Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun Oleh : Daniel Dwi Nugroho
NIM: 024314014
NIMR
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
PERJUANGAN KAUM KIRI DI MADIUN 1948
Oleh
Daniel Dwi Nugroho NIM: 024314014
NIRM:
Pembimbing
Drs. Ig. Sandiwan Suharso. tanggal Februari 2009
PERJUANGAN KAUM KIRI DI MADIUN 1948
Dipersiapkan dan ditulis oleh Daniel Dwi Nugroho
NIM: 024314014
NIMR:
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal Januari 2009
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Ketua : Prof. Dr. P. J. Suwarno., S.H.
Sekretaris : Drs. H. Purwanta., M.A.
Anggota : Drs. Hb. Hery Santosa., M.Hum.
Drs. Ig. Sandiwan Suharso.
Drs. Silverio R.L.A.S., M.Hum.
Yogyakarta, Januari 2009
Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.,
Ibu, Ayah …..
Hanya tulisan ini yang bisa Anakda persembahkan untuk pengorbanan dan kesabaran kalian selama ini.
Untuk mereka di seantero bumi ini.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka, sebagai layaknya karya-karya ilmiah.
Yogyakarta, Februari 2009
Penulis,
Daniel Dwi Nugroho
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Skripsi ini berjudul “Perjuangan Kaum Kiri di Madiun 1948” ini beranjak dari dua permasalahan. Pertama, peran kaum kiri dalam perjuangan kemerdekaan. Kedua, latar belakang kegiatan kaum kiri dalam pergerakan Komunis di Indonesia tahun 1947 – 1948. Untuk membahas masalah itu maka skripsi ini akan mendekati dengan teori konflik.
Penulisan sejarah politik, terutama yang berkaitan dengan kaum kiri merupakan masalah yang selalu menarik untuk diangkat. Kaum kiri identik dengan pemikiran yang bersebrangan dengan pemerintah yang sah yaitu Negara, golongan agamawan dan militer. Kaum kiri terdiri dari kelompok-kelompok yang berideologi kerakyatan. Selain itu kaum kiri diidentifikasikan sebagai golongan yang menentang pemerintah dan sering disamakan ideologinya dengan ideologi komunis. Padahal dalam kenyataannya kaum kiri sering terdiri dari beberapa kelompok ideologi yang berbeda-beda. Perselisihan antara kaum kiri dengan Pemerintah di tahun 1947 – 1948 semakin meruncing sehingga mengakibatkan konflik yang berujung pada konflik bersenjata.
Penulisan ini bertujuan mendiskripsi dan menganalisa perjuangan kaum kiri di Madiun 1948 dan ada tidaknya actor intelektual yang bertanggung-jawab atas peristiwa Madiun 1948. Tulisan ini memuat pembahasan serta analisa mengenai latar belakang, perjuangan kaum kiri sampai peristiwa Madiun 1948. Metode yang di gunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif – analitis. Penulisan ini didasarkan pada sumber berupa buku-buku dan artikel di internet.
Secara garis besar, tulisan ini ingin membuka ingatan masa lalu kita bahwa pernah ada perjuangan yang dilakukan oleh kaum kiri di Madiun 1948. Peristiwa Madiun 1948 sebenarnya bukan merupakan sebuah pemberontakan, melainkan sebuah pergolakan rakyat di Madiun yang kemudian di politisir. Di sisi lain kaum kiri khususnya PKI menerima tekanan dari dalam, yang dilakukan oleh Pemerintah Hatta dan dari luar yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
The title of this thesis, “The Left-ish group struggle in Madiun 1948”
came from two problems. The first was the role of the Left-ish group in the struggle of independence. The second is the background of the left-ish group activity in the Communist movement in Indonesia in 1947 – 1948. In describing these problems this thesis will approach the problems with political theoris.
The writing of the political history, especially one that is related with the left-ish movement is always an interesting problem to write about. The left-ish movement is always identified as a movement that is opposed to the government, religion and military group. The left-ish group is made up of groups that make it’s ideology based on the society. Besides, the left-ish movement is often thought as an opposition the government and its ideology thought to be the same as one from the Communist party. But actually the left is always made up of many different groups with different ideologies. The conflict between the left-ish group and the government in 1947 – 1948 keeps on getting deeper and lead up to a struggle of arms.
This thesis is written to describe and analyze the left-ish group struggle in Madiun 1948 and the fact if there is or there is no intelectuall actor that is responsible for the Madiun 1948 incident. This writing describes and analyzes the background, and the struggle of the left-ish group upto the Madiun 1948 incident. The method used in this thesis is descriptive – analytical. The writing is based from books and internet articles.
Broadly, this writing wants us to remember the past and that there was a struggle that was done by the left-ish group in Madiun 1948. The Madiun 1948 incident is actually not a rebellion, it is a revolt of the people in Madiun that was later on politicized. On the other hand the left-ish group, especially PKI is being pressed down internally from that of the Hatta government and externally from the United States America.
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Daniel Dwi Nugroho
Nomor Mahasiswa : 024314014
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“PERJUANGAN KAUM KIRI DI MADIUN 1948”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 25 Maret 2009
Yang menyatakan
Daniel Dwi Nugroho
penulisan skripsi ini. Satu tahap dari sebuah proses pencarian akan ilmu
pengetahuan telah dilalui. Begitu banyak tantangan yang mengiringi dinamika
penulisan skripsi ini. Mulai dari keharusan untuk segera menyelesaikan studi,
beban ekonomi keluarga, kebingungan akan topik skripsi, kesulitan mencari
bahan-bahan untuk mendukung tulisan hingga rasa jenuh dan bosan akan situasi.
Beruntung orang-orang disekeliling penulis, mulai dari staf pengajar dan
kawan-kawan mahasiswa di jurusan ilmu sejarah tak bosan dan tak henti-hentinya
memberi dukungan moril untuk menyelesaikan apa yang sudah penulis tempuh.
Semua itu telah memberi warna dalam proses panjang ini.
Dengan selesainya skripsi ini, maka sudah sepantasnya penulis
memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Sang pemilik hidup, yang telah
melimpahkan begitu banyak kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tulisan ini. Tanpa dampingan Tuhan, penulis tak akan pernah
mampu mengarungi tahap yang kadang membuat penulis ingin menyerah di
tengah jalan. Tapi berkat-Nya yang telah menguatkan hati penulis untuk
senantiasa percaya bahwa garis akhir akan mampu ditempuh.
Penyelesaian skripsi ini melibatkan banyak pihak yang secara
terus-menerus bersedia membimbing, mengarahkan, mendukung dan memberikan
bantuan serta doa pada penulis. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada mereka dan tak akan pernah melupakan perhatian serta
sumbangan ide-ide baru. Ucapan terima kasih pertama kali penulis sampaikan
anaknya. Beliaulah sumber inspirasi terbesar yang selalu mengiringi setiap
langkah penulis untuk selalu memberikan dan mempersembahkan yang terbaik.
Kepada Opa Supangat dan Oma Kusyati yang selalu mendukung dan mengingatkan penulis tentang “bagaimana perkembangan skripsi”, menjadi
cambuk sekaligus dukungan dan semangat bagi penulis untuk segera mungkin
mengabulkan keinginan mereka untuk lulus.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada segenap staf pengajar di
Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah
memberi banyak dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada
Bapak Hb. Hery Santosa M. Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah
yang sejak awal senantiasa menanamkan kepercayaan diri kepada para
mahasiswanya serta membuka tangan dan ruang kerjanya lebar-lebar untuk
menampung kelah kesah dan gelak tawa penulis.
Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, dan Drs. H. Purwanta, M.A. selaku
pembimbing yang selalu memotivasi dengan penuh kesabaran dan bersedia
meluangkan waktu di sela-sela aktivitasnya untuk memberikan bimbingan,
konsultasi, referensi, dan koreksi terhadap skripsi ini. Penulis yakin tanpa bantuan
dukungan, motivasi dan kepercayaan yang beliau berikan, skripsi ini tak akan
pernah selesai.
Terima kasih pula kepada seluruh staf pengajar pada Program Studi Ilmu
Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan berbagai ilmu yang
yang luar biasa. Romo Dr. F. X. Baskara Tulus Wardaya, S.J atas berbagai ide-ide
yang hebat yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Drs. H. Purwanta, M.A.
atas pengenalan tentang dasar-dasar metode sejarah. Dr. St. Sunardi, Drs. Anton
Haryono, M. Hum., Prof. Dr. P. J. Suwarno, Alm. G. Moedjanto dan Drs. Manu
joyoatmojo.
Kepada kawan-kawan seperjuangan Ilmu Sejarah angkatan 2002: Eka
Rama Kanalebe (teman dalam suka dan duka, sekaligus guru bagi penulis),
Sukarno “Samuel Etto”, Kwirinus Yosida Kurniawan “Ello”, Vila, Nana, Markus,
adek Atik dan Domi. penulis mengucapkan terima kasih atas kebersamaan yang
telah kita jalin selama ini. Terima kasih juga atas berbagai diskusi-diskusi, baik di
dalam maupun di luar kelas, yang telah memberi cakrawala baru pada penulis
dalam melihat dunia dan kehidupan. Dari perjalanan diskusi-diskusi kecil bersama
kawan-kawan, penulis mendapat inspirasi awal tentang topik skripsi ini
Kepada yang terkasih, Sara Pingki Sabrina Hayuningtias “Bunda” yang
telah bersedia memahami, memberikan dorongan, semangat serta dukungan di
saat penulis mengalami kejenuhan akan hidup yang terasa monoton ini. Terima
kasih karena telah bersedia berbagi rindu, tawa, suka, duka,serta telah mewarnai
hidupku selama kurang lebih 5 bulan ini. Kamu adalah perempuan terhebat yang
pernah kukenal.
Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih
sekaligus permintaan maaf sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
dari kesempurnaan untuk sebuah karya ilmiah. Untuk itu, penulis sangat
membutuhkan masukan, saran, dan kritik. Semoga karya ilmiah ini dapat berguna,
khususnya bagi orang lain.
Yogyakarta, Februari 2009
Daniel Dwi Nugroho
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... viii
KATAPENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penulisan ... 7
E. Manfaat Penulisan ... 7
F. Tinjauan Pustaka ... 8
G. Kerangka Pemikiran ... 9
H. Metode Penelitian dan Penulisan ... 11
I. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II PERAN KAUM KIRI DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN 14 A. Sebelum Kemerdekaan ... 14
B. Setelah Kemerdekaan 1945 ... 23
BAB III PERAN KAUM KIRI DALAM SEJARAH PERGERAKAN KOMUNIS DI INDONESIA TAHUN 1947-1948 ... 31
A. Kondisi Politik Indonesia 1947-1948 ... 31
B. Meletusnya Peristiwa Madiun 1948 ... 39
BAB IV PENUTUP ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 55
LAMPIRAN
A. Latar Belakang
Komunisme lahir di Jerman, ketika seorang filsuf dari Eropa yang
bernama Karl Marx menerbitkan pamflet yang bernama The Communist
Manifesto. Komunisme berkembang di Uni Soviet ketika Revolusi Industri
mengakibatkan terjadinya perbedaan yang mencolok antara kelas borjuis dan
kelas proletar.
Tulisan-tulisan Karl Marx menyebabkan kaum proletar bersatu untuk
berjuang secara revolusioner di bawah partai Bolsevik pimpinan Lenin, yang
ternyata mampu menggulingkan rezim pemerintahan yang berkuasa pada saat itu.
Keberhasilan perjuangan revolusioner kaum proletar: buruh pabrik/petani di Uni
Soviet, membuat inspirasi orang-orang di Indonesia untuk meneruskan perjuangan
kaum komunis di Indonesia.
Paham atau ajaran komunis pertama kali dibawa masuk ke Indonesia, yang
pada waktu itu masih dalam kekuasaan Hindia Belanda, oleh seorang warga
negara berkebangsaan Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet pada tahun
1931.1 Selang satu tahun kemudian 1932 Sneevliet mengadakan kontak dengan
orang-orang yang ada di Belanda yang berhaluan sosialis yang berada di wilayah
Hindia Belanda. Pada tahun itu juga Sneevliet bersama J.A. Brandsteder, H.W.
Dekker dan P. Bergsma mendirikan organisasi Marxis pertama kali di Asia
1Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia
. 1994. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, hal:7
Tenggara, dengan nama Indishe Social Democratische Vereeniging yang
kemudian lebih dikenal dengan nama ISDV.2
Sneevliet melihat bahwa Sarekat Islam (SI) dapat dimanfaatkan untuk
menyebarkan ajaran Marxisme. Strategi yang diterapkan oleh Sneevliet adalah
dengan cara memasukan atau menyusupkan anggota-anggota ISDV ke dalam
tubuh Sarekat Islam, hal ini tercermin dengan adanya sistem “keanggotaan
rangkap”. Anggota ISDV boleh merangkap sebagai anggota Sarekat Islam begitu
pula sebaliknya. Seiring perjalanan waktu Sarekat Islam terpecah menjadi dua
kelompok, yaitu Sarekat Islam Merah (SI Merah) dan Sarekat Islam Putih (SI
Putih). SI Merah identik dengan penganut ajaran Marxisme yang menjadi cikal
bakal Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan SI Putih identik dengan
kelompok yang menentang Marxisme. Dari kelompok SI Merah, tokoh yang
terkenal antara lain Semaoen dan Darsono.
Pada tahun 1927-1928 PKI melakukan pemberontakan bersama para
petani di beberapa daerah seperti Banten dan Sumatera Barat. Pada waktu itu
pemberontakan masih bersifat kedaerahan sehingga dapat dengan mudah
diantisipasi oleh Pemerintah Belanda, kegagalan pemberontakan mengakibatkan
para petinggi PKI seperti Muso dan Alimin melarikan diri ke Uni soviet.
Sebenarnya aksi pemberontakan dan pemogokan yang akan dilakukan oleh
para petani dan PKI ditentang keras oleh Tan Malaka yang pada waktu itu sedang
berada di luar negeri. Tan Malaka beranggapan bahwa pemberontakan, yang
dipimpin oleh Muso melawan Belanda, masih bersifat prematur atau belum tepat
2
pada waktunya. Menanggapi hal itu, Tan Malaka mengeluarkan pamflet yang
berjudul ”Menuju Republik Indonesia”. Pamflet ini dikeluarkan atas dasar situasi
yang belum mendukung dilancarkan sebuah revolusi.
Pamflet yang dikeluarkan Tan Malaka ternyata tidak mampu
menghentikan keinginan para petinggi PKI seperti Muso, Alimin, Semaoen dan
para petani untuk melakukan pemberontakan dan pemogokan. Pandangan Tan
Malaka ini terbukti ketika pemogokan dan pemberontakan para petani serta PKI
dapat dipatahkan oleh Belanda. Pemogokan dan pemberontakan para petani serta
PKI harus dibayar mahal. Sebanyak 13.000 orang ditahan dan 4.500 orang
dipenjarakan serta 1.380 orang dibuang ke Boven Digul. Sementara itu para
petinggi PKI seperti Muso, Alimin, Semaoen melarikan diri ke Rusia.
Ada dua jenis perjuangan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia, yang
pertama perjuangan secara fisik dimana perjuangan ini dilakukan dengan cara
mengangkat senjata atau berperang secara langsung melawan Pemerintah
Belanda, yang kedua adalah perjuangan secara diplomasi yang lebih menekankan
dialog untuk mencari kesepakatan diantara kedua belah pihak. Perjuangan secara
diplomasi ini tercermin dari perjanjian antara pihak Belanda dan Indonesia dalam
Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville.
Dalam Perjanjian Linggarjati Indonesia diwakili oleh Syahrir sedangkan
dalam Perjanjian Renville Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin. Perjanjian
Linggarjari dan Perjanjian Renville merupakan dua hal yang berbeda tetapi pada
umumnya tujuannya sama. Pasca Perjanjian Renville Amir Syarifuddin dianggap
awalnya mendukung dirinya beralih menarik dukungannya sehingga
mengakibatkan kabinet yang telah dipersiapkan Amir Syarifuddin jatuh. Setelah
kabinetnya jatuh Amir Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada Presiden
Sukarno.
Pasca Perjanjian Renville Amir Syarifuddin lebih aktif dalam Partai
Sosialis yang merupakan partai oposisi yang kemudian melebur dan menyatukan
Partai Sosialis ke dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Dalam perjalanannya
FDR menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 31 Agustus 1948. Di
tengah perkembangan PKI, partai ini mendapat kado istimewa dengan kedatangan
seseorang dari Moskow yang kemudian dikenal dengan nama Muso. Kedatangan
Muso pada waktu itu dianggap sebagai angin segar dalam perkembangan PKI,
bahkan pada waktu itu popularitas Muso mengalahkan Amir Syarifuddin.
Sukarno kemudian menunjuk Hatta untuk mengantikan peran Amir
Syarifuddin sebagai Perdana Menteri (PM) dan meneruskan Perjanjian Renville.
Strategi politik yang diterapkan Hatta yaitu dengan mengganti sistem
pemerintahannya dari Parlementer menjadi Presidensial dan juga meneruskan
Perjanjian Renville serta melaksanakan program Rekontruksi dan Rasionalisasi
(Re-Ra). Program-program Rasionalisasi yang telah dijalankan Hatta dinilai
paling berat, yakni Rasionalisasi pada tubuh militer sehingga dalam tubuh militer
terjadi perpecahan antara yang mendukung dan menolak Rasionalisasi. Sebagai
konsekuensi dari Perjanjian Renville, maka tentara-tentara RI khususnya Divisi
Pada masa orde baru (orba) pimpinan mantan Presiden Suharto kaum kiri
mendapat perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah. Segala bentuk gerakan
kaum kiri diawasi dan aktivitasnya dibatasi oleh pemerintah pada waktu itu.
Karena kuatnya kedudukan dan kekuasaan mantan Presiden Suharto sehingga
mendapat julukan sebagai pemimpin yang otoriter dan bertangan besi. Tidak
jarang dalam menyelesaikan permasahanan dengan orang-orang yang
bersebrangan dengan mantan Presiden Suharto khususnya kaum kiri mendapat
teror bahkan berujung pada penculikan.
Sejak mantan Presiden Suharto mundur pada Mei 1998, lewat demonstrasi
oleh mahasiswa dan rakyat yang sudah tidak simpati dan percaya padanya. Kaum
kiri perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukan yang dilakukan oleh
pemerintah. Eksitensi kaum kiri mulai terlihat ketika mengadakan berbagai dialog
dan seminar yang membahas tentang kaum kiri. Walaupun begitu masih ada
beberapa kelompok yang tidak senang terhadap eksitensi kaum kiri yang sering
dipandang sebagai kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh beberapa
orang yang berpandangan sempit.
Penulisan skripsi ini lebih fokus pada peristiwa yang terjadi pada tahun
1947-1948, dengan judul Perjuangan Kaum Kiri di Madiun 1948. Tulisan ini
membahas gerakan kaum kiri sampai dengan kontroversi Peristiwa Madiun 1948.
B. Identifikasi Masalah
Tahun 1947-1948 merupakan tahun-tahun terpanas dalam sejarah
dengan bersusah payah memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan, terjadi
perang saudara lewat Peristiwa Madiun 1948. Pada waktu yang relatif singkat
setelah meraih kemerdekaan bangsa ini harus dihadapkan pada peristiwa yang
pahit. Peristiwa bersejarah ini tidak hanya memakan korban harta benda yang
banyak tetapi juga memakan banyak korban jiwa.
Terkait situasi yang terjadi di Madiun 1948 kaum kiri khususnya Partai
Komunis Indonesia menjadi korban atas peristiwa tersebut. Kaum kiri difitnah
melakukan pemberontakan di Madiun 1948. Faktanya yang terjadi di Madiun
tanggal 19 September 1948 tidak pernah terjadi pemberontakan seperti yang
diberitakan selama ini, melainkan sebuah pergolakan rakyat biasa yang kemudian
dipolitisir oleh elit-elit politik.
Banyak hal yang ganjil dalam peristiwa yang terjadi di Madiun 1948,
dimana diduga ada aktor-aktor intelektual yang membuat sejarah diputar
sedemikian rupa sehingga yang terang menjadi kabur dan yang gelap segaja
diterangkan. Terkait situasi di atas maka tulisan ini bermaksud memberi
penjelasan tentang Perjuangan Kaum Kiri di Madiun 1948.
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul skripsi yang ditulis dalam rangka mengetahui
Perjuangan Kaum Kiri di Madiun 1948 secara mendalam, maka ada dua masalah
yang akan dijawab pada skripsi ini, antara lain:
2. Bagaimana latar belakang keterlibatan kaum kiri dalam Pergerakan
Komunis di Indonesia tahun 1947-1948?
D. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan tentang Perjuangan Kaum
Kiri di Madiun 1948 adalah sebagai berikut:
1. Mendiskripsi dan menganalisa Peristiwa Madiun 1948.
2. Mendiskripsi dan menganalisa tentang ada tidaknya aktor intelektual
yang bertanggung jawab atas Peristiwa Madiun 1948.
3. Menginterpretasi kembali penumpasan kaum kiri di Madiun 1948.
E. Manfaat Penulisan
Karya tulis ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan gambaran
yang lebih jelas mengenai Peristiwa Madium 1948, mengingat selama ini
buku-buku yang membahas Peristiwa Madium 1948 tidak secara mendetail dalam
membahas permasalahan yang sebenarnya. Buku-buku yang banyak beredar
mengenai Peristiwa Madium 1948 lebih banyak memihak pada satu pihak saja
yaitu pemerintah, sehingga isinya cenderung kurang obyektif. Dengan begitu
tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap tulisan sejarah
politik dan juga berharap agar pembaca lebih jeli dalam memahami Peristiwa
Madium 1948 secara obyektif, agar nantinya generasi penerus bangsa tidak
F. Tinjauan Pustaka
Dalam menyelesaikan tulisan ini, digunakan bahan pustaka sebagai
sumber utama dalam rangka mendiskripsikan dan menganalisis Perjuangan Kaum
Kiri di Madiun 1948. ada beberapa buku yang membahas tentang topik ini.
Meskipun begitu tidak semua buku dapat dijadikan acuan dalam penyususnan
tulusan ini.
Buku atau karya tulis yang sangat membantu dalam proses penulisan ini
adalah karya tulis berdasarkan Skripsi Diah Palupi Normalasari, yang berjudul
Pemogokan Buruh Delanggu 1948 dan Penumpasan Gerakan Kiri pada tahun
1948. Karya tulis ini membahas secara luas tentang pemberontakan petani dan
PKI yang terjadi tahun 1926-1927 melawan Pemerintah Hindia Belanda, Peristiwa
Pemogokan Buruh di Delanggu 1948 sampai Provokasi Madiun 1948. Karya
Tulis ini juga lebih fokus pada gerakan buruh di Indonesia dan proses bersatunya
kaum buruh dan kaum kiri di Indonesia. Hal ini tercermin pada peristiwa
Pemogokan Buruh yang terjadi di Delanggu, dimana hal ini merupakan titik awal
yang berujung pada Peristiwa Madiun 1948. Buku ini juga memberikan
penjelasan yang cukup komperhensif mengenai proses panjang Perjuangan kaum
kiri di Indonesia.
Karya tulis Diah Palupi Normalasari yang berjudul Pemogokan Buruh
Delanggu 1948 dan Penumpasan Gerakan Kiri pada tahun 1948, juga
mempunyai beberapa kelemahan-kelemahan di dalamnya antara lain: alur cerita
membuat pembaca kurang fokus, untuk itu karya tulis ini dapat dijadikan untuk
mengisi kelemahan dan kekurangan dalam karya tulis tersebut.
G. Kerangka Pemikiran
Dalam membahas perjuangan suatu kelompok minoritas, perlu dipahami
keadaan dan situasi yang bergolak yang bisa menyebabkan terjadinya perjuangan
ini. Perlu dipahami faktor eksternal yang turut berperan serta dalam membentuk
terjadinya perjuangan ini. Ada beberapa paham yang berkembang yaitu
kapitalisme, imperialisme, dan komunisme. Kapitalisme adalah faham yang
menekankan pada perekonomian swasta dimana tujuan utama ialah mencari
keuntungan setinggi-tingginya, para kelas pekerja (buruh) tidak ikut memperoleh
keuntungannya.3 Imperialisme adalah sistem politik yang bertujuan menjajah
negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sepihak yang lebih
besar. Imperialisme ditandai dengan adanya hubungan superior-inferior dengan
keadaan yang menggambarkan wilayah dan rakyatnya tunduk terhadap kehendak
negara asing.4
Dari definisi kapitalisme dan imperialisme di atas, terlihat keterkaitan
yang sangat erat, dimana faham kapitalisme bisa melahirkan faham imperialisme.
Hal ini tercermin pada institusi yang lebih besar yaitu negara, dengan adanya
faham kapitalisme yang berkembang dan melahirkan faham imperialisme maka
akan memunculkan negara-negara jajahan atau koloni-koloni. Pada umumnya
3
B.N. Marbun, SH. 2007. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hal:233
4
faham kolonialisme dianut oleh negara-negara Barat dengan tujuan mencari
keuntungan sebesar-besarnya.
Komunisme sendiri adalah suatu faham yang menekankan pada
pertentangan kelas yang terdapat dalam struktur masyarakat, dimana faham
komunisme menghendaki baik hasil-hasil produksi atau maupun alat-alat produksi
hendaknya menjadi milik bersama.5 Terlihat dari sini bahwa faham komunisme
bertentangan dengan kedua faham yang menjadi pendahulunya. Berangkat dari
pemikiran ini, persaingan dari faham-faham ini sudah pasti akan melahirkan
pertentangan menuju pada konflik yang berkepanjangan.
Realitas sosial bertalian dengan sistem kekuasaan dari suatu sistem
kenegaraan yang merupakan realitas dengan skala makro. Teori konflik, sejalan
dengan rujukan yang diberikan oleh George Ritzer, memberi bantuan dalam
menjelaskan realitas pada tataran makro obyektif.6 Pandangan dasar teori ini
berlawanan dengan teori fungsional struktural. Perspektif konflik beranggapan
sebuah tatanan sosial terus-menerus didesak oleh dorongan perubahan untuk
mengubah situasi. Dengan dua pengertian kunci, yaitu kekuasaan dan
kepentingan. Menurut perspektif ini suatu tatanan sosial dari segi kekuasaan
ditemukan dua kutub yang berbeda. Satu sisi adalah kutub yang berkuasa dan
kutub lain adalah yang dikuasai. Kedua kutub itu memiliki kepentingan yang
berbeda.
5Ibid
hal: 253
6
H. Metode Penelitian dan Penulisan
Tulisan sejarah mengenai peristiwa yang terjadi di Madiun 1948 cukup
banyak kita jumpai, khususnya di perpustakaan. Kebanyakan dari tulisan-tulisan
yang sudah ada dan beredar luas di masyarakat lebih mengarah ke tindakan
diskriminatif yang dilakukan terhadap PKI baik secara langsung atau tidak
langsung, dimana pada Peristiwa Madiun 1948, PKI divonis bersalah dengan
dituduh melakukan pemberontakan di Madiun 1948. Tidak bisa dipungkiri bahwa
rezim yang berkuasa pada saat itu juga mempengaruhi tulisan-tulisan para
sejarawan. Lewat karya ilmiah ini mencoba untuk merubah melawan kemapanan
yang sudah ada selama ini dengan menyuguhkan tulisan yang berbeda dengan
para sejarawan-sejarawan sebelumnya mengenai topik Perjuangan Kaum Kiri di
Madiun 1948.
Tahap awal pada penelitian ini adalah pengumpulan sumber-sumber
sejarah (heuristik) baik berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber
primer berasal seorang yang menyaksikan peristiwa-peristiwa atau yang ikut
berpartisipasi dalam peristiwa tersebut. Sumber sekunder mencatat penemuan dari
seseorang yang tidak mengamati peristiwa tapi mereka menyelidiki bukti-bukti
primer.
Tidak semua sumber yang ditemukan dapat digunakan dalam proses
penulisan. Untuk itu, perlu dilakukan verifikasi atau kritik sumber, baik berupa
kritik intern (dari dalam) ataupun kritik ekstern (dari luar) dan interpretasi. Proses
ini sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mendapatkan fakta-fakta yang
menjadi dua yaitu, pertama sumber primer yang berupa dokumen-dokumen atau
arsip-arsip nasional yang berkaitan dengan Perjanjian Renville dan peristiwa yang
terjadi di Madiun 1948. Kedua adalah sumber sekunder yang berupa buku-buku
dan artikel yang didapat dari internet. Semua sumber diatas sangat membantu
upaya mendiskripsikan dan menganalisa serta mencapai hasil yang valid dalam
proses penulisan tentang topik yang akan dibahas.
I. Sistematika Penulisan
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh terhadap isi dari skripsi ini
dari bab pendahuluan sampai bab kesimpulan, maka dalam tulisan skripsi ini akan
disusun sistematika penulisan yang terbagi dalam lima bab:
Bab I membahas tentang berbagai aspek yang merupakan awal dari
penulisan skripsi ini. Mencakup Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Rumusan
Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan
Teori, Metode Penelitian dan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Bab II membahas tentang Peran Kaum Kiri dalam Perjuangan
Kemerdekaan. Sub. bab pertama akan dibahas peran kaum kiri sebelum
kemerdekaan. Sub. bab kedua akan membahas peran kaum kiri setelah
kemerdekaan tahun 1945-1948.
Bab III membahas Latar Belakang Keterlibatan Kaum Kiri dalam
Pergerakan Komunis di Indonesia tahun 1947-1948. Sub. bab pertama akan
dibahas kondisi politik di Indonesia tahun 1947-1948. Sub. bab kedua akan
Bab V akan menutup skripsi ini dengan mengetengahkan jawaban dari
A. Sebelum Kemerdekaan
Dalam peta perpolitikan di Indonesia yang termasuk kaum kiri antara lain
PKI, Partai Sosialis, Persindo, SOBSI, BTI dan Laskar Rakyat. Kaum kiri sering
disamakan dengan komunis, padahal dalam realitasnya kaum kiri terdiri dari
beberapa kelompok dengan ideologi yang berbeda-beda. Salah satu kaum kiri
yang berideologi Komunis dan dianggap berbahaya adalah PKI.
Komunisme sendiri berasal dari Jerman tetapi berkembang pesat di Uni
Soviet. Komunisme berasal dari pemikiran filsuf Eropa yang bernama Karl Marx,
ketika Karl Marx menerbitkan pamflet yang bernama The Communist Manifesto.
Karl Marx menuntut agar antara kelas atas atau para pemilik modal mau berkerja
sama dan mau menghargai kelas proletar atau buruh pabrik, karena tanpa buruh
pabrik para pemilik modal juga tidak bisa berbuat apa-apa, sebaliknya tanpa para
pemilik modal para buruh pabrik juga tidak berbuat apa-apa. Tulisan-tulisan Karl
Marx menyebabkan kaum ploletar bersatu untuk berjuang secara Revolusioner di
bawah partai Bolsevik pimpinan Lenin, yang ternyata mampu menggulingkan
rezim pemerintahan yang berkuasa pada saat itu.
Latar belakang munculnya ideologi Komunis di Uni Soviet lebih
dikarenakan terdapat jurang pemisah yang cukup tinggi antara kelas atas (Tuan
Tanah atau pemilik modal) dan kelas bawah atau proletar (buruh atau petani). Hal
ini diperparah dengan adanya Revolusi Industri dimana tenaga-tenaga manusia
atau buruh-buruh pabrik mulai diganti dengan tenaga mesin. Tentu saja dengan
adanya Revolusi Industri ini menguntungkan kelompok pemilik modal dan
merugikan para buruh pabrik. Imbas dari ini semua upah buruh pabrik menjadi
sangat rendah, sehingga mengakibatkan kelas atas semakin kaya dan kelas bawah
atau proletar semakin memprihatinkan.
Keberhasilan perjuangan Revolusioner kaum proletar: buruh pabrik/petani
di Uni Soviet, memberikan inspirasi terhadap orang-orang di Indonesia untuk
meneruskan perjuangan kaum komunis di Indonesia. Ideologi yang berkembang
di Eropa ini kemudian dibawa masuk ke Indonesia oleh H.J.F.M. Sneevliet.
Kedatangan Sneevliet membawa misi untuk menyebarkan ajaran Sosialis-Marxis.
Ideologi baru ini sebelumnya belum dikenal oleh orang-orang di Asia karena
ideologi ini sebelumnya hanya dianut oleh orang-orang Eropa. Sneevliet
kemudian mengajarkan paham Sosialis-Marxis pada orang-orang di Indonesia,
baik dari golongan muda maupun golongan tua. Sasaran utama ajaran ini adalah
masyarakat yang tertindas, baik yang berada di kota maupun di desa, terutama
kelas pekerja.
Tahun 1909 praktek-praktek perdagangan yang dilakukan orang-orang
Cina dengan cara memonopoli perdagangan menyebabkan para pedagang Jawa
lainnya membentuk suatu organisasi dagang bersama yang bernama Sarekat
Dagang Islam (SDI), dengan tujuan utama melindungi pedagang Jawa dari para
pedagang besar Cina. Tahun 1912 Sarekat Dagang Islam berganti nama menjadi
Sarekat Islam (SI) dibawah pimpinan Umar Said Cokroaminoto, yang merupakan
belakang pendidikan barat. Sarekat Islam terus berkembang dengan pesat, bahkan
organisasi ini pun menyatakan anggotanya berjumlah lebih dari dua juta orang.
Tak heran apabila dikatakan, bahwa Sarekat Islam umumnya dianggap sebagai
gerakan massa pertama di Indonesia.
Sarekat Islam erat berhubungan dengan pribadi Raden Umar Said
Cokroaminoto, dimana ia merupakan seorang pembicara yang menarik dan juga
bersemangat. Raden Cokroaminoto telah menawan hati orang banyak dan menjadi
simbol harapan bagi mereka yang merasa dirinya tertekan dan yang sudah merasa
bebas. Ia telah menjadi suatu perantara yang menyuarakan kesusahan-kesusahan
yang nyata maupun yang dibayangkan. Tak heran kalau pada tahun 1914 ia telah
dianggap sebagai Ratu Adil, raja yang membawa kebenaran yang akan memimpin
jalan ke surga.
Di sisi lain Sneevliet mendirikan organisasi Sosialis-Marxis yang
bernama ISDV (Indishe Social Democratische Vereeninging). Sneevliet melihat
bahwa Sarekat Islam (SI) mempunyai potensi yang besar untuk menyebarkan
paham Sosialis-Marxis secara lebih besar di Indonesia. Sementara itu di
Semarang, ISDV memperluas gerakan dengan cara mencoba menarik partisipasi
SI dan berkerjasama dengan SI. Hal ini dilakukan karena SI mempunyai massa
yang cukup besar dan para anggotanya sebagian besar merupakan masyarakat
menengah ke bawah. Strategi yang diterapkan ISDV adalah dengan menerapkan
sistem keanggotaan rangkap, dimana anggota partai ISDV boleh menjadi anggota
lebih dari satu partai. Pada kenyataannya setiap orang yang menjadi anggota
Dalam perkembangnya Sarekat Islam tidak terfokus pada masyarakat yang
berada di desa saja, tetapi Sarekat Islam mulai melirik untuk mengumpulkan masa
dari kota khususnya kelas pekerja atau buruh pabrik. Inilah realita yang terjadi
pada tahun-tahun sesudah 1916. Karena tekanan yang makin berat dari makin
banyaknya cabang Sarekat Islam yang makin berorientasi Marxis, dan karena
tidak mempunyai sarana yang efektif untuk mendisiplinkan semua unsur-unsur
yang berbeda itu, maka pemimpin pusat organisasi itu lambat laun terpaksa
mengkompromikan ajaran-ajaran modernis.
Sadar bahwa buruh-buruh kota dan kaum tani yang miskin memberi
tanggapan yang simpatik kepada slogan-slogan Marxis, maka Sarekat Islam
merasa tergugah untuk bergerak lebih jauh mendukung suatu program politik
yang revolusioner dan gagasan-gagasan Marxis. Pada gilirannya politik yang
revolusioner itu Disamping itu pergerakan revolusioner itu sekali waktu tampak
mengancam Belanda. Pimpinan organisasi itu memberanikan diri untuk membuat
kesan bahwa hubungan-hubungan politik tradisional di seluruh dunia sedang atau
akan berubah.
Kondisi interen yang terjadi dalam tubuh SI mulai terlihat ada perpecahan.
Sarekat Islam mulai terpecah kedalam dua kelompok. Kelompok pertama yaitu SI
Merah yang identik dengan penganut ajaran Marxisme, yang nantinya menjadi
cikal bakal berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Kelompok kedua, yaitu SI
Putih yang identik dengan pandangan yang menentang Marxisme.Untuk
menghambat meluasnya paham Sosialis-Marxis, Cokroaminoto selaku petinggi SI
dikeluarkan Cokroaminoto membuat PKI dan SI Merah tertantang. karenanya
dalam kongres darurat di Bandung dan Sukabumi SI Merah memutuskan untuk
keluar dari SI.
Hal lain yang merupakan basis keanggotaan yang penting bagi PKI adalah
kalangan PKI itu sendiri. Para petani direkrut oleh PKI lewat
pemimpin-pemimpin mereka yang telah menjadi anggota PKI. Pemimpin-pemimpin-pemimpin PKI ini
kemudian menyebarkan berita bahwa kedatangan para pendatang (bangsa
Belanda) adalah pembawa kehancuran bagi petani, terlebih pemerintah kolonial
juga mengeluarkan perintah untuk membayar pajak dan kerja bakti di perkebunan
maupun rumah-rumah dinas pemerintah. Hal ini menimbulkan kejengkelan bagi
kalangan para petani. Situasi ini disebarkan para pemimpin PKI, sehingga para
petani berhasil diajak untuk bergabung dengan PKI untuk melawan Pemerintah
Belanda. Protes yang dilakukan para petani dan PKI ini dikenal dengan
pergolakan petani Banten dan Sumatera Barat, pada tahun 1926-1927.
Sebenarnya aksi pemogokan dan pemberontakan yang akan dilakukan
oleh para petani dan PKI tidak mendapat restu dari Moskow, tidak hanya itu saja
Tan Malaka yang pada waktu itu sedang berada di luar negeri juga menolak keras
pemogokan dan pemberontakan yang akan dilakukan oleh para petani dan PKI.
Tan Malaka beranggapan bahwa pemberontakan, yang dipimpin oleh Muso
melawan Belanda, masih bersifat prematur atau belum tepat waktunya.
Menanggapi hal itu, Tan Malaka mengeluarkan pamflet yang berjudul ”Menuju
Republik Indonesia”. Pamflet ini dikeluarkan atas dasar situasi yang belum
Pamflet yang dikeluarkan Tan Malaka ternyata tidak mampu
menghentikan keinginan para petinggi PKI seperti Muso, Alimin, Semaun dan
para petani untuk melakukan pemberontakan dan pemogokan. Pandangan Tan
Malaka ini terbukti ketika pemogokan dan pemberontakan para petani serta PKI
dapat dipatahkan oleh Belanda. Pemogokan dan pemberontakan para petani serta
PKI yang belum tepat waktunya harus dibayar mahal. Mahkamah Agung Hindia
Belanda memerintahkan penangkapan semua orang PKI. Sebanyak 13.000 orang
ditahan dan 4.500 orang dipenjarakan dan 1.380 orang dibuang ke Boven Digul.
Sementara itu para petinggi-petinggi PKI seperti Alimin, Muso, Semaoen
melarikan diri ke Rusia. Oleh karena itu Patai Komunis Indonesia kemudian
terpaksa berkerja di bawah tanah berhubungan dengan kehilangan
pemimpin-pemimpin intelektualnya. Kegiatan-kegiatannya makin lama tidak terkoordinasi
secara baik. Tahun 1935 Muso kembali ke tanah air dan sempat berusaha
mendirikan PKI-ilegal, akan tetapi usaha Muso untuk menghidupkan PKI seperti
semula tidak berhasil. Keadaan semakin tidak menguntungkan kaum kiri ketika
kedatangan Jepang ke Indonesia.
Kekalahan Belanda atas Jepang membawa dua akibat yang nyata, pertama
gengsi Belanda benar-benar jatuh di mata orang Indonesia. Kedua banyak orang
Indonesia yang berpendapat bahwa dengan angkatan perang semacam itu,
seharusnya Belanda mampu berperang sebaik Jepang. Kedatangan Jepang pada
awalnya diterima dengan baik, rakyat percaya bahwa Jepang datang untuk
memerdekakan dan Jepang semakin disenangi karena segera mengizinkan
kebangsaan Indonesia Raya. Dua hal penting itu dulu dilarang oleh pemerintah
Belanda.
Tidak lama setelah masuk Indonesia, Jepang membebaskan tokoh Sukarno
dari pembuangannya di Bengkulu, dan mengizinkan Sukarno langsung pulang ke
Jawa. Sukarno segera menghubungi Hatta dan Syahrir, yang sebelumnya sudah
mengadakan kontak dengan gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Amir
Syarifuddin dan Darmawan Mangoenkoesoemo. Akhirnya diputuskan bahwa
perjuangan nasional paling baik dilaksanakan dengan dua cara: secara resmi
(terang-terangan) dan di bawah tanah (secara diam-diam). Sukarno dan Hatta
berkerja secara resmi dengan penguasa Jepang, sedang Amir Syarifuddin berjuang
melalui organisasi bawah tanah.1
Dengan maksud memperoleh dukungan Sukarno, Hatta dan sementara
pemimpin nasionalis yang berpengaruh lainnya untuk tujuan perang mereka,
orang Jepang berjanji tidak lama lagi akan memberi Indonesia suatu pemerintahan
sendiri dan mengizinkan berdirinya suatu organisasi Putera, tanggal 9 Maret 1943.
Organisasi ini mencakup semua perkumpulan politik dan non-politik Indonesia
terdahulu yang bertempat di Jawa dan Madura. Bagaimanapun juga, tidak
diragukan lagi bahwa hasil jangka panjang terpenting dari aktivitas-aktivitas
Putera adalah peningkatan besar-besaran kesadaran politik rakyat Indonesia, dan
khususnya keinginan mereka untuk merdeka.
Orang Jepang terutama menyadari bahwa dengan mengorganisasi pemuda
Indonesia yang tidak punya latar belakang pendidikan, mungkin akan diperoleh
1
hasil-hasil politik yang nyata. Karena hanya punya latar belakang pengetahuan
Barat yang sedikit itu, mereka dengan mudah dapat diindoktrinasi untuk
membenci dan melawan Sekutu.
Semula organisasi bawah tanah anti-Jepang yang paling besar diketuai
oleh Amir Syarifuddin. Organisasi ini dibentuk beberapa minggu sebelum Jepang
mendarat di Indonesia. Amir Syarifuddin menerima bantuan keuangan dari
pemerintah Belanda sebesar 25.000 gulden yan diserahkan oleh Dr Charles van
der Plas.2 Organisasi ini menarik berbagai orang yang sangat anti-fasis, yang
kebanyakan berasal dari anggota partai komunis bawah tanah (PKI tidak resmi)
hal ini dikarenakan Amir Syarfuddin sudah punya hubungan baik dengan mereka.
Tujuan utama organisasi bawah tanah ini adalah masuk ke dalam Peta dan
organisasi-organisasi pemuda yang di sponsori oleh Jepang. Pertama, dengan
sebanyak mungkin memegang kendali dalam unit-unit semua organisasi itu lewat
para pemegang posisi kunci yang dapat dipercaya. Kedua, menggiring para
anggotanya ke arah sikap anti-Jepang dan pro-Sekutu, terutama menyiapkan
mereka untuk bangkit melawan Jepang, bila invasi Sekutu datang. Kebanyakan
pemimpin bawah tanah setuju dengan Syahrir bahwa kedudukan tawar menawar
Indonesia dengan Sekutu untuk memperoleh kemerdekaannya bakal sangat kuat
bila Indonesia bangkit dengan kekuatan penuh melawan Jepang berbarengan
dengan pendaratan Sekutu.3
Pada masa Pemerintah Jepang gerakan kaum kiri dilarang berdiri. Sikap
represif Pemerintah Jepang terbukti ketika menangkap seorang tokoh nasional
2Ibid
hal:141
3
yang bernama Amir Syarifuddin dengan dakwaan sebagai kelompok bawah tanah.
Amir Syarifuddin bahkan divonis dengan hukuman mati, beruntung Amir
Syarifuddin mendapat pembelaan dari Sukarno dan Hatta. Kedua tokoh tersebut
meminta keringanan hukuman sehingga Amir Syarifuddin hanya dijatuhi
hukuman seumur hidup.
Desas-desus bahwa Jepang akan menyerah kepada Sekutu memacu aksi
beberapa organisasi bawah tanah yang telah bersepakat untuk bangkit melawan
Jepang bila sekutu mendarat. Tanggal 10 Agustus 1945, setelah mendengar siaran
radio yang kebetulan tidak disegel oleh pemerintah militer Jepang bahwa Jepang
sudah memutuskan untuk menyerah. Maka Syahrir mendesak Sukarno-Hatta agar
segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menyakinkannya bahwa
Sukarno-Hatta akan didukung para pejuang bawah tanah maupun banyak unit
Peta.
Sukarno-Hatta yang belum begitu yakin bahwa Jepang telah menyerah,
merasa bahwa kelompok-kelompok bawah tanah belum mampu menghimpun
kekuatan untuk mengalahkan Jepang dan khawatir bila hal ini akan
mengakibatkan pertumpahan darah yang sia-sia. Sukarno-Hatta masih berharap
untuk menghindari pertumpahan darah, sedangkan kelompok-kelompok bawah
tanah mengikuti tuntutan Syahrir untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia.
Sementara itu gerakan bawah tanah pimpinan Sukarni yang didukung oleh
sejumlah kelompok Persatuan Mahasiswa telah kehilangan kesabaran, sehingga
dibawa ke garnisun Peta di Rengasdengklok. Di sana mereka meyakinkan
Sukarno-Hatta bahwa Jepang benar-benar menyerah. Kemudian mereka berusaha
mendesak keduanya untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Akhirnya, di
rumah seorang warga negara Jepang yang bernama Laksamana Maeda di jalan
Pegangsaan Timur, Sukarno-Hatta merumuskan teks Proklamasi Kemerdekaan.
Kemudian tanggal 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia.
B. Setelah Kemerdekaan 1945
Setelah Jepang menderita kekalahan atas Sekutu, para pemuda secepatnya
mendesak Presiden Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Atas desakan para pemuda itu pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi
kemerdekaan RI dikumandangkan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Hatta. Perjuangan bangsa Indonesia dalam membangun suatu bangsa yang utuh
semakin berat dikarenakan bangsa ini juga harus kembali mempertahankan bangsa
ini dari pihak Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.
Dengan terlaksananya Proklamasi kemerdekaan bukan berati bangsa ini
terlepas dari belenggu penjajahan, karena Belanda berusaha menguasai Indonesia
kembali setelah Jepang kalah dari sekutu. Tentara Belanda datang kembali ke
Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu yang datang ke Indonesia. Namur
demikian Proklamasi kemerdekaan telah memberi semangat baru bagi pemuda
untuk menghadapi kedatangan kembali tentara Belanda yang membonceng tentara
Sementara itu Indonesia tidak mempunyai anggaran yang cukup guna
mempersenjatai para pejuangnya, padahal kedatangan Sekutu dengan persenjataan
yang lengkap dapat mengancam kemerdekaan Indonesia. Pada kondisi demikian
pada tanggal 1 September 1945 para pemuda membentuk API (Angkatan Pemuda
Indonesia). Beberapa tokoh pemuda kaum kiri seperti Wikana, Chaerul Saleh, dan
Aidit ikut terlibat dalam barisan tersebut. Selain API dibentuk juga Barisan Tani
Indonesia (BTI) dan Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang ikut serta berjuang
membela Indonesia.
Untuk menghadapi tentara Belanda yang mempunyai persenjataan yang
lengkap dan modern, para pemuda melakukan perampasan terhadap persenjataan
tentara Jepang yang sudah menyerah terhadap sekutu. Perampasan persenjataan
tentara Jepang dilakukan di beberapa kota besar seperti Bandung, Semarang,
Magelang, Yogyakarta dan Surabaya. Perebutan senjata dan pengambilalihan
kekuasaan berjalan tanpa adanya perlawanan secara berati oleh tentara Jepang,
bahkan pihak Jepang lewat Jenderal Nakamura mendukung perjuangan bangsa
Indonesia. Jenderal Nakamura bersedia berkerjasama dalam pengambilalihan
kekuasaan, Hal itu terlaksana karena ia dalam posisi terdesak oleh pemuda
Indonesia.
Tidak semua perampasan persenjataan tentara Jepang berjalan dengan
mulus. Jika di Magelang perebutan senjata dan pengambilan kekuasaan berjalan
tanpa hambatan, tapi berbeda halnya di kota-kota besar seperti Semarang,
Bandung, Surabaya. Di ketiga kota tersebut, usaha perebutan persenjataan tentara
Surabaya tak kalah semangatnya dengan pemuda-pemuda di Bandung dan
Semarang.
Setelah Jepang menyerah dari Sekutu, pemerintah Belanda segera
mengambil alih kekuasaan atas wilayah Indonesia. Untuk itu pertempuran antara
pihak Indonesia melawan pihak Belanda tidak dapat dihindari lagi. Perjuangan
bangsa Indonesia dalam melawan Belanda dilakukan dalam dua cara: pertama
perjuangan yang dilakukan secara fisik dimana para pejuang melakukan
pertempuran secara langsung melawan Belanda yang dipimpin oleh TNI, kedua
perjuangan secara diplomasi perjuangan yang dilakukan secara persuasif dengan
pihak lawan dengan cara melakukan dialog dan berbagai perjanjian-perjanjian.
Dua hal ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi,
perjuangan secara fisik tanpa dilakukan dengan perjuangan diplomasi hasilnya
pasti akan kurang optimal, begitu pula sebaliknya. Wujud dari perjuangan
diplomasi yang dilakukan bangsa Indonesia tercermin dengan adanya Perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian Renville. Dalam Perjanjian Linggarjati Indonesia
diwakili oleh Syahrir sedangkan dalam Perjanjian Renville Indonesia diwakili
oleh Amir Syarifuddin.
Pada tahun 1948 setelah Amir Syarifuddin dianggap gagal dalam
Perjanjian Renville oleh Parlemen RI, membuat kabinet yang telah dipersiapkan
Amir Syarifuddin jatuh karena sudah lagi tidak mendapat dukungan dari
partai-partai besar seperti PNI dan Masyumi. Dalam strategi politiknya Amir
Syarifuddin memilih menjadi kelompok oposisi dan berusaha keras untuk
Persoalan yang baru muncul, ketika perpecahan yang terjadi dalam Partai
Sosialis tidak dapat lagi dihindari antara pengikut yang pro Amir Syarifuddin dan
pengikut yang pro Syahrir. Karena persoalan ini sudah tidak bisa diselesaikan
dengan baik secara intern, bahkan cenderung semakin meruncing maka pada
tanggal 13 Februari 1948 Syahrir dan pengikutnya memilih keluar dari Partai
Sosialis dan mendirikan partai baru yang bernama Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Sebenarnya alasan keluarnya Syahrir dari Partai Sosialis lebih dikarnakan
perbedaan pandangan antara Amir Syarifuddin dengan Syahrir yang tidak dapat
satukan lagi. Dengan keluarnya Syahrir dari Partai Sosialis pasti akan
melemahkan kedudukan Partai Sosialis yang dipimpin Amir Syarifuddin, karena
banyak anggota KNIP dan BP-KNIP yang memihak dan mendukung langkah
yang dilakukan Syahrir.4
Selang berapa hari kemudian setelah Syahrir keluar dari Partai Sosialis dan
mendirikan partai baru, maka pada tanggal 26 Februari 1948 untuk memperkuat
partainya Amir Syarifuddin berusaha menghimpun seluruh kekuatan golongan kiri
yang terdiri atas kelompok-kelompok yang menentang Reorganisasi dan
Rasionalisasi (Re-Ra) dengan mendirikan partai baru yang bernama Front
Demokrasi Rakyat (FDR). FDR merupakan gabungan antara Partai Sosialis,
Partai Buruh Tani (PBT), Pemuda Sosialis Indonesia (Persindo), dan Sarekat
Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) yang semuanya melebur
menjadi satu. FDR memilih menjadi partai oposisi yang selalu mengkritik
4
kebijakan yang dikeluarkan Pemerintahan Hatta. Adapun program-program FDR
antara lain:
a. Pembatalan Persetujuan Renville.
b. Penghentian perundingan-perundingan dengan Belanda sampai mereka menarik diri dari bumi Indonesia.
c. Nasionalisasi semua kekayaan Belanda tanpa pemberian ganti rugi.
d. Pembubaran Kabinet Presidensiel Hatta dan pembentukan Kabinet Parlementer dimana wakil-wakil FDR diikut-sertakan dengan mendudukin kursi penting5.
Pada dasarnya Hatta sendiri tidak keberatan dan merasa sepaham dengan
progam-program yang dijalankan FDR. Hatta juga berani mengatakan bahwa pada
dasarnya program yang dijalankan oleh FDR juga sejalan dengan program
pemerintah, hanya saja Hatta tidak sepaham dan sejalan dengan program
pembubaran Kabinet Presidensiel Hatta dan pembentukan Kabinet Parlementer
dimana wakil-wakil FDR diikut-sertakan dengan menduduki kursi penting.
Pihak FDR pimpinan Amir Syarifuddin juga mempunyai tujuan untuk
dapat membentuk kekuatan bersenjata. Hal ini dapat terealisasi ketika Amir
Syarifuddin menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Amir
Syarifuddin membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) Masyarakat atau yang
lebih dikenal dengan sebutan laskar rakyat. Atmadji yang merupakan bekas
sekertaris Gerindo menjabat sebagai Direktor Jenderal Angkatan Laut di Lawang.
Direktorat Jenderal ini kemudian membentuk Tentara Laut Republik Indonesia
(TLRI). Melalui organisasi TNI Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan
sebutan laskar rakyat, pihak komunis dapat mewujudkan keinginnanya
membentuk kekuatan bersenjata, yang pada dasarnya pro terhadap Amir
Syarifuddin.
5
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Hatta pasca Perjanjian
Renville digunakan pihak Amir Syarifuddin dan pengikutnya untuk membuat
propaganda yang bertujuan menjatuhkan kabinet yang dipimpin Hatta, khususnya
terkait masalah Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) yang ada dalam tubuh
militer. Amir Syarifuddin menilai masalah Reorganisasi dan Rasionalisasi yang
terjadi pada tubuh militer mempunyai potensi yang besar untuk merongrong
pemerintahan yang dipimpin Hatta dan memecah-belah kekuatan militer Tentara
Nasional Indonesia. Sebenarnya orang yang pertama kali yang mengenalkan atau
membuat progran Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tidak lain adalah Amir
Syarifuddin itu sendiri, karena konsep ini sudah muncul ketika periode
Pemerintahan Amir Syarifuddin tapi belum sempat dijalankan, sehingga ia tau
persis akan kelemahan dan kekurangan dari progran Reorganisasi dan
Rasionalisasi (Re-Ra)
Pihak FDR mendapat angin segar, ketika Suripno 11 Agustus 1948 telah
tiba di Yogyakarta dengan membawa oleh-oleh seorang sekretaris yang bernama
Suparto yang ternyata merupakan nama samaran karena nama aslinya adalah
Muso. Pada tanggal 13 Agustus 1948 bersama Suripno, Muso menemui Sukarno.
Pada pertemuan itu keduanya saling berpelukan, hal ini menunjukan tidak adanya
permasalahan diantara mereka. Muso merupakan teman Sukarno ketika mereka
masih kuliah bersama. Keduanya dengan akrabnya saling menceritakan panjang
lebar tentang pengalaman masing-masing selama mereka tidak bertemu. Bahkan
sebelum berpisah, Sukarno minta supaya Muso mau membantu memperkuat
Muso adalah seorang tokoh komunis yang pada tahun 1926-1927
memimpin pemberontakan PKI melawan Pemerintahan Hindia Belanda. Pada
waktu itu pemberontakannya masih terkesan terburu-buru dan belum matang,
maka dengan muda dapat dipadamkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda
sehingga menyebabkan Muso kabur ke Moskow. Sedangkan Suripno sendiri
adalah seorang tokoh komunis muda yang pada waktu Amir Syarifuddin menjadi
Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, ditugaskan untuk menjajaki
kemungkinan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Negara-negara Eropa
Timur.
Kontroversi mengenai kedatangan Muso sengaja ditiupkan oleh pihak
yang segaja ingin menjatuhkan Muso, bahkan ada yang menyebarkan isu bahwa
Muso segaja dikirim ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran Marx. Selain itu
mereka juga menyebarkan isu bahwa kedatangan Muso kembali ke Indonesia
dikawal oleh sebelas orang pasukan khusus yang sengaja ditinggalkan di
Singapura. Tidak lama setelah kedatangannya kembali di Indonesia popularitas
Muso terus meningkat bahkan popularitasnya pada waktu itu mengalahkan Amir
Syarifuddin serta tokoh-tokoh FDR yang lain, sehingga tidak lama kemudian
Muso dapat mengambil alih pimpinan kaum kiri Indonesia dan mencetuskan
konsepsinya dengan nama Jalan Baru Republik Indonesia. Konsepsi ini berisi dua
pokok sebagai berikut:
a. Hanya boleh ada satu partai yang berdasarkan Marxisme-Leninisme. Oleh karna itu, semua partai-partai yang bernaung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) harus menyatukan diri dengan partai kelas pekerja.
Setiadjit, dll. Sehingga semua partai dalam Front Demokrasi Rakyat bergabung menjadi satu menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).6
Dalam perkembangannya Amir Syarifuddin dan Muso dan tokoh-tokoh
PKI gencar melakukan kampaye penolakan terhadap kebijakan yang dikeluarkan
Pemerintahan Hatta dengan mengadakan pidoto-pidato diberbagai tempat yang
bernada membakar emosi massa khususnya yang terjadi di Yogyakarta, Sragen,
Solo, dan Madiun.
6Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia
PERGERAKAN KOMUNIS DI INDONESIA TAHUN 1947-1948
A. Kondisi Politik Indonesia 1947-1948
Agresi Militer Belanda yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947
menimbulkan kekacauan di wilayah Indonesia. Adapun tujuan utama Agresi
Militer Belanda lebih untuk penghancuran RI. Berbagai cara ditempuh pemerintah
dan rakyat Indonesia untuk menghadapi Belanda. Kelompok Syahrir mengusulkan
penyelesaian dengan pihak Belanda lewat jalur diplomasi. Hal ini didasarkan pada
kekuatan militer (jumlah personel) serta persediaan persenjataan yang mulai
menipis. Disisi lain Tan Malaka berpandangan bahwa penyelesaian lewat jalur
diplomasi tidak efektik karena pihak Belanda tidak pernah menepati janjianya,
untuk itu kemerdekaan mutlak merupakan harga mati bagi Indonesia.
Setelah Agresi Militer Belanda di tahun 1947, pihak Indonesia kembali
berhadapan dengan Belanda lewat Perjanjian Renville. Tahun 1948 diawali
dengan Perjanjian Renville, yaitu perjanjian antara pihak Belanda dengan pihak
Indonesia yang diprakasai oleh KTN (Komisi Tiga Negara) yang dilaksanakan di
atas kapal Amerika Serikat yang bernama USS Renville.
Di lain tempat, Perang Dingin yang terjadi antara Amerika Serika dengan
Uni Soviet mulai terasa di Asia. Oleh sebab itu untuk membendung masuknya
komunis ke Asia Tenggara, Amerika Serikat memutuskan untuk berkerjasama
dengan Belanda, Perancis dan Inggris. Sikap Amerika Serikat nampak ketika
pemberian bantuan kepada Belanda berupa persenjataan yang meliputi truk, tank
dan pesawat-pesawat yang diberi tanda ”US Marine” atas usul Truman dan
Churchill. Usaha-usaha Amerika Serikat ini dikenal dengan sebutan ”Containment
Policy”, yaitu berbagai kebijakan untuk membendung lajunya pengaruh
komunisme di dunia termasuk Asia Tenggara.
Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville yaitu semakin kecilnya
wilayah RI sementara jumlah penduduk semakin tinggi. Ketidakseimbangan ini
mengakibatkan kekurangan pangan dan persenjataan. Persenjataan yang dimiliki
pihak RI mulai menipis, dan jika sewaktu-waktu terjadi genjatan senjata dengan
pihak Belanda maka bisa dipastikan pasukan RI akan mengalami kekalahan.
Hatta melihat banyak laskar di luar Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang
mempunyai persenjataan yang tak kalah dengan TNI. Hatta berpendapat bahwa
dengan banyaknya laskar yang mempunyai senjata justru nantinya akan menjadi
bumerang bagi Pemerintahan RI. Laskar-laskar itu dicurigai bisa memanfaatkan
dan mengambil kesempatan pada saat Pemerintah RI sedang sibuk melawan
Belanda. Jalan satu-satunya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan
menyatukan laskar-laskar dengan TNI, agar dapat menambah kekuatan militer dan
juga memudahkan dalam mengkoordinasi pasukan.
Rasionalisasi merupakan salah-satu dari kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintahan Hatta. Hatta melihat terjadi pembengkakan yang besar dalam
pengeluaran keuangan dibidang militer, hal ini dikarnakan banyaknya jumlah
tentara atau laskar-laskar (yang dibentuk oleh Amir Syarifuddin ketika menjadi
Untuk melengkapi pelaksanaan Program Rasionalisasi, Perdana Menteri (PM)
Hatta juga menerapkan Reorganisasi. Program ini pada hakekatnya bertujuan
membersihkan anasir-anasir komunis yang terdapat dalam tubuh TNI. Tujuan itu
menyertai dalam upaya penataan kembali divisi-divisi dalam tubuh Angkatan
Perang Republik Indonesia (APRI) yang semula berada di belakang Garis
Dermakasi Van Mook dan kini tidak mempunyai divisi lagi.
Rasionalisasi tentara dijalankan dengan tiga cara. Pertama, dengan
melepas kembali tentara yang sukarela mau meninggalkan keanggotaannya di TNI
atau laskar dan bergabung kembali ke masyarakat dengan berkerja selain sebagai
tentara. Selain itu cara yang kedua, yaitu para pejuang akan diserahkan kepada
Kementerian Pembangunan dan Pemuda yang menyiapkan obyek-obyek usaha
bagi mereka. Ketiga, dengan mengembalikan seratus ribu orang ke dalam
masyarakat desa.
Program Rasionalisasi militer yang diusung Pemerintahan Hatta
menyebabkan penyusutan tentara secara besar-besaran sangat mengelisahkan
masyarakat dan kalangan militer. Adapun kalangan militer yang mengalami
kegelisahan itu ialah kesatuan militer yang telah dibina oleh Amir Syarifuddin
ketika ia menjadi Perdana Meteri dan Menteri Pertahanan, terutama Divisi IV
yang bermarkas di Sala. Disamping itu akan dirasionalisasikan juga
kesatuan-kesatuan militer ciptaan Amir Syarifuddin yang dikenal sebagai TNI Masyarakat
atau laskar rakyat, yang merupakan kesatuan militer yang berdiri diluar dari TNI.
Respon dan tanggapan dari masyarakat dan militer yang terjadi di
satu divisi tidak mendapat sambutan yang hangat. Program Reorganisasi dan
Rasionalisasi (Re-Ra) juga menimbulkan sikap anti-Hatta. Salah satu contoh sikap
anti-Hatta ditunjukan dengan digelarnya pawai militer besar-besaran oleh Pemuda
Sosialis Indonesia (Persindo) dan Tentara Laut Indonesia (TLRI) pada tanggal 20
mei 1948 di Surakarta. Aksi ini menuntut pembatalan Reorganisasi dan
Rasionalisasi (Re-Ra) yang dipandang tidak relevan dengan keadaan negara yang
sedang menghadapi tekanan dari Belanda.
Kondisi demikian mendorong Amir Syarifuddin dan Muso beserta
petinggi PKI semakin gencar melakukan propaganda kampaye anti Kabinet Hatta,
dimana mereka menuding Kabinet Hatta bertanggung jawab atas kesulitan hidup
yang dialami masyarakat akibat blokade yang dilakukan Pemerintah Belanda.
Rasionalisasi juga digunakan sebagai senjata untuk merongrong Pemerintahan
Hatta. Akibatnya banyak orang yang tidak puas dengan kinerja Kabinet Hatta
terutama kaum buruh dan tentara.
Selain gerakan yang bersifat militer yang mereaksi program Reorganisasi
dan Rasionalisasi (Re-Ra), kaum buruh juga melancarkan protes terhadap
kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hatta. Ketidakpuasan terhadap
Pemerintah Hatta dilakukan oleh kelompok Sarekat Buruh Tani Republik
Indonesia (Sarbupri) dengan melancarkan pemogakan besar-besaran di Delanggu
pada bulan Mei-Juni 1948. Sarekat Buruh Tani Perkebunan Republik Indonesia
(Sarbupri) merupakan sebuah organisasi serikat kerja yang berada di bawah
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Hal ini dipicu dengan
kacau. Pemogokan yang dilakukan buruh-buruh perkebunan telah membuat
kerugian yang besar pada Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Perkebunan dan
tanaman menjadi tidak terawat, akibatnya produksi menurun
Hal ini dijawab oleh Pemerintah Hatta dengan mengantikan seluruh buruh
Sarbupri yang mogok dengan Sarekat Tani Islam Indonesia (STII).1 Sikap STII
yang menerjukan anggotanya mengantikan buruh yang mogok mendapat
tanggapan dari buruh yang mogok. Para buruh yang mogok merasa STII tidak
sejalan dengan tujuan pemogokan buruh Sarbupri dan SOBSI. Petani STII
dianggap tidak mempunyai solidaritas terhadap buruh-buruh yang sedang mogok.
Mereka berpendapat bahwa STII sedang mencari kesempatan untuk mendekati
pemerintah. Sebaliknya para petani STII merasa buruh-buruh yang mogok telah
berkhianat pada perjuangan bangsa, karena dimasa negara sedang berperang
melawan Belanda para buruh malah melawan pemerintah yang sah. Selain itu para
petani STII berpendapat bahwa pemogokan bukan merigankan beban pemerintah,
namun menambah beban yang dihadapi pemerintah.
Akhirnya bentrokan antara STII dan buruh SOBSI tak dapat dihindari lagi.
Hal ini dikarnakan perbuatan para petani STII dianggap membangkang oleh buruh
Sarbupri dan membuat berang buruh-buruh yang mogok. Sebanyak lima ratus
orang buruh SOBSI menyerang para petani STII yang sedang bekerja. Pihak FDR
menyatakan mendukung semua tindakan buruh yang mogok dan mencela
perbuatan STII yang mengunakan kesempatan untuk menggagalkan pemogokan
tersebut. Merasa tertekan para petani STII mengadukan tindakan yang telah
1
dilakukan SOBSI pada Hisbullah. Hal ini kemudian menyebabkan perselisihan
semakin meluas karna tidak hanya melibatkan dua kelompok ini saja, tetapi juga
menyeret permusuhan antara Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang pro
Sarbupri dan Hisbullah yang pro STII. Situasi semakin memanas ketika
perselisihan mereka disertai dengan adu senjata.
Terkait dengan situasi yang semakin tidak kondusif maka Pemerintah
Hatta mengirim pasukan dari Divisi Siliwangi yang ditugaskan didaerah Surakarta
untuk menjaga dan memulihkan kembali konflik di Surakarta. Dengan
ditugaskannya pasukan Divisi Siliwangi untuk mengamankan daerah tersebut,
menyebabkan timbul kejengkelan di kalangan Divisi IV karena Surakarta
sebenarnya merupakan daerah otoritasnya. Pasukan Divisi IV merasa tersinggung
mengapa yang ditugaskan bukan Pasukan Divisi IV, padahal seharusnya
merekalah yang berhak memulihkan keadaan itu. Ketegangan menjadi-jadi setelah
terlibatnya Pasukan Divisi IV (yang akan terkena Rasionalisasi) yang pro terhadap
Sarbupri dan Persindo melawan Pasukan Divisi Siliwangi (pasukan Pemerintah
yang sah) yang pro terhadap STII dan Hisbullah.
Divisi IV tidak setuju dengan rencana Rasionalisasi, untuk itu rencana
Rasionalisasi diminta untuk ditangguhkan. Situasi semakin memanas ketika pada
tanggal 2 Juli 1948 Komandan Divisi IV, Kolonel Sutarto dibunuh. Hal ini segera
direspon Pemerintah Hatta, pada bulan Agustus mengangkat Letkol Suadi sebagai
pengantinya. Akan tetapi Letkol Suadi pun mendesak pemerintah agar program
Dengan pengangkatan Letkol Suadi sebagai Komandan Divisi IV tidak
mengurangi ketegangan yang terjadi, bahkan 11 September 1948 terjadi
penculikan demi penculikan atas beberapa pengurus FDR—PKI di Sala, antara
lain Slamet Wijaya dan Pardiya. Penculikan tersebut diikuti oleh penculikan lain
atas sejumlah perwira-perwira Divisi IV yang dianggap berperan penting dalam
penolakan pelaksanaan Rasionalisasi. Pada tanggal 7 September 1948, Komandan
Divisi IV, Letkol Suadi menugaskan Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto,
Kapten Supardi untuk pergi mengusut penculikan-penculikan itu. Demikian pula
halnya, mereka yang ditugaskan oleh Komandan Divisi IV Letkol Suadi tidak
kembali, hanya sepeda mereka saja yang ditemukan di daerah Srambatan. Pada
tanggal 8 September 1948 Letkol Suharman dari TNI Masyarakat atau yang
sering dikenal dengan sebutan laskar rakyat juga ditugaskan untuk mengusut
penculikan-penculikan itu tapi juga hilang.
Esok harinya tanggal 9 September 1948, Suharman dibawa oleh Pasukan
Divisi Siliwangi ke markas Batalion Siliwangi di Tasikmadu. Ternyata tidak
hanya Suharman yang ditangkap oleh Pasukan Divisi Siliwangi tetapi Slamet
Wijaya dan Pardiya juga ditahan ditempat yang sama. Pada tanggal 19 September
1948 mereka dipindahkan ke Staf I Divisi Siliwangi Kletjo dan pada 24
September 1948 mereka dibawa ke penjara Wirogunan.
Letkol Suadi meminta ketegasan sikap Pemerintah Pusat, mengenai
penangkapan-penangkapan ini. Sebagai Pemimpin TNI, Panglima Besar