• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION (DSME)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION (DSME)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION

(DSME) TERHADAP RESIKO TERJADINYA ULKUS

DIABETIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DENGAN

DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2

DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER

SKRIPSI

Oleh Alvinda Yuanita NIM. 092310101013

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER

(2)

ii

terhadap Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember” telah diuji dan disahkan oleh Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember pada:

hari : Kamis

tanggal : 26 September 2013

tempat : Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember

Tim Penguji Ketua, Ns. Rondhianto, M.Kep NIP. 19830324 200604 1 002 Anggota I, Ns. Wantiyah, M.Kep NIP. 19810712 200604 2 001 Anggota II,

Ns. Tantut Susanto, M. Kep., Sp.Kep.Kom NIP. 19800105 200604 1 004

Mengesahkan Ketua Program Studi,

dr. Sujono Kardis, Sp.K. NIP. 19490610 198203 1 001

(3)

iii

Diabetes Mellitus (DM) Outpatients in dr. Soebandi Hospital Jember).

Alvinda Yuanita

Nursing Science Study Program, Jember University

ABSTRACT

Type 2 Diabetes Mellitus (DM) is a glucose metabolism disorders caused by insulin resistance and impaired of insulin secretion and it can cause any chronic complications, such as diabetic ulcers. Diabetes Self Management Education (DSME) can facilitate patients’s knowledge, skills, and abilities for self-care to prevent diabetic ulcers. This research was intended to analyze the influence of DSME to the risk of diabetic ulcers on Type 2 DM outpatients. The research method was quasi experimental with pre-test and post-test with control group design and used consequtive sampling with 40 Type 2 DM respondents divided into 2 groups. Data were analyzed by using Paired T-test and Independent T-test with 95% of CI. The research results showed that P value of Paired T-test in experimental group is 0,000 and 0,015 in control group, while P value of Independent T-test was 0,001 (p < α ; α = 0,05). The conclusion of this research is there was an influence of DSME to reduce the risk of diabetic ulcers on Type 2 DM outpatients in dr. Soebandi Hospital Jember. It is suggested that nurses can provide DSME to prevent diabetic ulcers on Type 2 DM patients and using DSME as a health promotion program.

(4)

iv

Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember: Alvinda Yuanita, 092310101013; 2013; 107 halaman; Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.

Diabetes Mellitus merupakan suatu kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah ulkus diabetik. Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien DM tipe 2 penting dilakukan sebagai langkah awal pengendalian DM tipe 2. Salah satu bentuk edukasi yang umum digunakan dan terbukti efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 adalah Diabetes Self Management Education (DSME).

DSME merupakan suatu proses memberikan pengetahuan kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk mengoptimalkan kontrol metabolik, mencegah komplikasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien DM. Hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Maret tahun 2013, menunjukkan bahwa perawat tidak pernah memberikan Diabetes Self Management Education (DSME) kepada pasien DM tipe 2 karena keterbatasan waktu, kurangnya SDM, dan banyaknya pasien DM tipe 2 yang kontrol ke Poli Interna.

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah menganalisis pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan baru dan meningkatkan keterampilan pasien DM dalam melakukan perawatan mandiri sehingga dapat mencegah terjadinya ulkus diabetik, serta memberikan kontribusi atau manfaat bagi institusi pendidikan, instansi pelayanan kesehatan, profesi keperawatan, masyarakat dan responden, serta peneliti lain.

(5)

v

consequtive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang yang terbagi menjadi 20 orang pada kelompok intervensi dan 20 orang pada kelompok kontrol. Analisis data menggunakan uji Paired T-test dan Independent T-test. Uji Paired T-test digunakan untuk mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah pemberian DSME pada kelompok intervensi dan mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik saat observasi awal dan observasi akhir pada kelompok kontrol. Uji Independent T-test digunakan untuk mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Hasil analisis data menggunakan uji Paired T-test diperoleh nilai p pada kelompok intervensi sebesar 0,000 dan 0,015 pada kelompok kontrol. Nilai p pada kedua kelompok tersebut < α (α = 0,05) yang berarti ada perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah pemberian DSME pada kelompok intervensi dan ada perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik saat observasi awal dan observasi akhir pada kelompok kontrol. Hasil analisis data menggunakan uji Independent T-test diperoleh nilai p < α (α = 0,05) yaitu sebesar 0,001 yang berarti ada perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol, atau dengan kata lain ada pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik.

Kesimpulan penelitian ini adalah ada pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan DSME dapat dijadikan suatu materi pokok dalam pembelajaran asuhan keperawatan pada pasien DM tipe 2, sumber referensi bagi perawat maupun peneliti lain, suatu program promosi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan perawatan mandiri pasien DM tipe 2, dan dapat diterapkan oleh masyarakat.

(6)

vi HALAMAN SAMPUL ... i HALAMAN PENGESAHAN ... ii ABSTRAK ... iii RINGKASAN ... iv DAFTAR ISI ... vi DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 7 1.3 Tujuan Penelitian ... 7 1.3.1 Tujuan Umum ... 7 1.3.2 Tujuan Khusus ... 7 1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan ... 8

1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan ... 8

1.4.3 Bagi Profesi Keperawatan ... 9

1.4.4 Bagi Masyarakat dan Responden ... 9

1.4.5 Bagi Peneliti ... 9

1.5 Keaslian Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Diabetes Mellitus ... 12

2.1.1 Definisi ... 12

2.1.2 Klasifikasi ... 12

2.1.3 Etiologi ... 13

(7)

vii 2.1.8 Penatalaksanaan ... 22 2.1.9 Komplikasi ... 24 2.2 Ulkus Diabetik ... 25 2.2.1 Definisi ... 25 2.2.2 Etiologi ... 26 2.2.3 Faktor Resiko ... 26 2.2.4 Patofisiologi ... 27 2.2.5 Klasifikasi ... 28 2.2.6 Penatalaksanaan ... 31

2.2.7 Penilaian Ulkus Diabetik ... 33

2.3 Diabetes Self Management Education (DSME) ... 34

2.3.1 Definisi DSME ... 34

2.3.2 Tujuan DSME ... 34

2.3.3 Prinsip DSME ... 35

2.3.4 Standar DSME ... 35

2.3.5 Komponen DSME ... 38

2.3.6 Tingkat Pembelajaran DSME ... 39

2.3.7 Pelaksanaan DSME ... 40

2.4 Keterkaitan Diabetes Self Management Education (DSME) dengan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik ... 40

2.5 Kerangka Teori ... 45

BAB 3. KERANGKA KONSEP... 46

3.1 Kerangka Konsep ... 46

3.2 Hipotesis ... 46

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 48

4.1 Jenis Penelitian ... 48

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian... 49

(8)

viii

4.4 Waktu Penelitian ... 51

4.5 Definisi Operasional ... 52

4.6 Pengumpulan Data ... 52

4.6.1 Sumber Data ... 52

4.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... 53

4.6.3 Alat Pengumpulan Data ... 57

4.6.4 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 59

4.7 Rencana Pengolahan Data ... 62

4.7.1 Editing ... 62 4.7.2 Coding ... 63 4.7.3 Processing/entry ... 63 4.7.4 Cleaning ... 63 4.8 Analisis Data ... 64 4.9 Etika Penelitian ... 66

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68

5.1 Hasil Penelitian ... 68

5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 68

5.1.2 Karakteristik Responden ... 69

5.1.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik ... 71

5.1.4 Hasil Uji Statistik ... 73

5.2 Pembahasan ... 75

5.2.1 Karakteristik Responden ... 75

5.2.2 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum Dilakukan DSME pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... 81

5.2.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sesudah Dilakukan DSME pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... 82

5.2.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... 84

(9)

ix

6.2 Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN ... 108

(10)

x

Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Usia, Lama Mengalami DM, Nilai KGD Sewaktu, dan Nilai ABI pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) ………. 69 Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) ……… 70 Tabel 5.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) …… 71 Tabel 5.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) ……… 71 Tabel 5.5 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) ………… 72 Tabel 5.6 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) ……… 72 Tabel 5.7 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) ………. 73 Tabel 5.8 Hasil Analisis Paired t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) …… 74 Tabel 5.9 Hasil Analisis Independent t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) ………. 75

(11)

xi

Gambar 2.2 Langkah-langkah Diagnosis DM Tipe 2 ... 16 Gambar 2.3 Hubungan perilaku, pendidikan kesehatan, dan status kesehatan ... 42 Gambar 2.4 Kerangka teori ... 45 Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian ... 46 Gambar 4.1 Pola penelitian pre-test dan post-test with control group design .... 48 Gambar 5.1 Analisis framework terhadap hasil (outcomes) pemberian DSME . 87

(12)

xii

A.1 Lembar Informed ... 108

A.2 Lembar Consent ... 109

B. INSTRUMEN PENELITIAN ... 110

B.1 Karakteristik Responden... 110

B.2 Lembar Observasi Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik ... 111

C. STANDART OPERATIONAL PROCEDURE (SOP) ... 116

D. SATUAN ACARA PENDIDIKAN (SAP) ... 118

E. MEDIA (BOOKLET) ... 125

F. HASIL PENELITIAN ... 141

F.1 Karakteristik Responden Kelompok Intervensi ... 141

F.2 Karakteristik Responden Kelompok Kontrol ... 143

F.3 Data Skor Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum dan Sesudah Pemberian DSME pada Kelompok Intervensi... 145

F.4 Data Skor Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Saat Observasi Awal dan Observasi Akhir pada Kelompok Kontrol ... 146

F.5 Hasil Uji Normalitas ... 146

F.6 Hasil Uji Homogenitas ... 147

F.7 Hasil Uji Paired T-test pada Kelompok Intervensi ... 147

F.8 Hasil Uji Paired T-test pada Kelompok Kontrol ... 148

F.9 Hasil Uji Independent T-test ... 148

G. DOKUMENTASI KEGIATAN ... 149

(13)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang paling banyak dialami oleh penduduk di dunia. Penyakit DM menempati urutan ke-4 penyebab kematian di negara berkembang (Sicree et.al., 2009). Salah satu jenis penyakit DM yang paling banyak dialami oleh penduduk di dunia adalah DM tipe 2 (85-95%), yaitu penyakit DM yang disebabkan oleh terganggunya sekresi insulin dan resistensi insulin (Smeltzer & Bare, 2001; Sicree et.al., 2009).

DM tipe 2 di sebagian besar negara telah berkembang akibat perubahan budaya dan sosial yang cepat, populasi penuaan yang semakin meningkat, peningkatan urbanisasi, perubahan pola makan, aktivitas fisik berkurang dan perilaku lain yang menunjukkan pola perilaku dan gaya hidup yang tidak sehat (Sicree et.al., 2009). Peningkatan jumlah kasus DM tipe 2 di dunia tersebut berdampak pada peningkatan komplikasi yang dialami pasien DM tipe 2, yaitu retinopati diabetik, nefropati diabetik, stroke, penyakit arteri koroner, kaki diabetik, dan beberapa komplikasi lainnya (Mansjoer dkk., 2005). Komplikasi tersering yang dialami pasien DM tipe 2 adalah neuropati perifer (10-60%) yang akan menyebabkan ulkus diabetik (Apelqvist et.al., 2008; Staff, 2012).

Data yang tercantum dalam IDF Diabetes Atlas, Sicree et.al. (2009) menjelaskan bahwa perkiraan jumlah pasien DM tipe 2 di dunia pada tahun 2010 sebanyak 285 juta jiwa dari total populasi dunia sebanyak 7 miliar jiwa dan meningkat sebanyak 439 juta jiwa pada tahun 2030 dari total populasi dunia

(14)

sebanyak 8,4 miliar jiwa. Kenaikan insidensi pasien DM tipe 2 juga terjadi di Asia Tenggara. Total populasi di Asia Tenggara pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 838 juta jiwa pada tahun 2010. Dari total populasi tersebut, terdapat 58,7 juta jiwa (7,6%) pasien DM tipe 2. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2030, yaitu dari total populasi pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 1,2 miliar, terdapat 101 juta (9,1%) pasien DM tipe 2.

Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia pada tahun 2010 setelah India, China, dan USA dengan jumlah pasien DM tipe 2 sebanyak 8,4 juta jiwa dan diperkirakan meningkat pada tahun 2030 sebanyak 21,3 juta jiwa (Wild et.al., 2004). Peningkatan prevalensi DM tipe 2 juga terjadi di Jawa Timur. Jawa Timur memiliki prevalensi DM tipe 2 di atas prevalensi nasional (1,1%) dengan prevalensi 1,3 % (BPS, 2010). Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur menjelaskan bahwa jumlah pasien DM tipe 2 yang dirawat di rumah sakit di Jawa Timur pada tahun 2010 sebanyak 3.622 jiwa dan 161 jiwa di antaranya meninggal dunia. Jumlah ini meningkat pada tahun 2011 yaitu 5.551 jiwa dan 172 jiwa di antaranya meninggal dunia (Seputar Indonesia, 2011).

Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret tahun 2013 oleh peneliti, menunjukkan bahwa jumlah kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember sebanyak 4.300 jiwa pada tahun 2012. Berdasarkan beberapa data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa prevalensi dan insidensi DM tipe 2 tetap meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupun negara berkembang.

(15)

Diabetes Mellitus sebagai suatu kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2005; ADA, 2010). Kenaikan kadar glukosa darah pada DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Insulin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pankreas yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam darah dengan mengatur penyimpanan dan pengeluaran insulin (Smeltzer & Bare, 2001).

Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel yang akan mengakibatkan suatu reaksi metabolisme glukosa dalam sel (Guyton & Hall, 2007). Resistensi insulin terjadi jika reseptor tersebut menjadi tidak sensitif terhadap insulin, sehingga insulin tidak dapat berikatan dengan reseptor. Gangguan sekresi insulin terjadi jika sel beta pankreas tidak mampu/terganggu untuk mensekresikan insulin (Price & Wilson, 2005).

Kadar glukosa darah yang meningkat dapat mengganggu sirkulasi darah karena dapat mengakibatkan penumpukan glukosa dalam pembuluh darah, sehingga pembuluh darah menjadi kaku dan menyempit (aterosklerosis) (Smeltzer & Bare, 2001). Akibat yang ditimbulkan dari kekakuan pembuluh darah tersebut adalah terganggunya sirkulasi/aliran darah ke jaringan tubuh. Terganggunya sirkulasi darah inilah yang mengakibatkan kematian pada jaringan tubuh dan menimbulkan komplikasi (Tambayong, 2000).

Komplikasi yang dapat muncul dari DM tipe 2 digolongkan menjadi dua, yaitu komplikasi jangka pendek (akut) dan jangka panjang (kronis). Komplikasi

(16)

jangka pendek meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan sindrom HHNK. Komplikasi jangka panjang meliputi penyakit mikrovaskuler (retinopati diabetik, nefropati diabetik), penyakit makrovaskuler (penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit arteri perifer), neuropati diabetik, rentan infeksi, dan kaki diabetik (Mansjoer dkk., 2005).

Penyakit makrovaskuler merupakan komplikasi yang sering mengakibatkan kematian. Penyakit makrovaskuler yang muncul pada pasien DM tipe 2 adalah penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit arteri perifer (Smeltzer & Bare, 2001). Penyakit makrovaskuler disebabkan oleh adanya aterosklerosis pada pembuluh darah besar pada pasien DM tipe 2. Aterosklerosis yang terjadi pada pembuluh darah besar ekstermitas bawah merupakan penyebab meningkatnya insiden penyakit arteri perifer pada pasien DM tipe 2. Dampak yang paling umum ditimbulkan oleh penyakit arteri perifer adalah timbul ulkus, gangren, dan penyembuhan luka yang lambat akibat sirkulasi darah yang buruk pada ekstermitas (ADA, 2003; Smeltzer & Bare, 2001).

Strategi yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya ulkus dan komplikasi lebih lanjut pada pasien DM tipe 2 meliputi edukasi kepada pasien, penanganan multidisiplin, monitoring ketat, dan pencegahan berupa perawatan kaki (Apelqvist et.al., 2008; Vatankhah et.al., 2009). Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar utama dalam penatalaksanaan DM tipe 2, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien DM tipe 2 penting dilakukan

(17)

sebagai langkah awal pengendalian DM tipe 2. Edukasi diberikan kepada pasien DM tipe 2 dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pasien sehingga pasien memiliki perilaku preventif dalam gaya hidupnya untuk menghindari komplikasi DM tipe 2 jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2001). Salah satu bentuk edukasi yang umum digunakan dan terbukti efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 adalah Diabetes Self Management Education (DSME) (McGowan, 2011).

Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan komponen penting dalam perawatan pasien DM dan sangat diperlukan dalam upaya memperbaiki status kesehatan pasien. DSME adalah suatu proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnell et.al., 2008). Menurut Sidani & Fan (2009), DSME merupakan suatu proses memberikan pengetahuan kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk mengoptimalkan kontrol metabolik, mencegah komplikasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien DM.

Tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan keputusan, perilaku perawatan diri, pemecahan masalah dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk memperbaiki hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup (Funnell et.al., 2008). Beberapa penelitian mengenai DSME telah dilakukan dan memberikan hasil yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Rondhianto (2011) mengenai pengaruh Diabetes Self Management Education dalam Discharge Planning terhadap Self Efficacy dan Self Care Behaviour memberikan

(18)

hasil bahwa penerapan DSME dalam discharge planning memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepercayaan diri dan perilaku pasien.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh McGowan (2011) mengenai The Efficacy of Diabetes Patient Education and Self-Management Education in Type 2 Diabetes. Hasil dari penelitian tersebut adalah terdapat perubahan A1C dan berat badan pada kedua kelompok setelah 6 bulan, namun perubahan perilaku dan hasil biologis hanya terdapat pada kelompok intervensi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku dan hasil klinis pasien DM tipe 2. Penelitian lain mengenai DSME juga dilakukan oleh Wicaksana (2010) yang menunjukkan bahwa DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengelolaan mandiri pasien DM tipe 2 yang meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan manajemen diri.

Berdasarkan meta-analisis yang dilakukan oleh Norris et.al. (2002) terhadap beberapa hasil penelitian mengenai DSME, pemberian DSME lebih banyak dilakukan di klinik daripada di komunitas, sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pemberian DSME di komunitas. Berdasarkan Data Rekam Medik Rawat Jalan RSD dr. Soebandi Jember, jumlah kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poli Interna pada bulan Januari tahun 2013 sebanyak 561 orang dan rata-rata kunjungan pasien DM tipe 2 per bulan sebanyak 358 orang. Hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Maret tahun 2013, menunjukkan bahwa perawat tidak pernah memberikan Diabetes Self Management Education (DSME) kepada pasien DM tipe 2 karena keterbatasan waktu, kurangnya SDM, dan banyaknya pasien DM

(19)

tipe 2 yang kontrol ke Poli Interna. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember.

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu adakah pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik pasien DM tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember; b. Mengidentifikasi resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum pemberian Diabetes Self Management Education (DSME) pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi;

(20)

c. Mengidentifikasi resiko terjadinya ulkus diabetik sesudah pemberian Diabetes Self Management Education (DSME) pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi;

d. Mengidentifikasi perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik saat observasi awal dan observasi akhir pada kelompok kontrol;

e. Mengidentifikasi perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah pemberian Diabetes Self Management Education (DSME) pada kelompok intervensi; dan

f. Menganalisis perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber referensi bagi dosen dan mahasiswa dalam mengembangkan ilmu keperawatan serta dapat digunakan sebagai materi pokok dalam asuhan keperawatan pasien dengan DM tipe 2 pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.

1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi institusi pelayanan kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien DM tipe 2, yaitu menjadi sumber referensi, sumber acuan, dan sebagai dasar aturan kebijakan

(21)

(Standart Operational Procedure) dalam penanganan DM tipe 2 yang berfokus pada tindakan preventif khususnya terhadap pencegahan terjadinya ulkus diabetik.

1.4.3 Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi, rujukan, dan bahan acuan tambahan dalam mengaplikasikan SOP (Standart Operational Procedure) dan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien DM tipe 2.

1.4.4 Bagi Masyarakat dan Responden

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya responden yaitu menambah informasi, pengetahuan, dan keterampilan dalam melakukan pengelolaan diabetes secara mandiri. Sehingga harapannya masyarakat mampu mendampingi dan membantu anggota keluarganya yang mengalami DM tipe 2 untuk melakukan pengelolaan secara mandiri sebagai tindakan pencegahan resiko terjadinya ulkus diabetik.

1.4.5 Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi awal dari penelitian-penelitian selanjutnya yang terkait dengan penanganan DM tipe 2 sehingga harapannya dengan adanya penelitian ini peneliti bisa menemukan berbagai solusi untuk mengatasi permasalahan DM tipe 2.

(22)

1.5 Keaslian Penelitian

Salah satu penelitian terkait yang mendasari dan mendukung penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Hanif (2012) dengan judul penelitian “Perbedaan Tingkat Stres Sebelum dan Sesudah Dilakukan Diabetes Self Management Education (DSME) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat stres pada pasien DM tipe 2 sebelum dan sesudah dilakukan Diabetes Self Management Education (DSME). Metode penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan desain yang digunakan adalah pre-test and post-test with control group design, terdiri dari satu kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian tersebut adalah consecutive sampling dengan sampel sebanyak 15 responden untuk masing-masing kelompok. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuosioner Diabetes Distress Scale yang berisi 17 pertanyaan mengenai indikator tingkat stres. Analisis data pada penelitian tersebut menggunakan uji paired T-test dan independent T-test. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan ada perbedaan tingkat stres pada pasien DM tipe 2 sebelum dan sesudah dilakukan Diabetes Self Management Education (DSME).

Berdasarkan penelitian tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember”. Perbedaan penelitian saat ini

(23)

dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel dependen, tempat penelitian, dan jumlah sampel. Variabel dependen yang ingin diteliti oleh peneliti saat ini adalah resiko terjadinya ulkus diabetik. Tempat penelitian saat ini adalah di rumah masing-masing pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Juli tahun 2013 yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consequtive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 20 responden untuk masing-masing kelompok. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dengan menggunakan instrumen penelitian berupa Inlow’s 60-second Diabetic Foot Screen Screening Tool. Analisis data menggunakan uji paired T-test dan independent T-test dengan tingkat kepercayaan 95%.

(24)

2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Definisi

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia), disertai dengan kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2005). Smeltzer & Bare (2001) menyebutkan DM sebagai sekelompok kelainan yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Menurut American Diabetes Association (2010), Diabetes Mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang memiliki karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dan disebabkan oleh adanya resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, atau kedua-duanya.

2.1.2 Klasifikasi

Berdasarkan etiologinya, DM dapat diklasifikasikan 4 (Mansjoer dkk., 2005; Smeltzer & Bare, 2001), yaitu:

a. DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga mengakibatkan defisiensi insulin absolut, bersifat autoimun;

b. DM tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin;

(25)

c. DM gestasional disebabkan oleh pengaruh hormon kehamilan yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah saat kehamilan; dan

d. DM tipe lain disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat menyebabkan kerusakan pada pankreas yaitu defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi, pankreatopati fibrokalkulus), endokrinopati, obat/zat kimia, infeksi, penyebab imunologi yang jarang (antibodi antiinsulin), dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.

2.1.3 Etiologi

Diabetes Mellitus secara umum disebabkan oleh defisiensi insulin akibat adanya kerusakan pada sel beta pankreas dan gangguan hormonal (Mansjoer dkk., 2005). DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan oleh gangguan resistensi insulin dan sekresi insulin. Resistensi insulin terjadi karena reseptor yang berikatan dengan insulin tidak sensitif sehingga mengakibatkan menurunnya kemampuan insulin dalam merangsang pengambilan glukosa dan menghambat produksi glukosa oleh sel hati. Gangguan sekresi insulin terjadi karena sel beta pankreas tidak mampu mensekresikan insulin sesuai dengan kebutuhan (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2001).

2.1.4 Patofisiologi

Insulin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pankreas yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa darah. Secara fisiologis, insulin

(26)

akan terikat dengan reseptor khusus pada membran sel sehingga menimbulkan reaksi. Reaksi yang dihasilkan oleh adanya ikatan antara reseptor dengan insulin tersebut adalah uptake glukosa oleh insulin dan terjadinya metabolisme glukosa dalam sel (Guyton & Hall, 2007). Resistensi insulin yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan karena fungsi fisiologis insulin terganggu, yaitu menurunnya kemampuan insulin dalam berikatan dengan reseptor sehingga jumlah glukosa yang dimetabolisme di dalam sel berkurang. Gangguan sekresi insulin yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh menurunnya kemampuan sel beta dalam mensekresikan insulin (Price & Wilson, 2005).

Dampak yang diakibatkan dari adanya resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin adalah meningkatnya kadar glukosa darah karena glukosa tidak mengalami metabolisme di dalam sel. Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah adalah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Tambayong, 2000). Jika semakin banyak glukosa yang tidak dapat dimetabolisme dan digunakan oleh jaringan, maka kebutuhan jaringan terhadap glukosa semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya proses pemecahan lemak dan protein atau sering disebut dengan glukoneogenesis (Smeltzer & Bare, 2001).

Proses glukoneogenesis menghasilkan produk sampingan lemak dan protein yang berupa asam lemak dan badan keton. Produk sampingan ini akan menumpuk di dalam pembuluh darah sehingga mengakibatkan penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis). Penyempitan pembuluh darah juga diakibatkan oleh kerusakan sel endotel pembuluh darah karena kadar glukosa darah yang

(27)

meningkat. Penyempitan pembuluh darah tersebut mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke jaringan sehingga jaringan mengalami iskemik dan nekrosis serta memicu terjadinya berbagai komplikasi (Smeltzer & Bare, 2001; Tambayong, 2000). Patofisiologi DM tipe 2 secara skematik dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Gambar 2.1. Skema patofisiologi DM tipe 2

2.1.5 Manifestasi Klinis

Diagnosis DM tipe 2 awalnya ditunjukkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia, poliuria, polidipsia (Tambayong, 2000). Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita (Mansjoer dkk., 2005). Berdasarkan studi kohort yang dilakukan oleh Sudore et.al. (2012), hampir setengah pasien DM tipe 2 dewasa (total 13.171 responden) melaporkan telah merasakan gejala selain

Hiperglikemia

Glukoneogenesis

↑ produk sampingan lemak dan protein

Menumpuk dalam pembuluh darah ↓ suplai darah ke jaringan Aterosklerosis Penebalan dinding pembuluh darah Gangguan sekresi insulin ↓ kemampuan sel beta ↓ kemampuan insulin berikatan dengan reseptor Resistensi insulin Glukosa tidak mengalami metabolisme dalam sel ↑ kebutuhan jaringan terhadap glukosa

Menumpuk pada dinding pembuluh darah

Kerusakan sel endotel Komplikasi

(28)

gejala khas DM yang berupa kelelahan, depresi, dyspnea, insomnia, emosi yang tidak stabil, dan nyeri. Pasien berusia lebih dari 60 tahun mengeluh sering merasakan nyeri dan dyspnea (physical symptoms), sedangkan pasien berusia kurang dari 60 tahun mengeluh sering kelelahan, insomnia, dan depresi (psychosocial symptoms).

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan dengan adanya glukosuria (PERKENI, 2011). Diagnosis DM tipe 2 juga dapat ditegakkan jika pasien mengalami keluhan klasik/khas DM seperti poliuria, polidipsia, dan polifagia, dan keluhan lain seperti kelelahan, kesemutan, gatal, dan mata kabur (Mansjoer dkk., 2005).

Menurut PERKENI (2011), diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu:

a. jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu lebih dari 200 mg/dl cukup untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2;

b. pemeriksaan glukosa plasma puasa lebih dari 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik; dan

c. tes toleransi glukosa oral (TTGO).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM tipe 2 dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) yaitu bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam

(29)

setelah beban antara 140-199 mg/dl. Kelompok glukosa darah puasa terganggu (GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa diperoleh antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl. Langkah-langkah diagnosis DM tipe 2 secara skematik dapat dilihat pada gambar berikut: (PERKENI, 2011; Mansjoer dkk., 2005):

Sumber: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan

Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI. Gambar 2.2. Langkah-langkah diagnosis DM tipe 2

Penegakan diagnosis DM tipe 2 juga didukung dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menentukan apakah pasien mengalami DM tipe 2, TGT, maupun GDPT, sehingga pasien dapat ditangani

(30)

secara cepat dan tepat. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).

2.1.7 Pencegahan

Pencegahan DM terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier, meliputi (PERKENI, 2011):

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu kelompok yang belum mengalami DM namun berpotensi untuk mengalami DM karena memiliki faktor resiko sebagai berikut:

1) faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi:

a) ras dan etnik. African Americans, Mexican Americans, American Indians, Hawaiians dan beberapa Asian Americans memiliki resiko tinggi mengalami DM dan penyakit jantung, dikarenakan tingginya kadar glukosa darah, obesitas, dan jumlah populasi DM dalam etnik tersebut (Shai et.al., 2006);

b) jenis kelamin. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Wexler et.al. (2005), pria lebih beresiko mengalami DM daripada wanita. Wanita yang mengalami menopause akan lebih beresiko mengalami DM daripada wanita yang belum menopause;

(31)

c) riwayat keluarga dengan DM. Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan DM akan lebih beresiko mengalami DM daripada seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan DM (Arslanian et.al., 2005); dan

d) usia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meneilly & Elahi (2005), resiko DM lebih tinggi pada usia dewasa daripada lansia. 2) faktor resiko yang bisa dimodifikasi:

a) obesitas. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shai et.al. (2006), seseorang yang obesitas akan mengalami resiko DM lebih tinggi daripada seseorang yang tidak obesitas. Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan sensitivitas insulin;

b) kurangnya aktivitas fisik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Morato et.al. (2007), seseorang yang kurang bergerak atau sedikit melakukan aktivitas fisik akan lebih beresiko mengalami DM. Hal tersebut dikarenakan kurangnya aktivitas fisik dapat menurunkan sensitivitas insulin terhadap reseptor;

c) hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eyre et.al. (2004), hipertensi menjadi salah satu faktor resiko DM karena hipertensi dapat meningkatkan kejadian aterosklerosis yang berdampak pada penurunan fungsi sel beta pankreas dalam memproduksi insulin; d) dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL).

(32)

merupakan indikator meningkatnya jaringan adiposa yang berdampak pada penurunan sensitivitas insulin (Eyre et.al., 2004); dan

e) diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko mengalami DM.

3) faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes :

a) pasien Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS lebih sering dikaitkan dengan adanya timbunan lemak yang berlebih. Timbunan lemak yang berlebih terutama di rongga perut dapat menyebabkan penurunan sensitivitas insulin sehingga berdampak pada peningkatan kadar glukosa darah;

b) pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya; dan

c) pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases). Pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular akan lebih beresiko mengalami DM karena kondisi pembuluh darah dan hemostasis yang buruk akan menyebabkan ketidakseimbangan endokrin dalam tubuh.

Tindakan penyuluhan dan pengelolaan pada kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi merupakan salah satu aspek penting dalam pencegahan primer. Materi penyuluhan yang dapat diberikan meliputi program

(33)

penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani, dan menghentikan merokok.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi pada pasien yang telah mengalami DM. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini sejak awal pengelolaan penyakit DM. Program penyuluhan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan sekunder untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan menuju perilaku sehat.

c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut pada pasien DM yang mengalami komplikasi. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan berkembang dan menetap. Penyuluhan pada pasien dan keluarganya memegang peranan penting dalam upaya pencegahan tersier. Penyuluhan dapat dilakukan dengan pemberian materi mengenai upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan kolaborasi antar tenaga medis. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain sebagainya) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

(34)

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DM tipe 2 secara umum bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari penatalaksanaan jangka pendek dan penatalaksanaan jangka panjang. Tujuan penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan tanda dan gejala DM tipe 2, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neuropati diabetik. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2001; PERKENI, 2011). Pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Mansjoer dkk., 2005).

Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

a. Edukasi

Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi kepada pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras, etnis, budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi. Edukasi mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara bertahap

(35)

yang meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan self-care (IDF, 2005; Funnell et.al., 2008).

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari penatalaksanaan DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2 yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2001). c. Latihan jasmani

Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasar dalam pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan secara terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari latihan ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya

(36)

disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani. Pasien DM tipe 2 yang relatif sehat dapat meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien DM tipe 2 yang mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan jasmani (PERKENI, 2011; Mansjoer dkk., 2005).

d. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien DM tipe 2. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk suntikan. Obat dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan agonis GLP-1/incretin mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara kerjanya, obat hiperglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (misalnya sulfonilurea dan glinid), peningkat sensitivitas terhadap insulin (misalnya metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (misalnya metformin), penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat glukosidase alfa), dan DPP-IV inhibitor (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).

2.1.9 Komplikasi

Komplikasi yang muncul akibat penyakit DM antara lain (Mansjoer dkk., 2005; Smeltzer & Bare, 2001):

a. Akut, meliputi koma hipoglikemia, ketoasidosis, dan koma Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK). Koma hipoglikemia terjadi akibat terapi insulin secara terus-menerus, ketoasidosis terjadi akibat proses pemecahan lemak secara terus-menerus yang menghasilkan produk sampingan berupa

(37)

benda keton yang bersifat toksik bagi otak, sedangkan koma HHNK terjadi akibat hiperosmolaritas dan hiperglikemia yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit sehingga terjadi perubahan tingkat kesadaran; dan

b. Kronik, meliputi makrovaskuler (mengenai pembuluh darah besar seperti pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak), mikrovaskuler (mengenai pembuluh darah kecil : retinopati diabetik, nefropati diabetik), neuropati diabetik, rentan infeksi, dan kaki diabetik. Komplikasi tersering dan paling penting adalah neuropati perifer yang berupa hilangnya sensasi distal dan berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus diabetik dan amputasi (PERKENI, 2011).

2.2 Ulkus Diabetik 2.2.1 Definisi

Ulkus diabetik adalah salah satu komplikasi DM yang berupa lesi terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh beberapa faktor dan dapat memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien DM (Kirsner et.al., 2010). Menurut Frykberg (2002), luka diabetik adalah luka atau lesi pada pasien DM yang dapat mengakibatkan ulserasi aktif dan merupakan penyebab utama amputasi kaki. Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi DM yang paling menimbulkan kecemasan pada pasien DM karena kejadian ulkus diabetik selalu dikaitkan dengan amputasi kaki (Adam, 2005 dalam Arief, 2008).

(38)

2.2.2 Etiologi

Ulkus diabetik disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersering penyebab ulkus diabetik adalah neuropati, trauma, dan deformitas kaki, yang sering disebut dengan Critical Triad of Diabetic Ulcers. Ulkus diabetik merupakan penyebab tersering pasien harus diamputasi, sehingga faktor-faktor tersebut juga merupakan faktor predisposisi terjadinya amputasi (Frykberg, 2002).

2.2.3 Faktor Resiko

Menurut Boulton (2004 dalam Arief, 2008) faktor resiko terjadinya ulkus diabetik adalah neuropati perifer, penyakit vaskuler, mobilitas sendi yang terbatas, deformitas kaki, tekanan kaki abnormal, trauma minor, riwayat ulkus atau amputasi, dan gangguan visual. Faktor resiko yang berasal dari keadaan sistemik pasien adalah hiperglikemia yang tidak terkontrol, lama penyakit DM lebih dari 10 tahun, usia pasien lebih dari 40 tahun, riwayat merokok, dan memiliki penyakit ginjal kronis (Smeltzer & Bare, 2001; Boulton, 2004 dalam Arief, 2008).

Menurut Frykberg (2002), faktor resiko terjadinya ulkus diabetik adalah adanya sensasi normal tanpa deformitas, sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi, insensitivitas tanpa adanya deformitas, kombinasi/complicated, kombinasi insensitivitas, iskemia, dan deformitas, dan riwayat adanya tukak (Deformitas Charcot). Indikator resiko terjadinya ulkus diabetik meliputi kondisi kulit, kondisi kuku, ada tidaknya deformitas, kelayakan alas kaki, suhu kaki, rentang gerak kaki, tes sensasi kaki dengan monofilamen, tes

(39)

sensasi kaki dengan 4 pertanyaan, denyut nadi pada kaki, warna pada kaki, dan ada tidaknya erythema (Canadian Association of Wound Care, 2011).

2.2.4 Patofisiologi

Kejadian ulkus diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien DM yang dapat menyebabkan kelainan pada pembuluh darah (Frykberg, 2002). Peningkatan glukosa dalam darah akan merangsang reaksi proliferasi sel endotel dan proses glukoneogenesis yang menghasilkan produk sampingan lemak dan protein. Produk sampingan tersebut akan bersirkulasi dalam darah dan menumpuk di dinding bagian dalam pembuluh darah. Proliferasi sel endotel dan penumpukan produk sampingan tersebut akan menyebabkan dinding pembuluh darah semakin menebal dan terbentuk jembatan dengan formasi huruf “A”. Akibat yang ditimbulkan dari penebalan pembuluh darah tersebut adalah penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis) dan peningkatan viskositas darah, sehingga aliran darah ke jaringan semakin berkurang termasuk syaraf. Aliran darah yang terus menerus semakin berkurang ke syaraf dapat menyebabkan syaraf mengalami iskemia dan kehilangan fungsinya atau neuropati diabetik (Rebolledo et.al., 2012; Guyton & Hall, 2007).

Neuropati diabetik meliputi gangguan syaraf motorik, sensorik, dan otonom yang masing-masing memegang peranan penting pada kejadian ulkus diabetik. Gangguan syaraf motorik menyebabkan paralisis otot kaki yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dan bentuk pada sendi kaki (deformitas), perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tekan baru dan

(40)

penebalan pada telapak kaki (kalus). Gangguan syaraf sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga pasien mengalami cedera tanpa disadari. Gangguan syaraf otonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit menjadi kering dan mudah mengalami luka yang sulit sembuh (Rebolledo et.al., 2012; De Jong, 1997 dalam Arief, 2008).

Neuropati diabetik, trauma, dan deformitas merupakan penyebab utama ulkus diabetik. Penyebab lain yang turut menyebabkan ulkus diabetik adalah perubahan struktur anatomis, pengaruh lingkungan, dan penyakit vaskuler perifer. Perubahan struktur anatomis meliputi perubahan struktur plantar metatarsal, plantar fatty pad, dan Charcot foot. Pengaruh lingkungan meliputi penggunaan sepatu yang tidak layak, kalus, adanya benda-benda tajam, dan penggunaan kain yang kasar. Pasien DM yang memiliki beberapa faktor penyebab ulkus diabetik tersebut akan beresiko untuk mengalami ulkus diabetik yang berarti beresiko pula untuk mengalami amputasi (Rebolledo et.al.,2012).

2.2.5 Klasifikasi

Ada beberapa macam klasifikasi ulkus diabetik dari klasifikasi sederhana hingga klasifikasi yang lebih rumit, yaitu klasifikasi sederhana Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi Wagner, dan klasifikasi University of Texas (Waspadji, 2006 dalam Arief, 2008). Klasifikasi menurut Edmonds (2005 dalam Arief, 2008) yaitu:

a. derajat I : kaki normal;

(41)

c. derajat III : kaki mengalami ulkus;

d. derajat IV : kaki mengalami nekrosis; dan e. derajat V : kaki yang tidak dapat ditangani.

Menurut Wagner (1987 dalam Frykberg, 2002), ulkus diabetik diklasifikasikan berdasarkan kedalaman ulkus dan ada tidaknya osteomyelitis atau gangren, yaitu:

a. derajat 0 : kulit utuh, tidak ada luka terbuka, namun ada kelainan pada kaki akibat neuropati. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik derajat 0 lebih mudah mengalami penyembuhan daripada ulkus diabetik derajat lainnya;

b. derajat 1 : ulkus diabetik superfisial (sebagian atau seluruh permukaan kulit). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik derajat 1 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 70,96%; c. derajat 2 : ulkus meluas hingga ligamen, tendon, kapsul sendi, atau fasia

dalam tanpa abses atau osteomyelitis. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik derajat 2 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 41,27%;

d. derajat 3 : ulkus dalam dengan abses, osteomyelitis, atau sepsis sendi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik derajat 3 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 41,27%; e. derajat 4 : gangren terlokalisasi pada bagian jari atau tumit. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Oyibo et.al. (2001), ulkus diabetik derajat 4 biasanya muncul akibat kombinasi infeksi dan iskemia. Amputasi pada bagian

(42)

gangren yang terlokalisasi merupakan hal yang sering dilakukan karena kemungkinan pasien untuk sembuh kecil; dan

f. derajat 5 : gangren yang meluas hingga seluruh kaki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oyibo et.al., (2001), ulkus diabetik derajat 5 memiliki resiko tinggi untuk diamputasi dan kemungkinan untuk sembuh sangat kecil.

Klasifikasi ulkus diabetik menurut University of Texas (San Antonio scale) lebih kompleks. Ulkus diabetik diklasifikasikan berdasarkan kedalaman ulkus, ada tidaknya infeksi, dan ada tidaknya tanda dan gejala iskemia. Klasifikasi ulkus diabetik menurut University of Texas dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Armstrong et.al., 1998 dalam Rebolledo et.al., 2012; Oyibo et.al., 2001):

Stage Grade 0 1 2 3 A Pre/post ulkus tanpa kerusakan kulit Ulkus superfisial Ulkus dalam (hingga ke tendon/kapsul) Ulkus meluas hingga ke tulang/sendi B + infeksi + infeksi + infeksi + infeksi

C + iskemia + iskemia + iskemia + iskemia

D + infeksi dan iskemia + infeksi dan iskemia + infeksi dan iskemia + infeksi dan iskemia

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik stage A grade 1 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 81,64%, stage A grade 2-3 sebesar 60,80%, stage B grade 1 sebesar 61,87%, stage B grade 2-3 sebesar 36,14%, stage C grade 1 sebesar 68,64%, stage C grade 2-3 sebesar 43,29%, stage D grade 1 sebesar 49,17%, dan stage D grade 2-3 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 25,22%.

(43)

2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ulkus diabetik harus dilakukan secara menyeluruh (komprehensif) dan berpedoman pada karakteristik ulkus. Penatalaksanaan pada ulkus diabetik mencakup kontrol berbagai aspek (Waspadji, 2006 dalam Arief, 2008; Frykberg, 2002; Rebolledo et.al., 2012; ADA, 1998 dalam Rolikasari, 2007), yaitu:

a. kontrol metabolik

Kontrol metabolik dilakukan dengan cara menjaga kadar glukosa darah dalam batas normal. Pasien dapat melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah secara mandiri atau ke fasilitas pelayanan kesehatan. Upaya kontrol metabolik dilakukan untuk mencegah hiperglikemia dan memperbaiki berbagai faktor yang dapat menghambat penyembuhan luka.

b. kontrol vaskular

Kontrol vaskular dilakukan dengan cara menghindari atau memodifikasi faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan aterosklerosis (berhenti merokok, membatasi makanan berlemak, dan lain sebagainya) dan rekonstruksi pembuluh darah pada pasien iskemia. Rekonstruksi pembuluh darah dapat dilakukan dengan cara neovaskularisasi pada bagian distal agar aliran darah ke kaki meningkat. Tujuan rekonstruksi pembuluh darah adalah untuk membantu mempercepat penyembuhan luka, mengurangi nyeri, dan memperbaiki fungsi tubuh.

(44)

c. kontrol luka

Kontrol luka dapat dilakukan dengan cara perawatan luka yang tepat, penggunaan teknik dressing dan agen topikal yang tepat pada luka, dan debridemen pada jaringan nekrosis. Perawatan luka dilakukan sejak ulkus terbentuk dan dilakukan secara hati-hati dan teliti. Tujuan perawatan luka adalah mencegah dehidrasi dan kematian sel, mempercepat proses angiogenesis, dan memfasilitasi proses epitelisasi. Penggunaan teknik dressing yang tepat dapat membantu menjaga kelembapan area luka. Pemilihan agen topikal harus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu kemampuan agen dalam mengabsorpsi eksudat, membuang jaringan nekrosis dan kontaminasi bakteri, memberikan rehidrasi pada luka, dan kemampuan agen dalam mencapai dasar luka. Debridemen pada jaringan nekrosis merupakan suatu tindakan membuang jaringan mati, jaringan yang tercemar, dan menyisakan jaringan yang masih sehat. Debridemen dilakukan secara terus menerus selama proses pemulihan luka untuk mendukung drainase dan mempercepat penyembuhan luka.

d. kontrol mikrobiologis

Kontrol mikrobiologis dilakukan untuk mencegah infeksi pada luka. Ulkus diabetik dapat menjadi tempat berkembang biak bakteri jika tidak dirawat dengan baik. Kultur jaringan harus dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri yang ada pada daerah ulkus sehingga dapat membantu dalam penentuan antibiotik yang tepat bagi pasien. Adanya pus atau lebih dari satu tanda inflamasi (bengkak, kemerahan, nyeri, terasa hangat, dan kehilangan fungsi)

(45)

menjadi tanda berkembang biaknya bakteri pada daerah ulkus dan menyebabkan infeksi pada daerah ulkus.

e. kontrol tekanan

Kontrol tekanan dilakukan dengan cara pengurangan beban pada kaki (off-loading) yaitu dengan menghindari semua tekanan mekanis pada kaki yang terluka maupun pada kaki yang mengalami kalus. Pengurangan beban pada kaki dilakukan untuk mencegah trauma tambahan pada kaki dan mempercepat proses penyembuhan luka. Penggunaan sepatu yang layak, tirah baring, mengurangi aktivitas berat, dan perawatan kaki merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban pada kaki.

f. kontrol edukasi

Kontrol edukasi dilakukan dengan cara memberikan edukasi mengenai pengelolaan ulkus diabetik dan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi yang tepat dapat meningkatkan pengetahuan, motivasi, dan keterampilan pasien serta merubah perilaku pasien dalam melakukan perawatan mandiri.

2.2.7 Penilaian Ulkus Diabetik

Penilaian ulkus diabetik merupakan salah satu aspek penting dalam pemilihan terapi yang tepat bagi pasien. Penilaian ulkus diabetik dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang dilakukan meliputi aktivitas sehari-hari pasien, alas kaki yang digunakan, keluhan yang dirasakan pasien, riwayat penyakit, lama mengalami DM,

(46)

kebiasaan-kebiasaan pasien, dan upaya yang biasa dilakukan oleh pasien. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk melakukan penilaian terhadap karakteristik ulkus dan penatalaksanaan yang tepat (Wijonarko, 2010). Karakteristik ulkus yang dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan yaitu jumlah ulkus, ukuran ulkus, kedalaman ulkus, ada tidaknya eksudat, tepi ulkus, warna ulkus, ada tidaknya maserasi, jenis jaringan dalam ulkus, ada tidaknya edema, ada tidaknya inflamasi, nyeri, dan ada tidaknya infeksi (Rebolledo et.al., 2012).

2.3 Diabetes Self Management Education (DSME) 2.3.1 Definisi DSME

Diabetes Self Management Education (DSME) adalah suatu proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnell et.al., 2008). Menurut Sidani & Fan (2009), DSME merupakan suatu proses pemberian edukasi kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk mengoptimalkan kontrol metabolik, mencegah komplikasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien DM.

2.3.2 Tujuan DSME

Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronis, sekaligus mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al., 2002). Menurut Funnell et.al. (2008) tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan

(47)

keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup.

2.3.3 Prinsip DSME

Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2008) adalah pendidikan DM efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien meskipun dalam jangka pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada program edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil klinis, dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat penting untuk mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien selama program DSME, dan penetapan tujuan-perilaku adalah strategi efektif mendukung selfcare behaviour.

2.3.4 Standar DSME

DSME memiliki 10 standar yang terbagi menjadi 3 domain (Funnell et.al., 2008; Haas et.al., 2012) yaitu:

a. struktur

1) standar 1 (internal structure): DSME merupakan struktur organisasi, misi, dan tujuan yang menjadikan DSME sebagai bagian dari perawatan untuk pasien DM;

(48)

2) standar 2 (external input): kesatuan DSME harus menunjuk suatu tim untuk mempromosikan kualitas DSME. Tim tersebut harus terdiri dari tenaga kesehatan, pasien DM, komunitas, dan pembuat kebijakan;

3) standar 3 (access): kesatuan DSME akan mengidentifikasi kebutuhan pendidikan kesehatan merupakan upaya untuk mendukung peningkatan kualitas hidup bagi pasien DM. DSME mengidentifikasi kebutuhan pendidikan kesehatan dari populasi target dan mengidentifikasi sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut; dan

4) standar 4 (program coordination): koordinator DSME akan ditunjuk untuk mengawasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi DSME. Koordinator yang ditunjuk harus memiliki kemampuan akademik dan pengalaman dalam perawatan penyakit kronis dan manajemen program edukasi.

b. proses

1) standar 5 (instructional staff): DSME dapat dilakukan oleh satu atau lebih tenaga kesehatan. Edukator DSME harus memiliki kemampuan akademik dan pengalaman dalam memberikan edukasi dan manajemen DM atau harus memiliki sertifikat sebagai edukator. Edukator DSME mempersiapkan materi yang akan disampaikan secara berkelanjutan.; 2) standar 6 (curriculum): penyusunan kurikulum harus menggambarkan

fakta DM, petunjuk praktek, dengan kriteria untuk hasil evaluasi dan akan digunakan sebagai kerangka kerja DSME. Pengkajian kebutuhan pasien DM dan pre-DM akan mengindentifikasi informasi-informasi yang harus diberikan kepada pasien;

(49)

3) standar 7 (individualization): pengkajian individual dan perencanaan edukasi akan dilakukan oleh kolaborasi antara pasien dan edukator untuk menentukan pendekatan pelaksanaan DSME dan strategi dalam mendukung manajemen pasien. Strategi yang digunakan adalah mempertimbangkan aspek budaya dan etnis pasien, usia, pengetahuan, keyakinan dan sikap, kemampuan belajar, keterbatasan fisik, dukungan keluarga, dan status finansial pasien. Pengkajian, perencanaan edukasi, dan intervensi akan didokumentasikan pada dokumen DSME; dan

4) standar 8 (ongoing support): perencanaan follow-up pasien untuk mendukung DSME akan dilakukan dengan kolaborasi antara pasien dan edukator. Hasil follow-up tersebut akan diinformasikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam DSME.

c. hasil

1) standar 9 (patient progress): kesatuan DSME akan mengukur keberhasilan pasien dalam mencapai tujuan dan hasil klinis pasien dengan menggunakan teknik pengukuran yang tepat untuk mengevaluasi efektivitas dari DSME; dan

2) standar 10 (quality improvement): Kesatuan DSME akan mengukur efektivitas proses edukasi dan mengidentifikasi peluang untuk perbaikan DSME dengan menggunakan perencanaan perbaikan kualitas DSME secara berkelanjutan yang menggambarkan peningkatan kualitas berdasarkan kriteria hasil yang dicapai.

(50)

2.3.5 Komponen DSME

Menurut Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2011) komponen dalam DSME yaitu:

a. pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi, patofisiologi dasar, alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes;

b. pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara menyimpan. Penggunaan insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara penyuntikan, dan lainnya. Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) meliputi dosis, waktu minum, dan lainnya;

c. monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan, pengertian, tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan strategi lanjutan, peralatan yang digunakan dalam monitoring, frekuensi, dan waktu pemeriksaan;

d. nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet, kebutuhan kalori, jadwal makan, manjemen nutrisi saat sakit, kontrol berat badan, gangguan makan dan lainnya;

e. olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi medis sebelum melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan alat pelindung dalam berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki yang digunakan, dan pengaturan kegiatan saat kondisi metabolisme tubuh sedang buruk;

f. stres dan psikososial, meliputi identifikasi faktor yang menyebabkan terjadinya distres, dukungan keluarga dan lingkungan dalam kepatuhan pengobatan;

Gambar

Gambar 2.1. Skema patofisiologi DM tipe 2
Gambar 2.2. Langkah-langkah diagnosis DM tipe 2
Gambar 2.3 Hubungan perilaku, pendidikan kesehatan, dan status kesehatan  DSME merupakan salah satu bentuk edukasi yang efektif diberikan kepada  pasien  DM  karena  DSME  memiliki  prinsip  dan  standar  dalam  pelaksanaannya
Gambar 2.4   Kerangka  teori  penelitian  (adaptasi  dari  1 Smeltzer  &amp;  Bare,  2001;  2 Mansjoer  dkk,  2005;  3 Price  &amp;  Wilson,  2005;  4 PERKENI,  2011;
+3

Referensi

Dokumen terkait

“Efektivitas Program Diabetes Self-Management Education (DSME) dan Intervensi Diabetes Berbasis Keluarga terhadap Kualitas Hidup Penderita Diabetes Tipe 2”A. Tujuan

Hasil analisis diperoleh nilai OR: 9,500 atau dapat dikatakan pemantauan kadar gula darah yang tidak rutin berisiko 9,500 kali lebih besar terjadinya ulkus diabetikum pada

Meskipun penatalaksanaan diabetes mellitus sangat kompleks, penderita yang mampu melakukan perawatan dirinya dengan optimal akan dapat mengendalikan glukosa darahnya, bertolak

Kesimpulannya adalah metode DSME berbasis aplikasi lebih efektif karena tidak membutuhkan biaya yang banyak dan waktu yang lama dibandingkan dengan melakukan kontrol langsung

PENGARUH TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION (TENS) TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN LUKA PADA PASIEN DIABETES MELITUS YANG DILAKUKAN PERAWATAN ULKUS KAKI DIABETIK DI

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis (Ha) yang digunakan dalam penelitian ini

Ketercapaian target demonstrasi pengaturan diet DM pada kegiatan ini cukup baik, karena demonstrasi pengaturan diet telah dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan daftar menu DM

DSME Diabetes Self Management Education DSME Frekuensi Persentase Kurang 10 31,3 Baik 22 68,8 Total 32 100 Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa responden dengan