• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah perbatasan antara wilayah tutur bahasa-bahasa Austronesia dengan wilayah tutur bahasa-bahasa non-Austronesia. Bahasa Baranusa merupakan salah satu bahasa yang dituturkan di pulau Pantar. Sebagian besar wilayah Pulau Pantar ditinggali oleh penutur bahasa non-Austronesia. Dalam publikasi pemetan bahasa-bahasa daerah di NTT oleh Pusat Pengembangan Bahasa (2008) dan Summer Institute of Linguistics (2006), bahasa Baranusa tidak disebut dalam daftar bahasa di NTT. Sementara itu, La Ino (2013) telah mengkaji bahasa-bahasa non-Austronesia di Pulau Pantar dan menginformasikan bahwa bahasa Baranusa termasuk ke dalam salah satu bahasa Austronesia.

Identitas keanggotaan bahasa Baranusa sebagai bagian dari kelompok bahasa tertentu masih belum jelas. Selain itu, penelitian lebih lanjut mengenai bahasa Austronesia di Pulau Pantar yang dihubungkan dengan bahasa-bahasa Austronesia lain di sekitarnya masih belum dilakukan. Greenberg (1972) mengelompokkan bahasa-bahasa di Kepulauan Alor-Pantar ke dalam kelompok bahasa Ambon-Timor. Namun, bahasa Baranusa tidak disebut secara spesifik. Pengelompokkan bahasa-bahasa oleh Jonker (dalam Fernandez, 2007) yang membagi bahasa-bahasa di Alor belum menjelaskan perbedaan atas bahasa-bahasa yang tergolong Austronesia dan yang non-Austronesia.

(2)

Pengungkapan identitas bahasa Baranusa sebagai bagian dari rumpun Austronesia penting karena bahasa ini dituturkan di lokasi yang strategis. Desa Baranusa, sebagai Ibu kota Kecamatan Pantar Barat, memiliki peran sebagai pusat keramaian di Pulau Pantar karena memiliki pelabuhan yang digunakan sebagai tempat transit kapal-kapal besar yang melintas di Kepulauan Nusa Tenggara Timur. Rencana pemekaran Pantar sebagai kabupaten baru di NTT, kemungkinan besar, akan menjadikan Baranusa sebagai ibu kota kabupaten. Dengan demikian, bahasa Baranusa dimungkinkan akan memiliki peran yang besar sebagai bahasa pemersatu di Pantar.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini mengkaji hubungan kekerabatan bahasa Baranusa dengan dua bahasa Austronesia lain yang lokasi tuturnya berdekatan dengan lokasi tutur bahasa Baranusa, yaitu bahasa Kedang dan Lamaholot. Kedua bahasa tersebut merupakan anggota dari kelompok bahasa Flores (Fernandez, 1988; 1996).

Bahasa Baranusa dituturkan di Pulau Pantar yang sebagian besar wilayahnya ditinggali oleh penutur bahasa-bahasa non-Austronesia. Sebelah barat Pulau Pantar adalah wilayah tutur bahasa-bahasa Austronesia, sedangkan sebelah timur Pulau Pantar adalah wilayah tutur bahasa-bahasa non-Austronesia. Penutur bahasa Baranusa tersebar di Desa Baranusa dan di sepanjang pesisir utara Pulau Pantar bagian barat. Bahasa Kedang dituturkan di ujung timur Pulau Lembata, tepatnya di Kecamatan Omesuri dan Kecamatan Buyasuri, Kabupaten Lembata. Sementara itu, Bahasa Lamaholot dituturkan di Kab. Flores Timur yang juga mencakup Pulau Adonara dan Pulau Solor serta bagian barat Pulau Lembata.

(3)

Gambar 1. Wilayah tutur bahasa Lamaholot (Flores Timur, Adonara, Solor, Lembata bagian barat), bahasa Kedang (ujung timur Pulau Lembata), dan Baranusa (sebagian Pulau Pantar). Larantuka: Ibukota Kab. Flores Timur, Lewoleba: Ibu kota Kab. Lembata, Baranusa: Ibu kota Kec. Pantar Barat, Kalabahi: Ibu kota Kab. Alor. Peta mengacu pada publikasi Summer Institute of Linguistics (2006)

Berdasarkan pengamatan awal secara sepintas, bahasa Baranusa dihipotesiskan memiliki kekerabatan yang erat dengan bahasa Kedang dan bahasa Lamaholot. Meskipun demikian, penyediaan data kebahasaan secara langsung dari lapangan penting dilakukan untuk kepentingan analisis kuantitatif dan kualitatif.

Tabel di bawah ini menunjukkan contoh kosakata dari bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot yang memiliki kemiripan bentuk dan makna (kognat). Berdasarkan pengamatan awal secara kuantitatif, diasumsikan bahwa relasi kekerabatan antara ketiga bahasa termasuk tinggi. Oleh karena itu, ketiga bahasa

(4)

tersebut dimungkinkan memiliki kesamaan asal pada masa lampau. Jika benar demikian, ada kemungkinan bahwa bahasa Baranusa di Pulau Pantar merupakan bagian parsial dari kelompok bahasa-bahasa di Flores Timur (Kedang dan Lamaholot).

No. Gloss

(bahasa Indonesia) Baranusa Kedang Lamaholot

1. akar [ramuk] [ramuɁ] [amut]

2. asap [panuhuŋ] [nuheŋ] [nuhuŋ]

3. baru [wunoŋ] [weruŋ] [wuɁu]

4. bengkak [baŋ] [babaŋ] [baɁa]

5. bernafas [nahiŋ] [nein] [nain]

6. bertumbuh [tawaŋ] [tawe] [tawa]

7. datang [dai] [mai] [mai]

8. daun [lɔlɔŋ] [lɔlɔ] [lolon]

9. duduk [tɔbɔ] [tebe] [tobo]

10. hitam [mitɛŋ] [miteŋ] [miten]

Tabel 1. Contoh kosakata dasar bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot.

Untuk membuktikan hipotesis ini, diperlukan penelitian lebih mendalam terkait dengan relasi kekerabatan antara bahasa Baranusa di Pulau Pantar dengan bahasa Kedang di Lembata dan bahasa Lamaholot di Flores Timur. Penelitian terhadap ketiga bahasa tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan linguistik historis komparatif, baik dengan metode kuantitatif dengan teknik leksikostatistik maupun metode kualitatif dengan teknik rekonstruksi, untuk mengetahui relasi kekerabatan ketiga bahasa tersebut.

(5)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

a. Bagaimana relasi kekerabatan bahasa Baranusa dengan bahasa Kedang dan bahasa Lamaholot apabila dikaji dengan metode kuantitatif berdasarkan teknik leksikostatistik?

b. Bagaimana relasi kekerabatan bahasa Baranusa dengan bahasa Kedang dan bahasa Lamaolot apabila dikaji dengan metode kualitatif berdasarkan teknik rekonstruksi?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan relasi kekerabatan bahasa Baranusa dengan bahasa Kedang dan bahasa Lamaholot apabila dikaji dengan metode kuantitatif berdasarkan teknik leksikostatistik.

b. Mendeskripsikan relasi kekerabatan bahasa Baranusa dengan bahasa Kedang dan bahasa Lamaolot apabila dikaji dengan metode kualitatif berdasarkan teknik rekonstruksi.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup analisis linguistik historis komparatif untuk mengungkap relasi historis bahasa Baranusa di Pulau Pantar dengan bahasa

(6)

Kedang di Lembata dan bahasa Lamaholot di Flores Timur. Kajian linguistik diakronis terhadap struktur internal ketiga bahasa tersebut dikhususkan pada bidang kajian fundamental, yaitu pada bidang fonologi dan leksikal. Instrumen 200 kosakata dasar Swadesh digunakan untuk pengamatan awal kekerabatan ketiga bahasa secara kuantitatif. Hasil analisis secara kuantitatif juga dapat dijadikan acuan untuk menyusun diagram pohon kekerabatan ketiga bahasa tersebut secara kuantitatif. Sementara itu, kajian kualitatif melingkupi pencarian kaidah korespondensi bunyi dari ketiga bahasa, penerapan teknik rekonstruksi, baik secara induktif untuk menentukan etimon proto-bahasa maupun secara deduktif untuk menentukan refleks, serta penyusunan diagram pohon silsilah kekerabatan ketiga tersebut bahasa secara kualitatif.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk kepentingan pemetaan bahasa-bahasa Austronesia di Pulau Pantar yang memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa-bahasa Austronesia lain yang lokasinya bedekatan, seperti di Flores. Selain itu, penelitian ini juga dapat mengungkap kesenjangan mengenai perbatasan wilayah tutur bahasa-bahasa Austronesia dengan wilayah tutur bahasa-bahasa non-Austronesia di wilayah Pulau Pantar, Lembata, dan Flores Timur.

Melalui kajian ini, batas wilayah tutur bahasa-bahasa Austronesia dan non-Austronesia di wilayah tengah, khususnya di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, diharapkan dapat terungkap secara lebih jelas. Kejelasan batas wilayah tutur bahasa-bahasa Austronesia dengan bahasa-bahasa non-Austronesia ini dapat

(7)

mempermudah usaha pemetaan bahasa-bahasa Austronesia di wilayah Nusantara, khususnya di daerah perbatasan antara penutur bahasa Austronesia dengan penutur bahasa non-Austronesia di Kepulauan Alor-Pantar secara lebih tepat dan cermat.

Terungkapnya batas rumpun bahasa ini diharapkan dapat menjembatani antara penutur bahasa Austronesia dan penutur bahasa non-Austronesia terkait dengan pemekaran daerah. Dengan demikian, penelitian ini secara praktis akan mampu memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan pemekaran daerah, kabupaten, atau pun wilayah yang tingkatannya di bawah kabupaten, seperti kecamatan, kelurahan, dan desa. Rencana pemekaran daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten di wilayah NTT perlu mempertimbangkan batas bahasa yang seharusnya paralel dengan batas administrasi.

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk menunjukkan hubungan kekerabatan antara bahasa-bahasa Austronesia di Pulau Pantar dan di Flores Timur. Penelitian ini juga bermanfaat untuk menambah khasanah pustaka mengenai studi linguistik diakronis terhadap bahasa-bahasa di daerah perbatasan rumpun Austronesia dengan rumpun non-Austronesia, khusunya di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang menggunakan objek kajian bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot mencakup penelitian secara sinkronis dan secara diakronis. Penelitian komparatif mengenai bahasa-bahasa Austronesia di Pulau Pantar, seperti bahasa

(8)

Baranusa, belum banyak dilakukan. Namun, kajian mengenai bahasa Kedang dan Lamaholot sudah pernah dilakukan oleh beberapa linguis. Penelitian hubungan kekerabatan bahasa-bahasa Austronesia di Pulau Flores sudah dilakukan oleh Fernandez (1988, 1996). Dalam penelitiannya tersebut, Fernandez mengelompokkan sembilan bahasa di Flores ke dalam Kelompok Bahasa Flores, termasuk bahasa Kedang dan Lamaholot.

1.6.1 Kajian terhadap Bahasa Baranusa

Kajian terhadap bahasa Baranusa di Pulau Pantar, NTT belum banyak dilakukan. Publikasi Pusat Pengembangan Bahasa (2008) dan SIL (2006) tidak mencantumkan identitas bahasa Baranusa sebagai salah satu bahasa di Pulau Pantar. Dalam peta bahasa yang disusun oleh Klamer dkk. (2013), daerah tutur bahasa Baranusa dilabeli sebagai area tutur bahasa Austronesia. Namun, nama bahasa yang dituturkan di daerah terkait masih diberi label kelompok bahasa Alorese. Penelitian lebih lanjut oleh Klamer (2011) berfokus pada studi tata bahasa secara sinkronis dari bahasa Alorese. Namun, kajian secara diakronis belum dilakukan. Martis, dkk. (2000) mencatat 200 kosakata Swadesh di Kabupaten Alor yang meliputi bahasa-baasa di Pulau Alor dan Pantar. Khusus untuk Pulau Pantar, Martis mengungkap bahasa-bahasa yang dituturkan di Desa Muriabang, Desa Kalep, Desa Batu, Desa Mauta, Desa Tude, Desa Kalondana, dan Desa Kabir yang termasuk anggota kelompok bahasa non-Austronesia. Namun, dalam laporan penelitian tersebut, bahasa Baranusa sama sekali tidak disebut.

(9)

Lauder (2000) mengungkapkan hubungan kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa di NTT secara sekilas dan menyimpulkan keberadaan enam kelompok bahasa utama di NTT, yaitu Kelompok Bahasa Flores, Sumba, Timor Barat, Timor Timur, Pantar, dan Alor. Untuk kelompok bahasa Pantar, terdapat dua subkelompok, yaitu Pantar dan Retta. Namun, bahasa Baranusa juga tidak disebutkan keberadaannya dalam penelitian tersebut. Sementara itu, Greenberg (1971) mengungkapkan hubungan kekerabatan bahasa-bahasa di Timor-Alor dan menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa di Timor-Alor termasuk dalam rumpun bahasa non-Austronesia atau disebut juga Phylum Trans-New Guinea (TNG). Greenberg tidak mengungkap keberadaan bahasa Baranusa dan hanya menggunakan sampel bahasa Abui, Bunak, Makasai, dan Oirata.

Penelitian Summer Institute of Linguistics memang tidak menyebutkan keberadaan bahasa Baranusa. Namun, dalam peta bahasa yang dimuat dalam publikasi SIL (2006), terdapat simbol huruf kapital A dan R di wilayah Pulau Pantar. Pemberian simbol ini terkait dengan pengelompokkan bahasa di Pulau Pantar, yaitu Kelompok Bahasa Alor (A) dan Kelompok Bahasa Retta (R). Dari wilayah tutur kedua kelompok bahasa tersebut, wilayah tutur bahasa Baranusa dikelompokkan oleh SIL ke dalam Kelompok Bahasa Alor. Padahal, bahasa Baranusa diperkirakan merupakan anggota keluarga bahasa Austronesia.

Pengelompokkan bahasa-bahasa di Kepulauan Alor-Pantar oleh Stokhof (1983) mengungkap keberadaan bahasa Alor yang dituturkan di Pulau Pantar. Bahasa yang dimaksud, umumnya dituturkan di desa-desa pesisir (Stokhof, 1983:283–302). Pengamatan lebih lanjut menujukkan bahwa bahasa yang

(10)

dimaksud Stokhof tersebut tergolong bahasa Austronesia. Hal itu menujukkan bahwa keberadaan bahasa Austronesia di Alor dimungkinkan sebagai bagian parsial dari bahasa-bahasa Austronesia yang juga dituturkan di Flores Timur. Selain itu, laporan dari Samely (2013:1) yang mengungkapkan bahwa dua belas dari tiga belas bahasa di Alor-Pantar adalah bahasa non-Austronesia mengindikasikan bahwa terdapat satu bahasa di wilayah ini yang tergolong ke dalam rumpun Austronesia.

Holton (2008) menyusun kamus bahasa Pantar Barat. Namun, bahasa Pantar Barat yang dimaksud bukan bahasa Baranusa, tetapi bahasa Lamma. Dalam kamus tersebut, bahasa Baranusa disebut sebagai salah satu bahasa yang berdampingan dengan bahasa Lamma. Bahasa Baranusa disebut sebagai bahasa Pantai karena hanya dituturkan oleh penduduk yang tinggal di pesisir.

Walaupun catatan kajian terdahulu mengenai bahasa-bahasa di Alor dan Pantar telah memperlihatkan identitas bahasa-bahasa di Pulau Pantar, bahasa Baranusa masih belum teridentifikasi. Sebagian besar penelitian bahasa secara diakronis di wilayah tersebut tidak menyangkut bahasa Baranusa. Penelitian terakir oleh La Ino (2013) mengungkap kekerabatan bahasa-bahasa non-Austronesia di Pulau Pantar. Meskipun penelitian tersebut tidak memasukkan bahasa Baranusa ke dalam kajian utamanya, penelitian tersebut menginformasikan bahwa bahasa Baranusa tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia. (Ino, 2013).

(11)

1.6.2 Kajian terhadap Bahasa Kedang

Bahasa Kedang tergolong ke dalam kelompok bahasa Flores (Fernandez, 1988, 1996:43). SIL (2006:28) mengidentifikasi bahasa Kedang sebagai bahasa yang dituturkan di Pulau Lembata bagian utara dan di Kepulauan Sunda Kecil dengan jumlah penutur mencapai 30.000 orang. Banyak ahli bahasa yang mengungkapkan bahwa bahasa Kedang merupakan bahasa yang unik. Bahasa yang dituturkan masyarakat yang mendiami Kecamatan Omesuri dan Kecamatan Buyasuri di Kabupaten Lembata ini berbeda dengan bahasa-bahasa lain yang melingkupinya. Wilayah tutur bahasa Kedang dikelilingi oleh masyarakat yang menuturkan beberapa dialek dari bahasa Lamaholot. Barnes (1974) mengungkapkan bahwa bahasa Kedang harus dipandang sebagai satu bahasa yang utuh dan mandiri serta tidak digolongkan sebagai dialek dari bahasa lain yang mengelilinginya, seperti bahasa Lamaholot.

Pemetaan awal mengenai bahasa-bahasa di Indonesia-Pasifik, termasuk Flores, dilakukan oleh Salzner (1961:607–608). Salzner memetakan bahasa-bahasa yang ada di Asia Tenggara dan Pasifik secara komprehensif. Sementara itu, dokumentasi mengenai bahasa Kedang pertama kali dilakukan oleh Sawardo (1989) yang mendokumentasikan fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa Kedang. Setelah itu, dokumentasi mengenai bahasa Kedang dilengkapi oleh Samely (1991) yang mendokumentasikan bahasa Kedang dari segi tata bahasanya. Masyarakat penutur bahasa Kedang menyebut bahasa yang dituturkannya sebagai Edang. Selain itu, bahasa ini juga dipandang sebagai bahasa gunung atau bahasa “orang dalam” sebagai lawan dari ungkapan orang luar yang mengacu pada

(12)

penutur bahasa-bahasa lain di sekitar, seperti bahasa Lamaholot yang dituturkan di Lembata, Solor, Adonara, dan Flores Timur.

Kajian linguistik komparatif mengenai bahasa Kedang pernah dilakukan oleh Samely (1991) yang membandingkan 70 persen leksem berkerabat dari bahasa Alor dan bahasa Lamaholot yang dibandingkan dengan bahasa Kedang. Hasilnya, 61 persen kosakata yang dibandingkan adalah kognat. Sementara itu, Keraf (1978:Lampiran V) melakukan perhitungan terhadap kosakata kerabat antara bahasa Kedang dan Lamaholot yang dituturkan di Lamalera, Lembata. Hasilnya, 47 persen dari kosakata yang dibandingkan adalah kognat.

Pampus (1991), seorang ahli islamologi, melakukan kajian secara sekilas mengenai bahasa-bahasa di Flores Timur. Ia melakukan perhitungan terhadap separuh kosakata kerabat yang terbagi antara dialek bahasa Lamaholot yang dituturkan di Lewolema dengan bahasa Kedang. Pampus menyimpulkan bahwa bahasa Kedang adalah bagian dari bahasa Lamaholot meskipun masyarakat penuturnya menganggap kedua bahasa tersebut sebagai bahasa yang terpisah. Menurut Pampus, bahasa Kedang harus dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam salah satu dari dialek bahasa Lamaholot. Namun, Samely (2013:2) berpendapat bahwa penggolongan Pampus ini hanya didasarkan pada kriteria dialektometri tertentu. Padahal, jika ditinjau dari segi kesalingmengertian (mutual

inteligibility) masyarakat setempat, bahasa Kedang dan Lamaholot dianggap

sebagai dua bahasa yang terpisah. Sementara itu, kamus bahasa Kedang yang disusun dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Kedang, bahasa Inggris, dan bahasa

(13)

Indonesia, oleh Samely (2013) dapat memberi informasi yang komprehensif mengenai kondisi kebahasaan bahasa Kedang.

Penelitian kompratif yang lebih luas dilakukan oleh Fernandez (1988, 1996) yang mengkaji kekerabatan bahasa-bahasa di Pulau Flores. Dalam kajiannya ini, Fernandez menggolongkan bahasa Kedang ke dalam kelompok bahasa Flores bersama dengan delapan bahasa lain, yaitu bahasa Komodo, Lamaholot, Lio, Manggarai, Ngadha, Palue, Rembong, dan Sikka.

Kajian linguistik dan budaya mengenai orang Kedang banyak dilakukan oleh R. H. Barnes. Barnes mengkaji pemikiran kolektif orang Kedang sebagai gambaran pola pikir orang Indonesia Timur (1974) dan juga mengenai kata bilangan dan penggunaannya dalam bahasa Kedang (1982). Selain itu, Barnes juga mengambil contoh orang Kedang sebagai representasi penduduk di Flores untuk dari metafora pelangi (1973). Barnes juga mengkaji dua cerita rakyat orang Kedang mengenai orang Leuwajang dan orang Bean (1976). Kajian lain yang dilakukan oleh Barnes bersama dengan Jimmy Holston berfokus pada kajian mengenai kekerabatan orang Kedang (1977).

6.3 Kajian terhadap Bahasa Lamaholot

Kajian terhadap bahasa Lamaholot juga sudah banyak dilakukan. Pada awalnya, banyak peneliti yang menyebut bahasa Lamaholot sebagai bahasa Solor. Hal ini karena lokasi tutur bahasa Lamaholot mencakup wilayah Pulau Solor dan Pulau Solor lebih banyak dikenal pedagang dari luar daripada pulau-pulau lain. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, penyebutan wilayah Pulau Solor

(14)

dibedakan dengan penyebutan bahasa Lamaholot. Sebutan Solor hanya digunakan untuk menyebut wilayah Solor dari segi administratif dan geografis, sedangkan bahasa yang dituturkan di wilayah tersebut disebut dengan bahasa Lamaholot.

Bahasa Lamaholot merupakan anggota dari rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan di Adonara, Flores Timur, Solor, dan bagian barat Pulau Lembata. Jumlah penutur bahasa Lamaholot sekitar 150.000 orang (SIL, 2006:29). Di beberapa daerah di Flores, seperti di Larantuka, wilayah tutur bahasa Lamaholot berdampingan dengan wilayah tutur dialek bahasa Melayu (Melayu Larantuka). Dietrich (1997:113–114) mengungkapkan bahwa dialek Melayu Larantuka sudah menggantikan peran bahasa Lamaholot. Di sisi lain, bahasa Lamaholot juga turut berperan dalam penyusunan struktur kebahasaan dari dialek Melayu Larantuka. Meskipun demikian, di wilayah lain di ujung timur Pulau Flores, Adonara, Solor dan di bagian barat Pulau Lembata, bahasa Lamaholot masih digunakan oleh para penuturnya.

Kajian awal mengenai bahasa Lamaholot dilakukan oleh Arndt (1937) yang meneliti bahasa Solor yang dihubungkan dengan salah satu dialek bahasa Lamaholot. Yang dimaksud dengan bahasa Solor sebenarnya adalah bahasa Lamaholot. Bahasa Lamaholot, oleh Arndt (1937) disebut dengan bahasa Solor karena nama Lamaholot pada saat itu belum populer sehingga para peneliti banyak yang menyebut bahasa Lamaholot sebagai bahasa Solor.

Keraf (1978), dalam disertasinya, mendokumentasikan bahasa Lamaholot dari aspek morfologi, khususnya pada dialek Lamalera. Fernandez (1983) mengkaji sistem kata bilangan bahasa Lamaholot yang dibandingkan dengan

(15)

bahasa Sikka di Flores Timur. Sementara itu, Kumanireng (1985) mengkaji kata ganti diri dan korelasinya dengan pendekatan analisis morfologis. Kajian ini berfokus pada proses morfologis perubahan kata ganti dan korelasinya dalam bahasa Lamaholot.

Penelitian secara diakronis mengenai bahasa Lamaholot dialakukan oleh Fernandez (1988, 1996) yang membandingkan bahasa Lamaholot dengan bahasa-bahasa lain di Pulau Folers. Penelitian ini menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa Lamaholot termasuk ke dalam kelompok bahasa Flores. Selain itu, Fernandez (1997) juga mengkaji bahasa Lamaholot dari segi konstruksi posesif dengan membandingkannya dengan bahasa Tetun di Pulau Timor dan bahasa Mai Brat di Papua.

Selanjutnya, Pampus (1999) menulis kamus bahasa Lamaholot dialek Lewolema yang dituturkan di Desa Belogili dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Lamaholot, bahasa Indonesia, dan bahasa Jerman. Pampus juga memfokuskan kajiannya terhadap karakter tentatif dari bahasa Lamaholot. Daftar kosakata yang disusun oleh Pampus tidak hanya memberi gambaran mengenai kosakata bahasa Lamaholot, tetapi juga budaya dan kehidupan masyarakat penutur bahasa Lamaholot. Kamus bahasa Lamaholot juga disusun oleh Felysianus Sanga (2002) yang menyusun kamus bahasa Lamaholot dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Lamaholot. Dalam kamus ini, Sanga mencantumkan tatabahasa Lamaholot secara sekilas, kosakata umum yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, bentuk idiom, serta sinonimi dan antonimi dalam bahasa Lamaholot.

(16)

Dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai bahasa Lamaholot, belum ada hasil yang representatif mengenai pendeskripsian tata bahasa Lamaholot secara sinkronis. Namun, dua orang linguis, Kunio Nishiyama dan Herman Kelen, (2007) mengkaji tata bahasa Lamaholot, khususnya dialek Lewoingu, secara lebih terperinci dengan berfokus pada tataran morfologi dan sintaksis. Buku ini dianggap sangat substansial untuk merepresentasikan dokumentasi tatabahasa Lamaholot.

Nagaya (2009) mengkaji sintaksis bahasa Lamaholot dengan fokus kajian pada subjek dan topik. Kajian ini menyimpulkan bahwa bahasa Lamaholot mempunyai dua jenis konstruksi verba bivalen yang berbeda, yaitu konstruksi AF (Actor Focus) yang lebih mendasar dan konstruksi PF (Patient Focus) yang lebih mengarah pada topikalisasi. Selain itu, Nagaya (2010) juga mengkaji fonologi dialek Lewotobi bahasa Lamaholot. Kajian ini mencakup deskripsi fonem, alofon, kaidah fonotaktik, struktur silabe, tempat penekanan (stress), dan proses morfologis. Dalam kajiannya ini, Nagaya berpendapat bahwa dialek Lewotobi harus dibedakan dengan dialek-dialek lain dalam bahasa Lamaholot. Pada tahun 2012, Nagaya juga mengkaji bahasa Lamaholot dari segi ragam dan relasi gramatikal secara tipologis. Kajian ini menyimpulkan bahwa bahasa Lamaholot merupakan bahasa yang mempunyai ragam gramatikal yang simetris.

Penelitian lainnya mengenai bahasa Lamaholot dilakukan oleh Kunio Nishiyama (2011:381–405) yang meneliti persesuaian konjungtif dalam kalimat majemuk bahasa Lamaholot. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa subjek nominatif memiliki kecenderungan tidak memiliki penanda jika dibandingkan

(17)

dengan objek akusatif dalam bahasa Lamaholot. Dalam penelitiannya ini, Nishiyama juga membandingkan persesuaian konjungtif bahasa Lamaholot dengan bahasa Walman yang tidak terhubung secara genetis, tetapi menunjukkan banyak kesesuaian dalam bidang sintaksis dan morfologi.

Ningsih dan Purwaningsih (2013) mengkaji sistem fonologi bahasa Lamalera. Bahasa Lamalera yang dimaksud sebenarnya mengacu pada dialek Lamalera dalam bahasa Lamaholot. Dalam kajian ini, sistem fonologi dialek Lamalera hanya dideskripsikan secara sekilas.

1.7 Landasan Teori

Penelitian ini dilandasi oleh teori linguistik historis komparatif atau linguistik diakronis. Objek kajian dari linguistik diakronis sama dengan objek kajian linguistik historis komparatif, yaitu pada komponen-komponen internal bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fernandez (1994:4) mengungkapkan bahwa objek kajian linguistik diakronis adalah bahasa pada khususnya (langue) untuk mengamati bahasa pada umumnya (langage). Hale (2007:15–17) mengungkapkan perbedaan kajian bahasa sebagai objek kajian sinkronis dan kajian diakronis. Menurutnya, kajian linguistik sinkronis cenderung pada tujuan untuk mendefinisikan apa itu bahasa, sedangkan linguistik diakronis cenderung pada tujuan untuk menghubungkan antarbahasa.

Dalam kajian linguistik diakronis, Bahasa dilihat dari aspek struktur-struktur yang membentuknya, yaitu struktur-struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Ada perhatian terhadap unit-unit lingual dalam satu bahasa dalam kajian

(18)

linguistik diakronis. Bahasa dipandang mampu mengalami perubahan-perubahan yang sesuai dengan struktur bahasa, seperti perubahan pada struktur fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, atau bahkan perubahan pada struktur semantik. Karenanya, kajian linguistik diakronis tidak bisa dipisahkan dari kajian linguistik sinkronis karena penyelidikan secara diakronis perlu memanfaatkan pendekatan sinkronis untuk mendapatkan pengetahuan mendasar mengenai struktur-struktur internal bahasa-bahasa yang dianalisis.

Dalam kajian ini, bahasa yang dikaji dengan pendekatan linguistik historis komparatif dibatasi pada objek kajian bahasa yang fundamental, yaitu pada bidang fonologi dan leksikal. Hal ini sesuai dengan tradisi dalam penyelidikan linguistik diakronis yang mengawali penyelidikan pada bidang-bidang yang mendasar, yaitu fonologi dan leksikal. Kajian linguistik diakronis pada tataran fonologi melihat perubahan bahasa sebagai suatu proses perubahan bunyi dalam kurun waktu tertentu dari bentuk awal (proto-bahasa) sampai pada bentuk modern (bahasa sekarang). Hale (2007:62–64) mengungkapkan bahwa identifikasi perubahan fonologis dalam kajian linguistik diakronis mengarah pada perumusan kaidah-kaidah kebahasaan yang sederhana untuk menjelaskan fenomena perubahan fonologis dari bahasa yang dikaji.

Dalam kajian bahasa-bahasa berkerabat di lingkup keluarga besar bahasa Austronesia, prinsip pengelompokkan, sebagian besar, didasarkan pada metode tradisional, yaitu dengan metode historis-komparatif (Tryon, 2006:22). Para linguis terdahulu, mulai dari Dempwolff (1938) hingga Dyen (1970), telah mengkaji bahasa-bahasa dalam keluarga besar bahasa Austronesia dan telah

(19)

merekonstruksi bentuk awal dari bahasa-bahasa dalam rumpun bahasa Austronesia yang dirumuskan dalam Proto-bahasa Austronesia (PAN).

Penelitian ini didasarkan pada teori perubahan bahasa yang berasumsi bahwa turunan dari Proto-bahasa Austronesia (PAN) yang menyebar di berbagai wilayah di Indonesia juga mencakup Pulau Pantar dan Flores Timur, seperti halnya di lokasi-lokasi tutur bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaolot. Kajian sebelumnya mengenai pengelompokkan bahasa Kedang dan Lamaholot membuktikan bahwa keduanya tergolong bahasa-bahasa yang diturunkan oleh PAN (Fernandez, 1988;1996). PAN, selain menurunkan bahasa-bahasa di Flores (Kedang dan Lamaholot), diasumsikan juga menurunkan bahasa di Pulau Pantar (Baranusa). Untuk membuktikannya, penelitian ini menempuh pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam model penelitian linguistik historis komparatif, relasi kekerabatan antarbahasa dapat diketahui melalui diagram pohon yang menjelaskan silsilah kekerabatan bahasa untuk menglarifikasi peringkat kekerabatan antara bahasa-bahasa yang dibandingkan.

Hasil yang diperoleh dari diagram pohon dapat dimanfaatkan secara kuantitatif sebagai penjelas garis silsilah kekerabatan antara bahasa sekerabat dan sebagai hipotesis kerja (work hypothesis) untuk pendekatan kualitatif yang juga menghasilkan diagram pohon secara kualitatif. Diagram pohon secara kualitatif dapat menjadi alat verifikasi dan konfirmasi dari hasil yang sudah dicapai melalui tahapan kuantitatif. Sementara itu, teknik rekonstruksi merupakan piranti bagi penelitian kualitatif yang dibedakan atas rekonstruksi dengan metode induktif dan deduktif.

(20)

Kajian dalam satu kelompok bahasa ini tergolong dalam kajian komparatif genetis. Kajian komparatif genetis memiliki asumsi dasar bahwa dalam bahasa-bahasa berkerabat, terdapat unsur warisan dan kaidah-kaidah perubahan bunyi pada proto-bahasanya. Metode komparatif ini diterapkan dengan merekonstruksi sebanyak mungkin seperangkat kosakata dasar dari proto-bahasa. Selain itu, metode ini juga dapat dimanfaatkan untuk menentukan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi dalam bahasa-bahasa turunan yang telah berkembang dari proto bahasanya (Campbell, 1999:108–109). Crowley (2010:90–91) menjelaskan bahwa metode komparatif diterapkan dengan membandingkan bentuk kognat untuk mencari bentuk asal bahasa dengan tetap berpedoman pada berbagai perubahan bunyi yang ada.

Pengamatan dimulai dengan pendekatan kuantitatif yang diikuti dengan pendekatan kualitatif dengan kekhasan teknik masing-masing. Pendekatan secara kuantitatif dilakukan dengan menerapkan teknik leksikostatistik. Sementara itu, pendekatan kualitatif dilakukan dengan menerapkan dua teknik rekonstruksi sekaligus, yaitu teknik rekonstruksi dari bawah ke atas (bottom-up

reconstructions) dan teknik rekonstruksi dari atas ke bawah (top-down reconstructions).

Apabila hasil penelitian dengan pendekatan linguistik komparatif, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, saling mendukung, hal ini dipahami sebagai hasil yang bersifat konfirmasi. Namun, jika hasil kedua analisis tersebut menunjukkan hasil yang berbeda, hal ini dipahami sebagai koreksi dan bersifat verifikasi terhadap hasil yang dicapai dari pendekatan linguistik komparatif.

(21)

1.7.1 Pendekatan Linguistik Diakronis dengan Metode Kuantitatif

Pendekatan secara kuantitatif dilakukan dengan menerapkan teknik leksikostatistik terhadap bahasa Baranusa di Pantar dengan bahasa Kedang dan Lamaholot di Flores Timur. Keraf (1991:121–125) menjelaskan teknik leksikostatistik sebagai teknik pengelompokkan bahasa yang cenderung lebih mengutamakan analisis kata-kata (leksikon) secara statistik. Teknik ini bertujuan untuk mengetahui seberapa dekat hubungan kekerabatan bahasa-bahasa yang terlihat dari besaran persentase kekerabatan sejumlah kata yang dianggap kognat. Semakin besar persentase kekerabatan, semakin dekat hubungan antarbahasa. Sementara itu, Crowley (2010:168) menjelaskan leksikostatistik sebagai teknik untuk menentukan derajat kekerabatan antara dua bahasa dengan membandingkan kosakata sebagai penentu derajat kesamaan antara dua bahasa.

Pendekatan kuantitatif mengarah pada peringkat kekerabatan antarbahasa. Peringkat kekerabatan ini berdasarkan persentase kognat yang diperoleh dari perbandingan 200 kosakata dasar swadesh dari bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot. Jika persentase semakin tinggi, ini berarti kedua bahasa terpisah dalam waktu yang belum lama dan dapat dimasukkan pada level pengelompokkan yang lebih rendah. Sementara itu, jika persentase semakin rendah, kedua bahasa diasumsikan sudah terpisah lama dan dapat dimasukkan pada level pengelompokkan yang lebih tinggi.

Derajat kekerabatan dua bahasa ini tercermin dalam persentase kekerabatan yang diperoleh dari sejumlah kosakata yang kognat. Jika persentase kata yang kognat antara 81% hingga 100%, level pengelompokkan ada pada

(22)

tataran dialek (dialects of language). Sementara itu, jika antara 81% hingga 61%, kedua bahasa termasuk subkelompok bahasa (languages of subfamily); 36% hingga 61%, kedua bahasa termasuk keluarga bahasa (languages of family); 12% hingga 36%, kedua bahasa termasuk keturunan keluarga bahasa (families of

stock); 4% hingga 12%, kedua bahasa termasuk keturunan mikrofilum (stocks of microphylum); 1% hingga 4%, kedua bahasa termasuk keturunan mikro dari satu

kelompok meso (microphyla of a mesophylum); dan jika derajat persentase antara 0% hingga 1%, kedua bahasa termasuk keturunan meso dari satu kelompok makro (mesophyla of a macrophylum) (Crowley, 2010:168–170).

Kekerabatan bahasa-bahasa ini merupakan hasil dari perubahan secara konstan yang dialami oleh semua bahasa di dunia. Perubahan ini selalu terjadi pada tataran pembendaharaan kata (leksikal), pelafalan (fonologis), serta tata bahasa (gramatikal). Perubahan ini berlangsung secara alami dan tidak dapat dielakkan (Trask, 1994:1–2).

1.7.2 Pendekatan Linguistik Diakronis dengan Metode Kualitatif

Pendekatan secara kualitatif digunakan untuk mendapatkan evidensi mengenai relasi kekerabatan bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot. Dari hasil analisis kualitatif, diperoleh seperangkat kata yang kognat yang mengarah pada kaidah-kaidah perunahan bunyi (hukum korespondensi fonem). Berbagai kaidah korespondensi fonem tersebut dapat dihubungkan dengan kaidah-kaidah dari proto-bahasa (Campbell, 1999:108). Ini berarti, bahasa-bahasa yang menunjukkan

(23)

kaidah-kaidah perubahan bunyi yang saling berkorespondensi merupakan bahasa-bahasa yang terhubung secara genetis.

Berbagai kaidah korespondensi bunyi yang ditemukan ini dapat menjadi acuan dalam melakukan langkah analisis kualitatif berikutnya, yaitu rekonstruksi secara induktif atau rekonstruksi dari bawah ke atas (bottom-up reconstruction). Rekonstruksi secara induktif dilakukan untuk menyusun bentuk-bentuk awal (proto-bahasa) dari bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot. Langkah ini bermanfaat untuk mengetahui bahasa awal yang menurunkan bahasa-bahasa modern yang ada saat ini. Penyusunan bentuk proto dari ketiga bahasa berpedoman pada kaidah-kaidah korespondensi yang sudah ditemukan serta sistem fonologi dari ketiga bahasa tersebut.

Setelah dilakukan rekonstruksi secara induktif, langkah selanjutnya adalah penerapan teknik rekonstruksi secara deduktif atau rekonstruksi dari atas ke bawah (top-down reconstruction) untuk mencari pola kekerabatan atau refleks bahasa-bahasa modern terhadap bahasa proto. Rekonstruksi secara deduktif dilakukan dengan cara mencari dan merumuskan kaidah-kaidah perubahan bunyi, baik kaidah primer maupun sekunder, dari bahasa proto ke bahasa modern. Kaidah-kaidah perubahan bunyi primer merupakan kaidah perubahan bunyi yang bersifat teratur, sistematis, berulang, dan bersifat pasti. Sementara itu, kaidah perubahan bunyi sekunder terjadi secara tidak teratur (sporadis). Kaidah perubahan bunyi primer masih dibedakan menjadi kaidah perubahan bersyarat (posisi tertentu) dan kaidah perubaan tanpa syarat (semua posisi). Sementara itu, kaidah, perubaan bunyi sekunder, seperti diungkapkan oleh Crowley (2010:38–

(24)

64), dibagi menjadi sembilan jenis, yaitu pelemahan bunyi, penambahan bunyi, metatesis, penggabungan, merger, perubahan vokal menjadi diftong, asimilasi, disimilasi, serta perubahan bunyi yang tidak wajar.

Penelusuran melalui teknik rekonstruksi secara deduktif bermanfaat untuk mengetahui pola-pola perubahan bahasa dari bentuk proto ke bentuk modern sehingga relasi kekerabatan antara bahasa-bahasa Austronesia di Pantar dan Flores Timur dapat terlihat. Penentuan kedekatan relasi ini harus didasarkan pada bukti-bukti berupa inovasi bersama secara eksklusif. Inovasi bersama merupakan perubahan bunyi yang tetap dan selalu muncul tanpa kecuali (Hock, 1991:34–36). Hasil rekonstruksi secara deduktif juga dapat memperlihatkan bukti kekerabatan berupa inovasi bersama secara eksklusif di samping retensi. Unsur-unsur inovasi bersama mengacu pada evidensi mengenai kekerabatan bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot sehingga dapat membantu menetapkan pengelompokkan kekerabatan dengan cara menyusun diagram pohon silsilah kekerabatan bahasa-bahasa tersebut secara kualitatif.

Penyusunan diagaram pohon secara kualitatif ini dapat menjadi pembuktian atau konfirmasi dari penyusunan diagram pohon secara kuantitatif. Usaha penyusunan diagram pohon silsilah kekerabatan ketiga bahasa secara kualitatif berpedoman pada kaidah-kaidah perubahan bunyi yang ditemukan. Karenanya, temuan mengenai kaidah-kaidah perubahan bunyi dari bentuk proto sangat menentukan kedekatan relasi kekerabatan ketiga bahasa secara kualitatif. Penyusunan diagram pohon silsilah kekerabatan secara kualitatif ini bermanfaat untuk mengetahui garis turunan dari bahasa awal (proto) hingga ke bahasa modern

(25)

sehingga memudahkan pengelompokkan genetis bahasa-bahasa yang dibandingkan.

1.8 Hipotesis

Sebagai asumsi sementara, hipotesis penelitian ini berangkat dari hasil perhitungan leksikostatistik terhadap data sekunder 200 kosakata dasar bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaolot. Dari hasil pemeriksaan, ketiga bahasa tersebut menunjukkan relasi kekerabatan yang tinggi, yaitu mencapai lebih dari 50%. Hasil perhitungan ini diperoleh dari data sekunder karena sebelum mengambil data primer di lapangan, data sekunder telah diperoleh sebagai acuan untuk menyusun hipotesis.

Hasil perhitungan leksikostatistik tersebut cenderung mengasumsikan bahwa terdapat relasi kekerabatan yang erat antara ketiga bahasa itu. Dari hasil pengamatan tersebut, penelitian ini mengasumsikan bahwa bahasa baranusa di Pulau Pantar memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan bahasa Kedang di Lembata dan Lamaholot di Flores Timur. Karenanya, bahasa Baranusa diasumsikan merupakan bagian parsial dari kelompok bahasa Flores bersama dengan bahasa Kedang dan Lamaolot.

Jika ketiganya benar-benar berkerabat, akan ditemukan satuan-satuan lingual, mulai dari fonologi hingga leksikon dalam ketiga bahasa tersebut yang mempunyai kemiripan seperti yang terefleksi di dalam perubahan fonologi dan leksikal. Perubahan-perubahan itu harus diamati melalui pendekatan diakronis

(26)

dengan teknik yang sesuai, yaitu metode kuantitatif dengan teknik leksikostatistik dan metode kualitatif dengan teknik rekonstruksi.

Jika bahasa Baranusa benar merupakan bagian parsial dari kelompok bahasa Flores, kaidah primer dan sekunder dapat dengan mudah diidentifikasi dan dideskripsikan. Penemuan kaidah-kaidah korespondensi dan perubahan bunyi merupakan bukti bahwa bahasa Baranusa di Pulau Pantar merupakan bagian parsial kelompok bahasa Flores yang beranggotakan di antaranya adalah bahasa Kedang dan Lamaholot. Selain itu, kemunculan kaidah korespondensi bunyi juga dapat mengindikasikan adanya kemungkinan untuk merekonstruksi bentuk awal (proto-bahasa) dari ketiga bahasa. Rekonstruksi proto bahasa ini berguna untuk mengetahui silsilah kekerabatan ketiga bahasa tersebut dengan cara menyusun diagram pohon silsilah kekerabatan bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot.

1.9 Metode Penelitian

Metodologi yang diterapkan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini adalah metode komparatif dengan membandingkan bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot untuk mengungkapkan relasi historis ketiganya. Metode komparatif mencakup sekumpulan teknik yang sudah dikembangkan selama lebih dari satu setengah abad yang lalu yang memungkinkan penelitian bahasa untuk menemukan kembali konstruksi linguistis dari tahapan terdahulu dalam sebuah keluarga bahasa atau sekelompok bahasa-bahasa berkerabat (Rankin, 2003:183). Tujuan utama dari metode komparatif adalah mengkaji relasi historis kekerabatan bahasa-bahasa dengan memanfaatkan hasil kajian secara internal dari masing-masing

(27)

bahasa yang terhubung secara genetis untuk mengetahui relasi kekerabatannya dan merekonstruksi proto bahasanya.

Asumsi utama dalam metode komparatif adalah bahwa perubahan bahasa terjadi melalui proses-proses linguistis bahasa awal pada berbagai tataran yang terlibat, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik menjadi bahasa modern seperti sekarang ini. Proses perubahan bahasa ini tidak hanya terjadi dalam ruang hampa, tetapi turut dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal kebahasaan, seperti kondisi geografi dan sosial-budaya masyarakat penuturnya.

Metode komparatif bersandar pada karakteristik tertentu dari sebuah bahasa dan perubahan yang dialaminya. Satu faktor yang dianggap penting dalam metode komparatif adalah kearbitreran dari hubungan antara bentuk-bentuk fonologis dan makna (Rankin, 2003:186). Karenanya, dalam mengidentifikasi dan merumuskan berbagai kaidah perubahan bunyi dalam bahasa-bahasa berkerabat, faktor kearbitreran bahasa perlu diperhatikan. Dalam menerapkan metode komparatif, rekonstruksi internal memiliki peranan yang penting untuk mengidentifikasi bahasa turunan. Penerapan metode komparatif yang utuh adalah dengan penemuan seperangkat kosakata yang kognat, baik leksikal maupun morfologis, serta konfirmasi secara bersamaan dari hubungan genetis (Rankin, 2003:186).

Langkah-langkah dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyediaan hasil analisis data. Masing-masing tahapan masih dibedakan menjadi beberapa langkah. Berikut

(28)

ini adalah penjelasan secara lebih rinci mengenai langkah-langkah yang diterapkan dalam penelitian ini.

1.9.1 Tahap Penyediaan Data

Terdapat tiga tahap pada tahap penyediaan data, yaitu penyediaan data sekunder, refresh data, dan penyediaan data primer. Data sekunder dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu data sekunder untuk analisis awal secara kuantitatif serta data sekunder untuk analisis kuantitatif dan kualitatif bahasa Kedang dan Lamaholot. Data sekunder untuk analisis awal secara kuantitatif diperoleh dari penelitian terdahulu oleh Fernandez (1988, 1996) untuk data sekunder bahasa Kedang dan Lamaholot serta La Ino (2013) untuk data sekunder bahasa Baranusa. Data sekunder ini digunakan sebagai bahan analisis awal untuk mengetahui gambaran sepintas mengenai kekerabatan ketiga bahasa secara kuantitatif. Hasil analisis awal secara kuantitatif ini dijadikan acuan dalam menentukan analisis lebih lanjut terhadap bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot secara kualitatif. Sementara itu, data sekunder untuk analisis secara kuantitatif dan kualitatif bahasa Kedang dan Lamaholot diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya oleh Fernandez (1988, 1996) untuk data kosakata dasar bahasa Kedang dan Lamaholot, Samely (1991, 2013) untuk data tatabahasa bahasa Kedang, serta Nishiyama dan Kelen (2007, 2011) untuk data tatabahasa bahasa Lamaholot. Hasil analisis dari data sekunder ini digunakan untuk menyusun hipotesis dan menentukan rencana analisis lanjutan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, terhadap bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot.

(29)

Setelah tahap penyediaan data sekunder dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah refresh data untuk menyediakan data primer. Refresh data merupakan usaha penyediaan data primer dengan cara melakukan konfirmasi data sekunder yang telah diperoleh pada penutur asli bahasa terkait di lapangan secara langsung. Data kebahasaan dan folklor lisan penutur bahasa Baranusa diperoleh dengan terjun langsung ke lokasi penelitian, yaitu di Desa Baranusa, Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor, Provinsi NTT. Sementara itu, refresh data kebahasaan dan folklor lisan penutur bahasa Kedang dan Lamaholot dilakukan di Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur dan di Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 200 kosakata dasar swadesh dan 646 kosakata dasar budaya. Instrumen penelitian ini terutama digunakan untuk menjaring data kebahasaan dari penutur bahasa Baranusa. Sementara itu, untuk bahasa pembanding, yaitu bahasa Kedang dan bahasa Lamaholot, instrumen yang digunakan dikhususkan pada 200 kosakata dasar Swadesh. Hal ini karena data kebahasaan dari bahasa Lamaholot dan bahasa Kedang dalam hal pembendaharaan kata dan tatabahasa sudah diperoleh dari penelitian terdahulu oleh Keraf (1978), Fernandez (1988, 1996), Samely (1991, 2013), serta Nishiyama dan Kelen (2007, 2011).

Teknik yang digunakan untuk refresh data adalah teknik rekam dan wawancara mendalam kepada informan. Segala prosedur dan perlengkapan dalam pelaksanaan tahap pengumpulan data merujuk pada pedoman penelitian lapangan linguistik oleh Bowern (2008). Informan akan dipilih sesuai dengan kriteria yang memadai. Ayatrohaedi (1983:48–50) merumuskan kriteria informaan untuk

(30)

kepentingan pengambilan data kebahasaan. Menurutnya, persyaratan yang harus diperhatikan untuk memilih informan adalah informan yang bersangkutan sebaiknya berusia antara 40 hingga 50 tahun, berpendidikan maksimal SD, asal-usul informan harus jelas bahwa ia berasal dari daerah yang diteliti, menguasai bahasa daerahnya dengan baik, dan memiliki kemurnian dalam berbahasa atau tidak terpengaruh oleh bahasa lain. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam memilih informan adalah kondisi fisik berupa alat ucap yang sempurna atau tidak cacat serta bersedia dengan sepenuh hati memberikan data kebahasaan tanpa merasa enggan atau terpaksa.

1.9.2 Tahap Analisis Data

Pada tahap analisis data, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan linguistik historis komparatif, baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif. Metode kuantitatif bersifat analisis secara statistik dengan melibatkan perhitungan persentase kekerabatan antara bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot. Metode analisis secara kualitatif bersifat deskriptif mengenai kekerabatan dari ketiga bahasa dari segi linguistik.

1.9.2.1 Analisis dengan Metode Kuantitatif

Metode kuantitatif dilakukan dengan menerapkan teknik leksikostatistik untuk melihat relasi kekerabatan bahasa-bahasa Austronesia di Pantar dan Flores Timur. Teknik leksikostatistik merupakan salah satu alat analisis dalam penelusuran linguistis yang memanfaatkan metode komparatif. Teknik ini

(31)

diterapkan dengan cara membuat daftar kata yang disesuaikan dengan daftar 200 kosakata dasar Swadesh dari bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot. Dari daftar kosakata dasar tersebut, dilakukan usaha penelusuran sekelompok kosakata yang menunjukkan kemiripan bentuk dan makna (kognat).

Penetapan kosakata yang dianggap kognat perlu mempertimbangkan kemungkinan adanya kosakata yang merupakan pinjaman dari bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lain yang berpengaruh di lokasi sekitar, seperti bahasa Alor. Selain itu, dalam penetapan status kekognatan kata, perlu dipertimbangkan kata-kata yang berupa tiruan bunyi (onomatope), kata bayi (nursery words), dan kata-kata yang kebetulan mirip. Jumlah kosakata yang kognat ini menentukan persentase tingkat kekerabatan antara bahasa-bahasa yang dibandingkan. Setelah diperoleh persentase kekerabatan, status kekerabatan antarbahasa kemudian ditentukan sesuai dengan kriteria penetapan relasi genetis antarbahasa yang dikemukakan oleh Crowley (2010). Persentase kekerabatan antarbahasa ini dapat dijadikan acuan dalam menyusun diagram pohon kekerabatan ketiga bahasa secara kuantitatif.

1.9.2.2 Analisis dengan Metode Kualitatif

Penentuan sekumpulan kosakata yang kognat merupakan langkah awal dalam analisis linguistis dengan pendekatan linguistik komparatif. Sekumpulan kosakata yang kognat inilah yang menjadi acuan untuk analisis selanjutnya, yaitu analisis dengan metode kualitatif untuk melihat relasi kekerabatan yang disertai dengan bukti-bukti retensi dan inovasi yang diperoleh dari usaha merumuskan

(32)

korespondensi bunyi dan rekonstruksi proto-bahasa. Selain itu, analisis kualitatif juga berusaha untuk mengidentifikasi kaidah-kaidah perubahan bunyi, baik primer maupun sekunder sebagai refleks bahasa modern terhadap proto-bahasanya, serta menyusun diagram pohon kekerabatan antara ketiga bahasa tersebut secara kualitatif.

Ada beberapa tahapan untuk melakukan analisis kualitatif. Hal pertama yang dilakukan adalah mencari korespondensi bunyi yang ditunjukkan oleh seperangkat kata yang kognat antara bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot. Korespondensi bunyi mengarah pada perumusan seperangkat bunyi-bunyi fonologis yang mengalami perubahan secara tersistem dalam posisi-posisi tertentu dalam kata. Korespondensi bunyi yang ditemukan merupakan bukti awal adanya hubungan kekerabatan yang erat antara bahasa-bahasa yang dibandingkan. Perumusan kaidah korespondensi bunyi bermanfaat untuk mengenali karakteristik perubahan bunyi pada masing-masing bahasa. Karakteristik perubahan bunyi pada masing-masing bahasa dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam usaha merekonstruksi bentuk awal (proto-bahasa) dari ketiga bahasa.

Setelah melewati tahap perumusan kaidah korespondensi bunyi, langkah selanjutnya adalah rekonstruksi induktif atau rekonstruksi dari bawah ke atas (bottom-up reconstruction) untuk menentukan proto-bahasa Baranusa-Kedang-Lamaholot (PBKL). Rekonstruksi proto-bahasa merupakan studi perkiraan mengenai bentuk-bentuk awal dari bahasa-bahasa modern yang dimungkinkan telah lahir terlebih dahulu (Crowley, 2010:89–90). Usaha untuk merekonstruksi proto-bahasa mengacu pada kekhasan sistem fonologi tiap-tiap bahasa,

(33)

korespondensi bunyi yang ditemukan, serta etimon Proto Austronesia (PAN). Setelah etimon PBKL diperoleh, langkah selanjutnya adalah rekonstruksi secara deduktif atau rekonstruksi dari atas ke bawah (top-down reconstruction) dengan cara mencari refleks PBKL terhadap masing-masing bahasa modern.

Kaidah perubahan bunyi primer dan sekunder mempunyai kekhasan masing-masing. Kaidah perubahan bunyi primer dibedakan menjadi dua, yaitu kaidah perubahan primer yang bersyarat dan kaidah perubahan primer tanpa syarat. Sementara itu, kaidah perubahan bunyi sekunder mengacu para tipe perubahan bunyi yang terjadi secara tidak teratur. Kaidah perubahan bunyi sekunder disebut juga kaidah perubahan sporadis. Perumusan kaidah perubahan bunyi primer dan sekunder bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot terhadap bentuk protonya bermanfaat untuk mengetahui proses historis yang terjadi dari bentuk proto sehingga melahirkan bentuk modern yang ada saat ini.

Rekonstruksi secara deduktif dilakukan dengan membandingkan bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot dengan bahasa awal (proto-bahasa) sehingga refleks fonem-fonem bahasa proto terhadap bahasa modern dapat ditemukan. Temuan refleks fonem ini dapat dimanfaatkan untuk menyusun kaidah-kaidah perubahan bunyi, baik kaidah primer maupun sekunder.

Perbandingan bentuk modern dengan bentuk proto ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui unsur-unsur yang mengalami retensi dan inovasi. Retensi merupakan pemertahanan bentuk dari bentuk proto ke bentuk modern. Inovasi merupakan perubahan bentuk yang dialami oleh bahasa modern terhadap bahasa proto. Inovasi masih dibedakan menjadi dua, yaitu inovasi leksikal dan

(34)

inovasi fonologis. Inovasi leksikal mengacu pada perubahan bentuk secara leksikal atau pada tataran kata. Sementara itu, inovasi fonologis mengacu pada perubahan bentuk secara fonologis atau pada tataran bunyi bahasa.

Inovasi fonologis masih dibedakan menjadi dua, yaitu inovasi fonologis secara bersama-sama dan inovasi fonologis secara individual. Inovasi fonologis yang dialami secara bersama-sama mengindikasikan adanya inofasi bersama secara ekslusif. Inovasi bersama ini disebut ekslusif karena kaidah inovasi yang ditemukan hanya berlaku pada bahasa-bahasa tertentu yang termasuk dalam satu kelompok atau satu rumpun. Keberadaan inofasi fonologis bersama secara ekslusif mengindikasikan bahwa bahasa-bahasa yang dibandingkan memiliki tingkat kekerabatan yang tinggi.

Setelah penentuan inovasi dan retensi, langkah terakhir dari analisis secara kualitatif adalah menyusun diagram pohon kekerabatan antara bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot dalam relasinya dengan proto-bahasanya secara kualitatif. Penyusunan diagram pohon kekerabatan secara kualitatif mengacu pada temuan-temuan sebelumnya dalam analisis kualitatif yang mencakup korespondensi bunyi, rekonstruksi induktif, rekonstruksi deduktif, serta inovasi dan retensi bahasa-bahasa modern terhadap proto-bahasanya.

1.9.3 Tahap Penyajian Hasil Penelitian

Penyajian hasil penelitian mencakup penjabaran awal mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, landasan teori, dan metodologi penelitian. Penjabaran kemudian disusul dengan deskripsi mengenai daerah

(35)

penelitian dari masing-masing wilayah tutur bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot. Deskripsi daerah penelitian bermanfaat untuk mengetahui kondisi geografis, sosial-budaya, dan masyarakat penutur ketiga bahasa yang bersangkutan. Pengetahuan mengenai hal-hal tersebut sangat penting untuk dijadikan acuan dalam analisis secara mendalam terhadap bahasa-bahasa yang bersangkutan karena pada dasarnya, penggunaan suatu bahasa juga dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang ada di masyarakat.

Selain deskripsi mengenai daerah penelitian, hal yang juga penting untuk dideskripsikan adalah deskripsi kebahasaan secara sinkronis dari masing-masing bahasa. Deskripsi sinkronis, terutama deskripsi sistem fonologis dan leksikal, penting untuk mengetahui karakteristik kehadiran bunyi-bunyi dalam bahasa, baik vokal maupun konsonan. Pengetahuan mengenai hal tersebut bermanfaat untuk analisis secara kuantitatif dan kualitatif kekerabatan bahasa Baranusa di Pulau Pantar dengan bahasa Kedang dan Lamaholot di Flores Timur.

Setelah pendeskripsian mengenai daerah penelitian dan sistem fonologis masing-masing bahasa, langkah selanjutnya adalah menyajikan hasil analis. Hasil analisis akan disajikan secara kuantitatif dan kualitatif. Penyajian secara kuantitatif digunakan untuk menjabarkan tingkatan persentase leksikostatistik dan kekerabatan bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot dengan diagram pohon secara kuantitatif. Sementara itu, metode penyajian kualitatif digunakan untuk menjelaskan relasi kekerabatan ketiga bahasa yang mencakup perumusan korespondensi bunyi, rekonstruksi proto-bahasa, perumusan kaidah-kaidah perubahan bunyi, dan penyusunan diagram pohon kekerabatan secara kualitatif.

(36)

Perumusan kesimpulan mengacu pada hasil analisis secara keseluruhan dari kekerabatan bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot. Sementara itu, saran yang diajukan mengacu pada kemungkinan penelitian lanjutan yang dapat dilakukan.

10. Sistematika Penyajian

Penelitian ini disajikan dalam enam bab. Bab pertama berisi pendahuluan. Bab kedua berisi deskripsi wilayah tutur masing-masing bahasa. Bab tiga berisi deskripsi sinkronis bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot. Bab empat berisi penerapan metode kuantitatif untuk melihat relasi kekerabatan bahasa-bahasa Austronesia di Pantar dan Flores Timur. Bab lima berisi pembahasan dan analisis mengenai penerapan metode kualitatif dengan menerapkan teknik rekonstruksi untuk mencari bahasa awal dan kaidah-kaidah yang barlaku pada bahasa-bahasa yang diturunkan. Bab enam berisi hasil dari keseluruhan penelitian yang memuat kesimpulan dan saran.

Gambar

Gambar 1.  Wilayah  tutur  bahasa  Lamaholot  (Flores  Timur,  Adonara,  Solor,  Lembata bagian barat), bahasa Kedang (ujung timur Pulau Lembata),  dan  Baranusa  (sebagian  Pulau  Pantar)
Tabel 1. Contoh kosakata dasar bahasa Baranusa, Kedang, dan Lamaholot.

Referensi

Dokumen terkait

Mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah, menolong orang hingga ia dapat naik kendaraan atau mengangkatkan barang bawaan ke atas kendaraannya

Tugas ketua adalah melakukan pengumpulan data dengan cara obervasi kegiatan dari proses pembentukan tim panitia zakat fitrah yang melibatkan Pemerintah Desa

Hasil uji Mann Whitneydidapatkan ada perbedaan yang bermakna antara modified ovitrapberisi air sumur dengan modified ovitrap berisi air rendaman jerami 5%terhadap jumlah jentik

Penelitian ini membahas mengenai pengaruh motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, motivasi kekuasaan terhadap kinerja pegawai dengan kepuasan sebagai

Hasil penelitian ini adalah untuk memberi informasi pada para remaja, orang tua, guru-guru dan pihak lain yang berkaitan dengan dunia remaja agar dapat lebih

Pendekatan kontekstual berbasis alam yang diterapkan dalam penelitian ini efektif dalam meningkatkan pemahaman kimia dan sikap ilmiah peserta didik, karena : (a)

Kemudahan mengakses internet tersebut diharapkan, para pelajar khususnya peserta didik SMA dapat memanfaatkan media internet tersebut, guna mendukung kegiatan

Atas dasar harga berlaku, sektor ekonomi yang menunjukkan perubahan nilai tambah bruto terbesar pada triwulan II tahun 2011 adalah jasa-jasa sebesar Rp 129,73