• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENAISANS KEDUA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RENAISANS KEDUA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

RENAISANS KEDUA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

(2)

Secara ideal, seharusnya pendidikan Muhammadiyah, termasuk program kelembagaan Muhammadiyah lainnya, bertumpu pada landasan filosofis kerangka pemikiran keislaman Muhammadiyah sebagaimana telah ditetapkan oleh Majelis Tarjih dan PPI (Pengembangan Pemikiran Islam) sebagai think-tank Muhammadiyah. Sebagaimana dimaklumi, kerangka pemikiran Muhammadiyah saat ini secara metodologis bertumpu pada tiga keyword yakni: bayani, burhani dan ‘irfani. Pendekatan bayani lebih mengacu pada pemahaman keislaman yang bersifat tekstual-normatif. Paradigma ini mengandaikan adanya keterikatan yang “rigid” dengan Al-Quran-Hadis yang cenderung kurang memberikan ruang gerak ijtihad secara agak lebih luas. Pendekatan bayani ini bisa juga disebut dengan model pendekatan doktriner-tekstual-normatif.

Secara burhani, pendidikan di Indonesia selama ini – termasuk di dalamnya berbagai lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah – disinyalir memiliki berbagai kelemahan. Misalnya, kurangnya keterkaitan organik antara skill yang dimiliki alumni pendidikan dengan kebutuhan riil di masyarakat khususnya dengan dunia lapangan kerja (paradigma link and match). Lembaga pendidikan lebih banyak melahirkan output ketimbang outcome. Selain itu, efektivitas pengajaran agama terasa kurang relevan dengan kondisi sosial yang dihadapi umat.

(3)

Sebagai contoh, sistem penerimaan siswa atau mahasiswa baru biasanya yang menjadi mainsteram pemikiran adalah soal “berapa jumlah infaq yang akan diterima dari seorang siswa”. Jadi, sejak awal, paradigma material sudah mengedepan ketimbang pertimbangan non-material kemanusiaan. Akibatnya, lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi tergolong “elit” secara fisik-material, namun “alit” secara mental-spiritual. Maka, ribuan alumni yang lahir dari rahim pendidikan Muhammadiyah tidak terlalu bisa diharapkan secara optimal menjadi leader yang memiliki kekayaan spiritual secara kontekstual, karena sejak awal penerimaan sampai berbagai proses yang dilalui siswa/mahasiswa hingga output – bukan outcome – yang dijejalkan kepada anak didik/mahasiswa adalah kalkulasi materialistik tadi. Kalaupun diajarkan “pelajaran agama” (semisal AIK), itu hanya sebagai pelengkap semata untuk menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah lembaga yang bersifat agamis. Sayang sekali, kurikulum dan proses pendidikan Muhammadiyah yang ada dewasa ini, umumnya, tidak terlalu kondusif untuk mewujudkan cita-cita awal Muhammadiyah didirikan. Ironi memang. Maka untuk ke depan, pertimbangan dimensi burhani – keterkaitan ilmu-ilmu yang dipelajari dengan tuntutan zaman/realitas sosial; serta aspek ‘irfani, sangat tinggi waktunya untuk mulai digali kembali secara lebih mendalam. Bukankah lembaga pendidikan merupakan lembaga keilmuan. Maka sebagai medan ilmu, sekolah/kampus yang didalamnya terkait kurikulum, guru/dosen, buku-buku harus terus menerus dilakukan perubahan. Tidak hanya sekedar puas mengulang-ngulang dari tahun ke tahun model

kurikulum, buku teks serta wawasan guru/dosen yang ada. Bukankah dalam dunia ilmu tidak dikenal kata “istiqomah” atau status quo. Iman – secara intrinsik – memang harus istiqomah, tetapi begitu kita memasuki wilayah tentang cara-cara mempelajari dan mengajarkan kedalaman iman, dia sudah masuk wilayah keilmuan. Yang namanya ilmu, ya harus senantiasa mengikuti perkembangan rahim zaman. Kita harus membedakan secara tegas antara akidah dengan ilmu/kuliah akidah. Akhlaq dengan ilmu/kuliah akhlaq. Bahkan secara lebih luas, antara agama dan ilmu/kuliah agama. Sebagaimana pesan Nabi “didiklah generasimu, karena mereka akan hidup di zaman yang samasekali berbeda dengan zamanmu”. Secara aksiomatik-filosofis, setiap generasi pasti memiliki episteme zamannya masing-masing.

(4)

Dalam tulisan singkat ini, penulis sengaja lebih memfokuskan contoh tentang penerapan mata kuliah AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) di lembaga pendidikan/PTM yang ada. Kalau kita cermati melalui pendekatan yang lebih bersifat metodologis – tidak semata-mata ideologis-politis, apalagi pertimbangan ekonomis dari “oknum pengajar AIK” tertentu - maka

pengajaran mata kuliah AIK sebenarnya bisa diterapkan melalui beberapa pendekatan, sesuai dengan tantangan zaman yang kini berkembang: pertama, pendekatan normatif-teologis. Model pertama inilah yang umumnya masih berjalan di berbagai lembaga PTM kita yang umumnya lebih mengedepankan pembacaan atas tesk-teks (Al-Quran-Hadis) semata sebagaimana tercermin dalam buku Kuliah Akidah atau Kuliah Akhlaq, dan semisalnya.

Kalau kita cermati secara lebih mendalam, pola normatif-teologis ini lebih mengarah kepada kebaikan personal-elitis. Maka setelah mendapatkan kuliah akidah-akhlaq ini diharapkan mahasiswa menjadi lebih agamis. Tetapi jarang kita sadari - ya karena jarang merenung saja atau kurang melakukan refleksi/telaah ulang (sebagai konsekwensi keilmuan) – bahwa realitas membuktikan dimana di luar mata kuliah AIK masih ada puluhan ilmu-ilmu “sekuler” (nir-spirituality/nir-religiosity) yang diserap oleh mahasiswa yang – juga - dalam kenyataannya lebih dinomorsatukan oleh mahasiswa bahkan oleh “rezim” akademis di sekolah/PTM bersangkutan. Secara jangka panjang ini berimplikasi pada lahirnya alumni sekolah/sarjana PTM yang hanya memiliki sikap keberagamaan yang berkepribadian ganda (split personality). Semangat keberagamaannya hanya sebatas wacana religiositas yang ia dapatkan secara bayani tadi yakni agama hanya sebatas dalam wilayah “akidah-akhlaq secara skriptural” atau kurang melingkupi aspek kehidupan, karena puluhan mata kuliah lain masih diberi “zat perasa” yang secara diametral berbeda dengan apa yang ada dalam mata kuliah AIK. Akhirnya, pemahaman dan penghayatan agama ujung-ujungnya hanya kembali ke wilayah personal dan wilayah ritual saja, sementara untuk mengharungi berbagai wilayah kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, iptek (sesuai dengan jurusan/fakultas/keilmuan) masing-masing, umumnya mahasiswa masih “diwarnai” oleh nilai-nilai yang materialistik-sekularistik.

(5)

keduniawian. Tetapi karena konteks zaman waktu itu yang berbeda dengan kondisi kita dewasa ini, serta keterbatasan metodologi atau akses keilmuan dan informasi, sudah merupakan kemajuan yang luar biasa apa yang telah diwariskan kepada kita khususnya model kuliah AIK. Tetapi generasi kita sekarang ini menghadapi zaman yang samasekali berbeda dan begitu sangat terbuka. Maka, tidak sewajarnya kita merasa puas dengan apa yang diwariskan oleh para pendahulu kita yang hidup di zaman lalu.

Dewasa ini, diperlukan pendekatan yang lain sebagaimana tercantum di bawah ini yakni pendekatan kedua, normatif aplikatif (model KHA Dahlan). Pendekatan ini tetap berdasar pada Al-Quran-Hadis (strategi al-Maunnya KHA Dahlan), namun tidak semata-mata normatif-teologis, tapi juga dikembangkan melalui pola kontekstualisasi ayat terkait dengan realitas umat yang dihadapi. Dimana waktu itu – kini masih kita warisi secara konvensional – KHA Dahlan mengajak anak didik/umat untuk menolong anak yatim, mendirikan rumah sakit serta lembaga pendidikan dan dakwah. Pendekatan kedua ini bisa didialogkan/case study kepada mahasiswa atau melalui kunjungan sosial sesuai dengan realitas tantangan umat saat ini pula.

Pendekatan ketiga adalah pendekatan psikologis (psychological approach). Untuk saat ini juga sangat relevan untuk mengatasi fenomena kekeringan spiritual khususnya di kalangan siswa atau mahasiswa. Pola-pola manajemen tauhid/qalbu ala Aa Gym, misalnya, laik dipertimbangkan melalui studi banding atau “mencuri” pola-pola training yang diterapkan pesantren Daarut Tauhid Bandung. Terus terang saja, untuk pendekatan ini Muhammadiyah masih miskin SDM. Pola ketiga ini bisa kita kaitkan dengan pola ‘irfani di atas. Pendekatan sufistik (Islamic great tradition) – bedakan dengan tarekat (Islamic little tradition ) – sebenarnya bisa memperkaya pengajaran mata ajar/kuliah AIK dan mata ajar/kuliah lainnya yang relevan.

(6)

tidak lepas “kendali” dari nilai-nilai spiritual-religius. Dalam konteks ini, mata kuliah akidah-akhlaq bisa diblender atau menyatu dalam setiap mata kuliah yang ada dengan diawali dasar-dasar keislaman yang umum, pada pertemuan satu sampai tiga, misalnya. Karena ini baru merupakan “eksperimen akademis”, biasanya butuh beberapa kali revisi, hingga satu saat nanti akan ditemukan sistem pengintegrasian yang lebih mapan, dan setelah mapan tentu harus direformasi lagi. Seperti teori Thomas Kuhn, ada normal science (ilmu yang sudah mapan), tetapi lama-kelamaan mengalami krisis dan secara alamiah – akibat perkembangan zaman yang berimplikasi pada keharusan lahirnya epistemologi keilmuan yang baru - mendorong lahirnya teori, ilmu dan pendekatan baru (revolutionary science).

Kelima, pendekatan sosiologis dan antropologis (sociological-anthropological approach). Model ini secara sederhana bisa melalui pengamatan lingkungan sosial terutama pada pertemuan kuliah pasca ujian MID, karena secara teoritik sudah didahulukan pada pertemuan pra-MID. Bila mengajar akidah, bisa saja mahasiswa kita arahkan untuk riset lapangan mengamati berbagai fenomena sosial yang menyimpang dari prinsip akidah. Atau bila mata kuliah akhlaq, peserta didik bisa diinstruksikan mengamati berbagai penyimpangan akhlaq semisal, etika rumah kost, kerusakan ekologis, ketimpangan jender, kekerasan sosial (social violence), kasus mubazir dengan mengamati sebuah perkantoran yang terkesan mubazir dalam penggunaan listrik, soal praktek pluralisme internal atau eksternal umat beragama/antar suku dan golongan, dll. Survey sosial ini bisa disesuaikan dengan konteks lingkungan sekolah/kampus masing-masing. Materi kuliah Akidah/Akhlaq bisa dipadatkan secara teoritik pada pertemuan pra-Mid, lalu anak didik – seperti praktek KHA Dahlan - disuruh mencermati lingkungan sekitarnya.

Keenam, pendekatan arkeologis. Pendekatan ini mungkin bisa menggunakan slide-slide gambar peninggalan sejarah Islam yang terkait dengan materi kuliah. Misalnya, untuk meyakinkan mahasiswa tentang Allah, dosen dapat menampilkan di layar OHP tentang mummi Fir’aun, sebagai salahsatu bukti arkeologis tentang orang-orang yang menentang Tuhan. Demikian pula model jejak Rasul yang kini sudah banyak beredar dalam berbagai kaset VCD.

(7)

seperti mahasiswa Fisipol. Untuk pendekatan ini diperlukan kualitas dosen yang mampu berargumen secara rasional pula, tidak semata-mata mengedepankan ayat-ayat dan hadis belaka yang terkadang kurang memuaskan dahaga mahasiswa yang rasional. Ini hanya soal pendekatan saja. Kapasitas dosen tentu disesuaikan dengan kelas yang diampu.

Kedelapan, pendekatan transformatif atau tauhid sosial. Model transformatif ini misalnya, bisa meminjam 8 konsep teologi Hassan Hanafi, seperti; from God to land; from eternity to time; from predestination to free will; from authority to reason; from theory to action; from charisma to mass participation; from soul to body; from eschatology to futurology. Sedangkan tauhid sosial dapat menggunakan 5 konsep Amien Rais yakni; unity of godhead, unity of creation; unity of mankind;, unity of guidance; unity of purpose of life. Karena masih keringnya elaborasi konsep tauhid sosial Amien Rais ini, maka aplikasinya bisa disesuaikan dengan kreativitas intelektual para dosen yang bersangkutan.

Beberapa Langkah Akademis ke Depan

Untuk lebih meningkatkan kualitas lembaga pendidikan – khususnya – perguruan tinggi Muhammadiyah, beberapa hal berikut ini juga perlu diperhatikan, antara lain: pertama, perlunya kontinuitas penerbitan jurnal/majalah pendidikan – semacam Gerbang - dan adanya pertukaran jurnal/majalah antar sekolah/PTM. Kedua, setiap tahun – bahkan bila perlu setiap awal semester – para guru/dosen diwajibkan mencantumkan referensi terbaru yang terkait dengan mata kuliah yang diajarkan. Demikian pula substansi silabi harus selalu ada yang baru. Ketiga, diadakannya

diskusi rutin (majelis ilmu) tingkat fakultas atau antar jurusan yang menyangkut disiplin ilmu fakultas atau masalah-masalah aktual lainnya yang relevan dengan academic need di masing-masing fakultas. Keempat, pembentukan konsorsium ilmu di bidang disiplin ilmunya masing-masing. Kelima, setiap lembaga pendidikan Muhammadiyah harus terus didorong untuk

(8)

bahkan global, penting pula untuk secara terus menerus dikontesktualkan. Ketujuh, seminar dan

(9)

kualitas dosen akan berdampak positif pula dengan kualitas mahasiswa yang dibimbingnya.. Keduabelas, Majelis Dikti Muhammadiyah perlu segera mengeluarkan aturan baru tentang pentingnya alokasi/kuota sekitar – maksimum – 15% penerimaan calon dosen/karyawan yang benar-benar berasal dari kader Persyarikatan, dengan tetap mempertimbangkan skill dan kapasitas keilmuan yang dimiliki, dalam rangka mereduksi potensi “pengangguran” dari dalam Persyarikatan sendiri, sekaligus mengantisipasi adanya social and psychological gap antara kader Persyarikatan dengan dosen/karyawan yang “bukan” murni dari kader Persyarikatan. Aturan main ini penting untuk mengantisipasi timbulnya resistensi bagi – sebuah kewajaran organisatoris -terakomodasinya kader Persyarikatan di segenap amal usaha Muhammadiyah di seluruh Indonesia.

Demikianlah beberapa refleksi penulis tentang masa depan dari sistem pendidikan Muhammadiyah, khususnya di perguruan tinggi. Mudah-mudahan tulisan ini memberikan inspirasi dan m enjadi bahan diskusi bagi munculnya renaisans kedua pendidikan Muhammadiyah abad 21. Wallahu a’lam bisshawab

(penulis: Dosen Fakultas Agama Islam UMY)

sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Pada perlakuan ini dengan pakan yang terbuat dari daun kelapa sawit dan kombinasi ampas singkong sebagai pakan ternak tambahan, setelah 4 minggu dengan respon ternak yang

Jadi dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa special event merupakan suatu peristiwa atau kegiatan khusus di luar kebiasaan sehari hari yang dalam perencanaannya

Tujuan penelitian untuk: (1) mengetahui cara mengolah jamur tiram menjadi produk nugget sebagai ragam makanan baru bagi vegetarian (2) mengetahui variasi jumlah bahan pengisi

Kemudian jawaban siswa dianalisis menggunakan teknik Model Analysis untuk memperoleh informasi mengenai konsistensi konsepsi siswa dihubungkan dengan pengalaman

Penelitian pendahuluan yang dilakukan yaitu membuat produk cokelat dengan menentukan jenis madu yaitu madu Sumbawa, madu Kelengkeng dan madu Randu yang akan

Secara singkat, faktor yang dapat menjadi daya tarik pusat kota bagi masyarakat untuk memilih tinggal di pusat kota tersebut yang dapat menyebabkan permukiman tumbuh

Kemudian ada banyak alasan mengapa perempuan muslim tidak mau memakai hijab antara lain adalah yang pertama karena belum siap untuk berhijab, hati masih belum siap

Sebagaimana perihal dimaksud dalam tajuk surat di atas, maka Kami, panitia Kejuaraan Karate “SIRKUIT KARATE ANTAR DOJO Se-Jakarta dan Sekitarnya”, meminta kepada