TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
Curcuma berasal dari bahasa Yunani, xanthos yang berarti kuning dan
rhizaa yang berarti umbi akar. Jadi Curcuma xanthorrhiza berarti akar kuning.
Temulawak atau koneng gede (Sunda), temo labak (Madura), temulawas (Malaysia) merupakan tanaman asli Indonesia yang penyebarannya banyak terdapat di Ambon, Bali, dan Jawa (Sutarno & Atmawidjojo 2001). Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, Indocina, Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa (Anonim 2005). Dari segi taksonomi, temulawak masuk dalam dunia plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, keluarga Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza.
Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian 5-1800 meter di atas permukaan laut (m dpl) dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 m dpl. Pembudidayaan di dataran rendah pada ketinggian 240 m dpl menghasilkan rimpang yang kandungan patinya lebih tinggi, sebaliknya di dataran tinggi menghasilkan minyak atsiri yang lebih tinggi dibanding dataran rendah (Direktorat Aneka Tanaman 2000).
Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari sinar matahari. Di habitat alamiya, rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Meskipun demikian, temulawak juga dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan. Tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi pada berbagai cuaca di daerah beriklim tropis (Afifah & Lentera 2003). Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1500-4000 mm/tahun atau daerah bertipe iklim A, B, dan C menurut Schimdt-Ferguson. Pada daerah iklim C tanaman cepat mengalami fase pertumbuhan mengering pada bagian daun dan batang semu karena musim hujan yang relatif lebih pendek dibandingkan daerah dengan tipe iklim A dan B, sedangkan toleransi suhu untuk pertumbuhan adalah antara 19-35oC (Soediarto 1985).
Perakaran temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir, maupun tanah-tanah berat yang
berliat. Produksi rimpang yang optimum memerlukan tanah yang subur, gembur, dan berdrainase baik. Pemupukan anorganik dan organik diperlukan juga untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur. Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air (Rahardjo & Rostiana 2005).
Temulawak (Gambar 1a) merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau cokelat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai 2–9 helai daun dengan bentuk bundar memanjang sampai lanset, warna daun hijau atau cokelat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 31–84 cm dan lebar 10–18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43–80 cm. Daun termasuk tipe daun sempurna, artinya tersusun dari pelepah daun, tangkai daun, dan helai daun (Sidik et al. 1995). Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8–13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25–2 cm dan lebar 1 cm (Anonim 2005).
Sebagai tanaman monokotil, temulawak tidak memiliki akar tunggang. Akar yang dipunyai adalah rimpang. Rimpang adalah bagian batang di bawah tanah. Rimpang disebut juga umbi akar, umbi batang atau umbi tinggal. Rimpang temulawak berukuran paling besar di antara semua rimpang genus Curcuma dengan diameter sampai 6 cm. Rimpang temulawak terdiri atas rimpang induk (empu) dan rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti telur dan berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan. Bagian dalamnya berwarna jingga kecokelatan. Rimpang kedua yang lebih kecil keluar dari rimpang induk. Arah pertumbuhannya ke samping, berwarna lebih muda dengan bentuk yang bermacam-macam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih dari satu tahun, akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam dan rasanya pahit agak pedas. Produk yang diambil dari tanaman tersebut adalah rimpang induk yang tumbuh dekat permukaan tanah dengan kedalaman 5–8 cm (Wahid & Soediarto 1985). Panen dilakukan setelah tanaman daunnya menguning
dan kering. Panen yang terbaik adalah ketika tanaman berumur 11-12 bulan (Darwis et al. 1991). Irisan rimpang temulawak ditunjukkan pada Gambar 1b.
(a) (b)
Gambar 1 (a) Tanaman temulawak dan (b) irisan rimpang temulawak Komposisi Kimia Temulawak
Rimpang temulawak mengandung zat warna kuning kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral (Ketaren 1988). Kadar dari setiap komponen tersebut bergantung pada umur panen. Rimpang kering temulawak mengandung 29–34% karbohidrat, dan 6–10% minyak atsiri, sedangkan rimpang segar mengandung air 70–80% (Herman 1985). Suwiah (1991) menguraikan komposisi rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% yang ditunjukkan pada Tabel 1. Menurut Sinambela (1985), komponen utama rimpang temulawak adalah fraksi zat warna kurkuminoid dan minyak atsiri. Kadar minyak atsiri rimpang temulawak dari berbagai sumber pustaka ditunjukkan pada Tabel 2. Komponen minyak temulawak menurut Liang et al. (1985), Anang 1992, serta Dickes dan Nicholas (1976) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak
Komponen Persentase (%)
Pati 27.62 Lemak (fixed oil) 5.38
Kurkumin 1.93 Serat kasar 6.89 Abu 3.96 Protein 6.44 Minyak atsiri 10.96 Sumber: Suwiah (1991)
Tabel 2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak
Sumber Kadar minyak atsiri (%) Balai Penelitian dan Pengembangan
Industri Ujung Pandang (1980 dalam Herman 1985) 6-10
Meijer dan Kollhaas (1939 dalam Nurdjanah et al. 1994) 7,3-9,5 Lucker et al. (1976 dalam Liang et al. 1985) 7-11
Sirait et al. (1985)
Rimpang temulawak berumur:
8 bulan 4,6
10 bulan 5,2
12 bulan 5,3
15 bulan 5,1
Tabel 3 Komponen minyak temulawak
I II III 1. trisiklin 2. α-pinena 3. kamfena 4. β-pinena 5. sabrinena 6. mirsena 7. felandrena 8. limonena 9. 1,8-sineol 10. δ-terpinena 11. β- simen 12. terpionlen 13. δ-elemena 14. kamfor 15. α-bergamolena 16. β-elemena 17. kariofilena 18. allo-aromadendren 19. trans-β-farnesena 20. berneol 21. gerwakrena D 22. zingiberena 23. β-bisabolen 24. β-kurkumena 25. β-kadinena 26. β-seskuifelandrena 27. ar-kurkumen 28. isofuranogermasen 29. turmeron 30. turmerol 31. ar-turmeron 32. xantorizol *seskuiterpen - β-kurkumena -α-kurkumena -1-sikloisoprenmirsean -zingiberena -xantorizol -turunan bisabolen -epolisid-bisakuron -bisakuron A -bisakuron B -bisakuron C *ketonseskuiterpena -turmeron -α-turmeron -α-atlanton (0,3%) -germakron *monoterpena -sineol -d-borneol -d-α-feladrena -d-kamfan -α-lumulena (25,2%) -kamfan (21,9%) -zerumbon (21,2%) -α-kurkumen (0,8%) -lumulen epolesi (4,6%) -kamfor (4,2%) -α-pinena (3,4%) -borneol dan α-terpineol (0,6%) -eukaliptol (1,8%) -β-kariofilena (1,6%) -limonena (1,5%) -linaloal (0,9%) -3-karena (0,3%) -lumulena dioksida -β-pinena (0,6%) Sumber: I = Liang et al. (1985)
II = Maiwald dan Schwantes (1991 dalam Anang 1992) III = Dicnes dan Nicholas (1976)
Xantorizol
Xantorizol merupakan komponen minyak atsiri rimpang temulawak yang termasuk ke dalam kelompok terpena teroksigenasi. Xantorizol merupakan komponen yang khas dari minyak temulawak yang membedakannya dengan minyak jenis curcuma yang lain (Setijadi 1985, Sirait et al. 1985).
Ciri xantorizol menurut Hwang (2000) adalah sebagai berikut: golongan seskuiterpena, BM 218 g/mol, tidak berwarna, tak-asiri, stabil terhadap suhu dan panas, sangat pahit, dan rumus molekulnya ialah C15H22O. Xantorizol larut dalam
DMSO dan etanol 96%. Nama IUPAC (International Union of Pure and Applied
Chemistry) xantorizol adalah 5-(1,5-dimetil-heks-4-enil)-2-metil-fenol. Rumus
strukturnya ditunjukkan pada Gambar 2.
HO
H
3C
Gambar 2 Struktur xantorizol (Hwang 2000) Aktivitas Hayati Xantorizol
Xantorizol mempunyai daya hambat yang tinggi terhadap bakteri spesies
Streptococus penyebab karies pada gigi. Berdasarkan hal tersebut maka xantorizol
dapat digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi untuk mencegah penyakit pada gigi (Hwang 2000). Xantorizol juga dapat digunakan sebagai agen potensial pembentukan biofilm oleh Streptococcus mutans (Rukayadi & Hwang 2007). Penelitian lain menunjukkan bahwa xantorizol memiliki aktivitas sebagai anti-fungi pada spesies candida, sehingga dimungkinkan dapat digunakan untuk pengobatan candidiasis (Rukayadi 2006).
Xantorizol juga memiliki aktivitas hayati sebagai antikanker dan antiinflamasi. Penelitian Lee et al. (2002) memperlihatkan bahwa xantorizol dapat digunakan sebagai kandidat inhibitor COX-2 dan iNOS bagi penderita kanker kemopreventif atau sebagai antiinflamasi. Xantorizol juga dapat digunakan sebagai neuroproteksi.
Liem et al. (2005) melaporkan bahwa xantorizol merupakan kandidat efektif untuk pengobatan penyakit alzheimer dan penyakit saraf lain yang terkait dengan Reactive
Oxygen Species (ROS) dan inflamasi. Yamazaki et al. (1987 dalam Sidik 1995) juga
menyatakan xantorizol mempunyai efek memperpanjang masa tidur yang diakibatkan oleh pentobarbital dengan cara menghambat aktivitas sitokrom P450, atau dengan kata lain xantorizol dapat digunakan sebagai antidepresan.
Penelitian lain yang dilakukan Chilwan et al. (1993) yang meneliti efek insektisida empat jenis rimpang spesies Zingiberaceae, yaitu Curcuma xanthorriza,
C. Zeodoaria, Kaempferia galanga, dan K. pandurata. 17 komponen terbesar
termasuk flavonoid, seskuiterpenoid, dan derivat asam sinamat berhasil diisolasi dan diidentifikasi menggunakan nuclear magnetic resonance (NMR) dan spektrum massa. Semua komponen ini diuji toksisitasnya terhadap larva Spodoptera littoralis. Hasil uji biologis nya menunjukkan bahwa xantorizol dan furanodienon merupakan senyawa yang paling aktif menunjukkan toksisitas melawan larva yang baru lahir.
Isolasi Xantorizol (Hwang 2000)
Hwang telah berhasil mengisolasi xantorizol dari rimpang tanaman temulawak menggunakan metode ekstraksi pelarut, kolom kromatografi, dan reaksi asetilasi dan deasetilasi. Sistem ekstraksi yang dilakukan adalah ekstraksi bertahap menggunakan pelarut metanol dan etil asetat. Ekstrak kasar yang diperoleh kemudian diaplikasikan dalam kromatografi kolom menggunakan fase diam silika gel dan eluen campuran heksana dan etil asetat untuk memperoleh fraksi aktif yang mengandung xantorizol. Tahap selanjutnya yang dilakukan Hwang (2000) adalah melakukan asetilasi terhadap fraksi aktif hasil kolom, dan dilanjutkan dengan mengaplikasikan kembali fraksi aktif terasetilasi tersebut ke dalam kolom kromatografi untuk memperoleh senyawa tunggal terasetilasi. Tahap terakhir adalah deasetilasi terhadap fraksi aktif terasetilasi tunggal untuk memperoleh senyawa xantorizol murni. Identifikasi yang dilakukan adalah dengan spektroskopi inframerah dan NMR. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hwang berhasil memperoleh senyawa xantorizol sebanyak 0.2 g dari 100 g sampel temulawak kering yang digunakan, atau dengan kata lain rendemen yang diperoleh sebesar 0.2 % dengan kemurnian 99.9%.