Penguatan Kapasitas Kelembagaan Melalui Kebijakan
Insentif Anggaran Program DMO Kemenpar Terhadap
Forum Tata Kelola Pariwisata di Kawasan Destinasi.
-‐ Benjamin Abdurahman – benrahman@yahoo.com
Latarbelakang
Aspek kelembagaan dalam konteks tata kelola destinasi merupakan salah satu komponen penting yang mempengaruhi kekuatan daya saing kawasan destinasi, disamping aspek regulasi/kebijakan dan perencanaan/konseptual. Ketiga kapasitas tersebut saling terkait dan merupakan landasan pencapaian kekuatan daya saing kawasan destinasi pariwisata.
Yang dimaksud dengan aspek kelembagaan disini adalah bukan semata-‐mata dalam konteks institusional, namun juga termasuk individual. Oleh sebab itu -‐ selain secara institusional – penguatan kapasitas melalui optimalisasi pemberdayaan SDM untuk dapat menjadi motor kegiatan kepariwisataan juga menjadi salah satu sasaran upaya penguatan kelembagaan di kawasan destinasi. Selanjutnya, aspek penganggaran merupakan unsur yang melekat pada tema pembahasan kelembagaan. Soliditas penganggaran dimaklumi menjadi salah satu kunci sukses pelaksanaan tata kelola pembangunan, termasuk dalam konteks pariwisata.
Saat ini Program Destination Management Organization (DMO) yang dirintis oleh Kemenpar sejak 2011 telah memiliki 25 kawasan binaan yang tersebar dari Aceh (Sabang) hingga Papua (Raja Ampat). Dalam perjalanannya, terjadi transformasi dan peningkatan (scalling up) kelembagaan dari pemberdayaan Kelompok Kerja Lokal (KKLP) yang juga dikenal dengan Local Working Group
(LWG) ke dalam bentuk Forum Tata Kelola Pariwisata (FTKP). Proses penguatan
kelembagaan ini membutuhkan terobosan kebijakan strategis dari pusat -‐ khususnya Kemenpar melalui Asdep Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyarakat.
FTKP dapat dipahami sebagai platform komunikasi multi-‐stakeholder pembangunan kepariwisataan di kawasan destinasi. Artinya, FTKP sebagai
interface sekaligus katalisator dalam praktek komunikasi, kerjasama dan
koordinasi pembangunan kepariwisataan yang melibatkan unsur publik, swasta dan masyarakat merupakan salah satu media strategis untuk Kemenpar (dan bahkan untuk K/L lainnya di pusat dan SKPD terkait di daerah) dalam menjalankan tupoksinya. Hal ini dikuatkan dengan kenyataan pembangunan, bahwa pariwisata tidak dapat berdiri sendiri dan sangat tergantung pada
sinergitas, harmonisasi dan sinkronisasi pembangunan yang bersifat lintas-‐
sektor dan pelaku. Oleh sebab itu -‐ secara internal – Kemenpar dapat melihat FTKP sebagai alat (instrumen) untuk memperoleh komitmen lintas pemangku kepentingan dalam rangka mencapai target pembangunan kepariwisataan sesuai tupoksi. Hambatan koordinasi yang menjadi isu klasik dalam praktek
pengelolaan struktural pemerintahan dengan demikian dapat terbantu dengan
pemanfaatan kerjasama yang saling menguntungkan (win-‐win position) secara multi-‐pihak.
Dinamika transformasi kelembagaan di daerah yang ditandai dengan inisiasi pembentukan FTKP di kawasan destinasi membutuhkan upaya penguatan yang serius dari aspek kebijakan, khususnya dalam konteks penganggaran. Hal ini perlu dibahas mengingat setiap wilayah program memiliki karakteristik dan kesiapan pengembangan yang berbeda-‐beda.
Landasan hukum
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi1) Kementerian Pariwisata, yaitu
a.l. untuk melakukan
-‐ ‘perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pengembangan destinasi dan industri pariwisata, pengembangan pemasaran pariwisata
mancanegara, pengembangan pemasaran pariwisata nusantara, dan
-‐ pengembangan kelembagaan kepariwisataan; dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan dan perintisan daya tarik wisata dalam
rangka pertumbuhan destinasi pariwisata nasional dan pengembangan daerah serta peningkatan kualitas dan daya saing pariwisata;
Dari pedoman diatas ditegaskan, bahwa Kemenpar berkewajiban merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang pengembangan destinasi berikut kelembagaan serta pelaksanaan kebijakan dalam rangka pencapaian daya saing pariwisata.
Dalam Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenpar dijelaskan bahwa Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyarakat mempunyai tugas a.l. penyiapan perumusan, koordinasi dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata kelola destinasi pariwisata (prioritas dan khusus), internalisasi dan pengembangan sadar wisata serta pengembangan potensi masyarakat.
Berdasarkan acuan peraturan diatas, maka pembahasan aspek kelembagaan tata kelola destinasi (berikut aspek penganggarannya) dalam rangka pencapaian daya saing pariwisata di kawasan program DMO menjadi relevan.
Urgensi Kebijakan: Insentif & Disinsentif
Salah satu upaya penguatan kapasitas kelembagaan sesuai tupoksi Kemenpar, khususnya melalui Deputi Tata Kelola Destinasi dan Industri Pariwisata adalah menyiapkan rumusan kebijakan seperti yang telah diuraikan di halaman sebelumnya. Artinya, memastikan keberlanjutan tata kelola pariwisata di kawasan destinasi melalui berbagai pola, seperti insentif dan disinsentif perlu menjadi pertimbangan kedepan. Insentif yang dimaksud disini adalah perolehan benefit sebagai intervensi pusat untuk memobilisasi dan mengaktifkan komitmen para pemangku kepentingan di daerah dalam melakukan pembangunan kepariwisataan. Sedangkan yang dimaksud dengan disinsentif disini adalah hilangnya peluang perolehan benefit (lost opportunity) karena tidak melakukan pemberdayaan secara kolaboratif dalam pembangunan kepariwisataan.
Keberadaan FTKP merupakan salah satu indikator penguatan kapasitas kelembagaan untuk tata kelola pariwisata yang berkelanjutan di kawasan destinasi. Oleh sebab itu, dukungan terhadap inisiasi pembentukan dan keberlanjutan FTKP perlu mendapat perhatian khusus dari Program DMO. Dukungan Kemenpar berupa insentif penganggaran kepada FTKP diharapkan dapat memacu optimalisasi peran dan fungsinya.
Insentif Anggaran untuk FTKP
Sesungguhnya terpilihnya sebuah kawasan sebagai salah satu wilayah program DMO merupakan salah satu bentuk insentif untuk daerah yang terpilih. Intervensi pusat berupa program DMO ke masing-‐masing kawasan destinasi di daerah dapat dipandang sebagai investasi pusat (publik) yang masuk ke daerah. Dengan masuknya investasi dari pusat berarti terjadi aliran modal, kegiatan dan
tenaga terampil yang sangat dibutuhkan oleh daerah untuk pembangunan. Dari
aspek kegiatan dan tenaga terampil, daerah telah menerima berbagai kegiatan
fasilitasi, konsultasi dan advokasi termasuk penguatan kapasitas SDM yang
dipayungi oleh program DMO. Namun bagaimana dengan perolehan benefit melalui aliran modal secara langsung untuk daerah?
Saat ini anggaran program sepenuhnya dikelola oleh Kementerian Pariwisata c.q. Sekretariat Program DMO. Hal ini wajar dan legitim dilakukan mengingat tanggung jawab program yang mengikat berlandaskan peraturan dan perundangan yang berlaku. Di sisi lain, secara teknis – penyaluran anggaran ke daerah memiliki aturan mekanisme yang juga telah diatur oleh peraturan dan perundangan. Kesimpulannya, aliran modal ke daerah –saat ini-‐ masih sepenuhnya dikelola oleh pusat sebagai pengelola program.
Sebelum terbentuknya FTKP – praktis belum ada wadah yang telah dilegitimasi oleh pemerintah daerah dalam produk regulasi/kebijakan daerah (misalnya dalam bentuk Perda, Perwal, Perbup yang diikuti dengan SK Gubernur/Walikota/Bupati). Namun setelah terbentuknya FTKP, maka peluang perolehan dukungan anggaran sebagai insentif dari pusat menjadi terbuka.
Dengan demikian aliran dana (baca: anggaran program DMO) dari pengelolaan pusat dapat sebagian dialihkan ke daerah.
Dukungan anggaran dalam konteks program DMO terhadap FTKP dapat dipandang sebagai wujud nyata intervensi pusat dalam rangka memperkuat kapasitas kelembagaan tata kelola pariwisata di daerah. Hal ini dibutuhkan untuk memperlihatkan manfaat langsung (direct benefit) yang dapat daerah terima apabila melakukan upaya penguatan tata kelola pariwisata sesuai dengan pendekatan DMO dan Destination Governance (DG).
Pengelolaan sejumlah dana sesuai konsep DMO oleh FTKP dapat menjadi pembelajaran penting dan ajang pengembangan potensi masyarakat untuk meraih fase kemandirian dalam tata kelola pariwisata di kawasan destinasi. Namun jangka waktu dukungan perlu dibatasi hingga tahapan kelembagaan tertentu dalam rangka mencapai kemandirian daerah. Selain itu beberapa persyaratan sebagai pra-‐kondisi pemberlakuan insentif anggaran kepada daerah untuk FTKP perlu dibuat sedemikian rupa untuk menjamin efektifitas pemberlakukan kebijakan ini.
Kekhawatiran Lahirnya ‘Proyek’ FTKP?
Salah satu kendala klasik pada masa lalu di daerah adalah memandang kegiatan dari pusat sebagai ‘proyek’ dengan perumpamaan ‘pemindahan mesin uang tarik tunai gratis’ ke daerah. Perlu dipahami, bahwa peran pusat dalam hal ini adalah mendorong inisiasi pembentukan sedangkan pemilik FTKP yang sesungguhnya adalah pemda dan para pemangku kepentingan lainnya di daerah. Dalam sosialisasi yang sudah dijalankan melalui proses pelaksanaan program DMO sejak 2011 diharapkan pemahaman tentang hal tersebut sudah cukup membumi. Pembentukan FTKP yang didukung melalui legitimasi Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah yang juga terkait dengan alokasi anggaran dari APBD cukup memperlihatkan aspek kepemilikan daerah. Selain itu alokasi anggaran dalam bentuk insentif cdari program DMO dipastikan hanya merupakan stimulan dan bukan menjadi sumber anggaran utama.
Secara teknis, anggaran yang diberikan sebagai insentif dari pusat perlu mengacu pada beberapa persyaratan. Salah satu syarat yang dapat menjadi pertimbangan adalah tersedianya rencana kerja FTKP yang sesuai dengan
orientasi, sasaran dan target penguatan daya saing pariwisata di kawasan
destinasi terkait.
Kesimpulan & Rekomendasi
Pembentukan FTKP dibeberapa daerah menunjukan trend yang positif terhadap penguatan kapasitas kelembagaan dalam konteks tata kelola destinasi di daerah. Keberhasilan ini sudah selayaknya mendapat reward (penghargaan) dari pemerintah, khususnya melalui Kementerian Pariwisata yang meluncurkan program DMO di daerah. Penghargaan yang dimaksud harus memberikan nilai
semangat dan sekaligus bermanfaat untuk daerah. Penghargaan berupa insentif
alokasi anggaran untuk FTKP perlu dilihat sebagai upaya penguatan kapasitas kelembagaan tata kelola destinasi, khususnya bagi wilayah kerja program DMO yang telah membentuk FTKP.
Pemberian insentif dalam bentuk anggaran dimaksud juga untuk memberi
tanggungjawab dan dorongan kepada para pemangku kepentingan melalui
FTKP. Dengan demikian, berbagai upaya kerjasama yang lebih efektif diantara para pemangku kepentingan dapat terwujud dan bermuara pada penguatan daya saing pariwisata daerah.
Untuk kawasan program DMO yang belum membentuk FTKP dapat melihat pemberlakuan kebijakan insentif ini justru sebagai disinsentif dan sekaligus pemacu untuk segera melakukan konsolidasi dan percepatan pembentukan FTKP di wilayahnya.
Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kebijakan ini perlu disesuaikan dengan acuan peraturan dan perundangan yang berlaku. Pada prinsipnya, jumlah anggaran bukan merupakan isu sentral. Justru penghargaan, perhatian dan efektifitas dukungan perlu menjadi dasar pertimbangan dari kebijakan ini. Kajian singkat mengenai jumlah yang pantas untuk dilakosikan kepada setiap FTKP di daerah perlu dilakukan dan menjadi bahan pertimbangan. Saat ini alokasi anggaran program DMO diperkirakan berkisar antara 600 s/d 800 juta rupiah per cluster DMO. Created by Ben Rahman
Sebagai rekomendasi diusulkan untuk melakukan kajian singkat tentang tema bahasan ini dengan turut melibatkan seluruh unsur yang berada di sekretariat, termasuk fasilitator destinasi (Fasdes) dan fasilitator lokal (Faslok) serta para narasumber lainnya. Keterlibatan para pihak dipahami disini bukan dalam rangka menentukan proses dan arah kebijakan yang akan diambil (pengambilan keputusan), melainkan memberikan masukan terbaik untuk bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh para pejabat yang berwenang di Kementerian Pariwisata.
Jakarta, 17 Agustus 2015 MERDEKA..!