• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB I"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Satu

Pendahuluan

Hela Rotan

1

Syair lagu di atas mengingatkan saya kembali tentang penga-laman saat masih kanak-kanak [kurang 45 tahun lalu], lagu tersebut sudah saya dengar ketika diadakan perlombaan hela rotan [Indonesia: tarik tambang] antar kampung [RT] di negeri kelahiran penulis. Jenis perlombaan tersebut biasanya dilakukan setiap bulan Desember ketika seluruh kerabat dari tanah rantau [dari Ambon, Irian, Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Belanda] berlibur untuk merayakan Natal secara bersama dengan orang tua dan sanak-saudara di kampung halaman. Kala itu, syair lagu tersebut dianggap biasa saja yang enak didengar ketika dinyanyikan untuk mengiringi aktivitas perlombaan hela rotan.

Hela hela rotan e rotan e

tifa jawa, jawa e babunyi

Reff, rotan, rotan sudah putus

sudah putus ujung dua,

dua bakudapa e.

Ciptaan: NN.

1 Lagu ini merupakan sebuah allegory [metapora] yang menggambarkan sebuah

(2)

Seiring dengan perjalanan waktu, hingga kini orang Ambon yang menjalani hidup di negeri-negeri sudah tidak pernah lagi menyeleng-garakan jenis perlombaan tersebut. Saat ini justeru jenis perlombaan hela rotan mengalami modivikasi menjadi tarik tambang2

yang sering diselenggarakan baik di tingkat kabupaten/kota bahkan Provinsi Maluku dalam rangka merayakan hari-hari besar kenegaraan [untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus, misalnya], atau untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun [HUT] Kabupaten/Kota dan Provinsi yang dirayakan. Penulis berpendapat bahwa setelah dimo-divikasi menjadi tarik tambang, makna dari jenis perlombaan tersebut mengalami pergeseran secara drastis.

Bagi penulis, makna dibalik aktivitas tersebut secara sosiologis menggambarkan relasi antar kelompok dalam kehidupan orang Ambon; yakni patasiwa dan patalima. Patasiwa membutuhkan pata-lima, dan sebaliknya. Patasiwa tidak mungkin eksis di dunia tanpa patalima, dan sebaliknya. Perpaduan keduanya adalah suatu kesem-purnaan. Pandangan ini mengandung nilai bahwa perbedaan menjamin adanya keseimbangan kosmos, karena satu membutuhkan yang lain dan satu tergantung kepada yang lain. Karena itu, untuk mencapai keseimbangan kosmos perlu adanya keharmonisan hubungan atau relasi antar dua yang berbeda.

(3)

Pasca kemerdekaan hingga pemerinahan Orde Lama, diferensiasi yang ada dalam masyarakat memperoleh bingkai nasionalisme yang cukup kuat. Namun ketika Orde Baru mengambil alih tampuk kepemimpinan nasional, diferensiasi tersebut mulai diciderai. Realitas ini lebih diperparah ketika kita memasuki apa yang disebut era reformasi. Penanda era ini [reformasi] adalah kebebasan. Integrasi nasional sempat terancam pada era ini [karena konflik sosial terjadi di mana-mana, termasuk di Maluku], namun pemerintah masih dapat menyelamatkannya.

Dalam perjalanan kehidupan masyarakat di Maluku, konflik sosial tahun 1999 merupakan konflik dadakan yang terjadi sepertinya tanpa sebab yang jelas, dan masyarakat desa yang semula hidup berdampingan dan saling tolong-menolong berubah menjadi saling curiga, saling bertikai dan saling membunuh. Pada tahap inilah, makna filosofis dari syair lagu di atas “tifa jawa e babunyi” memperoleh ruang yang tepat. Artinya, tanpa sebab yang jelas, orang Ambon dengan begitu mudah terjerumus dalam konflik antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, konflik yang terjadi di Maluku tahun 1999 merupakan konflik kiriman. Skenarionya datang dari luar Maluku [tifa jawa e babunyi], dan orang Ambon terlibat dalam perlombaan “hela rotan” untuk mencari pemenang. Setelah cape berkonflik, kedua kelompok akhirnya mencari rujukan pada budaya lokal untuk kembali membangun kehidupan berdampingan secara serasi. Pada titik inilah, “rotan yang sudah putus ujung dua, dua baku dapa e”, [integrasi kembali].

(4)

Studi yang dilakukan Syamsul Hadi et.al [2007] misalnya, menggambarkan tidak ada faktor tunggal sebagai penyulut konflik. Sekalipun dimensi etnik dan agama ditonjolkan, namun sesungguhnya faktor-faktor sosial, politik, serta ekonomi lainnya juga punya andil yang hampir sama destruktifnya. Selain itu, pemerintah kolonial dinilai oleh para penulis tersebut telah menciptakan struktur sosial yang membentuk pola segregasi wilayah, yakni interaksi dan struktur masyarakat berdasar agama. Pada bagian lain, para penulis juga menilai aparat keamanan turut berperan dalam dinamika konflik di Maluku. Oleh beberapa kalangan, aparat militer [TNI/ABRI] berada di balik kerusuhan di Maluku dan wilayah lain di Indonesia. Tuduhan tersebut dikaitkan dengan kepentingannya untuk mempertahankan hegemoni militer termasuk dwifungsi ABRI. Karena itu, konflik yang berkepan-jangan di Maluku menjadi justifikasi bagi pengaktifan kembali komando daerah militer [Kodam] Pattimura, yang sebenarnya sudah dihapus pada masa pemerintahan Soeharto.

Pieris [2004] mencatat adanya ketidakadilan hampir di segala bidang kehidupan di Ambon selama 32 tahun [1966-1998] di masa Orde Baru. Sentralisasi kekuasaan Orde Baru, militer yang terlalu berpolitik praktis, banjirnya pendatang yang mengancam posisi warga asli; persaingan di tingkat birokrasi lokal berdasarkan agama; dan intervensi negara terhadap adat-istiadat setempat, menurutnya meru-pakan beberapa faktor yang melatarbelakangi konflik dengan ke-kerasan di Ambon.

Pada sisi lain, Ratnawati [2006] mencatat bahwa keterlibatan ‘pihak luar’ dalam konflik Ambon yang ikut memicu kerusuhan itu menjadi masif. Kejanggalan pada fase ‘istirahat’ menjelang PEMILU mendorongnya untuk mencurigai adanya permainan di kalangan elit politik, termasuk oknum-oknum TNI.

(5)

Kajian tentang integrasi sudah pernah dilakukan beberapa penulis. Analisis yang dilakukan Pariela (2008), tentang gejala integrasi sosial di Ambon yang dikaitkan dengan pluralisme dimana komponen-komponen struktur sosial yang terdiri dari bermacam-macam sub-kelompok etnik [suku, agama, kelas sosial]. Namun analisis tersebut hanya berlaku untuk komunitas yang agak bersifat “ekslusif”, sehingga tidak dapat digunakan untuk menjelaskan proses revitalisasi integrasi sosial pada tingkatan yang lebih luas.

Suatu analisis yang sedikit lebih jauh dilakukan Eklefina (2009) dalam disertasinya yang berjudul “Integrasi Baru di Saparua Pasca Konflik Maluku”. Dalam mengkonstruksikan realitas integrasi, Eklefina hanya memberikan perhatian pada struktur sosial yang bersifat mikro, dan mengabaikan struktur makro dan meso. Sementara itu kita ketahui bahwa struktur sosial masyarakat di pulau Saparua, pulau Ambon dan di kota Ambon sangat berlainan, sehingga proses-proses sosial yang terkait dengan integrasi sosial dalam masyarakat nampaknya berlainan.

Setelah memahami realitas yang digambarkan di atas, secara khusus penulis ingin memberikan gambaran secara utuh tentang dinamika reintegrasi sosial pasca konflik, dengan pertama-tama menga-jukan satu pertanyaan payung [umbrela question], sebagai berikut: “mengapa konflik Maluku yang terjadi dengan tingkat eskalasi yang sangat masif dan efek destruktif yang besar, begitu cepat terciptanya pemulihan sosial dalam masyarakat?”.

(6)

Bagaimana relasi komunitas salam dan sarane di kota Ambon selama konflik dan pasca konflik?.

Organisasi Penulisan

Setelah Bab I, kemudian dilanjutkan dengan Bab II tentang Kajian Pustaka yang membahas tentang tiga konsep besar yang meli-puti, integrasi, konflik, dan modal sosial. Bab III adalah metode yang isinya menggambarkan prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data lapangan, serta permasalahan-permasalahan yang dijumpai selama melakukan penelitian lapangan.

(7)

Bab X digambarkan tentang dinamika sosial dua komunitas yang tidak memiliki hubungan gandong pasca konflik Maluku di kota Ambon. Struktur dan sistem sosial yang sedang muncul dan berkembang antar dua komunitas di kota Ambon akan digambarkan pada bab ini.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

PENGUMUMAN PENGADAAN LANGSUNG PEKERJAAN KONSTRUKSI PADA DINAS CIPTA KARYA DAN TATA RUANG KABUPATEN CILACAP SUMBER DANA APBDP KABUPATEN CILACAP TAHUN ANGGARAN 20161. (BIDANG PP

Pada tahap awal, penelitian ini dilaksanakan untuk: (a) Menemukan kultur akademik yang dibutuhkan dunia kerja bagi mahasiswa vokasi bidang manufaktur; (b) Menggali strategi

MALANG - Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ditunjuk oleh tiga Kementerian, yakni Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Riset dan

[r]

Seperti diketahui dalam webometrics, ada empat indikator yang dinilai, yaitu: size (ukuran), visibility (banyaknya website luar yang link ke website UMM), rich files (banyak

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sebagai pendidikan kejuruan, yang memiliki tujuan pendidikan mempersiapkan lulusan untuk memasuki dunia kerja akan dihadapkan dalam

[r]

[r]