• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK KETIDAKSANTUNAN PENGGUNAAN KATA SAPAAN DALAM BUKU AJAR BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BENTUK KETIDAKSANTUNAN PENGGUNAAN KATA SAPAAN DALAM BUKU AJAR BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BENTUK KETIDAKSANTUNAN PENGGUNAAN KATA SAPAAN

DALAM BUKU AJAR BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING

Laili Etika Rahmawati1, Yunus Sulistyono2, Siti Kholifatul Hasanah3, Anggraeni Dewi Sulistyowati4 Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Surakarta email: Laili.Rahmawati@ums.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk ketidaksantunan penggunaan kata sapaan dalam bahan ajar bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian pengembangan bahan ajar BIPA yang berorientasi kesantunan berbahasa. Secara umum penelitian ini dilaksanakan dengan metode penelitian pengembangan (R&D). Secara khusus penelitian ini dilaksanakan dalam tahap pendahuluan/ eksplorasi. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksplanatif. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah buku ajar BIPA yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Sahabatku

Indonesia tingkat A1, A2, B1, B2, C1, dan C2. Secara spesifik yang diteliti adalah ketidaksantunan

penggunaan kata sapaan. Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, penggunaan kata dia atau ia sebagai sapaan presiden dan/ atau orang yang dihormati. Kedua, penggunaan kata gue sebagai kata ganti aku, saya, dan kami. Ketiga, penggunaan kata kamu untuk orang yang baru dikenal dan penggunaan kata lu sebagai pengganti kata kamu.

Kata Kunci: ketidaksantunan, sapaan, buku ajar, BIPA

1. PENDAHULUAN

Bahasa merupakan cerminan kepribadian seseorang, bahkan bahasa merupakan cermin kepribadian bangsa. Maksud pernyataan tersebut adalah melalui bahasa yang digunakan, seseorang atau suatu bangsa akan diketahui tingkat kepribadiannya. Kualitas kepribadian seseorang atau sekelompok orang akan sulit diukur jika mereka tidak mengungkapkan pikiran atau perasaannya melalui tindak bahasa, baik verbal maupun nonverbal.

Pengajaran BIPA bukan sekadar menghasilkan pelajar yang mampu berbahasa Indonesia yang benar, tetapi juga sebagai wahana untuk memahami keadaan sosial masyarakat Indonesia (Ruskhan, 2007). Sesuai dengan pernyataan tersebut, Ulumuddin (2014:16) menyatakan bahwa pembelajaran BIPA hendaknya disertai dengan memberikan pengetahuan tentang karakter atau jati diri bangsa Indonesia. hal ini tercermin dalam penyusunan bahan ajar BIPA yang tidak terlepas

dari karakter bangsa Indonesia yang majemuk dan kaya sumberdaya alam dan kebudayaan.

Berbahasa santun dengan pemilihan kata-kata santun merupakan salah satu perwujudan sikap menghargai orang lain. Berbahasa santun hendaknya diajarkan kepada pembelajar bahasa Indonesia baik penutur asli bahasa Indonesia maupun penutur asing. Setelah dibelajarkan diharapkan pembelajar dapat menyerap materi dengan baik serta mampu mengaplikasikannya dalam perilaku berbahasa sehari-hari (Astuti, 2012:70-71).

Faktor penentu kesantunan berbahasa adalah segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Faktor penentu itu dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu (1) aspek kebahasaan, seperti intonasi, pilihan kata, gerak-gerik tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala, acungan jempol kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, panjang pendeknya struktur kalimat, ungkapan, dan gaya bahasa; (2) aspek nonkebahasaan, berupa pranata sosial budaya masyarakat dan pranata adat.

(2)

Dalam konteks komunikasi, khususnya dalam masyarakat Jawa, ihwal harkat dan martabat itu manifestasinya tertuang di dalam salah satu kata-kata bijak, ‘Ajining diri gumantung ana ing lathi!’. Harga diri

seseorang, sesungguhnya sangat ditentukan,

bahkan tergantung sekali pada ‘mulut’

seseorang. Orang yang bertutur dengan secara

santun, dalam arti bahwa orang tersebut selalu berhati-hati, selalu berusaha bersikap cermat dan penuh pertimbangan dalam memerantikan

‘mulut’, cenderung memiliki harkat-martabat

yang tinggi. Seseorang yang berbahasa secara santun, pada umumnya memiliki dua motivasi, yakni (a) motivasi untuk menjaga harkat dan martabat diri sendiri agar memiliki budi pekerti yang baik, (b) motivasi untuk menghormati orang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa kesantunan berbahasa itu dalam pandangannya juga memiliki dua dimensi, yakni dimensi penutur dan dimensi mitra tutur. Memang yang menjadi fokus dari orang bertutur santun lazimnya adalah motivasi jenis yang pertama itu, karena sesungguhnya penghargaan terhadap orang lain itu dapat hadir hanya karena orang mampu menjaga harkat dan martabat dirinya sendiri terlebih dahulu. Penghormatan terhadap orang lain menjadi semacam konsekuensi logis, kalau orang sudah dapat menjaga harga dirinya, menjaga harkat dan martabatnya, maka dengan sendirinya, dia akan dapat menghargai orang lain, dan sebagai dampaknya, orang lain akan menghargai dan menghormatinya pula.

Kesantunan berbahasa merupakan hal yang juga harus dipahami dan dikuasai oleh pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (BIPA). Bahan ajar BIPA yang digunakan sebagai media dan sumber belajar pembelajar BIPA hendaknya mempertimbangkan aspek kesantunan berbahasa dalam penyajiannya. Namun, faktanya bahan ajar BIPA masih berorientasi pada penguasaan tata bahasa dan kosakata dengan melepaskan konteks kesantunan berbahasa.

Buku Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing yang diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia menyajikan materi ajar BIPA dengan materi menyapa yang di dalamnya dijelaskan tentang daftar kata ganti sebagai berikut.

Kata Ganti Orang Pertama Kata Ganti Orang Kedua Kata Ganti Orang Ketiga Tunggal saya, aku

(-ku) kamu (-mu), Anda, Saudara dia, ia (-nya) Jamak kami, kita Saudara, kalian Mereka

Materi kata ganti yang disajikan dalam buku ajar tersebut belum operasional jika ditinjau dari segi penggunaan dengan mempertimbangkan kesantunan berbahasa. Misalnya, Anda dalam konteks menyapa dengan orang yang setara tidak menjadi masalah. Hal ini akan menjadi masalah jika penutur berkomunikasi dengan mitra tutur yang strata sosialnya berbeda (lebih tinggi).

Ketidaksantunan berbahasa akhir-akhir ini merupakan objek kajian yang diminati banyak orang. Seperti yang dikatakan oleh Rahardi (2013:24) bahwa hendaknya penelitian pragmatik segera beralih pada fenomena pragmatik yang lebih baru, yakni ketidaksantunan pragmatik dalam berbahasa (impoliteness in language). Mendukung pernyataan tersebut, Wahyudin (2013:309) mengatakan bahwa selama ada bahasa selama itu ketidaksantunan bahasa akan mengikuti karena bahasa hanya bisa diucapkan oleh manusia dan manusia merupakan makhluk yang memiliki selain pikiran, hati, dan perasaan, juga emosi. Emosi inilah yang seringkali menjadi penyebab terciptanya ketidaksantunan berbahasa dalam berbagai komunikasi.

Relevan dengan deskripsi latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk ketidaksantunan penggunaan kata sapaan dalam bahan ajar bahasa Indonesia untuk penutur asing yang diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan, Badan Pengembangan dan

(3)

Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berjudul Sahabatku

Indonesia tingkat A1, A2, B1, B2, C1, dan C2.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian pengembangan bahan ajar BIPA yang berorientasi kesantunan berbahasa. Secara umum penelitian ini dilaksanakan dengan metode penelitian pengembangan (R&D). Secara khusus penelitian ini dilaksanakan dalam tahap pendahuluan/ eksplorasi. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksplanatif. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah buku ajar BIPA yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Sahabatku Indonesia tingkat A1, A2, B1, B2,

C1, dan C2. Secara spesifik yang diteliti adalah ketidaksantunan penggunaan kata sapaan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk menegur sapa orang yang diajak berbicara (orang kedua) atau menggantikan nama orang ketiga. Ada beberapa contoh kata sapaan. (1) nama diri seperti Tono, Tika, Tata; (2) kata yang tergolong istilah kekerabatan, bapak, ibu, paman, bibi, adik, mas, aatau abang; (3) gelar kepangkatan, profesi, atau jabatan, seperti kapten, profesor, dokter, ketua, lurah, dan camat; (4) kata nama, seperti tuan, nyonya, nona, Tuhan, atau sayang; (5) kata nama pelaku, penonton, peserta, pendengar, atau hadirin; (6) kata ganti persona kedua Anda. Penggunaan kata sapaan sangat terkait dengan adat istiadat setempat, adat kesantunan, serta situasi dan kondisi percakapan yang berlaku tempat bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang. Namun, perlu diingat dalam hal ini adalah cara penulisan kata kekerabatan yang digunakan sebagai kata sapaan, yakni ditulis dengan huruf awal huruf kapital (badanbahasa.kemdikbud.go.id).

Dalam buku ajar BIPA Sahabatku Indonesia Tingkat A1, A2, B1, B2, C1, dan C2

dapat dideskripsikan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut. a. Penggunaan Kata Dia, Ia, atau Nama

Orang Data 1

Kenalkan, ini adalah Joko Widodo. Dia adalah Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Dia lahir di Surakarta, Jawa Tengah. Dia tinggal di Jakarta.

Data 2

Riri : “Hai Rina, apa kabar? sudah lama

sekali kita tidak bertemu?”

Rina: “Baik, Bagaimana dengan kamu?” Riri : “Aku juga baik, oh iya kemarin aku melihat Ayahmu, ia pergi ke arah laut, apa yang akan dikerjakannya?

Rina: “Oh, ayahku memang bekerja di laut, ia seorang nelayan. Kalau ayahmu bekerja di

mana?”

Riri : “Ayahku juga seorang nelayan.” Jika ayahku pulang ia selalu membawa banyak

ikan.”...

Kedua data di atas menunjukkan adanya penggunaan kata sapaan yang kurang santun jika dipertimbangkan dalam konteks komunikasi yang terjadi. Data pertama berisi tentang monolog yang mendeskripsikan biografi Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo). Sebagai Presiden Republik Indonesia, sosok yang dihormati hendaknya penggunaan kata ganti Dia diganti dengan kata ganti Beliau. Kata Beliau merupakan kata ganti orang yang dibicarakan (digunakan untuk menghormatinya. Data kedua sekalipun percakapan dilakukan dalam konteks komunikasi sehari-hari, namun penggunaan kata ia atau–nya sebagai kata ganti ayah dirasa kurang santun. Ayah sebagai kepala keluarga yang menafkahi keluarga hendaknya diposisikan sebagai sosok yang dihormati sehingga kata sapaan yang dipilih juga harus mempertimbangkan nilai kesantunan sebagai tanda penghormatan, seperti kata beliau atau ayahku.

b. Penggunaan kata Lu, Kamu, dan Anda Data 1

Santi: “Sarah, kenalkan, ini ______ saya. Hari.”

Sarah: “Selamat pagi, nama saya Sarah.” Hari: “Pagi. Nama saya Hari. Anda berasal dari mana?”

Sarah: “Saya dari Amerika.” Hari: “Apa kamu mahasiswa?” Sarah: “Ya, saya mahasiswa.”

(4)

Sarah: “Ya, mereka ada di Amerika.”

Data pertama menunjukkan adanya ketidaksantunan dalam percakapan perkenalan yang dilakukan. Dalam kalimat awal, Hari menyapa Sarah dengan kata Anda, namun pada dialog berikutnya Hari menyapa Sarah dengan kata kamu dan -mu. Kata Anda dan kata kamu sama-sama berkedudukan sebagai kata ganti orang kedua, namun jika ditinjau dari nilai rasa, kata Anda lebih baik jika digunakan untuk konteks perkenalan karena kata kamu bermakna yang diajak bicara, yang disapa (dalam ragam akrab atau kasar).

Data 2

A: “Hai, Apa kabar Anda hari ini?”

B:“_____________”

A: “Saya baik-baik saja. Bagaimana dengan Anda?”

Data 3

Salam Hormat,

Hai Andini. Apa kabar? Saya baik-baik saja. Semoga Anda juga baik-baik saja.

Data 4

Salam hormat,

Halo, Wawan. Apa ______? Saya baik. semoga Anda juga baik. Wan, selamat Hari Raya Idul Fitri! Mohon maaf lahir dan batin. Salam untuk keluarga Anda. Sampai _____

Data 2, 3, dan 4 tidak terlalu bermasalah dengan aspek ketidaksantunan berbahasa, tetapi lebih pada ketidakkonsistenan pemilihan kata yang digunakan dalam komunikasi yang dilakukan. Kata Hai dan Halo dalam konteks komunikasi di atas dapat dikatakan tidak relevan dengan kata Salam hormat dan kata Anda yang biasa digunakan dalam konteks formal dan menunjukkan adanya jarak antara penutur dan mitra tutur. Kata Halo yang diikuti dengan nama orang menunjukkan ketidakformalan komunikasi sehingga terlihat wajar.

Dalam kondisi seperti inilah yang menyebabkan pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing berasumsi bahwa semua kata ganti yang biasa digunakan untuk menyapa dapat digunakan dalam berbagai konteks tanpa mempertimbangkan unsur formal dan tidaknya komunikasi. Hal ini berdampak pada pemilihan kata yang tidak sesuai dengan konteks, khususnya adat istiadat budaya daerah tertentu yang sangat mengutamakan kesantunan

berbahasa sebagai perwujudan penghormatan kepada mitra tutur.

Data 5

Joni: “Eh lu tahu ga, ada promo besar-besaran di koran?”

Dul: “Gua tahu dari kemarin, pasti diskon

penjualan mobil besar-besaran di auto 2000.”

Joni: “Ah lu sok tahu, ini bukan mengenai mobil,

motor, atau rumah mewah, mana mungkin gua tertarik berita itu. Duit dari mana kita, buat beli

buku aja susah.”

Dul: “Ya ... siapa tahu lu browsing berita

tentang mobil hari ini, belinya lima tahun

kemudian.”

Joni: “Yaaaah .... 5 tahun kemudian baru lulus

kuliah, mana mungkin kaya mendadak emang nyokap lu mau mewarisi tanah di kawasan Serpong atau Alam Sutra. Kaya mendadak mana mungkinlah, bayar kuliah juga ngos-ngosan. Ini sih berita tentang diskon besar-besaran shampo penumbuh rambut, dari Rp100.000,00 jadi

Rp10.000,00.”

Dul: “Kenapa lu berbagi berita itu sama gua, lu sendiri yang ga punya rambut sejuwir pun.” Joni: “Siapa tahu, lu mau numbuhin rambut di perut.”

Dul: “Sialan lu.”

Data 5 menunjukkan adanya materi ajar BIPA yang sengaja dikembangkan dengan memasukkan bahasa cakapan yang biasa digunakan dalam situasi nonformal. Penggunakan kata-kata lu, gue, nyokap dan sialan seperti dalam dialog di atas perlu diwaspadai karena bisa jadi pengenalan jenis bahasa seperti ini dapat berdampak negatif pada perkembangan pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing khususnya berkaitan dengan citra bahasa Indonesia yang berkontribusi dalam pemertahanan jati diri bangsa.

Jika wacana seperti ini sengaja diperkenalkan, hendaknya pada awal materi diberikan deskripsi bahwa bentuk komunikasi seperti wacana tersebut termasuk dalam kategori bahasa yang tidak santun sehingga penutur bahasa Indonesia sebagai bahasa asing mengetahui risiko-risiko yang akan terjadi jika menggunakan kosakata tersebut dalam komunikasi sehari-hari. ada baknya jika materi dilengkapi dengan penggunaan bahasa yang lebih santun dalam bagian yang tidak

(5)

terpisahkan sehingga bentuk santun percakapan yang dilakukan dapat menjadi alternatif perbaikan penggunaan bahasa tersebut.

c. Penggunaan Kata Gua, Aku, Saya, dan Kami

Data 1

Joni: “Eh lu tahu ga, ada promo besar-besaran di koran?”

Dul: “Gua tahu dari kemarin, pasti diskon

penjualan mobil besar-besaran di auto 2000.”

Joni: “Ah lu sok tahu, ini bukan mengenai mobil,

motor, atau rumah mewah, mana mungkin gua tertarik berita itu. Duit dari mana kita, buat beli

buku aja susah.”

Dul: “Ya ... siapa tahu lu browsing berita

tentang mobil hari ini, belinya lima tahun

kemudian.”

Joni: “Yaaaah .... 5 tahun kemudian baru lulus

kuliah, mana mungkin kaya mendadak emang nyokap lu mau mewarisi tanah di kawasan Serpong atau Alam Sutra. Kaya mendadak mana mungkinlah, bayar kuliah juga ngos-ngosan. Ini sih berita tentang diskon besar-besaran shampo penumbuh rambut, dari Rp100.000,00 jadi

Rp10.000,00.”

Dul: “Kenapa lu berbagi berita itu sama gua, lu sendiri yang ga punya rambut sejuwir pun.” Joni: “Siapa tahu, lu mau numbuhin rambut di perut.”

Dul: “Sialan lu.” Data 2

Nida: “Rika baju kamu indah sekali!” Rika: “Terima kasih.”

Nida: “Wah, merek terkenal juga ya? Berapa harganya? Pasti sangat mahal.”

Rika: “Aku membelinya dengan harga Rp172.500,00.”

Nida: “Ah, tidak mungkin! Aku tidak percaya.” Data 3

Hormat saya, ttd Budi Syamsudin, S.E. Data 4

Hormat kami, Manajer Pemasaran PT Bersih Cemerlang

Keempat data tersebut menunjukkan adanya tingkatan nilai rasa dalam penggunaan kata ganti orang pertama. Kata ganti gua merupakan kata ganti orang pertama yang menduduki tingkatan paling tidak santun. Kata ganti aku lebih sering digunakan dalam komunikasi nonformal dengan teman akrab sehingga jika kata ganti aku digunakan dalam konteks komunikasi formal tidak sesuai. Kata saya digunakan dalam situasi nonformal yang kurang akrab dan situasi formal seperti dalam data 3, yaitu dalam konteks surat lamaran pekerjaan. Kata ganti kami digunakan dalam situasi formal, biasanya berkaitan dengan kelembagaan, misalnya dalam surat penawaran perusahaan. Namun, dalam perkembangannya, kata kami yang secara gramatikal dimaknai sebagai kata ganti orang pertama jamak biasa juga digunakan sebagai kata ganti orang pertama tunggal dengan pertimbangan unsur kesantunan berbahasa.

Penggunaan kata gue, aku, saya, dan kami sangat efektif jika diajarkan secara komprehensif (tidak terpisah-pisah) sehingga pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dapat membedakan secara jelas penggunaan kata-kata tersebut. Pembelajar BIPA sejak awal harus dikenalkan perbedaan penggunaan kata dengan mempertimbangkan unsur kesantunan berbahasa agar bahasa Indonesia yang dipelajari memiliki martabat ketika digunakan oleh orang asing.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, penggunaan kata dia atau ia sebagai sapaan presiden dan/ atau orang yang dihormati. Kedua, penggunaan kata gue sebagai kata ganti aku, saya, dan kami. Ketiga, penggunaan kata kamu untuk orang yang baru dikenal dan penggunaan kata lu sebagai pengganti kata kamu.

5. REFERENSI

Astuti Th., Prima Krist. 2012. “Perbedaan

Tingkat Kesantunan Berbahasa Aspek Berbicara dan Menulis Hasil Belajar

(6)

Menggunakan Buku Ajar Santun Berbahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia (BSE) pada Siswa Kelas VII SMP dengan Model Pertemuan Kelas.

Seloka 1(1) 69-78.

badanbahasa.kemdikbud.go.id

Rahardi, Kunjana. 2013. “Kontras ‘Goffmanian View of Politeness’ dan ‘Gricean View of Politeness’ dan Implikasinya pada

Studi Kesantunan Pragmatik Bahasa

Indonesia” dalam Kesantunan

Berbahasa dalam Berbagai Perspektif.

Surakarta: Magister Pengkajian Bahasa UMS.

Ruskhan, Abdul Gaffar. 2007. “Pemanfaatan

Keberagaman Budaya Indonesia dalam Pengajaran Bahasa Indonesia bagi

Penutur Asing (BIPA)”. Makalah

disajikan dalam Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan Asosiasi Jepang-Indonesia.

Ulumuddin, Arisul dan Wismanto, Agus.

“Bahan Ajar Bahasa Indonesia Ranah

Sosial Budaya bagi Penutur Asing

(BIPA)”. Jurnal Sasindo 2(1) 15-35. Vale, D. Scarino dan Mckay, P. 1991. “The

Eight Principlrs of Language Learning”.

Pocket All: A User Guide to the Teaching of Languages and ESL.

Carlton: Curriculum Corporation.

Wahyudin, Ahmad. 2013. “Menyikapi

Ketidaksantunan Bahasa di Media

Massa Cetak” dalam Kesantunan Berbahasa dalam Berbagai Perspektif.

Surakarta: Magister Pengkajian Bahasa UMS.

Referensi

Dokumen terkait

Tumis bawang putih sampai harum, lalu masukan kuning telur asin yang sudah dihancurkan, aduk sampai.. berbusa, lalu masukan cabe rawit dan daun bawang, aduk

Semoga buku ini memberi manfaat yang besar bagi para mahasiswa, sejarawan dan pemerhati yang sedang mendalami sejarah bangsa Cina, terutama periode Klasik.. Konsep

Kata kunci: metode inkuiri, metode inkuiri terbimbing, prestasi belajar, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kritis kategori kognitif, mata pelajaran

Penelitian ini berujuan untuk menguji pengaruh variabel diferensiasi produk, citra merek dan preferensi merek terhadap keputusan pembelian sepeda motor matic Yamaha Mio di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh anak slow learner pada bidang musik dan mendeskripsikan proses kegiatan bermain keyboard

Muamalah merupakan hubungan kepentingan sesama manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Muamalah dapat ditempuh dengan cara jual beli, sewa- menyewa, tukar-menukar,

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui penerapan model pembelajaran Problem Based Instruction , (2) Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan hasil belajar

Akad Wakalah : Akad wakalah tertanggal 1 Mei 2007, yang dibuat dibawah tangan, bermaterai cukup, berikut segala perubahan dan penambahannya dimana Perseroan bertindak sebagai