• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morphometric and Meristic Character of Mangrove Crab (Scylla serrata) in Mangrove Ecosystem at West Sentosa Village, Medan Belawan Subdistrict

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Morphometric and Meristic Character of Mangrove Crab (Scylla serrata) in Mangrove Ecosystem at West Sentosa Village, Medan Belawan Subdistrict"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU

(Scylla serrata) DI PERAIRAN MANGROVE KAMPUNG SENTOSA

BARAT KELURAHAN BELAWAN SICANANG

KECAMATAN MEDAN BELAWAN

Morphometric and Meristic Character of Mangrove Crab (Scylla serrata) in Mangrove Ecosystem at West Sentosa Village, Medan Belawan Subdistrict

Delima Sari Siregar1, Hasan Sitorus2, Ani Suryanti3

1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, email: delimasari62@gmail.com

2 Staff Pengajar Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Universitas Nommensen

3 Staff Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

One method for analysis of growth pattern of Mangrove Crab (Scylla serrata) is to measure of morphometric and meristic character in nature. The purpose of this research is to know the morphometric size and the range of Meristik Mangrove Crab and to know the growth pattern of Mangrove Crab in Sentosa mangrove ecosystem. The characters observed were the width of the carapace, the length of the carapace, the height of the carapace, the optical groove widths, the right and left chela lengths, the length of the right and left profundus chela, the right and left chela, and the fixed meristik character. Morfometric data analysis used cluster analysis to research data by using scale or distance euclidean. The result of cluster analysis yields the closest resemblance on stage 1 to 8 with the coefficient value of 0,000 (closest) while the furthest resemblance at stage 39 is composed of sample no 1 and 4 with coefficient value 40,535. The equation of regression between the width of carapace and body weight of mangrove crab caught in each station in mangrove waters of Kampung Sentosa Barat is Y = 54,754 + 0,217 X and value R = 0,954 with a negative allometric growth pattern.

Keywords: Morphometric, Meristik, Growth Pattern, Mangrove Crab, Sicanang Belawan

PENDAHULUAN

Kepiting Bakau merupakan salah satu biota perairan yang bernilai ekonomis penting dan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan hutan mangrove. Hutan mangrove selain sebagai penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahannya, juga dapat berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), pemijahan (spawning ground), dan daerah mencari makan (feeding ground) bagi

kepiting bakau terutama kepiting muda (Soviana, 2004).

Produksi Kepiting Bakau sebagian besar masih berasal dari sektor penangkapan. Permintaan Kepiting Bakau di dunia internasional cenderung meningkat sehingga berdampak pada tingginya aktivitas penangkapan kepiting di alam (Cholik, 2013). Tingginya nilai jual kepiting bakau, mendorong peningkatan laju eksploitasi yang

(2)

mengarah pada metode penangkapan tidak bertanggung jawab oleh beberapa pihak. Laju eksploitasi ini dapat dilihat dari data statistik perikanan tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2008-2012 dari volume produksi Kepiting Bakau 26.628 ton (2008) mengalami peningkatan menjadi 33.910 ton (2012) (WWF Indonesia, 2015).

Kampung Sentosa Barat Lingkungan 20 Kelurahan Belawan Sicanang (Sicanang Kering) merupakan suatu wilayah yang memiliki luas sekitar ± 600 ha dengan kondisi mangrove yang masih baik. Masyarakat Kampung Sentosa umumnya menangkap Kepiting Bakau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga beberapa komoditas lainnya. Produksi Kepiting Bakau yang cukup tinggi menjadikannya sebagai komoditas utama penangkapan. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap stok Kepiting Bakau jika dalam melakukan penangkapan tidak diperhatikan batasan-batasannya.

Peningkatan eksploitasi Kepiting Bakau, degradasi habitat dan perubahan lingkungan menjadi faktor penyebab menurunnya populasi Kepiting Bakau di alam. Jika hal ini terus berlanjut, dikhawatirkan keberadaaan stok Kepiting Bakau akan mengalami penurunan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai karakter morfometrik dan meristik Kepiting Bakau dalam mengetahui keragaman populasi Kepiting Bakau yang dapat digunakan sebagai dasar identifikasi spesies dan pengelolaan Kepiting Bakau.

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2017. Lokasi penelitian berada di Perairan Mangrove Kampung Sentosa Barat Lingkungan 20 Kelurahan Belawan Sicanang. Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System), bubu,

Toolbox, penggaris, milimeter blok, spidol,

timbangan, alat tulis dan kamera digital, pH meter, refraktometer dan termometer.

Bahan yang digunakan adalah, Kepiting Bakau (S. serrata), kertas label, sampel air dan tissue.

Prosedur Penelitian Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel kepiting dilakukan menggunakan bubu yang di letakkan vertikal pada tanah di ekosistem mangrove. Bubu digunakan sebanyak 10 buah di setiap stasiun. Pengangkatan bubu dilakukan pada saat air mulai surut. Sampel Kepiting Bakau diambil dari beragam ukuran (kecil < 70 mm, sedang 70-100 mm dan besar > 100 mm).

Sampel Kepiting Bakau yang tertangkap dibersihkan dan diberi nomor menggunakan kertas label sebelum dimasukkan ke dalam toolbox dan selanjutnya diamati karakter morfometrik, meristik dan pola pertumbuhan di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan.

Pengukuran kualitas air meliputi suhu, pH dan Salinitas dilakukan secara

insitu.

Analisis Sampel

Terlebih dahulu dilakukan pengamatan terhadap jenis kelamin dengan cara melihat bentuk abdomen kepiting bakau jantan (mengerucut) sedangkan betina (melebar). Abdomen Kepiting Bakau dapat dilihat pada Gambar 2.

(3)

Gambar 2. Abdomen Kepiting Bakau jantan (kiri) dan abdomen Kepiting Bakau betina (kanan). Bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan digital ketelitian 10 gram dan pengukuran lebar karapas dengan jangka sorong ketelitian 1 mm. Pengukuran aspek morfometrik menggunakan penggaris ketelitian 1 mm dan pengukuran aspek meristik secara

visual serta pengolahan data lebar karapas

dengan bobot untuk pola pertumbuhan.

Pengukuran Aspek Morfometrik

Bagian morfometrik kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 3. Karakter morfometrik yang di ukur pada kepiting bakau (S. serrata) adalah: 1. Lebar karapas (L), 2. Panjang karapas (P), 3. Tinggi karapas (T), 4. Optical groove widths, 5. Panjang chela sebelah kanan (PCR), 6. Panjang chela sebelah kiri (PCL), 7. Panjang profundus chela sebelah kanan (PPR), 8. Panjang profundus chela sebelah kiri (PPL), 9.Tinggi chela sebelah kanan (TCR) lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas dan bawah chela sebelah kanan, 10. Tinggi chela sebelah kiri (TCL).

Gambar 3. Morfometrik Kepiting yang diukur

Pengukuran Aspek Meristik

Karakter meristik yang diamati adalah Jumlah duri frontal margin, Jumlah duri

anterolateral margin sebelah kanan dan

kiri, Jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri, Jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri, Jumlah ruas

walking leg (perioped) bentuk capit

(cheliped) dan dayung (pleopod).

Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan secara insitu.

Analisis Data

Analisis karakter morfometrik dilakukan dengan menganalisis masing-masing karakter morfometrik yang diukur dengan cluster analysis menggunakan SPSS. Analisis karakter meristik dilakukan dengan menghitung jumlahnya.

Pola Pertumbuhan

Pola pertumbuhan Kepiting Bakau dapat diketahui dengan melihat hubungan lebar karapas kepiting bakau dan bobot tubuh melalui analisa regresi linier sederhana (Effendie, 1997). W= a Lbatau Ln W = Ln a + b Ln L Keterangan: W : bobot tubuh (g) L : lebar karapas a dan b : konstanta

Analisis regresi menggunakan

software SPSS, yang nantinya akan

menghasilkan persamaan regresi linier: Y = a + bX

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi Kepiting Bakau (S. serrata)

Berdasarkan pengamatan Kepiting Bakau (S. serrata) diperoleh ciri morfologi, antara lain : memiliki duri yang tinggi dengan warna kemerahan hingga jingga pada capit dan kaki, duri bagian depan kepala lancip, dan duri tajam pada bagian corpus (Gambar 4).

Gambar 4. Karakter Morfologi Kepiting Bakau

(4)

Keterangan:

a. Capit d. Karapas Belakang b. Duri Frontal e. Abdomen Jantan c. Kaki f. Abdomen Betina

Beberapa ciri morfologi yang diperoleh (Gambar 4) menunjukkan adanya perbedaan morfologi antara Kepiting Bakau (S. serrata) dengan jenis Kepiting Bakau lainnya. Hal tersebut dinyatakan oleh Keenan (1999) yang menyatakan bahwa Kepiting Bakau jenis

S. serrata memiliki duri yang tinggi

dengan warna kemerahan hingga oranye terutama pada capit dan kakinya. Pada duri bagian depan kepala umumnya lancip, dan memiliki duri tajam pada bagian corpus. Berbeda dengan Kepiting Bakau jenis

Scylla lainnya dengan ciri morfologi yaitu: S. paramamosain memiliki duri yang

relatif agak tinggi/sedang, warna karapas cokelat kehijauan, terdapat pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki. S.

transquebarica memiliki warna karapas

kehijauan sampai kehitaman dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan pada kaki renangnya. Duri bagian depan kepala umumnya tumpul, dan memiliki duri tajam bagian bagian corpus dan S.

olivacea memiliki warna karapas hijau

keabu-abuan, rambut atau setae melimpah pada bagian karapas, duri bagian kepala umumnya tumpul, dan memiliki duri tajam bagian bagian corpus.

Kelimpahan Kepiting Bakau

Hasil penelitian Kepiting Bakau yang diperoleh selama penelitian berjumlah 40 ekor, 12 ekor terdapat di stasiun I, 10 ekor di stasiun II, dan 18 ekor di stasiun III. Hasil tangkapan Kepiting Bakau dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hasil Tangkapan Kepiting Bakau

Hasil tangkapan Kepiting Bakau (Gambar 5) tertinggi diperoleh di stasiun III yang memiliki substrat dan kondisi mangrove baik yang dapat dilihat dari banyaknya mangrove yang berada di stasiun III dibanding dengan stasiun lainnya. Mangrove berperan penting pada kedudukan Kepiting Bakau sebagai habitat. Dinyatakan oleh Soviana (2004) bahwa hutan mangrove dikenal sebagai daerah asuhan berbagai jenis binatang perairan dan menjadi habitat alami bagi berbagai jenis kepiting.

Hasil tangkapan Kepiting Bakau berdasarkan jenis kelamin adalah 26 ekor jantan dan 14 ekor betina. Hasil tangkapan Kepiting Bakau jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil Tangkapan Kepiting Bakau Jantan dan Betina

Banyaknya kepiting jantan yang ditangkap (Gambar 6) diperkirakan karena kepiting jantan lebih agresif dalam mencari makan dan juga Kepiting Bakau betina ketika akan memijah melakukan ruaya ke laut sehingga mengurangi populasinya di ekosistem mangrove. Hal ini sesuai dengan Sentosa dan Syam (2011) yang menyatakan bahwa banyaknya kepiting jantan yang tertangkap diduga terkait dengan pola migrasi kepiting bakau. S. serrata yang melakukan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya ke laut dan memijah, sedangkan kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara sungai. Kepiting jantan yang banyak tertangkap dibandingkan betina diduga juga dipengaruhi oleh sifat agresif S. serrata jantan dalam mencari makan.

(5)

Kelimpahan Kepiting Bakau berdasarkan kelas ukuran secara keseluruhan diperoleh dengan nilai frekuensi tertinggi pada kisaran kelas 60-66 mm sebesar 10 ind, dan nilai frekuensi terendah pada kisaran kelas 137-143 mm sebesar 1 ind. Kelimpahan kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kelimpahan Kepiting Bakau Kelimpahan Kepiting Bakau (Gambar 7) yang diperoleh selama penelitian menggambarkan ukuran lebar karapas Kepiting Bakau yang dominan adalah berukuran kecil (muda) atau belum dewasa berdasarkan KKP (2016) yang menyatakan bahwa kepiting matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm secara fisiologis. Sama halnya dengan penelitian Avianto et al. (2013) di Hutan Mangrove Cibako yakni hasil tangkapan Kepiting Bakau yang diperoleh banyak didominasi oleh kepiting berukuran kecil. Hal ini diduga akibat intensitas penangkapan yang terus meningkat tanpa memperhatikan ukuran dari Kepiting Bakau. Penangkapan yang dilakukan secara terus menerus mengakibatkan Kepiting Bakau yang berukuran besar cenderung menurun, sehingga struktur populasi Kepiting Bakau mengalami degradasi.

Utina et al. (2013) menambahkan bahwa Kepiting Bakau dikatakan telah dewasa kelamin jika memiliki ukuran lebar karapas lebih dari 100 mm. Sedangkan PERMEN-KP (2016) menyatakan bahwa ukuran lebar karapas minimum layak tangkap : > 15 cm, berat minimum tangkap : 200 g. Sehingga Kepiting Bakau yang tertangkap umumnya masih belum dewasa karena dominan berukuran < 100 mm.

Analisis Karakter Morfometrik dengan Dendogram Kemiripan

Analisis kemiripan karakter morfometrik pada Kepiting Bakau menghasilkan suatu dendogram kemiripan dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Dendogram Kemiripan Kepiting Bakau

Analisis kemiripan berdasarkan 40 sampel yang diteliti pada skala jarak 25 terbentuk menjadi dua kelompok (cluster). Apabila akan dibentuk 2 cluster, maka

cluster 1 beranggotakan sampel k23 sd

k15 (sesuai urutan dalam dendogram) dan

cluster 2 beranggotakan sampel k7 sd k18.

Pengelompokan tersebut dari kemiripan berdasarkan pada nilai koefisien dari karakter morfometrik yang sama. Sedangkan kemiripan jauh karena antar karakter morfometrik memiliki nilai berbeda. Kepiting Bakau yang diteliti adalah satu jenis yakni S. serrata sehingga lebih memudahkan untuk pengelompokan karakter morfometriknya. Hal ini dinyatakan oleh Santoso (2002) bahwa analisis kemiripan dilakukan dengan menggunakan teknik hierarchical cluster

analysis, yaitu dengan mengelompokkan

obyek-obyek berdasarkan kesamaan karakteristik yang terdapat di antara obyek-obyek tersebut. Obyek tersebut diklasifikasikan ke dalam satu atau lebih

cluster (kelompok) sehingga obyek-obyek

yang berada dalam satu cluster akan mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya.

(6)

Analisis Karakter Meristik

Hasil perhitungan meristik Kepiting Bakau disajikan pada Tabel 3. Tabel 1. Meristik Kepiting Bakau (S. serrata)

No Karakter I II III

1 Jumlah duri Frontal margin (FM)

4 4 4

2 Jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan dan kiri (AM)

18 18 18

3 Jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri (OM)

8 8 8

4 Jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri (IM)

8 8 8

5 Jumlah ruas perioped bentuk capit (WLC)

10 10 10

6 Jumlah ruas perioped bentuk dayung (WLD)

12 12 12

Karakter meristik Kepiting Bakau (S. serrata) yang dihitung (Tabel 1) diperoleh jumlah duri frontal margin (FM): 4 ; jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan dan kiri (AM): 18 ; jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri (OM): 8 ; jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri (IM): 8 ; jumlah ruas perioped bentuk capit (WLC): 10 ; jumlah ruas perioped bentuk dayung (WLD): 12.

Perhitungan meristik Kepiting Bakau (S. serrata) cenderung tetap dan tidak mengalami perubahan walaupun terjadi pertumbuhan. Hal ini dinyatakan oleh Rachmawati (2009) yang menyatakan bahwa perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan ukuran dan umur. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016) menyatakan bahwa Kepiting Bakau genus Scylla ditandai dengan bentuk karapas yang oval bagian depan pada sisi panjangnya terdapat 9 duri di sisi kiri dan kanan serta 4 yang lainnya diantara ke dua

matanya. Spesies-spesies di bawah genus ini dapat dibedakan dari penampilan morfologi maupun genetiknya. Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi di bawah karapas. Anggota badan berpangkal pada bagian cephalus (dada) tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 (lima) pasang kaki.

Pengukuran Kualitas Air

Tabel 2. Parameter Kualitas Air

Parameter I StasiunII III

Salinitas (ppt) 18 16 16

Suhu (oC) 30,5 30 31

pH 6,1 6,4 7,2

Suhu

Pengukuran suhu di lapangan pada setiap stasiun adalah berkisar 30,5-31oC (Tabel 2). Nilai tersebut termasuk dalam kisaran yang layak untuk kehidupan dan pertumbuhan kepiting bakau. Kisaran suhu tersebut sama halnya dengan hasil penelitian Sagala et al. (2013) yang menyatakan bahwa kisaran kualitas air menunjukkan suhu berkisar 30-31oC. Hal ini masih berada dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau. Sedangkan Hasil pengukuran Sihombing (2011) pada Hutan Mangrove Di Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tidak jauh berbeda yang memperlihatkan bahwa rata-rata suhu air pada tiap stasiun adalah berkisar antara 28oC – 29,30oC. suhu cenderung mendekati tinggi disebabkan pada saat pengukuran suhu dilakukan menjelang siang hari.

Dinyatakan oleh Rachmawati (2009) bahwa faktor suhu dapat menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi karakteristik morfometrik Kepiting Bakau walaupun terpisah oleh jarak geografi yang jauh karena suhu dapat mempengaruhi iklim pada suatu daerah. Adha (2015) menambahkan bahwa suhu air yang lebih rendah dari 20°C dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan turun drastis. Suhu terlalu tinggi juga tidak dapat ditoleransi kepiting bakau. Suhu di atas 42,1°C dapat menyebabkan kematian pada

(7)

kepiting. Suhu yang baik untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah 23°C -32°C. Berdasarkan literatur tersebut maka diperoleh bahwa kisaran suhu pada lokasi penelitian masih tergolong baik.

Salinitas

Kisaran salinitas pada setiap stasiun antara 16-18 ppt (Tabel 2) merupakan kisaran salinitas yang pada umumnya ditempati oleh Kepiting Bakau. Kepiting Bakau merupakan biota yang memiliki toleransi yang besar terhadap salinitas. Salinitas berpengaruh pada setiap fase pertumbuhan kepiting bakau terutama pada saat moulting (ganti kulit). Hal ini sesuai dengan Rizaldi et al. (2015) yang menyatakan bahwa ditemukannya jenis Kepiting Bakau dikarenakan kepiting bakau jenis S. serrata memiliki kemampuan untuk hidup pada perairan luas seperti perairan muara hingga perairan pantai. Kemampuan Kepiting Bakau jenis

S. serrata ini juga dikarenakan memiliki

toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas perairan.

Siahainenia, (2008) juga menyatakan bahwa secara umum kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh Kepiting Bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt sampai lebih besar dari 30 ppt. Ini menunjukkan bahwa kisaran salinitas yang didapat masih tergolong baik untuk kehidupan Kepiting Bakau.

Tingkat Keasaman (pH)

pH yang diukur pada penelitian berkisar antara 6,1-7,2 (Tabel 2) dan masih dalam batas toleransi bagi Kepiting Bakau. Hasil pengukuran pH tersebut mendekati sama pada penelitian Ratnawati (2013) di perairan ekosistem mangrove Belawan dengan hasil pengukuran pH air pada tiap stasiun mendapatkan nilai berkisar antara 6,75 – 7,20. Hasil pengukuran pH tidak terlalu jauh dengan penelitian Sihombing, (2011) yaitu nilai pH air pada tiap stasiun di sepanjang Sungai Serapuh yang ditumbuhi hutan mangrove sepanjang Sungai Serapuh berkisar antara 6,80-7,00. Nilai pH yang hampir sama di lokasi

berbeda bisa disebabkan oleh karakteristik lingkungan yang sama yakni berada pada ekosistem mangrove, sehingga substratnya bisa dikatakan tidak jauh berbeda.

Kisaran pH tersebut termasuk baik untuk kelangsungan habitat Kepiting Bakau. Sesuai dengan pernyataan Soviana (2004) bahwa derajat keasaman (pH) merupakan faktor lingkungan yang erat hubungannya dengan kelangsungan hidup biota air termasuk crustacea.

Pola Pertumbuhan

Kajian pertumbuhan kepiting bakau meliputi hubungan lebar karapas-bobot dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hasil Regresi Lebar Karapas- Bobot Kepiting Bakau

Hasil regresi antara lebar karapas dan bobot tubuh Kepiting Bakau yang tertangkap pada tiap stasiun di perairan mangrove Kampung Sentosa Barat diperoleh persamaan Y = 54,754 + 0,217 X dan nilai R= 0,954 menunjukkan bahwa korelasi antara lebar karapas bobot tubuh Kepiting Bakau sangat kuat (Gambar 9). Nilai b mendeskripsikan pola pertumbuhan Kepiting Bakau, sedangkan R menunjukkan keeratan hubungan antara lebar karapas Kepiting Bakau dan bobot tubuhnya. Berdasarkan persamaan tersebut maka dapat diduga bobot tubuhnya melalui ukuran lebar karapasnya.

Hasil analisis memperlihatkan nilai b sebesar 0,217. Effendie (1997) menyatakan bila nilai b=3, maka pertumbuhan dikatakan isometrik atau pertambahan lebar karapas sama dengan

(8)

bobotnya. Nilai b lebih besar atau lebih kecil dari 3, pertumbuhan dikatakan allometrik atau pertambahan lebar karapas tidak sama dengan pertambahan bobotnya.

Hasil analisis juga menunjukkan nilai b lebih kecil dari 3. Berdasarkan nilai tersebut dapat dikatakan bahwa pola pertumbuhan Kepiting Bakau di perairan mangrove Kampung Sentosa Barat termasuk pola pertumbuhan allometrik negatif, yang berarti pertambahan lebar karapas kepiting bakau lebih cepat dari pertambahan bobotnya. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,910, yang berarti 91,0 % variabel bobot tubuh kepiting bakau (S. serrata) dipengaruhi oleh variabel lebar karapas, dan selebihnya oleh faktor lain.

Sama halnya dengan hasil penelitian Herliany dan Zamdial (2015) menyatakan bahwa pola pertumbuhan Kepiting Bakau adalah allometrik negatif (b < 3) yang berarti pertambahan lebar karapas lebih cepat dibandingkan pertambahan berat tubuh. Lain halnya dengan Yusrudin (2016) yang melakukan penelitian di perairan Payau Sukolilo memperoleh hasil bahwa pola pertumbuhan kepiting bakau bersifat isometrik yang berarti pertambahan lebar karapas sebanding dengan pertambahan beratnya.

Perbedaan dari hasil pola pertumbuhan diberbagai lokasi berbeda dapat disebabkan oleh kondisi lingkungannya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dari Kepiting Bakau. Hal tersebut juga bisa disebabkan oleh Kepiting Bakau yang masih muda sehingga nutrisi yang dimakan digunakan untuk pertumbuhan ukuran tubuh (lebar karapas). Suryani (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan pada Kepiting Bakau dicirikan oleh perubahan bentuk dan ukuran yang disebabkan perbedaan kecepatan pertumbuhan dari bagian-bagian tubuh yang berbeda.

Rekomendasi Pengelolaan

Hasil pengukuran karakter morfometrik Kepiting Bakau (S. serrata) diperoleh lebar karapas secara keseluruhan berkisar 60-143 mm. Kepiting Bakau yang tertangkap dominan muda atau belum dewasa berdasarkan KKP (2016) yang menyatakan bahwa kepiting matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm secara fisiologis. Utina et al. (2013) menambahkan bahwa Kepiting Bakau dikatakan telah dewasa kelamin jika memiliki ukuran lebar karapas lebih dari 100 mm. Sedangkan PERMEN-KP (2016) menyatakan bahwa ukuran lebar karapas minimum layak tangkap : > 15 cm, berat minimum tangkap : 200 g. Sampel Kepiting Bakau (S. serrata) yang diperoleh selama penelitian memperlihatkan bahwa umumnya Kepiting Bakau masih belum dewasa karena dominan berukuran < 100 mm.

Rekomendasi pengelolaan yang diberikan adalah sebaiknya para nelayan di Kampung Sentosa Barat tidak melakukan penangkapan terhadap kepiting bakau (S.

serrata) yang masih muda, atau tidak

sesuai dengan ukuran minimum layak tangkap yang telah di tetapkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Hal ini akan menyebakan populasi kepiting bakau di alam akan mengalami penurunan, karena Kepiting Bakau harus mengalami pertumbuhan dan moulting untuk menjadi dewasa. Kepiting Bakau muda yang masuk kedalam bubu nelayan sebaiknya dikembalikan ke alam agar dapat melanjutkan pertumbuhannya atau bisa dimasukkan ke tambak yang juga merupakan mata pencarian sampingan dari masyarakat Kampung Sentosa. Oleh sebab itu, diperlukan perhatian dari masyarakat dan kebijakan pemerintah yang terstruktur serta adanya pengawasan terkait ukuran tangkapan kepiting bakau (S. serrata) secara berkelanjutan.

(9)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Ukuran morfometrik kepiting bakau dari stasiun 1, stasiun 2 dan stasiun 3 secara keseluruhan adalah lebar karapas (L): 60-40 mm, panjang karapas (P): 35-90 mm, tinggi karapas (T): 19-35 mm, optical groove widths (OGW): 16-29 mm, panjang chella sebelah kanan (PCR): 26-50 mm, panjang profundus chela sebelah kanan (PPR): 13-30 mm, tinggi chela sebelah kanan (TCR): 10-26 mm, panjang chella sebelah kiri (PCL): 24-48 mm, panjang profundus chela sebelah kiri (PPL): 14-28 mm, tinggi chela sebelah kiri (TCL): 9-25 mm, bobot (B): 29-370 dan kisaran meristik kepiting bakau dengan jumlah duri frontal margin (FM): 4, jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan dan kiri (AM): 18, jumlah duri outer margin sebelah kanan dan kiri (OM): 8, jumlah duri inner margin sebelah kanan dan kiri (IM): 8, jumlah ruas perioped bentuk capit (WLC): 10 dan jumlah ruas perioped bentuk dayung (WLD): 12 di ekosistem mangrove Kampung Sentosa.

2. Pola pertumbuhan Kepiting Bakau (S.

serrata) di ekosistem mangrove

Kampung Sentosa Barat adalah Allometrik Negatif.

Saran

Saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukan suatu kajian/penelitian lanjutan mengenai kepiting bakau (S.

serrata) tentang MSY, parameter pertumbuhan dan laju eksploitasi sehingga hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai rekomendasi yang tepat terkait pengelolaan spesies tunggal.

DAFTAR PUSTAKA

Adha, M. 2015. Analisis Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla Spp.) di Kawasan Mangrove Dukuh Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Universitas Islam Negeri Walisongo. Semarang. Avianto, I., Sulistiono dan Setyobudiandi,

I. 2013. Karakteristik Habitat dan Potensi Kepiting Bakau (Scyla Serrata , S.Transquaberica , and S.Olivacea) di Hutan Mangrove Cibako, Sancang, Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Aquasains. 100-104.

Cholik, F. 2013. Review Of Mud Crab Culture Research In Indonesia. Central Research Institute For Fisheries. Jakarta.

Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.

Herliany, N. E., dan Zamdial, 2015. Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau (Scylla Spp) Hasil Tangkapan di Desa Kahyapu Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. Jurnal Kelautan. 8 (2).

Kementerian Kelautan dan Perikanan,

2016. Pedoman

Pemeriksaan/Identifikasi Jenis Ikan Dilarang Terbatas (Kepiting Bakau/

Scylla spp.). diterbitkan oleh Pusat

Karantina dan Keamanan Hayati Ikan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. ISBN 978-602-97141-1-1.

(10)

Keenan C. P. 1999. The fouth spesies of

scylla. Dalam Mud crab aquaculture

and biology. ACIAR proceedings. 78. ACIAR. Canberra. 48-58.

Peraturan Mentri Nomor 56/PERMEN-KP/2016 Tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) Dari Wilayah Negara Republik Indonesia.

Rachmawati, P. F., 2009. Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla Spp.) di Perairan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ratnawati, 2013. Distribusi dan Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau

Scylla Serrata Forskal di Ekosistem

Mangrove Belawan Sumatera Utara. [Tesis]. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Rizaldi, Rosalina, D., dan Utami, E. 2015. Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla

Sp) Di Perairan Muara Tebo

Sungailiat. Jurnal Sumberdaya Perairan. 9 (2).

Santoso, S. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.

Sentosa, A.A., dan A. R. Syam. 2011. Sebaran Temporal Faktor Kondisi Kepiting Bakau (Scylla Serrata) di Perairan Pantai Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Perikanan. 13 (1).

Siahainenia, L., 2008. Bioekologi Kepiting Nakau (Scylla Spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sihombing, M.P., 2011. Keanekaragaman dan Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla Spp.) Pada Hutan Mangrove di Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Soviana, W. 2004. Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Kepiting Bakau Scylla serrata di Teluk Buo, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Padang Sumatera Barat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Utina, R., Chairunnisah J.L, dan A. S. Katili, 2013. Deskripsi Perbedaan Jumlah Individu Kepiting Bakau

Scylla Serrata dan Uca Sp Serta

Hubungannya Dengan Faktor Lingkungan Pada Ekosistem Mangrove di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.

WWF Indonesia, 2015. Kepiting Bakau (Scylla Sp.) Panduan Penangkapan dan Penanganan. Jakarta.

Yusrudin, 2016. Analisis Beberapa Aspek Biologi Kepiting Bakau (Scylla Serrata) di Perairan Sukolilo, Pantai Timur Surabaya. Prosiding Seminar Nasional Kelautan Universitas Trunojoyo Madura. Madura.

Gambar

Gambar  2.    Abdomen  Kepiting Bakau jantan  (kiri)  dan  abdomen  Kepiting Bakau betina (kanan).
Gambar 7. Kelimpahan Kepiting Bakau Kelimpahan Kepiting  Bakau (Gambar 7) yang  diperoleh  selama  penelitian  menggambarkan  ukuran  lebar  karapas  Kepiting  Bakau  yang  dominan  adalah berukuran kecil (muda) atau belum  dewasa berdasarkan  KKP  (2016)
Gambar 9. Hasil Regresi Lebar Karapas-      Bobot Kepiting Bakau

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa di Posyandu Lansia di RW I Pagesangan Surabaya di dapatkan bahwa sebanyak 22 lansia (36,7%) mengalami de- presi ringan dan

Untuk itu penulis ingin merancang sebuah sistem inventori barang atau tempat penyimpanan barang yang bertujuan untuk berikan data yang akurat dan terpercaya serta

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman kurikulum adalah kemampuan untuk mengerti dengan sungguh- sungguh mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran

Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik yang sangat pesat seperti perubahan suara, tumbuhnya bulu pada tubuh bagian tertentu, tumbuhnya jakun pada pria, mulai membesarnya

Battery back up yang digunakan pada sistem ini adalah sebuah powerbank dengan kapasitas 10.000mAh, yang berfungsi sebagai cadangan listrik untuk menghidupkan

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada

Hambatan apa saja yang dialami oleh Dinas Pariwisata dalam pengembangan objek wisata TWI dalam meningkatkan pengunjung wisata.. Bagaimana kondisi sarana dan prasarana

Pada sebuah ruangan steril dibutuhkan sebuah alat pengukur untuk mengambil sample udara yang berada di dalam ruangan tersebut dengan menggunakan sebuah alat yang bernama air