• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Persentase Filamen

Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2. Berdasarkan uji statistik, perbedaan jenis murbei tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase filamen (Lampiran 43). Persentase filamen yang dihasilkan berkisar antara 10.7784-18.5053 % dengan nilai rata-rata 15.0116±0.0141 % (Tabel 11).

Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen

Jenis

Murbei Persentase Filamen (%)

A1 15.703±1.338tn A2 15.886±1.191tn A3 13.833±1.6465tn A4 14.624±1.371tn Keterangan : tn = tidak berbeda nyata

PEMBAHASAN

Kualitas Daun Murbei

Mutu daun murbei merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera dan kualitas kokon yang dihasilkan disamping faktor-faktor lain seperti bibit, teknik pemeliharaan dan sarana pemeliharaan (Samsijah & Kusumaputra 1976). Kualitas daun murbei berhubungan dengan susunan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya.

Pertumbuhan selama fase larva memerlukan perlakuan yang berbeda untuk setiap tahapan pertumbuhannya. Seperti pernyataan yang diungkapkan Samsijah dan Andadari (1992) bahwa ulat-ulat muda (instar I-III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang rendah. Oleh karena itu, pemilihan jenis murbei yang tepat untuk pertumbuhan ulat sutera akan menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas.

Menurut Tazima (1978), daun murbei yang memiliki kandungan air 64-83 %, protein kasar 24-36 %, serat kasar 9-11%, BetN 43-55 %, lemak kasar 2-4 % dan abu 7-9 % baik bagi pertumbuhan ulat sutera. Dalam hal ini, hasil analisis kandungan nutrisi dari keempat jenis daun murbei yang diujikan, hanya kandungan air

dan lemak kasar saja yang sesuai dengan pernyataan Tazima (1978).

Perbedaan kandungan nutrisi pada daun murbei tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan teknik pemeliharaan kebun. Seperti pernyataan Katsumata (1964) bahwa kualitas daun murbei dipengaruhi oleh keadaan tanah, pemupukan, pemangkasan, curah hujan, dan pengairan. Sumardjito dan Suhartati (1987) kualitas serta kuantitas daun murbei terutama ditentukan oleh jenis murbei itu sendiri disamping faktor lain seperti keadaan iklim, kondisi tanah, suhu, sistem pemeliharaan kebun dan lain-lain.

Jenis-jenis murbei yang dianggap unggul berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. SK. 50/V-UPR/2004 adalah M. cathayana, M. multicaulis, M. kanva, dan M. alba (Dephut 2004). Hasil analisis proksimat pada penelitian ini menunjukkan bahwa M. bombycis var. lembang yang merupakan jenis murbei lokal memiliki kandungan nutrisi yang hampir sama dengan jenis-jenis murbei unggul lainnya.

Umur Ulat

Periode ulat merupakan periode yang paling lama selama siklus hidup ulat sutera. Periode ini merupakan satu-satunya fase dimana ulat makan. Selama masa larva berlangsung empat kali ganti kulit maka, terdapat lima periode makan yaitu, instar I, II, III, IV, dan V.

Total umur ulat selama periode ulat kecil yang ditunjukkan Tabel 2 sesuai dengan pernyataan Andadari (2003), bahwa umur ulat kecil (instar I-III) di daerah tropis umumnya berkisar 12-14 hari.

Memasuki instar IV dilakukan penghitungan kembali ulat sutera yang dipelihara untuk setiap perlakuan dan ulat dipindahkan ke ruang pemeliharaan ulat besar. Umur ulat besar berdasarkan Tabel 2 sesuai dengan pendapat Katsumata (1964) bahwa di daerah tropis seperti Indonesia, umur ulat besar (instar IV-V) umumnya berkisar 10-15 hari.

Menurut Andadari (2003), lamanya periode hidup ulat mulai dari menetas sampai membuat kokon sekitar satu bulan, tetapi hal tersebut tergantung pada kondisi iklim dan suhu setempat. Umur ulat yang dihasilkan pada penelitian ini cenderung lebih pendek atau kurang dari satu bulan. Perbedaan umur ulat tersebut dapat

(2)

diakibatkan kondisi suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah. Suhu dan kelembaban selama periode ulat kecil pada penelitian ini berkisar antara 23.5-290C dan 60-83 % sedangkan selama periode ulat besar berkisar antara 21-290C dan 52-84 % (Lampiran 4 & 5).

Kisaran suhu dan kelembaban tersebut berbeda dengan pernyataan Andadari (2003) bahwa fase ulat kecil membutuhkan suhu dengan kisaran 25-280C dan kelembaban 80-90 % sedangkan ulat besar membutuhkan suhu 24-260C dan kelembaban 70-75 %. Atmosoedarjo et al. (2000), pertumbuhan ulat biasanya lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi serta kelembaban juga berpengaruh terhadap pertumbuhan. Pernyataan ini sesuai juga dengan pernyataan Andadari (2003) bahwa pertumbuhan ulat akan dipersingkat dengan meningkatnya suhu.

Samsijah dan Andadari (1995) menyatakan bahwa masa instar terpendek adalah instar II, I, III, IV kemudian V, sedangkan masa ganti kulit terpendek adalah masa ganti kulit instar II kemudian instar I, instar III, dan instar IV. Hal tersebut berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pengaruh jenis ulat dan kondisi lingkungan tempat pemeliharaan. Sesuai dengan pernyataan Atmosoedarjo et al. (2000) bahwa panjangnya masa makan berbeda tergantung dari galur.

Menurut Norati (1996), umur ulat ras India dan Rusia berkisar antara 20-21 hari 22 jam. Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1976), umur ulat ras Jepang adalah 28 hari 8 jam. Untuk ras Rumania siklus hidup berlangsung selama 22 hari (Noerlely 1996). Berdasarkan perbandingan tersebut maka, dapat dinyatakan bahwa umur ulat akan berbeda tergantung pada jenis ulat dan kondisi iklim serta suhu tempat pemeliharaan.

Jumlah Konsumsi Daun Murbei

Berdasarkan Lampiran 8-9 terlihat bahwa dengan semakin bertambahnya umur ulat semakin bertambah juga pakan yang diberikan. Hal tersebut berkaitan dengan semakin meningkatnya ukuran tubuh ulat dan pemenuhan kebutuhan untuk pembentukan filamen. Selama periode ulat kecil, pemberian murbei yang berbeda jenis menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi daun per ekor artinya jenis murbei tidak mempengaruhi banyaknya konsumsi daun per ekor pada ulat kecil. Pada fase ulat besar, jenis murbei mempengaruhi banyaknya konsumsi daun per ekor. Berbeda dengan periode ulat besar, jenis murbei yang paling banyak dikonsumsi selama periode ulat besar adalah M. multicaulis. Jenis

murbei ini memiliki struktur daun yang agak keras dibanding ketiga jenis murbei lainnya. Sesuai dengan pernyataan Andadari (2003) bahwa ulat besar membutuhkan daun yang lebih tua dan tidak lembek. Pada penelitian ini konsumsi pakan ulat selama periode ulat besar berkisar antara 96.0453-96.5050 % dari total pakan yang dikonsumsi dengan nilai rataan 96.326±0.197 %. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), konsumsi daun murbei selama periode ulat besar mencapai 90% dari total pakan yang dikonsumsi. Hal tersebut berkaitan dengan pertumbuhan kelenjar sutera guna pembentukan filamen yang mencakup 40 % dari total bobot tubuhnya dan energi yang dibutuhkan ketika memasuki fase pengokonan.

Total pakan daun dan rata-rata konsumsi daun setiap ekor pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Kusumaputra (1976) bahwa konsumsi daun per ekor dari mulai ulat menetas (hakitate) sampai mengokon adalah

±

20 g.

Daya Tahan Ulat

Penilaian keunggulan suatu jenis ulat selain dapat dilihat dari segi produksi kokon, juga dapat dilihat dari daya tahan hidup ulat (Andadari 2003). Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1976), terdapat korelasi antara kombinasi pemberian pakan ulat dengan ukuran daya tahan hidup ulat. Selain itu, ketahanan ulat berkaitan juga dengan banyaknya kokon yang akan dihasilkan. Nilai ketahanan ulat dapat dilihat berdasarkan resitensinya terhadap penyakit dan keseragaman dalam pertumbuhannya.

Berdasarkan Tabel 5, ulat yang diberi pakan daun M. bombycis var. lembang memberikan nilai daya tahan ulat paling baik selama periode ulat kecil sedangkan selama periode ulat besar, jenis murbei yang memberikan nilai daya tahan ulat paling baik adalah ulat yang diberi pakan daun M. cathayana. Hal tersebut dikarenakan kandungan nutrisi dan anatomi daun tersebut paling sesuai untuk pertumbuhan ulat kecil dan ulat besar. Morus bombycis var. lembang memiliki kandungan air terbesar serta memiliki struktur daun yang lunak. Sedangkan M. cathayana memiliki kandungan protein paling besar serta struktur daun yang tidak terlalu keras. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Andadari (1992), ulat-ulat muda (instar I-III) memerlukan

(3)

daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang rendah. Atmosoedarjo et al. (2000) menambahkan bahwa selama periode ulat kecil merupakan fase dimana ulat mengumpulkan dan mempertahankan air yang mencapai 86 % dari total bobot tubuhnya.

Menurut Novianti (1992), nilai daya tahan ulat kecil hasil persilangan ras Jepang dan Cina di atas 99 %. Sementara laporan Sundari (1996) menyatakan bahwa daya tahan hidup ulat kecil ras murni Rusia adalah 96.8 % dan ras hibrid Jepang-India dan India-Rusia adalah 99.4 %. Samsijah dan Kusumaputra (1976), daya tahan ulat kecil untuk ras murni Jepang berkisar antara 64.89-82 %. Sementara hasil penelitian Saranga et al. (1992) yang menggunakan ulat hasil persilangan ras Jepang dengan Bili-Bili memberikan nilai daya tahan ulat dengan kisaran 87-89.83 %. Sedangkan penelitian Norati (1996) melaporkan bahwa nilai daya tahan ulat kecil ras India berkisar 93.5-99.75 % dan ras Rusia berkisar antara 88.125-99.25 %, ulat besar ras India berkisar 76-93.1 % dan Rusia berkisar 84.35-96.025 %. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan nilai daya tahan tersebut dipengaruhi oleh jenis ulat, pakan, dan kondisi tempat pemeliharaan yang meliputi suhu dan kelembaban.

Untuk periode ulat besar, nilai daya tahan ulat cenderung menurun sementara kondisi suhu rata-rata 25.610C dan kelembaban rata-rata 70.25 % sudah sesuai dengan persyaratan hidup ulat besar yaitu, 24-250C dengan kelembaban 70 % (Andadari 2003). Akan tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Kusumaputra (1975) bahwa daya tahan ulat yang baik pada ulat besar mencapai 98.66%. Hal tersebut dikarenakan adanya serangan penyakit yang baru muncul secara ganas pada saat periode ulat besar.

Ciri-ciri penyakit yang terlihat pada setiap ulat yang terinfeksi seperti: nafsu makan berkurang, ulat cenderung berjalan-jalan tanpa makan, pertumbuhan tidak seragam, warna larva menjadi gelap dan pertumbuhannya terhambat, tubuhnya mengkerut, dan akhirnya mati, kemungkinan munculnya serangan penyakit tersebut disebabkan oleh virus, bakteri, atau protozoa (Atmosoedarjo et al. 2000).

Terdapat dua kemungkinan sumber penyebaran penyakit, kemungkinan pertama ditularkan melalui telur yang terbawa oleh induk

yang berasal dari Pengusahaan Sutera Alam (PSA) Soppeng, Sulawesi Selatan. Kemungkinan kedua yaitu, berasal dari tempat pemeliharaan dan kontaminasi dari pakan yang diberikan. Desinfeksi ruangan pemeliharaan yang tidak efektif dapat menyebabkan tersebarnya penyakit ini secara terus-menerus pada setiap siklus pemeliharaan karena bentuk penyebaran penyakit ini melalui bentuk spora.

Bobot Tubuh Ulat

Laju pertumbuhan ulat ditunjukkan oleh pertambahan bobot tubuh ulat pada akhir instar ulat kecil (instar III) dan akhir instar ulat besar (instar V). Kebutuhan pakan kedua fase tersebut berbeda. Pada periode ulat kecil, pemberian pakan bertujuan untuk mendapatkan ulat yang sehat agar bisa bertahan hidup sampai akhir instar III. Sedangkan pada fase ulat besar, terutama instar V, merupakan stadium paling penting untuk pertumbuhan kelenjar sutera guna memproduksi filamen kokon dan kebutuhan energi ketika memasuki fase pengokonan.

Ulat kecil yang diberi pakan daun M. alba var. kanva-2 dan M. bombycis var. lembang menghasilkan bobot tubuh ulat terbesar. Hal tersebut didasarkan pada kandungan nutrisi yang dimiliki daun M. alba var. kanva-2 dan M. bombycis var. lembang yang sesuai untuk pertumbuhan ulat kecil (Tabel 1). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Andadari (1992), ulat-ulat muda (instar I-III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Jenis ulat dan kondisi lingkungan mempengaruhi pertumbuhan selama masa larva. Bobot tubuh ulat akhir instar III hibrid Jepang-Cina 2.8203 g (Novianti 1992). Sementara Norati (1996) melaporkan bobot tubuh ulat kecil ras India mencapai 0.2927 g ras dan Rusia 0.7646 g sedangkan bobot tubuh ulat besar ras India 3.367 g dan ras Rusia 3.858 g. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan selama masa larva dipengaruhi oleh ras ulat, jenis murbei yang diberikan dan kondisi lingkungan tempat pemeliharaan.

Bobot tubuh ulat besar tertinggi dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan daun M. multicaulis. Hal tersebut disebabkan jenis murbei ini merupakan jenis yang paling banyak dikonsumsi ulat selama periode ulat besar. Pada penelitian ini,

(4)

konsumsi pakan pada instar V mencapai 83.6489 % dari total pakan yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pada fase ini kualitas dan kuantitas murbei akan berpengaruh terhadap mutu kokon dan serat sutera yang dihasilkan.

Kualitas Kokon

Persentase produksi kokon dan kokon cacat Kokon adalah hasil akhir dari pemeliharaan ulat sutera dan kualitasnya ditentukan oleh sifat keturunan dari jenis ulat, dan keadaan luar seperti kondisi selama pemeliharaan dan pada saat pengokonan (Samsijah & Andadari 1992). Selain kualitas murbei sebagai sumber pembentukan serat sutera yang dihasilkan oleh ulat, penanganan ulat menjelang pengokonan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas kokon. Oleh karena itu, jika metode pengokonan salah maka akan dihasilkan kokon kualitas rendah.

Metode yang digunakan untuk mengokonkan ulat adalah pemungutan dengan tangan. Dalam metode ini semua ulat dewasa yang sudah memperlihatkan tanda-tanda akan mengokon dipungut dengan tangan sehingga hanya ulat yang sudah cukup dewasa atau matang saja yang dipilih dan dimasukkan ke alat pengokonan.

Morus cathayana dan M. alba var. kanva-2 menghasilkan persentase produksi kokon paling besar. Hal tersebut sesuai dengan nilai daya tahan ulat akhir instar V pada masing-masing perlakuan yang juga paling besar (Tabel 5). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Kusumaputra (1976) bahwa ketahanan ulat berkaitan juga dengan banyaknya kokon yang akan dihasilkan.

Pemilihan kokon yang berkualitas akan menentukan mutu benang yang dihasilkan. Syarat-syarat kokon yang baik antara lain: tidak cacat, bersih (putih bersih, kuning bersih atau warna-warna lainnya), bagian dalam pupa tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon keras atau tebal, dan cara pengeringan memenuhi syarat pemintalan sehingga waktu dipintal tidak mengalami kesulitan (Samsijah & Andadari 1992). Berdasarkan Tabel 8, persentase kokon cacat yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dikategorikan kelas kokon D atau kelas mutu ketiga berdasarkan standar mutu kokon (Lampiran 44 & 45) dan klasifikasi kokon cacat berdasarkan Lampiran 46. Banyaknya kokon cacat yang terbentuk dapat terjadi karena pengaruh suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan serta tempat pengokonan (seriframe) yang digunakan.

Suhu dan kelembaban harian pada penelitian ini berkisar 21-29°C dan 52-84 %. Hal

tersebut berbeda dengan pernyataan Samsijah dan Andadari (1992) bahwa kondisi suhu pada saat pengokonan sebaiknya berkisar 22-23oC dengan kelembaban 60-70 %. Alat pengokonan (seriframe) yang digunakan pada penelitian ini berwarna hitam dan memiliki ruang antar sekat yang kurang lebar sedangkan kokon yang dihasilkan cukup besar. Hal ini mengakibatkan banyaknya kokon cacat yang tercetak (printed cocoon). Warna seriframe juga mempengaruhi persentase produksi kokon dan persentase kokon cacat. Kaomini dan Andadari (2004), melaporkan bahwa alat pengokonan yang berwarna selain kuning, menyebabkan ulat lambat naik ke tempat pengokonan. Hal tersebut dapat menghasilkan kokon cacat karena ulat terlalu matang sehingga mengokon di sembarang tempat atau hanya berputar-putar di atas tempat pengokonan sambil mengeluarkan serat tanpa membuat kokon sehingga kokon yang dihasilkan tipis. Walaupun ulat sehat dengan nilai daya tahan hidup yang tinggi, tetapi jika alat pengokonan tidak baik maka akan dihasilkan kualitas kokon yang rendah. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), material dan struktur tempat pengokonan sangat berpengaruh terhadap kualitas kokon dan filamen yang dihasilkan.

Bobot kokon rata-rata

Hasil pengukuran bobot kokon rata-rata yang diperoleh dari total kokon yang dihasilkan dan 10 kokon normal yang diambil secara acak, keduanya menunjukkan bahwa ulat yang diberi pakan M. cathayana menghasilkan bobot kokon rata-rata terbesar dibandingkan ketiga daun murbei lainnya. Walaupun jumlah konsumsi pakan per ekor untuk jenis M. cathayana paling sedikit di antara ketiga jenis murbei tetapi hal tersebut berkaitan dengan kandungan nutrisinya. Berdasarkan tabel 1, M. cathayana memiliki kandungan protein paling tinggi dan sesuai bagi kebutuhan pakan ulat besar. Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1976) bahwa ulat besar membutuhkan daun murbei yang memiliki kandungan protein tinggi untuk mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera.

Bobot kokon yang dihasilkan oleh ras Jepang mencapai 1.41 g (Samsijah & Kusumaputra 1976). Sedangkan hasil persilangan antara ras Jepang dan Bili-Bili menghasilkan bobot kokon tertinggi 1.34 g (Saranga et al. 1992). Norati (1996)

(5)

melaporkan bobot kokon tertinggi untuk ras Rusia adalah 2.1459 g dan India 1.8992 g. Perbedaan bobot kokon yang dihasilkan tersebut dipengaruhi oleh ras ulat, pakan, dan kondisi tempat pemeliharaan.

Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, bobot kokon rata-rata yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dikatakan sudah sangat baik yaitu berkisar antara 1.9755-2.1554 g untuk bobot kokon yang dihitung berdasarkan total kokon yang dihasilkan dan 1.9843-2.1673 g untuk bobot kokon yang berasal dari 10 kokon normal yang diambil secara acak. Sesuai dengan pernyataan Kaomini dan Andadari (2004), pada umumnya bobot kokon galur murni berkisar 1.5-1.8 g dan ras hibrid berkisar 2-2.5 g.

Penentuan kelas kokon didasarkan pada SNI 01-5009.11-2002 yang dikeluarkan oleh Direktur Bina Usaha Perhutanan Rakyat Ditjen RLPS (Lampiran 44 & 45). Untuk kokon yang berasal dari ulat yang diberi pakan M. multicaulis dan M. cathayana termasuk ke dalam kelas kokon A, ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2 termasuk ke dalam kelas kokon B, dan ulat yang diberi pakan M. bombycis var. lembang termasuk ke dalam kelas kokon A dan B. Secara umum, kokon yang dihasilkan pada penelitian ini termasuk ke dalam kelas kokon A atau kelas kokon utama yang memiliki bobot kokon rata-rata 2.0349±0.0379 g dan 2.0527±0.0261g.

Persentase kulit kokon

Besarnya nilai persentase kulit kokon tergantung dari bobot kokon berisi pupa dan bobot kulit kokon. Persentase kulit kokon dapat menggambarkan persentase serat atau filamen yang dapat diperoleh dari kokon (Norati 1996). Persentase kulit kokon adalah salah satu tolak ukur dalam penentuan harga jual kokon (Andadari 2003).

Hasil uji statistik (Tabel 10), menunjukkan nilai persentase kulit kokon untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata. Semua jenis murbei memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap persentase kulit kokon. Hal ini disebabkan kandungan nutrisi semua jenis murbei untuk pertumbuhan selama periode ulat besar relatif sama. Akan tetapi, nilai rata-rata persentase kulit kokon terbesar dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. cathayana. Walaupun nilai konsumsi per ekor jenis murbei ini paling sedikit tetapi kandungan nutrisi yang terkandung di dalamnya paling sesuai untuk untuk pertumbuhan kelenjar sutera selama periode ulat besar yaitu, memiliki kandungan protein terbesar dengan kadar air paling rendah.

Norati (1996) melaporkan rata-rata persentase kulit kokon dari ras India dan Rusia adalah 19.3099±2.1095 %. Pada penelitian Samsijah dan Kusumaputra (1976), ras Jepang menghasilkan persentase kulit kokon berkisar antara 15.08-18 %. Sementara hasil penelitian Aryanti (2003) yang menggunakan ras ulat hibrid Jepang dan Cina menghasilkan rataan persentase kulit kokon berkisar antara 25.715-26.284 %. Pada penelitian ini rataan persentase kulit kokon yang didapat berkisar antara 20.976±0.664-21.571±0.783 %. Perbedaan nilai persentase kulit kokon tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis ulat dan kondisi iklim tempat pemeliharaan yang meliputi suhu, kelembaban, dan sirkulasi udara selama proses pengokonan.

Menurut Kaomini dan Andadari (2004), jenis ulat yang baik mempunyai rasio kulit kokon 22-25 %. Hasil yang didapat pada penelitian ini dinilai lebih rendah karena hanya memiliki persentase kulit kokon rata-rata 21.1023±0.324 %. Hal tersebut mungkin akibat pengaruh lingkungan tempat pemeliharaan yang meliputi suhu dan kelembaban yang kurang sesuai untuk proses pengokonan. Menurut Kaomini dan Andadari (2004), suhu yang baik untuk proses pengokonan berkisar 22-230C dan kelembaban 60-70 %. Sedangkan pada penelitian ini suhu dan kelembaban selama periode ulat besar berkisar antara 21-290C dan 52-84 %. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), perbedaan tersebut diakibatkan di daerah tropik kisaran suhu dan kelembaban nisbi tidak mudah dicapai, karena pengaruh suhu yang tinggi di sekitar lingkungan. Berdasarkan standar mutu kokon (Lampiran 44 & 45) persentase kulit kokon yang dihasilkan untuk semua perlakuan pada penelitian ini termasuk kelas kokon B atau kelas kokon pertama.

Persentase Filamen

Persentase filamen merupakan faktor penting dalam penentuan harga kokon dan berkisar antara 15-18 % (Atmosoedarjo et al 2000). Pada penelitian ini didapatkan rata-rata persentase filamen 15.012±0.963 %. Persentase filamen yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh jenis ulat, kondisi pemeliharaan, dan proses pengokonan (Kaomini & Andadari 2004). Katsumata (1964) menambahkan bahwa kualitas dan kuantitas murbei juga mempengaruhi persentase filamen yang dihasilkan. Seperti

(6)

halnya serat yang dihasilkan oleh hewan, filamen yang dihasilkan oleh ulat sutera tersusun atas rantai poliamida (Ghosh 2004). Berdasarkan susunan kimianya, serat sutera tersusun atas dua protein hewan, yaitu fibroin dan serisin. Fibroin meliputi ±75 % kandungan serat sutera dan serisin meliputi ±25 % (Samsijah & Andadari 1992).

Berdasarkan Tabel 11, semua jenis murbei memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap persentase filamen yang dihasilkan. Hal ini disebabkan kandungan nutrisi terutama protein yang terdapat pada keempat jenis murbei tersebut relatif sama. Akan tetapi, kandungan protein paling tinggi terdapat pada daun M. cathayana sehingga persentase filamen yang dihasilkan juga paling tinggi jika dibandingkan dengan ketiga murbei lainnya. Hal ini sesuai dengan pengukuran sebelumnya bahwa rata-rata bobot kokon dan persentase kulit kokon yang dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan daun M. cathayana adalah paling besar. Sesuai dengan pernyataan Norati (1996) bahwa persentase kulit kokon dapat menggambarkan persentase serat atau filamen yang dapat diperoleh dari kokon.

Samsijah dan Kusumaputera (1976) melaporkan bahwa ras Jepang yang diberi pakan daun murbei yang berbeda jenis menghasilkan persentase filamen yang berkisar antara 10.44-14.62 %. Sedangkan pada penelitian Norati (1996) yang menggunakan ulat ras India dan Rusia menghasilkan rata-rata persentase filamen 10.596±2.565 %. Sundari (1996) melaporkan bahwa ulat hasil persilangan murni ras Rusia menghasilkan rata-rata persentase filamen 11.96±1.62 % dan persilangan Rusia-Jepang menghasilkan 15.84±5.78 %. Hasil yang didapat pada penelitian ini secara umum lebih baik dari pada penelitian sebelumnya karena ulat yang digunakan adalah ras hibrid yang memiliki keunggulan dari masing-masing tetuanya.

SIMPULAN

Berdasarkan pengujian secara statistik, perbedaan jenis murbei tidak memberikan perbedaan secara nyata terhadap banyaknya konsumsi pakan per ekor selama periode ulat kecil, daya tahan ulat ulat kecil dan besar, bobot tubuh ulat akhir instar V, persentase kokon yang dihasilkan, persentase kokon cacat, persentase kulit kokon, dan persentase filamen (P>0.05). Sedangkan perbedaan jenis murbei hanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah daun yang dikonsumsi selama periode ulat besar, bobot tubuh akhir instar III, dan bobot kokon rata-rata (P<0.05).

Secara umum, jenis murbei yang paling baik digunakan selama periode ulat kecil adalah M. bombycis var. lembang. Jenis murbei ini memberikan nilai daya tahan dan bobot tubuh ulat akhir instar III paling baik diantara ketiga jenis murbei yang diujikan. Sedangkan jenis murbei yang paling baik digunakan selama periode ulat besar adalah M. cathayana. Jenis murbei ini menghasilkan nilai daya tahan, bobot kokon rata-rata, persentase produksi kokon, persentase kulit kokon, dan persentase filamen paling baik di antara ketiga jenis murbei lainnya. Selain itu, kedua jenis murbei tersebut memiliki kandungan nutrisi yang sesuai bagi pertumbuhan ulat sutera pada masing-masing fase pertumbuhan ulat. Pada studi ini, didapatkan data dengan kisaran yang luas. Hal ini disebabkan oleh kondisi suhu dan kelelembaban udara harian yang fluktuatif.

SARAN

Untuk melihat kestabilan kombinasi pakan yang diusulkan dari penelitian ini sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan pada jenis ulat dan ketinggian tempat yang berbeda.

Untuk lebih mengoptimalkan kebutuhan pakan bagi ulat sutera sebaiknya dilakukan pemisahan kebun murbei yaitu, kebun yang diperuntukan khusus bagi ulat kecil (instar I-III) yang ditanami murbei yang sesuai untuk pertumbuhan ulat kecil dan kebun yang diperuntukan khusus bagi ulat besar (instar IV-V) yang ditanami murbei yang sesuai untuk pertumbuhan ulat besar sehingga pemberian pakan dapat lebih mudah dan teratur.

Untuk meningkatkan hasil produksi sutera alam, diharapkan pengelolaannya dilakukan secara terintegrasi yang melibatkan semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Andadari L. 2003. Pengenalan dan Penanganan Ulat Sutera. Hardjosworo PS, editor. Bogor: Departemen Pendidikan Nasional. Aryanti. 2003. Kualitas kokon ulat sutera

(Bombyx mori L.) dalam kuantitas pakan berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Melainkan juga kepada manusia untuk alam (lingkungan). Artinya, manusia dalam doktrin Islam tidak hanya diperintahkan berbaik-baikan dengan sesama manusia, tetapi

Artinya 12 siswa yang kategori kurang aktif tersebut dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) masih di suruh atau diarahkan guru. Sehingga saat tampil mereka terfokus

Islam tidak menyukai suatu bentuk untuk mengatur masyarakat atau suatu rencana untuk kebahagiaan masyarakat yang mengikat individu-individu secara yuridis dengan

Dan terakhir adalah uji akurasi yang hanya uji korelasi antara indeks lahan terbangun NDBI hasil pansharpening dengan informasi kerapatan lahan terbangun dilapangan yang

018.09.12 Program Penciptaan Teknologi dan Inovasi Pertanian Bio-Industri Berkelanjutan 1804 Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura. 533111 Belanja Modal Gedung

angka 3 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,

Senada dengan Tampubolon (2015:49) ― Scanning adalah membaca dengan cepat dan memusatkan perhatian untuk menemukan bagian bacaan yang berisi informasi fokus yang