• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Karakteristik Nelayan dan Penggolongannya

Menurut Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sedangkan nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (5GT). Inti batasan ini menyatakan bahwa nelayan adalah orang yang pekerjaan utamanya menangkap ikan.

Menurut Imron (2003) dalam Mulyadi (2007), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Nelayan pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.

Hasil penelitian Bangda Depdagri dan PKSPL IPB (1998) dalam Kusumastanto (2000) nelayan memiliki sifat unik yang berkaitan dengan usaha perikanan tersebut. Hal ini dikarenakan usaha perikanan sangat bergantung pada musim, harga dan pasar maka sebagian besar karakteristik nelayan tergantung pada faktor-faktor dibawah ini:

a. Ketergantungan pada kondisi lingkungan

Salah satu sifat usaha yang ada di wilayah pesisir (seperti perikanan tangkap dan budidaya) yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau keberhasilan usaha tersebut sangat tergantung pada kondisi lingkungan khususnya perairan dan sangat rentan pada kerusakan khususnya pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan.

b. Ketergantungan pada musim

Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar khususnya pada nelayan kecil. Pada musim penangkapan nelayan sangat sibuk, sementara pada musim paceklik nelayan mencari kegiatan ekonomi lain atau menganggur.

(2)

c. Ketergantungan pada pasar

Karakteristik usaha nelayan adalah tergantung pada pasar. Hal ini disebabkan komoditas yang dihasilkan harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau membusuk sebelum laku dijual. Karakteristik ini mempunyai implikasi yang sangat penting yaitu masyarakat nelayan sangat peka terhadap fluktuasi harga. Perubahan harga sekecil apapun sangat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat nelayan.

Penempatan posisi nelayan pada lapisan tertentu menurut Sukanto (1990) dalam Prameswari (2004) memiliki dua kriteria:

1) Kepemilikan kekayaan atau sumberdaya mencakup kepemilikan perahu dan alat tangkap serta luas tambak yang dikuasai; dan

2) Pengaruh kekuasaan atau hubungan dengan masyarakat lain.

Nelayan dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain berdasarkan:

1) Kepemilikan alat tangkap (Mulyadi, 2007): a. Nelayan Buruh

Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. b. Nelayan Juragan

Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain.

c. Nelayan Perorangan

Nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.

2) Daya jangkau armada perikanan dan lokasi penangkapan (Widodo, 2008): a. Nelayan pantai atau biasa

Nelayan pantai atau biasa disebut perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil dengan armada yang didominasi oleh perahu tanpa motor atau kapal motor tempel.

b. Nelayan perikanan lepas pantai

Nelayan perikanan lepas pantai untuk perikanan dengan kapasitas perahu rata-rata 30 GT.

(3)

c. Nelayan perikanan samudera

Nelayan perikanan samudera untuk kapal-kapal ukuran besar misalnya 100 GT dengan target perikanan tunggal seperti tuna.

Penggolongan nelayan berdasarkan daerah penangkapan ini lebih lanjut oleh Sojogyo (1996) sebagaimana dikutip Prameswari (2004) dibagi dalam beberapa kriteria seperti yang tercantum dalam tabel 1.

Tabel 1 Penggolongan Nelayan berdasarkan Daerah Penangkapan

Aspek Pantai Lepas Pantai Laut Lepas

Kedalaman 0-2,5 m 2,5-25 m >25 m

Jenis Sasaran Nener, Bener, Ikan Demersal

Udang, ikan demersal,

ikan karang Ikan-ikan pelagis Macam Armada Tanpa Armada,

Perahu Kecil

Perahu berukuran sedang, bagan

Perahu berukuran besar

Alat Tangkap Jala, Perangkap, Serok kail

Jaring insang, bagan, pukat cincin, mini, jaring kantong

Jaring insang, pukat cincin, payang Modal Dasar Kecil

(puluhan-ratusan ribu)

Sedang dan besar (Rp. 2-8 Juta)

Besar

(Rp 8-50 juta)

Sumber: Sajogyo (1996) dalam Prameswari (2004)

3) Jenis perahu, alat tangkap dan etnis (Sumarti dan Saharudin, 2003) :

a. Lapisan atas merupakan lapisan pertama yang didominasi oleh etnis Cina, Bugis, dan Jawa dengan kriteria memiliki perahu berkapasitas besar dengan jenis alat tangkap yang bervariasi dapat digunakan menurut perubahan musim. Ciri lain yang melekat pada lapisan ini yaitu mereka mempekerjakan para tekong dan anak buah kapal (ABK) untuk mendukung usaha penangkapan mereka.

b. Lapisan kedua adalah kalangan mayoritas Bugis dan Jawa dan sedikit etnis Melayu, memiliki kapal seperti pompong dan rubin serta memiliki lahan secukupnya yang biasanya digunakan untuk pertanian sawah.

c. Lapisan ketiga diisi oleh mayoritas suku Melayu dengan kriteria memiliki perahu dan alat tangkap yang merupakan warisan generasi sebelumnya seperti togok, jermal dan belat.

(4)

4) Respon untuk mengantisipasi tingginya risiko dan ketidakpastian (Satria et al., 2002):

a. Nelayan Besar (large scale fishermen)

Nelayan skala besar dicirikan dengan besarnya kapasistas teknologi penangkapan maupun jumlah armada. Berorientasi pada keuntungan dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang kompleks.

b. Nelayan Kecil (small scale fishermen)

Nelayan kecil yang beroperasi di daerah kecil yang bertumpang tindih dengan kegiatan budidaya dan bersifat padat karya. Nelayan kecil juga dapat dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya yang keduanya sangat terkait satu sama lain. Selain itu, ciri lain dari nelayan kecil adalah ketiadaan kemampuan untuk memberi pengaruh pada kebijakan publik karena nelayan selalu dalam posisi dependen dan marjinal.

Dalam konteks masyarakat pesisir, stratifikasi memiliki arti penting untuk memahami kelompok superior dan kelompok inferior dalam aspek ekonomi dan politik. Kemudian dikemukakan pula karakteristik budaya masyarakat nelayan yang cukup dikenal adalah sikapnya yang keras, tegas dan terbuka. Hal ini diduga merupakan akibat dari kehidupan laut yang keras dan dialami sepanjang hidupnya (Satria et al., 2002).

2.1.2. Sumberdaya Pesisir 2.1.2.1. Batasan Wilayah

Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al., 1996). Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), suatu wilayah pesisir (pantai) memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore).

Menurut Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

(5)

Sedangkan menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri et al. (1996), definisi wilayah pesisir di Indonesia adalah:

“Daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.”

Definisi tersebut memberikan implikasi bahwa selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan ekosistem pesisir (Dahuri et al., 1996). Adapun kegiatan pembangunan yang menimbulkan permasalahan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan (Mulyadi, 2007), yaitu (1) perkapalan dan transportasi (tumpahan minyak, limbah padat dan kecelakaan); (2) pengilangan minyak dan gas (tumpahan minyak, pembongkaran bahan pencemar, konversi kawasan pesisir; (3) perikanan (tangkap lebih, pencemaran pesisir, pemasaran dan distribusi, modal dan tenaga/keahlian); (4) budidaya perairan (ekstensifikasi dan konversi hutan); (5) pertambangan (penambangan pasir dan terumbu karang); (6) kehutanan (penebangan dan konversi hutan); (7) industri (reklamasi dan pengerukan tanah); (8) pariwisata (pembangunan infrastruktur dan pencemaran air).

2.1.2.2. Fungsi Ekologis dan Sosial-Ekonomi Sumberdaya Pesisir i) Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan laut. Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir dan laut, mangrove mimiliki beberapa fungsi ekologis penting antara lain sebagai:

a. Peredam gelombang dan angin badai (Bengen, 2004; Wahyono et al., 2001; Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996);

b. Pelindung pantai dari abrasi (Bengen, 2004; Wahyono et al.,2001; Satria, 2009b; Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); c. Penahan lumpur (Bengen, 2004; Dahuri et al., 1996);

(6)

d. Perangkap sendimen yang diangkut oleh aliran permukaan/daratan (Bengen, 2004; Wahyono et al., 2001; Satria, 2009b; Dahuri et al., 1996);

e. Penghasil detritus dan mineral yang dapat menyuburkan perairan (Bengen, 2004);

f. Daerah asuhan (nursery ground), daerah penyedia nutrien (feeding ground) dan pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (Bengen, 2004; Wahyono et al., 2001; Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996);

g. Pencegah intruisi air laut (Wahyono et al., 2001; Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); dan

h. Habitat satwa liar (Anwar, 2006; Purwoko, 2005).

Selain memiliki fungsi ekologis, ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekonomis sebagai berikut:

a. Penyedia kayu (Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); b. Bahan baku obat-obatan (Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al.,

1996);

c. Bahan bangunan (Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); d. Alat penangkap ikan (Mulyadi, 2007; Dahuri et al., 1996);

e. Penyedia pupuk pertanian (Mulyadi, 2007, Dahuri et al., 1996); f. Penyedia nipah (Anwar, 2006);

g. Objek wisata (Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996; Bengen, 2004; Purwoko, 2005); dan

h. Sarana pendidikan dan penelitian (Purwoko, 2005).

ii) Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi dibadingkan ekosistem lainnya (Dahuri et al., 1996). Adapun fungsi ekologis dari terumbu karang adalah sebagai berikut:

a. Penyedia nutrien bagi biota perairan (Dahuri et al., 1996; Mulyadi, 2007; Bengen, 2004);

(7)

b. Tempat asuhan dan tempat bermainnya biota perairan (Dahuri et al., 1996; Mulyadi, 2007; WRI, 2002);

c. Sebagai pelindung garis pantai dari gelombang laut (Bengen, 2004; WRI, 2002);

d. Sebagai habitat beragam jenis ikan (Bengen, 2004); dan e. Mendukung pertumbuhan mangrove dan lamun (WRI, 2002).

Selain mempunyai fungsi ekologis, terumbu karang juga memiliki fungsi ekonomis sebagai berikut:

a. Menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara (Dahuri et al., 1996; Mulyadi, 2007).

b. Sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata bahari karena mimiliki beraneka ragam biota dan panorama yang sangat indah (Bengen, 2004).

c. Pada perairan dangkal terumbu karang merupakan habitat yang produktif bagi sumberdaya rumput laut (Bengen, 2004). Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersil tinggi dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai mata pencaharian tambahan.

2.1.2.3. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir

Terdapat dua pandangan yang antagonistik dalam kaitannya dengan pesisir dan pulau-pulau kecil (Bengen, 2004). Pandangan pertama yang mewakili pihak konservasionis (deep ecologist), menganggap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi, karena memiliki fungsi ekologis yang penting. Berdasarkan pertimbangan pihak pertama ini, hal paling utama dari keberadaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah fungsi dan peranan ekosistem kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi, dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya. Sementara pandangan kedua yang mewakili pihak yang mendukung pertumbuhan ekonomi, melihat kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan, misalnya pemanfaatan kawasan pesisir pulau-pulau kecil untuk perikanan dan pariwisata.

(8)

Terlepas dari dua pihak yang bertentangan tersebut, seringkali penentuan kebijakan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dua kemungkinan dampak negatif (Bengen, 2004), yaitu: Pertama, tidak berkembangnya kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat kebijakan yang terlalu protektif. Kedua, rusaknya kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat terlalu banyak area pulau-pulau kecil yang dikonversikan menjadi lokasi usaha seperti industri dan pemukiman.

Kejadian-kejadian tersebut semakin menegaskan bahwa pihak yang paling dirugikan adalah nelayan-nelayan atau masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut. Satu sisi harus berhadapan dengan kelompok yang mengusung kebijakan protektif, dan disisi lain masyarakat pesisir harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang berusaha mengambil keuntungan di pulau-pulau kecil tersebut.

2.1.3. Perubahan Ekologis

Pesisir dan laut memiliki keunikan fisik yang terdiri dari daratan dan perairan (payau dan asin) dengan segala dinamikanya, yakni yang didalamnya mengandung sumberdaya alam hayati (ikan, mangrove, terumbu karang, padang lamun) dan non hayati (migas, tambang, dan lain-lain) serta jasa-jasa lainnya (transportasi laut, pariwisata, batas negara, dan lain-lain). Seiring meningkatnya populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan laut serta kecanggihan teknologi membuat peluang terjadinya perubahan sistem alamiah dari lautan semakin besar. Menurut Satria (2009a), perubahan tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung maupun aspek fisik dari laut tersebut.

Perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Proses pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi, dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (kedua sistem yang saling berinteraksi). Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain (Dharmawan, 2007).

(9)

Organisasi Sosial Populasi Tanah Mikro-organisme Udara Tumbuhan Hewan Air

SISTEM SOSIAL EKOSISTEM

Struktur pembangunan

manusia Nilai

Teknologi

Ilustrasi dari interaksi manusia dengan alam dapat dilihat pada gambar 1.

Aktivitas Manusia

Energi, Materi, Informasi

Energi, Materi, Informasi Jasa Lingkungan

Sumber: Marten (2001)

Gambar 1 Interaksi Manusia dan Alam

Hubungan tersebut sering menimbulkan berbagai kerugian. Manusia meminta materi, energi, dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya (pangan-sandang-papan). Sementara itu, alam lebih banyak mendapatkan materi, energi, dan informasi dari manusia dalam bentuk limbah yang lebih banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan organisme lainnya yang ada di bumi. Hal ini menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan.

2.1.3.1. Bentuk-bentuk Perubahan Ekologis

Berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir antara lain:

1. Kerusakan Ekosistem Mangrove

Berdasarkan data statistik sumber daya laut dan pesisir yang diterbitkan BPS (2009) disebutkan bahwa menurut data FAO (2007) luas mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha atau 19% dari luas mangrove di dunia dan merupakan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Di Asia sendiri luasan mangrove Indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total mangrove di Asia yang diikuti oleh Malaysia (10%) dan Myanmar (9%). Akan tetapi diperkirakan luas mangrove di Indonesia telah

(10)

berkurang sekitar 120.000 hektar (ha) dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (KLH, 2009). 2. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan sekumpulan biota karang hidup atau mati sebagai tempat berlindung ikan dan daerah asuhan ikan. Total luas terumbu karang di Indonesia mencapai 50.000 km2 yang merupakan seperdelapan dari luas areal terumbu karang di dunia (Dahuri, 2000). Akan tetapi, kondisi terumbu karang di Indonesia pada umumnya telah mengalami kerusakan dan penurunan tutupan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan kegiatan pemantauan Coremap II – P2O LIPI, di 985 lokasi selama tahun 2008, kondisi terumbu karang di Indonesia 5,51 persen dalam kondisi sangat baik, 25,48 persen dalam kondisi baik, 37,06 persen dalam kondisi cukup, dan 31,98 persen dalam kondisi kurang (damaged).

2.1.3.2. Faktor Penyebab Perubahan Ekologis

Perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir antara lain disebabkan oleh:

i) Pertumbuhan penduduk (WRI, 2002; Satria, 2009b)

Pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dan sebagian hidup di wilayah pesisir mengakibatkan meningkatnya aktivitas manusia di wilayah pesisir terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir. Meledaknya populasi penduduk 50 tahun terakhir ini mendorong munculnya tekanan-tekanan dan peningkatan kebutuhan yang sangat tinggi akan sumberdaya yang berasal dari darat maupun laut.

Pertumbuhan penduduk berdampak pada:

a. Meningkatnya kebutuhan terhadap konsumsi ikan

Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi ikan menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas penangkapan ikan secara signifikan (Satria, 2009a; WRI, 2002). Peningkatan intensitas penangkapan ikan secara signifikan menyebabkan munculnya praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak yang berdampak pada keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan (WRI, 2002).

(11)

Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan pengeboman ikan merupakan praktek yang umum dilakukan, yang memberikan dampak sangat negatif bagi terumbu karang dan ekosistem lainnya. Penangkapan ikan dengan racun akan melepaskan racun sianida ke daerah terumbu karang, yang kemudian akan membunuh atau membius ikan-ikan. Pengeboman ikan dengan dinamit atau dengan racikan bom lainnya, akan dapat menghancurkan struktur terumbu karang, dan membunuh banyak sekali ikan yang ada di sekelilingnya (WRI, 2002).

b. Penambahan Jumlah Areal Pemukiman (Marzuki, 2002)

Bertambahnya jumlah penduduk baik karena pertumbuhan alamiah maupun karena migrasi telah mendorong meningkatnya permintaan akan areal pemukiman. Peningkatan permintaan akan areal pemukiman mengakibatkan beberapa wilayah di kawasan pesisir beralih fungsi dari hutan mangrove menjadi areal pemukiman (Marzuki, 2002).

c. Peningkatan volume pembuangan sampah cair/padat baik oleh industri maupun rumah tangga (Dahuri et al., 1996)

Pembuangan sampah rumah tangga dan pencemaran oleh limbah pertanian menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut, eutrofikasi, kekeruhan, dan matinya hewan-hewan air yang berasosiasi dengan padang lamun. Selain itu, kemungkinan terlapisinya pneumatofora dengan sampah akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. Pembuangan sampah padat mengakibatkan perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan organisme lainnya. ii) Perubahan iklim (Satria, 2009b; WRI, 2002; Bengen, 2004)

Perubahan iklim menyebabkan berbagai perubahan dalam ekosistem laut antara lain disebabkan oleh perubahan temperatur (suhu) dan keasaman akibat penyerapan CO2 oleh lautan. Peningkatan suhu permukaan laut telah

menyebabkan pemutihan karang yang lebih parah dan lebih sering (WRI, 2002). Perubahan iklim berdampak pada:

(12)

a. Peningkatan suhu permukaan laut telah mengakibatkan lebih seringnya terjadi pemutihan karang (coral bleaching) dengan tingkat kerusakan lebih besar (WRI, 2002);

b. Kenaikan permukaan air laut berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir (Satria, 2009b). Kenaikan air laut satu meter akan berdampak pada 1,3 persen penduduk dunia, dan merugikan senilai 1,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, satu persen wilayah kota, dan 0,4 persen lahan pertanian (Dasgupta et al., 2007 dalam Satria, 2009b); dan

c. Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan karena cuaca yang tidak menentu (Satria, 2009b).

iii) Pengelolaan pembangunan pesisir (Dahuri et al., 1996; WRI, 2002)

Pengelolaan kegiatan pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan dilakukan secara sektoral dan berorientasi keuntungan jangka pendek secara maksimal. Selain itu, rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi juga ikut memperparah kerusakan yang terjadi di kawasan pesisir.

iv) Pencemaran dari laut (WRI, 2002; Dahuri et al., 1996)

Pencemaran dari laut disebabkan oleh aktivitas manusia yang terjadi di laut. Adapun aktivitas yang mengancam ekosistem pesisir antara lain:

a. Pencemaran dari pelabuhan b. Pencemaran minyak

Pencemaran minyak di laut dapat berasal dari beberapa sumber (DKP, 2005), yang meliputi: (i) tumpahan minyak karena operasional rutin kapal dan kecelakaan kapal, (ii) pelimpasan minyak dari darat, (iii) terbawa asap, (iv) eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, (v) pipa transportasi minyak, (vi) tank cleaning, dan (vii) perembesan alami c. Pembuangan bangkai kapal

d. Pembuangan sampah dari atas kapal e. Pelemparan jangkar kapal

Pelemparan jangkar kapal akan menghancurkan batu-batu karang. Hal ini mengakibatkan hilangnya daerah penangkapan ikan (fishing ground).

(13)

v) Pencemaran dari darat dan sendimentasi (WRI, 2002):

Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al., 1996). Oleh karena itu, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling rentan terkena dampak oleh proses-proses alami dari darat. Adapun kegiatan-kegiatan dari darat yang berdampak ke wilayah pesisir diantaranya adalah:

a. Penebangan hutan

b. Perubahan tata guna lahan

c. Praktek pertanian yang buruk (Marzuki, 2002)

Menyebabkan peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur hara ke daerah tangkapan air. Sedimen dalam kolom air dapat sangat mempengaruhi pertumbuhan karang, atau bahkan menyebabkan kematian karang. Selain itu, kandungan unsur hara yang tinggi dari aliran sungai dapat merangsang pertumbuhan alga yang beracun. Keadaan ini mendorong pertumbuhan alga lain yang tidak saja memanfaatkan energi matahari tetapi juga menghambat kolonisasi larva karang dengan cara menumbuhi substrat yang merupakan tempat penempelan larva karang.

vi) Bencana alam (Dahuri et al., 1996)

Bencana alam merupakan fenomena alami baik secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi perubahan pada lingkungan pesisir dan lautan.

2.1.3.3. Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Ekologis

Berbagai kerusakan ekosistem pesisir menendakan telah terjadi perubahan ekologis. Perubahan tersebut menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupannya kepada sumberdaya pesisir, baik secara ekonomi maupun spasial. Dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan ekologis antara lain:

i) Pada perikanan, perubahan ekologis berdampak pada:

a. Hilangnya/berkurangnya substrat yang menjadi sumber pakan, rusaknya habitat terbiak, tempat mengasuh dan membesarkan anak ikan, serta

(14)

rusaknya tempat perlindungan bagi biota laut di kawasan tersebut dan sekitarnya (Purwoko, 2005);

b. Penurunan keragaman jenis tangkapan nelayan secara signifikan (Purwoko, 2005);

c. Berkurangnya stok ikan karang yang kemudian akan mempengaruhi kondisi ekonomi sekitar 30 juta nelayan di dunia yang bergantung pada ketersediaan ikan-ikan karang (Bengen, 2004; Satria, 2009b); dan

d. Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan sebagai akibat dari perubahan pola migrasi ikan karena kerusakan terumbu karang (Satria, 2009b).

ii) Pada kegiatan usaha nelayan, perubahan ekologis berdampak pada:

a. Menurunnya hasil tangkapan para nelayan dan berkorelasi dengan pendapatan nelayan (Marzuki, 2002; Purwoko, 2005);

b. Hilangnya potensi wisata bahari (Dahuri et al.., 1996; Anwar dan Gunawan, 2006);

c. Menurunnya kesempatan berusaha dan bekerja masyarakat nelayan, yang disebabkan oleh berkurangnya bahan baku industri pengolahan, berkurangnya bahan/komoditi perdagangan, berkurangnya benih untuk budidaya dan berkurangnya potensi tangkapan (Purwoko, 2005);

d. Terancamnya lokasi pemukiman dan tata guna lahan setempat sebagai akibat dari kerusakan terumbu karang yang menyebabkan erosi di pantai (Dahuri et al.., 1996); dan

e. Hilang/berkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah, dan bahan baku obat-obatan (Anwar dan Gunawan, 2006).

2.1.4. Strategi Adaptasi Nelayan 2.1.4.1. Konsep Adaptasi

Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan bagi makhluk hidup. Adaptasi berlaku bagi setiap makhluk hidup dalam menjalani hidup dalam kondisi lingkungan yang senantiasa berubah. Terdapat beberapa pengertian yang berusaha menjelaskan konsep adaptasi, diantaranya yaitu:

1) Adaptasi sebagai suatu konsep umum merujuk pada konsep proses penyesuaian pada keadaan yang berubah (Hansen, 1979 dalam Saharudin, 2007).

(15)

2) Adaptasi adalah kapasitas manusia untuk menjalankan tujuan-tujuan individu (self-objectification), belajar dan mengantisipasi (Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007). Adaptasi bukan hanya persoalan bagaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup persoalan transformasi sumberdaya lokal dengan mengikuti model standar konsumsi manusia yang umum, serta biaya dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional.

3) Adaptasi merupakan pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial-ekonomi-politik-ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup (Barlet, 1993 dalam Kusnadi, 2000). Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut bertujuan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungannya guna mengatasi tekanan-tekanan sosial-ekonomi. Terdapat tiga konsep kunci mengenai adaptasi (Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007), yaitu:

1) Adaptasi perilaku (adaptive bahavior)

Konsep ini menunjuk pada cara-cara aktual masyarakat menemukan/merencanakan untuk memperoleh sumberdaya untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah. Adaptasi perilaku (adaptive behavior) merupakan suatu pilihan tindakan dengan mempertimbangkan biaya yang harus dikembangkan dan hasil yang akan dicapai.

2) Adaptasi proses (adaptive process)

Adaptasi proses (adaptive process) adalah perubahan-perubahan yang ditunjukan melalui proses yang panjang dengan cara menyesuaikan strategi yang dipilihnya.

3) Strategi adaptasi (adaptive strategies)

Strategi adaptasi (adaptive strategies) merupakan pola umum yang terbentuk melalui banyak proses penyesuaian pemikiran masyarakat secara terpisah. Dalam hal ini masyarakat merespon permasalahan yang dihadapi dengan melakukan evaluasi terhadap alternatif yang mungkin dan konsekuensinya, serta berusaha menempatkan permasalahan tersebut dalam suatu design strategi yang lebih luas untuk mengimbangi konflik kepentingan dari banyak pihak dimana ia mempertanggungjawabkan tindakannya.

(16)

Adaptasi merupakan salah satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal (Mulyadi, 2007). Dalam merespon setiap perubahan yang terjadi Bogardus (1983) dalam Marzuki (2002) mengemukakan urutan-urutan adaptasi pada manusia adalah perubahan teknologi, pengisian waktu senggang, pendidikan, kegiatan bermasyarakat, suasana dalam rumah tangga dan terakhir adalah agama dan kepercayaan. Sementara itu, dalam kaitannya dengan lingkungan, adaptasi di bentuk dari tindakan yang berulang-ulang sebagai proses penyesuaian terhadap lingkungan tersebut (Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007).

Dalam konteks ekonomi masyarakat nelayan, adaptasi dikatakan sebagai tingkah laku strategis dalam memaksimalkan kesempatan hidup. Adaptasi bagi suatu kelompok dapat memberikan kesempatan untuk bertahan hidup, walaupun bagi kelompok lain kemungkinan akan dapat menghancurkannya (Hansen, 1979 dalam Saharudin, 2007).

2.1.4.2. Bentuk-bentuk Adaptasi Nelayan

Pada dasarnya manusia dapat bertahan hidup dan memanfaatkan lingkungannya karena adanya tiga bentuk utama adaptasi budaya dari manusia itu sendiri (Miller, 1979 dalam Marzuki, 2002) yaitu:

1) Dengan menggunakan peralatan-peralatan (teknologi) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2) Hidup di lingkungan dengan belajar secara efektif melalui organisasi sosial dan kerjasama (interaksi) sesama manusia.

3) Menggunakan bahasa untuk meningkatkan kerjasama secara efisien dan untuk mewariskan pengetahuan tentang cara-cara bertahan hidup berdasarkan pengalaman yang lalu.Pada masyarakat nelayan, pola adaptasinya menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan sosial di sekitarnya.

(17)

Strategi adaptasi nelayan dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, yaitu: 1) Diversifikasi (Wahyono et al., 2001; Kusnadi, 2000)

Diversifikasi merupakan perluasan alternatif pilihan mata pencaharian yang dilakukan nelayan, baik di bidang perikanan maupun non perikanan. Diversifikasi merupakan strategi adaptasi yang umum dilakukan di banyak komunitas nelayan, dan sifatnya masih tradisional. Strategi adaptasi ini dicirikan oleh bentuk-bentuk respon penyesuaian yang sifatnya masih individual atau dilakukan oleh unit rumah tangga nelayan.

2) Intensifikasi (Wahyono et al., 2001)

Strategi adaptasi di kalangan nelayan untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan, sehingga hasil tangkapannya diharapkan menjadi lebih banyak. Melalui intensifikasi kegiatan penangkapan dapat dilakukan pada daerah tangkapan yang jauh dari tempat pemukiman, bahkan mungkin memerlukan waktu penangkapan lebih dari satu hari (one day fishing).

3) Jaringan Sosial (Kusnadi, 2000; Wahyono, 2001)

Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat didalamnya.

Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak) yang umum dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dibidang kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan, memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan kebutuhan pokok) (Wahyono et al., 2001).

4) Memobilisasi peran istri dan anak-anak untuk ikut mencari nafkah keluarga (Kusnadi, 2000) .

5) Menggandaikan atau menjual barang-barang rumah tangga yang dimiliki; melakukan konversi pekerjaan bagi nelayan (Kusnadi, 2000).

Terdapat perbedaan pola adaptasi dari beragam lapisan nelayan (Iwan, 2003), diantaranya adalah:

1. Pada lapisan atas/elit nelayan yaitu tauke lokal, terdapat gejala mempertahankan atau memperkuat sistem kelembagaan patronase

(18)

(kelembagaan distribusi barang dan jasa) yang dilakukan dalam hal memenuhi kebutuhan modal, pemasaran ikan dan hubungan produksi antar nelayan.

2. Pada lapisan menengah, strategi adaptasinya cenderung mempertahankan sistem kelembagaan patronase. Hal ini dilakukan sebagai jaminan ekonomi (modal usaha) serta jaminan pemenuhan kebutuhan keluarganya baik selama melaut maupun selama musim paceklik dan menjamin kebutuhan sosial lainnya seperti pernikahan, sunatan massal dan gotong royong.

3. Pada lapisan bawah, strategi adaptasi dengan jaringan sosial yang dilakukannya yaitu ikut memperkuat posisinya kelembagaan patronase. Hal ini dilakukannya dengan membina hubungan dengan tauke lokal baik itu dalam pemasaran ikan maupun dalam hal permodalan, pilihan tersebut merupakan suatu pilihan utama karena sulitnya untuk mencari kelembagaan yang mampu memenuhi kebutuhan subsistensinya.

Persaingan dalam menguasai sumberdaya akan meningkatkan beban pekerjaan yang harus ditanggung nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan berat, meskipun demikian, nelayan tidak dapat membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Keterampilan sebagai nelayan bersifat sederhana dan hampir sepenuhnya dipelajari secara turun temurun. Apabila satu keluarga nelayan mampu untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak, maka harapan agar generasi berikutnya tidak menjadi nelayan sangat besar. Namun, umumnya nelayan tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan, dilain pihak, banyak ditemui kelompok-kelompok nelayan tetap mampu bertahan hidup dalam menghadapi keadaan yang sangat berat sekalipun, terutama pada masa-masa paceklik (Sastrawidjaja dan Manadiyanto, 2002).

Intensitas tekanan sosial dan ekonomi yang dihadapi nelayan telah menjadikan kelompok masyarakat nelayan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki daya tahan dan tingkat adaptasi yang tinggi. Masyarakat nelayan memiliki sifat otonom dan independensi yang tinggi untuk mengatasi persoalan kehidupan sehari-hari berdasarkan kemampuan sumberdaya yang tersedia dalam menghadapi segala keterbatasan yang ada. Sikap-sikap otonom, indpendensi, dan

(19)

strategi hidup itu diperoleh melalui proses panjang dengan persoalan kemiskinan (Kusnadi, 2009).

2.2. Kerangka Pemikiran

Desa Pulau Panjang merupakan pulau kecil yang memiliki kompleksitas permasalahan didalamnya. Desa ini juga sangat rentan terhadap dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dilakukan oleh manusia, salah satunya adalah pertambangan. Masuknya pertambangan di kawasan ini membawa pula perubahan ekologis yang cukup signifikan pada ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang).

Perubahan ekologis adalah perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia. Perubahan ekologis di Desa Pulau Panjang diasumsikan terjadi akibat beragamnya aktivitas pertambangan yang beroperasi di daerah tersebut. Mulai dari aktivitas pelabuhan khusus batubara, hilir mudiknya kapal-kapal tongkang, dan pembuangan limbah industri batubara tersebut.

Masyarakat nelayan sebagai aktor yang memiliki kedekatan fisik, teritorial, dan emosional terhadap sumberdaya pesisir merupakan aktor utama yang menarik untuk dikaji terkait dengan strategi adaptasinya terhadap sumberdaya pesisir yang mengalami perubahan ekologis tersebut. Hal ini dikarenakan perubahan ekologis baik langsung maupun tidak langsung berdampak pada kehidupan nelayan. Dampak dari perubahan ekologis dapat dibagi menjadi dampak ekologis, dampak terhadap kehidupan sosial, dan dampak terhadap kegiatan ekonomi. Dampak ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap lingkungan pesisir yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Dampak sosial berkaitan dengan akibat perubahan ekologis terhadap kesejahteraan masyarakat. Sedangkan dampak ekonomi berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan perubahan ekologis terhadap mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir.

Dampak dari perubahan ekologis tersebut tidak ditanggapi secara negatif oleh nelayan. Nelayan di Desa Pulau Panjang diduga melakukan strategi adaptasi melalui beragam kegiatan dalam menghadapi dampak perubahan ekologis

(20)

tersebut, diantaranya dengan melakukan (i) diversifikasi, (ii) intensifikasi, (iii) jaringan sosial, (iv) mobilisasi peran anggota rumah tangga (Kusnadi, 2000; Wahyono, 2001). Penelitian ini juga akan menganalisis berbagai karakteristik yang berhubungan dengan strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis. Karakteristik pertama berkaitan dengan karakteristik individu nelayan, yakni berupa usia, tingkat pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, dan pengalaman sebagai nelayan. Karakteristik kedua berkaitan dengan karakteristik usaha nelayan, yakni berupa jenis armada tangkap. Alur kerangka pemikiran ini digambarkan pada gambar 2.

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

Keterangan:

hubungan pengaruh

hubungan langsung

variabel yang diteliti

STRATEGI ADAPTASI Dampak Ekologis Dampak Sosial Dampak Ekonomi

PERUBAHAN EKOLOGIS Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir

Ekosistem Mangrove Ekosistem Terumbu Karang

Non-Nelayan

Karakteristik Rumahtanggga Nelayan

Usia

Tingkat pendidikan

Pengalaman sebagai nelayan Jumlah anggota rumah tangga Jenis Armada Tangkap

(21)

2.3.Hipotesis Penelitian a. Hipotesis Pengarah

1) Diduga perubahan ekologis mempengaruhi aktivitas usaha nelayan.

2) Diduga terdapat strategi adaptasi yang diterapkan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis di kawasan pesisir.

b. Hipotesis Uji

Diduga terdapat hubungan antara karakteristik rumah tangga nelayan dengan strategi adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis.

2.4. Definisi Konseptual

1) Perubahan ekologis adalah perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia. Berdasarkan dimensi waktunya, perubahan ini diukur pada saat sebelum dan setelah aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir berlangsung (pertambangan, pariwisata, perhubungan laut, dan perikanan).

2) Nelayan adalah salah satu bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya perikanan tangkap, secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, serta membentuk kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir.

3) Dampak ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap lingkungan pesisir yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam.

4) Dampak sosial perubahan ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap kesejahteraan masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumberdaya pesisir.

5) Dampak ekonomi adalah akibat yang ditimbulkan perubahan ekologis terhadap mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir.

(22)

6) Adaptasi nelayan adalah pilihan tindakan yang dilakukan nelayan dalam menyiasati dampak negatif dari perubahan ekologis yang mempengaruhi aktivitasnya mencari ikan.

2.5. Definisi Operasional

1) Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat pada individu meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai nelayan dan jumlah anggota rumah tangga.

a) Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilaksanakan penelitian. Havighurst dan Acherman (dalam Sugiah, 2008) membagi usia menjadi tiga kategori:

i) Muda (18-30 tahun) ii) Dewasa (31-50 tahun) iii) Tua (> 50 tahun)

b) Pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, yang dibedakan kedalam kategori:

i) Rendah (jika tidak sekolah, tidak tamat dan tamat SD/sederajat) ii) Sedang (jika tamat SMP/sederajat)

iii) Tinggi (jika tamat SMA/sederajat)

c) Pengalaman sebagai nelayan adalah lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak pertama kali menjadi nelayan sampai dengan penelitian ini dilakukan yang dinyatakan dalam kategori

i) Rendah (6-14 tahun) ii) Sedang (15-27 tahun) iii) Tinggi (lebih dari 28 tahun)

d) Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang menetap dalam satu rumah dimana nelayan itu tinggal. Jumlah anggota rumah tangga dibedakan menjadi:

i) Kecil (jika anggota rumah tangga berjumlah 1-3 orang) ii) Menengah (jika anggota rumah tangga berjumlah 4-6 orang) iii) Besar (jika anggota rumah tangga berjumlah lebih dari 7 orang)

(23)

e) Tingkat teknologi penangkapan adalah ukuran lokal mengenai jenis perahu yang digunakan nelayan dalam kegiatan penangkapan, yang meliputi:

i) Rendah (jika armada yang digunakan jenis ketinting) ii) Sedang (jika armada yang digunakan berupa swan)

iii) Tinggi (jika armada yang digunakan berupa balapan/klotok) 2) Strategi adaptasi merupakan tindakan yang dilakukan nelayan dalam

menyiasati dampak negatif perubahan ekologis yang dibagi menjadi penganekaragaman sumber pendapatan, penganekaragaman alat tangkap, perubahan daerah tangkapan, jaringan sosial, mobilisasi anggota rumah tangga, dan strategi lainnya.

1. Penganekaragaman sumber pendapatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan dalam menambah penghasilannya (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

2. Penganekaragaman alat tangkap adalah kegiatan yang dilakukan nelayan dalam rangka meningkatkan kapasitas usaha penangkapan ikan (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

3. Perubahan daerah tangkapan adalah kegiatan mengubah daerah penangkapan ikan yang biasanya menjadi lokasi penangkapan ikan nelayan sebelum terjadinya perubahan ekologis (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

4. Memanfaatkan jaringan sosial adalah hubungan yang dijalin nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis (1 jika tidak ada, 2 jika ada). 5. Mobilisasi anggota rumah tangga adalah mengikutsertakan anggota

rumah tangga nelayan untuk bekerja, baik disektor perikanan maupun diluar sektor perikanan (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

6. Strategi lainnya adalah kegiatan yang dilakukan nelayan selain dari yang disebutkan diatas (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

Gambar

Tabel 1  Penggolongan Nelayan berdasarkan Daerah Penangkapan
Ilustrasi dari interaksi manusia dengan alam dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 2 Kerangka Pemikiran  Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang diakukan berdasarkan wawancara kepada beberapa informan diperoleh bahwa peran Kepala Desa dalam pengelolaan tempat pelelangan ikan milik Desa

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis, pada awalnya dilakukan studi literatur mengenai aspek-aspek yang dibutuhkan untuk mengetahui nilai

Kombinasi aromatase inhibitor (AI), anti dopamian (AD) dan ovaprim dengan proporsi yang berbeda pada pemijahan ikan sumatra mampu mempercepat pematangan gonad dan

Sebagai proses terakhir di hari kedua pertemuan, peserta yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil evaluasi kegiatan yang

Tujuan pembatasan secara ketat terhadap nadzir yang akan melakukan perubahan peruntukan atau status wakaf (khususnya tanah), adalah untuk menghindari atau mencegah

MAHASISWA DALAM PENGISIAN KRS HARUS MENGISI KELAS SUPAYA NAMANYA TERCANTUM DALAM DAFTAR ABSEN KULIAH MAUPUN DAFTAR ABSEN

Disiplin kerja didominan oleh kepatuhan dan taat terhadap penggunaan jam kerja yang semata-mata telah mampu meningkatkan kinerja pegawai Balai Pemasyarakatan Kelas

Periode transisi menuju pada lingkungan laut terbuka dengan sedimentasi pada pasif margin terjadi pada pertengahan sampai akhir Jura hasil