• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI KESIMPULAN

Sebagaimana proses sosial lainnya, proselitisasi agama bukanlah sebuah proses yang berlangsung di ruang hampa. Ia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan Kristenisasi yang berlangsung di Surakarta pada masa Orde Baru.

Islamisasi yang berlangsung di Surakarta pada masa Orde Baru dalam batas-batas tertentu merupakan suatu bentuk kerjasama antara negara dengan warganya, lebih tepatnya antara pemerintah Orde Baru dengan kalangan santri, khususnya yang berlatar belakang eks-Masyumi. Dalam konteks ini terjadi hubungan saling memanfatkan antara pemerintah Orde Baru dengan kalangan santri di Surakarta dengan agenda modernisasi atau “pembangunan” sebagai media bagi simbiosis mutualisme ini. Islamisasi di Surakarta pada era Orde Baru ini melahirkan identitas keislaman yang menekankan kesalehan ritual, hal-hal seremonial dan simbolik, serta ortodoksi agama. Sementara bagi pemerintah Orde Baru, Islamisasi yang disubordinasikan dalam kerangka besar modernisasi memberikan legitimasi religius bahwa ia bukanlah pemerintahan yang anti-Islam melainkan justru mendukung kepentingan Islam.

Hal serupa juga terlihat pada Kristenisasi di Surakarta. Dalam kasus GKJ, sebagaimana lembaga zending yang menjadi pendahulunya, GKJ meneruskan pola hubungan bersahabat dengan negara. Agenda “pembangunan” menjadi media yang dimanfaatkan betul oleh GKJ untuk menjalankan tugas pekabaran Injilnya. Secara

(2)

kuantitas jumlah umat Kristiani di Surakarta bertambah yang dengan kata lain menambah jumlah pemeluk Kristen dari etnis Jawa. Tumbuhnya komunitas Kristen Jawa ini diiringi dengan timbulnya ambivalensi antara identitas kejawaan dengan kekristenan. Ambivalensi ini mempunyai fungsi penting bagi umat Kristen Jawa di Surakarta dalam membangun harmoni di tengah masyarakat yang majemuk. Di sisi lain identitas kekristenan yang tumbuh di Surakarta –setidaknya pada kalangan jemaat GKJ- dicirikan pula dengan penekanan pada religiusitas pribadi dan usaha selalu menjalin hubungan baik dengan negara.

Di tengah berjalannya proses Islamisasi dan Kristenisasi di Surakarta terjadi pula persaingan dan kecurigaan antara komunitas Muslim dan Kristen. Walaupun demikian itu semua tidak sampai menyulut konflik terbuka. Ia hanya berlangsung di bawah permukaan. Di permukaan usaha membangun harmoni tetap dikedepankan. Berakhirnya era Orde Baru membuka ruang bagi mencuatnya sentimen-sentimen agama yang sebelumnya hanya dipendam di bawah permukaan dan kemunculan kelompok-kelompok agama yang membawakan identitas keberagamaannya dengan lebih tegas. Kelompok-kelompok tersebut memang bukan kelompok dominan akan tetapi kelahiran mereka sedikit-banyak adalah hasil dari proses pengagamaan pada masa Orde Baru. Di sinilah letak paradoksnya, sementara di satu sisi pemerintah Orde Baru menabukan penonjolan identitas primordial, di sisi lain proses pengagamaan yang mereka dukung sesungguhnya ikut menaburkan benih bagi munculnya kelompok-kelompok tersebut. Kemunculan mereka pada akhirnya adalah soal momentum belaka, dan momentum itu datang ketika negara sedang lemah.

(3)

Berdasarkan uraian ringkas di atas, modernisasi yang menjadi agenda besar negara Orde Baru dengan slogan dan wacana “pembangunan”-nya merupakan latar yang harus dilihat untuk memahami Islamisasi dan Kristenisasi di Surakarta dan juga identitas keberagamaan yang dilahirkan oleh kedua proses tersebut. Modernisasi yang dimotori negara Orde Baru tidak menafikkan peran agama. Alih-alih memandang agama sebagai penghambat modernisasi, negara dalam batas-batas tertentu memanfaatkan agama untuk mendukung agenda modernisasi yang dicanangkannya. Sedikit banyak ini ada kaitannya dengan konteks yang melatari lahirnya Orde Baru itu sendiri. Orde Baru lahir sebagai hasil pergulatan politik antara kubu anti-komunis melawan komunis dan golongan agama -baik Islam maupun Kristen- dengan tegas memosisikan dirinya di kubu anti-komunis. Kemenangan kubu anti-komunis melahirkan Orde Baru yang selanjutnya berusaha membersihkan sisa-sisa pengaruh komunis sekaligus “potensi-potensi” bagi timbulnya dukungan bagi komunis di masyarakat. Oleh karena komunisme dipersepsikan sebagai ideologi anti-agama, proses “pengagamaan” menjadi penting. Dalam konteks Jawa dan khususnya Solo, orang-orang abangan yang dianggap tidak beragama dan menjadi basis massa PKI menjadi obyek “pengagamaan”. Di sini terjadi pertemuan kepentingan antara negara dengan institusi-institusi agama. Negara membuka ruang lebar-lebar bagi -bahkan bekerjasama dengan- institusi-institusi agama untuk melakukan proselitisasi kepada kaum abangan.

Dalam kaitannya dengan modernisasi, agama juga dipandang penting oleh negara dalam rangka mendorong rasionalisasi yang merupakan bagian tak

(4)

terpisahkan dari modernisasi. Pada masyarakat yang masih memegang kuat nilai-nilai transendental, agama -dalam arti agama-agama yang terorganisir- bisa berfungsi sebagai pendorong rasionalisasi alih-alih menjadi penghambat. Agama-agama terorganisir -Islam dan Kristen termasuk di antaranya- menekankan ortodoksi yang berarti konsistensi dan koherensi dalam doktrin-doktrin yang diyakini penganut agama serta dalam hubungan antara doktrin dengan praktik beragama. Dalam pandangan ortodoksi, sinkretisme yang banyak dianut masyarakat tradisional dianggap tidak konsisten dan koheren atau dengan kata lain tidak rasional dan ini harus diubah. Islamisasi maupun Kristenisasi di Surakarta berusaha mengikis sinkretisme yang jamak ditemui di kalangan masyarakat Jawa dan ini berarti pula suatu usaha ke arah rasionalisasi. Dengan latar yang demikian tidak heran jika identitas keberagamaan yang lahir sebagai hasil Islamisasi dan Kristenisasi di Surakarta pada masa Orde Baru adalah identitas yang menekankan ortodoksi agama, yang notabene dianggap lebih rasional dibanding keberagamaan sinkretis ala masyarakat abangan.

Sementara itu, latar belakang para agen proselitisasi agama adalah hal lain yang berpengaruh besar dalam pembentukan identitas keislaman dan kekristenan di Surakarta. Dalam kasus dakwah Islam kaum pedagang dan profesional merupakan aktor-aktor utama penggerak dakwah di Surakarta. Ini tidak lain adalah kelanjutan dari aktivisme Islam dari kelompok yang sama yang telah berlangsung sejak masa kolonial. Dalam kasus pekabaran Injil, peran lembaga gereja memang lebih menonjol dibanding individu-individu yang teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok tertentu dalam struktur sosial di Surakarta. Akan tetapi dalam konteks

(5)

sosial Surakarta, gereja –setidaknya dalam kasus GKJ- bisa disebut sebagai institusi yang merepresentasikan kaum terdidik dengan ekonomi yang relatif mapan. GKJ dibangun dan digerakkan oleh orang-orang ini yang merupakan hasil pendidikan yang diselenggarakan zending pada masa kolonial.

Melihat latar belakang para agen proselitisasi agama ini tidak heran jika identitas keberagamaan yang tumbuh sebagai hasil dari proselitisasi itu adalah identitas yang –disadari ataupun tidak- mencerminkan aspirasi kelas menengah. Dengan kebutuhan material-ekonomisnya yang relatif sudah tercukupi mereka bisa lebih berkonsentrasi mengembangkan religiusitas pribadi. Religiusitas pribadi inilah yang kemudian disebarkan kepada masyarakat luas. Dalam konteks Islamisasi, penekanan pada kesalehan individu seperti pentingnya ketaatan melaksanakan ibadah ritual dan kewajiban-kewajiban agama lainnya menjadi orientasi utama dakwah yang pada akhirnya menghasilkan identitas keislaman yang juga menekankan kesalehan individu. Sementara dalam konteks Kristenisasi, penekanan pada keselamatan individu lewat penerimaan atas iman Kristiani menjadi orientasi utama pekabaran Injil yang pada akhirnya juga menghasilkan identitas kekristenan yang lebih menekankan pada keselamatan individu ketimbang sosial. Ini semua tidak berarti bahwa para agen proselitisasi agama di Surakarta abai terhadap permasalahan sosial-ekonomi seperti kemiskinan akan tetapi perhatian terhadap permasalahan ini tampaknya lebih banyak ditunjukkan lewat tindakan karitatif (santunan) ketimbang advokasi melawan ketimpangan struktural.

Studi ini mengelaborasi studi yang telah dilakukan Ricklefs tentang Islamisasi dan para penentangnya di Jawa pada era kontemporer khususnya pada

(6)

periode Orde Baru. Dalam studinya Ricklefs menyinggung secara singkat konversi kaum abangan ke Kristen pada masa awal Orde Baru dengan Surakarta sebagai salah satu daerah yang gejala konversi ini terjadi secara mencolok di samping juga Islamisasi yang berlangsung di daerah ini pada periode yang sama. Hanya saja Ricklefs tidak mengkaji lebih jauh seperti apa identitas keislaman dan kekristenan yang tumbuh di Surakarta dalam kaitannya dengan proses modernisasi yang diinisiasi negara pada periode tersebut. Studi ini melihat bahwa dalam kasus Surakarta modernisasi oleh pemerintah Orde Baru yang diawali dengan penghancuran gerakan komunis –yang dicap anti-agama- membuka ruang bagi bersemainya identitas primordial –dalam hal ini agama- seiring dengan berlangsungnya proselitisasi agama yang didukung –dan dimanfaatkan- negara dalam rangka mendukung agenda modernisasinya.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk keperluan permohonan ini dan selama berlakunya Izin Penggunaan Air Tanah nanti, kami menyatakan tunduk pada semua Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku

Berdasarkan uji antibakteri yang telah dilakukan, formula optimum sabun cair ekstrak etanol rimpang jahe merah mempunyai aktivitas

pengajaran secara perlahan dan bertahap, b) kesiapan tenaga pendidik tergantung pada kemampuan masing-masing guru dan juga kemauan guru untuk belajar

Dalam mengorganisasi sesebuah sekolah seseorang guru besar perlu menjadi pemangkin kepada perubahan, agen kepada satu bentuk kepimpinan yang baru dan dapat

Type / Consumable Trade Name Tipe / Merek Kawat Las Kualitas Grade Posisi Pengelasan Welding Position No.. Sertifikat Persetujuan

Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuwono (2008) di Wilayah Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap menunjukkan adanya hubungan bermakna antara ventilasi

Pada proses pengkombinasian ini kedua pompa dapat saling melengkapi dari kelemahan masing-masing pompa, pompa vakum dengan pompa hidrolik ram ini dapat menghasilkan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa program yang ditawarkan oleh kepala sekolah untuk meningkatkan kreativitas guru di MTs Swasta Nurul Iman Tanjung Morawa