• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ergonomi

2.1.1 Pengertian Ergonomi

Ergonomi berasal dari dua kata Yunani yaitu Ergon dan Nomos yang berarti kerja dan aturan. Ergonomi adalah ilmu interdisipliner yang memepelajari interaksi manusia antara manusia dan objek yang digunakan serta kondisi lingkungan. Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni yang berupaya menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan dan batasan manusia untuk terwujudnya kondisi lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman, dan efisien demi tercapainya produktivitas yang setinggi-tingginya (Manuaba, 2003a). Hal tersebut dapat tercapai jika terjadi kesesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya Fitting task to the person and fitting the person to the task (Manuaba, 1992).

Ilmu ergonomi telah ada dalam budaya Yunani kuno terlihat dari bukti yang menunjukkan bahwa peradaban hellenic di abad ke 5 SM menggunakan prinsip-prinsip ergonomi dalam pekerjaan, desain alat-alat yang digunakan dan tempat kerja. Contoh lain bisa ditemukan dalam deskripsi Hippocrates bagaimana pekerjaan yang dilakukan dokter bedah harus dirancang sedemikian rupa dan bagaimana dia menggunakan peralatan juga harus diatur. Hal ini juga ada pada catatan

(2)

arkeologi dari awal dinasti Mesir membuat peralatan; perlengkapan rumah tangga, yang digambarkan menerapkan prinsip-prinsip ergonomi.

Menurut Manuaba (2003b) manfaat penerapan ergonomi menjadikan pekerjaan bisa cepat selesai, risiko kecelakaan kerja menjadi lebih kecil atau berkurang, man-days/ hours tidak banyak yang hilang, risiko penyakit akibat kerja menjadi lebih kecil atau berkurang, gairah atau kepuasan kerja menjadi lebih tinggi atau meningkat, biaya ekstrauntuk kecelakaan atau penyakit akibat kerja bisa ditekan, absensi/tidak masuk kerja menjadi rendah, kelelahan kerja berkurang, rasa sakit menjadi lebih kecil/berkurang, dan produktivitas kerja meningkat. Ergonomi berperan dalam faktor keselamatan dan kesehatan kerja, seperti desain suatu peralatan kerja untuk mengurangi keluhan muskuloskeletal dan kelelahan. Dalam ergonomi tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus seimbang sehingga dicapai performansi kerja yang tinggi, jika tugas terlalu rendah (underload) atau terlalu berlebihan (overload) akan menyebabkan stress.

Menurut Hendrick (2001) beberapa dampak positif dari ergonomi yaitu “good ergonomic is good economic” artinya penerapan ergonomi yang baik akan berdampak pada perekonomian yang baik, selain itu, berdampak positif pada produktivitas dan kenyamanan. Sehingga dengan meningkatnya pertumbuhan perekonomian akan menciptakan kualitas hidup yang lebih baik (Kanawaty, 1992).

(3)

2.1.2 Pendekatan Ergonomi

Delapan aspek ergonomi merupakan salah satu pendekatan ergonomi untuk menilai hingga memperbaiki suatu kondisi kerja pada suatu tempat (Manuaba, 2006b). Delapan aspek tersebut adalah sebagai berikut.

1. Penggunaan tenaga otot

Dalam penggunaan tenaga otot diupayakan pemanfaatan tenaga otot secara optimal dan efisien dengan mendesain pekerjaan yang sebaik mungkin dan kalau perlu mengadakan latihan bagi pekerja untuk menekan stres (rangsangan aksi) kepada otot pekerja seminim mungkin.

2. Sikap kerja

Sikap kerja adalah sikap tubuh manusia saat berinteraksi dengan alat/peralatan kerja. Sikap kerja yang baik adalah sikap kerja yang memungkinkan pekerja melakukan pekerjaannya dengan efektif dan dengan usaha otot seminimal mungkin. Sikap kerja yang tidak alamiah atau sikap kerja paksa dapat terjadi karena penggunaan alat kerja atau stasiun kerja yang tidak sesuai antropometri pekerja (Grandjean dan Kroemer, 2000; Manuaba, 2000).

Pada pekerja penenun endek sikap kerja dilakukan dengan posisi duduk mulai pukul 08.00 s.d. 17.00 WITA. Posisi duduk dalam jangka waktu ±8 jam kerja dan sikap kerja yang tidak alamiah saat memegang, mengangkat, duduk terlalu lama dan lain

(4)

sebagainya dapat memicu adanya kelelahan maupun keluhan muskuloskeletal bahkan penurunan kemampuan fungsional pada pekerja.

Posisi dan sikap kerja para pekerja saat melakukan aktivitas ditempat kerja berpengaruh terhadap respon fisiologis pekerja tersebut. Sikap kerja yang tidak alamiah atau fisiologis merupakan penyebab munculnya berbagai gangguan pada sistem muskuloskeletal (Manuaba, 1998b).

3. Nutrisi

Nutrisi yang cukup sebagai sumber energi pekerja mutlak diperlukan, untuk mampu menyelesaikan pekerjaan selama waktu kerja. Pemenuhan kalori terutamanya dapat dilakukan pekerja pada saat jam istirahat. Pemenuhan kebutuhan kalori terutamanya dapat dilakukan pekerja pada saat jam istirahat.

4. Lingkungan kerja

Kondisi lingkungan yang nyaman sangat diperlukan manusia untuk mengoptimalkan produktivitas kerjanya. Pada penenun endek yang bekerja didalam ruangan mikrolimat ruangan menjadi penunjang agar dapat melakukan aktivitasnya dengan nyaman. Temperatur yang baik untuk pekerja berkisar antara (18,3 s.d.21,3)oC sedangkan untuk pekerja berat biasanya digunakan suhu yang lebih rendah yaitu (12,8 s.d.15,6)o C. Sedangkan kelembaban relatif di satu ruangan tidak boleh kurang dari 30% atau antara 40

(5)

s.d. 60% di musim panas, yang merupakan kelembaban relatif yang memberi suasana nyaman di ruangan tersebut (Manuaba, 2004). Menurut Sedarmayanti (1996), temperatur yang terlampau dingin akan mengakibatkan gairah kerja menurun. Sedangkan temperatur yang terlampau panas, dapat mengakibatkan timbulnya kelelahan tubuh yang lebih cepat dan dalam bekerja cenderung membuat banyak kesalahan. Baik secara langsung maupun tidak langsung kondisi lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja seseorang (Manuaba, 2003a). Lingkungan kerja secara umum terdiri atas lingkungan kerja fisik secara umum terkait dengan suhu, kelembapan, penerangan, kebisingan, getaran, dan radiasi. Paparan kimia seperti debu, gas, dan cairan serta kondisi biologis seperti adanya kuman, virus, jamur, dan parasit juga merupakan bagian dari lingkungan kerja fisik yang perlu dipertimbangkan. Sedangkan kondisi lingkungan kerja non fisik terkait hubungan antar sesama pekerja dan masalah sosial adat dan agama.

5. Waktu kerja

Delapan jam per hari termasuk waktu istirahat merupakan waktu kerja maksimal dimana seseorang dapat bekerja dengan baik dengan kondisi lingkungan kerja yang normal. Namun, hal ini tidak berlaku untuk pekerja yang bekerja pada lingkungan kerja yang ekstrem seperti lingkungan kerja panas atau dingin. Perpanjangan

(6)

waktu kerja sebaliknya dapat mengurangi performa kerja sehingga menurunkan hasil kerja dan mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan kelelahan, gangguan atau penyakit dan kecelakaan (Suma’mur, 2009; Grandjean dan Kroemer, 2000).

Selain itu, menurut Tarwaka dkk. (2004) di Indonesia telah ditetapkan lamanya waktu kerja sehari maksimum adalah 8 jam kerja dan selebihnya adalah waktu istirahat (untuk kehidupan keluarga dan sosial kemasyarakatan). Memperpanjang waktu kerja lebih dari itu hanya akan menurunkan efisiensi kerja, meningkatkan kelelahan, kecelakan dan penyakit akibat kerja. Tetapi dalam pelaksanaannya, banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawannya di luar jam kerja (kerja lembur) dengan berbagai alasan. di sisi lain para karyawan juga merasa senang melakukan kerja lembur, karena akan mendapatkan penghasilan tambahan di luar penghasilan pokok.

Jumlah jam kerja yang efisien untuk seminggu adalah antara 40 s.d.48 jam yang terbagi dalam 5 atau 6 hari kerja. Maksimum waktu kerja tambahan yang masih efisien adalah 30 menit. Sedangkan di antara waktu kerja harus disediakan waktu istirahat yang jumlahnya antara 15-30% dari seluruh waktu kerja. Apabila jam kerja melebihi dari ketentuan tersebut akan ditemukan hal-hal seperti; penurunan kecepatan kerja, gangguan kesehatan, angka absensi karena sakit

(7)

meningkat, yang kesemuanya akan bermuara kepada rendahnya tingkat produktivitas kerja.

Penenun endek bekerja bekerja selama 8 jam setiap harinya selama 7 hari kerja. Jam kerja optimal manusia adalah 8 jam/hari. Toleransi yang diijinkan adalah 1 jam lembur sesudah 8 jam kerja. Dengan catatan bahwa selama 8 jam kerja tersebut ada 2 atau lebih rehat dan 1 makan siang (Manuaba, 2005b). Beban kerja fisik yang terlalu berat dan dilakukan di dalam waktu yang lama, mikroklimat yang tidak memadai, status nutrisi yang buruk dan adanya penyakit atau rasa sakit karena sikap paksa juga merupakan sumber munculnya keluhan muskuloskeletal, kelelahan, kebosanan, ketidaknyaman dan ketidakpuasan kerja dalam bekerja. Memberi waktu istirahat aktif dapat meningkatkan dan mempertahankan prestasi kerja (Grandjean dan Kroemer, 2000).

Pada penenun endek dalam proses menenun dilakukan selama jam kerja. Sehingga tidak ada istirahat aktif yang dapat dilakukan penenun. Istirahat sejenak sangat diperlukan sebagai kebutuhan fisiologis jika kinerja dan efisiensi ingin dipertahankan (Kroemer dan Grandjean, 2000). Pulat (1992) menyarankan pekerja di lingkungan industri melakukan istirahat aktif beberapa kali selama waktu kerja, sebagai ganti istirahat yang diambil sekali. Secara keseluruhan istirahat sejenak cenderung meningkatkan output.

(8)

Perlu adanya perbaikan organisasi kerja berupa istirahat aktif setelah 2 jam bekerja. Perbaikan organisasi kerja dapat dilakukan agar tercipta kondisi kerja yang efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien (ENASE), dengan pemanfaatan fungsional tubuh manusia secara optimal sehingga dihasilkan produktivitas kerja yang optimal dengan tetap memperhatikan kualitas hidup pekerja. Tingkat kualitas hidup pekerja yang rendah akan mempengaruhi secara langsung tingkat produktivitas kerja (Manuaba, 2006b).

6. Sistem informasi

Sistem informasi terkait dengan penyampaian suatu informasi yang berhubungan dengan cara kerja, prosedur kerja, himbauan, peringatan, petunjuk, dan lainnya terkait proses produksi yang dilakukan. Terdapat beberapa sistem yang digunakan untuk menyampaikan informasi, diantaranya: komunikasi lisan, informasi tertulis, atau berupa slogan-slogan dan petunjuk kerja yang dipasang di alat kerja, mesin atau tempat-tempat strategis yang dapat dilihat dengan mudah oleh pekerja (Grandjean dan Kroemer, 2000; Manuaba, 2005a).

7. Kondisi sosial budaya

Harmonisasi hubungan di lingkungan kerja baik antara sesama pekerja, dengan atasan atau bawahan dan lebih jauh lagi hubungan dengan keluarga dan masyarakat, menyebabkan pekerja lebih

(9)

mampu berkonsentrasi pada tugas dan pekerjaannya, sehingga pencapaian produktivitas bisa optimal (Nala, 2002).

8. Interaksi manusia-mesin

Mesin termasuk alat bantu yang diharapkan dapat membantu pekerja pada proses produksi. Apabila mengingat prinsip ergonomi, maka desain dan cara kerja mesin hendaknya disesuaikan dengan memperhatikan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasan manusia (fitting the job to the man) (Grandjean dan Kroemer, 2000; Manuaba, 2005a).

Pekerjaan menenun merupakan salah satu pekerjaan yang bekerja dengan menggunakan tenaga otot. Selama proses menenun dengan mengoperasikan alat tenun bukan mesin (ATBM), penggunaan tenaga otot lebih kepada adanya kontraksi pada suatu jenis otot dengan pengulangan cukup tinggi. Selain itu, posisi kerja penenun duduk dalam waktu yang lama selama ±8 jam kerja disertai pekerjaan yang monoton, seperti bahu yang sedikit terangkat sehingga tidak dalam posisi rileks, kepala yang lebih condong ke depan dengan leher menunduk (forward head posture). Posisi tersebut dilakukan secara terus-menerus tentu berpengaruh terhadap kelelahan dan keluhan muskuloskeletal yang dialami pekerja. Penenun yang bekerja di tenun ikat endek “Sekar Jepun”, dengan kondisi lingkungan kerja yang memadai, baik dilihat dari lingkungan fisik maupun lingkungan non fisik. Namun, ketiadaan hari libur dan waktu kerja yang panjang ditambah dengan tidak adanya

(10)

istirahat pendek akan berpengaruh pada terjadinya kelelahan, dan gangguan muskuloskeletal hingga pada akhirnya mempengaruhi produktivitas kerja. Dalam pekerjaan menenun, interaksi manusia dan alat tenun hampir terjadi di sepanjang waktu kerja. Oleh karena itu, cara dan sistem kerja alat menjadi hal yang sudah tidak asing bagi penenun, tanpa terlepas dari pengetahuan dari pengetahuan pekerja akan kemungkinan risiko yang dapat terjadi ketika menggunakan alat tenun tersebut. Sikap kerja statis penenun dapat dicermati pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Sikap Kerja Statis dengan Bahu Sedikit Terangkat 2.2 Cervical Stabilization

2.2.1 Pengertian Cervical Stabilization

Cervical Stabilization merupakan latihan yang berguna memberikan stabilitas dari tulang servikal agar dapat tegak dan mempertahankan terhadap berbagai tekanan serta untuk memberikan dasar yang stabil sehingga otot-otot yang menstabilisasi leher dapat melakukan fungsi secara efisien dan dapat mencegah terjadinya cedera

(11)

berulang dan juga untuk mengaktifkan otot-otot deep cervical seperti rectus capitis anterior dan lateralis serta longus colli (Kisner dan Colby, 2012).

2.2.2 Metode Cervical Stabilization 1. Chin Tuck ( Neck retraction)

Gerakan chin tuck atau neck retraction ini memperkuat otot-otot leher, letakkan jari-jari didepan dagu kemudian dorong sejauh mungkin namun pertahankan posisi wajah dalam keadaan lurus dan mata memandang ke depan tahan selama 2 detik dan kembali ke posisi semula. Gerakan chin tuck dapat dicermati pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Chin Tuck 2. Cervical Extension

Gerakan cervical extension ini menguatkan otot leher kedua tangan melingkar di bagian belakang leher agar mencegah hiper ekstensi pada leher. Letakkan kedua tangan melingkar di bagian belakang leher sambil menggerakkan kepala kearah belakang sejauh mungkin hingga otot terasa terulur tahan selama 2 detik dan kembali ke posisi semula. Gerakan cervical extension dapat dicermati pada Gambar 2.3

(12)

Gambar 2.3 Cervical Extension 3. Shoulder shrugs

Gerakan shoulder shrugs ini untuk meningkatkan sirkulasi darah otot leher dan meningkatkan elastisitas otot bahu. Posisi berdiri angkat kedua bahu hingga mencapai telinga tahan selama 2 detik dan kembali keposisi semula. Gerakan shoulder shurgs dapat dicermati pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Shoulder Shrugs 4. Shoulder rolls

Gerakan ini bertujuan untuk menghilangkan akumulasi stress, ketegangan otot bahu, meningkatkan sirkulasi darah dan membantu mengurangi kekakuan pada area bahu. Posisi berdiri gerakkan kedua bahu secara memutar ke depan dan kebelakang tahan selama 2 detik dan kembali keposisi semula. Gerakan shoulder rolls dapat dicermati pada Gambar 2.5.

(13)

Gambar 2.5 Shoulder Rolls 5. Scapular retraction

Gerakan scapular retraction ini dapat mengulur otot dada dan meningkatkan sirkulasi pada punggung atas. Posisi berdiri, gerakkan bahu kebelakang secara bersamaan tahan selama 2 detik dan kembali ke posisi semula. Gerakan scapular retraction dapat dicermati pada Gambar 2.5.

Gambar 2.6 Scapula retraction

Latihan stabilisasi secara terus menerus dapat membuat pembuluh darah sekitar mengalami vasodilatasi dan menyebabkan aliran darah lokal yang akan diikuti dengan meningkatnya suplai oksigen ke jaringan sehingga dapat mengurangi ketegangan pada otot dan fleksibilitas otot meningkat, selain itu akan mengaktivasi otot-otot deep muscle yang menyebabkan terjadinya relaksasi pada otot upper trapezius karena beban kerjanya berkurang sehingga servikal lebih stabil dan tetap pada posisi yang fisiologis (Nurhayati, 2013).

(14)

Cervical Stabilization juga akan meningkatkan aktivitas di jalur motorik sehingga dapat menghambat nyeri di sistem saraf pusat dan dapat mengurangi nyeri yang berasal dari otot upper trapezius dimana latihan tersebut dapat merangsang reseptor mekanik dan meningkatkan aktifitas saraf sensorik yang dapat menghambat jalur mediasi nyeri serta meningkatkan fungsional (Kaka dkk., 2015).

2.3 Kemampuan Fungsional

Suatu gambaran kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kemampuan fungsional ini nantinya dikaitkan dengan adanya nyeri yang dialami seseorang pada saat melakukan aktivitas sehari-hari yang dilihat dari keluhan muskuloskeletal, kelelahan dan skor neck disability index (NDI)

2.3.1 Keluhan muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal berupa ketegangan otot, rasa nyeri, dan kelelahan terutama terjadi pada otot-otot kepala, leher, bahu, pinggang, tangan, jari tangan, pergelangan tangan, dan mata (Hakala dkk., 2012). Muskuloskeletal Disorders (MSDs) merupakan kumpulan kondisi patologis yang dapat mempengaruhi fungsi normal dari sistem muskuloskeletal yang didalamnya mencakup sistem saraf, tendon, otot dan struktur penunjang. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh aktivitas saat melakukan kerja, sikap kerja serta kondisi pekerjaan (NIOSH, 1997). Selain itu, menurut Peter Vi dalam Tarwaka (2011)

(15)

terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal antara lain sebagai berikut.

1. Peregangan otot yang berlebihan, peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan maksimum otot.

2. Aktivitas berulang, keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. Seperti halnya pada penenun endek pekerjaan menenun dilakukan secara berulang-ulang untuk menyatukan helaian benang untuk menjadi sebuah kain hal tersebut dilakukan selama 8 jam kerja. Menurut Hignett dan Atamney (2000) penggunaan otot berisiko apabila diindikasikan melakukan gerakan statis lebih dari 1 menit atau gerakan yang dilakukan berulang-ulang sebanyak 4x atau lebih dalam satu menit. Sehingga perlu diatur waktu-waktu istirahat khusus agar kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan dalam batas-batas toleransi untuk mencegah terjadinya kelelahan, penurunan kemampuan fisik dan memberi kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran (Tarwaka dkk., 2004).

3. Sikap kerja tidak alamiah

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu

(16)

membungkuk, kepala terangkat dsb. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan muskuloskeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini umumnya karena tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Kroemer dan Grandjean, 2000).

Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan terjadi apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Kroemer dan Grandjean, 2000).

Suatu pekerjaan apabila terlalu tinggi dari pemakainya akan menyebabkan bahu lebih sering terangkat sehingga timbul rasa sakit di daerah leher, sedangkan apabila terlalu rendah akan menyebabkan punggung menjadi membungkuk yang menyebabkan timbul rasa sakit di pinggang (Kroemer dan Grandjean, 2000).

Penyebab kombinasi, risiko semakin meningkat apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam waktu yang bersamaan. Selain faktor-faktor tersebut beberapa

(17)

faktor - faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh juga menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, 2011). Sikap kerja yang baik adalah suatu kondisi dimana bagian-bagian tubuh secara nyaman melakukan kegiatan seperti sendi-sendi bekerja secara alami dimana tidak terjadi penyimpangan yang berlebihan. Posisi duduk statis disertai dengan sikap tubuh yang tidak ergonomis saat bekerja akan menyebabkan adanya penekanan pada bagian otot tubuh tertentu sehingga berdampak pada terganggunya sirkulasi darah di dalam tubuh dan berkurangnya pasokan oksigen (O2) yang akan menyebabkan terjadinya penimbunan asam laktat di dalam otot tubuh. Penimbunan asam laktat ini dapat menyebabkan rasa pegal, tegang dan nyeri otot (Guyton dan Hall, 2000).

Pada pekerja tenun ikat lebih banyak melibatkan pembebanan otot statis, maka metode subjektif untuk menilai gangguan ketidaknyamanan pada sistem muskuloskeletal tepat untuk digunakan. Menurut Corlett (1992) bahwa penilaian gangguan sistem muskuloskeletal dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map melalui skoring.

2.3.2 Kelelahan

Menurut Williamson dkk. (2011) kelelahan adalah penurunan kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan dorongan biologis untuk memulihkan diri. Kelelahan biasanya menunjukkan

(18)

kondisi yang berbeda pada setiap individu, suatu perasaan yang bersifat subjektif tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh.

Proses terjadinya kelelahan otot menurut teori kimia akibat berkurangnya cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot. Setiap hari manusia melakukan berbagai macam kegiatan, untuk melaksanakan kegiatan tersebut diperlukan energi yang diperoleh dari proses metabolisme dalam otot, yaitu proses - proses kimia yang mengubah sari – sari makanan menjadi dua bentuk yaitu kerja mekanis dan panas. Adiputra (2003) mengatakan bahwa terjadinya kelelahan pada pekerja adalah adanya organ tubuh secara terus menerus menerima beban kerja eksternal dengan tanpa kesempatan istirahat atau mendapat beban kerja yang melewati kapasitasnya.

Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai alarm tubuh yang mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat. Kelelahan dapat berupa kelelahan fisik atau psikologis. Kelelahan fisik disebabkan karena bahan – bahan laktat hasil metabolisme, sedangkan kelelahan psikis lebih ke arah bagaimana keserasian hubungan perorangan antar tenaga kerja ke atas, mendatar maupun kebawah. Menurut Nurmianto (2003) terdapat beberapa faktor penyebab kelelahan antara lain sebagai berikut.

(19)

1. Kondisi kerja monoton.

Pembebanan otot secara statis dan pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive), bila dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan Repetition Strain Injuries (RSI), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain (Nurmianto, 2004). Menurut Marfu’ah (2007), pembebanan kerja fisik baik statis maupun dinamis dapat memengaruhi kelelahan tubuh. Pada kerja otot statis akan terjadi penekanan pada pembuluh darah dan penurunan aliran darah pada otot-otot untuk periode waktu tertentu yang menyebabkan tekanan pembuluh darah dan peredaran darah berkurang. Tidak adanya variasi kerja akan menimbulkan kejenuhan kerja. Kejenuhan ini dapat terjadi karena pekerja melakukan pekerjaan yang selalu sama setiap harinya, keadaan seperti ini cukup berpotensi untuk menyebabkan terjadinya kelelahan kerja (Sisinta, 2005).

2. Lingkungan kerja

Faktor lingkungan kerja dalam hal ini adalah termasuk faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis dan faktor psikologis. Faktor lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan kerja serta dapat menimbulkan gangguan terhadap suasana kerja (Tarwaka dkk., 2004).

3. Beban kerja

Besarnya beban kerja hendaknya disesuaikan dengan kemampuan fisik, kemampuan kognitif, keterbatasan maupun

(20)

kebolehan manusia yang menerima beban tersebut. Berat ringannya beban kerja suatu pekerjaan dapat digunakan untuk menentukan berapa lama waktu kerja optimal suatu pekerjaan disesuaikan dengan kemampuan dan kapasitass kerja para pekerja. Semakin berat beban kerja suatu pekerjaan yang diterima, maka semakin pendek waktu pekerja untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti dan begitu pula sebaliknya (Tarwaka dkk., 2004).

4. Status gizi

Dalam melakukan pekerjaan, tubuh memerlukan energy. Namun, apabila terdapat kekurangan energi baik secara kualitatif maupun kuantitatif, maka dapat mengakibatkan gangguan kapasitas kerja (Tarwaka dkk., 2004).

Menurut Grandjean dan Kroemer (2000) terdapat beberapa metode pengukuran tingkat kelelahan yang dapat dilakukan antara lain pengukuran kualitas dan kuantitas kerja, uji hilangnya kerlipan (flicker-fussion test), pengukuran tingkat kelelahan secara subjektif menggunakan kuesioner 30 item kelelahan dan uji psikomotor (Psycomotor test). Salah satu pengukuran kelelahan kerja yang dapat digunakan adalah kuesioner 30 item kelelahan yang berisi 30 item pertanyaan yang terdiri dari 10 pertanyaan tentang pelemahan kegiatan (pertanyan 1-10), 10 pertanyaan tentang pelemahan motivasi (11- 20) dan 10 pertanyaan tentang gambaran kelelahan fisik (21-30). Penilaian dengan menggunakan kuesioner kelelahan subjektif dapat dilakukan

(21)

dengan berbagai cara misalnya dengan menggunakan 2 jawaban sederhana yaitu ya (ada kelelahan) dan tidak (tidak ada kelelahan). Tetapi lebih utama untuk menggunakan desain penilaian dengan skoring (misalnya 4 skala Likert). Apabila digunakan skoring dengan skala Likert, maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden. Di bawah ini adalah contoh desain penilaian kelelahan subjektif dengan 4 skala likert, di mana skor 1 (tidak pernah merasakan), skor 2 (kadang-kadang merasakan), skor 3 (sering merasakan), skor 4 (sering kali merasakan).

2.3.3 Neck Disability Index

Neck Disability Index (NDI) adalah alat yang digunakan untuk

mengukur kemampuan fungsional leher secara khusus untuk memahami lebih baik bagaimana nyeri leher dapat mempengaruhi kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari - hari. Kuisioner ini memiliki 10 macam pertanyaan yang terfokus pada nyeri dan aktifitas hidup sehari-hari termasuk intensitas nyeri, perawatan diri sendiri, mengangkat, membaca, sakit kepala, konsentrasi, status bekerja, mengemudi, tidur dan rekreasi. Pengukurannya dirancang untuk diberikan kepada pasien dan mengisi kuesioner, dapat memberikan informasi yang berguna untuk manajemen dan prognosis pada mereka yang mengalami penurunan kemampuan fungsional leher. Penilaian neck disability index dinilai dengan menggunakan separately test, dimana score separately memiliki 10 bagian dari setiap bagian memiliki nilai masing-masing

(22)

nilainya 0 - 5, yang kemudian dijumlahkan maka maksimal adalah 50 (Vernon, 2007).

Semua kuisioner penilaian terisi, maka jumlah skor maksimal penilaian dikalikan 2 (2x50) menjadi 100. Jika tidak semua penilaian terisi maka total pembagi adalah jumlah yang terisi dikalikan 5.

Rumus: Nilai pasien X 100 = _______ %DISABILITY jumlah Kuisioner penilaian terisi X 5

Hasil penilaian neck disability index (NDI) dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Hasil penilaian NDI

Disabilitas dalam % Level Disabilitas

0 – 4 0 – 10 % Bukan disabilitas

5 – 14 10 – 28 % Mild disabilitas

15 – 24 30 – 48 % Moderat

25 – 34 56 – 68 % Severe

Diatas 34 Diatas 60 % Komplit

(Sumber : Vernon, 2007)

2.4 Produktivitas

Produktivitas adalah suatu perbandingan antara luaran (output) dan masukan (input) per satuan waktu. Manuaba (2004) menyatakan bahwa produktivitas dapat ditingkatkan melalui pendayagunaan seoptimal mungkin sumber daya manusia atau mengalihkan teknologi tepat guna, di samping upaya mengefisienkan kemampuan melalui penggunaan alat, cara kerja, dan lingkungan yang serasi.

Cara penghitungan produktivitas adalah menggunakan perbandingan antara luaran (output) dan masukan (input) per satuan waktu (time). Pengukuran produktivitas dapat digunakan untuk menilai sejauh mana

(23)

perbandingan antara total keluaran dengan total masukan per satuan waktu (Kanawaty, 1992). Pengukuran produktivitas secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Produktivitas total

Perbandingan antara total luaran (output) dengan total masukan per satuan waktu. Hal ini semua faktor masukan terhadap total luaran diperhitungkan.

2. Produktivitas parsial

Perbandingan dari luaran dengan satu jenis masukan (input) seperti upah tenaga kerja, bahan energi, beban kerja, skor keluhan sujektif dan lain-lain. Produktivitas dihitung secara parsial dari sudut pandang ergonomi.

Menurut Manuaba (2000), secara umum produktivitas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Luaran (output) Produktivitas =

Masukan (input) x Waktu (time)

Dalam hal ini, output adalah berupa rerata hasil kerja (jumlah hasil tenun). Sedangkan input adalah kelelahan yang diterima oleh tenaga kerja selama bekerja. Selain itu, banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja baik yang berhubungan dengan tenaga kerja maupun yang berhubungan dengan lingkungan tempat kerja. Manuaba (2003b) dan

(24)

Pheasant (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja adalah sebagai berikut.

1. Tenaga kerja seperti umur, gizi, kondisi fisik, keterampilan dan psikologis kerja.

2. Peralatan kerja seperti alat, sarana kerja, mesin-mesin dan lain-lain 3. Lingkungan kerja seperti kebisingan, getaran, suhu, kelembapan, debu

dan lain-lain.

Manuaba (2005b) menyatakan usaha-usaha yang harus dilakukan dalam perbaikan produktivitas kerja untuk pencapaian tujuan ergonomi dilakukan dengan memperhatikan delapan aspek ergonomi adalah sebagai berikut.

1. Status nutrisi yang memadai sebagai sumber energi seorang pekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

2. Aplikasi tenaga otot secara optimal dan efisien untuk menekan stress pekerja sampai batas minimum.

3. Sikap tubuh yang diterapkan dalam sikap kerja dengan memperhatikan situasi pembebanan terhadap tubuh, jenis pekerjaan dan ruang lingkungan pekerjaan.

4. Kondisi lingkungan kerja untuk mencegah beban yang berlebihan terhadap fisik dan mental.

5. Kondisi yang berkaitan dengan waktu atau yang berkaitan dengan pola kerja, waktu kerja dan waktu istirahat.

(25)

6. Kondisi informasi untuk menunjukkan penampilan (performance) kerja secara puas dan luas.

7. Kondisi sosial untuk meningkatkan kualitas interaksi antar pekerja. Tugas yang dilakukan sudah menjadi upaya kerja karena dilakukan dengan cara nyaman dapat menyokong kehidupan yang sejahtera bagi karyawan.

8. Interaksi manusia dengan mesin dengan proporsi pembagian tugas pekerjaan yang tepat antara manusia dengan mesin/alat.

Oleh karena produktivitas kerja merupakan rasio luaran (output) terhadap masukan (input), maka peningkatan produktivitas kerja dapat dilakukan dengan mengubah baik masukan maupun luaran. Menurut Sedarmayanti (1996), produktivitas kerja dikatakan meningkat apabila terjadi hal-hal berikut.

1. Volume/kuantitas keluaran bertambah besar, tanpa mengubah jumlah masukan.

2. Volume/kuantitas keluaran tidak bertambah, akan tetapi masukannya berkurang.

3. Volume kuantitas keluaran bertambah besar sedangkan masukannya berkurang.

4. Jumlah masukan bertambah, asalkan volume/kuantitas keluaran bertambah berlipat ganda.

2.5 Penerapan Cervical Stabilization Melalui Active Exercise Terhadap Peningkatan Kemampuan Fungsional

(26)

Posisi dan sikap kerja yang statis dan berlangsung berulang-ulang dalam waktu lama dapat menimbulkan stress mekanik yang berkepanjangan, pada penenun endek dengan posisi duduk dan sikap kerja kepala cenderung lebih condong ke depan atau posisi forward head posture. Individu dengan keluhan nyeri bahu disebabkan karena adanya ketidakseimbangan pada otot dimana terjadi hiperaktivasi pada upper trapezius dan rendahnya aktivasi dari otot trapezius bagian bawah juga seratus anterior. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya musculoskeletal pain (Lin, 2006).

Forward head posture secara terus menerus dapat menyebabkan postur fisik yang tidak stabil karena akan meningkatkan pembebanan pada jaringan servikal dan meningkatkan aktivitas otot sekitar tulang vertebra (Noh, 2013). Menurut Cook (2006) kelelahan otot akibat dari forward head posture atau gerakan yang abnormal secara berulang dapat menyebabkan nyeri leher maupun nyeri pada bahu karena kurangnya kontrol dari otot deep cervical dan membuat instabilitas dari segmen tulang servikal. Pada posisi ini akan meningkatkan aktivasi dari otot upper trapezius dan splenius capitis (Park, 2005). Hal tersebut dapat menyebabkan stress dan strain pada otot upper trapezius. Sehingga mengakibatkan jaringan miofasial dari otot upper trapezius mengalami ketegangan atau kontraksi terus menerus, sehingga menimbulkan stress mekanis pada jaringan miofasial dalam waktu yang lama dan menstimulasi nosiseptor yang ada di dalam otot dan tendon. Semakin

(27)

sering dan kuat nosiseptor tersebut distimulasi, maka semakin kuat refleks ketegangan otot.

Jika pengaruh nosiseptor berlangsung lama sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, maka dapat mengakibatkan perubahan patologis dari saraf dan kulit, diantaranya adalah menurunnya ambang rasa nyeri, sehingga akan terjadi allodynia yaitu nyeri yang ditimbulkan oleh stimulus non noxius terhadap kulit normal. Adanya allodynia menimbulkan nyeri sentuhan pada daerah lesi. Dengan adanya nyeri, pasien cenderung membatasi gerakan yang dapat menambah nyeri termasuk gerakan mengulur dari otot upper trapezius, sehingga pasien harus mempertahankan posisi tertentu, yaitu posisi statik yang memperparah kerusakan jaringan miofasial itu sendiri sehingga dapat menurunkan aktifitas gerakan leher dan mengganggu ADL (Activity of Daily Living) yang mengakibatkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional leher (Sugijanto dan Makmuriyah, 2013).

Cervical stabilization ini merupakan latihan untuk meningkatkan komponen daya tahan otot skeletal atau daya tahan lokal. Menurut Berger (1982) dalam Nala (2015), untuk meningkatkan daya tahan otot dibutuhkan intensitas dengan beban sedang (50% dari beban maksimum), gerakan berulang-ulang dengan durasi 10 menit, dengan frekuensi 3 kali semingu. Suatu latihan dikatakan overuse, jika dilakukan secara terus menerus dengan frekuensi yang tidak memberikan jeda waktu perbaikan bagi jaringan yang bersangkutan dan gejalanya akan berakibat pada

(28)

kurangnya kekuatan otot dan daya tahan (Tovin, 2006). Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kaka dkk. (2015) diberikan Cervical Stabilization terjadi penurunan keluhan muskuloskeletal pada minggu ke-4. Selain itu, dalam penelitian Dusuncelli dkk. (2009) dinyatakan bahwa neck stabilization exercise dalam menangani pasien dengan keluhan nyeri leher serta dapat meningkatkan kemampuan fungsional pasien ataupun memungkinan mereka untuk kembali ke aktivitas normal.

Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai alarm tubuh yang mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat. Sikap kerja duduk dengan waktu yang cukup lama yaitu selama 8 jam kerja yang dilakukan oleh penenun selama empat jam sebelum istirahat makan siang dan empat jam setelah jam makan siang, dapat menimbulkan kelelahan, yang mengakibatkan mereka melakukan istirahat curian (Manuaba,1992).

Pemberian istirahat aktif berupa cervical stabilization melalui active exercise yang akan diterapkan setiap 2 jam setelah bekerja selama 10 menit. Latihan tersebut diberikan agar tidak terjadinya akumulasi kelelahan dan otot-otot anggota gerak bawah dapat bekerja secara aktif. Menurut Adiputra (2003) dikatakan bahwa terjadinya kelelahan pada pekerja adalah adanya organ tubuh secara terus menerus menerima beban kerja eksternal dengan tanpa kesempatan istirahat atau mendapat beban

(29)

kerja yang melewati kapasitasnya. Sutjana (2008) juga menyatakan istirahat pendek setiap 2 jam kerja selama 5-10 menit maka kesiapan kerja tetap di atas ambang.

2.6 Penerapan Cervical Stabilization Melalui Active Exercise Terhadap Peningkatan Produktivitas

Penerapan cervical stabilization melalui active exercise setiap 2 jam bekerja selama 10 menit merupakan perbaikan organisasi kerja dengan penerapan istirahat aktif. Hal ini dimaksudkan agar terjadi gerakan secara aktif untuk mengurangi munculnya akumulasi keluhan muskuloskeletal dan kelelahan kerja serta memberi kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran, serta memberi kesempatan waktu untuk melakukan kontak sosial setelah pembebanan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pemulihan energi adalah istirahat. Dengan cervical stabilization melalui active exercise sebagai upaya preventif dapat mengurangi risiko terjadiya cidera muskuloskeletal pada penenun endek. Gangguan kesehatan bersifat kumulatif yang makin lama akan bertambah berat sehingga akan mengganggu kesehatan dan berakhir pada menurunnya kemampuan fungsional dan produktivitas kerja. Dengan adanya penerapan cervical stabilization melalui active axercise setiap 2 jam bekerja selama 10 menit maka kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran, serta memberi kesempatan waktu untuk melakukan kontak sosial setelah pembebanan dengan demikian juga akan terjadi peningkatan produksi dan peningkatan kemampuan fungsional

(30)

yang dilihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal, kelelahan kerja maka secara langsung juga akan meningkatkan produktivitas kerja.

Gambar

Gambar 2.1 Sikap Kerja Statis dengan Bahu Sedikit Terangkat  2.2  Cervical Stabilization
Gambar 2.4 Shoulder Shrugs  4.  Shoulder rolls

Referensi

Dokumen terkait

8 Sebab pikirnya: "Jika Esau datang menyerang pasukan yang satu, sehingga terpukul kalah, maka pasukan yang tinggal akan terluput." 9 Kemudian berkatalah Yakub:

Penelitian mengenai pola penggunaan ruang bertengger kelelawar di Gua Putih Hutan Pendidikan Gunung Walat perlu dilakukan untuk menjadikan HPGW sebagai salah satu

Dalam aktifitas ini manager purchasing akan melakukan proses approval untuk pesanan ke supplier yang telah melewati tahap negosiasi dari Staff purchasing Aktifitas

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh tinggi muka air dan kerapatan populasi terhadap pertumbuhan bibit pada saat persemaian terapung serta pengaruh

Pengalaman Kesenangan (X4.3) ‘Pengalaman kesenangan’ konsumen sebagai salah satu indikator dari dimensi ‘motivasi’ memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 0,3667

Kemudian usaha kedua yaitu merencanakan kampanye diawali dengan menyusun tujuan dari kampanye Counting Down ini yaitu: untuk menberikan informasi kepada

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta dalam meningkatkan Partisipasi pemilih pada pemilu dari tahun