• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sibling Rivalry pada remaja akhir. Persaingan antar saudara kandung oleh Amijoyo dalam Kamus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sibling Rivalry pada remaja akhir. Persaingan antar saudara kandung oleh Amijoyo dalam Kamus"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

13

1. Pengertian sibling rivalry pada remaja akhir

Persaingan antar saudara kandung oleh Amijoyo dalam Kamus Indonesia-Inggris (2009) disebut sebagai sibling rivalry ini banyak terjadi pada anak-anak. Sibling rivalry adalah keemburuan, persaingan dan pertengkaran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Hal ini terjadi pada orang tua yang memiliki anak lebih dari satu (Lusa, 2010). Menurut kamus besar psikologi sibling rivalry adalah satu kompetisi antar saudara kandung, adik dan kakak laki- laki, adik dan kakak perempuan, atau adik perempuan dengan kakak laki-laki (Chaplin, 2006).

Menurut Gichara (2006) sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan cemburu diantara saudara kandung. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Shaffer (2002) sibling rivalry adalah suatu kompetisi, kecemburuan dan kebencian antar saudara kandung, yang sering kali muncul saat hadirnya saudara yang lebih muda.

Menurut Haritz (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung biasa terjadi pada anak usia balita dan usia sekolah, lalu berangsur-angsur berkurang seiring dengan meningkatkan kedewasaan. Namun, tidak menutup kemungkinan berlanjut hingga dewasa jika orang tua tidak segera mengatasinya. Apalagi jika pemahaman keagamaan anak lemah, perselisihan saudara kandung bisa

(2)

berkelanjutan sepanjang hidup anak. Sibling rivalry terjadi jika anak merasa mulai kehilangan kasih sayang dari orang tua dan merasa bahwa saudara kandung adalah saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua (Setiawati, 2007).

Sibling rivalry kerap terjadi pada masa kanak-kanak namun dimungkinkan berlanjut hingga dewasa (Yulia dan Priatna, 2006). Ketika individu beranjak pada masa dewasa , individu harus melewati masa remaja akhir. Menurut Monks (2006) remaja seringkali diartikan sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Anak remaja tidak termasuk golongan anak, tapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Monks (2006) juga berpendapat bahwa remaja dibagi menjadi empat bagian yaitu : pra-remaja usia 10-12 tahun, masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun. Menurut Santrock (2011) masa remaja dibagi menjadi tiga yaitu remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun..

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas peneliti menarik kesimpulan mengenai pengertian dari sibling rivalry. Sibling rivalry yang dalam bahasa Indonesia berarti persaingan antar saudara kandung ini, pengertian lebih lanjutnya adalah sebuah bentuk persaingan, kecemburuan, kebencian dan kompetisi yang terjadi diantara saudara kandung baik itu laki-laki atau perempuan pada keluarga yang memiliki anak lebih dari satu , dikarenakan takut kehilangan kasih sayang orangtua.

(3)

2. Aspek-aspek sibling rivalry pada remaja akhir

Menurut Yati dan Mangunsong (2008) aspek-aspek persaingan antar saudara kandung, yaitu :

a) Aspek komunikasi

Berkaitan dengan tuntutan lingkungan dan orang tua terhadap diri seseorang seorang anak. Komunikasi yang lancar diantara semua anggota keluarga baik itu ibu, ayah maupun saudara kandung akan meminimalkan kemungkinan terjadinya sibling rivalry.

b) Aspek afeksi

Afeksi yang diharapkan oleh seorang anak mencakup pengungkapan kasih sayang juga perhatian yang diperolah dari orang tua atau keluarga. Anak akan merasa aman ketika dia dapat mengungkapkan kasih sayangnya dan juga mendapat perhatian dari kedua orang tuanya.

c) Aspek motivasi

Mencakup motivasi untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan lingkungan juga keinginan diri. Terkadang tuntutan orang tua terhadap anaknya akan mempengaruhi motivasi dari anak itu sendiri.

Menurut Hurlock (2002) ada 5 bentuk-bentuk dalam persaingan antar saudara kandung, yaitu :

a) Tidak mau membantu dan bekerjasama antar saudara kandung.

Biasanya ini terjadi pada seorang kakak yang ketika diminta oleh adaiknya membantu melakukan sesuatu tetapi sang kakak tidak mau membantu, menolak bahkan mengabaikan si adik.

(4)

b) Tidak mau berbagi dengan saudara kandung

Membagi sesuatu itu umum atau biasa terjadi antar saudara kandung. Terutama pada saudara kandung yang tidak ada sibling rivalry diantara mereka. Namun bagi mereka saudara kandung yang mengalami sibling rivalry untuk berbagi dengan saudara kandungnya merupakan hal yang sulit. c) Adanya serangan agresif terhadap saudara kandung

Serangan-serangan agresif ini biasa terjadi ketika persaingan antar saudara kandung itu kemudian berubah menjadi perkelahian. Adapun serangan agresif itu bermacam macam bentuknya : ada agresifitas verbal yang berupa mengejek, memarahi, berteriak, membentak, dan menuduh sedangkan agresifitas non verbal biasanya berupa memukul, menendang, menampar, menjambak rambut, mendorong atau melemparkan sebuah benda

d) Saling mengadukan kesalahan saudara kandung pada orang tua

Demi mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orang tua, saudara kandung cenderung melakukan segala hal salah satunya adalah dengan mengadukan kesalahan dari saudaranya dengan tujuan mendapatkan perhatian orang tua atau penilaian orang tua terhadap saudaranya berubah. e) Merusak barang milik saudara kandung

Merusak barang milik saudaranya merupakan bentuk persaingan atau rasa iri yang jelas diperlihatkan pada saudara kandungnya.

Berdasarkan pengertian – pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek – aspek dari sibling rivalry menurut Yati dan Mangunsong (2008) ada tiga

(5)

yaitu aspek komunikasi, aspek afeksi dan aspek motivasi sedangkan menurut Hurlock (2002) aspek dari sibling rivalry dibagi menjadi lima yaitu : tidak mau membantu dan bekerja sama dengan saudara kandungnya, tidak mau berbagi dengan saudara kandungnya, adanya serangan agresif terhadap saudara kandung, saling mengadukan kesalahan saudara kandung kepada orang tua, dan merusak barang milik saudara kandung. Aspek-aspek sibling rivalry yang akan digunakan oleh peneliti adalah aspek sibling rivalry menurut Hurlock (2002) karena aspek-aspek tersebut dinilai oleh peneliti lebih nyata , lebih terperinci dan lebih mungkin digunakan dalam skala penelitian.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry pada remaja

Menurut Hurlock (2002) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antar saudara kandung adalah sebagai berikut, yaitu :

a) Sikap orang tua

Sikap orang tua pada anaknya dipengaruhi oleh sejauh mana anak mendekati keinginan dan harapan orang tua. Sikap orang tua juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku anak terhadap anak yang lain dan terhadap orang tuanya.

b) Urutan posisi dalam keluarga

Semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan mereka diharapkan memerankan peran tersebut. Jika anak menyukai peran yang diberikan kepadanya, semua berjalan dengan baik. Tetapi peran itu peran yang diberikan, bukan peran yang dipilih sendiri, maka kemungkinan terjadi perselisihan besar sekali.

(6)

c) Jenis kelamin saudara kandung

Anak laki-laki dan perempuan bereaksi sangat berbeda terhadap saudara laki-laki atau perempuan. Misalnya dalam kombinasi perempuan-perempuan, terdapat lebih banyak iri hati daripada dalam kombinasi laki-perempuan atau laki-laki. Seorang kakak laki-perempuan kemungkinan lebih cerewet dan suka mengatur terhadap adik perempuannya daripada adik lelakinya.

d) Perbedaan usia antar saudara kandung

Perbedaan usia pada saudara kandung akan mempengaruhi cara mereka bereaksi satu terhadap yang lain dan cara orang tua memperlakukan mereka. Bila perbedaan usia antar saudara itu besar, baik jika anak berjenis kelamin sama maupun berlainan, hubungan mereka lebih ramah , koperatif, dan kasih mengasihi terjalin daripada bila usia mereka berdekatan.

e) Jumlah saudara

Jumlah saudara yang lebih sedikit cenderung menghasilkan hubungan yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang besar. Bila anak banyak saudara, disiplin cenderung otoriter. Bahkan bila ada antagonisme dan permusuhan, ekspresi terbuka perasaan ini dikendalikan dengan ketat. Hal ini tua santaim permisif terhadap perilaku anak, memungkinkan antagonisme dan permusuhan yang dinyatakan dengan terbuka, sehingga tercipta suasana yang diwarnai perselisihan.

(7)

f) Jenis disiplin

Hubungan antar saudara kandung tampak jauh lebih rukun dalam keluarga yang menggunakan disiplin otoriter dibandingkan dengan keluarga yang mengikuti disiplin permisif. Bila anak dibiarkan bertindak sesuka hati, hubungan antar saudara kandung kerap kali menjadi tidak terkendali. Disiplin yang demokratis dapat mengatasi sebagian kekacauan akibat disiplin permisif, tetapi dampaknya tidak sebesar disiplin otoriter. Tetapi secara keseluruhan disiplin demokratis menciptakan hubungan yang lebih menyenangkan dan sehat.

g) Pengaruh orang luar

Tiga cara orang luar keluarga langsung mempengaruhi hubungan antar saudara, yaitu kehadiran orang luar di rumah, tekanan orang luar pada anggota keluarga, dan perbandingan anak dengan saudaranya oleh orang luar. Hal ini mungkin sekali menimbulkan perselisihan baru atau memperhebat perselisihan antar saudara yang sudah ada

Selain teori yang dipaparkan oleh Hurlock (2003), adapula teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry menurut Priatna dan Yulia (2006). Menurut Priatna dan Yulia sibling rivalry dipengaruhi oleh :

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak-anak. Adapun jenisnya adalah sebagai berikut :

(8)

a. Tempramen

Seorang anak yang bertempramen keras akan sulit untuk mengalah dari saudaranya. Mereka akan selalu berusaha menjadi yang pertama dan tidak mau dikalahkan oleh saudarannya. Akan lebih baik jika hanya salah satu dari mereka yang bersaudara yang memiliki tempramen tersebut tetapi jika keduanya juga memiliki tempramen tersebut maka mereka akan sering terlibat dalam pertengkaran yang dan menimbulkan persaingan.

b. Perbedan jenis kelamin

Berbeda jenis kelamin memang bukan hal yang bisa ditentukan oleh manusia itu sendiri tetapi dengan adanya perbedaan tersebut mungkin dapat memunculkan kecemburuan. Karena berbeda jenis kelamin tentunya orng tua akan memperlakukan mereka secara berbeda. Tidak hanya perlakuan yang berbeda tetapi peran merekapun akan berbeda.

c. Perbedaan usia

Usia akan membuat tuntutan orang tua terhadap anak menjadi beraneka ragam disesuaikan dengan usianya. Anak dengan usia yang lebih tua akan diberi tuntutan yang lebih banyak dibandingkan dengan anak yang usianya lebih muda. Hal tersebut yang kemudian banyak menimbulkan kecemburuan dan berkibat pada timbulnya sibling rivalry.

(9)

2. Faktor Eksternal

Faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan atau diluar diri anak-anak, diantaranya adalah

a. Urutan kelahiran

Urutan kelahiran dimungkinkan juga menjadi penyebab munculnya perilaku sibling rivalry. Anak dengan urutan kelahiran pertama sebelum memiliki saudara menerima kasih sayang orang tuanya secara penuh tetapi ketika kehadiran saudara baru mereka merasakan kasih orang tua mereka mulai berkurang. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan kecemburuan.

b. Jumlah saudara

Semakin banyak jumlah saudara dalam keluarga akan membuat orang tua sedikit berkurang dalam memperhatikan anak yang satu dengan yang lainnya, semakin banyak pula cinta yang harus dibagi pada semua anaknya.

c. Pengetahuan ibu

Seorang ibu yang pengetahuan mengenai sibling rivalryny rendah akan kesulitan ketika menghadapi anaknya yang berperilku sibling rivalry. minimnya pengetahuan ibu mengenai hal tersebut membuat ibu memberikan pemecahan permasalah yang salah atau tidak sesuai dengan keadaan yang ada.

(10)

d. Pengaruh orang luar

Pengaruh orang luar dalam artian orang yang bukan anggota keluarga inti seperti nenek dsb, terkadang justru memperparah kondisi sibling rivalry yang diciptakan oleh anak-anak. Orang diluar keluarga inti dapat berpengaruh menurunkan intensitas ataupun menaikkan intensitas sibling rivalry.

e. Pola asuh

Pola asuh orang tua yang terbagi menjadi 3 yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Dalam penelitian ini peneliti memilih pola asuh permisif sebagai objek yang akan dikaji lebih dalam. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rofi’ah (2013) dengan tema penelitian “Pola asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia 1-5 tahun”. Dimana hasil penelitian itu mengatakan bahwa ada hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia 1-5 tahun dengan kekuatan korelasi sebesar 0,608. Adapula penelitian serupa juga dilakukan oleh Bjorkqvist dkk (2007) dengan tema penelitian “ Sibling Rivalry Among Adolescents” dengan hasil penelitian dimana tidak ada perbedaaan antara remaja laki-laki dengan remaja perempuan terhadap intensitas munculnya perilaku sibling meskipun dari usia 15 tahun sampai 18 tahun terjdi penurunan intensitas munculnya perilaku sibling rivalry dari beberapa episode dalam seminggu hingga sesekali dalam satu bulan.

(11)

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi sibling rivalry menurut Hurlock (2002) adalah sikap orang tua, urutan posisi dalam keluarga, jenis kelamin saudara kandung, perbedaan usia, jumlah saudara, jenis disiplin dan pengaruh orang luar, sedangkan menurut Priatna dan Yulia (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry dibagi menjadi 2 jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas tempramen, perbedaan usia dan perbedaan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal terdiri atas nomor urut kelahiran, jumlah saudara, pengaruh orang luar, pengetahuan ibu serta pola asuh yang lebih spesifik menjadi pola asuh permisif . Faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry menurut Priatna dan Yulia (2006) dipilih peneliti sebagai kajian dalm penelitian ini dikarenakan faktor-faktor tersbut dirasa lebih mendekati dengan data yang didapat peneliti dilapangan. Faktor yang mempengaruhi sibling rivalry pada remaja yang akan dipilih oleh peneliti sebagai variabel penelitian adalah pola asuh permisif yang kemudian dikaitkan dengan persepsi, dan dijadikan variabel penelitian sebagai persepsi terhadap pola asuh permisif.

4. Sibling Rivalry pada Remaja Akhir

Persaingan antar saudara kandung oleh Amijoyo dalam Kamus Indonesia-Inggris (2009) disebut sebagai sibling rivalry ini banyak terjadi pada anak-anak. Sibling rivalry adalah keemburuan, persaingan dan pertengkaran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Hal ini terjadi pada orang tua yang memiliki anak lebih dari satu (Lusa, 2010). Menurut kamus besar psikologi sibling rivalry

(12)

adalah satu kompetisi antar saudara kandung, adik dan kakak laki- laki, adik dan kakak perempuan, atau adik perempuan dengan kakak laki-laki (Chaplin, 2006).

Menurut Gichara (2006) sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan cemburu diantara saudara kandung. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Shaffer (2002) sibling rivalry adalah suatu kompetisi, kecemburuan dan kebencian antar saudara kandung, yang sering kali muncul saat hadirnya saudara yang lebih muda.

Menurut Haritz (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung biasa terjadi pada anak usia balita dan usia sekolah, lalu berangsur-angsur berkurang seiring dengan meningkatkan kedewasaan. Namun, tidak menutup kemungkinan berlanjut hingga dewasa jika orang tua tidak segera mengatasinya. Apalagi jika pemahaman keagamaan anak lemah, perselisihan saudara kandung bisa berkelanjutan sepanjang hidup anak. Sibling rivalry terjadi jika anak merasa mulai kehilangan kasih sayang dari orang tua dan merasa bahwa saudara kandung adalah saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua (Setiawati, 2007).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas peneliti menarik kesimpulan mengenai pengertian dari sibling rivalry. Sibling rivalry yang dalam bahasa Indonesia berarti persaingan antar saudara kandung ini, pengertian lebih lanjutnya adalah sebuah bentuk persaingan, kecemburuan, kebencian dan kompetisi yang terjadi diantara saudara kandung baik itu laki-laki atau perempuan pada keluarga yang memiliki anak lebih dari satu, dikarenakan takut kehilangan kasih sayang orangtua

(13)

Sibling rivalry kerap terjadi pada masa kanak-kanak namun dimungkinkan berlanjut hingga dewasa (Yulia dan Priatna, 2006). Ketika individu beranjak pada masa dewasa , individu harus melewati masa remaja akhir. Menurut Monks (2006) remaja seringkali diartikan sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Anak remaja tidak termasuk golongan anak, tapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Monks (2006) juga berpendapat bahwa remaja dibagi menjadi empat bagian yaitu : pra-remaja usia 10-12 tahun, masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun. Menurut Santrock (2011) masa remaja dibagi menjadi tiga yaitu remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun.

Menurut Erikson (Santrock, 2011) remaja akhir yang berada dalam tahap kelima teori kehidupan merupakan individu yang memiliki karakter ingin diakui dan dianggap keberadaannya oleh orang-orang disekitarnya. Hal tersebut erat kaitannya dnegan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja akhir yaitu menguasi kemampuan membina hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya atau lawan jenis, menguasi kemampuan melaksanakan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin, menerima keadaan fisik dan mengaktualisasikan secara aktif, mencapai kemerdekaan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya (Havinghurst dalam Prayitno, 2006).

Remaja akhir memiliki emosi yang berbeda bila dibandingkan dengan individu pada masa kanak-kanak (Hurlock, 2002). Emosi-emosi yang biasa terjadi pada kalangan remaja akhir yaitu emosi marah, takut, khawatir, cemburu, iri hati,

(14)

afeksi bahagia dan rasa ingin tahu (Hurlock, 2002). Remaja akhir mudah marah jika dianggap sebagai anak kecil karena remaja kahir pada tahan tersebut sangat ingin dianggap sebagai orang dewasa (Hurlock, 2002).

Sibling rivalry dapat terjadi pada remaja dikarenakan remaja mengalami ketakutan apabila saudaranya menjadi lebih unggul bila dibandingkan dengan dirinya. Ketakutan pada diri remaja mengarah pada hal-hal yang abstrak. Remaja akhir mengalami ketakutan jika dirinya tidak diterima oleh anggota kelompok sehingga remaja berusaha menjadi lebih unggul agar dapat diterima dan dinilai baik oleh orang-orang disekitanya terutama orang tuanya (Hurlock, 2002).

Tidak hanya ketakutan saudara kandungnya akan menjadi lebih unggul salah satu alasan sibling rivalry dapat terjadi pada remaja adalah karena kekhawatiran remaja akhir berkaitan dengan status pergaulan sosial (Hurlock, 2002). Remaja akhir akan berlomba mendapatkan status yang kemudian akan membuiat remaja akhir bangga akan dirinya, sebaliknya apabila remaja akhir tidak berusaha mendapatkan status maka remaja kahir khawatir dirinya tidak akan diterima oleh lingkungan sosialnya. Remaja akhir yang terlibat sibling rivalry dengan saudara kandungnya akan cenderung menampakkan rasa cemburu yang dimiliki dan melakukan penolakan atas lingkungan yang tidak sesuai dengan egonya (Shiebler, 2003).

Menurut Boyle (dalam Vevandi dan Tairas, 2015) sibling rivalry adalah perilaku antagonis atau permusuhan yang terjadi antar saudara kandung yang sering kali ditandai dengan perselisihan dalam memperebutkan waktu, perhatian, cinta dan kasih sayang dari kedua orang tua. Untuk memperoleh perhatian orang

(15)

tua tidak jarang remaja akhir membesar-besarkan suatu hal dengan menceritakan saudaranya secara hiperbola kepada orang tuanya. Sibling rivalry pada remaja akhir dapat memunculkan perilaku negatif yang berupa agresifitas. Hanya saja agresifitas pada masa remaja akhir berbeda dnegan agresifitas pada masa kanak-kanak. Pada masa remaja akhir agresifitas yang dimunculkan lebih banyak berupa agresifitas verbal (Shiebler, 2003). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bjorkqvist dkk (2007) dengan tema penelitian “ Sibling Rivalry Among Adolescents” dengan hasil penelitian dimana tidak ada perbedaaan antara remaja laki-laki dengan remaja perempuan terhadap intensitas munculnya perilaku sibling rivalry meskipun dari usia 15 tahun sampai 18 tahun terjadi penurunan intensitas munculnya perilaku sibling rivalry dari beberapa episode dalam seminggu hingga sesekali dalam satu bulan.

B. Persepsi terhadap Pola Asuh Permisif 1. Pengertian persepsi terhadap pola asuh permisif

Menurut Robbins (2003) persepsi adalah kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indra kemudian dianalisis (diorganisir), diintepretasi dan kemudian di evaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Purwodarminto (1999) persepsi adalah tanggapan langsung dari suatu serapan atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pengindraan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, peneliti menyimpulkan persepsi adalah hasil berupa kesan yang diperoleh melalui panca indra setelah diproses, intepretasi dan dievaluasi oleh individu. Dalam penelitian ini objek persepsi yang dikaji adalah pola asuh permisif.

(16)

Jenis pola asuh permisif adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dimana orang tua memberikan kebebasan yang lebih pada anak tanpa adanya bimbingan dan arahan dari orang tua (Hurlock, 2002). Selain itu menurut Hurlock (2002) pada pola asuh permisif ini anak yang akan lebih mendominasi hubungan antara orang tua dan anak, bahkan anak akan lebih sering terlihat menekan orng tua dibandingkan dengan sebaliknya.

Lain halnya dengan Santrock (2011) yang membagi pola asuh permisif menjadi 2 jenis yaitu pola asuh permisif indifferent dimana orang tua benar-benar tidak peduli bahkan ikut campur terhadap kehidupan anak sehingga anak dalam kehisdupan sosialnya menjadi tidak terkendali. Orang tua mengembangkan pola asuh tersebut dikarenakan orang tua menganggap ada lebih banyak aspek kehidupan lainnya yang lebih penting dari pada kehidupan anak. Yang kedua adalah pola asuh permisif indulgen yang artinya orng tua sangat terlibat dalam kehidupan anaknya tetapi orang tua tidak memberikan batasan atau aturan kepada si anak. Orang tua membiarkan anaknya melakukan apapun yang mereka sukai dan mereka sehingga mengakibatkan anak menjadi kurang terkendali sikapnya, cenderung manja dan selalu menuntut orang tua menuruti setiap permintaanya.

Pola asuh permisif lebih sering diciptakan oleh orang tua yang terlalu baik kepada anak. Para orang tua akan memberikan kebebasan pada anak mereka serta menerima dan memaklumi perilaku anak mereka, tetapi para orang tua dengan pola asuh permisif ini kurang memberikan tuntutan tanggung jawab dan perilaku yang baik sesuai dengan lingkungan (Lestari, 2012).

(17)

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap pola asuh permisif adalah sebuah kesan mengenai pola asuh yang diterapkan orang tu dalam kehidupan sehari-hari yang diperoleh oleh remaja melalui panca indra, kemudian diinterpretasikan sebagai cara orang tua dalam membimbing lebih erat lagi kaitannya dengan aturan dan kebebasan yang diterapkan oleh orangtua.

2. Aspek-Aspek Persepsi Pola Asuh Permisif

Aspek-aspek persepsi pola asuh permisif dalam penelitian ini mengacu pada aspek-aspek objek persepsi yaitu pola asuh permisif. Menurut Hurlock (2002) aspek-aspek pola asuh permisif dirumuskan sebagai berikut:

a) Kontrol terhadap anak kurang

Hal ini lebih erat kaitannya dengan orangtua yang tidak memberikan aturan yang mengikat kepada anak mengenai segala hal termasuk cara bersikap atau berperilaku yang sesuai dengan norma masyarakat. Pada aspek ini orang tua juga tidak memperdulikan kepada siapa anak mereka berteman.

b) Pengabaian keputusan

Orang tua tidak merasa perlu ikut campur dalam kehidupan anak-anak mereka. Orang tua akan membiarkan anak mereka membuat keputusan baik itu keputusan besar ataupun keputusan kecil. Maka dari itu anakpun tidak merasa perlu meminta pertimbangan orang tua ketika mereka akan membuat sebuah keputusan.

(18)

c) Orang tua bersifat masa bodoh

Orang tua tidak akan memberikan hukuman kepada anak mereka yang melanggar aturan atau norma. Orang tuapun tidak merasa perlu memperdulikan anak-anak mereka baik itu ketika anak mereka berbuat baik ataupun membuat kesalahan. Orang tua akan sangat mengabaikan anak-anak mereka.

d) Pendidikan bersifat bebas

Pendidikan yang diberikan orang tua lebih pada keinginan anak mereka. Mereka tidak akan memberikan nasihat atau referensi mengenai pendidikan yang harus diterima oleh anak-anakny. Pendidikan agama dn norma menjadi hal yang kurang diperhatikan oleh orang tua dengan pola asuh permisif.

Berdasarkan uraian aspek-aspek sibling rivalry dari Hurlock (2002) kontrol terhadap anak kurang, pengabaian keputusan, orang tua bersikap masa bodoh, dan pendidikan yang bersifat bebas. Aspek-aspek tersebut yang kemudian akan digunkan peneliti pada penelitian ini. Alasan peneliti memilih aspek tersebut dikarena aspek-aspek tersebut yang lebih mendekati keadaan lingkungan tempat peneliti akan melakukan penelitian.

C. Hubungan antara Persepsi terhadap Pola Asuh Permisif dengan Sibling Rivalry pada remaja akhir.

Setiap informasi yang diperoleh oleh individu akan diperoses dan dipersepsikan sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan individu tersebut. persepsi sendiri merupakan suatu tanggapan langsung atau serapan dari sutu

(19)

proses pengolahan informasi yang diperoleh melalui panca indra (Purwodarminto, 1999). Pola asuh permisif merupakan objek kajian dari persepsi itu sendiri. Pola asuh permisif menurut Hurlock (2002) dijelaskan sebagai suatu jenis pola asuh yang diterapkan orang tua, dimana orang tua memberikan kebebasan yang lebih pada anak tanpa adanya bimbingan dan arahan dari orang tua.

Persepsi remaja akhir terhadap pola asuh orang tua, dimana pola asuh tersebut diterima dan diserap remaja melalui proses pengindraan akan menghasilkan penilaian remaja akhir terhadap pola asuh yang diterima. Persepsi terhadap pola asuh permisif ini dapat menimbulkan respon negatif dan juga respon positif yang berkaitang dengan hubungan antar saudara kandung. Hal ini didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rofi’a (2013) dengan tema penelitian “Pola asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia 1-5 tahun” dimana hasil penelitian menyebutkan ada korelasi antara pola asuh dengan kejadian sibling rivalry.

Respon negatif yang dimungkinkan timbul akibat persepsi terhadap pola asuh permisif adalah meningkatnya kejadian sibling rivalry. sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan cemburu diantara saudara kandung (Gichara, 2006). Sibling rivalry juga diartikan sebagai persaingan antar saudara kandung yang biasa terjadi pada masa kanak-kanak dan akan berangsur-angsur berkurang seiring meningkatnya kedewasaaan seseorang (Haritz, 2008). Namun hal tersebut dimungkinkan pula akan berlanjut hingga usia dewasa jika persepsi anak terhadap pola asuh permisif yang diterapkan orang tua merupakan persepsi yang negatif. Persepsi negatif akan membentuk sebuah respon negatif pula (Haritz, 2008).

(20)

Respon negatif tersebut muncul dikarenakan orang tua dengan pola asuh permisif akan cenderung tidak memperdulikan anak-anaknya, sehingga anak akan melakukan apapun untuk memperoleh perhatian dari orangtua mereka (Santrock, 2011). Pola asuh permisif yang diterapkan orang tua akan membuat orang tua kurang memberikan kontrol terhadap anak mereka termasuk ketika anak-anak bertengkar dengan saudara kandungnya (Rofi’a, 2013).

Hurlock (2002) memaparkan dalam pola asuh permisif memiliki empat aspek yatu kontrol terhadap anak kurang, pengabaian keputusan, orang tua bersifat masa bodoh dan pendidikan yang bersifat bebas. Aspek pola asuh permisif yang pertama adalah kontrol terhadap anak kurang yang diartikan sebagai orang tua tidak melibatkan kuasanya terhadap anak. Orang tua cenderung membebaskan dan tidak menentang kemauan anak, dalam hal ini orang tua tidk memperdulikan kepada siapa anak mereka berteman. Kontrol yang kurang dari orang tua terhadap anaknya dimungkinkan anak meningkatkan kejadian sibling rivalry dikarena tanpa kontol dari orang tua, anak-anak akan bersikap sesuka hati kepada saudara mereka (Fleming, 2007). Tingkat persaingan akan menjadi semakin tinggi dikarenakan anak merasa tidak adanya keadilan dan kebijaksanaan dari orang tua terhadap perbuatan yang mereka lakukan.

Aspek pola asuh permisif yang kedua adalah pengabain keputusan. Pengabaian keputusan ini orang tua kan memberikan kebebasan pada anak-anaknya dalam membuat keputusan tanpa perlu memberikan pertimbangan atau nasihat berkaitan dengan keputusan tersebut (Hurlock, 2002). Ketika anak-anak terlibat sibling rivalry dengan saudara mereka, orang tua mereka tidak akan

(21)

memberi nasihat atau mengingatkan jika hal tersebut tidak sebaiknya dilakukan. Hal yang tersebut yang kemudian menjadikan anak bertindak dan membuat keputusan mengenai saudara mereka sesuka hati. Mereka tidak akan segan-segan membuat keputusan menyakiti saudara mereka, karena mereka paham orang tua mereka akan selalu mengikuti setiap keputusan yang dibuat.

Aspek pola asuh permisif yang ketiga adalah orang tua bersifat masa bodoh. Bersifat masa bodoh ini dikarenakan orang tua merasa ada hal lain yang lebih penting didunia ini selain anak-anak mereka (Hurlock, 2002). Anak-anak tanpa teguran dan nasihat dari orang tua akan menjadi tidak terkendali sikap dan perilaku mereka terhadap orang lain termasuk saudara kandung mereka. Sibling rivalry akan menjadi tidak terkontrol lagi ketika orang tua bersifat masa bodoh dan tidak memperdulikan kehidupan anak-anak mereka. Anak dengan kekuasan yang lebih akan semakin menindas saudara mereka yang lemah, terlebih orang tua mereka yang tidak memperdulikan segala hal yang terjadi pada anak-anak mereka (Fleming, 2007).

Yang terakhir adalah aspek pendidikan yang bersifat bebas, dimana orang tua membiarkan anak-anak mereka memilih pendidikan yang mereka sukai. Pendidikan tentunya akan membut pola berpikir anak yang berubah. Baik itu pendidikan yang sesuai ataupun yang tidak sesuai dengan anak-anak. Sibling rivalry menjadi tinggi intensitasnya ketika anak tidak memperoleh pendidikan yang baik mengenai hubungan antar saudara kandung, norma dan agama. Anak-anak menjadi tidak memiliki pegangan atau pandangan hidup yng baik. mereka hanya akan berpegang pada prinsip dan aturn yang mereka buat (Hurlock, 2002).

(22)

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi tergadap pola asuh permisif memiliki hubungan positif dengan perilaku sibling rivalry. Persepsi terhadap pola asuh permisif dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya perilaku sibling rivalry, dikarenakan orang tua dengan pola asuh tersebut orang tua membebaskan anak-anaknya dalam berbuat maupun mengambil keputusan.

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis terdapat hubungan yang positif antara persepsi terhadap pola asuh permisif dengan sibling rivalry remaja akhir. Artinya semakin permisif pola asuh dipersepsikan oleh remaja akhir maka perilaku sibling rivalry pada remaja akhir akan cenderung semakin tinggi. Sebaliknya, semakin tidak permisif pola asuh dipersepsikan oleh remaja maka perilaku sibling rivalry pada remaja akhir akan cenderung semakin rendah.

Referensi

Dokumen terkait

Awal kalimat yang memakai preposisi dari predikat aktif fapat menghilangkan subjek agar menjadi benar, kata ”memerlukan” diganti dengan ”diperlukan”... Kalimat

Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Uji Kandungan Bakteri Escherichiacoli, Dan Coliform Pada Air Minum Isi Ulang Di Pondok

Jadi kategori miskin yang dinyatakan kepala SDN Bandar II adalah kategori yang didasarkan pada pendapat mazhab Syafi‟i, karena menurut pernyataan Pak Nur Ahmad

makanan yang dijajankan di lingkungan sekolah SD Inpres Bontomanai Makassar, maka ditemukan cara pengolahan yang kurang baik yaitu sebelum dilakukan pengelolahan pada

a. Satu koloni dihitung 1 koloni. Dua koloni yang bertumpuk dihitung 1 koloni. Beberapa koloni yang berhubungan di hitung 1 koloni. Dua koloni yang berimpitan dan masih dapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mebobo Pada acara adat perkawinan suku Kluet sudah dilaksanakan semenjak abad ke-13 Masehi.Mebobo dilaksanakan oleh laki-laki pemuda desa