai dari bulan April sampai Oktober, Hujan mulai dari November sampai April, curah hujan itu mencapai 1518 mm pertahun.

12

(26)

18

Luas fisik tanah Pulau Mandangin sekitar 165.050 Ha. Kelembapan 32ºC, merupakan tanah yang potensial untuk dikembangkan menjadi area pendidikan, perdagangan, dan obyek wisata bahari.

Jumlah dusun RT di Pulau Mandangin ada tiga. Yaitu: dusun Barat terdiri dari 6 RT, dusun Tengah terdiri dari 5 RT, sedangkan Timur terdiri dari 5 RT juga.

Jumlah penduduk Pulau Mandangin keseluruhan dusun sebanyak 19.507 jiwa pada tahun 2012. Terdiri dari penduduk laki-laki 9.324 jiwa, sedangkan penduduk perempuan sebanyak 10.183 jiwa. Sedangkan pada tahun 2013 Penduduk sebanyak 19.570. Terdiri dari penduduk laki-laki 9.607 jiwa, sedangkan penduduk perempuan sebanyak 9.963jiwa. Jumlah penduduk miskin sebanyak 2739 kepala keluarga.13 Pulau Mandangin tergolong padat penduduknya dibandingkan dengan daerah lain. Penduduk di Pulau Mandangin seratus persen Islam, dengan rincian pengikut NU 98% dan HTI 2% .

Keberadaan Rumah Ibadah di Pulau Mandangin tersebar pada tiga dusun: 1. Dusun Barat mempunyai satu Masjid (Masjid Istiqomah). 2. Dusun Tengah mempunyai satu Masjid (Masjid At-Taqwa). 3. Dusun timur mempunyai satu Masjid (Masjid Muawanah), di sana juga ada Lembaga Pendidikan yang meliputi: 1. Paud. 2. TK. 3. RA (empat). 4. SD

13

(27)

19

(Sembilan). 5. SMP. 6. MTS ( tiga). 7. SMK. 8. MI (tiga). 9. MD (tiga belas).

Dengan kekayaan alam yang begitu melimpah maka tidak heran jika penduduknya sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Menurut data yang kami peroleh sebanyak 75% orang bekerja sebagai Nelayan. Terbesar kedua sebagai pedagang sebanyak 10% orang dan yang lainnya bekerja sebagai tukang batu, tukang kayu, pegawai Negeri dan sebagainya sebanyak 15%.

Dalam data perindustrian Swasta, Negeri, bank, Pasar, Pertokoan, Swalayan, Perkantoran, Badan Usaha Alat Transportasi Lain yaitu: pertokoan sebanyak 65, perkantoran sebanyak 6, perusahaan kapal sebanyak 5, mobil pick up sebanyak 10, kapal nelayan sebanyak 65, kapal taxi sebanyak 25, kapal Eder sebanyak 632.14

Menurut cerita rakyat di Pulau Mandangin yaitu dikutip dari kisah yang berjudul Caretanah Patih Bangsecara yang ditulis oleh Ubaidillah, mengisahkan bahwa, Pertama kali Manusia yang menginjakkan kaki di Pulau Mandangin yaitu abdi kakase (Raja) yang bernama Bangsacara dan Ragapatmi (Selir Raja)

Asal-usul Bangsacara dari Demak. Dia keturunan Majapahit. Nama aslinya Aryo Pratikel, bukan Bangsacara. Aryo Pratikel mondok di Ampel, setelah lama menuntut ilmu pada Sunan Ampel, dia bertirakat di

14

(28)

20

Madheghan Sampang. Dia bertemu dengan seorang petani setelah bertahun-tahun tinggal di Madheghan.

Petani tersebut setiap hari pergi untuk salat berjemaah ke masjid Madheghan, sehingga sering bertemu Aryo Pratikel. Nama petani tersebut pak Markawi. Tempat tinggalnya di daerah Aeng Sare Sampang, suatu desa di arah barat Madheghan, tepatnya di Demungan. Waktu itu, pada saat salat Magrib, pak Markawi berjemaah di masjid Madheghan setiap hari, maklum, Aryo Pratikel tirakat di sana. Aryo Pratikel makannya kekurangan, dia makan jika ada yang memberi, jika tidak ada yang memberi, dia tidak makan.

Pada saat bertemu Aryo Pratikel, pak Markawi bertanya, “Nak, kenapa kamu selalu di sini? Setiap saya salat, kamu selalu ikut berjemaah di sini. Aryo Pratikel menjawab bahwa dirinya berasal dari Majapahit.

“Kenapa bisa sampai di sini?”. “Saya sedang menjalankan tirakat Pak”.

Oleh karena itu, Aryo Pratikel dibawa Pak Markawi ke rumahnya.

Setelah lama di sana, Pak Markawi berkata, “perkenankan, saya

(29)

21

Di Kerajaan tersebut ada seorang Raja bernama Abi Darba, bukan Bidarbi. Aryo Pratikel mengabdi pada Raja tersebut, Setelah bertahun-tahun mengabdi dan pekerjaan Aryo Pratikel disukai Raja karena dia jujur dan sabar. Oleh karena itu, Aryo Pratikel diangkat menjadi Patih. Sebelumnya Raja Abi Darba memiliki dua orang Patih, Patih Prabaseno dan Patih Bangsapati dan dua orang permaisuri, Ragapadmi dan Ragawati. Aryo Pratikel yang disukai Raja ditugaskan menjadi Patih ketiga.

Bangsacara adalah julukan untuk Aryo Partikel karena pangkat yang disandangnya. Setelah sekian lama dia mengabdi, permaisuri Raja yang bernama Ragapadmi, terkena musibah penyakit lepra (dipercaya sebagai penyakit kutukan dan menular tetapi bisa disembuhkan). Seluruh tubuhnya tidak utuh lagi. Raja memerintah seluruh rakyat dan patih-patihnya mencari obat, tetapi penyakit Ragapadmi tidak kunjung sembuh.15

Menurut salah satu masyarakat Pulau Mandangin pada kelanjutan

Caretanah Patih Bangsecara. Pada akhirnya karena penyakit permaisuri

tambah parah, Raja geram dan tidak kuat terhadap hasutan istri mudanya, Ragawati. Patih Bangsaseno dan patih Bangsapati juga menghasutnya,

“Wahai Gusti, tidak baik jika Raden Ayu Ragapadmi tetap berada di sini,

karena penyakitnya bisa menular pada masyarakat”. “Betul, patih

Bangsaseno. Terus bagaimana caranya kata sang raja?”. “Lebih baik, Raden Ayu Ragapadmi diasingkan ke tempat sepi, tempat yang tidak ada

15

(30)

22

orang, karena khawatir penyakitnya akan menular usul sang patih. Jika untuk kepentingan masyarakat lebih baik mengorban satu orang kata raja”.

“Bagaimana caranya agar Ragapadmi tidak di sini lagi?”. “Lebih baik

diserahkan pada Bangsacara”. Akhirnya Raden Ayu Ragapadmi diserahkan pada Bangsacara.

Bangsacara berkata, “Wahai Gusti, jika Gusti tidak marah, hamba

ingin berkata, apakah Gusti tidak keliru?. Raden Ayu Ragapadmi adalah permaisuri Gusti. Waktu muda dulu, sebelum terkena pemyakit, yang

Gusti sukai hanya Ragapadmi”. Itu dulu, dan sekarang saya sudah tidak

mengharapkan lagi. Buang dia ketempat sepi yang tidak ada orang sama

sekali”. “Wahai Gusti, mohon dipikirkan kembali. Pertama, Raden Ayu

adalah permaisuri Gusti, kedua, Raden Ayu adalah manusia”. “Sudah,

tidak usah banyak bicara”. “Baik Gusti, hamba hanya memohon. Jika

Gusti mengijinkan, Raden Ayu Ragapadmi akan hamba bawa ke rumah

hamba”. “Sudahlah, Bangsacara, hidup matinya, saya serahkan padamu.

Anggap saja Ragapadmi hadiahku untukmu”. Raja berpikir permaisurinya tidak akan disembuhkan. Ragapadmi dibawa pulang Bangsacara. Di Kerajaan, Ragapadmi memiliki dua ekor hewan yang digunakan sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan, karena dikhawatirkan ada yang berniat jahat. Hewan pelihaan itu dibawa ke Aeng Sare.

Setelah sampai di Aeng Sare, Bangsacara mengucapkan salam

pada Pak Markawi dan Bu Markawi, “Assalamualaikum, Pak”.

(31)

23

anakku. Kenapa kamu membawa perempuan yang seperti itu, anakku?”.

“Cukup, Bapak, sebenarnya dia permaisuri Raja Abi Darba yang bernama

Ragapadmi”. “Kenapa sampai dibawa ke sini, anakku?”. “Diperintahkan

agar dicarikan obat, mungkin masih bisa disembuhkan.

Ragapadmi diserahkan pada orang tuanya untuk diobati. Obatnya berupa terusi dicampur dengan daun sirih temu urat. Karena tidak ada air, Pak Markawi mencari air untuk mengobati Ragapadmi. Dia menemukan air di mata air yang sekarang dinamai Aeng Jurung.

Selama diobati tujuh hari tujuh malam, Ragapadmi sembuh dari penyakitnya. Kulitnya terkelupas bintik-bintik seperti ular berganti kulit. Ragapadmi semakin cantik dan tampak lebih muda. Bangsacara berkata,

“Wahai Gusti Ratu Ragapadmi, bagaimana jika Gusti kembali ke kerajaan.

Saya ingin tetap hidup bersamamu sampai mati”.16

Bangsacara pergi ke Pacangan untuk memberitahu Raja, “Assalamualaikum, Gusti. Raden Ayu

Ragapadmi sudah sembuh”. “Benarkah? Sudah, itu sudah menjadi

keberhasilanmu, Bangsacara, sebagai pimpinan, saya tidak akan menarik ucapan saya dulu, karena sebagai Raja, saya harus menjadi contoh yang

baik”. “jika demikian, saya memohon tandatangan sebagai tanda

persetujuan Gusti”.

Setelah itu Bangsacara kembali ke Aeng Sare. Patih Bangsaseno dan Patih Bangsapati tidak terima hal itu, jika Ragapadmi dijadikan istri

16

(32)

24

Bangsacara, kita tidak setuju Gusti. Lebih baik dibawa kembali ke

kerajaan”. “Ludah yang sudah jatuh tidak dapat ditelan lagi, patih”. Raja

tidak kuasa terhadap hasutan dua patih tersebut, “Baik. Apakah kalian bisa

membawa Ragapadmi ke sini?”. “Kita bisa, Gusti”. “Jika gagal, apa janji

kalian?”. Patih berjanji, “Jika kita gagal, Gusti boleh membunuh dan

memenggal kepala kita”.

Patih mencari cara untuk menghadapi Bangsacara. Mereka pergi ke Aeng Sare, “Assalamualaikum, Bangsacara”. “Kangmas, apa keperluan

kalian? Kenapa sampai ke sini?”. “Kita diperintahkan Raja, kamu disuruh

berburu Rusa ke Pulau Mandangin Pulau Kambing.

Bangsacara dan dua anjing peliharaannya serta patih Bangsaseno dan Bangsapati pergi ke Pulau Mandangin, Sedangkan Ragapadmi tetap di Aeng Sare. Karena setapluk dan setanduk sudah paham terhadap majikannya, Bangsacara dan dua anjing tersebut langsung berburu Rusa di Pulau Mandangin Sampang.

Setelah dapat dua puluh satu ekor Rusa, patih berkata, “Wahai

Bangsacara, berhentilah berburu”. “Apakah tidak kurang Kangmas?”.

“sudah,cukup. Raja tidak butuh Rusa. Kamu dibawa ke Pulau Mandangin

untuk dibunuh”. “Alhamdulillah. Apa salah saya? Kasihan Raja. Kenapa harus Kangmas yang diperintah membunuh saya?”. “Karena Ragapadmi

tidak kamu kembalikan pada Raja”. “Jika berkehendak seperti itu, silahkan

(33)

25

oleh Bangsaseno, tetapi senjatanya patah. Bangsapati hal yang sama. Setenduk dan setapluk merobek tubuh patih, tetapi tidak dihiraukan.

Karena patih-patih tersebut tidak berhasil, Bangsacara berkata,

“Kangmas, berhentilah sejenak! Benarkah, Kangmas diperintah Raja?

Kasihan Kangmas. Jika tidak berhasil, apa yang akan dijadikan buah tangan pada Raja? Saya akan mati jika ditijam dengan senjata saya

sendiri”. Bangsacara berhasil dibunuh dengan kerisnya sendiri. Dulu ada

pohon asam setinggi 120 meter dan lingkar matangnya 80 meter. Bangsacara tewas bersandar pada pohon itu.

Karena majikannya meninggal, setapluk dan setanduk kembali ke Aeng Sare untuk memberitahu Ragapadmi. Waktu itu Ragapadmi sedang

menyulam. Sarung sampirnya diseret oleh kedua anjing tersebut. “Di mana

Raden Bangsacara?”. Ragapadmi mengikuti petunjuk anjing peliharaan.

Dari pinggir laut Cangkareman mereka turun menyebrang. Jika tidak memiliki kelebihan,anjing-anjing tersebut tidak akan mampu menyebrangi lautan sampai ke Pulau Mandangin. Patih-patih pulang ke Sampang, berpapasan dengan Ragapadmi di tengah laut, tetapi mereka tidak dapat melihat Ragapadmi.

(34)

26

Ragapadmi tergores keris yang tertusukdi dada Bangsacara. Dua anjing tersebut berlompatan melihat majikannya meninggal.17

Keris yang menancap di dada Bangsacara digigit oleh anjing-anjing tersebut, hingga terjatuh dan menancap terbalik di tanah. Anjing-anjing tersebut mati setelah menyentuh keris Bangsacara yang tertancap di tanah. Jasad Bangsacara, Ragapadmi dan hewan peliharaan mereka berada di tempat yang sama.

Patih sampai di Aeng Sare mengatakan salam, “Assalamualaikum,

pak Markawi”. “Waalaikum Salam, wahai Gusti patih”. Jawab pak

Markawi. “Di mana Ragapadmi?”. “Sudah berangkat, Gusti”. “Ke mana

kiranya?”. “Hamba kurang mengerti Gusti. Ragapadmi di sangka

berangkat ke Cangkareman disangka berangkat ke kerajaan Pacangan.

Patih mengejar, “Assalamualaikum, Gusti”. Raja tertawa, “Gimana,

patih?”. “Raden Ayu Ragapadmi sudah lebih dulu kembali ke sini, Gusti”.

“Tidak ada, patih”. Jawab Raja.

Sesuai perjanjian, patih Bangsaseno dan patih Bangsapati dihukum gantung terbalik, kaki di atas dan kepala di bawah, dihadapan para menteri. Di sana ada sebuah pohon, tanah di bawah pohon tersebut tampak tergerus oleh titisan darah Patih. Yang menempati daerah tersebut, Pak Marlinggi.

17

(35)

27

Jasad Bangsacara dikubur oleh Kiai Gema. Dia berlayar membawa garam dan seraput kelapa. Sampai di Pulau Mandangin, Kiai Gema kekurangan air minum. Rombongan Kiai Gemma berlabuh di Pulau Mandangin untuk mencari air. Dalam istirahatnya, Kiai Gema bermimpi, ada sebuah lampu yang sangat terang sampai menyinari kapalnya, karena mimpi tersebut, Kiai Gema terbangun.

Sekitar pukul empat pagi, dia salat Subuh kemudian memberitahukan anak buahnya, “Tadi malam saya bermimpi melihat sebuah lampu yang bersinar terang dari Pulau ini atau Mandangin”. Kyai Gema turun dari kapalnya untuk mencari air dan tidak lama kemudian Kyai gema menemukan jasad Bangsacara, Ragapadmi, dan dua anjing peliharaannya, di samping jasad tersebut kebetulan ada sumur tetapi air sumur tersebut asin sampai sekarang sumur tersebut digunakan oleh masyarakat dan sumur tersebut ada sendiri. Jasad tersebut dikuburkan oleh Kyai Gema. Kyai Gema berniat, “Jika dagangan saya laku, saya akan

membuat bangunan cungkup”.

(36)

28

dimakamkannya. Sampai sekarang keris Bangsacara ada di pondok Al-Amien, di tangan keturunan Kyai Gema.18

Masyarakat sekitar percaya dan menyakini kisah Bangsecara dan Ragapadmi yang tewas di Pulau Mandangin Sampang Madura. Sampai sekarang situs makam Bangsacara dan Ragapadmi, dan Sitanduk, Sitanduk adalah dua binatang Tunggangan Bangsacara yaitu Anjing Peliharaan, masih banyak dikunjungi peziarah, baik masyarakat Pulau Mandangin sendiri maupun masyarakat luar Pulau Mandangin. Ketika masyarakat Pulau Mandangin merantau ke luar Pulau, sebelum berangkat, mekeka berziarah dulu ke makam Bangsacara dan Ragapadmi.

B. Kondisi Sosial Agama

Masyarakat Pulau Mandangin dulu dan sekarang sebagian orang masih mempercayai bahwa alam sekitar hidupnya tiang rumah, batu besar, pohon-pohon, pokoknya alam sekeliling tempat tinggal manusia, menurut mereka ada ruh-ruh tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu ruh-ruh jahat dan ruh-ruh baik. Di samping itu menurut kepercayaan masyarakat Pulau Mandangin, jiwa orang yang sudah meninggal itu kembali pada malam

Jum‟at dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia.

Meskipun Islam sudah Masuk ke Pulau Mandangin Sampang Madura masyarakatnya masih primitif Karena itu turun temurun dari

18

(37)

29

nenek moyang, meskipun seperti itu masyarakat Pulau Mandangin sangat kental dengan keagamaannya, mereka lebih mementingkan akhirat, dan sebagian orang dulu bertapa dan mendekatkan diri kepada Allah Swt, sebelum peradaban masuk ke Pulau Mandangin, tetapi sekarang berbeda semuanya, sekarang lebih mementingkan duniawi, di samping itu masyarakat juga sangat kental dengan keagamaannya meskipun di nomer duakan oleh mayoritas masyarakat.

Masyarakat Pulau Mandangin mayoritas baragama Islam (NU) 98% dan HTI 2%, memiliki masjid di Timur satu, di tengah satu, di Barat satu, jadi semua masjid ada tiga, mushola semua dari timur sampai barat seratus lima puluh mushola.

Masyarakat Pulau Mandangin orangnya terkenal sangat fanatik, dan cara berpakaian masih seperti zaman dulu, kebanyakan dari mereka memakai sarung batik dan kebaya.

(38)

30

bukan semata-mata persoalan manhaj (metode) yang digunakan dalam mempelajari ajaran agama, tetapi berkaitan erat pula dengan watak orang Madura scara umum yang keras dan sangat teguh memegang pendirian.19

Fanatisme agama tersebut salah satunya terejawantah dalam memperingati hari-hari besar Islam, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, Tahun Baru Hijriah, malam pertengahan bulan syakban (rebba’an), dan dua hari hari Idul Fitri dan Idul Adha. Kegiatan ini lalu

dijadikan sebagai “ajaran dan undang-undang” atau peraturan yang harus

dipatuhi oleh setiap individu masyarakat.

Arti kata Islam adalah damai, jadi seorang muslim ialah seorang yang mengadakan perdamaian dengan Allah Swt dan perdamaian dengan sesama manusia. Ditinjau dari segi agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Pulau Mandangin merupakan masyarakat majemuk. Masalah yang timbul dari kemajemukan itu harus menjadi sikap dan perilaku yang harmoni. Jadi setiap kepercayaan dan agama dihormati, karena kontak antar agama akan memberikan akibat tertentu pada masing-masing ajaran dan perilaku para penganutnya.20

Dilihat dari segi tradisi lokal, masyarakat Madura, dalam hal ini masyarakat Pulau Mandangin, tergolong masyarakat yang mempercayai kekuatan-kekuatan gaib yang ada di lingkungan sekitar, baik itu pohon,

19

Mien A Rifa‟ie, Manusia Madura (Surabaya: Lembaga Penelitian Kebudayaan, 2002), 56. 20

(39)

31

atau tempat tertentu yang dianggap ada “penunggunya” dan dianggap

kramat. Namun, keadaan tersebut terjadi pada zaman dulu. Ini berdasarkan beberapa cerita para sesepuh. Sekarang ini, kepaercayaan tersebut hampir punah, yang disebabkan oleh semakin banyaknya kalangan muda yang berpendidikan tinggi dan mulai berkontribusi pada masyarkat Pulau ini. Dalam hal ini pengetahuan keagamaan dan pengamalan ajaran agama. Memang, tradisi lokal masyarakat saat ini tak serta merta lepas dari tradisi lokal zaman dulu yang identik dengan kesyirikan, terutama dalam hal tata cara pelaksanaan, tradisi zaman dulu tetap tak mengalami perubahan saat ini, hanya saja unsur terdalam atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah berubah secara evolutif, yakni mengganti secara bertahap unsur yang mendekatkan kepada kesyirikan dan menggantinya dengan unsur-unsur ketauhidan. Tradisi lokal saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat untuk senantiasa dilaksanakan, namun ia telah diisi nilai-nilai Islam di dalamnya.

Di Pulau Mandangin cukup banyak yang dapat dicatat sehubungan dengan dimensi sosial agama. Khususnya pada bulan puasa, dan untuk memperingati hari-hari besar Islam yang telah dibentuk suatu kelompok-kelompok yang di sebut hari-hari besar Islam. Kegiatan-kegiatan seperti kegiatan menyambut Maulid Nabi, ikatan alumni suatu pondok pesantren juga mengadakan pengajian Akbar di Pulau Mandangin.

(40)

32

Mandangin memiliki tingkat kehidupan keagamaan yang kental dan solidaritas (ukhuwah Islamiyah atau pun saudara sesuku/solidaritas sosial) yang tangguh.21Kehidupan keagamaan masyarakat nelayan Madura umumnya seperti juga bisa ditemui pada masyarakat Pulau Mandangin bersifat moralistik.

C. Kondisi Sosial Ekonomi

Perekonomian pada suatu Pulau sangat penting dalam menjunjung kelangsungan hidup sehari-hari hal ini berkaitan erat dengan mata pencarian Penduduk dalam mengelola suatu kebutuhan sesuai dengan keadaan geografis dan letak Pulau itu berada.

Dilihat dari gambaran umum Pulau Mandangin, ditinjau dari ekonomi, maka mayoritas pencarian penduduk itu adalah penangkap ikan (nelayan). Pertumbuhan ekonominya maju pesat pada tahun 1985-2003 sekitar 99 %. Tetapi setelah awal tahun 2004 sampai sekarang (2015) penghasilan penduduk Pulau Mandangin yang mayoritas nelayan itu menurun drastis hingga 30%.22

Masyarakat Pulau Mandangin memiliki kerawanan sosial yang tinggi disebabkan dua hal: Pertama masalah tekanan kemiskinan dan keterbatasan peluang kerja. Kedua, secara kultural (budaya) nelayan

21

Ibn Khaldun, Mukaddimah, Terj. Ahmadie Toha (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), 32. 22

(41)

33

bersifat lebih terbuka dan temperamental karena masa-masa yang harus diwaspadai adalah ketika musim angin (barat) tiba.

Kemampuan mereka dalam meningkatkan pendapatan, menghidupi keluarga serta membangun hari depan yang lebih baik sangat rendah. Mereka memiliki banyak kesulitan karena usaha penangkapan ikan yang mereka lakukan sangat bergantung pada alam dan lingkungan.23

Pulau Mandangin Sampang Madura ini jauh dari perkotaan dan dikelilingi oleh lautan, jarak yang di tempuh ke kota harus naik kapal kurang lebih 90 menit, dan tidak ada alternatif lain selain naik kapal atau perahu. Dalam hal fasilitaspun di Pulau Mandangin juga serba kekurangan seperti listrik, maupun fasilitas belajar (computer, LCD, dan sebagainya). Di Pulau Mandangin dulu hanya ada SD dan SMP, namun dengan berkembangnya zaman, sekarang ada sekolah lain seperti PAUD, TK dan SMK.

Di Sampang Madura terdapat pondok pesantren salaf yang sangat terkenal di kalalangan masyarakat Pulau Mandangin dari kalangan menengah kebawah, di tempatkan di pesantren yang mempunyai fasilitas yang unggul dengan biaya terjangkau. Misalnya pondok pesantren Nurul Ulum, Assirojiyyah (Kajuk) dan sebagainya, yang fasilitasnya baik dan biaya bisa dijangkau oleh masyarakat yang ekonominya menengah kebawah. Selain itu, pesantren salaf sangat diakui oleh dunia dalam hal

23

(42)

34

(43)

35

BAB III

PROSES PELAKSANAAN ROKAT PRAOH KESELLEMDI PULAU

MANDANGIN

A. Pengertian dan Ritual Rokat Praoh Kasellem di Pulau Mandangin

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam-macam kekuatan yang dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya, ini memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spiritual maupun materi. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat di atas untuk sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar, karena kemampuan-kemampuan manusia itu terbatas, dengan demikian, kemampuan kebudayaan yang merupakan hasil ciptanya juga terbatas dalam menentukan segala kebutuhan.24

Kata rokat berasal dari bahasa Madura, yang berarti slametan dan slametan di pusat keseluruhan sistem agama Jawa, terdapat suatu ritual yang sederhana, formal, jauh dari keramaian dan apa adanya.25 Untuk acara-acara sejenis slametan, di Madura (dalam hal ini di Pulau

24

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 97.

25

(44)

36

Mandangin Sampang) disebut rokat, termasuk slametan Praoh Kesellem

(perahu temgelam) dan seterusnya.

Rokat Praoh Kesellem adalah upacara masyarakat nelayan untuk

menyelamatkan nelayan dari bahaya-bahaya yang mungkin akan dihadapi ketika melaut dan dapat memberikan hasil tangkapan ikan yang banyak, setiap tahun oleh mayoritas kaum Nelayan Pesisir maupun para Nelayan masyarakat Kepulauan di Madura pada umumnya, dan masyarakat Pulau Mandangin pada khususnya.

Rokat Praoh Kesellem merupakan ritual kebudayaan yang

memiliki hubungan erat dengan lokalitas sekaligus ciri atau kebiasaan dari masyarakat suatu daerah khususnya daerah Pulau sebagai adat istiadat dari para nelayan yang memberikan pengertian khusus bahwa kenikmatan merupakan hasil yang harus dinikmati dan disyukuri secara individu maupun bersama.26

Ritual keagamaan memiliki posisi penting dalam pandangan masyarakat Pulau Mandangin, mengingat cara keberagamaan mereka yang sangat kental dengan nuansa tradisional lokal, dengan watak orang Madura yang keras atau kokoh dalam memegang pendirian atau pandangan yang diyakini benar.27Keyakinan-keyakinan yang ada dalam rokat peraoh kesellem ini merupakan hasil dari hubungan dialogis antara nilai-nilai

26

BPS Kabupaten Sampang dan Bapedda Kabupaten Sampang, Profil Kabupaten Sampang (Sampang: BPS Kabupaten Sampang, 2013), 15.

27

(45)

37

Islam dan kearifan lokal yang keberadaannya bisa dilacak hingga zaman Hindu-Budha.

Tradisi pelaksanaan Rokat Praoh Kesellem memiliki pengaruh penting tidak hanya dalam lingkaran internal melainkan di lingkaran eksternal masyarakat yang lebih luas. Serta keunikan Pulau tersebut dipopulerkan di antaranya dengan ritual ” Rokat Praoh Tasellem ” tidak hanya dilakukan pada setiap lima tahun sekali, akan tetapi pada saat tertentu, ritual ini dilakukan oleh masyarakat Nelayan, jika di antara mereka dirasuki oleh makhluk halus atau Penjaga Laut, dalam bahasa

Mandangin itu deteng buju‟en, biasanya orang tersebut memakan

kembang.

(46)

38

ajaran Islam merupakan adopsi dari peristiwa ketika Nabi Ibrahim menyembelih nabi Ismail. Dipilih sapi karena sapi merupakan hewan yang besar dan mahal dan juga hewan kurban utama, sama halnya dengan kambing yang merupakan hewan kurban kedua setelah sapi. Sesajen merupakan bentuk hasil bumi dan disimbolkan sebagai manusia yang harus mempersembahkan segala kebutuhan hidupnya, dan bendera-bendera untuk memeriahkan Rokat Praoh Kesellem di kalangan para nelayan serta masyarakat Pulau Mandangin.

B. Proses Pelaksanaan dan Tujuan Rokat Praoh Kesellem di Pulau

Mandangin

Sebagai sebuah ritual keagamaan, Rokat Praoh Kesellem tidak hanya terdiri dari nilai-nilai luhur yang abstrak, melainkan ia juga dibungkus dengan hal-hal konkret seperti tata cara pelaksanaan, atribut yang rumit, dan pandangan masyarakat yang mengitarinya. Sebuah ritual bisa disebut ritual hanya dengan menunjukkan aktivitas konkret di dalamnya, meskipun aktifitas konkret tersebut, pada satu titik, dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dituju. Sebagai salah satu budaya yang sudah turun temurun dari nenek moyang. Perwujudan dari rasa syukur kepada Allah Swt menjadi inti dari maksud dan tujuan pesta rakyat nelayan yang berapa di pesisir pantai Pulau Mandangin Sampang Madura.28 Dalam pelepasan “Bhitek” sebagai tanda ungkapan syukur

28

(47)

39

masyarakat Pulau Mandangin. Hal yang berbeda dengan pesisir yang lainnya adalah ketika yang mengantarkan “Bhitek” (perahu kecil yang

berisi sesajen). Pelepasan “Bhitek” bukan tidak ada arti, melainkan banyak

setumpuk makna yang tidak bisa dijelaskan oleh masyarakat biasa hanya masyarakat dari kalangan sesepuh saja yang bisa menginterpretasikannya. Tentu anggapan mitos dan mustahil selalu terbesit dari pikiran masyarakat

modern terhadap pelepasan “Bhitek” yang dinilai sia-sia. Walaupun

demikian, hal tersebut harus dipercaya dan dijaga kelestariannya. Salah satu yang bisa diterka dari tujuan pelepasan “Bhitek” sebagai ungkapan syukur dan penolak balak, serta mengharap rizki yang melimpah dari Allah Swt. Jika dilihat dari agama Islam ini dinilai sebagai budaya atau tradisi peninggalan Hindu-Budha yang sama dan banyak unsur menyekutukan Allah Swt, namaun ada beberapa hal juga yang masih boleh dilakukan menurut agama. Terlepas dari hal itu semua, selain untuk memperkokoh silaturrahim antara sesama nelayan. Sebagai sebuah tradisi,

Rokat Praoh Kesellem memiliki akar yang kuat dalam kehidupan

masyarakat. Ia memiliki tata cara pelaksanaan tertentu yang mesti diikuti. Tata cara pelaksanaan tersebut diturunkan terus menerus dari generasi ke generasi.

(48)

40

Hindu-Budha ke Islam. Meskipun tata cara pelaksanaan sebuah ritual tak selalu berbanding lurus dengan nilai-nilai luhur yang dibawanya, ia tetap mesti dilakukan tanpa mengubah tata cara tersebut, sebab hanya dengan demikianlah sebuah tradisi lokal memiliki kredibilitasnya.

Pada proses pelaksanaan Rokat Praoh Kesellem sebagian masyarakat dan khususnya para nelayan mendatangi laut tempat dimana pelaksanaan tradisi itu terjadi sesuai dengan pengamatan atau keterlibatan lapangan peneliti dalam sebuah ritual pelaksanaan Rokat Praoh Kesellem

dan menulis hal-hal yang yang kecil ataupun hal yang besar.

Rangkaian proses pelaksanaan Tradisi Rokat Praoh Kesellem yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Mandangin sebelum empat hari dilakukan Tradisi Rokat Praoh Kesellem :

1. Diadakan Ronnang atau ludruk (kesenian drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian) di Pulau Mandangin sebelum dimulai ronnang masyarakat pada pagi hari membuat panggung untuk ronnang dan membuat pembatas atau pagar apa bila masyarakt untuk melihat pertunjukan ronnang. Pada pagi hari tersebut, masyarakat disana tidak bisa tidur, karena masyarakat Pulau Mandangin mempunyai tugas masing-masing, ada yang membuat pagar sebagai pembatas ketika masyarakat melihat ronnang, mengambil kayu, membuat panggung dan juga membuat hiasan panggung. Pada malam hari ronnang dimulai pada jam 19.00-01.0029, dan ronnang siap di

29

(49)

41

gendangkan. Pemain ronnang pun siap untuk dimulai, biasanya pemain ronnang laki-laki dan perempuan dan pemainnya tersebut berpakaian kerajaan. Dalam drama ronnang tersebut isinya mengisahkan tentang kerajaan seperti mengisahkan tentang asal usul Pulau Mandangin. Pemain ronnang berpenampilan keren, gagah dan menarik. Ronnang diadakan selama tiga hari tiga malam untuk hiburan masyarakat di sana dilakukan di lapangan bola. Pemain ronnang tersebut dari luar Pulau Mandangin seperti dari Sumenep atau Jawa. Ronnang diadakan pada malam hari dan pada pagi harinya ronnang tidak ada. Meskipun ronnang diadakan pada malam hari masyarakat disana sangat antusias melihatnya, karena masyarakat Pulau Mandangin ronnang itu hiburan yang sangat di nanti-nanti oleh masyarakat Pulau Mandangin. Untuk melihat pertunjukan tersebut memakai baju bebas dan orang dewasa, anak kecil laki-laki, perempuan semuanya boleh melihat ronnang tersebut.

(50)

42

seragam baju putih semua tetapi masyarakat yang melihat pengajian memakai baju bebas. Masyarakat Pulau Mandangin menghadiri pengajian berbondong-bondong melihatnya, sama seperti ketika melihat ronnang.

3. Pada hari H-nya pelaksanaan Tradisin Rokat Praoh Kesellem sebelum dilakukan tahlilan (mauidah hasanah) dulu di balai desa. Yang mengikuti tahlilan tersebut laki-laki para nelayan dan di pimpin oleh sesepuh Pulau Mandangin. Tahlilan dimulai pada jam 07.00-07.3030. memakai baju bebas yang mengikuti tahlilan.

4. Setelah diadakan tahlilan atau istighatsah para nelayan membawa tumpeng yang sudah disiapkan oleh masyarakat yang ada di balai desa. Masyarakat Pulau Mandangin menyiapkan perahu kecil (perahu sesajen) yang dibuat seindah mungkin, mirip dengan perahu yang di buat nelayan, biasanya untuk melaut. Perahu kecil diisi puluhan jenis hasil bumi (pisang, apel, mangga, anggur, nanas dan lain-lain), dan makanan yang sudah dimasak oleh masyarakat Pulau Mandangin. Berisi berbagai hasil bumi, uang recekan atau uang rakyat untuk di larung ketengah laut, adapun jenis makanan, nasi tumpeng dan buah-buahan yang ditata rapi di perahu kecil tersebut yang siap untuk dilepas ke laut. Sesaji yang sudah rapi disebut sesajen, dan semua nelayan berkumpul di pinggir laut, masyarakat Pulau Mandangin memakai baju bebas dan yang menaiki perahu atau kapal itu laki-laki dan perempuan,

30

(51)

43

anak kecil dan orang dewasa. Ketika melakukan Tradisi Rokat Praoh

Kesellem. Dan sesaji diarak menuju perahu kecil yang diiringi dengan

musik tradisional (saromen) dan musik Islami.31Masyarakat yang mempunyai perahu atau kapal menaikinya untuk mengikiti perahu kecil tersebut sampai perahu kecil tersebut kesellem (tenggelam), sampai ketengah laut. Iring-iringan perahu atau kapal bergerak kelaut dengan pelan-pelan. Bunyi mesin diesel mendesu membelah ombak. Suara gemuruh sound sistem menggema di setiap kapal. Dari kejauhan barisan perahu atau kapal bergerak pelan-pelan mengikuti perahu kecil. Dan perahu atau kapal dihiasi supaya menambah suasana makin sakral. Begitu dapatnya perahu atau kapal yang bergerak, terkadang sempat terjadi beberapa kali tabrakan kecil. Iring-iringan berakhir di sebuah lokasi ketika perahu kecil tersebut kesellem (tenggelam). Setelah itu para nelayan mengambil air laut yang sudah di lewati oleh perahu kecil yang berisi sesaji untuk di siram ke perahu atau kapal para nelayan. Masyarakat Pulau Mandangin percaya air tersebut menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut nanti.

5. membaca doa bersama yang dipimpin oleh tokoh setempat.

Berdoa adalah salah satu yang unsur perbuatan penting dalam berbagai upacara keagamaan di dunia. Menurut Koentjoningrat pada umumnya doa ini merupakan suatu upacara yang berisi permintaan suatu

31

(52)

44

keinginan kepada leluhur dan juga ucapan-ucapan hormat dan pujian kepada leluhur tersebut.32

Doa yang dilakukan dalam upacara ini merupakan doa bersama secara Islami, doa yang digunakan yakni bahasa arab. Dalam Islam doa merupakan memohon kepada Allah Swt agar diberi keselamatan dan kesejahteraan. Dengan demikian, manusia harus selalu ingat kepada Allah Swt dan manusia selalu bergantung kepadanya.

6. menghanyutkan kepala sapi atau kambing yang diberi bunga tujuh warna. Setelah proses iringan selesai kepala sapi dan kambing tersebut ketengah laut.

Tujuan diadakan Tradisi Rokat Praoh Kesellem menurut masyarakat Pulau Mandangin untuk membuang sial dan pada saat nelayan mengalami hasil yang kurang baik dalam menangkap ikan (Paceklik) dan pada saat-saat para nelayan mengalami musibah dalam berlayar seperti, tenggelam dan lain sebagainya.33

makna Rokat Praoh Kesellem itu sendiri bertujuan agar para nelayan dan desanya terhindar dari marabahaya serta mendapatkan tangkapan ikan yang banyak dan kalau Rokat Praoh Kesellem tidak dilaksanakan akan terjadi balak yang menimpanya. Sedangkan simbol-simbol yang digunakan dalam Rokat Praoh Kesellem yaitu:

32

, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1981), 254. 33

(53)

45

1. Kepala Sapi sebagai kurban utama. 2. Kepala Kambing sebagai kurban kedua.

3. Sesajen (Larung Laut) Sebagai keberkahan pada laut supaya bisa bersahabat dengan para Nelayan.

4. Uang Rasa syukur Kepada Allah Swt serta mensukuri hasil tangkapan berupa ikan sebagai rizki dari Laut.

5. Bendera menggunakan Bendera Merah Putih menunjukkan nelayan Pulau Mandangin adalah Bangsa Indonesia.

6. Tumpeng sebagai tanda kebesaran Allah Swt yang berbentuk kerucut.

7. plotan etem (ketan hitam) yang mempunyai dua warna: putih dan hitam.Putih melambangkan kesucian, sedangkan hitam melambangkan cobaan kehidupan yang harus dihadapinya.

8. Bunga dengan tujuh warna diyakini agar masyarakat dijauhkan dari malapetaka yang beranika ragam.

Disetiap upacara sakral bunga merupakan salah satu peralatan yang tidak pernah tertinggal. Bunga dipakai saat ada acara. Sedangkan menurut Islam, melambangkan kesegaran. Biasanya bunga ini di campur air dan dimasukkan ke dalam ember.

9. Kemenyan diyakini masyarakat sebagai sarana memanggil arwah nenek moyang yang telah meninggal.34

34

(54)

46

Menurut kepercayaan masyarakat Pulau Mandangin bau asap kemenyan dipercaya mampu mendatangkan roh, dan juga mampu mengusir roh.35Asap harum tersebut merupakan doa sesuai dengan maksud. Sedangkan dalam Islam membakar kemenyan biasanya diniatkan sebagai tali pengikat keimanan. Nyalanya sebagai cahaya kurma, asapnya sebagai bau-bau surga dan agar dapat diterima oleh Allah Swt. Maka dapat dipahami bahwa pembakaran kemenyan tersebut dalam ritual mistik sebagai kaum muslim atau memasukkan sebagai unsur mistik bukanlah unsur syirik.36

Makna-makna yang terkandung dalam upacara Rokat Praoh

Kesellem dan juga Simbol-simbol yang digunakan dalam pelaksanaan

upacara Rokat Praoh Kesellem tidak lepas dari argumenbmasyarakat yang menyatakan bahwa suatu benda tersebut mempunyai nilai-nilai tertentu.

35

Ismul, Wawancara, Pulau Mandangin, 21 September 2015.

36

(55)

47

BAB IV

AKULTURASI TRADISI ROKAT PRAOH KESELLEM DENGAN

NILAI-NILAI ISLAM

A. Budaya Lokal dalam Tradisi Rokat Praoh Kesellem

budaya lokal adalah nilai-nilai lokal hasil budi daya masyarakat suatu daerah yang terbentuk secara alami dan diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu. Budaya lokal dapat berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum adat.37Indonesia yang saat ini terdiri atas 33 provinsi, karena itu memiliki banyak kekayaan budaya. Kekayaan budaya tersebut dapat menjadi aset Indonesia ke dunia luar, salah satunya Candi Borobudur.

Budaya lokal biasanya didefinisikan sebagai budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W. Ajawaila, seperti dikutip M. Darori budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Akan tetapi, tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal.

Masyarakat tradisional pada umumnya memiliki kepercayaan. Kepercayaan ini terarah pada kekuatan yang melebihi kemampuan manusia. Masyarakat percaya bahwa di luar dirinya itu ada kekuatan yang maha besar. Kekuatan berpengaruh pada sistem kepercayaan, sehingga dalam masyarakat tradisional tampak adanya kepercayaan tradisional yang

37

(56)

48

dianggap memiliki kekuatan ghaib, dan juga kepada roh-roh yang meninggal (nenek moyang).

Tradisi merupakan keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada pada saat ini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan. Tradisi merupakan kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara turun temurun. Kebiasaan yang diwariskan mencakup berbagai nilai budaya yang meliputi adat istiadat dan kepercayaan.38

Kepercayaan dinamisme dan animisme yang berkembang dalam masyarakat tradisional mempengaruhi sikap dan pola pikir masyarakat. Dalam masyarakat tradisional terdapat pola pikir bahwa segala sesuatu selalu dikaitkan dengan kekuatan ghaib yang dianggap ada dalam alam semesta dan di sekitar tempat tinggal mereka. Pola pikir demikian selalu mengaitkan peristiwa-peristiwa hidup dengan kejadian-kejadian kodrati yang terdapat di alam semesta.39

Rokat Praoh Kesellem di Pulau Mandangin merupakan salah satu

wujud kebudayaan lokal yang memiliki akar sangat kuat dalam kehidupan masyarakat, ia menjadi sebuah tradisi yang mencakup keyakinan masyarakat. Kedatangan agama Islam dan pencampuran nilai-nilai Islam di dalamnya semakin menambah kesakralan tradisi ini dalam pandangan masyarakat. Rokat Praoh Kesellem kemudian menjadi sebuah ritual

38

Sztompka Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2004), 69-70. 39

(57)

49

keagamaan yang dipegang kokoh oleh masyarakat dan melaksanakannya dipandang sebagai ibadah dengan muatan pahala yang tidak kecil.

Rokat Praoh Kesellem sekarang ini di Pulau Mandangin

merepresentasikan unsur nilai budaya lokal dan unsur-unsur nilai Islam yang saling berkaitan. Lokalitas Rokat Praoh Kesellem dan nilai-niai keIslaman telah menjadi satu-kesatuan dalam pelaksanaan Tradisi Rokat

Praoh Kesellem saat ini. Walaupun demikian, perbedaan keduanya

tersebut akan menunjukkan bahwa Rokat Praoh Kesellem merupakan wujud kebudayaan lokal yang mengandung nilai-nilai lokal kemudian pada saat ini dibungkus dengan nilai-nilai Islam. Rokat Praoh Kesellem

secara lahir tampak sebagai wujud kebudayaan lokal dan secara batin ia mengandung nilai-nilai Islam yang luhur, keduanya tidak bisa dihadapkan secara berhadap-hadapan, melainkan mesti dipandang sebagai dua wilayah dengan hubungan yang sungguh baik.40 Secara lebih jelas, berikut ini akan dijelaskan mengenai unsur-unsur nilai lokal Rokat Praoh Kesellem :

1. Tunpeng Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tumpeng dapat di namakan sebagai nasi yang dihidangkan dalam bentuk kerucut untuk selametan.41Jika kita selametan dalam budaya Jawa oleh Koentjoronigrat, kita dapat mengerti bahwa tumpeng merupakan hidangan dalam tradisi atau upacara selametan, maka tumpeng juga

40

Clifford Greerzt, Kebudayaan dan Agama, Terj. Francisco Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 5.

41

(58)

50

merupakan sajian yang sakral dan memiliki makna spiritual, begitu pun dalam komponen tumpeng itu sendiri.

Tumpeng itu sendiri bagi masyarakat Madura merupakan ungkapan hidup melalui jalan yang lurus, sebagai pedoman ayat dan doa. Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut di tempatkan ditengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk di susun di sekeliling kerucut tersebut. Tumpeng merupakan simbol sistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Allah Swt yang maha pencipta alam beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk merupakan simbol dari isi ala mini.

2. Kesenian Ronnang atau Ludruk

Seni merupakan sebuah sistem budaya, maka artinya nilai-nilai rasa tersebut diberikan, letakkan, biasakan oleh masyarakat sebagai semacam pedoman interaksi bagi pribadi-warga masyarakat. Pada umumnya, orang memahami kesenian sebagai bentuk-bentuk ekspresi kultural yang hadir dari dalam pengalaman hidup warga suatu kelompok masyarakat, dilakukan oleh warga masyarakat sendiri, serta dimainkan terutama untuk memenuhi kebutuhan mereka bersama.42dalam pengertian ini, rakyat atau warga masyarakat menempati posisi sentral dalam kehidupan kesenian. Seni tradisional di Madura banyak macamnya meliputi seni rupa, tari, lukis dan masih banyak seni yang lain.

42

(59)

51

Termasuk di Pulau Mandangin seni tradisional seperti kesenian ronnang atau ludruk, kesenian tersebut masih digunakan di sana. Oleh karena itu, seni tradisional harus dihindarkan dari kepunahan.43

3. Penilaian dalam Rokat Praoh Kesellem yang di maksud yaitu beberapa pandangan atau semacam keyakinan yang memiliki masyarakat perihal pelaksanaan ritual Rokat Praoh Kesellem. Masyarakat Pulau Mandangin masih memegang teguh pandangan bahwa sebuah masyarakat yang melakukan ritual tersebut untuk membuang sial dan pada saat nelayan mengalami hasil yang kurang baik dalam menangkap ikan (Paceklik) dan pada saat-saat para nelayan mengalami musibah dalam berlayar.

Sebagaimana rokat, Rokat Praoh Kesellem pun pada dasarnya dilakukan untuk mendapatkan keselamatan, keberkahan dan kesejahteraan hidup. Rokat dilakukan beberapa hal yang dianggap berbahaya dalam kehidupan manusia, sesuai dengan keyakinan yang diwariskan secara turun temurun.

43

Referensi

Dokumen terkait

23 Dalam buku ini menjelaskan berbagai ritual dan tradisi Islam yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa, juga menjelaskan tentang.. berbagai simbol yang digunakan

Desa Disanah adalah masyarakat kecil yang mempunyai dengan keanekaragaman seni, tradisi dan budayanya kekayaan tersebut menciptakan seni maka dari situlah

Sebagai bagian penting dari agama Islam, akulturasi yang terjadi antara Islam dan budaya Jawa pada akhirnya juga berakibat pada akulturasi antara nilai-nilai pendidikan

Dapat diketahui bahwa nilai Islam dalam budaya dan kearifan lokal orang Minangkabau ditemukan fakta yang luar biasa, bahwa budaya dan kearifan lokal Minangkabau

Artikel ini membuktikan telah terjadi proses akulturasi antara Islam dan kebudayaan Melayu Palembang dalam konteks tradisi kematian; akulturasi yang berlangsung

Perbincangan budaya dan Islam sudah banyak mengalami kontradiksi di antara banyak kalangan umat Islam khusunya di indonesia dengan adanaya kenginnan akulturasi

Pembauran antara Islam yang bersifat Universal dengan budaya yang bersifat realitas, melahirkan akulturasi kebudayaan yang khas Islam, Akulturasi meliputi hampir

Dilihat dari rangkaian ritual yang dilakukan pada tradisi Tingkeban , dapat dikatakan bahwa tradisi Tingkeban, baik berupa ngupati (Jawa), pak bulenan (Madura), atau mitoni