• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Gambaran Umum

Berkembangnya bisnis ritel modern/besar sebagai perwujudan perubahan gaya hidup masyarakat, khususnya di kota – kota besar sudah mulai tampak pertumbuhannya. Kehadiran bisnis ritel atau eceran modern semacam hypermarket, supermarket, minimarket, department store, swalayan serta pusat grosir atau kulakan memang tak terelakkan sebagai bagian dari kemajuan dan perkembangan ekonomi global.

Menurut Soliha (2008) terdapat 5 tahapan perkembangan industri ritel, seperti terlihat di bawah ini:

1) Era sebelum tahun 1960 an: era perkembangan ritel tradisional yang terdiri atas pedagangpedagang independen.

2) Tahun 1960 an: Era perkenalan ritel modern dengan format departement store ditandai denga dibukanya gerai ritel pertama Sarinah di Jl. MH. Thamrin Jakarta.

3) Tahun 1970-1980 an: Era perkembangan ritel modern dengan format supermarket dan departement store, ditandai dengan hadirnya peritel modern sepert Matahari, Hero, dan Ramayana.

4) Tahun 1990 an: Era perkembangan convenient store, yang ditandai dengan maraknya pertumbuhan minimarket seperti Indomaret.

5) Tahun 2000-2010: Era perkembangan hypermarket dan perkenalan e-retailing. Era ini ditandai dengan hadirnya Carrefour.

Perkembangan yang dialami bisnis ritel, dalam perjalanannya bukannya tanpa menimbulkan masalah sama sekali. Banyaknya pemain dalam bisnis ritel membuat persaingan menjadi sangat ketat.Peritel besar, terutama perusahaan asing, semakin gencar melakukan ekspansi bisnisnya di Indonesia.Peritel modern kecil

(2)

2

dan peritel tradisional menjadi pihak yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.

Berbagai definisi dan pengertian bisnis ritel atau perdagangan eceran telah dibuat oleh para ahli manajemen dan bisnis, satu diantaranya yaitu “ritel atau penjualan eceran meliputi semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang atau jasa secara langsung pada konsumen akhir untuk penggunaaan pribadi dan bukan bisnis.”(Philip Kotler,1995; dalam Kasmiruddin,2013).

Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), bisnis ritel atau usaha eceran di Indonesia mulai berkembang pada kisaran tahun 1980 an seiring dengan mulai dikembangkannya perekonomian Indonesia. Hal ini timbul sebagai akibat dari pertumbuhan yang terjadi pada masyarakat kelas menengah, yang menyebabkan timbulnya permintaan terhadap supermarket dan departement store (convenience store) di wilayah perkotaan.

Bisnis ritel atau disebut juga perdagangan eceran secara umum bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu perdagangan eceran besar dan perdagangan eceran kecil.Perdagangan eceran kecil terdiri atas eceran kecil berpangkalan dan eceran kecil tidak berpangkalan. Secara skema pembagian tersebut bisa digambarkan sebagai berikut (Sopiah dan Syihabudhin, 2008:38):

Gambar 1.1 Klasifikasi Bisnis Ritel (Sumber: Sopiah&Syihabudhin, 2008:38)

(3)

3

Perpres No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, memberikan batasan pasar tradisional dan toko modern dalam pasal 1 sebagai berikut:

1) Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.

2) Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan.

Batasan Toko Modern dipertegas di pasal 3, dalam hal luas lantai penjualan sebagai berikut: a) Minimarket, kurang dari 400 m2 (empat ratus meter per segi); b) Supermarket, 400 m2 (empat ratus meter per segi) sampai dengan 5.000 m2 (lima ribu meter per segi); c) Hypermarket, diatas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi); d) Department Store, diatas 400 m2 (empat ratus meter per segi); e) Perkulakan, diatas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi).

1.2 Latar Belakang

Perkembangan bisnis retail modern di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ternyata sudah fenomenal di Asia, khususnya di antara negara berkembang. Indonesia tercatat menempati peringkat ketiga pasar retail terbaik di Asia. Kondisi seperti ini mengharuskan setiap perusahaan yang bergerak dibidang ritel untuk senantiasa melakukan berbagai strategi agar dapat merebut hati konsumen. Sebab meskipun produk yang ditawarkan lengkap dan bervariasi, bila konsumen tidak merasa puas dengan pelayanan, harga, dan fasilitas yang ditawarkan maka konsumen akan beralih kepada pesaing. Kepuasan atau kesenangan yang tinggi

(4)

4

akan menyebabkan konsumen berperilaku positif, terjadinya kelekatan emosional terhadap merek, dan juga preferensi rasional sehingga hasilnya adalah kesetiaan (loyalitas) konsumen yang tinggi (Pasaribu dan Sembiring, 2013).

Dari paparan hasil survei Nielsen, pertumbuhan perdagangan di pasar modern tumbuh jauh lebih pesat ketimbang perdagangan tradisional. Dalam triwulan pertama 2009, perdagangan modern tumbuh hingga 13,4 persen atau jauh melampaui pertumbuhan perdagangan tradisional yang hanya 4,1 persen. Untuk perdagangan grosir, lndonesia masih menunjukkan pertumbuhan dari tahun ke tahun yang positif yaitu 7,4 persen sampai dengan April 2009. Survei Nielsen ini dilakukan terhadap 2.800 rumah tangga di perkotaan dan 1.600 rumah tangga di pedesaan yang tersebar di Jakarta, Botabek, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, dan rural Jawa (Angga, A., 2009).

Seiring dengan pesatnya perkembangan usaha ritel ini, maka persaingan di bidang pemasaran ritel atau eceran pun semakin meningkat. Dalam periode enam tahun terakhir, dari tahun 2007–2012, jumlah gerai ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 17,57% per tahun. Pada tahun 2007, jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebanyak 10.365 gerai, kemudian pada tahun 2011 mencapai 18.152 gerai tersebar di hampir seluruh kota di Indonesia. Pertumbuhan jumlah gerai tersebut tentu saja diikuti dengan pertumbuhan penjualan.Menurut Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo), pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia antara 10%–15% per tahun.Penjualan ritel pada tahun 2006 masih sebesar Rp49 triliun, dan melesat hingga mencapai Rp120 triliun pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012, pertumbuhan ritel diperkirakan masih sama, yaitu 10%–15%, atau mencapai Rp138 triliun (Apipudin, 2013).Index Pembangunan Ritel Global (GRDI) yang dirilis oleh AT Kearney, pada tahun 2015 Indonesia berada di peringkat 12 dunia.AT Kearney mencatat pasar ritel di Indonesia saat ini mencapai USD326 miliar atau senilai Rp4.306 triliun (Dahwilani, 2015).

Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa dengan total konsumsi sekitar Rp3.600-an triliun merupakan pasar potensial bagi bisnis ritel

(5)

5

modern. Ini didukung oleh perilaku berbelanja penduduk Indonesia yang sudah mulai bergeser, dari berbelanja di pasar tradisional menuju ritel modern.Masuknya ritel asing di Indonesia erat kaitannya dengan Keputusan Presiden No. 118/2000 yang berisi tentang penghapusan bisnis ritel dari negative list bagi penanaman modal asing. Ketua Umum APRINDO berpendapat bahwa Indonesia adalah target sasaran yang menarik bagi peritel karena daya beli masyarakatnya semakin menguat (Apipudin, 2013).

Sebagai kota besar yang terus berkembang, laju pertumbuhan perekonomian serta perubahan teknologi dan arus informasinya pun semakin cepat. Salah satunya ialah Kota Bandung.Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong terciptanya persaingan ketat di dalam dunia bisnis.Persaingan di sektor ritel di Kota Bandung kian ketat ditandai dengan ekspansi perusahaan ritel modern (Sirojul, 2010).Kehadiran gerai – gerai baru membuat konsumen memiliki pilihan toko dan produk yang semakin banyak. Namun di sisi lain, kehadiran gerai baru otomatis akan menambah ketat persaingan usaha di bidang ritel.Selama ini, banyak investor yang melirik pusat Kota Bandung.

Pada penelitian ini ada tiga klasifikasi yang menjadi objek penelitian, yaitu: hypermarket, supermarket, dan minimarket.

Persaingan di sektor ritel modern di Kota Bandung, khususnya toko modern seperti hypermarket, supermarket, dan minimarket, masih cukup besar. Digambarkan dalam survei yang dilakukan oleh Dinas Koperasi, UKM & Perindustrian Perdagangan Kota Bandung pada tahun 2013, sebagaimana terlihat dalam tabel 1.1 di bawah ini.

(6)

6

Tabel 1.1 Jumlah Ritel Modern di Kota Bandung 2013

Jenis Toko Modern Jumlah

Hypermarket 12

Supermarket 45

Minimarket 615

Sumber : Dinas Koperasi, UKM & Perindag Bandung tahun 2013

Pada tabel 1.1 menunjukan bahwa persaingan pada jenis ritel modern minimarket mengalami persaingan yang paling besar dalam jumlah gerai sebanyak 615 gerai. Hypermarket yang merupakan format bisnis ritel yang paling besar, hanya berjumlah 12 gerai pada tahun 2013.Menurut survei yang dilakukan peneliti, jumlah tersebut tidak berubah dari tahun 2013 – 2015.

Tabel 1.2 Data Toko Modern Hypermarket di Kota Bandung Tahun 2013

Toko Modern Jumlah

Giant 6

Hypermart 3

Lotte Mart 1

Carrefour 2

Sumber : Dinas Koperasi, UKM & Perindag Bandung tahun 2013 Tabel 1.3 Data Toko Modern Supermarket di Kota Bandung Tahun 2013

Toko Modern Jumlah

Superindo 6

Borma 13

Griya/Yogya 26

(7)

7

Tabel 1.4 Data Toko Modern Minimarket di Kota Bandung Tahun 2013

Toko Modern Jumlah

Indomaret 184 Alfamart 247 Circle K 47 Yomart 61 SB Mart 27 Dan Lain-lain 49

Sumber : Dinas Koperasi, UKM & Perindag Bandung tahun 2013

Jika dijabarkan dalam konteks yang lebih kecil berdasarkan data toko modern hypermarket pada tabel 1.2, dapat dilihat bahwa Giant mendominasi jenis hypermarket di Kota Bandung, dengan jumlah gerai masing – masing sebanyak 6 gerai (Giant), 3 gerai (Hypermart), 1 gerai (Lotte Mart), 2 gerai (Carrefour). Pada tabel 1.3, Griya/Yogya mendominasi jenis supermarket, dengan jumlah gerai sebanyak 26 gerai, dibanding kompetitornya 6 gerai (Superindo) dan 13 gerai (Borma). Sedangkan jenis minimarket pada tabel 1.4, dapat dilihat bahwa Alfamart mendominasi dengan jumlah gerai sebanyak 247 gerai.

Kondisi persaingan dalam dunia bisnis menuntut setiap pengusaha untuk mampu bersaing dan bertahan melawan pesaing. Banyaknya perusahaan yang berlomba untuk mendapatkan konsumen menjadikan kondisi kompetisi antar perusahaan berlangsung semakin ketat.Store atmosphere bisa menjadi alasan lebih bagi konsumen untuk tertarik dan memilih dimana ia akan berkunjung dan membeli.

Store atmosphere adalah suatu karakteristik fisik dan sangat penting bagi setiap bisnis ritel hal ini berperan sebagai penciptaan suasana yang nyaman untuk konsumen dan membuat konsumen ingin berlama-lama berada di dalam toko dan secara tidak langsung merangsang konsumen untuk melakukan pembelian (Nofiawaty dan Yuliandi, 2014).

(8)

8

Ada beberapa definisi mengenai store atmosphere, satu diantaranya yaitu “Atmospherics berarti mendesain lingkungan melalui komunikasi visual, pencahayaan, warna, musik, dan wangiwangian untuk merancang respon emosional dan persepsi pelanggan dan untuk memengaruhi pelanggan membeli barang.”(Utami,2005:138;dalam Melisa,2012). Atmosphere mampu mempengaruhi kenikmatan konsumen dalam berbelanja, dan mampu menciptakan pengalaman berbelanja yang nyaman dan menyenangkan.

Menurut Levy & Weits (2007:434,510) yang telah diterjemahkan dalam Sari et al. (2014) suasana toko (store atmosphere) adalah kombinasi karakteristik fisik toko seperti, arsitektur, tata ruang, papan tanda dan pajangan, pewarnaan, pencahayaan, suhu udara, suara dan aroma, dimana semua itu bekerja bersama-sama untuk menciptakan citra perusahaan di dalam benak pelanggan. Atmosfer toko juga berhubungan dengan kegiatan mendesain suatu lingkungan melalui komunikasi visual, pencahayaan, warna, musik dan penciuman untuk merangsang persepsi dan emosi dari pelanggan dan pada akhirnya untuk mempengaruhi perilaku pembelian mereka.

Atmosfer toko bisa dibangun melalui lima alat indera manusia, yaitu mata, telinga, hidung, alat untuk menyentuh (tangan/kulit), dan lidah (untuk rasa) (Sopiah dan Syihabudhin, 2008). Interior dan eksterior toko dengan desain dan penggunaan warna yang serasi, serta permainan lampu yang apik bisa menstimulus mata pengunjung toko.Penggunaan wangi – wangian yang cocok bisa dirasakan pengunjung sebagai atmosfer yang menyenangkan. Musik yang cocok dengan suasana dan selera pengunjung akan memanjakan pengunjung toko. Pengunjung toko akan merasa lebih betah di dalam toko. Konsumen lebih menyukai toko yang memberikan kesempatan seluas – luasnya kepada pengunjung toko untuk tidak sekedar melihat – lihat barang yang ada di toko saja, tetapi juga menyentuh barang – barang yang ada di toko. Dengan begitu, konsumen akan merasa lebih puas. Konsumen akan merasa lebih puas lagi jika diberi kesempatan untuk mencicipi (jika yang dijual berupa makanan atau minuman) atau diizinkan mencoba pakaian sebelum membeli.

(9)

9

Atas dasar penjabaran pemikiran diataslah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada bisnis ritel modern seperti Giant, Griya/Yogya, Alfamart dengan judul “Analisis Faktor – Faktor Store Atmosphere Dan Pengaruhnya Terhadap Kepuasan Konsumen Pada Bisnis Ritel Modern Di Kota Bandung”.

1.3 Perumusan Masalah

Seiring dengan pesatnya perkembangan usaha ritel modern di Indonesia, maka persaingan di bidang pemasaran ritel atau eceran pun semakin meningkat.Bandung sebagai salah satu kota besar yang terus berkembang, laju pertumbuhan perekonomian serta perubahan teknologi dan arus informasinya yang cepat, membuat persaingan bisnis ritel modern di Bandung menjadi semakin besar. Berkembangnya bisnis ritelmodern dan bertambahnya jenis usaha yang serupa, membuat pelanggan dapat memilih berdasarkan kualitas pelayanan, lokasi, dan brand yang dimiliki ritel modern tersebut.Untuk itu para pengusaha bisnis ritelmodern meningkatkan pelayanan untuk menjaga kepuasan pelanggannya. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas store atmosphere di dalam maupun diluar toko.

Faktor – faktor store atmosphere yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih toko modern di Kota Bandung belum dipahami secara baik. Beberapa studi terdahulu yang terkait dengan masalah ini tidak diperhatikan karena skope penelitian yang terbatas dan faktor – faktor yang menjadi pertimbangan konsumen memilih toko ritel modern belum bisa dipastikan.

1.4 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti mengemukakan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1) Bagaimana tanggapan responden terhadap kondisi store atmosphere dan kepuasan konsumen pada bisnis ritel modern di Kota Bandung? 2) Apa sajakah faktor – faktor Store Atmosphere pada bisnis ritel

(10)

10

3) Seberapa besar pengaruh faktor – faktor store atmosphere terhadap kepuasan konsumen pada bisnis ritel modern di Kota Bandung? 1.5 Tujuan Penelitian

Maksud peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data, mengolah, menganalisis serta menginterpretasikan data sebagai informasi yang dibutuhkan guna menyusun skripsi yang merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana pada fakultas ekonomi bisnis jurusan manajemen di Universitas Telkom. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Untuk mempelajari tanggapan responden terhadap kondisi Store Atmosphere dan kepuasan konsumen pada bisnis ritel modern di Kota Bandung.

2) Untuk mengetahui faktor – faktor Store Atmosphere pada bisnis ritel modern di Kota Bandung.

3) Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh faktor – faktor store atmosphere terhadap kepuasan konsumen pada bisnis ritel modern di Kota Bandung.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Aspek Teoritis (Keilmuan)

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu di bidang pemasaran khususnya mengenai store atmosphere, sehingga dari hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan tentang pemasaran yang baik.

1.6.2 Aspek Praktis (Guna Laksana)

Manfaat yang dapat dicapai dari penerapan pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan informasi bagi setiap wirausahawan tentang pentingnya pemasaran dan cara

(11)

11

mengelola store atmosphere demi meningkatkan dan menjaga kepuasan konsumen.

1.7 Ruang Lingkup Penelitian

1.7.1 Lokasi dan Objek Penelitian

Lokasi penelitian : Ritel modern (Giant, Griya/Yogya, Alfamart) di Kota Bandung

Objek penelitian : Konsumen ritel modern (Giant, Griya/Yogya, Alfamart) di Kota Bandung

1.7.2 Waktu dan Periode Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini adalah : Januari 2016 – Juni 2016

1.8 Sistematika Penulisan Bab 1

Dalam penulisan bab 1 terdiri dari gambaran umum objek penelitian, latar belakang penelitian, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, serta sistematika penelitian.

Bab 2

Dalam penulisan bab 2 terdiri dari tinjauan pustaka penelitian (rangkuman teori;penelitian terdahulu), kerangka pemikiran, dan hipotesis penelitian.

Bab 3

Dalam penulisan bab 3 terdiri dari karakteristik penelitian, alat pengumpulan data, tahapan penelitian, populasi dan sampel, pengumpulan data dan sumber data, validitas, serta teknik analisis data dan pengujian hipotesis.

(12)

12 Bab 4

Dalam penulisan bab 4 hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan secara kronologis dan sistematis sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan masalah.

Bab 5

Dalam penulisan bab 5 disajikan penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil analisis temuan penelitian yang disajikan dalam bentuk kesimpulan penelitian. Dan saran yang dirumuskan secara konkrit yang merupakan implikasi kesimpulan dan berhubungan dengan masalah serta alternatif pemecahan masalah.

Gambar

Gambar 1.1 Klasifikasi Bisnis Ritel  (Sumber: Sopiah&Syihabudhin, 2008:38)
Tabel 1.2 Data Toko Modern Hypermarket di Kota Bandung Tahun 2013
Tabel 1.4 Data Toko Modern Minimarket di Kota Bandung Tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah usaha mikro menjadi jenis usaha yang paling antusias dalam mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Dinas

Memperhatikan hasil pekerjaan siswa pada tahapan melaksanakan pemecahan masalah yaitu pada indikator menggunakan model matematika, siswa menggunakan model

Dalam sisi sistem informasi yang dibutuhkan oleh salesman untuk mengambil keputusan adalah salesman dapat mengambil keputusan mengenai harga produk yang diberikan

Remaja berusia 13-18 tahun yang memiliki saudara kandung Down Syndrome di POTADS Bandung menggunakan strategi koping stres positive reappraisal lebih

Rencana Kerja Tahun 2014 Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Bumbu merupakan penjabaran dari visi, misi, program, dan kegiatan dalam bentuk rencana yang berorientasi pada

[r]

Skripsi yang berjudul: Pemilihan Media Pembelajaran Matematika Oleh Guru Kelas IV di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 4 Banjar Sungai Lulut.. Febrianawati

Hasil penilaian responden terhadap aspek penilaian mengenai alat peraga modul Interkoneksi Mikroprosesor dengan I/O yaitu ketahanan alat peraga, keakuratan